Peresensi: Imron Tohari
http://sastra-indonesia.com/
Judul Buku: Harmonika Lelaki Sepi (Kumpulan Puisi)
Copyright: Andi Muhammad Era Wirambara
Cetakan pertama: Oktober 2010
Penyunting: Anindra Saraswati
Proof Reader: Irwan Bajang
Desain Sampul: Leo Baskoro
Tata Letak: Indie Book Corner Team Work
Endorsmen: Khrisna Pabicara, Pringadi AS, Nanang Suryadi
ISBN: 978602-97441-3-2
Tebal buku: 94 halaman.
Harga: Rp. 30.000,-
“Cinta dan iman bersemi dan tumbuh dari proses spiritual yang sedikit mengandalkan kemampuan indrawi ( Helen Keller ).
“Menjadi manusia seutuhnya mahal harganya sehingga hanya sedikit orang yang memiliki cinta dan keberanian untuk membelinya. Seseorang harus melepaskan hasrat untuk mencari rasa aman dan harus menghadapi resiko hidup dengan kedua belah tangannya. Seseorang harus memeluk kehidupan seperti memeluk seorang kekasih”. (Morris West – Novelis).
Saya yakin semua orang pasti pernah merasakan rindu,merasakan pergolakan cinta yang tak berkesudah yang membawanya menyusuri labirinlabirin sunyi, yang pada akhirya entah ia (mereka) menemukan suatu sugest positip atau justru akan kian terjerat dalam lingkaran labirin tersebut.
Melalui larik-larik sunyi “ Harmonika Lelaki Sepi”, Andi Wirambara yang lebih dikenal sebagai Ikan Biroe di dunia virtual, ingin menyampaikan tentang hasil renungannya dalam merasakan serta memandang rindu, cinta, dengan segala pernak-pernik kehidupan.
Andi Wirambara penulis belia kelahiran 24 September 1991, mewakili perasaannya sebagai sosok lelaki muda dalam menyikapi rindu dan cinta, saya rasa cukup dewasa dan bijak dalam meletupkan pemikiran-pemikirannya melalui larik-larik sajak,puisi.
Rasa rindu yang membuncah, dan rasa cinta yang bergelora, pada dasarnya tiada beda antara perasaan lelaki dan wanita: samasama memanggil sunyi!. Jadi siapa bilang lelaki yang dibekap rindu dan didera cinta tidak bisa sentimentil?
Bermuasal dari rindu dan rasa sunyi inilah terbersit di imaji piker penyair tentang “lelaki” yang mewakili aku lirik, dan “Harmonika” yang mewakili geletar irama jiwa dalam hisapan sunyi. Ya, harmonika sebuah alat musik yang paling mudah dimainkan hanya tinggal meniup dan menghisapnya, namun justru dari “tiup” dan “hisap” yang berkaitan dengan nafas inilah kesan pergolakan yang tengah berkecamuk amuk dalam jiwa akibat hisapan sunyi sangat terwakili. Sejarah harmonika berasal dari alat musik tradisional China yang bernama ‘Sheng’ yang telah digunakan kira-kira 5000 tahun yang lalu sejak kekaisaran Nyu-kwa. Dan biasanya alat tiup ini sering dipakai remaja yang lagi rindu kekasih,kampong halaman,patah hati,atau mencoba membebaskan tekanan perasaan agar tetap kuat dalam menjalani kehidupan berikutnya.
Perjalanan sunyi aku lirik dalam “Harmonika Lelaki Sepi” dibuka dengan puisi romantic humanis yang begitu indah dan disajikan dengan gaya sampaian yang begitu membumi, yang justru kian membuat puisi ini terasa lebih manusiawi, baca kutipan bait 1 puisi bertajuk “Sesendok Saja” yang membungkus rasa rindu dan kesetiaan, di halaman 1,:
“Sesendok saja aku ingin menyuapimu
Ingin melihat peram matamu, melihat
Bagaimana parfait lumer dan pernik
Cokelat terjepit di merah bibir cerimu
Pada pucuk muffin yang kusentil dan
Terbang hinggap di jendela
Seperti kakaktua yang begitu setia
Pada nenek bergigi dua
Seperti segala rasa yang bersepakat
Sewaktu-waktu bermelankolia”
Dan pada halaman 29, Andi Wirambara, masih dengan tema rindu kekasih, pada puisi “Apel” begitu piawai menyembunyikan gejolak perasaan rindunya melalui simbolik poetika (metaphor/bahasa symbol), namun tetap mudah untuk dicerna oleh yang dituju tanpa kehilangan unsur puitisnya.
Apel
entah rindu apa kau punya
hingga kau bawa aku pada
wangi embun yang sejuk dan
ranum?
betapapun senyummu kuingat pada
kabutkabut tipis tatkala embun berlahan
turun dan singgah
anggun dikulit yang basah
sebagaimana aku terkenang
sayupmu di antara dahan pohon yang tenang
dan aku, menanti
kau temui pun lembut kau petik
apel yang kugelantungkan bersama sebalas
rindu, apel wewangi rindu.
Dari dua karya Andi Wirambara yang saya kutipkan sebagian, dan yang satunya saya kutipkan secara penuh tersebut, walau pilihan diksi terkesan sederhana, namun betapa detak kejujuran penyairnya bisa kita rasakan, dan hal inilah yang membuat karya ini mampu menarik imaji penikmat baca kedalam roh penjiwaan karya termaksud. Kesadaran akan kejujuran ini pula yang membawa D. Zawawi Imron tegas mengatakan : “ Sebuah sajak yang saya tulis tanpa kejujuran hati nurani tak akan pernah mengarungi perjalanan waktu sehingga tak akan punya nilai abadi.” (Sastra Pencerahan ; halaman 129-130).
Perihal puisi, Wordsworth mempunyai gagasan bahwa puisi adalah pernyataan perasaan yang imajinatif, yaitu perasaan yang direkakan atau diangankan. Adapun Auden mengemukakan bahwa puisi itu lebih merupakan pernyataan perasaan yang bercampur-baur. Sedang Dunton berpendapat bahwa sebenarnya puisi itu merupakan pemikiran manusia secara konkret dan artistik dalam bahasa emosional serta berirama. Misalnya, dengan kiasan, dengan citra-citra, dan disusun secara artistik (misalnya selaras, simetris, pemilihan kata-katanya tepat, dan sebagainya), dan bahasanya penuh perasaan, serta berirama seperti musik (pergantian bunyi kata-katanya berturut-turut secara teratur).
Dan pemikiran saya sendiri, seperti yang sering saya tulis pada setiap esai yang saya buat, saya lebih suka menyebut “puisi” sebagai rainkarnasi bahasa hati,pikiran ( samsara bahasa ) dari masing-masing pribadi/individu pengkarya cipta yang dituangkan ke dalam bentuk bahasa tulis pun lisan yang pada akhirnya menciptakan letupan-letupan imajinatip di alam imajinasi pengkarya cipta itu sendiri maupun penikmat baca/apresiator puisi. Di mana muatan emosi “puisi” sangat beragam, ada suka ada duka, ada kegembiraan ada kemarahan. Puisi sebagai permainan bahasa, mentranslate rasa/gejolak jiwa, melalui selubung simbol-simbol, atau tanda-tanda yang terangkum pada larik/baris/bait dalam menyampaikan pesan gejolak rasa jiwa dari penulis/penyair, yang merupakan hasil dari saripati sunyi (baca: perenungan!).
Kenapa saya lebih senang menyebut “puisi” sebagai rainkarnasi bahasa atau samsara bahasa?
Samsara sebagai kata sifat mempunyai arti sengsara (berdasarkan kamus bahasa Indonesia), samsara berdasarkan yang termaktub pada surat Bagavad-gita (Budha)dan Weda ( Hindu ) samsara berarti kelahiran kembali/reinkarnasi, namun dalam kelahiran kembalipun (samsara ) , yang merupakan perpindahan jiwa ini dari satu tubuh ke tubuh yang lain atau disebut reinkarnasi eksternal (samsara atau samsriti didalam bahasa sansekerta). Srimad Bhagavatam (Bhagavata Purana) 5.11.5-7 menyebutkan bahwa pikiran terikat oleh indera kesenangan, saleh atau tidak saleh. Kemudian hal itu tertuju pada tiga model dari alam material dan menyebabkan penyesuaian kelahiran dalam berbagai tipe tubuh, lebih tinggi atau lebih rendah. Oleh karena itu, jiwa menderita ketidak bahagiaan atau menikmati kebahagiaan karena pikiran,kemudian pikiran di bawah pengaruh ilusi menciptakan aktivitas-aktivitas yang saleh dan aktivitas-aktivitas yang tidak saleh, ( berdasarkan ajaran agama Budha ) dan pengertian akan samsara ini juga tidak jauh beda dengan apa yang ada pada ajaran agama Hindu ; di dalam Weda disebutkan bahwa “Penjelmaan jiwatman yang berulang-ulang di dunia ini atau didunia yang lebih tinggi disebut Samsara. Kelahiran yang berulang-ulang ini membawa akibat suka dan duka. Dan juga akan dipengaruhi akan adanya karma baik dan buruk disaat-saat sebelumnya.Dari sudut pandang saya selaku orang Islam, yaitu kelahiran kembali dari kematian di akhirat kelak,dengan segala pertimbangan baik buruknya semasa kehidupan di dunia.
Begitu hal dalam setiap proses penciptaan puisi, dalam kesunyiannya pasti akan terjadi suatu pertarungan batin dan atau pertarungan piker pada diri pengkarya cipta (pertarungan sinergi positip dan sinergis negatip). Puisi sebagai reinkarnasi bahasa/samsara bahasa, pada kelahirannya kembali, tidak terlepas dari proses/ritus suasana baik buruk yang mempengaruhi rasa imajinatip pengkaryacipta. Dalam pengertian, melalui puisi penyair berusaha menghidupkan imaji tersembunyi ke dalam tubuh “bahasa”. Tubuh bahasa dari bayangan diri, baik bayangan diri penyairnya maupun bayangan diri penikmat bacanya yang sudah menyatu pada bayangan puisi itu sendiri!, maka jadilah bayangan diantara bayangan; diri membayang pada puisi, puisi membayang pada diri. Dan puisi yang baik, adalah puisi yang ditulis dengan penuh ketulusan, serta tetap mengacu pada estetika moral, sehingga nantinya bisa memberi pencerahan positip dan atau bisa menciptakan pola piker baru yang baik bagi pencipta maupun apresiator yang membacanya.
Pergulatan sunyi penyair tidak berhenti sampai pada karya-karya di atas, karena pada karya-karya selanjutnya, Andi lebih berani lagi membungkus perasaannya pada permainan simbolik poetika/metaphor, tanpa mesti kehilangan daya hisap serta pesan makna yang ingin dihantarkan kepermukaan. Lihat saja pada puisinya yang bertajuk “Ini Pilu”, “ Bintang Pulang”, Petasan”Dikamarku yang Berantakan”. Dan tentunya pada “Harmonika Lelaki sepi (hal. 39 – 40)” yang sekaligus dijadikan tajuk pada buku kumpulan puisi ini. Baca kutipan lengkapnya di bawah:
Harmonika Lelaki Sepi
harmonika
telah lekat ia pada bibir yang
mengatup
menada pada tiang-tiang malam
: pada rerumputan
Embun hendak turun, menyusur sisi ilalang
Yang tajam
Mengiris nadi
Ia nada rerumputan;merunduk
: pada bintang yang bergandengan
rasi bersenandung
mengangguk kepala
meniti
rangkai melodial langit
: pada bulan yang ringkih
menyapa ia,
menyiul sepi bersama sembilu angin
merayap
merayap lirih
sendu,
pada damaiku
(dan harmonika, telah kutitip nafasku tadi
Mainkan lagi, jangan sudi tercumbu sunyi)
Dari sekian puisi yang ada di buku ini, puisi “Malam yang Sempat Hilang”, tepatnya pada bait pertama, membuat saya terperanggah. Kelugasan dan pemilihan symbol-simbol alam untuk menyampaikan maksud, serta keindahan puitisasi bahasa yang dibalut dengan rima, mengingatkan saya dengan puisi/sajak-sajak klasik para penyair cina yang begitu menggeletarkan setiap hati pembacanya.
Bagaimana lelaku angin menyisir lamunku
Tentang sayupmu di dahan pohon yang tenang
Tentang gores angin laut yang lalu
Mengukir namamu pada karang-karang
Kukatakan memang, selalu ada yang kulaku seraya
menyeruput dingin yang menaiki bulu mata. Menjungkat-jungkit
daripadanya, jatuh ke muka pipi yang kaku, dan merayap
naik menyelinap ke bola mata, yang juga menggigil
melompat mencari selimut, di balik kenang yang mengungun
kala tiba aku bertamu pada malam
yang santun menuang bayang-bayang
nexts….
(Fragmen/1/ bait 1dan 2 “Malam yang Sempat Hilang” hal 18 Sekumpulan puisi “Harmonika Lelaki Sepi”)
Sayang kekuatan dan keindahan itu Andi tidak bisa menjaga rimanya pada bait 2 dan selanjutnya, padahal bait awalnya demikian kuat structural poetika bahasanya, yang kalau boleh aku kata, pada bait pertama tidak kalah indah dan kuat dalam bermain metaphor dan atau bahasa-bahasa symbol, juga sampaian pesannya tidak kalah dengan karya-karya sastra puisi china klasik yang patuh pada rima serta kekuatan penyair dalam mengeksplore alam sebagai sarana/symbol menyampaikan perasaan hati.
Mari kita lihat salah satu karya indah salah satu penyair zaman dinasti Wei yang menjadi acuan argumentasi pendapat saya mengenai bait 1 “Malam yang Sempat Hilang” karya Andi W.
Angin musim gugur pilu menderu udara membeku,
Daun rumput gugur melayang embun menjadi salju.
Sekawan wallet pulang angsa terbang ke selatan,
Mengingat kau yang dirantau kalbu dirundung angan.
(bait 1 “Nyanyian Bumi Yan” karya Cao Pi (187-226; Wei)
Sebagai akhir tulisan, saya memandang Andi W dalam kesunyiannya justru telah berhasil menaklukan sunyi seperti yang di tulis pada bait akhir Puisi “ Harmonika Lelaki Sepi “
: (dan harmonika, telah kutitip nafasku tadi
Mainkan lagi, jangan sudi tercumbu sunyi).
Salam lifespirit!
Pecinta sastra puisi, 7 Desember 2010.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Ginandjar Wiludjeng
A. Junianto
A. Kurnia
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.S Laksana
A’yat Khalili
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Razak
Abdul Rosyid
Abdul Wahab
Abdurrahman Wahid
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adam Chiefni
Ade P. Nasution
Adhitia Armitriant
Adi Prasetyo
Adrizas
AF. Tuasikal
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Baso
Ahmad Faishal
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Naufel
Ahmad Rofiq
Ahmad S. Zahari
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ainul Fiah
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Alex R. Nainggolan
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Almania Rohmah
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aminah
Aminullah HA.Noor
Amir Sutaarga
Anam Rahus
Anata Siregar
Andari Karina Anom
Andina Dwifatma
Andong Buku #3
Andre Mediansyah
Andri Awan
Anett Tapai
Anggie Melianna
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Wahyudi
Anwar Nuris
Ardi Bramantyo
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Joko Wicaksono
Arief Junianto
Ariera
Arif Bagus Prasetyo
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Asmaul Fauziyah
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Wulan Sari
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Camelia Mafaza
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Daisuke Miyoshi
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Danusantoso
Dareen Tatour
Darju Prasetya
David Kuncara
Denny Mizhar
Denza Perdana
Desi Sommalia Gustina
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewi Indah Sari
Dewi Susme
Dian Sukarno
Didik Harianto
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur
Dipo Handoko
Diyah Errita Damayanti
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddy Wisnu Pribadi
Dody Kristianto
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi SS MHum
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Wiyana
Dyah Ratna Meta Novia
Dyah Sulistyorini
Ecep Heryadi
Eddy Pranata PNP
Edeng Syamsul Ma’arif
Eep Saefulloh Fatah
EH Kartanegara
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Hendri Saiful
Eko Windarto
Elnisya Mahendra
Elva Lestary
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Sulwesi
Endo Suanda
Eppril Wulaningtyas R
Esai
Evan Ys
F. Moses
F. Rahardi
Fadlillah Malin Sutan
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Febby Fortinella Rusmoyo
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Gabriel Garcia Marquez
Galang Ari P.
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Ganug Nugroho Adi
Gerson Poyk
Ghassan Kanafani
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunoto Saparie
H.B. Jassin
Habibullah
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Hardi
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
HE. Benyamine
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Herman RN
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Nugroho
Hikmat Gumelar
HL Renjis Magalah
Hudan Nur
Hujuala Rika Ayu
Huminca Sinaga
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ira Puspitaningsih
Irfan Budiman
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Zulkarnain
Ismail Marzuki
Iva Titin Shovia
Iwan Kurniawan
Jabbar Abdullah
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D. Rahman
Jamal T. Suryanata
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
JILFest 2008
Jody Setiawan
Johan Edy Raharjo
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Juan Kromen
Julika Hasanah
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Ka’bati
Karanggeneng
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Keith Foulcher
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khoirul Inayah
Khoirul Rosyadi
Khudori Husnan
Ki Ompong Sudarsono
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
L.N. Idayanie
Laili Rahmawati
Lamongan
Lan Fang
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lucia Idayanie
Lukman A Sya
Lutfiah
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Ismail
M Thobroni
M. Afifuddin
M. Arwan Hamidi
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Luthfi Aziz
M. Nurdin
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.S. Nugroho
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahmud Syaltut Usfa
Mahmudi Arif Dahlan
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Martin Aleida
Maruli Tobing
Mas Ruscita
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni Muserang
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mia Arista
Mia El Zahra
Mikael Johani
Misbahus Surur
Misran
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
Much. Khoiri
Muh. Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun
Muhammadun AS
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mukti Sutarman Espe
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Munawir Aziz
Musfarayani
Musfi Efrizal
Nafisatul Husniah
Nandang Darana
Naskah Teater
Nelson Alwi
Ni Made Purnamasari
Nikmatus Sholikhah
Nina Herlina Lubis
Nina Susilo
Ning Elia
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel-novel berbahasa Jawa
Novelet
Nunuy Nurhayati
Nur Azizah
Nur Hamzah
Nur Kholiq
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Aini
Nurul Anam
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Okty Budiati
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso H.N.
Pagan Press
Pagelaran Musim Tandur
Palupi Panca Astuti
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Petrus Nandi
Politik
Politik Sastra
Pradana Boy ZTF
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringadi AS
Prof Dr Fabiola D. Kurnia
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Puji Tyasari
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
Purnawan Kristanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Ng. Ronggowarsito
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmat Kemat Hidayatullah
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rasanrasan Boengaketji
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Resensi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Ririe Rengganis
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rusmanadi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saiful Amin Ghofur
Saiful Anam
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman S. Yoga
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang KSII
Santi Puji Rahayu
Sapardi Djoko Damono
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Jawa Timur
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputra
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sri Weni
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugi Lanus
Sukron Ma’mun
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaf Anton Wr
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syarif Wadja Bae
Sylvianita Widyawati
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie (1961-2019)
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tia Setiadi
Tirto Suwondo
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tosa Poetra
Tri Nurdianingsih
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulul Azmiyati
Umar Fauzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Utari Tri Prestianti
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wan Anwar
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wina Bojonegoro
Wita Lestari
Wong Wing King
Wowok Hesti Prabowo
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopi Setia Umbara
Yudhi Herwibowo
Yudi Latif
Yusri Fajar
Yusuf Ariel Hakim
Yuval Noah Harari
Zacky Khairul Uman
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zed Abidien
Zehan Zareez
Zhaenal Fanani
Zubaidi Khan
Zuniest
Tidak ada komentar:
Posting Komentar