Robin Dos Santos Soares
http://www.kompasiana.com/robin
“Anak-anak sudah tidur?”
“Ya. Sudah. Tapi sebelum mereka tidur, Leli mencarimu”.
“Kenapa?”
“Dia bilang. Bapak kok tidak pulang-pulang. Sudah dua minggu lebih,”
“Sebaiknya kamu memberitahu pada anak-anak. Seorang istri yang baik itu sudah menjadi bagian dari kewajibanmu. Mereka belum paham dunia bapaknya. Saya sangat sibuk akhir-akhir ini. Harus ngurusin proyek di Bali. Kata sahabat bapak yang bekerja di pemerintahan, mereka mau menanamkan kapitalnya di sini.”
“Oh… be..gi..tu,”
“Yah… gitu deh,”
“Sayang….! Dua bulan lagi bapak dapat proyek besar. Ya.. hitung-hitung bisa membangun separuh negeri ini.”
“Benar apa gosip lagi nih..?”
“Ya iyalah. Masa zaman kemerdekaan bapak masih bohong. Nggak level. Pokoknya susah untuk njelasin!”
“Trus, kapan dananya cair?”
“Kalau masalah itu bapak belum pasti. Ini masih dalam proses negosiasi.”
“Semoga semuanya berjalan dengan baik.”
“Amin…”
“Bapak?”
“Ya… sayang. Ada apa lagi?”
“Minggu lalu, pak dukun dari kampung ke sini mencarimu?”
“Loh..! ya tinggal saja kamu kasih duit habis perkara.” Jawab suaminya dengan santai sambil menikmati rokoknya.
“Ini bukan persoalan duit lagi,”
“Trus apa?”
“Ceritanya begini. Pak dukun itu meramalkan masa depan proyek bapak dan keluarga kita. Kata dia, tidak lama lagi kita akan bangkrut total. Sebagai ibu rumah tangga, mana saya tahu persoalan itu. Saya malah mencurigai, jangan-jangan ada pihak ketiga yang mulai iri hati dengan kesuksesanmu.”
“Bisa juga dikatakan begitu. Zaman sekarang, kalau kita tidak pintar melobi dan menunggu berjam-jam di depan ruang lobi sampai lapar memanggil, hidup akan lebih sulit. Orang-orang seperti itu masalahnya sederhana, kebutuhan dasar belum terpenuhi. Seandainya bapak menang tender lagi, bapak berharap semua tidak datang dengan poster dan spanduk. Kalau keluarga kita, bukan persoalan kebutuhan dasar , tapi lebih dari itu. Bapak juga berencana dalam dua tahun lagi membeli hotel sederhana di pulau Bali, bekerja sama dengan pengusaha dari Jakarta.”
“Ha…. Beli hotel?” Jawab istrinya dengan mata melotot.
“Ya. Karena bapak bercita-cita Bali adalah surga buat keluarga kita. Dan soal dukun tadi, Bapak mempunyai kenalan baru. Dukun ini dari pulau Jawa. Kata relasi bisnis bapak, kesuksesannya sudah dipercaya dari kalangan elit bahkan menteri-menteri dari zaman orde baru sampai zaman orde paling baru. Menurut catatan dia, kualitas magisnya tidak perlu diragukan. Dan garansi lagi.
“Bergaransi? Emangnya dia itu seperti barang elektronik”
“Maksudnya, kalau magisnya tidak memberi hasil yang positif, uang dikembalikan tanpa potongan pajak.”
“Oh.. begitu.”
“Bahkan sampai selebritis juga datang. Ada juga yang datang untuk berguru.”
“Oh.. begitu. Berarti dukun internasional?”
“Hehe.. kamu ada-ada aja.” Tawa pun meledak.
“Kita juga harus mengikuti tren zaman, masa cuman musisi Slank, Dewa, Bomerang saja yang datang manggung. Dukun-dukun dari negara tetangga juga harus diundang, tapi tetap dalam permainan cantik.”
“Kok, ada permainan cantik. Maksudnya?”
“Ya… elah..! Maksudnya, bermain dengan profesional.”
“Nama saya bukan Elah. Bapak sebut nama selingkuhanmu ya? Sekarang mentang-mentang sudah menjadi orang penting di negeri ini, jadi nama istri juga lupa. Jangan-jangan lupa kalau saya ini perempuan.”
Tawa meledak menghancurkan malam yang sunyi.
“Marsiana, kamu tahu kenapa aku selalu mencintaimu?”
“Tidak”
“Jiwamu itu humoris. Tidak salah juga televisi di ruang tamu, nonton sinetron dari Indonesia juga tidak percuma.”
“Hehehe…! Biar kita tinggal di Dili tapi anggaplah di Jakarta. Ngomong-ngomong, kapan kita liburan. Masa pulau Bali cuman dalam mimpi. Sekali-kali ajak keluarga. Saya cemburu dengan kata-kata Anita. Kata dia, pantai Kuta dipenuhi bule-bule berjemur badan. Suatu hari dia memutuskan pergi ke tempat Gym untuk latihan kebugaran agar seksi seperti bule itu. Tahun depan dia akan pergi ke Thailand untuk operasi kecantikan agar payudaranya kelihatan lebih kencang seperti artis Julia Perez. Kalau di sini kita tidak bisa berjemur di pantai kita, kita bisa berjemur bebas di pantai seberang.
Di Bali orangnya cuek, mata mereka sudah terbiasa dengan anatomi tubuh wisatawan. Sementara di sini mengenakan celana pendek saja mata sopir taksi nakalnya luar biasa. Itu sebabnya tempo hari Anita datang ajak saya untuk berlibur di Bali. Persoalan paspor dia urus cuman satu hari. Dia bilang, kalau suami-suami kita pada sibuk dengan karir dan bisnis, istri-istri juga sibuk berlibur. Katanya harus belajar dari tren. Dia sudah pergi ke Singapura sementara Australia dalam rencana. Tiga bulan yang lalu ia pergi ke Bali hanya untuk beli film porno sebab di sini bajakan semua, hasil audio visual kurang bagus.”
“Hehe.. encer juga otak Anita. Tapi kamu jangan terpengaruh dengan tawarannya. Dengar-dengar katanya dia ada selingkuhan dengan pengusaha di Bali asal Portugal. Tapi ini baru sekedar gosip. Kamu harus janji jangan sampai bocor. Ingat itu.”
“Hehe… bapak ketinggalan informasi. Saya lebih tahu dari bapak.”
“Kok bisa?”
“Ya.. namanya juga mulut perempuan, gatal lagi. Hehe..”
“Makanya, bapak tidak ijinkan kamu pergi ke Bali berdua. Dia itu otaknya sudah rusak, materialisme membuat dia kehilangan kontrol. Lebih romantis kan kita berdua.”
“Benar?”
“Itu tahap ke dua. Setelah bulan Desember.”
“Terimakasih Tuhan, doaku terkabul. Saya percaya Tuhan beribu-ribu persen. Doaku terkabul selama dua tahun.”
“Begitu saja percaya pada Tuhan.”
“Bapak sudah jarang sekali ke gereja, padahal mobil ada, motor juga ada.”
“Bapak sekarang percaya pada dukun, bisnis, dan kerja keras. Ideologi kita sudah beda dalam rumah ini. Itu yang namanya demokrasi. Berbeda-beda pemahaman tetapi tetap rukun dalam keharmonisan keluarga. Arti demokrasi yang bapak belajar, walaupun tidak tamat Sarjana. Oya… kita pasti ke Bali pertengahan bulan Desember tahun ini. Bapak sudah beli tiketnya. Natal dan tahun baru kita sekeluarga rayakan di pantai Kuta. Sekali-kali tampil beda dong. Masa tahun baru selalu berhubungan dengan kampung, adat, penduduknya dan kemiskinan. Lagian duit buat apa? Buat bersenang-senang. Kehidupan ini sangat pendek, jadi selagi ada rejeki kita enjoy man, kata anak muda zaman sekarang.”
Malam semakin larut. Istrinya bermalas-malas badan di bahu suaminya. Malam tiba-tiba menjadi romantis hanya milik mereka berdua. Mengingat masa lalu yang suram penuh gejolak segala aturan hukum adat. Rokok belum habis sebatang, asap kereta api Malboro Amerika tidak berhenti. Mungkin tidak bisa lagi sebelum menabrak dinding jantungnya, parunya membuat ia kehilangan nafas dan keseimbangan. Akan tetapi, ia sudah tidak peduli dengan segala aturan kehidupan. Bukankah hidup adalah kesenangan, kenikmatan seperti layaknya orang melakukan seks, minum teh di pagi hari.
“Ngomong-ngomong Helder ke mana? Sudah lama wajahnya tidak kelihatan di rumah ini. Kuliah juga tidak becus, jadi apa nantinya. Masa depan negeri ini ada di tangan generasi muda. Dulu kalau dia setuju rencana bapak kuliah di Surabaya, ambil fakultas ekonomi, masa depan perusahaan di tangannya. Memilih Jogja juga tidak selesai, jadi apa.”
Tiba-tiba suaminya mengganti fokus pembicaraan.
“Ah… bapak sama anak saja.”
“Tidak bisa disamakan. Bapak kan sibuk dengan bisnis, ngurusin proyek, menghadiri rapat dengan menteri. Masa bapak disamakan dengan anak. Walaupun tidak tamat sarjana tapi seperti diplomat. Begini-begini tapi kalau turun dari bandara dijemput dengan kebudayaan Bali”
“Maksud ibu, jarang di rumah”.
“Oh.. begitu”
“Anakmu itu ibu sendiri juga tidak paham. Akhir-akhir ini ia jarang bicara, terkurung dalam kamar. Ibu takut seandainya dia sudah setengah gila, atau depresi, insomnia. Suatu hari ibu mendatangkan dukun dari kampung untuk meramal masa depan dia. Kata pak dukun, ia sendiri juga tidak paham, tidak terbaca dalam mantranya.”
“Tidak menjadi soal, asal dia tidak melakukan keributan di jalan. Tapi, masih makan dan minum kan?”
“Kalau masalah itu dia lebih disiplin”
“Mungkin dia masih ingat Jogja dengan kawan-kawannya. Biarin saja, mereka sudah dewasa mencari jalan kehidupannya sendiri.”
Malam itu terdengar suara tangisan bayi miskin dari tetangga sebelah. Suara-suara itu semakin lama tidak terdengar dengan jelas sebab tembok rumahnya sudah memberi teritori antara dunia realis dan surealis. Rumah itu berdiri megah, rencana kolam renang akan dibuat dengan keramik dari Bali. Desain arsiteknya sama seperti beberapa hotel di Bali dengan desain modern. Kesannya lebih pada kebudayaan Bali dengan modernisme.
Pagi itu empat Desember. Kota Dili masih seperti biasa bergerak dengan segala rutinitasnya. Suamiku buru-buru pergi ke kantor. Katanya ada rapat penting pagi ini. Supir pribadi mengantar anak-anak ke sekolah. Saya tinggal di rumah dengan pembantu. Pagi itu saya memutuskan tidak pergi belanja, duduk di ruang tamu menonton sinetron Indonesia. Kadang-kadang melihat hp ku, siapa tahu ada sms yang masuk dari tetangga sebelah ngajak bicara kesuksesan suami atau membahas gosip yang lagi panas di media.
Kunyalakan televisi pesanan dari Surabaya beberapa bulan yang lalu. Menikmati kesendirianku dengan teh dicampur susu segar seperti sarapan pagi orang barat. Semua kesuksesan dalam kehidupan kami atas kerja keras suamiku. Saya sebagai ratu dalam rumah ini, walaupun tidak tamat SMA sebab mengandung anak pertama suamiku pada zaman Indonesia. Itu masa lalu. Buktinya, apa lagi yang masih kurang. Bahkan kecantikanku juga tidak kalah menarik dengan artis-artis Indonesia. Kecantikan itu kan dilihat dari penampilan, lihat saja Madonna, wanita modern. Dan setiap perempuan adalah Madonna.
Tiba-tiba sms masuk tanpa nama. Dengan pesan: ganti stasiunmu.
Saya ikut saja pesan itu, seolah-olah memberitahu bahwa ada lagi yang tercatat dalam sejarah. Saya pencet remote control, suara-suara protes keras terdengar di jalan-jalan. Kota Dili di sambut kobaran api, langit berubah menjadi hitam, warna aspal berubah menjadi merah darah manusia. Dari laporan lain, ribuan penduduk terpaksa meninggalkan rumah mereka. Dili yang tenang berubah menjadi kota hantu. Anak-anak muda saling mengejar, membunuh. Nyawa manusia tidak ada harganya. Polisi, tentara, dan masyarakat sipil dipersenjatai untuk saling membunuh. Tidak jelas siapa yang menjadi musuh dan perang ini untuk siapa. Setiap orang dalam amarah, ketakutan. Senjata memuntahkan pelurunya mencari sasaran seperti hujan di bulan Desember. Setiap wilayah sudah diblokir anak muda dengan senjata tradisional. Wartawan lokal tiarap. Dari siaran radio independen kantor stasiun televisi nasional mulai dibakar. Pasukan internasional juga tidak berkutik, kehadiran mereka hanya simbol yang tidak ada artinya.
Saya panik dalam ketakutan, menelepon supir pribadi tetang keadaan anak-anak. Menurut laporan sopir pribadi, mereka sedang mengungsi di asrama susteran Balide. Hati menjadi tenang. Suara hp saya berdering lagi dengan nama suamiku Abilio. Tapi suara itu putus-putus dan tidak jelas. Saya menjadi ragu terhadap nasib suamiku. Mencoba menelepon Helder tapi hpnya tidak diaktifkan.
Dari laporan jurnalis, pesan dari bapak presiden: “Masyarakat tetap tenang dalam rumahnya masing-masing. Keamanan ada di tangan saya, sebentar lagi pasukan dari Australia akan datang menetralkan situasi dan konflik. Sekali lagi masyarakat khususnya di kota Dili jangan panik.”
Sementara pusat pembelanjaan favoritku Hello Mister dirampas dan dimakan si jago merah. Kantor parlamen dirampas dan dibakar, mobil-mobil UN tamat sudah riwayatnya. Suara teriakan di jalan semaking jelas: revolusi sampai mati, anti kapitalis, anti imperialis. Spanduk-spanduk tertulis: boikot produk asing dengan huruf kapital. Adili koruptor negeri ini. Hidup rakyat Maubere. Wajah para demonstran tertutup dengan masker seperti gerilyawan Zapatista dari Meksiko. Poster-poster kamrad Nino Konis Santana dan Nikolau Lobato menjadi komandan barisan depan para demonstran. Rapatkan barisan, kaum buruh bersatu melawan hegemoni kapitalis. Hidup kamrad Nino Konis Santana, Hidup Nikolau Lobatu. Dalam orasi salah seorang demonstran.
Kameramen mulai mengganti fokus. Wajah orator demonstran di close up sepertinya dialah komandan para demonstran. Saya tidak kenal wajahnya dengan jelas, bahkan suaranya sekalipun. Anak siapa itu berani sekali melawan, pengikutnya mendengarkan suara dia, bukan presiden. Membakar kota ini kembali menjadi abu. Tiba-tiba sebutir peluru datang tidak tahu dari arah mana mengakhiri nyawa anak muda itu. Semua demonstran panik berlari mencari keselamatan masing-masing. Hanya beberapa teman datang menolongnya, kamera masih fokus ke arah wajahnya yang mulai dingin dengan kematian. Darah terus berceceran seperti anak sungai, membuka maskernya yang beberapa menit lalu tertutup. Ia sempat mengeluarkan ucapan: maafkan anakmu Ibu, anakmu sudah mencari jalannya sendiri.
Saya teriak dalam histeris, menangis dengan suara keras. Anakku sudah mati, anakku sudah mati. Bajingan mana yang begitu tega membunuh anakku, biadab, anjing. Apa kesalahan anakku. Saya sudah mulai gila, kurobek-robek pakaianku yang mewah. Saya melihat kematian anakku secara live di telivisi. Pembantuku datang mencoba menetralkan amarah, emosi, tetap tidak bisa. Saya hanya dalam teriakan memanggil-manggil nama anakku selama beberapa jam saya terjatuh dan pingsan.
Setelah dikebumikan dengan tradisi ketimuran, kawan-kawan demonstrannya datang dengan wajah ditutup masker. Mereka semua berpakaian hitam. Seorang perempuan muda tanpa masker membaca beberapa kalimat dalam teks tertulis: kematianmu adalah tuntutan kami, kematianmu bukan berarti matinya revolusi. Selamat jalan pahlawanku, kami akan terus memperjuangkan idealisme yang kamu ajarkan. Hidup rakyat, hidup revolusi.
Dua bulan kemudian saya masih trauma dengan kejadian itu. Sebuah kematian yang tidak wajar tentunya berat bagi hati seorang ibu, keluarga dan tentu kawan-kawan seperjuangannya. Saya mulai menjadi insomnia, terkurung sendiri dalam kamarku. Mendengar suara televisi saya belum bisa. Saya memilih anti televisi. Seperti teriak anakku: anti kapitalis, imperialis, walaupun saya tidak paham banyak, soalnya saya bukan anak sekolahan. Kenapa semua berlalu dengan sangat cepat. Siapa yang bertanggung jawab atas semua kejadian ini. Apakah negara, lembaga-lembaga lain. Sampai detik ini belum ada jawaban yang pasti. Tidak ada yang mampu mencatatnya bahkan wartawan sekalipun, apalagi mahasiswa.
Sementara saya tidak tahu keberadaan suamiku. Dari kabar burung yang saya dengar ia keluar dari bandara bersama orang asing pergi ke Bali waktu situasi lagi panas. Sampai hari ini tidak ada kabar dari dia. Kematian anaknya pun tidak hadir. Suami yang tidak memiliki hati nurani dan tidak bertanggungjawab terhadap keluarganya. Akhirnya saya juga tahu permainannya yang sangat cantik. Ia telah menikah dengan artis Indonesia dan mengganti kewarganegaraannya. Pada mulanya sedih, sempat jatuh pingsan, marah, dendam tapi pada siapa. Aku harus mampu menghadapi tantangan ini apapun resikonya dengan dua putriku, benih dari suami yang tidak memiliki prinsip.
Sebelum kematiannya, anakku sendiri mengunci pintu kamarnya. Saya melarang siapapun masuk ke dalam kamar anakku, bahkan wartawan sekalipun yang ingin mengambil biografi almarhum. Sebagai seorang ibu saya mulai hadir di kamarnya. Saya terbawa memori dulu selalu memanggil nama kecilnya Latu latu. Tapi tidak ada suara dari dalam. Semua menjadi bisu dalam waktu yang lama. Saya menangis sebelum pintu kubuka dengan kekerasan.
Di atas meja belajarnya banyak buku-buku tertumpuk dengan rapi. Buku lebih banyak dari pakaiaannya. Poster-poster artis Indonesia ia copot yang tertinggal hanya Dian Sastro Wardoyo. Beberapa kertas folio cetak, kumpulan artikel, puisi, dan cerpen. Novel dan buku ilmiah gudangnya ada di sini. Sepulang dari Jogja saya bahkan tidak tahu di sini banyak buku. Di samping kiri tempat tidurnya ada novel Bumi Manusia, majalah BASIS. Beberapa film-film dokumenter. Ini membuktikan bahwa sebelum ia tidur ia selalu membaca. Sebuah laptop di atas mejanya tanpa pasword. Ada tulisan di pintu lemari: kata lebih tajam dari pelurh. Tapi pelurh telah mengakhiri hidupnya.
Kini dia sudah tiada, hanya meninggalkan pertanyaan yang belum terjawab. Siapa yang akan melanjutkan tulisannya tentang negeri ini. Ibunya, adik-adiknya. Saya jadi ingat, setiap perempuan adalah Madonna. Berarti setiap orang adalah penulis dengan kreatifitasnya sendiri. Saya baru sadar bahwa anakku adalah penulis, penulis yang dibunuh sebuah rezim. Kami meninggalkan rumah yang mewah itu pergi ke kampung halaman sebab pemerintah telah menganti sistem menyita harta suamiku termasuk mobil, rumah sekalian isinya. Saya bicara pada menteri hukum dan keadilan. Ambilah isi dalam rumah ini untuk kepentingan negara dan masyarakat, akan tetapi ijinkan saya membawa buku-buku anakku pergi ke kampung.
Kini aku hidup di kampung dengan orangtuaku. Membantu mereka pergi ke ladang. Membuka usaha jualan, mengajar anak-anak yang putus sekolah, membuat perpustakaan kecil. Anak-anak muda di kampung mulai rajin datang, membaca buku, majalah dan diskusi tentang buku yang telah dibaca. Mereka juga mulai menulis kisah mereka dalam keluarga dengan pena.
Dua puluh tahun kemudian saya pergi ke Dili melihat rumah mewah yang pernah ada dalam hidupku. Seluruh bangunan masih utuh hanya corak warna putih diganti menjadi kuning keemasan. Saya berjalan-jalan kecil di sekitarnya dengan maksud baik melihat lingkungannya. Penghuninya orang Eropa dengan istri pribumi. Saya tahu kehidupan mereka dari film dokumenter televisi nasional tentang kesuksesan mereka di dunia bisnis. Dua wajah pribumi dengan senjata lengkap berdiri di depan pintu masuk dengan wajah tidak ramah lingkungan. Bertanya soal masyarakat yang pernah tinggal dekat rumah itu, tidak ada yang tahu keberadaan mereka. Kini, lingkungan itu telah diganti nama menjadi daerah elit. Saya mulai sadar bahwa tempatku bukan di sini.
28 september 2009
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Ginandjar Wiludjeng
A. Junianto
A. Kurnia
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.S Laksana
A’yat Khalili
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Razak
Abdul Rosyid
Abdul Wahab
Abdurrahman Wahid
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adam Chiefni
Ade P. Nasution
Adhitia Armitriant
Adi Prasetyo
Adrizas
AF. Tuasikal
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Baso
Ahmad Faishal
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Naufel
Ahmad Rofiq
Ahmad S. Zahari
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ainul Fiah
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Alex R. Nainggolan
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Almania Rohmah
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aminah
Aminullah HA.Noor
Amir Sutaarga
Anam Rahus
Anata Siregar
Andari Karina Anom
Andina Dwifatma
Andong Buku #3
Andre Mediansyah
Andri Awan
Anett Tapai
Anggie Melianna
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Wahyudi
Anwar Nuris
Ardi Bramantyo
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Joko Wicaksono
Arief Junianto
Ariera
Arif Bagus Prasetyo
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Asmaul Fauziyah
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Wulan Sari
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Camelia Mafaza
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Daisuke Miyoshi
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Danusantoso
Dareen Tatour
Darju Prasetya
David Kuncara
Denny Mizhar
Denza Perdana
Desi Sommalia Gustina
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewi Indah Sari
Dewi Susme
Dian Sukarno
Didik Harianto
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur
Dipo Handoko
Diyah Errita Damayanti
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddy Wisnu Pribadi
Dody Kristianto
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi SS MHum
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Wiyana
Dyah Ratna Meta Novia
Dyah Sulistyorini
Ecep Heryadi
Eddy Pranata PNP
Edeng Syamsul Ma’arif
Eep Saefulloh Fatah
EH Kartanegara
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Hendri Saiful
Eko Windarto
Elnisya Mahendra
Elva Lestary
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Sulwesi
Endo Suanda
Eppril Wulaningtyas R
Esai
Evan Ys
F. Moses
F. Rahardi
Fadlillah Malin Sutan
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Febby Fortinella Rusmoyo
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Gabriel Garcia Marquez
Galang Ari P.
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Ganug Nugroho Adi
Gerson Poyk
Ghassan Kanafani
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunoto Saparie
H.B. Jassin
Habibullah
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Hardi
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
HE. Benyamine
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Herman RN
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Nugroho
Hikmat Gumelar
HL Renjis Magalah
Hudan Nur
Hujuala Rika Ayu
Huminca Sinaga
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ira Puspitaningsih
Irfan Budiman
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Zulkarnain
Ismail Marzuki
Iva Titin Shovia
Iwan Kurniawan
Jabbar Abdullah
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D. Rahman
Jamal T. Suryanata
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
JILFest 2008
Jody Setiawan
Johan Edy Raharjo
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Juan Kromen
Julika Hasanah
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Ka’bati
Karanggeneng
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Keith Foulcher
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khoirul Inayah
Khoirul Rosyadi
Khudori Husnan
Ki Ompong Sudarsono
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
L.N. Idayanie
Laili Rahmawati
Lamongan
Lan Fang
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lucia Idayanie
Lukman A Sya
Lutfiah
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Ismail
M Thobroni
M. Afifuddin
M. Arwan Hamidi
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Luthfi Aziz
M. Nurdin
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.S. Nugroho
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahmud Syaltut Usfa
Mahmudi Arif Dahlan
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Martin Aleida
Maruli Tobing
Mas Ruscita
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni Muserang
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mia Arista
Mia El Zahra
Mikael Johani
Misbahus Surur
Misran
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
Much. Khoiri
Muh. Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun
Muhammadun AS
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mukti Sutarman Espe
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Munawir Aziz
Musfarayani
Musfi Efrizal
Nafisatul Husniah
Nandang Darana
Naskah Teater
Nelson Alwi
Ni Made Purnamasari
Nikmatus Sholikhah
Nina Herlina Lubis
Nina Susilo
Ning Elia
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel-novel berbahasa Jawa
Novelet
Nunuy Nurhayati
Nur Azizah
Nur Hamzah
Nur Kholiq
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Aini
Nurul Anam
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Okty Budiati
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso H.N.
Pagan Press
Pagelaran Musim Tandur
Palupi Panca Astuti
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Petrus Nandi
Politik
Politik Sastra
Pradana Boy ZTF
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringadi AS
Prof Dr Fabiola D. Kurnia
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Puji Tyasari
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
Purnawan Kristanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Ng. Ronggowarsito
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmat Kemat Hidayatullah
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rasanrasan Boengaketji
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Resensi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Ririe Rengganis
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rusmanadi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saiful Amin Ghofur
Saiful Anam
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman S. Yoga
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang KSII
Santi Puji Rahayu
Sapardi Djoko Damono
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Jawa Timur
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputra
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sri Weni
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugi Lanus
Sukron Ma’mun
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaf Anton Wr
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syarif Wadja Bae
Sylvianita Widyawati
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie (1961-2019)
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tia Setiadi
Tirto Suwondo
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tosa Poetra
Tri Nurdianingsih
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulul Azmiyati
Umar Fauzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Utari Tri Prestianti
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wan Anwar
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wina Bojonegoro
Wita Lestari
Wong Wing King
Wowok Hesti Prabowo
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopi Setia Umbara
Yudhi Herwibowo
Yudi Latif
Yusri Fajar
Yusuf Ariel Hakim
Yuval Noah Harari
Zacky Khairul Uman
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zed Abidien
Zehan Zareez
Zhaenal Fanani
Zubaidi Khan
Zuniest
Tidak ada komentar:
Posting Komentar