Joni Ariadinata
http://joniariadinata.wordpress.com/
Karena bukan cerita fiksi, maka tidak mungkin Haji Jupri kawin dengan Marsiti. Tapi entah kenapa, kisah ini kemudian berkembang menjadi ruwet. Bahkan, menjadi bahan perdebatan tak habis-habis di warung-warung, tegalan, pasar, hingga masjid. Mulanya sih hanya iseng. Suatu hari Pak Haji tanya pada Kang Sirin, “Apa kamu punya bibit yang bagus, Rin?” katanya. Tentu, Pak Haji memang paling akrab dengan Kang Sirin. Bukan hanya karena Kang Sirin adalah langganan becaknya selama bertahun-tahun, tapi karena ketulusan dan keriangan Kang Sirin yang membuat Pak Haji betah.
“Kebetulan punya, Pak Haji. Betul lho, yang ini pasti sip. Saya bisa mintakan fotonya.”
Pak Haji tertawa. Nah, dari sinilah keruwetan cerita sebenarnya sedang dimulai.
Kang Sirin telah hampir sepuluh tahun berkeliling di atas becaknya. Mengantar para langganan, terutama para pedagang di Pasar Kecamatan. Seperti halnya Pak Haji, para langganan rata-rata betah ngomong-ngomong dengan Kang Sirin. Mungkin lantaran ia gesit, atau Kang Sirin memang selalu berpakaian bersih, gampang disuruh, ataukah sifat Kang Sirin yang (meskipun tak lulus SD, tak bisa baca huruf latin) tapi selalu dengan wajah riang bisa mengimbangi omongan apa pun. Nah, tentu, dari berbagai “pengetahuan” omong-omong beragam langganan itulah, maka sumber informasi Kang Sirin semakin beragam dan berkembang. Kalau tidak percaya, cobalah datang ke Pasar Kecamatan. Jika ada tukang becak dengan pakaian bersih, yang hapal nyaris seluruh gang di delapan desa, bahkan hapal hampir seluruh nama (mungkin watak orang-orangnya) maka itulah Kang Sirin!
Nah, tiga minggu berselang itulah, ia mendapat langganan baru, yang membuatnya nyambung dengan maksud Pak Haji. Langganan baru itu bernama Marsiti. Tinggal di Desa S., dan konon dia adalah pindahan dari Kota B. Lha kok ya kebetulan, Marsiti juga ngomong hal yang sama. Ia ingat persis ketika itu Marsiti juga bergurau, “Kang Rin, mungkin enak ya kalau punya suami haji?”
“Yang bener, Mbak Mar. Apa Mbak Mar belum punya suami?”
“Ah, siapa yang mau bersuamikan aku, Kang?”
“Lho, Mbak Mar itu cantik kok,” Kang Sirin tertawa. “Maksud saya, ada yang top lho. Tapi duda.”
“Siapa?”
“Haji Jupri.”
“Haji Jupri yang terkenal itu? Wah, ya jangan. Ada-ada saja.”
“Eh, siapa tahu jodoh. Omong-omong, kenapa Mbak Mar cari yang haji?”
“Entahlah. Kang Sirin ini, aku cuma guyon. Awas lho kalo bilang-bilang. ?Kan malu.”
“Ya enggak lah. Dijamin pokoknya. Tapi omong-omong, apa Mbak Mar serius nih?”
“Nggak. Cuma guyon, bercanda! Sungguh.”
Tapi siapa ngira, dari semula cuma bercanda, akhirnya berkembang menjadi rumit? Ini lantaran Kang Sirin merasa nyambung. Merasa klop. Saat Pak Haji bilang tentang bibit, mengeluh tentang perempuan, maka ia langsung bertindak dengan gesit. Nyamperin Marsiti, ngasih penjelasan ini-itu, lalu pinjem fotonya yang paling bagus. Marsiti memang cantik. Tentu saja semula Marsiti menolak, “Apa Pak Haji tahu tentang saya? Saya takut, Kang Sirin. Sungguh.”
“Pokoknya beres. Saya nanti yang akan meyakinkan Pak Haji. Dia orangnya baik. Pokoknya tidak bakal ngecewakan. Sudahlah Mbak Mar. Percaya sama saya,” dengan gayanya yang yakin Kang Sirin setengah memaksa. Tapi siapa sih, perempuan yang menolak usul buat dilamar Pak Haji? Satu hal, Pak Haji Jupri adalah orang terkaya di Desa L., hal lain tentu saja ia duda, terkenal pengajiannya ke mana-mana, dan dikenal berwajah ganteng. Meskipun tentu saja ia sudah sepuh, sudah tua dengan banyak cucu. Tapi kalau kebetulan jodoh, apa mau dikata?
“Jadi, betul Pak Haji tahu tentang saya, Kang Sirin?”
“Beres. Pokoknya biar saya yang jelaskan.”
Kang Sirin percaya. Marsiti pasti baik. Ia tak perlu menyelidikinya lebih jauh. Yang jelas ia cukup cantik, sopan, dan tidak kikir. Amat pas jika nyambung dengan Pak Haji. Lalu kenapa Marsiti takut? Ah, Kang Sirin hanya tertawa. Pastilah semua wanita akan segan dengan Pak Haji. Makanya Marsiti takut.
***
Lalu kenapa akhir kisah yang sesungguhnya cantik dan mulia ini menjadi rumit? Ini dimulai oleh satu lemparan batu pada kap becak Kang Sirin. Betul-betul satu batu, yang melayang, dan hampir membentur kepala Kang Sirin. Kalau saja ia tidak bernasib baik, entah bagaimana nasib Kang Sirin selanjutnya. Persoalannya bukan batu yang melayang, tapi kenapa tiba-tiba ada orang yang melemparkannya, dan itu dilakukan dengan terang-terangan? Di depan pasar, di mana banyak orang yang menyaksikan!
Desas-desus perjuangan Kang Sirin membuat banyak orang menjadi marah. Kang Sirin baru tahu bahwa tidak setiap kebaikan dibalas dengan hal-hal baik. Kebaikan Kang Sirin, dan ketulusannya berjuang untuk menyambungkan Pak Haji, ternyata berbalik menjadi kengerian. Bisa dibayangkan, jika tiba-tiba saja banyak langganan yang cemberut lalu cabut pindah becak lain. Bukankah itu mengerikan? Kang Sirin seumur-umur tidak pernah diperlakukan orang seperti menghadapi barang najis. Kenapa bisa Kang Sirin menyimpulkan bahwa dirinya dianggap najis? Karena orang yang pertama kali melempar batu itu bilang, “Kamu anjing!”
“Menjijikkan!”
“Kafir!”
Anjing? Menjijikkan? Kafir…. Benar-benar mengerikan. Dan orang-orang memang benar-benar memandang jijik. Kang Sirin tetap tak bisa menyimpulkan. Berhari-hari ia cuma melongo. Akhirnya tak berani keluar rumah. Tak berani narik becak. Bahkan, selentingan ia mendengar, orang-orang bakal mengepung rumah Kang Sirin. Subhanallah.
Apa dosa Sirin?
Padahal, tadinya ia cuma mau nolong. Kasihan Pak Haji. Semenjak ditinggal mati istri, ia jadi sepi. Bukankah menolong itu, kata orang tua, juga pekerjaan mulia? Dan kalau yang ditolong itu lantas memberi rezeki, jangan ditolak. “Menolak rezeki itu ndak baik, Rin,” begitu kata kakeknya dulu.
Kang Sirin menganggap Pak Haji orang susah. Sungguh, ia sering mendengar sendiri kesusahan Pak Haji. Setiap kali mengantar sehabis jualan di pasar, ia bilang, “Susahnya kalau orang sudah terlanjur dihormati, Rin. Mau minta tolong carikan istri, bilang ini dan itu, rasanya risih. Jangan-jangan malah dianggap lucu. Disangkanya kalau sudah haji, jadi imam di masjid, diundang ke sana ke mari, sudah sempurna begitu? Aku ini ya laki-laki normal lho Rin…. (Jangan bilang-bilang ya? Nanti dikiranya ndak tabah, repot jadinya). Dipikir-pikir, kok ya mendingan kamu lho Rin. Bebas cari-cari informasi, tanya-tanya, ke sana ke mari, ndak mungkin ada orang cerewet. Anak-anak lagi, sudah gede, sudah pada berumah tangga, kok ya maunya menangan terus. Ada yang bilang malu, ngisin-ngisini, malah yang bungsu bilangnya ndak jelas. Macem-macem lah Rin!”
Sudah jelas ?kan? Kalau orang semacam Kang Sirin saja tiba-tiba bisa jadi tumpuan keluhan Pak Haji, bukankah itu satu anugrah? Sedang Pak Haji orang yang paling terhormat. Amat mulia jika Kang Sirin bisa menolong. “Kang Sirin” lho, bukan Pak Soleh, Wak Katib, atau Lik Zaini yang dikenal orang sebagai ustaz. Nah, karena Kang Sirin tahu dan akrab dengan Marsiti, lalu memandang Marsiti itu baik, apa salahnya menawarkan Marsiti? Toh, kalau Pak Haji tidak mau ya tidak apa-apa. Kang Sirin tidak akan maksa. Edan po? Kang Sirin kok bisa memaksa Pak Haji. Jelas ndak mungkin. Tapi kini, Kang Sirin merasa dipentung kiri kanan.
“Aneh ya Pak Haji itu. Minta tolong malah sama tukang becak. Lantas, kita-kita yang pinter ini dianggap apa? Coba kalau terus-terang sama kita, bisa rame-rame ?kan dicarikan yang bagus, yang pantas. Bukan Marsiti.”
“Melihatnya saja sudah muntah.”
“Sirin saja yang goblok. Sudah enggak bisa baca, kere, eeee mau macem-macem. Kafir!”
“Betul Wak, harus dikasih pelajaran. Wong gendeng, orang gila, mudah-mudahan disamber gledek.”
“Ialah Gusti Allah ngasih cobaan sama Pak Haji. Padahal, apa sih kurang baiknya Pak Haji? Kok sama Sirin saja ketipu.”
“Ini pasti ada dalangnya. Ndak mungkin kalau hanya inisiatif Sirin. Aku menduga kalau ndak kelompok haji mbelgedes Kampung Ciparay ya pasti kelompok Jamaah Pangoragan yang zikirnya jingkrak-jingkrak itu. Mereka sengaja membuat jebakan untuk menjatuhkan kewibawaan Pak Haji. Pokoknya hal ini harus diselidiki hingga tuntas. Aku ndak terima Kampung kita dipermalukan.”
“Kuncinya ya Sirin itu.”
“Digebuk saja. Sekalian beres. Kepalang tanggung!”
***
“Orangnya cantik ?kan, Pak Haji? Kulitnya putih. Tidak gemuk tidak kurus. Orangnya ramah, juga sopan.”
“Punya anak tidak Rin?”
“Tidak Pak Haji. Suaminya dulu meninggal muda. Pokoknya sip Pak Haji, orangnya juga baik.”
“Syukurlah kalau tidak punya anak. Itu yang diharapkan. Sedikit berumur tak apa. Yang penting rumah ada yang ngurus. Tidak terlalu repot kalau habis jualan di pasar. Tapi, o ya, kira-kira apa dia mau dikerudung?”
“Mungkin mau Pak Haji. Dia juga salat kok.”
Kang Sirin mesam-mesem ketika diselipi uang lima puluh ribu. Tak baik menolak rezeki meskipun besar. Hanya ditemani Pak Kadir, kerabat jauh Pak Haji yang amat dipercaya, mereka bertiga berangkat melamar. Tak perlu ribut-ribut. Dan pada hari berikutnya, Kang Sirin ikut jadi saksi. Seumur-umur jadi manusia, pada kali itulah Kang Sirin bisa merasa jadi orang penting.
Daldiri, anak Pak Haji paling bungsu yang masih SMA, malah menolak ketika diajak:
“Mau ikut ke Sindang tidak Ri?”
“Wah, besok ulangan je, Pak!” Daldiri sama sekali tak terpikir kalau hari itu bapaknya kawin. Biasanya, paling banter hanya mengisi pengajian. Sehari setelahnya, ketika Pak Haji tiba-tiba membungkusi pakaian, barulah Daldiri heran sembari tanya, “Mau ke mana sih Pak?”
“Kemarin kamu diajak tidak mau. Bapak sudah kawin, Le.”
Kawin? Itulah yang membikin Daldiri blingsatan, geger. Dalam situasi gawat semacam itu, Daldiri lari ke sana ke mari. Tilpun ke sana ke mari. Lapor pada ketiga kakaknya: Magelang, Solo, dan Temanggung. Jam tiga dini hari, mereka semua berdatangan dan langsung menuju Sindang. Pengantin lelaki diculik! Tanpa ampun. Digeret. Dipaksa untuk ikut. Di Pesantren Bambu Kuning Temanggung, anak-anak langsung mengepung dan menginterogasi. Menyemburkan seluruh kekecewaan, penyesalan, dan keberatan-keberatan yang tak boleh dibantah!
“Yang betul saja tho Le kalau njemput itu. Bikin geger dan kecewa.”
“Justru Bapak itulah yang gak bener. Sudah tua kok ya kurang waskita. Kurang pertimbangan. Asal tangkap tanpa perundingan. Mbok ya ngasih kabar atau gimana, apa sih susahnya? Begini-begini juga anakmu itu dihargai, dihormati. Coba kalau kedengaran santri-santriku di pesantren ini, apa ya ndak memalukan? Bikin lebih geger? Pokoknya tidak ada alasan, detik ini juga harus dicerai! Saya carikan yang bagus. Yang pantas. Yang iman. Kawin kok sama lonte.”
Jangankan Pak Haji, Kang Sirin saja yang jadi pusat cerita tidak tahu kalau Marsiti itu bekas lonte. Ia kenal dan akrab sama Marsiti karena juga langganan becak. Malah kalau dihitung-hitung, ya Marsiti itulah langganan luar kampungnya yang paling jauh. Makanya kalau banyak orang memaki, Kang Sirin sesungguhnya ndak terima. Demi Allah Kang Sirin tidak bermaksud menjerumuskan Pak Haji. Kang Sirin saja barangkali, jika ketemu Marsiti sekarang, kepingin rasanya meludah. Memaki-maki Marsiti dengan kata-kata setan dan najis seperti yang diucapkan orang-orang. Tapi entah bagaimana alur dan konflik ceritanya, akhir-akhirnya Kang Sirin kok yang malah jadi suka sama Marsiti.
***
Konon, menurut data-data yang bisa ditelusuri, Kang Sirin memang bukan tipe orang cerdas. Pada suatu hari Kang Sirin ketemu Marsiti berwajah pucat, berbadan kurus, dan selalu batuk-batuk. Betul-betul amat berubah, sehingga membuat Kang Sirin pangling. Tapi begitu yakin bahwa itu Marsiti, sontak ia ingin meludah. Memaki Marsiti dengan kata-kata “kamu anjing” seperti yang hingga sekarang diucapkan orang-orang pada dirinya. Bahkan ingin Kang Sirin menggampar muka Marsiti dengan batu.
Tapi Marsiti malah belum-belum sudah nangis. Entah rayuan gombal, entah elusan iblis, yang jelas iman Kang Sirin bergetar. Ia tiba-tiba menjadi iba. “Kang Sirin”‘ lho, bukan Pak Soleh, Wak Katib, atau Lik Zaini yang dikenal sebagai ustaz. Bukan lagi makhluk berwujud Kang Sirin kalau melihat adegan yang begitu dramatis itu tidak langsung jadi tragis. Tiba-tiba ia ingin ikut menangis. Dan sejak pertemuan itulah hati Kang Sirin selalu berdesir dan berpikir. Barangkali inilah yang disebut cinta? Entahlah. Yang jelas semua orang semakin jijik jika bertemu Kang Sirin. Semua orang berpikir, kok masih ada orang bebal yang oleh Tuhan dibiarkan hidup? Sudah jelas ditipu, masih sempat-sempatnya berpikir menolong.
“Apakah kalau lonte tobat, tidak boleh kawin?” begitu kata Marsiti. “Bukan berarti setiap lonte tobat itu selalu naik pangkat menjadi germo. Sudah lima tahun Siti berhenti jualan daging begituan. Karena tobat itu bisa tenang kalau Siti kawin, maka Siti kepingin kawin. Siti emoh kawin sama gento. Kawin juga harus dengan orang baik, biar Siti ikut baik. Sukur kalau suami Siti bisa ngaji, biar Siti bisa belajar ngaji. Makanya…,” Marsiti berhenti. Menyusut air mata, “Datangnya tawaran Pak Haji ibarat laron ketemu petromaks. Siti mengira itulah jawaban dari doa-doa tahajud Siti yang tak pernah berhenti untuk meminta. Meminta jadi orang baik. Meminta jodoh yang baik. Siti tak nyangka kalau ternyata akibatnya bisa dikutuk, dipisuh, disebut setan. Dulu banyak orang yang masih memaklumi Siti. Tapi kini….”
Kini Kang Sirin yang bengong. Kini Kang Sirin jadi punya pikiran sakit karena dirinya juga disebut setan. Kalau setan memang harus ketemu setan, mau apa lagi? Jelas setan yang satu ini butuh pertolongan.
“Jadi Mbak Siti ingin bisa mengaji? Dulu Kakek Kang Sirin juga mengajar ngaji. Dan Kang Sirin belajar mengaji di tempat Kakek. Kang Sirin bisa baca Alquran. Itu semua yang diajarkan Kakek Kang Sirin. Kini Kakek Kang Sirin sudah meninggal dunia. Jadi….” Jadi beruntunglah Kang Sirin dulu punya kakek dengan ilmu-ilmu yang baik. Beruntunglah Kang Sirin menjadi santri yang mengerti.
Bayangkan, jika Kakek Sirin dulu sekolah, mungkin sudah dikenal jadi orang pandai. Pandai mengajar, jadi kiai atau setidaknya guru. Jika Kakek Sirin dulu kaya, mungkin sudah jadi haji. Karena haji, maka Kakek Sirin yang jadi imam di mesjid. Seperti Haji Jupri.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Selasa, 07 Desember 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Ginandjar Wiludjeng
A. Junianto
A. Kurnia
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.S Laksana
A’yat Khalili
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Razak
Abdul Rosyid
Abdul Wahab
Abdurrahman Wahid
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adam Chiefni
Ade P. Nasution
Adhitia Armitriant
Adi Prasetyo
Adrizas
AF. Tuasikal
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Baso
Ahmad Faishal
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Naufel
Ahmad Rofiq
Ahmad S. Zahari
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ainul Fiah
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Alex R. Nainggolan
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Almania Rohmah
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aminah
Aminullah HA.Noor
Amir Sutaarga
Anam Rahus
Anata Siregar
Andari Karina Anom
Andina Dwifatma
Andong Buku #3
Andre Mediansyah
Andri Awan
Anett Tapai
Anggie Melianna
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Wahyudi
Anwar Nuris
Ardi Bramantyo
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Joko Wicaksono
Arief Junianto
Ariera
Arif Bagus Prasetyo
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Asmaul Fauziyah
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Wulan Sari
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Camelia Mafaza
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Daisuke Miyoshi
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Danusantoso
Dareen Tatour
Darju Prasetya
David Kuncara
Denny Mizhar
Denza Perdana
Desi Sommalia Gustina
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewi Indah Sari
Dewi Susme
Dian Sukarno
Didik Harianto
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur
Dipo Handoko
Diyah Errita Damayanti
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddy Wisnu Pribadi
Dody Kristianto
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi SS MHum
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Wiyana
Dyah Ratna Meta Novia
Dyah Sulistyorini
Ecep Heryadi
Eddy Pranata PNP
Edeng Syamsul Ma’arif
Eep Saefulloh Fatah
EH Kartanegara
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Hendri Saiful
Eko Windarto
Elnisya Mahendra
Elva Lestary
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Sulwesi
Endo Suanda
Eppril Wulaningtyas R
Esai
Evan Ys
F. Moses
F. Rahardi
Fadlillah Malin Sutan
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Febby Fortinella Rusmoyo
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Gabriel Garcia Marquez
Galang Ari P.
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Ganug Nugroho Adi
Gerson Poyk
Ghassan Kanafani
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunoto Saparie
H.B. Jassin
Habibullah
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Hardi
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
HE. Benyamine
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Herman RN
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Nugroho
Hikmat Gumelar
HL Renjis Magalah
Hudan Nur
Hujuala Rika Ayu
Huminca Sinaga
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ira Puspitaningsih
Irfan Budiman
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Zulkarnain
Ismail Marzuki
Iva Titin Shovia
Iwan Kurniawan
Jabbar Abdullah
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D. Rahman
Jamal T. Suryanata
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
JILFest 2008
Jody Setiawan
Johan Edy Raharjo
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Juan Kromen
Julika Hasanah
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Ka’bati
Karanggeneng
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Keith Foulcher
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khoirul Inayah
Khoirul Rosyadi
Khudori Husnan
Ki Ompong Sudarsono
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
L.N. Idayanie
Laili Rahmawati
Lamongan
Lan Fang
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lucia Idayanie
Lukman A Sya
Lutfiah
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Ismail
M Thobroni
M. Afifuddin
M. Arwan Hamidi
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Luthfi Aziz
M. Nurdin
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.S. Nugroho
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahmud Syaltut Usfa
Mahmudi Arif Dahlan
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Martin Aleida
Maruli Tobing
Mas Ruscita
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni Muserang
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mia Arista
Mia El Zahra
Mikael Johani
Misbahus Surur
Misran
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
Much. Khoiri
Muh. Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun
Muhammadun AS
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mukti Sutarman Espe
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Munawir Aziz
Musfarayani
Musfi Efrizal
Nafisatul Husniah
Nandang Darana
Naskah Teater
Nelson Alwi
Ni Made Purnamasari
Nikmatus Sholikhah
Nina Herlina Lubis
Nina Susilo
Ning Elia
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel-novel berbahasa Jawa
Novelet
Nunuy Nurhayati
Nur Azizah
Nur Hamzah
Nur Kholiq
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Aini
Nurul Anam
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Okty Budiati
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso H.N.
Pagan Press
Pagelaran Musim Tandur
Palupi Panca Astuti
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Petrus Nandi
Politik
Politik Sastra
Pradana Boy ZTF
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringadi AS
Prof Dr Fabiola D. Kurnia
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Puji Tyasari
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
Purnawan Kristanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Ng. Ronggowarsito
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmat Kemat Hidayatullah
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rasanrasan Boengaketji
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Resensi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Ririe Rengganis
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rusmanadi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saiful Amin Ghofur
Saiful Anam
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman S. Yoga
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang KSII
Santi Puji Rahayu
Sapardi Djoko Damono
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Jawa Timur
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputra
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sri Weni
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugi Lanus
Sukron Ma’mun
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaf Anton Wr
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syarif Wadja Bae
Sylvianita Widyawati
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie (1961-2019)
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tia Setiadi
Tirto Suwondo
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tosa Poetra
Tri Nurdianingsih
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulul Azmiyati
Umar Fauzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Utari Tri Prestianti
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wan Anwar
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wina Bojonegoro
Wita Lestari
Wong Wing King
Wowok Hesti Prabowo
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopi Setia Umbara
Yudhi Herwibowo
Yudi Latif
Yusri Fajar
Yusuf Ariel Hakim
Yuval Noah Harari
Zacky Khairul Uman
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zed Abidien
Zehan Zareez
Zhaenal Fanani
Zubaidi Khan
Zuniest
Tidak ada komentar:
Posting Komentar