Dari Buku Baru hingga Pementasan Pulo Batu

Perayaan 85 Tahun Sitor Situmorang
Julika Hasanah
http://www.hariansumutpos.com/

Pria tua itu duduk tenang. Sekian pasang mata memandangnya takjub. Kharisma yang terpancar dari penyair kebanggaan Sumatera Utara, Sitor Situmorang, memang membuat pengunjung seakan terlena dengan suasana yang sangat jarang itu.

Ya, hari itu, Selasa (17/11), Sitor kembali ke Medan setelah sekian lama melanglang buana. Gedung Hermina Hall di Universitas Dharma Agung menjadi saksi kemunculan Sitor. Acara yang digagas ERASMUSHUIS, PLOT, Universitas Dharma Agung, dan Komunitas Bambu memang khusus untuk memperingati ulang tahun Penyair Danau Toba tersebut. Tak pelak, khalayak pun terhenyak dengan penyair yang kini berusia 85 tahun tersebut.

“Medan merupakan kota yang kedua, setelah sebelumnya telah dilaksanakan di Jakarta,” terang Ojax Manalu, seorang panitia yang ditemui di tengah acara tersebut.

Rangkaian acara dibuat sedemikian apiknya. Pada pukul 14.00 WIB pengunjung disuguhi pemutaran film yang menceritakan tentang karya dan kehidupan Sitor. Kemudian dilanjutkan dengan diskusi mengenai dunia Batak dan pementasan Pulo Batu yang merupakan karya dari Sitor.
Dalam acara tersebut, Sitor duduk pada baris kedua tepat di depan pentas, dengan mengenakan kemeja batik dan memegang tongkat. Di sekelilingnya terlihat orang-orang terdekatnya, dan tepat didepannya, duduk seorang wanita berkebangsaan asing, yang tak lain adalah istrinya, Barbara Brower. “Pada hari ini (Selasa lalu, Red) juga diluncurkan sebuah buku yang merupakan karya dari Sitor Situmorang sendiri, yang judulnya Menimbang Sitor Situmorang,” tambah Ojax.

Sejatinya, Sitor lahir di Harianboho, Samosir, Sumatera Utara, pada tanggal 2 Oktober 1923, dengan nama Raja Usu. Ayahnya adalah Ompu Babiat, yang berjuang melawan tentara kolonial Belanda bersama dengan Sisingamangaraja XII.

Sitor menempuh pendidikan di HIS di Balige dan Sibolga serta MULO di Tarutung kemudian AMS di Jakarta. Ia sempat berkelana ke Amsterdam dan Paris pada 1950 hingga 1952. Pada 1956-57 ia memperdalam ilmu sinematografi di Universitas California. Setelah keluar dari tahanan politik, ia tinggal di Leiden pada 1982 hingga1990, lalu Islamabad pada 1991.

Karirnya dimulai sebagai wartawan harian Suara Nasional di Tarutung pada tahun 1945, kemudian di harian Waspada Medan di tahun 1947, lalu Berita Indonesia, dan Warta Dunia Jakarta di tahun 1957. Ia juga pernah menjadi dosen di Akademi Teater Nasional Indonesia di Jakarta.
Semenjak tahun 1950-an karya-karya sastranya sudah mengalir ringan. Sitor pada tahun 1950-an itu pulang dari Eropa sebagai wartawan, lalu memutuskan berhenti dan bergiat sebagai sastrawan. Kumpulan puisi pertamanya terbit tahun 1953, diterbitkan oleh Poestaka Rakjat pimpinan Sutan Takdir Alisjahbana (STA).

Dia begitu hafal setiap karya puisinya. Malah, beberapa orang sahabat sesama sastrawan, seperti Arifin C Noor, WS Rendra, maupun sastrawan asal Madura Zawawi Imron, menyapanya dengan melafalkan petikan puisi karya Sitor sebagai sapaan salam.

Karya sastra Sitor yang lain adalah esai Sastra Revolusioner (1965). Karya inilah yang mengakibatkan Sitor Situmorang harus mendekam di penjara Gang Tengah Salemba (1967-1975), Jakarta tanpa proses peradilan. Ia dimasukkan begitu saja ke dalam tahanan dengan tuduhan terlibat pemberontakan. Selain karena isi esai Sastra Revolusioner sarat dengan kritik tajam, posisi mantan anggota MPRS ini ketika itu sebagai Ketua Umum Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) periode 1959-1965, sebuah lembaga kebudayaan di bawah naungan PNI, membuat rezim merasa berkepentingan untuk “menghentikan” kreativitas Sitor.

Kepada Sitor tak diizinkan masuk tahanan membawa pulpen atau kertas. Namun, walau berada dalam penjara Sitor tetap berkarya. “Tidak ada orang yang bisa melarang saya untuk menulis,” ucapnya.

Ia berhasil merilis dua karya sastra, yang berhasil ia gubah selama dalam tahanan, yakni Dinding Waktu (1976) dan Peta Perjalanan (1977). Kedua karya itu diluncurkan masih dalam status Sitor tidak bebas murni 100 persen sebab ketika kemudian dibebaskan, Sitor lagi-lagi harus menjalani tahanan rumah selama dua tahun. Sitor akhirnya memilih menetap di luar negeri, terutama Paris yang disebutnya sudah sebagai desa keduanya setelah Harianboho.

Maka, wajarlah sosok Sitor hari itu begitu membuat takjub khalayak. Tidak di Medan saja, yang notobene adalah daerahnya, di Jakarta pun Sitor mendapat sambutan hangat. Setidaknya, menurut budayawan Radhar Panca Dahana, yang menjadi narasumber diskusi di Jakarta, satu kelebihan Sitor Situmorang yang sulit sekali diraih oleh penyair mana pun adalah ruang waktunya. ”Bukan karena usia panjangnya yang kita peringati kali ini, tetapi lebih pada usia kepenyairannya yang dalam pemahaman apa pun mencapai kematangan paripurna, 60 tahun,” katanya.(*)