Kamis, 14 Oktober 2010

Laki-Laki Suami Dhanty

Wina Bojonegoro
http://sastra-bojonegoro.blogspot.com/

Awalnya sungguh manis. Sangat memacu adrenalin.

”Tunggu aku di pojok es krim seperti biasa, jam makan siang.” Tetapi pesan singkat melalui ponsel itu terlalu pagi, pada jam di mana biasanya ia masih berbasa-basi dengan istrinya. Apa yang bisa dilakukan oleh seorang yang sedang kasmaran selain menyambutnya dengan suka cita? Kebodohan atau naluri? Sama-sama tak mengenal batas. Manusia sering melupakan sebuah fakta bahwa hal-hal natural itu terkadang identik dengan kedunguan. Andai saja pada saat yang bersamaan akal sehat mampu berperan, memberi secercah cahaya di antara gelap gulitanya siang yang benderang.

Dengan lancangnya jari jemariku memencet huruf-huruf pada ponsel: ”Ok. Tak bisa menunggu lebih lama. Pesonamu terlalu cemerlang untuk kuabaikan.”

Sengaja kalimat binal itu kukirimkan, lelaki normal sepertinya pasti membutuhkan sesuatu untuk menariknya dari rutinitas yang membosankan. Percayalah! Tak ada satu pun lelaki yang tak menetes air liurnya ketika ada seorang perempuan, apalagi pacar gelap, menantangnya dengan gaya superbinal menggoda.

Keyakinan itu membuatku berjalan menyusuri trotoar di antara pohon-pohon angsana di mana kami sering melewatkan beberapa jenak dengan menikmati es potong atau es puter yang dijajakan tukang es dorong yang mangkal di sepanjang jalan itu. Romansa kami sungguh sangat sederhana. Menikmati jadah bakar dan wedang ronde di Alun-alun Jogja merupakan sebuah kemewahan, meskipun dia mampu membayar makan malam romantis di sebuah hotel bintang lima. Tetapi kami membuat semacam kesepakatan bahwa kindahan tidaklah berbanding lurus dengan kemewahan. Justru dalam hal-hal sederhana kami merajut keakraban dan menciptakan keintiman yang dalam. Beberapa orang di sekitarku mengatakan betapa bodohnya aku, meletakkan hati pada sebuah hubungan gelap tanpa mendapat imbalan setimpal. Apa peduliku? Ketika aku merasakan betapa indahnya hubungan kasih dua orang dewasa yang saling melengkapi, maka itulah klimaks sebuah ikatan cinta.

Pelayan menyambutku seperti biasa, mengerling dengan penuh arti pada sebuah sudut di mana kami biasanya menghamburkan tatapan mesra. Dia tak ada di situ, seperti biasa aku selalu mendahului. Aku orang yang efisien. Jika segala sesuatu bisa dimulai lebih awal maka haram hukumnya menjadikannya lebih lambat. Ketika semangkuk es krim vanilla telah menunggu dengan manis di atas meja, tiba-tiba mataku terpikat pada sebuah penampilan yang rasanya pernah mampir di kelopak mataku. Rambut ikal ala polwan, berat badan 67 berwarna kuning langsat itu ada di dompetnya, laptop-nya, juga di meja kerjanya.

Rasanya memang aku belum terlalu pikun untuk mengenali sosok nyata dari sebuah gambar. Memang dia. Dan dia berjalan ke arahku, dengan pandangan yang susah dijelaskan. Tanpa permisi ia menarik kursi di depanku lalu duduk dengan wajah menyimpan senyum kemenangan. Jantungku memang berdebar, tetapi perjalanan hidup yang lama telah mengajariku banyak hal, salah satunya bagaimana memainkan peran dalam sebuah adegan drama di panggung, atau membangun sebuah suasana bagi sekelompok orang yang tak punya tujuan hidup, lalu membayar beberapa ratus ribu dalam sebuah kelas yang diberi label: motivasi. Yes baby…sekarang saatnya bermain.

”Sayalah yang mengirim SMS tadi pagi.” Kami beradu pandang. Aku tersenyum sopan.

”Kenalkan, saya Dhanty…” Ia mengulurkan tangan, dan aku sambut dengan mantap layaknya calon klien yang akan menggunakan jasaku sebagai konsultan. Aku berdiri dari kursi, seperti adegan perkenalan profesional, tapi yang sebenarnya aku ingin mengukur tinggi tubuhnya, yang ternyata aku masih lebih tinggi dari dia. He he, tentu saja karena high heel yang kukenakan. Menurut telaah psikologi yang kupelajari, tinggi badan seseorang turut berperan dalam menentukan tinggi rendahnya kepercayaan diri.

”Saya Winda…”

”Saya tahu.”

”Terima kasih. Pesan sesuatu?”

Ia tak menjawab pertanyaanku, tetapi menjentikkan jemarinya ke arah seorang pelayan. Wow! Gayanya sungguh boleh, begitu anggun dia melakukannya. Aristokrat sejati, kentara dari cara dia mengangkat dagu dan memandang orang-orang di sekitarnya. Kulitnya kuning langsat dan mulus, ciri khas aristokrat yang melarang anak-anaknya terpanggang matahari atau lasak, sehingga coreng-moreng seperti kulitku yang cokelat petang.

Seorang pelayan menghampiri, nyonya itu memesan sesuatu dan aku pun mulai menikmati pesananku, dengan sedikit tanda-tanya, kira-kira pertanyaan apa yang akan telontar pertama kali. Ini bukan sekadar perang, psywar antara dua wanita dengan topik seorang lelaki.

”Saya tahu suami saya terpikat pada Anda.” Suaranya datar, aku sedang mencari-cari di mana letak kelemahannya.

”Dan Anda bukan perempuan pertama dalam riwayat perselingkuhannya.” Aku tahu, dia sudah menceritakan semuanya. Bahkan aku yakin ada beberapa nama yang tak mungkin diketahui oleh sang istri. Laki-laki tak akan menceritakan seluruh rahasianya pada istri resminya, kalau tak ingin bencana menimpanya. Tetapi terhadap perempuan simpanan, dia akan lebih terbuka, karena tak ada beban apa pun. Tak ada ketakukan dan kecemasan kehilangan sesuatu. Justru keterbukaan pada pasangan gelap akan menunjukkan sikap kesatria. Dan, perempuan-perempuan bodoh sepertiku, meskipun mengenyam pendidikan tinggi, tetap saja terpedaya oleh trik-trik busuk yang basi dari para lelaki. Sayangnya, kami para perempuan menikmati itu semua, padahal kami tahu itu hanya sampah busuk.

”Dia memang laki-laki yang manis. Lembut. Mampu menaklukkan persendian para wanita dengan tutur katanya yang lembut dan memesona. Dia juga pandai membangkitkan harga diri para wanita, membuat mereka seolah wanita perkasa, kuat, berdaya. Dia sungguh piawai dalam hal itu.” Itu juga aku tahu. Sejak awal memang hal itulah yang mebuatku jatuh cinta padanya. Aku tahu dia berpengalaman, meski dia pernah mengatakan dirinya amatir soal wanita.

”Lalu kenapa Anda tidak membuat langkah-langkah pencegahan agar petualangannya segera berakhir?”

”Dia laki-laki yang mudah hanyut. Ketika dia menemukan lawan bicara yang menyenangkan, dia akan terpikat. Ketika dia menemukan wanita yang gigih berjuang membela sesuatu, dia akan kagum, lalu mencari tahu dan mendekati. Begitulah. Dan saya sangat menyayangkan, Anda seorang wanita terhormat yang menjadi korban suami saya yang nampak begitu tenang dan menyejukkan itu.”

Es krim vanilla dalam mangkuk begitu menggoda untuk dilumat habis. Sambil menjilati sendok es krim aku menyimak kalimat-kalimat perempuan hebat ini tentang suaminya. Ia sungguh-sungguh tahu kelemahan suaminya, kekasih gelapku. Ia berhenti sejenak untuk mencicipi es krim caramel pesanannya. Lalu kembali menatapku.

”Saya tidak datang untuk meminta Anda berhenti berhubungan dengan suami saya, karena itu akan percuma. Saya tahu ketika hubungan kalian dibendung maka kalian akan melompat lebih tinggi. Saya datang untuk mengingatkan Anda bahwa dia bukan laki-laki terhormat, dia bukan laki-laki baik-baik. Banyak perempuan salah menilai dirinya.” Tiba-tiba aku ingin tertawa. Melihat itu dia menelan kembali kalimat yang hendak ditumpahkan berikutnya.

”Silahkan, jika ada yang ingin disampaikan.”

Inilah kesempatanku. Aku perlu waktu sejenak untuk mengatur napas dan merapikan sisa-sisa es krim di sekitar bibirku. Standar operasi yang wajar bagi seorang pembicara tak boleh ada benda asing nangkring di areal wajah.

”Nyonya, jika Anda tahu dia bukan pria terhormat, mengapa Anda masih bertahan menjadi istrinya?”

Dia nampak sedikit tersentak, tetapi dengan segera memulihkan diri.

”Keyakinan kami melarang perceraian.”

”Ohh!! Ya, saya lupa. Baiklah Nyonya, apakah kita akan membahas mengapa bisa terjadi hubungan antara kami berdua?”

Dia lebih tersentak lagi. Urat-urat lehernya nampak menegang.

”Jika Anda membutuhkan klarifikasi, kalau tidak maka pembicaraan kita selesai.”

Nyonya muda yang semula tampak tegar itu kini menunjukkan tanda-tanda kejatuhan. Tetapi dia pasti punya harga diri, maka dia memintaku melanjutkan pembicaraan.

”Nyonya, pihak pertama yang patut dipersalahkan adalah Tuhan…” Perempuan itu tambah tegang. Gambaran itu tercermin jelas dari kerut di dahinya, sorot matanya, gerak bibirnya, dan lehernya yang bergaris-garis kalung usus. Aku tak peduli.

”Saya telanjur percaya bahwa cinta adalah anugerah Tuhan yang paling indah. Saya harus mengakui bahwa saya, lebih tepatnya kami, saling jatuh cinta.” Aku menanti reaksinya. Menatap matanya yang mulai meredup. Tidak ada bantahan, aku melanjutkan.

”Kadang saya berpikir bahwa Tuhan itu aneh. Bukankah Tuhan itu mahakuasa, mengapa dibiarkan dua insan yang seharusnya terlarang ini tertanam benih cinta? Kita semua tahu bahwa cinta itu tidak tumbuh karena rekayasa, tetapi alamiah dan mandiri. Dan, seperti halnya mozaik kehidupan yang lain, segala sesuatu tak akan terjadi tanpa campur tangan Tuhan, tanpa izin Beliau. Kami jatuh cinta seketika pada pandangan pertama, bahkan sebelum saya tahu siapa dia meski saya tahu ada cincin kawin di jari kirinya.”

”Dan Anda tidak berusaha menghindar?”

”Apa yang bisa kita lakukan ketika panah asmara menembus dua hati yang bertemu? Nyonya, saya juga pernah mengalami hal serupa dengan Anda. Ketika suami saya memilih jatuh cinta lagi dan menyemaikannya, maka saya lepaskan dia. Saya percaya bahwa cinta yang benar adalah melepaskan, bukan menggenggam. Dan, itu pasti menyakitkan. Saya sakit dan memelihara rasa sakit itu hingga sembilan tahun lamanya. Sampai akhirnya tiba-tiba saya mendapati diri saya tak mampu berpaling dari suami Anda, Wibi, laki-laki yang telah berpengalaman dengan berbagai jenis perempuan. Laki-laki yang membuat saya rela melakukan apa saja di saat situasi tidak mungkin. Apakah kita bisa menyangkal bahwa itu bukan rasa cinta?”

Perempuan di depanku itu terdiam. Ia tak lagi menatap mataku seperti awal pertemuan tadi. Sekarang ia lebih asyik dengan sendok mungil dan mangkuk es krim.

”Terkadang dalam geram saya pada masa lalu, saya tertawa lepas. Sekarang saya bisa merasakan bagaimana menjadi perempuan kedua dalam kehidupan sebuah pasangan. Tetapi ini bukan aksi balas dendam, sama sekali bukan. Ini hanya sebuah kecelakaan.”

Perempuan bernama Dhanty itu menatapku lagi dengan sisa-sisa harga dirinya. Aku senang, paling tidak kami bisa saling mengukur keberanian masing-masing.

”Seharusnya Anda mengundurkan diri ketika mengetahui bahwa dia laki-laki kotor,” ia bergumam.

”Mungkin di balik kekuatan saya sebagai perempuan, masih tersisa kadar naif yang lumayan besar. Saya melihat bahwa dia juga jatuh cinta pada saya. Meski saya tahu dia juga mencintai Anda, dan dia sangat mencintai anak kalian. Dia laki-laki yang takut kehilangan keluarga.”

”Saya tahu…saya tahu….” Ada serak di antara kata-katanya. Sampai di sini aku merasa yakin bahwa air mata akan segera mengalir dari kedua pelupuk matanya. Wajah kuning langsatnya yang tak tertutup make up membersitkan warna kemerahan pertanda ada emosi dalam hatinya. Aku menatapnya lekat-lekat. Dan, tiba-tiba aku merasa begitu kotor. Serangkaian kalimat yang tadi telah tersusun baik dalam kepalaku, sekarang berubah orientasi.

”Kesadaran itulah yang akhirnya muncul setelah beberapa bulan. Saya akhirnya menyadari bahwa saya tidak mendapat apa pun dari hubungan ini kecuali debar jantung dan kemesraan. Saya hanya diberi waktu beberapa menit setiap hari, itu pun di antara jam-jam istirahat, sementara Anda mendapatkan sepanjang malam, sepanjang akhir pekan. Ketika saya merasa kesepian dan rindu belaian, dia sedang membelai Anda dan bahkan mungkin sedang bercinta. Ketika saya sedang bangkrut, saya harus mencari pinjaman di sana-sini sendiri, dia tak mungkin memberi saya uang karena gajinya milik Anda. Saat saya sakit di rumah sakit, saya tak bisa bermanja-manja dan berharap kehadirannya, karena jam bezuk selalu jam di luar kantor, sementara Anda selalu menghitung waktu berapa lama perjalanan dari kantor ke rumah.

Bayangkan, saat saya ketakutan di malam buta oleh ulah pencuri yang menggasak barang-barang di rumah saya, kepada siapa saya mengadu? Kepada teman-teman kantor, bukan kepadanya, karena saat itu mungkin saja kalian sedang berpelukan hangat di atas kasur yang empuk. Hubungan ini benar-benar tak berguna buat saya. Saya tak bisa setiap saat menelepon, tak bisa bertemu kapan pun sesuai keinginan saya. Saya harus mengikuti peraturannya, menataatinya seperti tak boleh SMS di luar jam kerja dan hari libur, sementara pada jam kerja dia sibuk setengah mati. Saya merasa hubungan ini tidak setimpal. Dan, pada akhirnya saya merasa letih mengikutinya.”

Aku tahu perempuan ini juga merasa lelah. Ia pasti sangat lelah. Setiap saat harus menjaga suaminya, mengobati lukanya sendiri, memadamkan bara api yang setiap saat bisa berkobar. Aku tahu bagaimana rasanya. Dan, luka yang ada di hatinya pasti telah bernanah, menyaksikan suaminya yang tampak lembut dan sopan, berpendidikan dan menjadi panutan di kalangan tertentu, tetapi memiliki sejarah panjang dengan berbagai perempuan. Meski aku yakin dapat mempertahankan laki-laki itu, seleraku telah rusak. Dan, tiba-tiba aku merasa demikian bodoh telah menghabiskan banyak energi, waktu, pikiran, dan uang untuk menyemaikan hubungan itu. (*)

Sby, Nov ‘07 Jawa Pos Group, 22 Juni 2008

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest