Minggu, 02 Mei 2010

Sastra yang Tidur dalam Kulkas

Saut Situmorang*
http://www.sinarharapan.co.id/

”Aku tidur di depan sebuah kulkas. Suaranya berdengung seperti kaus kakiku di siang hari yang terik. Di dalam kulkas itu ada sebuah negara yang sibuk dengan jas, dasi, dan mengurus makanan anjing. Sejak ia berdusta, aku tak pernah memikirkannya lagi.” Demikianlah bunyi empat baris pertama sajak Afrizal Malna yang berjudul ”Persahabatan Dengan Seekor Anjing” yang muncul dalam kolom yang sama dengan esai Suryadi berjudul ”Dobrak Kultus, Menjadikan ‘Merek Dagang’”(Media, 02/02/03). Kalau sajak Afrizal yang prose-poem itu tidak malu-malu bicara soal ”isu lama untuk pusat baru”, yaitu persoalan ”apakah sastra harus dengan teguh mengemban komitmen sosialnya atau, sebaliknya, tetap bertengger di menara gading”, dan telah melakukan pilihannya, maka esai Suryadi dengan tegas menolak memilih satu di antara keduanya tapi menawarkan sebuah pilihan baru yaitu sastra sebagai ”merek dagang”.

Kalau penyair ”bentuk” eksperimental Afrizal Malna masih memilih sastra yang juga peduli pada ”isi”, maka pengajar/dosen sebuah universitas di Belanda Suryadi malah merasa ”letih oleh debat antara ‘bentuk’ dan ‘isi’ karya sastra” dan menganjurkan agar ”meningkatkan gengsi karya sastra (Indonesia) di mata pembacanya” dengan melakukan populerisasi karya sastra, paling tidak, lewat promosi dunia pariwisata! Betapa ironis, seorang penyair eksperimental par excellence masih menganggap ”isi” puisinya penting sementara seorang akademisi, yang seharusnya menghasilkan kritik sastra, malah menganjurkan kiat dagang untuk menjual karya sastra, demi menaikkan ”gengsi” sastra!

Apa yang saya pahami dalam esai Suryadi tersebut adalah keyakinannya yang kuat bahwa sastra Indonesia tidak ”bergengsi”, kalau pun ada maka rendah, di ”mata pembacanya”. Saya berusaha mencari apa alasan Suryadi untuk membuat pernyataannya itu tapi saya gagal menemukannya dalam esainya. Apa yang saya temukan justru ”laporan” atas apa yang dikatakan oleh dua orang penulis Perancis, yang menurut Suryadi merupakan ”teori sastra terkini”, tentang fungsi sosiologis sastra di sebuah masyarakat kapitalis seperti Perancis, yaitu sastra sebagai simbol status sosial. Saya membaca Sartre, maka saya ada dalam kelas sosial tertentu, begitu mungkin penjelasan gampangannya. Lantas di manakah relevansi kutipan di-luar-konteks dari Pierre Bourdieu dan sebagainya itu dengan rendahnya gengsi sastra Indonesia di mata pembacanya? Atau, sudah tepatkah gambaran pembaca sastra yang dimaksudkan oleh Bourdieu dengan realitas pembaca Indonesia? Mungkin sebuah pertanyaan ekstrem bisa dilontarkan: adakah pembaca sastra Indonesia, paling tidak dalam pengertian yang dimaksudkan Bourdieu di atas, yakni pembaca yang membaca sastra supaya mereka dianggap ”berbudaya tinggi dan bukan dari golongan orang biasa”?

Suryadi juga menyatakan bahwa ”analisis” seni yang sudah berhasil meningkatkan gengsi karya di mata penikmatnya di Indonesia ”sudah dirasakan dalam bidang seni rupa”, tapi sekali lagi dia ”lupa” untuk membuktikan yang ”sudah dirasakannya” itu kepada kita pembaca esainya itu! Apakah yang dia maksud besarnya jumlah kolektor atau luasnya pemahaman orang Indonesia atas karya seni rupa Indonesia?! Peristiwa ”amnesia tekstual” yang dominan mewarnai esai Suryadi tersebut merupakan cacat-cacat pemikiran yang sangat mengganggu pembacaan saya atas esainya itu dan menimbulkan kecurigaan besar atas pemahamannya tentang topik yang sedang dia bicarakan. Perhatikan saja ”salah cetak” yang terjadi atas nama ”Macbeth” dan ”Chairil Anwar” yang menjadi ”Machbeth” dan ”Khairil Anwar” itu!

Apa yang sering terjadi di kalangan cerdik-pandai Indonesia dalam peristiwa euforia keterpesonaan mereka pada pembacaan mereka atas teori-teori ”terkini” dari dunia pemikiran Barat adalah konteks dari penciptaan teks-teks yang mereka baca itu. Secara tak sadar mereka take for granted yakin bahwa teori-teori ”terkini” yang mereka baca itu tercipta dengan realitas Indonesia sebagai salah satu faktor penulisannya! Betapa arifnya seorang Jean-François Lyotard yang memperingati pembacanya bahwa ”kondisi pascamodern” yang dia maksudkan dalam bukunya yang berjudul The Postmodern Condition adalah sebuah kondisi sosial seperti yang bisa ditemukan di negeri-negeri industri-kapitalis maju, Perancis misalnya. Makanya seorang pembaca Indonesia mesti lebih bijaksana lagi dibanding Lyotard sendiri dalam ”membaca” bukunya itu, bukan?

Sebuah pernyataan lain yang dibuat oleh Suryadi menunjukkan betapa jauhnya dia berada dari dunia kangouw sastra Indonesia, yaitu bahwa bagi dia ”Jika seorang Ayu Utami atau Dewi Lestari menjadi fenomenal karena ‘faktor X’, maka itu sah-sah saja”! ”Faktor X” apakah yang membuat kedua novelis di atas menjadi ”fenomenal”? Novel mereka sebagai novelkah yang membuat keduanya ”fenomenal”? Kritik sastrakah? Pembacakah? Atau sesuatu yang non-sastra tapi sangat mempengaruhi resepsi sebuah karya sastra, seperti politik sastra dalam bentuk karnaval puja-puji sangat tendensius oleh komunitas sastra ”bermedia massa” di mana sang novelis menjadi anggotanya? Tidak akan adakah pengaruh terjadi pada resepsi pembaca oleh gemuruhnya ekspose yang dilakukan pada seorang novelis di media massa sementara analisis kritis atas karyanya hampir nol sama sekali? Kalau bagi Suryadi yang seorang ”pengajar bahasa dan budaya” itu politik sastra semacam yang di atas itu ”sah-sah saja” dalam membuat sebuah karya sastra atau seorang sastrawan menjadi ”fenomenal”, ”fenomenal” yang macam apa ini? Apa ”fenomenal” 15-minute fame ala MTV! Atau ”fenomenal” Kahlil Gibran yang belum tertandingi dalam sejarah buku di negeri ini!

Kalau asersi Suryadi memang benar bahwa sastra Indonesia itu rendah ”gengsi”nya di mata pembacanya, seperti pembaca bernama Suryadi sendiri, maka bukankah ”faktor X yang sah-sah saja” bagi dia itu, yaitu politik sastra komunitas yang eksklusif itu, justru hanya akan memperparah jatuhnya ”gengsi” sastra Indonesia? Kebebasan pembaca untuk menilai karya yang dibacanya sudah sangat dipengaruhi bukan oleh, paling tidak, resensi atas karya tersebut di media massa tapi oleh kampanye iklan dalam bentuk puja-puji setinggi langit yang dilakukan para politikus sastra komunitas sastrawan yang bersangkutan. Bukankah Nur Zain Hae sendiri pun mengakui realitas politik sastra komunitas ini dalam esainya ”Isu Lama Untuk Pusat Baru” (”… bukan sekedar saling menggaruk punggung, seperti yang selama ini terjadi di Komunitas Utan Kayu.”) (Media, 19/01/03)!

Apa yang dipertanyakan oleh Oyos Saroso HN dalam esainya ”Ketika Sastra Menjadi Nonsens” (Media, 12/01/03), yang menjadi pemicu polemik ini, adalah sebuah pertanyaan ”sastra yang tidak nonsens”. Apakah warna dominan sastra kontemporer Indonesia adalah sastra yang cuma sibuk dengan ”bentuk dan cenderung mengabaikan isi dan ideologi”, sebuah warna yang diidentifikasi kalangan sastrawan muda Indonesia pada sebuah komunitas sastra bermedia-massa di Jakarta? Nur Zain Hae bisa saja mengolok-olok pertanyaan Oyos ini dengan sebuah sikap pseudo-heroik bahwa ”daripada terus menggerutu dan cemburu, lebih baik kita bergabung untuk membuat komunitas dan ‘laboratorium’ lain, majalah atau jurnal sastra yang berbeda, menulis karya sastra dan merancang diskusi yang lebih bermutu” (Media, 19/01/03), tapi ejekannya itu cuma menunjukkan betapa naif dan sederhananya dia memandang sebuah persoalan yang dianggap serius oleh banyak sastrawan muda Indonesia. Dan betapa tidak sensitifnya! Kalau seorang sastrawan Indonesia sudah tidak boleh lagi mengeluarkan ”protes” atas apa yang dia rasakan sebagai kondisi yang mengancam kelangsungan kehidupannya sebagai seorang sastrawan oleh sesama sastrawan, apa bedanya kita dengan rezim diktator militer Orde Baru yang haus darah itu!

Politik sastra sama kejamnya dengan politik praktis di negeri realis-magis ini. Kepentingan kelompok dan kelangsungan hidup kelompok yang happily ever after telah diutamakan dengan pengorbanan kepentingan dan kelangsungan hidup kelompok lain. Survival of the fittest bukan cuma ideologi politik praktis di negeri ini, tapi juga dianut oleh para politikus sastra Indonesia. Mungkin para politikus sastra ini sedikit berbeda dari kawannya di dunia politik praktis, yakni mereka tidak sadar-sadar betul bahwa ”kewajaran” yang mereka lakukan ternyata merupakan sesuatu yang sangat negatif bagi sastrawan lain. Mungkin merupakan sesuatu yang ”wajar” bahwa seorang novelis yang baru menerbitkan satu novel berhasil memenangkan hadiah Prince Claus Award karena mereka klaim melakukan pembaharuan dan yang semacamnya itu dalam sastra kontemporer Indonesia. Mungkin sesuatu yang ”wajar” pula bahwa seorang ”penyair” yang selebriti media massa mewakili ”penyair Indonesia” dalam sebuah program baca-puisi internasional. Mungkin ”wajar” juga bahwa seorang sastrawan bisa menjadi seorang sastrawan yang menulis dalam bahasa nasionalnya walau dia tidak mengenal dunia sastra berbahasa nasionalnya itu, dia adalah sang mesias yang tidak terlahir dari tradisi rahim sastra nasionalnya sendiri. Mungkin juga ”wajar” bagi seorang cerpenis yang bisa menerbitkan buku kumpulan cerpennya hanya setahun dua tahun sejak dia mulai mempublikasikan cerpennya lalu diklaim sebagai ”monalisa” sastra Indonesia juga.

Tapi saya setuju dengan Oyos Saroso HN. Saya tidak menganggap ”kewajaran” di atas adalah ”wajar”. Saya tidak bisa menerima ”faktor X” sebagai yang ”sah-sah saja” dalam resepsi sebuah karya sastra seperti yang diyakini seorang pengajar bahasa dan budaya saya di negeri Belanda sana. Dan saya lebih tidak bisa menerima lagi tuduhan asal-asalan Nur Zain Hae yang, bagi saya, terkesan oportunistik itu.

Saya setuju dengan Oyos dalam konteks absennya tradisi kritik sastra di sastra Indonesia telah menyebabkan politik sastra menjadi paus sastra kontemporer Indonesia. Karena ideologi politik sastra yang menjadi kekuasaan hegemonik adalah ideologi formalisme sastra, maka ideologi lain pasti akan tersingkirkan kalau tidak terbunuh. Oyos sudah menunjukkan dengan telak contoh dari ideologi formalisme ini dalam puisi Sitok Srengenge yang cuma ”mengejar rima dan membangun metafora” belaka. Saya akan menambahkan dengan mayoritas cerpen yang muncul tiap Minggu di Koran Tempo, yang bagi saya merupakan sisi ekstrem lain dari cerpen-cerpen realis di Kompas. Kekuasaan hegemonik juga melakukan pilihan-pilihan atas apa yang mesti diselamatkan dari ideologi lain. Kenapa mengklaim para penyair Lekra di Belanda sebagai ”penyair eksil” walau karya mereka tidak ada bedanya dengan apa yang ditulis oleh banyak penyair di dalam Indonesia? Kenapa mereka mesti ”diselamatkan” sementara yang di Indonesia tidak? Dan dari para penyair domestik yang menulis tentang ”penindasan dan kezaliman kekuasaan” dalam bahasa yang juga tidak ”miskin” dan tidak ”kering”, kenapa hanya Wiji Thukul yang dipilih untuk dirayakan? Juga apakah ”riset penulisan” dan ”rajin membaca” merupakan faktor-faktor penentu bagi lahirnya ”karya besar”?! Antologi pertanyaan aneh seperti ini mungkin tak perlu lagi dibuat andai kritik sastra hadir sebagai polisi lalulintas sastra Indonesia.

Perbedaan ideologi, tentu saja, adalah sesuatu yang sah-sah saja dalam kehidupan manusia, apalagi dalam kehidupan politik. Perbedaan ideologi membuat kehidupan tidak lagi dibayang-bayangi oleh momok The Big Brother Orwellian, yang seperti malaekat elmaut terus-menerus menuntut kematian mereka yang tidak patuh. Malah perbedaan ideologi mesti diharuskan dalam kehidupan! Betapa membosankan kalau semua puisi Indonesia adalah sajak protes. Betapa menjemukan kalau semua puisi Indonesia adalah sajak foreplay yang masturbatori begitu-begitu saja. Begitu juga novel, begitu pula cerpen. Dan esai. Yang kita inginkan adalah multiorgasme dalam multiklimaks yang lebih panjang dari sebuah angkatan, sebuah generasi sastra. Saat ini, politik sastra telah membuat sastra kontemporer kita menjadi sastra yang impoten, sastra yang frigid, sastra yang tidur dalam kulkas. Mudah-mudahan tetap awet sampai kritik sastra datang dari Planet Pluto sana untuk menghangatkannya, menggairahkannya lagi.

*) penyair dan esais, tinggal di Jogjakarta.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest