Saut Situmorang*
http://www.sinarharapan.co.id/
”Aku tidur di depan sebuah kulkas. Suaranya berdengung seperti kaus kakiku di siang hari yang terik. Di dalam kulkas itu ada sebuah negara yang sibuk dengan jas, dasi, dan mengurus makanan anjing. Sejak ia berdusta, aku tak pernah memikirkannya lagi.” Demikianlah bunyi empat baris pertama sajak Afrizal Malna yang berjudul ”Persahabatan Dengan Seekor Anjing” yang muncul dalam kolom yang sama dengan esai Suryadi berjudul ”Dobrak Kultus, Menjadikan ‘Merek Dagang’”(Media, 02/02/03). Kalau sajak Afrizal yang prose-poem itu tidak malu-malu bicara soal ”isu lama untuk pusat baru”, yaitu persoalan ”apakah sastra harus dengan teguh mengemban komitmen sosialnya atau, sebaliknya, tetap bertengger di menara gading”, dan telah melakukan pilihannya, maka esai Suryadi dengan tegas menolak memilih satu di antara keduanya tapi menawarkan sebuah pilihan baru yaitu sastra sebagai ”merek dagang”.
Kalau penyair ”bentuk” eksperimental Afrizal Malna masih memilih sastra yang juga peduli pada ”isi”, maka pengajar/dosen sebuah universitas di Belanda Suryadi malah merasa ”letih oleh debat antara ‘bentuk’ dan ‘isi’ karya sastra” dan menganjurkan agar ”meningkatkan gengsi karya sastra (Indonesia) di mata pembacanya” dengan melakukan populerisasi karya sastra, paling tidak, lewat promosi dunia pariwisata! Betapa ironis, seorang penyair eksperimental par excellence masih menganggap ”isi” puisinya penting sementara seorang akademisi, yang seharusnya menghasilkan kritik sastra, malah menganjurkan kiat dagang untuk menjual karya sastra, demi menaikkan ”gengsi” sastra!
Apa yang saya pahami dalam esai Suryadi tersebut adalah keyakinannya yang kuat bahwa sastra Indonesia tidak ”bergengsi”, kalau pun ada maka rendah, di ”mata pembacanya”. Saya berusaha mencari apa alasan Suryadi untuk membuat pernyataannya itu tapi saya gagal menemukannya dalam esainya. Apa yang saya temukan justru ”laporan” atas apa yang dikatakan oleh dua orang penulis Perancis, yang menurut Suryadi merupakan ”teori sastra terkini”, tentang fungsi sosiologis sastra di sebuah masyarakat kapitalis seperti Perancis, yaitu sastra sebagai simbol status sosial. Saya membaca Sartre, maka saya ada dalam kelas sosial tertentu, begitu mungkin penjelasan gampangannya. Lantas di manakah relevansi kutipan di-luar-konteks dari Pierre Bourdieu dan sebagainya itu dengan rendahnya gengsi sastra Indonesia di mata pembacanya? Atau, sudah tepatkah gambaran pembaca sastra yang dimaksudkan oleh Bourdieu dengan realitas pembaca Indonesia? Mungkin sebuah pertanyaan ekstrem bisa dilontarkan: adakah pembaca sastra Indonesia, paling tidak dalam pengertian yang dimaksudkan Bourdieu di atas, yakni pembaca yang membaca sastra supaya mereka dianggap ”berbudaya tinggi dan bukan dari golongan orang biasa”?
Suryadi juga menyatakan bahwa ”analisis” seni yang sudah berhasil meningkatkan gengsi karya di mata penikmatnya di Indonesia ”sudah dirasakan dalam bidang seni rupa”, tapi sekali lagi dia ”lupa” untuk membuktikan yang ”sudah dirasakannya” itu kepada kita pembaca esainya itu! Apakah yang dia maksud besarnya jumlah kolektor atau luasnya pemahaman orang Indonesia atas karya seni rupa Indonesia?! Peristiwa ”amnesia tekstual” yang dominan mewarnai esai Suryadi tersebut merupakan cacat-cacat pemikiran yang sangat mengganggu pembacaan saya atas esainya itu dan menimbulkan kecurigaan besar atas pemahamannya tentang topik yang sedang dia bicarakan. Perhatikan saja ”salah cetak” yang terjadi atas nama ”Macbeth” dan ”Chairil Anwar” yang menjadi ”Machbeth” dan ”Khairil Anwar” itu!
Apa yang sering terjadi di kalangan cerdik-pandai Indonesia dalam peristiwa euforia keterpesonaan mereka pada pembacaan mereka atas teori-teori ”terkini” dari dunia pemikiran Barat adalah konteks dari penciptaan teks-teks yang mereka baca itu. Secara tak sadar mereka take for granted yakin bahwa teori-teori ”terkini” yang mereka baca itu tercipta dengan realitas Indonesia sebagai salah satu faktor penulisannya! Betapa arifnya seorang Jean-François Lyotard yang memperingati pembacanya bahwa ”kondisi pascamodern” yang dia maksudkan dalam bukunya yang berjudul The Postmodern Condition adalah sebuah kondisi sosial seperti yang bisa ditemukan di negeri-negeri industri-kapitalis maju, Perancis misalnya. Makanya seorang pembaca Indonesia mesti lebih bijaksana lagi dibanding Lyotard sendiri dalam ”membaca” bukunya itu, bukan?
Sebuah pernyataan lain yang dibuat oleh Suryadi menunjukkan betapa jauhnya dia berada dari dunia kangouw sastra Indonesia, yaitu bahwa bagi dia ”Jika seorang Ayu Utami atau Dewi Lestari menjadi fenomenal karena ‘faktor X’, maka itu sah-sah saja”! ”Faktor X” apakah yang membuat kedua novelis di atas menjadi ”fenomenal”? Novel mereka sebagai novelkah yang membuat keduanya ”fenomenal”? Kritik sastrakah? Pembacakah? Atau sesuatu yang non-sastra tapi sangat mempengaruhi resepsi sebuah karya sastra, seperti politik sastra dalam bentuk karnaval puja-puji sangat tendensius oleh komunitas sastra ”bermedia massa” di mana sang novelis menjadi anggotanya? Tidak akan adakah pengaruh terjadi pada resepsi pembaca oleh gemuruhnya ekspose yang dilakukan pada seorang novelis di media massa sementara analisis kritis atas karyanya hampir nol sama sekali? Kalau bagi Suryadi yang seorang ”pengajar bahasa dan budaya” itu politik sastra semacam yang di atas itu ”sah-sah saja” dalam membuat sebuah karya sastra atau seorang sastrawan menjadi ”fenomenal”, ”fenomenal” yang macam apa ini? Apa ”fenomenal” 15-minute fame ala MTV! Atau ”fenomenal” Kahlil Gibran yang belum tertandingi dalam sejarah buku di negeri ini!
Kalau asersi Suryadi memang benar bahwa sastra Indonesia itu rendah ”gengsi”nya di mata pembacanya, seperti pembaca bernama Suryadi sendiri, maka bukankah ”faktor X yang sah-sah saja” bagi dia itu, yaitu politik sastra komunitas yang eksklusif itu, justru hanya akan memperparah jatuhnya ”gengsi” sastra Indonesia? Kebebasan pembaca untuk menilai karya yang dibacanya sudah sangat dipengaruhi bukan oleh, paling tidak, resensi atas karya tersebut di media massa tapi oleh kampanye iklan dalam bentuk puja-puji setinggi langit yang dilakukan para politikus sastra komunitas sastrawan yang bersangkutan. Bukankah Nur Zain Hae sendiri pun mengakui realitas politik sastra komunitas ini dalam esainya ”Isu Lama Untuk Pusat Baru” (”… bukan sekedar saling menggaruk punggung, seperti yang selama ini terjadi di Komunitas Utan Kayu.”) (Media, 19/01/03)!
Apa yang dipertanyakan oleh Oyos Saroso HN dalam esainya ”Ketika Sastra Menjadi Nonsens” (Media, 12/01/03), yang menjadi pemicu polemik ini, adalah sebuah pertanyaan ”sastra yang tidak nonsens”. Apakah warna dominan sastra kontemporer Indonesia adalah sastra yang cuma sibuk dengan ”bentuk dan cenderung mengabaikan isi dan ideologi”, sebuah warna yang diidentifikasi kalangan sastrawan muda Indonesia pada sebuah komunitas sastra bermedia-massa di Jakarta? Nur Zain Hae bisa saja mengolok-olok pertanyaan Oyos ini dengan sebuah sikap pseudo-heroik bahwa ”daripada terus menggerutu dan cemburu, lebih baik kita bergabung untuk membuat komunitas dan ‘laboratorium’ lain, majalah atau jurnal sastra yang berbeda, menulis karya sastra dan merancang diskusi yang lebih bermutu” (Media, 19/01/03), tapi ejekannya itu cuma menunjukkan betapa naif dan sederhananya dia memandang sebuah persoalan yang dianggap serius oleh banyak sastrawan muda Indonesia. Dan betapa tidak sensitifnya! Kalau seorang sastrawan Indonesia sudah tidak boleh lagi mengeluarkan ”protes” atas apa yang dia rasakan sebagai kondisi yang mengancam kelangsungan kehidupannya sebagai seorang sastrawan oleh sesama sastrawan, apa bedanya kita dengan rezim diktator militer Orde Baru yang haus darah itu!
Politik sastra sama kejamnya dengan politik praktis di negeri realis-magis ini. Kepentingan kelompok dan kelangsungan hidup kelompok yang happily ever after telah diutamakan dengan pengorbanan kepentingan dan kelangsungan hidup kelompok lain. Survival of the fittest bukan cuma ideologi politik praktis di negeri ini, tapi juga dianut oleh para politikus sastra Indonesia. Mungkin para politikus sastra ini sedikit berbeda dari kawannya di dunia politik praktis, yakni mereka tidak sadar-sadar betul bahwa ”kewajaran” yang mereka lakukan ternyata merupakan sesuatu yang sangat negatif bagi sastrawan lain. Mungkin merupakan sesuatu yang ”wajar” bahwa seorang novelis yang baru menerbitkan satu novel berhasil memenangkan hadiah Prince Claus Award karena mereka klaim melakukan pembaharuan dan yang semacamnya itu dalam sastra kontemporer Indonesia. Mungkin sesuatu yang ”wajar” pula bahwa seorang ”penyair” yang selebriti media massa mewakili ”penyair Indonesia” dalam sebuah program baca-puisi internasional. Mungkin ”wajar” juga bahwa seorang sastrawan bisa menjadi seorang sastrawan yang menulis dalam bahasa nasionalnya walau dia tidak mengenal dunia sastra berbahasa nasionalnya itu, dia adalah sang mesias yang tidak terlahir dari tradisi rahim sastra nasionalnya sendiri. Mungkin juga ”wajar” bagi seorang cerpenis yang bisa menerbitkan buku kumpulan cerpennya hanya setahun dua tahun sejak dia mulai mempublikasikan cerpennya lalu diklaim sebagai ”monalisa” sastra Indonesia juga.
Tapi saya setuju dengan Oyos Saroso HN. Saya tidak menganggap ”kewajaran” di atas adalah ”wajar”. Saya tidak bisa menerima ”faktor X” sebagai yang ”sah-sah saja” dalam resepsi sebuah karya sastra seperti yang diyakini seorang pengajar bahasa dan budaya saya di negeri Belanda sana. Dan saya lebih tidak bisa menerima lagi tuduhan asal-asalan Nur Zain Hae yang, bagi saya, terkesan oportunistik itu.
Saya setuju dengan Oyos dalam konteks absennya tradisi kritik sastra di sastra Indonesia telah menyebabkan politik sastra menjadi paus sastra kontemporer Indonesia. Karena ideologi politik sastra yang menjadi kekuasaan hegemonik adalah ideologi formalisme sastra, maka ideologi lain pasti akan tersingkirkan kalau tidak terbunuh. Oyos sudah menunjukkan dengan telak contoh dari ideologi formalisme ini dalam puisi Sitok Srengenge yang cuma ”mengejar rima dan membangun metafora” belaka. Saya akan menambahkan dengan mayoritas cerpen yang muncul tiap Minggu di Koran Tempo, yang bagi saya merupakan sisi ekstrem lain dari cerpen-cerpen realis di Kompas. Kekuasaan hegemonik juga melakukan pilihan-pilihan atas apa yang mesti diselamatkan dari ideologi lain. Kenapa mengklaim para penyair Lekra di Belanda sebagai ”penyair eksil” walau karya mereka tidak ada bedanya dengan apa yang ditulis oleh banyak penyair di dalam Indonesia? Kenapa mereka mesti ”diselamatkan” sementara yang di Indonesia tidak? Dan dari para penyair domestik yang menulis tentang ”penindasan dan kezaliman kekuasaan” dalam bahasa yang juga tidak ”miskin” dan tidak ”kering”, kenapa hanya Wiji Thukul yang dipilih untuk dirayakan? Juga apakah ”riset penulisan” dan ”rajin membaca” merupakan faktor-faktor penentu bagi lahirnya ”karya besar”?! Antologi pertanyaan aneh seperti ini mungkin tak perlu lagi dibuat andai kritik sastra hadir sebagai polisi lalulintas sastra Indonesia.
Perbedaan ideologi, tentu saja, adalah sesuatu yang sah-sah saja dalam kehidupan manusia, apalagi dalam kehidupan politik. Perbedaan ideologi membuat kehidupan tidak lagi dibayang-bayangi oleh momok The Big Brother Orwellian, yang seperti malaekat elmaut terus-menerus menuntut kematian mereka yang tidak patuh. Malah perbedaan ideologi mesti diharuskan dalam kehidupan! Betapa membosankan kalau semua puisi Indonesia adalah sajak protes. Betapa menjemukan kalau semua puisi Indonesia adalah sajak foreplay yang masturbatori begitu-begitu saja. Begitu juga novel, begitu pula cerpen. Dan esai. Yang kita inginkan adalah multiorgasme dalam multiklimaks yang lebih panjang dari sebuah angkatan, sebuah generasi sastra. Saat ini, politik sastra telah membuat sastra kontemporer kita menjadi sastra yang impoten, sastra yang frigid, sastra yang tidur dalam kulkas. Mudah-mudahan tetap awet sampai kritik sastra datang dari Planet Pluto sana untuk menghangatkannya, menggairahkannya lagi.
*) penyair dan esais, tinggal di Jogjakarta.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Ginandjar Wiludjeng
A. Junianto
A. Kurnia
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.S Laksana
A’yat Khalili
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Razak
Abdul Rosyid
Abdul Wahab
Abdurrahman Wahid
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adam Chiefni
Ade P. Nasution
Adhitia Armitriant
Adi Prasetyo
Adrizas
AF. Tuasikal
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Baso
Ahmad Faishal
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Naufel
Ahmad Rofiq
Ahmad S. Zahari
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ainul Fiah
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Alex R. Nainggolan
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Almania Rohmah
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aminah
Aminullah HA.Noor
Amir Sutaarga
Anam Rahus
Anata Siregar
Andari Karina Anom
Andina Dwifatma
Andong Buku #3
Andre Mediansyah
Andri Awan
Anett Tapai
Anggie Melianna
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Wahyudi
Anwar Nuris
Ardi Bramantyo
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Joko Wicaksono
Arief Junianto
Ariera
Arif Bagus Prasetyo
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Asmaul Fauziyah
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Wulan Sari
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Camelia Mafaza
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Daisuke Miyoshi
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Danusantoso
Dareen Tatour
Darju Prasetya
David Kuncara
Denny Mizhar
Denza Perdana
Desi Sommalia Gustina
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewi Indah Sari
Dewi Susme
Dian Sukarno
Didik Harianto
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur
Dipo Handoko
Diyah Errita Damayanti
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddy Wisnu Pribadi
Dody Kristianto
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi SS MHum
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Wiyana
Dyah Ratna Meta Novia
Dyah Sulistyorini
Ecep Heryadi
Eddy Pranata PNP
Edeng Syamsul Ma’arif
Eep Saefulloh Fatah
EH Kartanegara
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Hendri Saiful
Eko Windarto
Elnisya Mahendra
Elva Lestary
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Sulwesi
Endo Suanda
Eppril Wulaningtyas R
Esai
Evan Ys
F. Moses
F. Rahardi
Fadlillah Malin Sutan
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Febby Fortinella Rusmoyo
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Gabriel Garcia Marquez
Galang Ari P.
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Ganug Nugroho Adi
Gerson Poyk
Ghassan Kanafani
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunoto Saparie
H.B. Jassin
Habibullah
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Hardi
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
HE. Benyamine
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Herman RN
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Nugroho
Hikmat Gumelar
HL Renjis Magalah
Hudan Nur
Hujuala Rika Ayu
Huminca Sinaga
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ira Puspitaningsih
Irfan Budiman
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Zulkarnain
Ismail Marzuki
Iva Titin Shovia
Iwan Kurniawan
Jabbar Abdullah
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D. Rahman
Jamal T. Suryanata
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
JILFest 2008
Jody Setiawan
Johan Edy Raharjo
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Juan Kromen
Julika Hasanah
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Ka’bati
Karanggeneng
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Keith Foulcher
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khoirul Inayah
Khoirul Rosyadi
Khudori Husnan
Ki Ompong Sudarsono
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
L.N. Idayanie
Laili Rahmawati
Lamongan
Lan Fang
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lucia Idayanie
Lukman A Sya
Lutfiah
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Ismail
M Thobroni
M. Afifuddin
M. Arwan Hamidi
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Luthfi Aziz
M. Nurdin
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.S. Nugroho
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahmud Syaltut Usfa
Mahmudi Arif Dahlan
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Martin Aleida
Maruli Tobing
Mas Ruscita
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni Muserang
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mia Arista
Mia El Zahra
Mikael Johani
Misbahus Surur
Misran
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
Much. Khoiri
Muh. Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun
Muhammadun AS
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mukti Sutarman Espe
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Munawir Aziz
Musfarayani
Musfi Efrizal
Nafisatul Husniah
Nandang Darana
Naskah Teater
Nelson Alwi
Ni Made Purnamasari
Nikmatus Sholikhah
Nina Herlina Lubis
Nina Susilo
Ning Elia
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel-novel berbahasa Jawa
Novelet
Nunuy Nurhayati
Nur Azizah
Nur Hamzah
Nur Kholiq
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Aini
Nurul Anam
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Okty Budiati
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso H.N.
Pagan Press
Pagelaran Musim Tandur
Palupi Panca Astuti
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Petrus Nandi
Politik
Politik Sastra
Pradana Boy ZTF
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringadi AS
Prof Dr Fabiola D. Kurnia
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Puji Tyasari
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
Purnawan Kristanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Ng. Ronggowarsito
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmat Kemat Hidayatullah
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rasanrasan Boengaketji
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Resensi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Ririe Rengganis
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rusmanadi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saiful Amin Ghofur
Saiful Anam
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman S. Yoga
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang KSII
Santi Puji Rahayu
Sapardi Djoko Damono
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Jawa Timur
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputra
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sri Weni
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugi Lanus
Sukron Ma’mun
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaf Anton Wr
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syarif Wadja Bae
Sylvianita Widyawati
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie (1961-2019)
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tia Setiadi
Tirto Suwondo
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tosa Poetra
Tri Nurdianingsih
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulul Azmiyati
Umar Fauzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Utari Tri Prestianti
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wan Anwar
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wina Bojonegoro
Wita Lestari
Wong Wing King
Wowok Hesti Prabowo
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopi Setia Umbara
Yudhi Herwibowo
Yudi Latif
Yusri Fajar
Yusuf Ariel Hakim
Yuval Noah Harari
Zacky Khairul Uman
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zed Abidien
Zehan Zareez
Zhaenal Fanani
Zubaidi Khan
Zuniest
Tidak ada komentar:
Posting Komentar