Kamis, 15 April 2010

Sastra Jawa dan Persoalan Estetika

Mashuri
http://mashurii.blogspot.com/

Peristiwa yang menyerupai Pengadilan Puisi Indonesia Mutakhir yang diselenggarakan Yayasan Arena di Aula Universitas Parahyangan Bandung pada 8 September 1974 kembali terjadi. Kali ini, terjadi di Ruang Sawunggaling, Taman Budaya Jawa Timur pada tanggal 30 Agustus 2002, yang dilakukan oleh sejumlah sastrawan Jawa. Tetapi, terdapat perbedaaan mendasar di antara kedua pengadilan itu.

Kiranya mengomentari masalah pengadilan terhadap sejumlah sastrawan Jawa penerima hadiah Rancage memang sudah agak basi. Tetapi, ada beban moral bagi saya, jika saya tidak turun tangan dalam masalah ini, untuk sedikit memperingatkan pada generasi-generasi yang lebih dulu berkarya daripada saya. Hal ini berkaitan dengan tanggung jawab saya pada sejarah.

Sementara itu, perbedaan kedua pengadilan dalam jagat sastra itu kiranya bukan mengarah pada masalah ‘subyek’ dan ‘obyek’ yang diadili, tetapi lebih pada latar belakang terjadinya pengadilan itu. Jika pengadilan puisi di Bandung, jaksa penuntut umum Slamet Sukirnanto mendakwa tentang kehidupan puisi Indonesia akhir-akhir ini (1974), tidak sehat, tidak jelas dan brengsek!. Perbandingannya, jaksa penuntut dalam pengadilan yang dilakukan sejumlah satrawan Jawa lebih mempersoalkan pada masalah penerimaan hadiah Rancage untuk beberapa sastrawan Jawa. Isi tuntutannya pun menuntut untuk mengembalikan hadiah itu, dan meminta maaf pada masyarakat melalui media massa karena proses penilaiannya bernuansa kolusi dan nepotisme.

Terlepas dari adanya gurauan dalam proses pengadilan pada penerima hadiah Rancage, tetapi kejadian itu semakin membuka mata dan ‘luka’ sastra Jawa, bahwa untuk saat ini para penulis sastra Jawa memang dalam kondisi ‘pengangguran’. Artinya, memang tidak ada usaha kreatif dari para penulis Jawa untuk lebih berkonsentrasi dalam berkarya. Sehingga mereka lebih memilih berpolemik daripada kerja kreatif. Dengan kata lain, ada semacam sinyalemen bahwa mereka memang kurang pekerjaan. Ironisnya, polemik yang mereka gulirkan sama sekali tidak mengarah untuk kehidupan sastra jawa yang lebih kondusif.

Hal yang sama juga pernah dinyatakan Gunawan Moehamad dalam menanggapi pengadilan puisi di Bandung. Gunawan mengatakan, bahwa pengadilan puisi itu adalah perkerjaan penyair yang tidak lagi bisa menulis puisi. Orang-orang yang generasi tua, tetapi tidak lagi berkarya, sedangkan ada rekan segenerasinya yang masih berkarya. Dengan kata lain, para penggagas pengadilan itu ‘iri’. Maka dengan sangat ironis Gunawan mengatakan: “Maka Pak tua, jangan menangis! Tak ada salahnya puisi itu hidup tanpa kita…”.

Bila belajar dari kasus Pengadilan Puisi semoga saja, pengadilan terhadap penerima hadiah Rancage memang bukan berasal dari kata dasar iri. Sebab, jika dilihat dari susunan terdakwa yang merupakan sastrawan Jawa yang pernah menerima hadiah Rancage, yaitu FC Pamudji (1994), Satim Kadaryono (1996), Djamin K (1997), Esmiet (1998) Suharmono Kasiyun (1999), Widodo Basuki (2000) dan Suparta Brata (2001), adalah tujuh orang yang pernah menerirma hadiah sastra dari Tanah Sunda dalam kurun 1994-2001. Adapun, yang menjadi jaksa penuntut adalah orang-orang yang selama ini tidak pernah mendapatkan hadiah itu, diantaranya Sabrot D Malioboro, Suwardi Endraswara, Budi Palopo dan Muh. Noersahid Pramono.

Kendatipun, hakim Bonari Nabonenar mengatakan bahwa kedelapan terdakwa tidak bersalah dan hanya sebagai korban sistem sehingga dibebaskan dari terdakawa, tetapi nuansa yang dibawa sungguh tidak mencerminkan adanya ‘jiwa seniman’ yang mengedepankan nurani.

Sebab, bagaimana pun kerja kesenimanan adalah kerja yang tidak hanya mengejar penghargaan. Jika kemudian, semua mengejar penghargaan, maka pengejaran pada pencapaian harkat kemanusiaan pun hanya sekedar omong kosong. Apalagi, dalam sebuah penghargaan, segalanya pun tergantung pada kewenangan juri. Jika adanya subyektifitas, hal itu kiranya lumrah. Hal yang sama juga berlaku dalam penghargaan nobel sastra sekalipun.

‘Asu Rebutan Balung’

Jika isu yang diangkat masih seputar masalah penerimaan hadiah Rancage, bisa dikatakan bahwa penuntut umum dalam pengadilan itu memang hanya berkutat pada perebutan sesuatu yang tiada gunanya. Dengan istilah Jawa seperti ‘asu rebutan balung’.

Padahal bila melihat perkembangan sastra Jawa saat ini, ada pekerjaan besar yang harus digarap dan tidak hanya mempersoalkan sesuatu yang sebenarnya tidak terlalu urgen. Hal itu karena bila dibandingkan dengan sastra daerah lain di Indonesia, Sastra Jawa mengalami ketertinggalan yang jauh. Apalagi, jika melihat dari latar belakang sejarah dan tradisinya. Maka yang tampak adalah adanya dekadensi dan kemerosotan estetika yang luar biasa.

Asumsi yang diungkapkan di sini bukanlah sebuah prasangka tanpa sebuah argumentasi. Pasalnya, berdasarkan konsepsi sastra, dalam Sastra Jawa tidak ada ketegangan antara konvensi yang ada dengan inovasi, yang merupakan hakekat dari sastra. Sehingga dalam tataran yang lebih luas, tidak ada yang bisa dilihat dari perkembangan sastra Jawa.
Sebagai bukti nyata, dapat dilihat pada beberapa hasil karya sastrawan Jawa kontemporer. Mereka tidak memberikan apapun pada perkembangan Sastra Jawa, karena tidak ada tawaran estetika yang telah mereka sumbangkan. Kerangka yang dibangun dalam hal ini adalah batasan sastra modern. Pasalnya, acuan yang dimaksud adalah sastra Jawa modern. Tak ada tawaran estetika yang lebih mengedepankan pada perkembangan sastra Jawa.

Kenyataan tersebut sangat ironis, jika melihat latar belakang tradisi dan sejarah Sastra Jawa yang luar biasa panjang dan gilang-gemilang. Dalam tataran khasanah Sastra Jawa Pertengahan, bisa dilihat pada sosok pujangga yang mewakili pusat, seperti Yosodipuro I, Ronggowarsito, Paku Buwono IV dan lain-lain. Begitupula dengan variasi sastra yang berkembang di daerah pesisiran. Kiranya, ada sesuatu yang tidak bisa diterangkan hanya berdasarkan pencapaian estetika saja, ketika membicarakan sastra Jawa mutakhir dalam kaitannya dengan sejarah sastranya.

Berkaitan dengan kemerosotan kualitas estetika sastra yang tak terkira, itu tidak hanya sekedar sebuah tragedi besar. Kendatipun dalam hal ini terdapat segudang apologi untuk mengungkapkan kenyataan di luar sastra Jawa itu sendiri, tetapi sebagai sebuah ‘wilayah’ kreatif, tidak ada alasan yang bisa diterima, jika hanya mempersoalkan tentang aspek di luar sastra. Misalnya politik dan perubahan sosial. Logikanya, sastra akan bisa berkembang lebih pesat bila menghadapi sebuah kondisi yang tidak memungkinkannya untuk berkembang. Tetapi, yang terjadi malah sebaliknya, para sastrawan Jawa lebih mempersoalkan pada penghargaan, bukan menjawab tantangan itu dengan berkarya dengan tawaran-tawaran estetika yang baru.

‘Rame Ing Gawe Sepi Ing pamrih’

Dalam kaitannya dengan adanya pengadilan pada penerima hadiah Rancage oleh sebagian Satrawan Jawa, perlu dikemukakan sebuah pepatah Jawa yang sudah sudah demikian melegenda, ‘rame ing gawe sepi ing pamrih’. Artinya, lebih banyak dalam berkerja daripada pamrihnya. Kiranya, hal yang sama juga berlaku dalam berkarya. Lebih baik memang selalu berkarya tanpa mengharapkan imbalan atau penghargaan apapun.

Etos ini mungkin yang perlu dikembangkan, bahwa kita lebih lebih mempertanyakan apa yang telah kita berikan, daripada mempertanyakan apa yang telah kita dapat dalam dunia sastra Jawa. Toh hingga kini, peluangh-peluang estetika dan eksperimental dalam sastra Jawa memang masih terbuka lebar. Dialektika yang mengakar pada tradisi, dengan kahasanah-khasanah yang berserak masih bisa diterapkan.

Dengan demikian, dalam berkarya tidak lagi mempersoalkan sesuatu yang berada di luar lingkup karya. Misalnya, mempermasalahkan masalah politik sastra atau adanya upaya penghabisan sastra daerah dalam kerangka sebuah identitas nasional. Sebab, dalam perkembangan yang ada, aspek lokalitas memang sudah berkembang lama. Hal ini sudah ditangkap oleh para sastrawan yang berlatar belakang Jawa tetapi menulis dalam bahasa Indoensia. Hanya saja, sastrawan Jawa yang menulis dalam bahasa Jawa memang belum mendapatkan koordinatnya yang tepat. Sinyalemen yang berkembang pun akhirnya mempersoalkan sesuatu yang berkembang di luar sistem sastra.

Sebenarnya banyak hal yang bisa dibongkar dari konstruksi Jawa yang ada dari perspektif sastra Jawa sendiri. Salah satunya adalah masalah bahasa. Selama ini, penggunaan bahasa dalam sastra hanya pada tataran komunikatif, tetapi tidak pernah menggali bahasa dengan segala kemungkinannya, menghunjam sampai tulang sumsum kehidupan dan sampai warna darah peradabannya. Apalagi bahasa Jawa dikenal dengan tingkatan-tingkatan hierarkhinya (kromo inggil- kromo madya-ngoko). Toh, dalam hal ini kesadaran berbahasa Jawa pun tidak pernah disadari kehadirannya. Pasalnya, hingga kini belum ada yang berani bermain dalam kemungkinan perkembangan bahasa Jawa yang demikian pesat, dengan mengandaikan titik yang tidak bisa diungkapkan, berkaitan dengan perubahan peta global dunia dan realitas di sekelilingnya. Padahal pergeseran wilayah sastra memang harus melampaui wilayah ekspresi secara an sich, tetapi lebih melihat pada adanya gagasan dan pemikiran tentang realitas dan masa depan sosio-kultural yang melatarbelakanginya.

Bisa jadi, hal itulah yang menyebabkan kenapa dalam sastra Jawa modern, tidak ada sebuah karya yang bisa dianggap semacam tolak ukur batasan estetika, baik itu dalam prosa maupun gurit (puisi). Tiadanya tolak ukur itu bukan hanya sebuah kasus yang serius, tetapi sebagai sebuah tragedi yang patut untuk direnungkan. Nyatanya, toh, hingga kini tidak ada seorang pun pengamat sastra Jawa yang mampu menempatkan sebuah karya sebagai tolak ukur. Tetapi tolak ukur dalam batasan estetika sebagai semacam barometer estetika memang perlu dimunculkan. Kiranya, di situlah tugas satrawan-sastrawan muda Jawa, agar mereka lebih banyak berkarya, daripada berpolemik untuk polemik itu sendiri, tanpa menyentuh akar permasalahan yang semestinya. Mungkin, sastrawan muda Jawa harus berani berkata pada generasi yang lebih tua yang suka berpolemik itu: “Wahai Pak Tua, tak ada salahnya sastra Jawa berkembang tanpa Anda…”.

*) Dimuat di Media Indonesia, tahun 2002.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest