Dr Junaidi SS MHum
http://www.riaupos.com/
Ketika saya membaca cerpen yang terhimpun dalam buku Pipa Air Mata Cerpen Pilihan Riau Pos 2008, terbitan Yayasan Sagang tahun 2008, saya menemukan dua cerpen yang menarik untuk dibandingkan. Cerpen pertama berjudul “Kiamat Kecil di Sempadan Pulau” karya Fakhrunnas MA Jabbar dan yang kedua berjudul “Cinta Ibu” karya Hary B Kori’un. Cerpen lain yang terdapat dalam buku ini sebenarnya sangat menarik juga untuk dibincangkan. Namun demikian, tulisan singkat ini hanya akan membahas kedua cerpen tersebut. Common ground atau azas utama yang dijadikan dasar untuk membandingkan kedua cerpen ini adalah kedua cerpen menyampaikan gagasan kemunduran nilai-nilai kemanusian yang menyebabkan bencana dan duka mendalam bagi manusia itu sendiri. Berikut disampaikan beberapa gagasan yang dapat dibandingkan setelah membaca kedua cerpen tersebut.
Pertama, keserakahan manusia. Dalam “Kiamat Kecil di Sempadan Pulau” sifat serakah manusia terlihat dari aktivitas penambangan pasir laut dan darat secara besar-besaran oleh kaum pendatang. Eksploitasi alam secara berlebihan telah menyebabkan ketidakseimbangan lingkungan dan pada akhirnya keserakahan itu menyebabkan bencana alam yang sangat dahsyat seperti tsunami. Masyarakat dan pulau itu benar-benar luluh-lantak oleh kekuatan alam yang tidak lagi bersahabat dengan manusia. Alam telah murka kepada manusia karena manusia tidak lagi menjaga keseimbangan alam. Tindakan serakah juga ditunjukkan oleh aktivitas penjualan pasir ke Singapura dan Johor. Secara metaforik, penjualan pasir itu bermakna penggadaian harga diri orang Melayu Riau. Pasir itu sama dengan tanah. Tanah itu adalah warisan yang ditinggalkan oleh generasi sebelumnya sehingga kita menyebut kampung kita itu dengan tanah air. Dengan demikian, menjual pasir atau tanah sama seperti menjual tanah air sendiri kepada orang lain. Bila tanah air telah dijual, tiada lagi harga diri, tiada lagi identitas, dan tiada lagi eksistensi. Tersebab penggadaian tanah air itu pula lah pulau itu mendapat murka dari alam. Kekuatan moral dan agama yang disampaikan oleh tokoh Sayed Sobri tiada kuasa untuk merubah perbuatan serakah yang dilakukan oleh para pendatang dan penduduk tempatan. Kekuatan moral dan agama telah dikalahkan oleh keserakahan umat manusia.
Dalam “Cinta Ibu” keserakahan manusia terlihat dari aktivitas pengalihfungsian lahan penduduk dan pemakaman umum menjadi ladang sawit. Penduduk sebenarnya tidak setuju dengan program itu. Tetapi para pengusaha kaya dengan dibantu oleh aparat pemerintah memaksa penduduk untuk melepaskan tanah mereka. Para pengusaha tidak peduli terhadap penolakan yang dilakukan oleh penduduk. Secara metaforik, perebutan tanah penduduk Tongar bermakna tiada lagi warisan yang dimiliki oleh penduduk sebab tanah kelahiran mereka telah dirampas oleh nafsu serakah para pengusaha kaya. Tindakan serakah yang dilakukan oleh para pengusaha kaya dan aparat pemerintah telah menyebabkan penderitaan yang sangat mendalam bagi tokoh “Cah Bagus” alias “Aku” sebab kuburan ibunya telah diratakan oleh para pengusaha kaya untuk dijadikan ladang sawit.
Kedua, eksploitasi alam. Dalam kedua cerita terdapat tindakan ekploitasi yang dilakukan oleh umat manusia. Dalam “Kiamat Kecil di Sempadan Pulau” ekploitasi dilakukan oleh kaum pendatang dengan cara mengambil pasir laut dan darat yang terdapat di pulau. Pengambilan pasir itu dilakukan secara besar-besaran dengan mengunakan alat berat. Bila dilakukan secara tradisional oleh masyarakat tempatan tentu saja tidak akan merusak alam. Manusia boleh saja mengambil manfaat dari alam. Tetapi manusia harus memperhatikan aspek keseimbanan dalam mengolah alam. Alam itu perlu dijaga. Bila alam tidak dijaga, maka ia dapat mendatangkan bencana seperti bencana yang menimpa pulau itu. Manusia mesti bersahabat denga alam, jika tidak alam akan menunjukkan kemurkaannya kepada manusia dengan mendatangkan bencana.
Dalam cerita ini masyarakat tempatan hanya menjadi korban akibat eksploitasi alam oleh kaum pendatang. Kaum tempatan memang lebih cenderung peduli terhadap tanah airnya sendiri sebab itu adalah tanah kelahiran mereka yang diwariskan secara sah oleh leluhur mereka. Sedangkan para pendatang cenderung untuk mengabaikan alam sebab mereka merasa tanah itu bukan milik mereka. Mereka hanya tinggal sementara di situ untuk mengumpulkan kekayaan. Setelah mereka kaya dan alam itu telah hancur mereka pun akan meninggal tempat dan kembali ke kampung mereka sendiri. Kerusakannya akan dirasakan oleh masyarakat tempatan.
Dalam “Cinta Ibu” ekploitasi alam tergambar dari tindakan membabat lahan masyarakat tempatan dan digantikan dengan kebun sawit. Perusahaan besar secara paksa merampas tanah masyarakat untuk dijadikan perkebunan sawit. Bahkan pemakaman umum pun mereka ratakan untuk dijadikan perkebunan sawit. Pembabatan lahan penduduk secara paksa menunjukkan bahwa para pengusaha kaya tidak mempertimbangkan kondisi alam yang telah akrab dengan penduduk tempatan. Perbuatan pengingkaran terhadap alam lebih ditunjukkan oleh pengalihfungsian tanah pemakaman umum menjadi ladang sawit. Arwah orang yang telah meninggal juga mempunyai hak untuk tidur dengan tenang bersama alam. Tetapi dalam cerita ini perbuatan pengusaha kaya telah mengusir arwah penduduk tempatan termasuk arwah ibu Cah Bagus dari alam ini. Para pengusaha kaya tampaknya mempunyai pandangan bahwa orang yang telah meninggal tidak mempunyai hak untuk tinggal di alam ini.
Dalam “Kiamat Kecil di Sempadan Pulau”, eksploitasi alam telah menyebabkan bencana alam yang sangat dahsyat sehingga telah menghancurkan pulau dan membinasahkan masyarakat yang tinggal dipulau itu. Bencana itu diibaratkan kiamat kecil yang melanda kehidupan manusia. Kiamat kecil itu memberikan makna bahwa ekploitasi dalam telah menyebabkan petaka bagi umat manusia itu sendiri. Dengan demikian, pesan yang ingin disampaikan adalah manusia harus menjaga keseimbangan dengan alam.
Meskipun dalam “Cinta Ibu” akibat ekploitasi alam tidak ditampilkan dalam bentuk bencana alam, eksploitasi alam telah menyebabkan kemarahan yang sangat mendalam bagi tokoh Cah Bagus. Cah Bagus sangat dan sedih ketika ia menyaksikan tanah kuburan ibunya telah hilang digantikan dengan ladang sawit. Cah Bagus sangat terpukul oleh tindakan pengusaha kaya. Sebenarnya, bagi Cah Bagus sendiri dan masyarakat di Tongar perampasan tanah mereka juga merupakan kiamat sebab mereka tidak mempunyai tanah lagi di negeri mereka sendiri. Perasaan Cah Bagus sama seperti perasaan yang dirasakan tokoh Sayed Sobri ketika bencana alam melanda pulau itu.
Makna cinta ibu dalam cerpen kedua ini tidak hanya merujuk pada cinta seorang anak kepada ibu kandungnya sendiri tetapi secara metaforik dapat diartikan sebagai cinta seorang anak manusia terhadap tanah airnya sendiri. Untuk menjelaskan tanah air kita sering menggunakan kata “ibu pertiwi”. Dengan kata lain, dalam cerita ini cinta ibu dapat bermakna cinta kepada seorang ibu dan dapat juga bermakna cinta terhadap ibu pertiwi atau kampung halaman sebagai alam diberikan Tuhan untuk tempat manusia hidup. Setiap orang mempunyai fitrah untuk mencintai tanah airnya sendiri sehingga bila ada orang yang menzalimi alam atau tanah airnya maka ia akan marah. Persoalan itulah sebenarnya dihadapi tokoh Cah Bagus dalam cerita ini.
Ketiga, kepentingan ekonomi. Faktor kepentingan ekonomi menjadi dasar terjadinya kezaliman manusia dalam kedua cerpen. Dalam “Kiamat Kecil di Sempadan Pulau” eksploitasi dan penjualan pasir ke negeri tetangga tentu saja bermotifkan kepentingan ekonomi. Pendirian karaoke, diskotek, tempat hiburan dan perjudian semuanya dilakukan untuk kepentingan ekonomi. Kepentingan ekonomi telah mengalahkan sistem moral dan agama yang selalu diperjuangkan oleh tokoh Sayed Sobri terdapat dipulau itu. Orang telah melupakan aspek moral dan agama untuk mendapatkan kekayaan. Uang jauh lebih penting dan realistis bagi masyarakat di pulau itu dibandingkan moral dan agama.
Dalam “Cinta Ibu”, pengalihfungsian lahan pemakaman umum menjadi ladang sawit juga dilakukan atas dasar kepentingan ekonomi. Keberadaan kuburan dianggap tidak penting lagi sebab tidak mendatangkan nilai ekonomi. Tetapi bila ladang sawit yang dibangun akan mendatang uang yang banyak. Meskipun tindakan yang dilakukan dalam kedua cerita itu dapat memberikan keuntungan ekonomi, keuntungan itu bukan untuk masyarakat tempatan tetapi hanya untuk kaum pendatang. Kaum pendatanglah mendapatkan keuntungan ekonomi. Sebaliknya kaum tempatan hanya menjadi korban dari kepentingan kaum pendatang.
Keempat, dehumanisasi. Dalam kedua cerpen ini terlihat adanya fenomena dehumanisasi atau penghilangan harkat dan martabat manusia. Manusia digambarkan tidak lagi mempunyai sifat-sifat kemanusian. Bila manusia tidak lagi mempunyai sifat kemanusian, apakah mereka masih bisa disebut manusia? Manusia memakan manusia. Bahkan manusia telah berubah seperti dogs eat dogs. Atau dalam bahasa orang Kampar disebut “ikan bocek makan ikan bocek”. Degradasi moral benar-benar telah terjadi sehingga manusia tidak lagi dipandang sebagai manusia yang memiliki sifat-sifat kemanusian dan manusia telah tercerabut dari hakekat kebudayaannya.
Dalam “Kiamat Kecil di Sempadan Pulau” terlihat adanya perbuatan amoral sehingga manusia berbuat dengan semaunya tanpa mempertimbangkan aspek moral dan agama. Perkembangan dan persaingan ekonomi telah menghancurkan sistem sosial dalam masyarakat dipulau itu. Ajaran moral yang dikembangkan Syed Sobri telah terkalahkan oleh gaya kehidupan modern yang mengedepan nilai uang dalam setiap tindakan manusia. Dalam Cinta Ibu dehumanisasi terlihat dari tindakan perampasan pemakaman umum untuk dijadikan kebun sawit. Bahkan kuburan yang terdapat ditanah itu tidak dipindahkan. Meskipun itu hanya kuburan, itu mesti dihormati sebab di situlah leluhur, orang tua, keluarga dan masyarakat lainnya di kubur.
Kelima, makna cinta. Meskipun kedua cerita yang bincangkan dalam tulisan ini tidak termasuk dalam kategori cerita cinta kasih sepasang kekasih, kedua cerita ini menyampaikan makna cinta yang perlu kita renungkan. Dalam “Kiamat Kecil di Sempadan Pulau”, makna cinta disampaikan dalam bentuk ketidaksetian istri kepada suami. Pendek kata, cinta dapat dibeli dengan uang. Ini terlihat dari tindakan yang dilakukan Ah Cun yang merayu istri keempat Sayed Sobri. Ah Cun berhasil memperdaya istri Sayed Sobri untuk meninggalkan Sayed Sobri dan membawanya lari ke negeri jiran. Padahal Sayed Sobri adalah seorang ulama dan tokoh masyarakat. Tetapi mengapa istrinya bisa berpaling dari dirinya? Ini menunjukkan bahwa cinta itu ternyata bisa dibeli dengan uang. Kesetian dan pengabdian istri kepada suami dapat sirna oleh kekuatan uang.
Berbeda dengan cerita pertama, “Cinta Ibu” benar-benar menampilkan kesetian seorang istri kepada suaminya. Meskipun suaminya tidak pulang-pulang setelah sekian lama pergi, sang istri (Ibu Cah Bagus) tetap setia untuk menunggu sang suami. Sang istri tidak mau kawin lagi dengan lelaki lain karena ia sangat yakin dengan cintanya kepada sang suami. Bahkan sampai akhir hayatnya pun sang istri tetap setia menunggu sang suami meskipun suaminya tak pernah datang.
Kedua cerpen di atas telah memotret sepengal kondisi kehidupan yang dialami manusia di dunia ini. Manusia digambarkan berkembang tidak menuju progressive (kemajuan) melainkan menunju regressive (kemunduran) sebab manusia telah semakin serakah, tidak menjaga keseimbangan alam, semakin materialistis dan semakin dehumanisasi. Ternyata perkembangan manusia terbalik. Arah perkembangan manusia menuju kemunduran bukan kemajuan. Apakah ini yang disebut sebagai hasil dari peradaban manusia modern? Sulit untuk menjawabnya.***
*) Adalah Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Lancang Kuning Pekanbaru.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Ginandjar Wiludjeng
A. Junianto
A. Kurnia
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.S Laksana
A’yat Khalili
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Razak
Abdul Rosyid
Abdul Wahab
Abdurrahman Wahid
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adam Chiefni
Ade P. Nasution
Adhitia Armitriant
Adi Prasetyo
Adrizas
AF. Tuasikal
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Baso
Ahmad Faishal
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Naufel
Ahmad Rofiq
Ahmad S. Zahari
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ainul Fiah
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Alex R. Nainggolan
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Almania Rohmah
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aminah
Aminullah HA.Noor
Amir Sutaarga
Anam Rahus
Anata Siregar
Andari Karina Anom
Andina Dwifatma
Andong Buku #3
Andre Mediansyah
Andri Awan
Anett Tapai
Anggie Melianna
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Wahyudi
Anwar Nuris
Ardi Bramantyo
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Joko Wicaksono
Arief Junianto
Ariera
Arif Bagus Prasetyo
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Asmaul Fauziyah
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Wulan Sari
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Camelia Mafaza
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Daisuke Miyoshi
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Danusantoso
Dareen Tatour
Darju Prasetya
David Kuncara
Denny Mizhar
Denza Perdana
Desi Sommalia Gustina
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewi Indah Sari
Dewi Susme
Dian Sukarno
Didik Harianto
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur
Dipo Handoko
Diyah Errita Damayanti
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddy Wisnu Pribadi
Dody Kristianto
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi SS MHum
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Wiyana
Dyah Ratna Meta Novia
Dyah Sulistyorini
Ecep Heryadi
Eddy Pranata PNP
Edeng Syamsul Ma’arif
Eep Saefulloh Fatah
EH Kartanegara
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Hendri Saiful
Eko Windarto
Elnisya Mahendra
Elva Lestary
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Sulwesi
Endo Suanda
Eppril Wulaningtyas R
Esai
Evan Ys
F. Moses
F. Rahardi
Fadlillah Malin Sutan
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Febby Fortinella Rusmoyo
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Gabriel Garcia Marquez
Galang Ari P.
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Ganug Nugroho Adi
Gerson Poyk
Ghassan Kanafani
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunoto Saparie
H.B. Jassin
Habibullah
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Hardi
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
HE. Benyamine
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Herman RN
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Nugroho
Hikmat Gumelar
HL Renjis Magalah
Hudan Nur
Hujuala Rika Ayu
Huminca Sinaga
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ira Puspitaningsih
Irfan Budiman
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Zulkarnain
Ismail Marzuki
Iva Titin Shovia
Iwan Kurniawan
Jabbar Abdullah
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D. Rahman
Jamal T. Suryanata
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
JILFest 2008
Jody Setiawan
Johan Edy Raharjo
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Juan Kromen
Julika Hasanah
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Ka’bati
Karanggeneng
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Keith Foulcher
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khoirul Inayah
Khoirul Rosyadi
Khudori Husnan
Ki Ompong Sudarsono
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
L.N. Idayanie
Laili Rahmawati
Lamongan
Lan Fang
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lucia Idayanie
Lukman A Sya
Lutfiah
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Ismail
M Thobroni
M. Afifuddin
M. Arwan Hamidi
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Luthfi Aziz
M. Nurdin
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.S. Nugroho
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahmud Syaltut Usfa
Mahmudi Arif Dahlan
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Martin Aleida
Maruli Tobing
Mas Ruscita
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni Muserang
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mia Arista
Mia El Zahra
Mikael Johani
Misbahus Surur
Misran
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
Much. Khoiri
Muh. Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun
Muhammadun AS
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mukti Sutarman Espe
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Munawir Aziz
Musfarayani
Musfi Efrizal
Nafisatul Husniah
Nandang Darana
Naskah Teater
Nelson Alwi
Ni Made Purnamasari
Nikmatus Sholikhah
Nina Herlina Lubis
Nina Susilo
Ning Elia
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel-novel berbahasa Jawa
Novelet
Nunuy Nurhayati
Nur Azizah
Nur Hamzah
Nur Kholiq
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Aini
Nurul Anam
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Okty Budiati
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso H.N.
Pagan Press
Pagelaran Musim Tandur
Palupi Panca Astuti
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Petrus Nandi
Politik
Politik Sastra
Pradana Boy ZTF
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringadi AS
Prof Dr Fabiola D. Kurnia
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Puji Tyasari
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
Purnawan Kristanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Ng. Ronggowarsito
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmat Kemat Hidayatullah
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rasanrasan Boengaketji
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Resensi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Ririe Rengganis
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rusmanadi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saiful Amin Ghofur
Saiful Anam
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman S. Yoga
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang KSII
Santi Puji Rahayu
Sapardi Djoko Damono
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Jawa Timur
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputra
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sri Weni
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugi Lanus
Sukron Ma’mun
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaf Anton Wr
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syarif Wadja Bae
Sylvianita Widyawati
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie (1961-2019)
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tia Setiadi
Tirto Suwondo
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tosa Poetra
Tri Nurdianingsih
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulul Azmiyati
Umar Fauzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Utari Tri Prestianti
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wan Anwar
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wina Bojonegoro
Wita Lestari
Wong Wing King
Wowok Hesti Prabowo
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopi Setia Umbara
Yudhi Herwibowo
Yudi Latif
Yusri Fajar
Yusuf Ariel Hakim
Yuval Noah Harari
Zacky Khairul Uman
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zed Abidien
Zehan Zareez
Zhaenal Fanani
Zubaidi Khan
Zuniest
Tidak ada komentar:
Posting Komentar