Senin, 01 Desember 2008

Kemerdekaan di Tengah Kemiskinan

Catatan Pentas Monolog ''Merdeka'' Putu Wijaya
Ribut Wijoto
http://www.jawapos.com/

Dengan sedikit tertatih, Putu Wijaya memasuki panggung dengan memanggul kursi. Ia lontarkan beberapa sindiran. ''Umur saya telah seratus tahun. Tapi saya masih kuat. Itu karena saya tidak memiliki apa-apa. Saya hanya memiliki satu kursi. Saya tak pernah korupsi.''

Di atas panggung sisi kiri, ada tiang berbendera merah putih. Ditancapkan sedikit miring. Di sisi kanan, dua buah sapu lidi berdiri tegak. Dan tepat di atas panggung, tergantung sangkar. Isinya bukan burung, tetapi kantong plastik tepung. Putu lantas meletakkan kursi tepat di bawah sangkar.

''Cucu saya, yang masih SD, bertanya. Kek, apakah kita telah merdeka? Tentu saya heran, ini anak SD apa kerasukan setan. Tiba-tiba mempertanyakan kemerdekaan," ujarnya setengah melompat ke belakang.

Adegan bermuatan sindiran tersebut mengawali pentas monolog Putu Wijaya di Gedung Serbaguna Unair, Rabu (19/11) malam. Pendiri Teater Mandiri itu kemudian memerankan dialog seorang kakek dengan cucunya. Sebuah dialog yang janggal.

Mengapa janggal? Ini terkait dengan logika tekstual. Seorang bocah SD, apalagi zaman sekarang, mempertanyakan kemerdekaan adalah sesuatu yang tidak lazim. Tidak logis. Terlebih, si cucu itu memaparkan makna kemerdekaan di tengah situasi politik yang tak jelas. Kemerdekaan dikontraskan dengan kemiskinan yang mendominasi kondisi rakyat Indonesia. ''Benarkah kita telah merdeka, Kek. Padahal kemiskinan kian merajalela.''

Si anak terlalu cerdas untuk ukuran kewajaran. Pertanyaan maupun pendapat seperti itu lebih layak keluar dari mulut mahasiswa. Setidaknya mulut pelajar SMA yang memiliki perhatian pada wacana nasionalisme. Seliar apa pun, tidak mungkin keluar dari mulut atau pikiran siswa SD.

Pembukaan dialog yang dimainkan Putu terkesan klise. Tanpa dasar. Dan, selebihnya omong kosong. Putu gagal menurunkan pemikirannya ke dalam tataran praktis. Padahal, lelaki kelahiran Tabanan Bali, 11 April 1944, itu tampaknya hendak mengungkapkan makna kemerdekaan melalui dialog keseharian dalam keluarga. Obrolan ringan yang memiliki makna mendalam.

Tapi, memang, kegagalan serupa kerap menghampiri tradisi tekstual di Indonesia. Itu seperti kefatalan yang menimpa tubuh teks Pengakuan Pariyem karya mendiang Linus Suryadi A.G. Prosa liris yang memaparkan dunia batin seorang babu kraton bernama Pariyem. Mana ada seorang babu mampu menguraikan pemikiran Jawa secara detail dan sublim. Merepresentasikan filosofi kehidupan secara mendalam, babu karangan Linus terlalu cerdas. Ia lebih mungkin sebagai mahasiswa filsafat daripada seorang babu, meskipun ia hidup di lingkungan kraton.

Bandingkan dengan penokohan yang digarap Iwan Simatupang dalam novel Merahnya Merah. Sang tokoh diberi identitas gelandangan. Namun sebelumnya, dia adalah bekas pejuang. Dia juga mantan siswa seminari yang gagal menjadi pastor. Sang tokoh mengelandang bukan karena tertimpa kemiskinan. Tetapi memang itulah pilihan hidupnya. Dia hendak mencari kebebasan.

Bersandar dari identitas tersebut, sang tokoh menjadi logis ketika memaparkan berbagai persoalan filsafat, nasionalisme, maupun teologi. Artinya, ada kesesuaian antara latar belakang tokoh dengan pembicaraan yang dilontarkan. Hasilnya adalah keutuhan penokohan. Tokoh berbicara sesuai dengan kapasitasnya.

Pada monolog Putu, kegagalan membangun logika tekstual itu diperparah dengan paparan-paparan sang kakek terhadap cucunya. Bagi ukuran keseharian, jawaban-jawaban sang kakek lebih mirip kuliah dosen mata kuliah Kewiraan di hadapan mahasiswa. Bayangkan saja, si kakek dengan penuh semangat mendeskripsikan kebobrokan yang melanda birokrasi Indonesia. Membedah beragam efek ketimpangan sosial. Mengolok-olok sikap pemerintah yang tidak menghargai pahlawan. Dan, oleh pertanyaan si cucu, sang kakek seperti tersadarkan bahwa Indonesia belum layak dianggap merdeka.

Ini sungguh tidak masuk akal. Bahkan, tokoh kritis sekelas Arif Budiman pun tidak akan melakukan hal konyol seperti dalam pentas Putu Wijaya. Untungnya, logika tekstual bukanlah satu-satunya ukuran keberhasilan sebuah pentas monolog. Ada aspek-aspek lain yang turut signifikan. Putu Wijaya memang gagal mengembangkan logika tekstual. Tapi, perlu banyak catatan, tokoh teater yang pernah 7 bulan berkeliling pelosok Jepang untuk bermain drama ini sukses menyuguhkan drama komikal yang menghipnotis pengunjung. Selama satu jam, pengunjung tak lepas dari sajian panggung Putu.

Putu Wijaya berhasil mengatur ritme emosi dan simpati penonton. Pada kriterium ini, Putu memamerkan kapasitasnya sebagai dramawan tangguh. Di usianya yang telah 64 tahun, Putu mampu memainkan monolog secara stabil. Staminanya tak pernah kendur. Mulai tengah babak, suara Putu memang terdengar serak. Tapi, suara serak itu tertutupi oleh olah vokalnya yang prima.

Putu kadang bersuara lirih. Kadang datar. Berteriak. Kadang malah berteriak lantang dengan ritme cepat. Apakah ada dramawan setangguh dia di Jawa Timur? Bisa jadi tak ada.

Putu juga melompat. Menghentak-hentakkan kakinya ke lantai kayu. Berlarian. Merentangkan tangan lebar-lebar. Kesemuanya dalam porsi yang tepat. Kesemuanya memperlihatkan ketangguhan seorang aktor kawakan. Menghasilkan artistik yang terukur. Terencana. Dan, selebihnya menghipnotis. Sama sekali tidak terlihat ia letih atau kedodoran.

Kesederhanaan properti di atas panggung mampu diisi dengan mobilitas pemeranan. Bloking yang mengisi seluruh ruang. Bahkan, pada bebeberapa momen, Putu turun dari panggung. Membawakan dialognya dekat dengan penonton terdepan. Putu tiba-tiba juga menubruk kain belakang panggung hingga menimbulkan kesan terjatuh. Saat-saat tertentu, Putu berdiri tegak di atas kursi. Pada saat yang lain, Putu melemparkan kursi ke udara. Pada batasan tertentu, Putu memang jagoan di ranah monolog.

Segala properti menjadi tidak sia-sia. Eksplorasi Putu melibatkan seluruh benda yang ada di atas panggung. Dia bergerak ke kiri untuk menciumi bendera, menarik-nariknya, mengibas-kibaskannya. Sekejap, dia berlari berlutut dan bersujud di lantai. Secara apik pula, dia juga mengekplorasi tongkat, sapu lidi, sangkar, dan kursi. Di bagian akhir adegan, Putu memukul-mukul sangkar dengan tongkat. Hingga sangkar tercerai berai. Berhamburan. Dan, kesemuanya menghasilkan efek artistik yang manis.

Dramawan yang juga menghasilkan lusinan cerpen, beberapa novel, naskah drama, dan rajin menulis ulasan seni pertunjukan ini juga berhasil membangun komunikasi interaktif dengan penonton. Beberapa kali dia melontarkan dialog yang seakan-akan improvisasi. Semisal memarahi bagian properti yang mengepulkan asap ke panggung. ''Asapnya jangan sampai terlambat, saya potong honor kamu nanti,'' katanya.

Dia juga menegur bagian properti yang tidak segera menurunkan dan menaikkan tali sangkar. ''Ini akibatnya kalau latihan hanya dua hari. Telat terus,'' ujarnya. Mendengar komentar Putu, tak ayal, penonton pun terbahak.

Tak berhenti sampai di situ. Putu beberapa kali juga menyapa penonton. Bahkan mengajak penonton menirukan suara burung perkutut. Oleh sebab sajian Putu yang menghipnotis, penonton pun serempak menirukan suara perkutut. Berkali-kali.

Hasilnya, hubungan antara panggung dengan penonton menjadi cair. Berbagai kritik sosial yang dilontarkan Putu bisa diterima penonton tanpa perlu mengerutkan dahi. Kritik sosial Putu memang dikemas dan diperankan secara komedian. Menuntun penonton untuk tertawa. Semisal, tiba-tiba Putu berceletuk. ''Asap jangan dikeluarkan terlalu banyak. Harus dihemat. BBM mahal," ujar Putu kepada bagian properti panggung.

Begitulah Putu Wijaya, sang dramawan yang tak henti berkarya. Tak mau tinggal diam melihat beragam ketimpangan sosial. Melihat kemacetan kinerja birokrasi. Melihat makna kemerdekaan yang terus dipangkas. Menyaksikan kemiskinan kian merajalela. Pemerintah yang tak bisa menyelesaikan persoalan kenegaraan. Justru sebaliknya, pemerintah kerap kali justru bertindak blunder dengan kebijakan-kebijakan non-progresif.

Tapi, apakah Putu Wijaya memberi solusi atas berbagai persoalan yang dia ungkap? Tidak. Putu sebatas memaparkan persoalan-persoalan di negeri Merah Putih ini. Dia hanya memakai ketimpangan sosial untuk menggambarkan kegalauan hati seorang kakek yang pernah berjuang memerdekakan negerinya. (*)

*) Anggota Forum Studi Sastra & Seni Luar Pagar Surabaya dan Komunitas Teater Gapus Surabaya.

2 komentar:

Damar Who Land mengatakan...

cak blog nya bagus tampilannya, ulasannya juga menarik,....bagi dunk resep html nya

PuJa mengatakan...

wah aq-nya juga baru-baru belaja kok, trimakasih atas kunjungannya kawan...

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest