Nurel Javissyarqi*
Dipersembahkan kepada almarhum Zainal Arifin Thoha, Suryanto Sastroatmodjo, serta kawan-kawan semuanya.
Pembuka
Ini luapan kesemangatan luar biasa tentang hidup. Buah berkah yang harus disyukuri, dijalankan sebagai kerja kudu cepat melaju, keras lagi tangguh dalam pertahanan. Saya sebut ras pemberontak itu, tandingan dari sifat kelembekan yang selalu menjegal langkah-langkah lincah kita saat berlari.
Ialah gairah besar harus diledakkan kecuali ingin datangnya bisul lebih parah lagi. Bisul itu pemberhentian tidak nyaman juga sangat menyakitkan. Maka songsonglah sebelum datangnya sakit menyerang. Kita diadakan sebagaimana ada, dan terus hadir di segala jaman dan sejarah kemanusiaan. Tanpa kita dunia bengong, pikun, melempem, lumpuh, apalagi ditambah laguan melemahkan jiwa, atas dasar nilai-nilai mandul.
Marilah melancarkan jawab, sebab hanya kita yang bisa menjawab persolaan yang menghadang, oleh telah diberi limpahan kemampuan lebih di atas mereka yang enggan berjuang. Kaki-kaki ini langkah prajurit tidak kenal siang-malam, tidak peduli ilalang pun duri-duri mengancam. Semua menjadi lunak saat mengetahui situasinya. Maka rebutlah peta, kita jabarkan kepada ras yang mulia. Di sana ada titik-titik harus dikuasai, semua akan dimengerti jika segera beranjak dari kursi. Manfaatkan segala rasa demi perasaan ke luar, kita tebarkan bius untuk melucuti hasrat keinginan tanggung, sebab itu pengganggu.
Kita tidak membedakan warna kulit atau asal suku, suatu bangsa, lewat melihat wajah masing-masing dalam perkumpulan, tentu sanggup mengenal, membedakan. Kita paling cemerlang dan menjadi perhatian orang-orang yang tidak percaya diri. Kita singkirkan semuanya yang sekadar jual tampang tanpa isi. Kitalah diri, bukan sekumpulan preman tanpa perhitungan, lebih di atas segala sesuatu yang pengancam nilai-nilai rendah.
Marilah naik lebih tinggi, dengan ketinggian kita bisa menghimpun kekuatan, sayap-sayap kita rentangkan, kekuatan muda benar-benar mengalirkan darah kita. Senantiasa bergejolak dalam segenap situasi, terus menjadi yang pertama-terkemula di setiap penelitian. Kita awal dan akhir pertunjukan di muka bumi. Tanpa kita dunia kosong melompong.
Jangan sampai anak-anak kita buta nilai huruf, ini kesalahan ras kita yang lain di masa lalu, di masa perang sedang bergolak, carilah sendiri siapa itu. Kita harus lebih lihai dari para pengecut atau anak-anak pecundang. Darah kita telah dijanjikan kemenangan, jikalau benar sabar dan teguh dalam memperjuangkan pendirian. Perlu juga menghitung tarikan nafas, agar yang keluar tidak sia-sia di tengah pertempuran.
Aturan sedemikian padat itu hasil luapan menggelora. Menancapkan keyakinan sedalamnya, agar ras mulia tidak luput menjadi tanggung. Olehnya, jangan berjalan mundur, lebih baik berlayar ke samping jika angin kencang membahayakan jiwa. Tetap menuju pada yang teryakini, tercita-citakan menghimpun kekuatan dari ras-ras pemberontak.
Hujan teman kita, gemuruh badai guruh dan panas semangat keluar sedari warangka berita wacana nalar-nalar kita. Sebab itu teruskanlah menggabungkan segala ungsur kalau tidak mau disingkarkan saudara yang lain. Saat itu tidak lagi memegang ras kita, darah yang mulai, darah berontak. Mati-hidup kita tidak lagi berkeadaan penasaan, apalagi menciptakan teka-teki membingungkan.
Kita membawa keterbukaan juang bagi semua. Terbuka dan selalu membuka diri, dengan itu kita dapat menyelidik lebih jauh topeng-topeng yang dipakai para pengecut. Kita singkirkan satu-persatu agar tidak mengacaukan suasana persidangan, sebuah rapat besar membahas perjuangan ras kita di muka bumi.
Biarkan mereka menyebut kita segerombolan penyamun, penyadap atau apa saja tidak mengenakkan telinga. Tetapi tentunya kita yakin; perasaan yang berkata begitu, segera dan saat itu juga tengah bergetar ketakutan oleh kesemangatan kita yang terus memuncak kepada gunung tertinggi. Kita tidak perlu menancapkan bendera di suatu ketinggian, namun tancapkan tanda pada setiap barisan-barisan kita di segala lini pejuangan.
Jikalau mengibarkan bendera kemenangan atau apa saja, orang tanggung segera mengetahui, walau mereka ragu dan takut kalau segera ke sana, kepada kita. Karena itu, pelajarilah kejiwaan para tanggung secara seksana, kita pilih menjadi bagian jika sekiranya mau mengikuti prosesi sejarah besar kita nanti, dan sudah, juga sedang terjalankan kali ini.
Nenek moyang kita para pencipta sejarah dalam seumur hidupnya yang gemilang, tidak pernah keluar dari goa pertapaan. Mari sinauhi keseluruan ilmu, lebih-lebih menyuntuki sebagai hal pelajaran masa, dan terus diperdalam agar benar-benar dalam lingkaran merah keberanian, ras pemberontak. Nenek moyang kita pencetus tatanan hayat di muka bumi yang dirahmati, dayadinaya kita. Ketika dipercaya, manfaatkan semaksimal mungkin, janji harus ditepati. Tidakkah kepercayaan untuk kita ialah harta berlimpah?
Pun harus berani mengorek borok, dengan itu kita mengetahui sejauh dalam dan bodohnya diri ini. Sekali lagi, ras kita keterbukaan, buka pintu lebar-lebar dari semua lapisan dalam mencari inti demi penelitian lebih agung nan mulia. Yang sedang terkerjakan kita suntuki tiap-tiap masa, tidak peduli apakah perut ini terisi atau sedang lapar. Saat luapan terus ternyatakan-teringinkan, dan pernyataan menjelma anak-anak kudu kita rawat, sebab dengan itu ras kita semakin kuat.
Perlu digaris bawahi, kita buang ritual tidak penting, waktu sekadar mengedepankan muka. Jikalau terus maju segera bertemu saudara-saudara yang lain. Nenek moyang kita para pelaku yang sanggup mewarnai sejarah. Dan tidak perlu mencipta hal baru kecuali lebih manfaat maha-mutu. Laksanakan perintah, sebab energi kita berasal dan kembali. Kita tidak perlu mengaku-aku pewaris dunia, saudara tentu mengetahui, sejauh mana diri berjuang demi ras, ras pemberontak yang kukuh pendirian, keimanan.
Sungguh diperhatikan, harus tekun mempelajari kecelakaan-kebodohan, hal itu menghambat sangat perjuangan. Marilah terus mengajarkan kepada anak-anak, tentang perjuangan kelas antara ras kita dengan ras pengecut. Perhatikan juga, jangan sampai mengambil anak dari keturunan pengecut, sebab darah pengecut sangatlah fatal, bisa membinasakan keturunan kita menjadi darah terendah jikalau bercampur dengannya.
Kita harus memberikan perhatian lebih kepada keturunan kita, yang mau keluar dari kepulaun, sebab sejatinya moyang kita para penjelajah. Kita bukan penjajah atau pun penindas ras lain. Kita memegang hukum; siapa berjuang tentu mendapatkan limpahan. Para pengecut mencibir kita, sebab tak mampu melaksanakan perintah bathinnya, darah mengalir di tubuhnya bukan darah berontak atau pencetus, bukan darah juang yang kita rasakan alirannya disetiap saat.
Kerinduan kepada junjungan yang harus diperjuangkan, nenek moyang kita terhormat. Para pemuka peradaban, pencerah segala kalbu menjadi tuntunan umat bersegenap syukur atas perjuangan yang dilimpahkan-Nya. Kita lantunkan tembang-tembang menggairahkan, perjuangan tidak kering nyanyian kalbu yang menggerakkan seluruh pancaran hayat. Melangkah bersegala terus ternyanyikan, berjuang berseluruh tetembangan membahana ke pelosok sejati rasa, segenap hati umat manusia. Itulah tujuan kita, mencipta dunia dengan ras-rasa berontak atas kedirian yang lemah, oleh sifat kebinatangan yang lembek dalam jiwa.
Penerus dan Penebus
Pada bagian pembuka kita mulai mengetahui dari hal-hal kecil terawat, dipelihara dengan kekukuhan menggelora, sedari kegigihan tajam dan terus hingga dinamakan cita-cita, pantaslah diperjuangkan. Dari ringan yang tidak mereka perhitungkan, kita memulai pemberangkatan ini.
Ini berkah dari ketajaman mata bathin yang sanggup mengambil mereka yang abai, yang menganggap kita dungu atau kelewat gila, sebab saat melihat kita dalam berproses. Sementara sudah tidak ada ketika kita telah naik menanjak, karena nafas-nafas mereka telah habis di tengah jalan. Karenanya, aturan pernafasan harus diperhatikan betul, agar tidak ikut terjatuh di tengah jalan atas meremahkan. Kwalitas bukan meremehkan yang lain, kecuali benar-benar tertandakan bahwa mereka benar-benar pengecut.
Tentu saudara mengetahui bagaimana cara membangkitkan jiwa, kala sedang terlena bujuk para perayu, dengan membaca biografi nenek moyang terhormat. Ini bukan pembelajaran tetapi bagaimana terus membangkitkan semangat, tiada saat-saat padam sebelum ruh meninggalkan badan.
Basis kita keimanan amanah yang diberikan tuhan, itulah gelora nyawa bagi penebus kesalahan sejarah dibuat kaum licik, yang mengambil perhatian sejarah dengan hal-hal membingungkan jiwa kedamaian, tidak membawa mangfaat selain dogma tanpa hasana pengajaran indah. Kebangkitan kita, ras pemberontak yang mendiami bumi berkesungguhan, kesuntukan menggebu.
Iktikatnya mengajak seluruh lapisan berjuang, jika menerima menjadi pewaris terhormat, darah pemberontak dari kemapanan merugikan, kita rong-rong para mencipta hutang negara yang berlimpah kebodohan. Darah pemberontak tahu bagaimana mempertahankan hidup, agar tidak ada saat-saat menciptakan ruang meminta-minta sumbangan apalagi berhutang. Sebab telah menebusnya dengan kerja keras terus-menerus. Dan kepasrahan kita maknai dinamis, tidak puas keadaan selain tuhan menimpahkan hal pemberhentian atau mati. Kita sadap yang membuat kita lena, terus maju menumpahkan gelora perjuangan atas ras kita.
Tidakkah saudara sudah membaca buku-buku atas kelas kita? Memperjuangkan martabat kemanusiaan dengan kedudukan semestinya, tidak membedakan warna kulit atau golongan, pun keilmuan apa saja. Kitalah panji-panji penanggung jawab di antara yang ragu-gagu ketakutan atau merasa bersalah karena tidak mau melangkahkan kaki-kaki atas orang-orang tua yang kolot. Kita berdiri mewujudkan piramida gagasan luar biasa.
Kita tidak mencipta menara gading atau patung mengerikan yang sekadar menghipnotis orang lewat, namun kita terus merangsek seangin kencang membuat kendaraan perubahan iklim wacana. Kitalah jalannya perubahan, berkendaraan dengannya tetapi bukan anak-anak perubahan. Kita kendali sang perubahan, mengambil energi-energi terlewati untuk terus merangsek sampai ke pantai damai, ras yang diberkati keringat juang.
Tentu kita sadar, tidak mungkin saling membunuh-menikam, meski itu kejiwaan yang lain. Sadarlah kalau saling bantai serang, kemakmuran dan keberlangsungan ras segera habis. Tidakkah kita butuh saling bahu membahu, mencanangkan kerja besar membuat milinium bagi kejiwaan kita. Tetapi bukan berarti sama-sama kalau tidak ada perlunya. Saudaraku ras berontak, pasti akan bertemu jika gigih memperjuangkan keyakinan yang selalu merawat kejiwaan tunggal bernama tekat, segera berjumpa dalam aura agung, gelora paling tinggi setelah badai hilaf.
Kita sadar, kekuatan kita sering kali terpatahkan alam. Bersekutulah, pergunakan tubuh alam menjadi tameng-tameng, menancapkan pepohonan tegar demi dinding-dinding rumah. Kita bukan sekelompak penebang hutan sembarangan, kita merawat alam, hewan-gemewan bersatu-padu, maka kealamian juang tetap terjaga. Tidakkah dapat mengambil manfaat dari merawat kemungkinan pada permukaan-kedalamannya, menjadikan energi terus menggelora?
Proses menentukan diri ini sungguh-sungguh ras berontak atau tidak. Jangan berhenti di pertigaan atau perempatan. Sebab itu laluan yang bisa membuat kita tersingkir kalau sedang lemas saat menempuh jalan perjuangan. Jika hendak berhenti, masukilah gua keheningan paling sunyi, untuk kembali kepada hakekat sebenarnya, dari awal sebagai insan diberkahi.
Sekali lagi jangan berhenti di tengah-tengah, nanti hilang kedirianmu, dan tidak memiliki pesona lagi di hadapan saudara yang lain juga orang-orang lemah. Jangan dipermalukan langkah sendiri, terus maju dan terus. Inilah kesempatan berharga; nyawa, waktu luang, kesehatan, kekayaan. Saya tidak menyebut jabatan itu kekuatan, kalau tidak meleburkan dirinya sebagi ras kita, berontak.
Dan saling memberi kasih sesama yang ragu kurang pengalaman, sebab hakekatnya ia punya semangat membaja, sekali tarik saja sanggup berlari ribuan mil. Tentu kita bisa membedakan orang ragu karena takut, atau sungkan kepada pendahulu yang gelap, dengan ragu sebab sifat alamiah pemberontakan belum terbuka.
Kita wajib membuka kran-kran yang lemah, agar alirannya menggelinjak deras, dengan itu kekuatan ras semakin berlimpah, tenaganya tidak terdeteksi kecuali oleh kedirian yang lain, mawas diri atas langkah tertempuh. Memangfaatkan perubahan masa kecondongan gerak matahari, dengan kefahaman itu tidak lagi dalam kerangka ruang-waktu, kita merangsang bersegala pola-pola pergerakan, sehingga lebur sebab kita ialah tubuh dari perubahan, angin pencerahan, daulat kasih sayang kesungguhan cinta.
Kefahaman lingkungan perlu dibicarakan lebih dalam, dengan itu tidak dikuasai perubahan. Namun sebelum meleburkan ruang-waktu, kita harus jeli menyelidik, belajar tekun atas gejala agar tidak kecelik kalau mengetahui perubaan tubuh atau proses kreatif yang begitu menanjak bergelora. Tidakkah sering merasakan keberhasilan, dengan itu jangan terus terlena tipuan menghanyutkan diri, kita harus hati-hati menterjemahkan kejiwaan hasil, tidak perlu ragu merevisi jiwa-jiwa yang tidak baik demi tonggak lebih mapan lagi tangguh.
Anggap saja capaian itu sekadar gula-gula yang segera habis di tengah laluan kala mengunyah. Tandas nikmat selesai hingga tidak tergiur balik serupa. Tergerak kebaharuan, perawatan bidang kita teliti menarik sebagai tambahan energi. Pun pula diperhatikan meski diberi dayadinaya belimpah kudu merawatnya. Bukan kelompak kita yang memiliki sifat meremehkan, meski persoalan kecil-kecil. Saya tegaskan, jangan sekali-kali berdiskusi dengan yang memiliki jiwa-jiwa pengecut, itu musuh utama ras kita.
Ini bagian penerus-penebus, sebab moyang kita ada yang bekerja belum selesai bukan sebab apa, lantaran umurnya diambil yang Kuasa. Ia bukan manusia manja lingkungan, tidak ongkang-ongkang kaki kidungan melenakan yang kita anggap suatu kengerian. Cengeng, putus-asa ialah hal yang patut dipelajari agar sang jiwa tidak masuk ke jurang terdalam. Sekali saja terjadi akan ketagihan, sebagaimana kita lihat orang-orang cengeng terus merengek di ketiak si tuan atau ibunda kesambillauan.
Keseluruhan saya terangkan di atas, demi terkembang sebagai hal kebaharuan yang terus menerus kita tingkatkan. Tidak akan berhenti meski usia sudah lanjut, sebab hakekat kelemahan ialah usaha kita yang tidak sungguh, kecuali tuhan memprotoli kelebihan itu, saat ketuaan merambati tubuh, tetapi kejiwaan kita terus menggelora seharusnya. Ini hadiah bagi ras kita, ras berontak. Semoga kita bisa mempelajari lebih tinggi lagi dalam, berdiri sejajar dengan nenek moyang kita yang terhormat.
Bermain dalam Keseriusan
Tentu saudara mengetahui bagaimana tradisi permainan kita, melemparkan kartu-kartu kecil untuk mengelabuhi musum-musuh. Kita persiapkan perjalanan panjang tersebut dengan sekumpulan tenaga besar, sebab nantinya kita ciptakan karya-karya percobaan. Semakin mengerti pengalaman berperang, menambah faham situasi medan pertempuran.
Mangfaatkan nyawa rangkap kesungguhan, ketidakmaluan serta gunakan energi yang tidak kenal lelah, terus mengejar yang bersenyum meremehkan di atas kasur air. Kita anak-anak pinggiran kali di luar pagar, tersisikan, tetapi bukan itu lantas hanyut pertemuan arus. Tidakkah percaya, kitalah sang duta perubahan. Dengan berada di luar pagar dapat bermain seenaknya, seideal-mungkin. Biarkan mereka terbawa arus masa, tentu kita bisa mengetahui sejauh mana musuh-musuh berlari.
Mereka tidak akan tahu kapan kita menciptakan ledakkan di samping telinga di depan mata publik. Sekiranya ledakan kurang besar atau tidak berarti apa, tentu kita tidak perlu malu, dan menghimpun balik daya cipta lebih dari sebelumnya. Dengan senantiasa mengawasi musuh-musuh, celah-celah bagaimana bermain dengan permainan kita, di medan mereka atau tidak jelas waktunya.
Yang faham hakekat waktu-waktu kita, hanyalah golongan kita dan mereka tidak mengerti kapan kita menciptakan dan meledakkannya, sebab mereka disibukkan permainannya. Ini harus dimanfaatkan, menarik massa sebanyak-banyaknya dari kalangan kita, lalu merambat di pinggiran kota. Setelah massa lapisan bawa telah menjadi persekutuan, tidak harus lagi mendatangi, tetapi tentu mereka segera mengunjungi panggung milik kita berjubel massa.
Serta jangan sampai ada penyusup datang mengacaukan panggung, meski juga tidak berani. Kita jangan segan menghakimi pengacau di atas panggung, sebab apa yang terbangun ialah milik kita sendiri, berasal dari kesemangatan kerja. Jikalau sekiranya mereka ingin masuk lingkaran dan mengikuti arah, kita beri jalan terbuka. Dan semakin lama lingkaran api unggun melebar, terus membesar, maka sebaiknya menciptakan lingkaran lagi di kota-kota besar, dengan itu bisa lebih punya nafas rangkap, jikalau mereka suatu masa berhasrat menumpas kita.
Lewat beberapa lingkaran kita buat, unsur-unsur ras kita, bertambah lama semakin tidak diabaikan, menjadi ancaman besar yang berpangku tangan melihat kita dengan kesinisan. Kita tahu debu-debu kita tidak mungkin masuk ke ruang-ruang elit, sebab terhalang kaca-kaca tebal. Tetapi tidakkah mereka pasti keluar jalan-jalan? Jalan pulang? Dan melihat lingkarang kita makin membesar, dan yang semakin banyak itu.
Kita ialah massa riel sebab lintasan kita selalu di jalan-jalan, massa kita telah mengetahui sejauh mana langkah dengan keyakinan itu. Kita tunjukkan sejauh ketepatan menang dari massa mereka sekelumit tidak jelas, yang mereka gembar-gemborkan selama ini sekadar nama tidak memiliki kejelasan pendirian. Kita ciptakan lembaga-lembaga tandingan yang tidak kalah dengannya. Dana kita berasal keringat sungguh. Yang tidak sungguh-sungguh bukanlah ras kita. Kita berangkat dari jalan-jalan tidak terlihat, lalu tampak bersama debu-debu perjalanan hayat nan abadi.
Tentu saudara mengetahui, debu selalu berada di bawah, sekali melayang mengenai pandangan mata mereka. Itulah kita, terus ciptakan kemungkinan lain, sesuatu yang tidak diperhitungkan, namun kita senantiasa menghitung langkah ini bermatang tempaan. Oleh sebab itu, harus mengetahui perubahan-perubahan. Dengan kekuatan alamiah, kita sanggup hidup lestari dan mereka yang terkena arus perubahan selalu tumbang di bawah kaki-kaki, oleh sesama mereka tidak memiliki emosional persahabatan. Kita masih di bawah sana, tentu tahu bagaimana debu-debu terlayangkan ke kelopak-kelopak mata, itulah saatnya mengambil alih waktu. Dan kartu-kartu yang besar masih aman dalam genggaman tangan kita.
Sekali-kali jangan anggap permainan selesai, kita harus kian jeli kedatangan anak-anak tanggung mereka. Sekali lagi, yang memiliki sifat pengecut, senantiasa tak puas menyaksikan keberhasilan atas kesungguhan kita. Dengan pengalaman mereka juga, kita timbah keilmuan bagaimana rentangan sayap-sayap, melebarkan kekuasaan seluas-luasnya, sehingga cakar-cakar ini benar-benar menancap dalam kalbu anak-anak kita terhormat, bukannya elusan.
Di sini menampilkan keseriusan beropera sekaligus propaganda. Perlu diperhatikan, di sisi kiri dan kanan masih berdiri tegak musuh-musuh. Rawatlah kewaspadaan, jangan sampai tumbang karena mengenang kilau perjuangan. Jangan mengikuti cara-cara yang melupakan tapak-tapak kaki hayati. Pengalaman ialah guru paling bijak, memantapkan diri menunjukkan kegigihan menjadi belati tajam setiap saat. Kitalah sang penanti sekaligus yang dinanti perubahan.
Meski keberhasilan kita lebih tinggi nilainya sebab berangkat dari bawah, tetapi tidak perlu melangsungkan pesta, tentu kita faham dalam tradisi, tak ada pesta bagi anak-anak kita. Pesta kita bersatu alam, membimbing anak-anak menjadi tangan-tangan perkasa. Bagi kita, pesta ialah pendidikan. Mencukupi kebutuhan anak-anak dengan wacana yang pernah kita kerjakan, itulah kabar sesungguhnya.
Jangan sekali-kali meliuk menari di lingkungan mereka apalagi bergaya sepertinya. Kita manusia kembara yang siap menenggelamkan orang-orang angkuh di depan publik. Kita beri pelajaran musum-musuh, bukan hanya mereka yang bisa naik eskalator, sebab itu hal kemudahan. Tetapi coba lihat apakah mereka sanggup menaiki tangga kayu? Saya melihat mereka takut menaikinya, apalagi jalan-jalan di trortoar malam tiga belas.
Kelebihan kita tidak sungkan terbebani hasil. Keberhasilan bagi tradisi kita sudah jelas dari pelajaran masa, hanya acungan jempol, senyum manis yang pasti hilang. Seperti gula-gula yang kita remuk dengan gigi-gigi laksana mengampuh kreweng moyang. Tidak menganggap keberhasilan kalau tidak seluruh lapisan mengikuti tarian gigi-gigi kita, tarian pemberontak yang menabrak kemapanan mencipta terkumpulnya darah pesakitan.
Dan harus terus menguatkan barisan, meski sebagian di antara kita sudah di atas panggung pagelaran, sebab ras-rasa kita yang ada juga tidak mau menyerahkan begitu saja kedudukan tanpa kita berusaha sunggu-sunguh, serta seharusnya melebihi para pendahulu.
*) Pengelana yang tinggal di desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan, JaTim.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Sabtu, 06 September 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Ginandjar Wiludjeng
A. Junianto
A. Kurnia
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.S Laksana
A’yat Khalili
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Razak
Abdul Rosyid
Abdul Wahab
Abdurrahman Wahid
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adam Chiefni
Ade P. Nasution
Adhitia Armitriant
Adi Prasetyo
Adrizas
AF. Tuasikal
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Baso
Ahmad Faishal
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Naufel
Ahmad Rofiq
Ahmad S. Zahari
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ainul Fiah
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Alex R. Nainggolan
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Almania Rohmah
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aminah
Aminullah HA.Noor
Amir Sutaarga
Anam Rahus
Anata Siregar
Andari Karina Anom
Andina Dwifatma
Andong Buku #3
Andre Mediansyah
Andri Awan
Anett Tapai
Anggie Melianna
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Wahyudi
Anwar Nuris
Ardi Bramantyo
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Joko Wicaksono
Arief Junianto
Ariera
Arif Bagus Prasetyo
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Asmaul Fauziyah
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Wulan Sari
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Camelia Mafaza
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Daisuke Miyoshi
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Danusantoso
Dareen Tatour
Darju Prasetya
David Kuncara
Denny Mizhar
Denza Perdana
Desi Sommalia Gustina
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewi Indah Sari
Dewi Susme
Dian Sukarno
Didik Harianto
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur
Dipo Handoko
Diyah Errita Damayanti
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddy Wisnu Pribadi
Dody Kristianto
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi SS MHum
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Wiyana
Dyah Ratna Meta Novia
Dyah Sulistyorini
Ecep Heryadi
Eddy Pranata PNP
Edeng Syamsul Ma’arif
Eep Saefulloh Fatah
EH Kartanegara
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Hendri Saiful
Eko Windarto
Elnisya Mahendra
Elva Lestary
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Sulwesi
Endo Suanda
Eppril Wulaningtyas R
Esai
Evan Ys
F. Moses
F. Rahardi
Fadlillah Malin Sutan
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Febby Fortinella Rusmoyo
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Gabriel Garcia Marquez
Galang Ari P.
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Ganug Nugroho Adi
Gerson Poyk
Ghassan Kanafani
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunoto Saparie
H.B. Jassin
Habibullah
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Hardi
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
HE. Benyamine
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Herman RN
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Nugroho
Hikmat Gumelar
HL Renjis Magalah
Hudan Nur
Hujuala Rika Ayu
Huminca Sinaga
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ira Puspitaningsih
Irfan Budiman
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Zulkarnain
Ismail Marzuki
Iva Titin Shovia
Iwan Kurniawan
Jabbar Abdullah
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D. Rahman
Jamal T. Suryanata
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
JILFest 2008
Jody Setiawan
Johan Edy Raharjo
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Juan Kromen
Julika Hasanah
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Ka’bati
Karanggeneng
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Keith Foulcher
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khoirul Inayah
Khoirul Rosyadi
Khudori Husnan
Ki Ompong Sudarsono
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
L.N. Idayanie
Laili Rahmawati
Lamongan
Lan Fang
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lucia Idayanie
Lukman A Sya
Lutfiah
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Ismail
M Thobroni
M. Afifuddin
M. Arwan Hamidi
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Luthfi Aziz
M. Nurdin
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.S. Nugroho
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahmud Syaltut Usfa
Mahmudi Arif Dahlan
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Martin Aleida
Maruli Tobing
Mas Ruscita
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni Muserang
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mia Arista
Mia El Zahra
Mikael Johani
Misbahus Surur
Misran
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
Much. Khoiri
Muh. Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun
Muhammadun AS
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mukti Sutarman Espe
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Munawir Aziz
Musfarayani
Musfi Efrizal
Nafisatul Husniah
Nandang Darana
Naskah Teater
Nelson Alwi
Ni Made Purnamasari
Nikmatus Sholikhah
Nina Herlina Lubis
Nina Susilo
Ning Elia
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel-novel berbahasa Jawa
Novelet
Nunuy Nurhayati
Nur Azizah
Nur Hamzah
Nur Kholiq
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Aini
Nurul Anam
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Okty Budiati
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso H.N.
Pagan Press
Pagelaran Musim Tandur
Palupi Panca Astuti
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Petrus Nandi
Politik
Politik Sastra
Pradana Boy ZTF
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringadi AS
Prof Dr Fabiola D. Kurnia
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Puji Tyasari
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
Purnawan Kristanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Ng. Ronggowarsito
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmat Kemat Hidayatullah
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rasanrasan Boengaketji
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Resensi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Ririe Rengganis
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rusmanadi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saiful Amin Ghofur
Saiful Anam
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman S. Yoga
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang KSII
Santi Puji Rahayu
Sapardi Djoko Damono
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Jawa Timur
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputra
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sri Weni
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugi Lanus
Sukron Ma’mun
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaf Anton Wr
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syarif Wadja Bae
Sylvianita Widyawati
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie (1961-2019)
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tia Setiadi
Tirto Suwondo
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tosa Poetra
Tri Nurdianingsih
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulul Azmiyati
Umar Fauzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Utari Tri Prestianti
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wan Anwar
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wina Bojonegoro
Wita Lestari
Wong Wing King
Wowok Hesti Prabowo
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopi Setia Umbara
Yudhi Herwibowo
Yudi Latif
Yusri Fajar
Yusuf Ariel Hakim
Yuval Noah Harari
Zacky Khairul Uman
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zed Abidien
Zehan Zareez
Zhaenal Fanani
Zubaidi Khan
Zuniest
Tidak ada komentar:
Posting Komentar