Fahrudin Nasrulloh
dijumput dari Suara Merdeka 24, 08, 2008
TAK disangkal cerita ini terus berseliweran bergeliut sawang tak terkuburkan. Menjelma roh cenayang pencilakan berkabut sengir yang menyelimuti para penggila kronik Kompeni-Keraton Jawa. Ya, pada siang jahanam 8 Februari 1686 di Carta Seora, Kapten Tack dibantai Surapati dan gerombolannya, sehingga Kompeni me-marabi mereka, ”Bandit-bandit berlidah anjing pengumbar darah”. Ini menjadi semacam pagebluk yang menguar nyasar ke mana-mana, melesat deras melebihi dencingan anak panah. Terus bergentayangan dalam sekian wiracarita dan perbantahan para tukang cerita VOC.
Sandiwara Amuk Tergila
Seratan Zan Marstel dalam Puputan Walanda Tack akan menuntun jalan cerita ini: Di gang-gang sekisar kraton; berpusing-pusinganlah Kapten Letnan Greving, Letnan Vonck, dan Letnan Eygel. Bersiaga ketat pun tetaplah liwung batin dan pikiran bule-bule itu. Sebelumnya, Greving terus dibayang-bayangi mimpi terkutuknya. ”Laknat culas orang-orang Jawa ini!” semburnya sambil mengelus-elus gagang pistolnya.
Saat sepagi tadi, tatkala menjemput Tack di jembatan Banyudana, mimpi itu masih saja mengulik benaknya, terasa begitu terang menyergap mripatnya yang cerlang diterpa pijar angkasa. Dengan serak lirih ia melapor, ”Maaf, Surapati lolos, Kapten.”
”Memang Sunan dungu itu tak becus mengatasi anjing gendeng itu. Huch, cuhz!!”
Dan Sindureja utusan Amangkurat II yang menyertai Tack itu, tiada siapa tahu menyelinap pergi dari tempat itu bak ditelan bumi.
Cerita terus merayap menggeremat. O, Roh Kudus, selamatkan kami dari ingatan linglung di kesiur senyap. Juga cakap nglantur melayap-layap. Tack berbisik pada Van Vliet dan Van der Meer, ”Ada hubungan rahasia apa antara Surapati dengan Sri Sunan? Orang-orang licin, pembuat onar, dan aneh. Ah, aku rasa aku mencium bau darahku sendiri. Ganjil ini!”
Van Vliet menoleh. Diam. Menatap sayu jarannya Tack. ”Yang satu serigala alas. Satunya katak kembung yang dikelilingi ular blantotan macan. Kita harus berhati-hati, Kapten! Soal darah, tiap hari kita ini mimpi diguyur darah, bukan!” tukas Van der Meer.
Ahualah, lukisan apa pula yang terboreh di sekujur para prajurit bayaran yang dipasok dari Makassar, Sumenep, dan Bali di bawah perintah Wangsanata, Mangkuyuda, dan Singabarong. Siapa pun mereka, menus-menus berjubah putih dan hitam, berudeng mlipir lancip dengan wajah kecut campur cengar-cengir tapi sekilas memancarkan aroma beku-tawar. Pesona raut yang tak mencerminkan berpihak pada siapa-siapa. Apalah yang dapat disangkakan, mereka ini berpihak pada siapa? Siapa membayar siapa? Siapa dibayar siapa? Hawa hasutan di sana-sini terasa mencangkul pikiran dan hati. Sungguh lacur dibayangkan. Hanya orang yang nyawanya terkucuri getih Kristus yang bisa melihat selubung keberpihakan mereka. Namun riwayat tersebar mencacat mereka-mereka ini berada di pihak Sri Sunan. Tapi apa yang terjadi kemudian, teracunilah si penyimak yang tak pernah terjerumus dalam muslihat riwayat bernanah ini.
Pantaslah ditimbang-timbang. Ditelusur-teliti ulang. Diluruskan kembali dengan cermat-seksama perkara laporan-laporan yang amat membingungkan dari Letnan Anthonie Eygel. Orang ini serdadu payah, kerap mabuk, ingatannya diragukan. Memang ia satu-satunya perwira Belanda yang melarikan diri dari pembantaian di alun-alun itu, setelah disergap keterkejutan akan serdadu-serdadunya yang morat-marit meninggalkan senjata-senjata dan panji-panji. Kita tak ingin wiracarita ini kelak jadi reremah cermin pecah, bukan? Lihat pula rincian korban versi Eygel; serdadu Kompeni tewas: 79. Luka-luka ringan: 29. Luka-luka berat: 41. Prajurit Sri Sunan: 95 (cukuplah semerawut kebenaran angka ini. Sebagian dari mereka adalah orang-orang Bali, Mataram, dan Pasuruan yang bersekongkol dengan Surapati. Juga pendekar bayaran Kompeni, dan sisanya prajurit Sri Sunan sendiri. Siapa satu per satu memihak siapa tiada tahu). Keterangan ini rancu? Eygel tak kunjung memecahkan misteri siapa saja yang berkomplot dengan siapa. Tapi Eygel cuma penulis laporan ecek-ecek. Malangnya, seluruh laporannya dijadikan dokumen penting bagi VOC. Konyol dan amburadul.
Situasi berkabut kekalapan itu alangkah pelik diblejeti. Eygel juga tak memberitakan kekejaman begundal-begundal Surapati seperti Suradenta, Suragenta, Cakrapati dan Barongpati. Tak jeli bahwa empat segawon rimba tersohor ini bengisnya minta ampun. Pengalaman mereka bersabung-tarung dalam laga rampokan macan tak diragukan lagi. Ia luput mencatat peristiwa ini, saat kebiadaban mereka mengoyak-ngoyak mayat Tack yang ditemukan tersungkur tragis dengan 21 luka mengerikan: 5 bacokan parang (2 di pelipis kiri-kanan, 1 di tengkuk, 1 di punggung, dan 1 di tempurung kepala). 1 hujaman kapak di lengan kanan, nyaris putus. 2 tusukan keris di jantung dan lambung. 7 tancapan anak panah yang bersarang di jidat dan hampir di sekujur tubuh. 3 sabetan celurit di paha kiri, dada, dan mulut. 1 sabetan golok di pantat, kotorannya berceceran. 1 tetakan trisula di tangkurnya. 2 gempuran rantai besi di wajah dan pundak kiri. 1 cocoran tombak di mata kanan. Barangkali bukan hanya mereka yang melakukan penistaan ini. Orang-orang Kompeni selalu tergelincir dibayang-bayangi aib mereka sendiri. Betapa tidak, kehormatan pasukan Kompeni harus dijaga, lebih-lebih semisal demi seorang jendral, sebagaimana Jendral Coen atau Si Pitekun atau Si Mur Jangkung yang tewas (atau mati karena sakit?) hanya oleh seorang tamtama Mataram pada 1629 di palagan Batavia.
Dua Kelana Kisah Bertabir Mala
Tampaknya siapa pun yang binasa di Carta Seora kala itu, arwahnya akan senantiasa menyusup dalam puspa wiracarita pada masa mendatang, dari yang terterang sampai yang tersamar. Menjelma jejanin cerita yang berlayapan mengerubung ingatan dan membangkitkan syakwasangka. Dan Ki Brajandalagati memborehkan riwayat tersendiri dalam anggitannya yang berjuluk Sesuluk Surapati. Serat ini, sebelum berkisah dengan pejal dan alot, dibabah dengan sepenggal kidungan:
Sura lelana ing segarani pati
Ageming aji moncering lati
La ilaha byar pet sirna jagat
Illallah byar lhap nggulung wahdat
Getih mili nyurup ing Gusti
Wa ma almautu illa bissyaifi au bighairihi
Bebulu di tengkuk sesengkringan, aliran dedarah bergelegakan. Urat-urat tenggorokan sendut-sendutan. Wajah terpanggang hawa merah, kayak disembur-semburkan geni. Yang menerjang, menyepak, menjegal, menggilas, membacok, meletuskan senapan dan bedil, menikam, menggigit dan menghujami dengan tombak, menusuk, menggejrot kepala yang berkelejat-kelejat sekaratul maut: siapa bercampuh lawan siapa, tak penting lagi serdadu siapa. Lebih cepat darah tersimbah lebih baik. Disebabkan serdadu brengsek macam ini, lama dipasti setamsil kecoa digilas ratusan sepatu besi. Kongkalikong! Asu-lah mereka berbuntut buntung. Mati pun, tak sesiapa menangguk untung.
Apa yang mengawang-awang, yang berliuk-liukan di masjid keraton. Menyala-nyalalah lebat api bebakaran. Mampus ditebus mampus. Ajal dibayar ajal. Popor dipatahkan. Panji-panji disuwek diludahi. Pedang dibengkungkan. Tumbak dicuklekkan. Lihat pula bebangkai serdadu Tack: Letnan Greving dan Sersan Samuel Maurits: rubuh diinjak-injak ternistakan. Arwah mereka berjengkelitan menjerit-jerit diperebutkan malaikat buta dan iblis pincang. Juga 25 pengawal mereka bermandi darah di undakan teras kraton. Menyaksikan itu; gemuruh tubuh Eygel, Vonck, dan Van der Meer bak dikencingi demit gundul dan gendruwo, gatal-panas audzubillah, sebelum Tack nongol dan mripatnya bak tercomplong carang lantas memancarkan cahaya beringas kesumat. Munclak-munclaklah ia. Tapi pancen ia serdadu sejati, tak mlungker nyali. Ia sebar perintah dan taktik rapi-apik sehingga gerombolan Surapati keteter terdesak menghambur ke dalem keraton. Kala itulah, siapa menusuk siapa: jadi kisah indah-nyeri demi dibabar-wartakan ke anak-cucu di tlatah Jawa ini....
Tack ini orangnya waspada benar, tapi kesombongannya bikin gatal hidung. Terasalah ia merogoh diri bakal binasa. Betapa terbaca, ketika ia menggerakkan perwira Herfts bersama 57 prajurit dan 11 pucuk meriam untuk berjaga-jaga di gerbang keraton. ”Awasi juga gerak-gerik Sri Sunan! Penipu licik dan penakut itu bisa-bisa menghasut siapa saja. Dasar munyuk gundhul! Cepatlah kau disambar gledek!” pekik cerca Tack di hadapan serdadu-serdadunya.
Lalu 150 serdadu dijejerkan Tack di loji di bawah komando Kapten Leeman.
”Surapati dan gudel-gudel Bali itu tak bakal bertahan lama. Begitu melihat aku datang, mereka pasti lari kecirit-cirit,” desis Tack, serentak disambut bahak terpingkal-pingkal para prajuritnya.
Demi mata maut tersangit, kesombongan niscaya tergelincir.
Sekonyong-konyong Tack disentakkan oleh laporan Adipati Urawan dan Adipati Jepara soal berandal-berandal Surapati lain yang berhuru-hara membakari rerumah di sebelah timur keraton. Lantaran terlalu berapi-api menumpas para pengacau itu — dan sebab itu perhitungannya tercecer — Tack memerintahkan Letnan Eygel dengan 6 prajurit meluncur ke tempat kejadian. Terkecoh ia. Di sana, alah acuih, tak ada siapa-siapa. Hanya kobaran geni jejilatan menerbangkan lelatu kayu yang mulai bergedebrukan ambruk.
Pasukan Surapati yang terkepung di keraton terpaksa merapat berlindung di belakang tembok istana dan rumah-rumah yang sebagian telah kobong. Mangkuyuda, Singabarong, Surenglelana, dan Suradenta menyusup ke kandang macan. Entah merancang kelicikan apa. Sementara di alun-alun, asap tebal mengabut, menggeliut-geliut, kian merusakkan segala mata yang kalap dan kalut. Lamat-lamat terdengar ada yang menggeremat di kuping, tak tahu dari mana: gendingan Banyu Getih mengalun menggebah wewulu kuduk dan mendidihkan air kencing. Surapati yang tiba-tiba didampingi Singabarong dan Mangkuyuda bersungut-sungut bersiaga dengan senjata terhunus.
Ujug-ujug terdengarlah pekik tempik orang-orang Surapati ”Babat, amuk, babat!”
Serupa macan-macan kesurupan mereka merangsek pasukan Tack. Cacah mereka memang tak begitu banyak. Lantaran teriakan itu bak dihantui geram kesumat, welahwelah, seolah mereka disorong ribuan arwah pencucup ubun-ubun yang ngedan menceleng-buta. Pertarungan bengispun tak terelakkan. Dentingan pedang dan bayonet beradu berpercikan. Bedil dan senapan dibuang. Siapa yang terbrutal itulah yang selamat. Saat kudus seperti ini, nyawa tak lebih sedebrus kentut. Dan musuh harus ditebas-babat bagai anjing pesakitan.
Melihat 12 prajuritnya bergelimpangan, Tack mundur. Menoleh-noleh kanan-kiri-belakang. Berkali-kali. Sedikit gentar. Tapi pijar sorotnya tetap mencorong menantang maut. Bedilnya di tangan kirinya masih mengepulkan asap. Sempat terhirup olehnya dan terasa menyesakkan dada. Seolah ia ingin menyesap kekuatan nyawa-nyawa yang bertumbangan di hadapannya. Pikirannya menembus kekelaman terjahat dan berkejar-kejaran dengan seabrek musuh yang pernah ditumpasnya. Tak jauh darinya, Surapati melesat gesit. Jarak antara keduanya hanya lima tombak. Dua serdadu Tack yang tersisa coba menghalanginya, menghunus dengan sangkur siap tujes. Seketika batang leher mereka ditebang dalam dua gebrakan mahakilat. Surapati mendesis bak ular weling, matanya mecicil ke arah Tack sambil misuh-misuh ia menjilati darah dua korbannya yang menciprati pipi dan mulutnya.
”Kapiten, apakah sira masih bertakabur diri bahwa kami cuma anjing-anjing kumuh yang ciut nyali melabrak bedil, senapan, dan meriam Kompeni? Billahi ingsun bersumpah, riwayat sira kelak akan dicibir menjelma aib lantaran sira mampus di tangan si bandit Surapati. Ya, bajingan kroco kayak ingsun ini. Terbangkanlah jiwa piatu sira, Kapiten!! Sebelum jadi mayat, apa kalimat terakhir sira untuk dikenang di alam baka?”
”Demi tetesan darah Kristus yang tiada surut memancarkan belas kasih di Bukit Golgota, kita akan berlaga lagi di neraka, Surapati!!”
Dengan sigap Tack mencelat menunggang jaran setonya. Menerjang Surapati dengan beringas. Pedang panjangnya dikibas-kibaskannya ke jantung Surapati. Surapati berguling-gulingan di antara mayat-mayat yang berserakan. Ia terkekeh-kekeh berteriak, ”Pertarungan macam apa ini, Tack? Babi kepet pengecut!! Ayo turun! Serdadu sejati lawan begundal kelas teri!!”
Tack tak menggubris. Sekali lagi dengan kecepatan tinggi ia mengentak-entak turangganya sembari memutar-mutar pedangnya di atas kepalanya. Kali ini Tack menghimpun kekuatan penuh. Bersijurus membabatnya bersama gebrakan si jaran. Dalam jarak dua puluhan tombak, Surapati tetap saja berdiri tegap. Ia melolos keris dari warangkanya. Sedang tangan kanannya masih tetap menggenggam pedang. Ia pun menghambur berlari bak digebuk hantu. Membungkukkan tubuhnya lalu menggelesor ke tanah hendak menyambar Tack dari arah kiri. Brass, cress, tang ting tang!! Campuh timpuk bersabetan. Serangan Tack luput. Tapi pedang Surapati sempat menggeres dengkul kanannya. Ia terjatuh tak jauh dari jarannya. Tack meringis getir melihat dengkulnya mengucur darah. Segera ia bangun dan memungut pedangnya yang terpental. Namun sebelum Tack menapakkan kakinya pada sanggurdi jarannya, Surapati yang lebih dulu bangkit melihat peluang ini dan tanpa cas-cis-cus secepat kera gila menyerang Tack dalam jarak tiga tombak.
Andai Tack sempat melihat gerak ngedan Surapati itu, ia mungkin bisa menangkis serangannya. Namun gerakan Surapati melebihi sengal napas Tack. Ia menyogrok leher Tack dengan kerisnya hingga tembus. Mencabutnya kembali. Getih pun bermancuran. Tenggorokannya seperti dihajar bara baja. Tack menyumbat muncratan di lehernya dengan tangan kirinya yang tergetar hebat. Mripatnya berkerjap-kerjap melotot-lotot memercikkan serapah keji yang tak kuasa dibalasnya. Ia terhuyung-huyung limbung. Pedang di tangan kanannya masih disabet-sabetkan ke arah Surapati sebelum ia tersungkur. Saat ajalnya meregang sekarat, ia memandang aroma bangsat raut Surapati yang menjilat-jilati kerisnya yang berleleran darah itu.
Lalu segerombol orang berbaju putih, hitam keklawu-klawuan, dumadakan bermuntahan datang berteriak-teriak bengis dan secara sadis mencocori Tack hingga ia lepas ajal dengan 27 luka mengerikan di sekujur tubuhnya.
Pertempuran brutal dan bersawang teka-teki itu (atau tepatnya mungkin kerusuhan terbejat?) mengakibatkan 68 prajurit Kompeni tumpas. 1 raib. Dan 12 lainnya terluka tapi sempat terselamatkan ke tempat lebih aman. Sementara 40 prajurit Surapati tewas. 20 sekarat. 15 kabur lalu mati dan dikubur di bengawan Sala.
Hanya kematian bersimbah lukalah berbanjir getihlah yang diganjar takzim nan kutukan sekaligus pepletikan api yang dikuduskan Ilahi di palagan alun-alun Carta Seora itu. Jangan nyana lelara dua kelana ini tak bersawan nelangsa sepanjang masa. Tapi aduhai ngilu-pukau bergayut dahsyat cecabang kisah mereka hingga kuasa menerbangkan bebunga khayalan siapa saja. (35)
---
*)Padepokan Lembah Pring Jombang, 2006-2008
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Ginandjar Wiludjeng
A. Junianto
A. Kurnia
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.S Laksana
A’yat Khalili
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Razak
Abdul Rosyid
Abdul Wahab
Abdurrahman Wahid
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adam Chiefni
Ade P. Nasution
Adhitia Armitriant
Adi Prasetyo
Adrizas
AF. Tuasikal
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Baso
Ahmad Faishal
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Naufel
Ahmad Rofiq
Ahmad S. Zahari
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ainul Fiah
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Alex R. Nainggolan
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Almania Rohmah
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aminah
Aminullah HA.Noor
Amir Sutaarga
Anam Rahus
Anata Siregar
Andari Karina Anom
Andina Dwifatma
Andong Buku #3
Andre Mediansyah
Andri Awan
Anett Tapai
Anggie Melianna
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Wahyudi
Anwar Nuris
Ardi Bramantyo
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Joko Wicaksono
Arief Junianto
Ariera
Arif Bagus Prasetyo
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Asmaul Fauziyah
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Wulan Sari
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Camelia Mafaza
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Daisuke Miyoshi
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Danusantoso
Dareen Tatour
Darju Prasetya
David Kuncara
Denny Mizhar
Denza Perdana
Desi Sommalia Gustina
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewi Indah Sari
Dewi Susme
Dian Sukarno
Didik Harianto
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur
Dipo Handoko
Diyah Errita Damayanti
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddy Wisnu Pribadi
Dody Kristianto
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi SS MHum
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Wiyana
Dyah Ratna Meta Novia
Dyah Sulistyorini
Ecep Heryadi
Eddy Pranata PNP
Edeng Syamsul Ma’arif
Eep Saefulloh Fatah
EH Kartanegara
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Hendri Saiful
Eko Windarto
Elnisya Mahendra
Elva Lestary
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Sulwesi
Endo Suanda
Eppril Wulaningtyas R
Esai
Evan Ys
F. Moses
F. Rahardi
Fadlillah Malin Sutan
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Febby Fortinella Rusmoyo
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Gabriel Garcia Marquez
Galang Ari P.
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Ganug Nugroho Adi
Gerson Poyk
Ghassan Kanafani
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunoto Saparie
H.B. Jassin
Habibullah
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Hardi
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
HE. Benyamine
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Herman RN
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Nugroho
Hikmat Gumelar
HL Renjis Magalah
Hudan Nur
Hujuala Rika Ayu
Huminca Sinaga
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ira Puspitaningsih
Irfan Budiman
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Zulkarnain
Ismail Marzuki
Iva Titin Shovia
Iwan Kurniawan
Jabbar Abdullah
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D. Rahman
Jamal T. Suryanata
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
JILFest 2008
Jody Setiawan
Johan Edy Raharjo
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Juan Kromen
Julika Hasanah
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Ka’bati
Karanggeneng
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Keith Foulcher
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khoirul Inayah
Khoirul Rosyadi
Khudori Husnan
Ki Ompong Sudarsono
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
L.N. Idayanie
Laili Rahmawati
Lamongan
Lan Fang
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lucia Idayanie
Lukman A Sya
Lutfiah
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Ismail
M Thobroni
M. Afifuddin
M. Arwan Hamidi
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Luthfi Aziz
M. Nurdin
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.S. Nugroho
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahmud Syaltut Usfa
Mahmudi Arif Dahlan
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Martin Aleida
Maruli Tobing
Mas Ruscita
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni Muserang
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mia Arista
Mia El Zahra
Mikael Johani
Misbahus Surur
Misran
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
Much. Khoiri
Muh. Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun
Muhammadun AS
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mukti Sutarman Espe
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Munawir Aziz
Musfarayani
Musfi Efrizal
Nafisatul Husniah
Nandang Darana
Naskah Teater
Nelson Alwi
Ni Made Purnamasari
Nikmatus Sholikhah
Nina Herlina Lubis
Nina Susilo
Ning Elia
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel-novel berbahasa Jawa
Novelet
Nunuy Nurhayati
Nur Azizah
Nur Hamzah
Nur Kholiq
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Aini
Nurul Anam
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Okty Budiati
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso H.N.
Pagan Press
Pagelaran Musim Tandur
Palupi Panca Astuti
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Petrus Nandi
Politik
Politik Sastra
Pradana Boy ZTF
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringadi AS
Prof Dr Fabiola D. Kurnia
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Puji Tyasari
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
Purnawan Kristanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Ng. Ronggowarsito
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmat Kemat Hidayatullah
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rasanrasan Boengaketji
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Resensi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Ririe Rengganis
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rusmanadi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saiful Amin Ghofur
Saiful Anam
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman S. Yoga
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang KSII
Santi Puji Rahayu
Sapardi Djoko Damono
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Jawa Timur
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputra
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sri Weni
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugi Lanus
Sukron Ma’mun
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaf Anton Wr
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syarif Wadja Bae
Sylvianita Widyawati
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie (1961-2019)
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tia Setiadi
Tirto Suwondo
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tosa Poetra
Tri Nurdianingsih
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulul Azmiyati
Umar Fauzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Utari Tri Prestianti
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wan Anwar
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wina Bojonegoro
Wita Lestari
Wong Wing King
Wowok Hesti Prabowo
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopi Setia Umbara
Yudhi Herwibowo
Yudi Latif
Yusri Fajar
Yusuf Ariel Hakim
Yuval Noah Harari
Zacky Khairul Uman
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zed Abidien
Zehan Zareez
Zhaenal Fanani
Zubaidi Khan
Zuniest
Tidak ada komentar:
Posting Komentar