(Pentas Teater Keluarga ‘Alibi’)
Mashuri
Seorang lelaki di panggung, dengan setting: satu kursi, satu ranjang, sejumlah pakaian di gantungan, sekat ruang putih, juga tabir hitam. Ia berbicara sendiri, tentang siapa dan apa saja yang menyangkut soal korupsi. Ia beralibi tentang sikapnya, tentang pilihan hidupnya, tentang hubungan-hubungannya dengan orang-orang di sekitarnya, juga keluarga. Ia berbicara tentang harapan-harapan, frustasi, mimpi, juga ideologi.
Kesan itu mungkin yang terasa pertama-tama dari pementasan Alibi oleh Teater Keluarga di Fakultas Sastra Universitas Airlangga, 6 November 2004, Minggu Pon. Sepertinya tak ada yang menarik dari pementasan ini, kecuali nama-nama pekerja teater di belakangnya: aktor tunggal berbakat F Azis Manna, sutradara idealis S Jai, serta pemusik eksperimental Widi Asy’ari.
Tetapi Benarkah demikian?
Kegilaan! Mungkin itu kata-kata yang pertama harus diungkapkan terhadap penggarapan teater ini. Bukan hanya karena si tokoh berbicara sendiri dan identik dengan ‘orang gila’, bukan pula karena durasinya yang na’udzubillah sampai tiga jam lebih, tetapi kegilaan yang terjadi bermuara pada cakupan gagasan yang ingin disampaikan, eksplorasi, kualitas pementasan serta proses yang dilalui dalam penggarapan dengan konsep ‘teater terbuka’ dan berdarah-darah.
Kegilaan ini menjadi penting, manakala segala ihwal kesadaran tak bisa ditundukkan dalam sistem relasi biasa, tetapi melingkar sendiri, dalam ruang-ruang sendiri, pribadi, pada ego. Kegilaan ini menjadi penting, ketika realitas di luar diri demikian menakutkan atau memabukkan, lalu ditarik ke muasalnya: alam persepsi, kemudian dilontarkan kembali seperti peluru yang keluar dari satu moncong senjata. Lompatan pikiran, retak kesadaran diri dan lingkungan, dan gugatan yang muncul dari ego sebagai sentral meski tak utuh dalam satu peran dan satu bahasa, seakan menjadi universalitas bahasa yang absah untuk memberi jawab, menolak, mungkin berdialektik, dengan realitas di luar diri yang berhumbalang, mencekam, centang perenang dan berpretensi untuk merenggut kedirian dalam lingkup kebiasaan dan sistem yang ada.
Kebiasaan memang riskan pada kesadaran. Realitas kadang tak bisa dinalar dengan idealitas. Dalam kebiasaan, ada alur yang linear dari nalar untuk tak menolak dari rangkaian impulse diri, sehingga tak ada perlawanan yang berarti, meski pada hakekatnya kebiasaan itu ditempias dari hasrat hakiki manusia, kemurnian. Di titik ini, konsepsi korupsi yang menjadi landasan dari pentas Alibi mendapatkan penekanannya. Ternyata, ada dosa sosial yang telah mengakar dalam bangun kesadaran kolektif, yang terlegitimasi dan mendapatkan pengabsahan dari khalayak. Ada anggapan, karena sebuah tindakan keliru adalah kebiasaan, dosa terampuni dengan sendirinya.
Dan agama, seperti jauh tertinggal di belakang, jika ia hanya berkutat pada masalah dogma, serta verbalisasi hukum tentang halal haram dan teks-teks yang ada hanya alat justifikasi pada tindakan formal. Ia tak mampu menjangkau nalar samar yang terpatri di balik sebuah kebiasaan, karena hukum lebih dipahami dalam kerigidannya pada penafsiran teks-teks agama dalam sebuah tafsir kering. Tak ada refleksi, introspeksi dan mengembalikan nalar pada muasal dari kehadiran agama, yang menyejarah; terkait dengan bumi, bermain dalam lingkar fenomena, tetapi mampu menjadi dasar kesadaran diri.
Pada titik inilah, kehadiran agama seharusnya bukan hanya dipahami dalam konteks profetiknya, tetapi pada konteks mistiknya. Agama yang mempribadi dan bisa menjadi tumpuan dari segala tindakan, dan tanggung jawab diri. Agama yang tidak hanya berpretensi mengubah dunia, dan kadang terjebak di dalamnya, tetapi agama yang dimulai dari diri, kesadaran alter ego dan wujud hakiki dari manusia.***
Alibi bukan tarik ulur antara profetik dan mistik dalam pemikiran Muhammad Iqbal; bukan lubang hitam tanpa tawaran; bulan sumur tanpa dasar yang memusar dalam suara-suara asing, gaung asing dan lorong tak berkesudahan; bukan pula mimpi-mimpi asing yang tak berdasar; ular-ular yang menghuni ketaksadaran; Alibi berkutat di arus kesadaran dan ketaksadaran: saat wujud rumpang dan ruh raib Alibi adalah wilayah kemungkinan dan sipapaun diajak ke dalamnya untuk mencecapi hikmat dari eksistensi, sekaligus meniadakannya, ketika diri diancam dan harus menenggelamkan, menggelapkan dan mewujuidkan angan di wilayah yang paling ekstrim. Sebuah titik yang bisa menjelma awal manusia sekaligus mengakhirinya.
Di sinilah jalan alternatif merebut kebenaran! Tapi bukan jalan kelima dalam perspektif Al Ghazali, bukan jalan nabi-nabi, bukan Al Hallaj. Keberanan memang bukan di sana dan di sini, tapi segala lingkaran berawal dari satu titik. Inilah pilar penegak keadilan; kerna keadilan bukan terberi dan harus disergap dan diwujudkan; ia tidak turun dari langit, tapi harus ditumbuhkan dari bumi, dari diri. Inilah kekuatan kelima dari kontrol sosial, setelah trias politika Montesque dan pers; kekuatan yang tidak hanya tegak menjulang—tapi rapuh dalam kontradiksi; seperti wujud realitas yang berhumbalang!
Inilah inti antroposentrisme; tapi bukan manusia dalam wujud insan kamil, bukan jiwa terbelah schizofresnia; kerak retak dan utuh tak lebih dari persepsi dan Alibi menabrakan keduanya dalam dimensi yang tak dibayangkan siapapun; seperti seorang paranoid yang kehilangan kepercayaan, seperti ‘tuhan’ yang ingin menegakkan keadilan.
Dan Alibi tidak berhenti seperti induk ayam yang ingin mengendalikan anak-anaknya dari ancaman elang; Alibi bukan pertapaan sepi. Alibi seperti tubuh yang melindungi ruh dari tangan maut; inilah perjuangan sejati manusia untuk mengukuhkan jati dirinya sebagai manusia, meski dengan diri tercambuk, dengan diri lantak: karena inilah bunuh diri sejati. Sebuah bunuh diri tuk satu keyakinan.
Bunuh diri ‘Alibi’ melampaui bunuh diri kreatif karena ‘hukuman dewa-dewa’ seperti Camus; ini bunuh diri hakekat! Kerna takdir, nasib; bukan sekedar pemberian; ia hujan yang bisa ditolak atau dibiarkan; atau kedua-duanya; kerna pilihan ada pada manusia. Dan perubahan, bukan terberi; ia harus dinistakan dari tangan, direnggutkan dan diwujudkan. Perubahan bukan pemberian langit tapi diperjuangkan!
Tapi pertaruhan Alibi bukan nilai-nilai, bukan slogan, bukan baik benar; Alibi ingin bertaruh tentang ruang-ruang sendiri, ruang-ruang sosial yang diasingkan; ruang yang bermain dalam wilayah ambang; pertaruhannya bukan pada lingkar di luar atau di dalam; bukan agama, bukan dogma; bukan ‘pikiran-pikiran’ yang membatasi; bukan segalanya yang menafikan kebebasan; Alibi ingin membuka tali, mengajak samadi dari gemuruh tak tentu; menguliti kulit kepalsuan; Alibi lebih dari ‘alat pengaman’ dari cengkeraman tangan-tangan liar, tangan yang tidak hanya ‘membunuh’ tapi memabukkan dengan sejuta godaan!***
Gugatan yang dilakukan dalam pementasan ini memberi semacam tawaran, tentang sebuah percakapan tak selesai —menggantung di aras kesadaran— apalagi arah dari pementasan ini pada ‘estetika terlibat’ tapi bukan dalam pengertian estetika terlibat Marxis secara sosial, tetapi ‘terlibat’ dalam pengertian pementasan, dengan melibatkan penonton dalam ruang dialog, ikut bermain, dan sama-sama ikut merasakan meski sebenarnya juga diasingkan dari ruang sehari-hari, memasuki ruang pribadi Tokoh Lelaki.
Dari sinilah, ada pembalikan dari konsepsi estetika Berthold Brecht. Brecht menggunakan alienation effect (efek pengasingan) untuk berdialog dengan penonton. Dengan teknik itu, Brecht ‘mengasingkan’ penonton dari pertunjukan teater, sehingga mencegah munculnya identifikasi emosional dari penonton terhadap pertunjukan. Menurutnya, jika dibiarkan adanya identifikasi emosional dari penonton, bisa mematikan daya kritis mereka. Hal itu karena pertunjukan teater bukan sebuah kesatuan organik yang menghipnotis penonton selama berlangsungnya pertunjukan. Teater adalah produk panggung dan menyisakan teror, serta pikiran-pikiran yang menghantu. Ini jelas bermula dari konsep teater epik.
Karena Alibi bukan teater epik, bahkan terkesan anti-epik dari narasi yang dibangun, penonton tidak dituntun dalam identifikasi, melainkan diajak terlibat dalam satu ruang dan satu waktu; yakni WIBP (Waktu Indonesia Bagian Panggung). Jika Tokoh Lelaki berbicara, ia tak sekedar berbicara sendiri, pada dirinya sendiri, tetapi ia berbicara pada penonton, pada audiens. Bahkan, audiens diajak untuk ikut bermain, ruang melebar, menembus batas antara aktor dan penonton. Mungkin konsep teater etnik menjadi acuan dalam hal ini, dengan berusaha mendialogkan konsep teater realis (dengan monolog) dengan etnis yang kuat di pelisanan dan memunculkan konsep teater baru.
Pada sisi inilah, ada indikasi bahwa teater ini yang bisa dinyatakan sebagai sebuah ‘bahasa’, sebagai tindak komunikasi. Asumsi ini bermula dari konsepsi Juergen Habermas, bahwa teater sebagai ‘tindakan rasional yang bertujuan’; dan dipahami sebagai tindakan praksis, sebagai strategi kritik yang bersifat emansipatorik. Ada pola simbolik interaksi yang bermula dari realitas tapi tak berhenti. Adalah cukup penting jika tidak menyamakan ‘sistem yang mengatur dirinya sendiri yang tujuannya menyingkirkan kesadaran anggota yang bersatu dengannya’ dengan dunia kehidupan: dunia kesadaran dan aksi komunikatif. Ada upaya peninjauan struktur (khususnya bahasa dan aksi komunikatif, serta kesadaran moral) dunia kehidupan.
Alibi yang membuka ruang dialog dengan audiens, meski sebenarnya digagas dalam bentuk monolog, memang sebagai upaya dari komunikasi itu, lewat bahasa yang tak hanya merangkum identitas kultural, tetapi disertai dengan berbagai persoalan. Habermas sendiri menemukan sifat dasar bahasa sebagai sarana komunikasi terdapat dalam pengertian bahwa bahwa pembicara maupun pendengar suatu percakapan secara apriori berminat untuk saling memahami. Saling memahami berarti ada kesepakatan di antara kedua pihak; kesepakatan mensyaratkan adanya pengenalan antar-subjektif terhadap keabsahan terhadap topik dan gagasan. Dalam proses ini, masing-masing pihak bercermin tentang posisi mereka dalam komunikasi.
Pada titik ini, struktur ‘bahasa’ menempati sifatnya yang paling cerdas: hermeneutik. Ia memanggil pihak lain untuk terlibat dalam interpretasi pada setiap tataran, dan dari sini meningkatkan pemahaman diri setiap peserta akibat interaksi. Pada titik inilah tujuan bahasa sebenarnya, sehingga agar aspek komunikatif berhasil harus ada konsensus. Jika komunikasi tak berhasil, dalam arti tak ada kesalingpemahaman antar-subjek, bahasa diidentifikasi sedang mengalami pembusukan. Bahasa didiagnosa: sedang sakit.
Dan simbol wayang, juga tema korupsi, bisa menjadi konsensus dalam ‘tindak komunikasi’ itu dalam bingkai kultur dan sosial dari pentas Alibi, meski ada pula bahasa lainnya yang juga bisa dianggap sebagai konsensus, bahkan untuk judul Alibi sendiri. Tetapi jika ‘percakapan’ yang ditawarkan Alibi tak dipahami, ini bisa diandaikan ada sesuatu yang kronis dalam proses dialektika. Namun, jika melihat pementasannya yang komunikatif dan nyaris realis, maka yang diandaikan tak mampu mengenali dan memahami konsensus ‘bahasa’ itu, sangat mungkin datang dari audiens; ada indikasi bahwa audiens sudah terbiasa dengan ‘dosa sosial’ dan ‘penyakit kultur’, sehingga mengganggapnya sebagai sebuah kebiasaan, sebuah budaya.
Pada titik ini, mungkin yang paling tepat adalah mengkomunikasikan antara realitas di luar diri dan di dalam diri; dalam sebuah alur kejernihan. Aspek spiritualitas dari agama menjadi tak terelakan, karena di batas ini, ada sebuah tawaran terkait dengan ‘sangkan paran’ dan mengenalkan manusia pada muasalnya, yang berbicara tentang kesejatian. Pada titik inilah ekspresi estetik dan religiusitas bertemu, untuk membongkar kesadaran yang dipalsukan. (*)
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Ginandjar Wiludjeng
A. Junianto
A. Kurnia
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.S Laksana
A’yat Khalili
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Razak
Abdul Rosyid
Abdul Wahab
Abdurrahman Wahid
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adam Chiefni
Ade P. Nasution
Adhitia Armitriant
Adi Prasetyo
Adrizas
AF. Tuasikal
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Baso
Ahmad Faishal
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Naufel
Ahmad Rofiq
Ahmad S. Zahari
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ainul Fiah
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Alex R. Nainggolan
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Almania Rohmah
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aminah
Aminullah HA.Noor
Amir Sutaarga
Anam Rahus
Anata Siregar
Andari Karina Anom
Andina Dwifatma
Andong Buku #3
Andre Mediansyah
Andri Awan
Anett Tapai
Anggie Melianna
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Wahyudi
Anwar Nuris
Ardi Bramantyo
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Joko Wicaksono
Arief Junianto
Ariera
Arif Bagus Prasetyo
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Asmaul Fauziyah
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Wulan Sari
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Camelia Mafaza
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Daisuke Miyoshi
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Danusantoso
Dareen Tatour
Darju Prasetya
David Kuncara
Denny Mizhar
Denza Perdana
Desi Sommalia Gustina
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewi Indah Sari
Dewi Susme
Dian Sukarno
Didik Harianto
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur
Dipo Handoko
Diyah Errita Damayanti
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddy Wisnu Pribadi
Dody Kristianto
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi SS MHum
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Wiyana
Dyah Ratna Meta Novia
Dyah Sulistyorini
Ecep Heryadi
Eddy Pranata PNP
Edeng Syamsul Ma’arif
Eep Saefulloh Fatah
EH Kartanegara
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Hendri Saiful
Eko Windarto
Elnisya Mahendra
Elva Lestary
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Sulwesi
Endo Suanda
Eppril Wulaningtyas R
Esai
Evan Ys
F. Moses
F. Rahardi
Fadlillah Malin Sutan
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Febby Fortinella Rusmoyo
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Gabriel Garcia Marquez
Galang Ari P.
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Ganug Nugroho Adi
Gerson Poyk
Ghassan Kanafani
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunoto Saparie
H.B. Jassin
Habibullah
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Hardi
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
HE. Benyamine
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Herman RN
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Nugroho
Hikmat Gumelar
HL Renjis Magalah
Hudan Nur
Hujuala Rika Ayu
Huminca Sinaga
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ira Puspitaningsih
Irfan Budiman
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Zulkarnain
Ismail Marzuki
Iva Titin Shovia
Iwan Kurniawan
Jabbar Abdullah
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D. Rahman
Jamal T. Suryanata
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
JILFest 2008
Jody Setiawan
Johan Edy Raharjo
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Juan Kromen
Julika Hasanah
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Ka’bati
Karanggeneng
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Keith Foulcher
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khoirul Inayah
Khoirul Rosyadi
Khudori Husnan
Ki Ompong Sudarsono
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
L.N. Idayanie
Laili Rahmawati
Lamongan
Lan Fang
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lucia Idayanie
Lukman A Sya
Lutfiah
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Ismail
M Thobroni
M. Afifuddin
M. Arwan Hamidi
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Luthfi Aziz
M. Nurdin
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.S. Nugroho
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahmud Syaltut Usfa
Mahmudi Arif Dahlan
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Martin Aleida
Maruli Tobing
Mas Ruscita
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni Muserang
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mia Arista
Mia El Zahra
Mikael Johani
Misbahus Surur
Misran
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
Much. Khoiri
Muh. Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun
Muhammadun AS
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mukti Sutarman Espe
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Munawir Aziz
Musfarayani
Musfi Efrizal
Nafisatul Husniah
Nandang Darana
Naskah Teater
Nelson Alwi
Ni Made Purnamasari
Nikmatus Sholikhah
Nina Herlina Lubis
Nina Susilo
Ning Elia
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel-novel berbahasa Jawa
Novelet
Nunuy Nurhayati
Nur Azizah
Nur Hamzah
Nur Kholiq
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Aini
Nurul Anam
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Okty Budiati
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso H.N.
Pagan Press
Pagelaran Musim Tandur
Palupi Panca Astuti
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Petrus Nandi
Politik
Politik Sastra
Pradana Boy ZTF
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringadi AS
Prof Dr Fabiola D. Kurnia
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Puji Tyasari
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
Purnawan Kristanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Ng. Ronggowarsito
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmat Kemat Hidayatullah
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rasanrasan Boengaketji
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Resensi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Ririe Rengganis
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rusmanadi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saiful Amin Ghofur
Saiful Anam
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman S. Yoga
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang KSII
Santi Puji Rahayu
Sapardi Djoko Damono
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Jawa Timur
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputra
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sri Weni
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugi Lanus
Sukron Ma’mun
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaf Anton Wr
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syarif Wadja Bae
Sylvianita Widyawati
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie (1961-2019)
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tia Setiadi
Tirto Suwondo
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tosa Poetra
Tri Nurdianingsih
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulul Azmiyati
Umar Fauzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Utari Tri Prestianti
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wan Anwar
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wina Bojonegoro
Wita Lestari
Wong Wing King
Wowok Hesti Prabowo
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopi Setia Umbara
Yudhi Herwibowo
Yudi Latif
Yusri Fajar
Yusuf Ariel Hakim
Yuval Noah Harari
Zacky Khairul Uman
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zed Abidien
Zehan Zareez
Zhaenal Fanani
Zubaidi Khan
Zuniest
Tidak ada komentar:
Posting Komentar