Selasa, 29 Maret 2011

PEREMPUAN, Kucing, dan Kesepian Kita

Rodli TL
http://sastra-indonesia.com/

Seorang perempuan menengadakan wajahnya pada cahaya rembulan yang berselimut mendung. Malam ini terlihat duka pada raut mukanya. Ia pandangi cahaya bulan yang menua. Satu per satu air matanya menetes dan jatuh pada seekor kucing yang meringkuk manja di pangkuannya. Dadanya sesak dengan ingatan masa silam bersama suami dan anak yang masih berusia lima bulan dalam kandungan.

Kucing betina berbulu belang merah dan hitam dengan warna putih dominan itu turun melompat dari pangkuan. Ia berjalan menuju tiang teras rumah kemudian meringkuk dan melanjutkan tangisan sedih perempuan di bawah bayangan daun pisang. Ia memandang mendung yang mulai datang melumat awan.

Perempuan itu masih cantik, meskipun rambutnya yang lusuh mencoba menyembunyikannya. Ia menghampiri kucing yang hampir satu tahun diasuhnya. Langkah perempuan itu tidak mengusik kekhusukannya dalam duka. Ia tahu kucing itu pun larut dalam dukanya.

”Belang, kenapa malam ini kau terlihat murung?” tanya perempuan itu sambil duduk dan mengusap kepala kucingnya. Belang melemparkan isyarat dengan kedipan mata lalu melempar tatapan matanya pada air mata tuannya dan berkehendak mengusapnya.

“Meong!” Belang berbalik menghindar dan melompat dengan cepat sambil berteriak. Ia berlari, membawa lara tuannya, berlompatan dari dahan ke dahan, dari ranting ke ranting, kemudian menyusup pada mendung.

“Belang, marahkah kau padaku? Sungguh aku tak bermaksud membuatmu tersinggung, Belang, maafkan aku apabila ada perbuatan tak sengaja yang menyakitimu!”

Si Belang tak menghiraukan tuannya yang sedang merayu. Ia terus berlari mengejar bulan yang sedang menyusup pada mendung. ”Meooong!” Suara itu semakin menjauh dan menghilang bersamaan dengan tubuhnya. Perempuan itu terus memanggilnya. “Belang, Belang. Kau tak biasa berbuat seperti ini! Belang, ayolah pulang temani ibu. Maafkan ibu, Belang. Ibu berjanji tak akan bersedih lagi. Ayo Belang, pulanglah. Kita bermain dan bersenandung senang.” Perempuan itu merasa menyesal, putus asa, dan merelakan kucingnya menghilang. Ia berjalan pulang seraya menyisir dedauan kering pada tanah. Ia pulang tanpa Si Belang.

Suara-suara menjelang adzan bersahutan dari langgar dan masjid. Perempuan itu memutuskan bangun dan membuka jendela berharap Si Belang datang. Ia melihat ke bawah, jangan-jangan Si Belang tertidur di bawah jendela; barangkali semalam ia telah mengaum untuk membangunkannya namun ia tak mendengarkannya. Sungguh, Belang masih belum datang sampai menjelang subuh. Dengan memandang bulan yang bertengger pada ranting-ranting, perempuan itu menarik nafas dalam-dalam lalu memalingkan wajah dan berjalan menuju kamar mandi untuk membasuh wajahnya.

“Meong, meong, meoooooong, ngaoooooo……ng.”
Tiba-tiba kucing-kucing berlompatan di atas atap kamar mandi, saling berkejaran, menerkam, memaki, dan menantang. Auman kucing-kucing itu terus menyerbu fajar, memekakkan telinga orang-orang yang sedang asik bergulat dengan bantal guling. Perempuan yang masih belum sempat merapikan rambutnya itu berlari keluar.

“Belang, Belang! Apa yang terjadi pada dirimu? Belang, dengan siapa kau bertengkar? Belang, sudahlah jangan sakiti dirimu dengan melakukan perbuatan itu. Ayo Belang, turunlah! Belang, kenapa beberapa hari ini kau menjadi pemurung dan pemarah? Ayo Belang, kemarilah! Jangan lampiaskan kemarahanmu pada teman-temanmu!”

Bug! “Meong…” Tiba-tiba dua ekor kucing yang sedang bergulat itu terlempar dari atap rumah, jatuh tepat di hadapan perempuan yang sejak tadi berteriak-teriak ingin melerai. Kedua kucing itu langsung melepaskan cengkeramannya dan bergerak saling menjauh. Keduanya mengamati perempuan itu dengan pandangan ketakutan. Perempuan itu mendekatinya. Kucing-kucing itu terus menatap mata perempuan sambil berjalan mundur.

“Aku pikir salah satu di antara kalian adalah Si Belang. Aku khawatir, karena Si Belang sejak tadi malam hatinya sedang goncang. Aku pikir dia bertemu kalian dan langsung marah-marah. Kenapa kalian bertengkar? Bukankah kalian adalah makhluk sejenis yang memiliki bentuk tubuh dan cara bersuara yang sama? Kalian juga memiliki kesukaan yang sama bukan? Kenapa kalian bertengkar? Apa yang kalian perebutkan? makanan, tempat tinggal atau apa? Oh, rupanya kalian adalah kucing-kucing pejantan. Aku tahu. Kalian bertarung memperebutkan kucing betina, memperebutkan Si Belang? Lalu di mana betina itu? Di mana Si Belang? Ayo kalian sembunyikan di mana?” kata perempuan itu bertubi-tubi. Ia terus mendekat sambil merayu, tetapi kucing-kucing itu makin ketakutan lalu berlari dan sembunyi.

“Hai, kucing-kucing. Di mana kalian sembunyikan Belangku ? Jangan berlari. Ayo kemarilah kucing-kucing, aku butuh bantuanmu. Aku yakin kalian tahu di mana Si Belang kini berada.” Kucing-kucing itu menghilang dari sekitar perempuan itu.

Matahari tiba dan burung-burung bercicit-cuit. Rumah yang menghadap matahari terbit itu setiap pagi menyaksikan matahari mulai menampakkan wajahnya. Akan tetapi, pagi ini tidak seperti biasanya. Sinar matahari tidak bertandang pada halaman rumah. Perempuan itu masih bertahan sejak malam hari menunggu kucingnya yang tak kunjung datang. Sinar matahari pagi seperti sengaja tak mau mengantarkan Si Belang pulang.

Perempuan itu duduk di teras depan rumah. Ia melamun. Rambutnya kusut. Wajahnya belum sempurna terbasuh air. Pakaiannya lusuh karena beberapa hari belum diganti. Semua itu membuatnya tampak semakin sedih. Ia terus mengamati jalan setapak yang menghubungkan rumahnya dengan jalanan umum yang biasa digunakan penduduk kampung untuk lalu lalang. Perempuan itu berharap Si Belang melewati jalan setapak itu lalu berjalan menghampirinya dan mengendus manja.

Hampir satu tahun ia hidup sebatang kara. Hari-harinya hanya berteman kucing. Ia ditinggal oleh suaminya dan sampai sekarang tidak diketahui kabarnya. Suaminya adalah seorang laki-laki yang sangat baik, tidak hanya pada keluarga, tapi juga pada tetangga. Orang-orang yang mengenalnya menaruh hormat atas sopan santun sikap dan cara berbicara suaminya. Walaupun ia dan suaminya adalah pendatang di kampung tersebut, tapi suaminya mudah bergaul dengan tetangganya dan orang-orang kampung. Di samping itu, suaminya memiliki kemampuan berceramah dan berdoa yang membuat jama’ahnya menyesali dosa yang dilakukannya. Juga sering bersilahturahmi dengan tetangga dan membantu orang-orang yang membutuhkankan.

Pada suatu malam menjelang jam dua dini hari, datanglah orang-orang tak dikenal masuk rumahnya dan menyeret suaminya keluar dengan paksa. Tidak hanya itu, dua orang dari lima orang itu menganiaya dirinya yang sedang hamil lima bulan. Ia dipaksa menggugurkan kandungannya dengan diperkosa. Satu kalimat yang masih terngiang sampai sekarang adalah, ”Suamimu tidak boleh memiliki keturunan. Tidak ada yang boleh menghalangi misi kami sampai kapan pun”.

Pagi harinya warga kampung seakan buta dan bisu dengan peristiwa itu. Mereka sebenarnya tahu, tetapi tidak ada yang berani sekadar menanyakan apalagi bertandang ke rumahnya untuk memberikan pertolongan. Sempat beberapa orang memberanikan diri meminta kepala kampung agar memberikan kebijakan yang harus mereka laksanakan untuk memberikan pertolongan, namun orang nomor satu di kampung tersebut hanya meminta maaf karena tidak bisa berbuat apa-apa atas peristiwa yang terjadi pada malam tersebut.

Di kampung tersebut memang seringkali terdengar desas-desus akan ditangkapnya seseorang yang dianggap teroris. Tapi, di antara warga sama sekali tidak tahu siapa sebenarnya orang-orang yang dianggap teroris itu. Karena mereka saling mengenal antar warga kampung dan tidak ada tanda-tanda di antara mereka sebagai teroris yang suka mengganggu ketenangan hidup orang lain. Apalagi kelompok jamaah masjid yang hidup saling bahu-membahu dan tolong-menolong.

Mereka sebenarnya kaget dan bertanya-tanya tentang peristiwa malam itu, tetapi mereka tidak mau menanyakan langsung ke perempuan itu lantaran beberapa bulan lalu aparat pemerintah kampung sudah memperingatkan warganya bahwa barang siapa yang menghalangi penangkapan orang-orang yang dianggap teroris maka secara tidak langsung ia terlibat di dalamnya. Juga disusul larangan bagi setiap warga untuk tidak bertegur sapa apalagi menanyakan pada keluarganya.

Sejak peristiwa itulah perempuan itu merasa kehilangan segalanya. Tidak sekadar suami dan anaknya yang masih berada di kandungan, tetapi para tetanggga dan teman-teman yang sebelumnya dianggap saudara. Mereka sama sekali tak pernah bertandang ke rumahnya. Pernah ia ingin menenangkan diri dari peristiwa itu dengan ikut sholat berjamaah ke masjid dan bermaksud bisa bercerita tentang keadaannya sekarang, namun tak seorang pun yang menyapanya.

Ia pun menjadi sering menyendiri di rumah. Ia berubah menjadi perempuan pendiam yang hampir sama sekali tak pernah keluar dari rumah. Hanya sesekali saja ia duduk-duduk di teras, itu pun pada malam hari ketika para tetangganya sudah terlelap tidur. Hari-harinya ia habiskan dengan berteman seekor kucing yang ia anggap sebagai teman satu-satunya yang sedikit mengerti keberadannya.

Sudah lima malam lebih Si Belang tak kunjung pulang. Perempuan itu bertekad keluar rumah untuk mencari Si Belang. Seluruh gang perkampungan ia lalui tapi tak menemukannya, hanya kucing-kucing jantan yang berlarian mengejar tikus yang ia temui.

“Belang, Belang! Di mana kamu berada. Pulanglah, Belang! Tak usah kau mencari bapak. Ia sudah pulang ke surga. Jangan kau menyusulnya sendirian. Ayo pulang, Belang! Kita akan menyusul bapak ke surga bersama-sama. Tetapi jangan sekarang, Belang. Karena ibu masih belum siap.”

Esoknya mulai terdengar desas-desus pembicaraan tentang perempuan itu. Awalnya warga mengaggap kampungnya sedang diteror hantu perempuan yang mereka sebut Sundel Bolong, tapi selang beberapa malam kemudian mereka tahu bahwa perempuan yang suka berjalan di malam hari sambil berteriak-teriak itu adalah perempuan yang telah dianggapnya gila lantaran ditinggal suaminya yang diculik secara misterius.

Pada suatu malam perempuan itu berjalan sambil membawa karung. Ia berjalan mengelilingi gang-gang kampung. Ia tangkapi kucing-kucing yang ia temui lalu ia masukkan ke dalam karung dan dibawanya pulang. Hampir sebulan penuh kebiasan perempuan itu ia lakukan tiap malam. Tidak hanya di kampungnya, ia mulai memberanikan diri untuk memasuki kampung-kampung tetangga. Kucing-kucing itu ia kurung dalam kamar tidurnya, ia rawat layaknya ia merewat anak-anaknya. Ia mandikan satu persatu tiap hari lalu diberi makan. Ketika tidur pun ia selimuti. Tiap harinya seorang perempuan tersebut disibukkan dengan merawat kucing-kucing hasil tangkapannya. Semuanya ia panggil dengan nama yang sama yaitu Si Belang. Kini tak ada lagi kesedihan di raut wajahnya. Ia tak mengingat lagi peristiwa naas beberapa tahun yang lalu, ia tak ingat lagi satu satunya kucing kesayangannya itu menghilang. Hari-harinya seakan dibahagiakan dengan tingkah laku kucing yang aneh-aneh yang sekarang ia memiliki.

Kebahagiaan itu tak lama berlangsung. Pada suatu malam datang orang-orang dengan obor di tangan masing-masing, mereka berteriak
“Bakar! Bakar!”
“ Ia perempuan hantu!”
“ Ia menakut-nakuti anak-anak kita!”
” Anak-anak kita seringkali menagis ketakutan di malam hari!“
“Anak-anak kita tidak bisa tidur karena selalu dihantui dengan teriakan-teriakannya di malam hari!”
“Ia terus- menerus meneror kampung kita di tiap malam!”
“ Ayo kita bakar ia bersama rumahnya!”

Orang-orang itu terus berapi-api mendekati rumah seorang perempuan itu, tidak hanya dari kampung dimana seorang perempuan itu tinggal, akan tetapi penduduk kampung tetangga pun berdatangan. Seperti benar-benar terkordinir dengan rapi bahwa malam ini direncanakan untuk melakukakan pembakaran rumah dan seorang perempuan yang berteman kucing. Mereka terus berdatangan dan berteriak-teriak. Satu persatu mereka lemparkan api ke atas rumah. Api yang bersembul itu melayang-layang di udara dan menghujani rumah perempuan. Sesaat kemudian api itu melumat habis rumah dan isinya.
Orang-orang kampung yang sedang beringas itu pun satu persatu meninggalkan tempat kejadian peristiwa pembakaran. Mereka yakin bahwa seorang perempuan itu sudah hangus bersama rumah dan isinya. Mereka berfikir bahwa anak-anak mereka akan bisa tidur dengan pulas, tidak lagi ketakutan mendengar teriakan-teriakan seorang perempuan yang dianggap gila itu. Mereka berkeyakinan tidak lagi terganggu dengan rengekan-rengekan anak-anakanya.

Tiga hari peristiwa pembakaran itu berlalu. Mulai bermunculan kabar yang bermacam-macam tentang seorang perempuan yang dibakar bersama rumah dan kucing-kucingnya. Ada yang mengatakan bahwa pada suatu malam ia mendengarkan kucing-kucing berteriak-teriak pada puing-puing rumah bekas bakaran. ada yang bercerita pernah menjumpai seorang perempuan berjalan dengan diiringi ratusan kucing. Kabar it terus menguap dengan berbagai macam cerita. Kampung-kampung mereka menjadi lebih terteror dengan suasana yang lebih mencekam di tiap malam. Tidak hanya anak-anak yang merasa ketakutan. Hampir semua warga tidak berani keluar tatkala matahari mulai tenggelam. Pintu-pintu rumah tertutup rapat bila malam tiba. Dan orang-orang menjadi gusar ketika mendengar suara kucing mengaum.

“aumm… meong………” Warga kampung membayangkan suara kucing-kucing yang mengaum itu sedang berjalan mengantarkan seorang perempuan mengetuk pintu rumah-rumah mereka.
“aumm……..meong………”

Lamongan, 3 Februari 2006

Kamis, 24 Maret 2011

Menelusuri Perjalanan Sastra Di Malang*

Denny Mizhar**
http://sastra-indonesia.com/

Sebelum saya mulai menulis tentang perjalanan sastra Malang, saya akan bercerita bagaimana saya sampai masuk pada pergumulan sastra di Malang. Tetapi sebenarnya saya, belum berani betul bicara soal perjalanan sastra di Malang. Disebabkan kawan Kholid Amrullah dari komunitas Lembah Ibarat meminta saya untuk menjadi pembicara mendampingi Pak Emil Sanosa untuk berbicara sejarah sastra di Malang. Padahal, saya telah merekomendasikan beberapa nama padanya, ini sebuah permintaan yang tak dapat saya tolak tetapi gamang bagi saya yang belum memiliki kapasitas memadahi berbicara sejarah sastra di Malang. Berbicara sejarah tentu saja ada masa lalu yang direkontruksi, ada masa kini dan ramalan masa akan datang. Saya yang baru mengenal sastra secara intens kurang lebih tiga tahun lalu. Sebelumnya saya banyak diam di kampus dan bergesekan dengan kesenian teater di dalam kampus. Pada tahun dua ribu tujuh, saya dengan modal yang pas-pas-an tentang sastra mencoba memberanikan diri untuk menulis (katanya) puisi yang saya terbitkan secara indie. Pada awal penerbitan buku saya dan dibedah oleh Tengsoe Tjahjonoh—saat itu puisi saya masih proses—saya mengganggap diri saya masih anak bau kencur dengan berani menerbitan puisi tersebut. Tetapi bagi saya adalah proses untuk belajar. Setelah itu saya mulai membaca buku-buku sastra: puisi, cerpen, novel, kritik sastra serta buku-buku yang lain.

Dari situlah saya mulai mengenal beberapa kawan yang bergelut dalam dunia sastra. Hal ini sedikit mudah bagi saya, karena sebelumnya sudah banyak bertemu dengan beberapa sastrawan khususnya di Malang lewat perjumpaan-perjumpaan yang berangkat dari seni teater. Dari situlah saya coba telisik (masih belum dalam) sastra di Malang. Saya ingin tahu pendahulu-pendahulu saya berkiprah di Malang. Saya pun mulai aktif di komunitas sastra reboan Poestaka Rakjat yang waktu itu bertempat di Toko Buku Muhammad Nasir. Dari situ saya mengenal beberapa komunitas-kumunitas dan lembaga-lembaga kampus yang bergelut dalam dunia sastra. Pada tahun, sekitaran 2007/2008, beberapa kumintas sering bertemu (bergantian) untuk saling mengunjungi. Saya melihat ada potensi besar yang berada di UIN Malang, saya melihat ada beberapa komunitas di kampus tersebut yang tidak tersetruktur dengan kampus alias kelompok pinggiran (ini sebutan saya terhadap kumintas sastra kampus yang tidak menjadi lembaga intra) di antara nama-nama tersebut ada komunitas Tinta Langit, komunitas Promoedya Ananta Toer, Sastra Parkiran. Di kampus UIN Malang juga ada cerpenis yang pada waktu itu cukup produktif dan pernah memenangi lomba penulisan berskala Nasional bahkan dalam Jurnal Cerpen edisi Muda namanya Azizah Hefni. Selain UIN ada juga di UM yang memiliki lembaga kemahasiswaan kepenulisan yang juga cukup intens membicarakan sastra dan menerbitkan beberapa karya kumpulan puisi juga kumpulan cerpen secara Indie, yakni UKMP (Unit Kegiatan Mahasiswa Penulis). Di beberapa kampus lain saya tidak menjumpai, hanya nama-nama saja dan kebanyakan mereka aktif juga di Teater. Di UMM ada Johan Wahyu, di Unisma saya kurang menjumpai (ada, mungkin saya yang kurang bergesekan), di Universitas Brawijaya saya juga tidak menjumpai (mungkin saya kurang mencari tahu). Inilah pada awal-awal perkenalanku dengan dunia sastra di Malang.

Adapun mereka yang lebih dulu berkecimpung dalam dunia sastra di Malang dengan melakukan pergerakan sastra sebelum tahun 2007-an. Misalnya, perkumpulan Penyair Muda Malang diantaranya yang saya kenal, ada Lodzi Hady, Abdul Mukid, Ragil Suprianto dan beberapa nama yang (mungkin) belum saya kenal. Mereka penyair mudah Malang pada sekitaran tahun 2000-an sering mangadakan pembacaan puisi-puisi di Caffe-Caffe di tempat Umum. Bahkan mereka sempat membuat petisi penentangan sastra koran.

Saya mulai gelisah, muncul kesadaran sejarah tentang sastra. Karena saya hendak belajar tentang sastra, pada siapa saya harus belajar sedang yang saya rasa tidak adanya proses pengkaderan dalam bersastra. Yang saya rasakan, semua berjalan sendiri-sendiri dan sesekali berkumpul di komunitas-komunitas yang ada hanya untuk membacakan karya setelah itu sudah.

Dalam perjalanan akhir tahun 2010 saya mendapati buku Kronik Sastra Indonesia di Malang yang ditulis oleh Suripan Sadi Hutomo pada 1994. Suripan mengatakan, dia tidak bisa melacak sejarah sastra Malang secara pencapain-pencaian estetika sastra, karena sastra di Malang masih dalam bayang-bayang sastra yang berkembang di Jakarta. Adapun terpotong-potong. Lalu Suripan melakukan pembacaan dengan mengumpulkan media-media penyaluran sastra: Koran, Majalah, Buku, Stensilan, Ketikan dan Foto Kopian, dan sastra Melayu Tionghoa. Mari kita telisik perkembangan sastra dilihat dari penerbitan surat kabar atau pun majalah pada zaman kolonial dan sesudah kolonial kira-kira tahun 40-90an. Ada majalah Sasterawan, Majalah Kebudajaan, dan Masjarakat. Sedangkan surat kabar Soeara Masjrakat, Suara Indonesia dan Komunikasi. Semua majalah dan surat kabar tersebut memuat hasil karya sastra, kritik sastra maupun masalah kebudayaan (Suripan Sadi Hutomu; 1994). Sehingga pergesekan, distribusi karya terjadi, hal tersebut mampu memicu saling berkresi dan membaca. Karena yang diterbitkan dalam majalah dan surat kabar tersebut tidak hanya satrawan dari kota Malang akan tetapi sastrawan dari daerah lainnya. Sastra yang lahir dari daerah seperti Malang menjadi perhatian H.B Jassin yang memiliki julukan paus sastra Indoensia tersebut, ia mengatakan bahwa majalah sastra banyak yang lahir di daerah tidak hanya di ibu kota saja, salah satunya adalah Sastrawan Malang (Suripan Sadi Hutomo; 1994). Hal tersebut menjadi mudah untuk melakukan pendokumentasian nantinya. Seperti yang dilakukan oleh Hutomu terhadap majalah yang tidak saya sebut di atas tetapi memberi sumbangsi juga yakni Brawijdjaja dan Widjaya yang berupa antologi saja, antologi cerita pendek, dan antologi kritik serta esai kesusastraan.

Perkembangan sastra di Malang pada era itu tidak hanya dapat dilihat dari majalah ataupun surat kabar saja, tetapi penerbitan buku juga menamba pembacan dokumentasi untuk melihat kesusastraan di Malang. Di antaranya buku tersebut adalah Angin Lalu buku antologi sajak yang diterbitkan oleh AMSENI (Angkatan Seniman Muda Indonesia, Malang) pada tahun 1955 dengan bantuan seksi Kebudayaan Kota Besar Malang. Bahkan Buku tersebut di ulas oleh Suripan Sadi Hutomo yang diterbitkan dalam Minggu Bhirawa (28, Juni 1980) dengan judul “Angin Lalu: Kumpulan Sajak yang Dilupakan” . Setelah itu muncul pada akhir 80’an muncul cerita pendek Bau (Sanggar Seni Slake, Batu Malang, 1989) karangan dari Tan Tjin Siong. Buku selanjutnya adalah kumpulan sajak Tengsoe Tjahjono, diterbitkan secara stensilan diantaranya adalah Hom Pim Pah (1983) dan Mata Kalian (1984) tetapi jauh sebelum itu penyair Henricus Suprijanto telah menerbitkan kumpulan sajaknya dengan cara stensilan juga yang berjudul “Episode”. Selain itu juga ada beberapa sajak stensilan “Simalakama” yang diltulis oleh Rahardi Purwanto pada tahun 1975, “Mekar” (1975) karya bersama Ven Wardhana, Hen Dr, Yani Koeswara, Dick Asido, Lila Ratih Komala, dan Rahardi Purwanto, “Mataair (1977) karya Veven (1989) karya Surasono Rashar dan Eko Windarto (Suripan Sadi Hutomo; 1994). Selain majalah, koran, buku, buletin juga turut mewarnai pendukumentasian karya sastra di Malang, di antaranya ada “Buletin Sastra Aktif” yang pada tahun 1989 telah terbit beberapa nomer. Buletin ini sangat ampuh memberi ruang pada sastrawan muda Malang. Di batu pada tahun 90-an di Batu ada HP3N, Buletin Sastra Budaya “Kreatif”, Studio Seni Sastra Batu menerbitkan beberapa jurnal yang memuat sajak-sajak penyair nusantra beberapa kali. Forum Pekerja Kota Malang menerbitkan antologi puisi dan Cerpen “Sempalan” (1994), “Pelataran” (1995). Selain itu masih banyak penyair-penyair yang membuat buku secara stensilan. Di antaranya Nanang Suryadi “Orang Sendiri Membaca Diri” (1997), penyair satu ini sampai kini masih mewarnai kesusastraan secara nasional dengan menyemarakkan sastra di dunia cyber dengan mendirikan www.fordisastra.com yang dikelolanya hingga kini. Malang juga memiliki sastrawan yang produktif menulis cerpen hingga saat ini yakni Ratna Indraswari Ibrahim, ada juga seorang penyair dengan karya-karya fenomenal tetapi kini menghilang dari kanca sastra yakni Wahyu Prasetyo. Selain itu, nama fenomenal sastrawan Malang yang tidak bisa dilupakan adalah Hasim Amir walaupun beliau banyak dikenal pada kesenian teater, juga Emil Sanosa penulis naskah drama. Tidak bisa dilupakan juga Komunitas Kayu Tangan dengan gerakannya hingga memprakarsai pembuatan Patung Chairil Anwar di tahun 60-an.

Pada awal-awal tahun 2000-an Tengsoe Tjahjono menerbit buku puisi “Pertanyaan Daun” (2003), antologi puisi bersama yang berjudul SOI (Suara Orang Indonesi) yang ditulis oleh Fajar, Shinta, dan Safir (2004), ada juga buletin yang saya pikir menarik untuk dicermati yakni BACA yang diterbitkan oleh komunitas Bengkel Imajinasi di Komandoi oleh Abdul Mukid , Lozdi Hadi penyair yang kuliah di Unisma sempat juga membuat sastra stensilan “Infeksi” (2005), Komunitas Penyair Muda Malang, sempat juga membuat stensilan antologi puisi mereka. Abdul Mukid membukukan karyanya dalam “Tulis Namaku dengan Abu”, “Berharap di Senja Hari” oleh Denny Misharudin (2007), “Ketawang Puspa Warna” Kumpulan Cerpen oleh UKMP UM, “Indonesia Dalam Secangkir Kopi Pahit” Antologi Puisi Bersama (Poestaka Rakjat), “Do’a Akasa” Antologi Puisi Bersama (Lembah Ibarat), Kumpulan Cerpen (Forum Penulis Kota Malang), Itupun setelah tebit hilang, artinya tidak ada pembacaan dan ulasan-ulasan sehingga kritik dan masukan menjadi pergerakan dan perkembangan sastra yang menarik untuk dicermati. Langkah yang bagus di mulai oleh Komunitas Mozaik dengan membuat kumpulan cerpen yang memuat beberapa cerpenis muda Malang yang berjudul “Pledoi: pelangi sastra Malang dalam Cerpen”. Kumpulan cerpen yang diberi pengantar oleh Ajang Budiman (Derectur Pusat Study Islam dan Filsafat Universitas Muhammadiyah Malang), sedangkan nama-nama cerpenis yang termuat karyanya adalah Yusri Fajar, Titik Qomariah, Aga Herman, Azizah Hefni, Liga Alam, Muyasaroh El-Yasin, Abdul Mukid, Wawan Eko Yulianto, Susanty Oktavia, Supriyadi Hamzah, Yuni Kristyaningsih, A Elwiq Pr, Lubis Grafura, Iman Suwongso.

Tetapi semuanya seperti hilang ditelan angin, mencari kemana buku-buku tersebut semua kecuali pada penulis dan hanya beberapa yang saya temui di Toko Buku Kedai Sinau juga Toga Mas. Menjadi agenda bagi pihak yang terkait demi perkembangan sastra di Malang adalah, melakukan pembacaan perkembangan sastra di Malang melaui esai-esai kritik sastra, juga pembuatan jurnal-jurnal yang membincangkan karya sastra bisa juga melalui dunia cyber. Jika hal tersebut dilakukan mak gaya khas penyair dan cerpenis Malang akan muncul, dari perihal tema, pola ungkap, gaya kebahasaan dengan merespon realitas sosial, budaya yang ada di Malang. Maka Malang akan memiliki identitas sastra yang termaktub dalam karya-karya sastra pengarangnya. Hal tersebut bisa mematahkan pendapat Suripan di Waktu akan datang.

Pembacaan yang saya lalukan berdasar ingatan, perbincangan dengan pelaku sastra di Malang, membaca buku, dan tentu saja masih banyak karya-karya yang belum saya sebutkan dan masih banyak kekurangan. Pembacaan perjalanan ini adalah awal untuk membaca sastra di Malang lebih lanjut.

Malang, 20 Maret 2011

*Di Sampaikan pada Diskusi “Sejarah Sastra Malang” Komunitas Lembah Ibarat Malang
**Anggota Teater Sampar Indonesia Malang dan Pegiat Pelangi Sastra Malang.

Senin, 21 Maret 2011

KETAKLAZIMAN PRINGADI ABDI SURYA

Judul : Dongeng Afrizal
Penulis : Pringadi Abdi Surya
Tebal : 166 halaman
Edisi : cetakan I, 2011
Penerbit : Kayla Pustaka _ Jakarta
Peresensi : Lina Kelana
http://sastra-indonesia.com/

Kesan pertama setelah tuntas membaca Dongeng Afrizal, pikiran saya langsusng tertuju pada sang penulis, bahwa Pring (Panggilang Pringadi Abdi Surya) sedang tak waras, atau memang sudah tak waras lagi. Dan Pring harus bertanggung jawab manakala ada beberapa orang yang merasa pusing atau bahkan gila setelah membaca bukunya. Bagaimana tidak? Keliarannya benar-benar “tak beradab”.

Dari Surat ke Delapan hingga Senja terakhir di Dunia, saya mendapati kedalamanan dan ketakwarasan itu sudah “direncanakan” atau “terencanakan” di alam bawah sadarnya : sebelum atau pada saat ia menulis. Bukan hal yang tak mungkin ini membuat krenyit di kening pembaca. Beberapa kali kita diajaknya berlari, terpeleset, berjinjit, tersungkur, mundur menata kuda-kuda, dan kadang meloncat-loncat dalam imaji. Jadi tak salah jika saya bilang “Pring memang tak waras”.

Pada Surat ke Delapan, Pring menghadirkan konflik “kecil” dalam hubungan suami istri. Suatu kesalahpahaman yang tak dikomunikasikan, ternyata berpengaruh menimbulkan prasangka-prasangka “sepihak” yang menimbulkan masalah-maslah lain(baru) untuk selanjutnya.

Kisah seorang Alina hampir mendominasi cerita dalam buku ini. Kisah klasik Romeo dan Juliet yang diramu dalam berbagai versi dan“menu” , De Ja Vu yang tak bisa lepas dari kisah hidup anak manusia.

Resital Kupu-Kupu, Setan di Kepala Ibu, Djibril dan Aku, Maconda Melankolia, dan Fiksimaksi : Tuhan dan Racauan yang Tak Tuntas, sebagai ketakwajaran yang disuguhkan dengan “kengerian dunia lain”. Alam Ketuhanan yang dibuntal dengan gaya “ekstrim” ini bisa menyesatkan banyak kaum.

Keseluruhan cerita dalam realita, atau realita dalam certia di Dongeng Afrizal ini sangat kental dengan “penjelajahan” batin dan filsafat. Tak kalah seru dalam epilognya yang menampilkan beberapa rumus matematika, yang, oleh sebagian pembaca mungkin bukan hal yang penting untuk dituliskan. Mungkin juga demikian menurut sang penulis. Tetapi tahukah? Ruang-ruang yang coba ditampilkan, rumus-rumus matematika yang kaku dan baku, juga filsafat dan Ketuhanan, tak bisa dilepaskan dalam kehidupan seorang individu. Di sadari atau tidak semua hal di alam ini, bahkan ilmu pengetahuan adalah filsafat (Perbincangan bersama Khrisna dan Sholahuddin di suatu sore di beranda rumah). Dan itu memang benar. Filsafat yang dianggap sebagai kegilaan menuju kemurtadan kepada Tuhan tak lain dan tak bukan adalah perjalanan batin manusia mengenal Tuhannya. Bukankah untuk mengenal Tuhan lebih dari sekedar syari’at–(syariat + hakekat)–dibutuhkan suatu ketiadaan diri, ketiadaan identitas dan keinginan, serta segala yang lekat pada ke”diri”an seseorang? Dan kita semua tahu, itu hanya dimiliki oleh orang yang sudah mengalami “gila”. Gila(menghilangkan diri) terhadap diri sendiri dan gila (mabuk kepayang)untuk senantiasa menempatkan Tuhan sebagai satu-satunya yang di hati dan “diri” kita. Dan ingatkah? Bagaimana kisah kegilaan Kusrau terhadap Syirin, Qais dan Layla juga serentetan kisah cinta lainnya. Secara harfiah memang, baik Kusrau maupun Qais tergila-gila dengan Syirin dan Layla, demikian juga sebaliknya. Tetapi lebih dari itu, mereka “mengagungkan” dan telah “gila” akan makna sebuah”cinta”. Bagaimana perjuangan, kenikmatan, dan efek yang diberikan cinta, tentang arti kerelaan, ketakberdayaan, pengorbanan, perjuangan, keikhlasan, juga macam nilai moral lainnya. Dan penggemblengan atas semua itu tak lain merujuk pada sifat-sifat mulia, yang tak lain dan tak bukan adalah manifestasi dari sifat-sifat yang 99 (Asmaul Husna) itu.

lalu apa hubungannya dengan kelimabelas cerita dalam Dongengnya Pringadi?
Tauhid dimaknai sebagai (mem)percaya(i) bahwa Allah itu satu/Esa.

Ketauhidan adalah kepercayaan, keyakinan, keimanan terhadap keesaan Allah s.w.t. Sesuatu yang dimiliki setelah selampauan peristiwa-peristiwa yang dialami disertai dengan pembuktian-pembuktian (sengaja atau tidak) yang didukung oleh kebenaran-kebenaran empiris, logika, juga dalil-dalil (aqli dan naqli).

Tak berlebihan jika ini ditarik pada karya milik Pringadi—khususnya terlihat pada epilognya—yang nyleneh itu. Ilmu matematika adalah ilmu yang berhubungan dengan logika. Dan logika perlu, bahkan harus dimiliki dan gunakan di dalam hidup dan kehidupan. Logika yang meliputi : categoriae (mengenai pengertian-pengertian), de interpretatiae (mengenai keputusan-keputusan), analitica priora (tentang selogisme), analitica parteriora (mengenai pembuktian), topika (mengenai berdebat), dan de sophisticis elenchic (mengenai kesalahan-kesalahan berpikir). Lepas dari beberapa pengertian yang ada dan bisa disistematikakan : logika naturalis,ilmiah, tradisioanl, modern, formal, deduktif, induktif, dansebagainya, logika sangat diperlukan untuk memahami dan menyakini sesuatu hal lewat penginderaan (lahir ataupun batin). Dan jika sampai pada ranah ini, kita menyebutnya sebagai keimanan. Keimanan terhadap Tuhan, benda, peristiwa, atau apapun (tergantung bagaimana diri pribadi menerjemahkannya).

Tauhid + logika, artinya berpikir tentang Tuhan, ketuhanan, dan segala macam yang meliputi dan berkenaan dengan Tuhan dan keTuhanan. Dari pengamatan sungai, langit, tumbuhan, manusia, hewan, dansebagainya yang ada di langit dan bumi sebagai pengejawantahan ciptaan/kekuasaan Allah s.w.t.

Pemikiran tentang Tuhan, sebagaimana konsekuensi logis ajaran tauhid, merupakan salah satu dari banyak tema yang paling sentral dalam tradisi filsafat (ketauhidaan-Agama) Islam. Baik Aristotelian, Neoplatonisme, Paripatetisme, maupun Illuminasionisme.1)

Ketidakwarasan dan “kemurtadan” Pring yang sedemikian kompllit dituturkan dalam gaya bahasa kuat. Bahasa kepenyairan yang digunakannya meledakkan segenap kegilaan yang bisa menyesatkan umat.

Ket : 1) Analisi Matematikan Terhadap Filsafat Islam. (Abd Azis, UIN Press 2006)
Ketuhanan + rasa + imaji + ke“binal”an = Dongeng(nya) Pringadi

Maka berhati-hatilah.
Haha….

Minggu, 20 Maret 2011

Kahlil Gibran dan Chairil Anwar di Mata Saya: Perjumpaan dan Pembayangan *

Abdul Aziz Rasjid
http://sastra-indonesia.com/

Satu

Setiap pagi juga senjahari, dengan menghisap rokok yang asapnya berbaur dengan aroma kopi Yamani, Gibran Kahlil Gibran —mungkin mengenakan jubah panjang yang lebar dengan noda-noda tinta berbagai warna— melamun seorang diri di dalam kamar yang sudah diubahnya menjadi semacam kubu dimana objek-objek yang dirindukannya dan direnunginya hadir dalam bentuk pembayangan-pembayangan. Nantinya, Gibran akan mengekspresikan pembayangan-pembayangan itu dalam kata dengan menulis surat pada orang-orang yang dikasihinya.

Kadangkala, ia akan menulis sambil membayangkan dirinya seolah berada dalam sebuah rumah di Kairo bersama May Ziadah, gadis yang dicintainya; memimpikan sebuah momen, May duduk di depannya membacakan artikel padanya —entah yang Gibran tulis, maupun May yang menulis— dan setelah itu, mungkin mereka akan berdebat, beradu pendapat lalu tertawa bersama (Surat Gibran pada May Ziadah, ditulis tahun 1928[1]). Atau di saat lain, ia akan membayangkan suatu hari di masa tuanya nanti, Gibran berniat mengucilkan diri, menanggalkan kehidupan yang dirasanya penuh kepalsuan, menghabiskan hari-hari di sebuah pertapaan di tepi salah satu lembah di Libanon (Surat Gibran pada Mikhail Naimy, ditulis di Boston, 1922).

Saya kira, Gibran telah memfungsikan kamar menjadi semacam ruang abtraksi dimana dia bebas bergerak untuk merenungi dunia batin subjektif yang dialaminya —dimana Freud menyebutnya sebagi id “kenyataan psikis yang sebenarnya— dengan kenyataan di luar dirinya yang sedang terjadi guna menemukan pengujian terhadap kenyataan. Sedang lain sisi, surat menjadi cara paling efektif bagi Gibran untuk mewadahi hasil abtraksi sebagai mekanisme pertahanan diri berbentuk sublimasi agar orang-orang yang dikasihinya dapat memahami suara hatinya.

Gibran yang saya pandang lebih sebagai penyair —lantaran saya pertama kali berjumpa dengan puisinya bertajuk “Anak” yang dikutip Budi Darma dalam novelnya berjudul Rafilus[2]— walau ia dikenal pula sebagai pelukis, lewat surat-suratnya itu, telah mengarsipkan bentuk-bentuk pengujiannya terhadap kenyataan yang bertitik sentral pada kehidupan romantik seorang penyair yang lebih mempercayai kekuatan bahasa daripada persentuhan panca indera. Surat-surat itu, menyimpan sebuah fakta tersendiri yang jarang dialami —diikuti— manusia lain: Gibran konsisten dengan konsepsinya bahwa keindahan-keindahan yang paling lembut dalam hidup ialah yang tak terlihat dan tak terdengar (Surat Gibran pada Amin Guraib, ditulis di Boston, 28 Maret, 1908)

Dua

Setiap kali saya membaca kembali surat-surat Gibran, saya membayangkan wajah pucat pasi seorang penyair yang menantang kepenatan kesendirian nan sunyi. Terutama, jika saya mengkhikmati surat-surat Gibran yang bertiti mangsa tahun 1930, itulah surat miris dari seorang penyair yang menunggu ajal yang akhirnya menemuinya di tahun 1931. Surat menjadi semacam pengantar bagi obituari yang ia tulis sendiri untuk menunjukkan kekeras kepalaan Gibran yang seolah ingin membuktikan bahwa kerinduan tak musti dipertemukan oleh perjumpaan indrawi.

Membaca kembali surat-surat Gibran yang bertiti mangsa 1930 itu, saya lalu teringat bahwa hari-hari menunggu ajal yang dialami Gibran memiliki kesamaan dengan yang dirasakan Chairil Anwar. Kedua penyair ini yang seolah tahu ajalnya telah mendekat, sama-sama menengok kembali kepada hidupnya di masa lampau dan membayangkan kembali masa-masa yang paling membahagiakan di hidupnya.

Bila Gibran, menyinggung kematiannya dengan menulis surat pada May Ziadah, Felix Farris dengan harapan ingin menjalani sakitnya di Mesir (tempat May tinggal) atau di kampung halamannya di Libanon agar bisa dekat dengan orang-orang yang dicintainya, maka Chairil menulis pengalaman cintanya dalam puisi “Mirat Muda, Chairil Muda” (ditulis tahun 1949).

Chairil dalam puisinya itu melukiskan suatu perbuatan cinta yang tidak saja melibatkan roh dan jiwa, namun juga badan dan nafsu, namun pada larik akhir puisi “Mirat Muda, Chairil Muda” ia membuat penyataan miris: di antara kenangan paling bahagia sekalipun kematian juga hadir sangat dekat. Chairil menulis begini:

Hiduplah Mirat dan Chairil dengan deras,
menuntut tinggi tidak setapak berjarak
dengan mati [3]

Di antara jarak ajal yang dirasa begitu dekat, uniknya, keduanya mengucapkan kematian dengan ringan saja. Bagi Chairil, kematian yang dicatat dalam sajak “Mirat Muda, Chairil Muda” ada di mana-mana dalam kehidupan manusia, juga pada saat manusia bersenang-senang. Kematian adalah kenyataan sederhana, sama sederhananya seperti adanya udara di muka bumi ini[4]. Sedang bagi Gibran, terlihat manakala ia memikirkan kematian —seperti ia tulis dalam suratnya pada May Ziadah (ditulis tahun 1928); ia merasakan kesenangan dalam memikirkan dan merindukan kematian.

Walau keduanya, terkesan mengucapkan peristiwa kematian dengan ringan, ternyata menguraikan keberangkatan kematian dalam kata bukanlah cara yang mudah. Gibran maupun Chairil sama tahu, peristiwa keberangkatan kematian tak dapat dipetik dari wilayah panca indera, sebab itulah keberangkatan kematian lebih menjadi ide daripada penggambaran peristiwa, kemungkinan memikirkan keberangkatan kematian bisa jatuh pada rasa menyerah. Chairil Anwar pada larik akhir sajak “Derai-Derai Cemara” menulis:

ada yang tetap tidak diucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah

Sedang pada surat Gibran pada May Ziadah (ditulis tahun 1928), Gibran berucap:

Lalu aku kembali pada diriku dan ingat bahwa ada sebuah kata yang mesti kukatakan sebelum keberangkatanku. Aku menjadi bingung di antara ketidakmampuanku dan keharusanku, lalu aku menyerah pada harapanku

Kata menyerah yang diucapkan Chairil maupun Gibran yang memiliki hubungan referensial dengan kematian adalah perwujudan psikologis yang mengikuti prinsip konstansi. Prinsip konstansi yang dirumuskan oleh Fechner —juga menjadi rujukan Freud untuk menjabarkan hasrat untuk mati— menyatakan bahwa semua proses kehidupan cenderung kembali ke stabilitas inorganik. Tapi, ada satu hal penting sebelum manusia menyadari bahwa kehidupan hanyalah jalan memutar ke arah kematian, manusia pada umumnya berupaya membuat pengalihan-pengalihan untuk membentengi diri agar tidak melakukan agresi terhadap diri sendiri ketika ajal kematian telah dirasa semakin mendekat.

Pada Gibran dan Chairil, kata (surat dalam Gibran, Puisi bagi Chairil) menjadi media pengalihan yang berhasil membuat keduanya tidak melakukan agresi terhadap diri sendiri ketika ajal kematian telah dirasa semakin mendekat. Kata menjadi sumber energi bagi keduanya yang sejak mula menjadi bagian penting dari dinamika kepribadian mereka sebagai penyair. Dalam riwayat kehidupan keduanya: kebiasaan, pandangan hidup praktis mereka ekspresikan dalam kata, sebab pada mulanya juga pada akhirnya penyair memang ditakdirkan untuk percaya bahwa apa pun yang dirasakan manusia, sejauh dapat diekspresikan, hanya dapat diekspresikan dalam kata.

Tiga

Penyair yang seakan ditakdirkan mengekspresikan apa pun yang dirasakannya —entah itu persepsi, ingatan maupun gagasan— dalam kata bukanlah sebuah sikap yang tiba-tiba jatuh dari langit. Penyair juga melakukan identifikasi yaitu pengambil alihan ciri-ciri orang lain dan menjadikannnya bagian yang tak terpisahkan dari dirinya, tetapi tidak pada semua aspek melainkan hanya mengambil hal-hal yang ditanggapi akan menolongnya untuk mencapai tujuan tertentu. Pada Gibran proses identifikasi ini, terlihat dalam prosanya yang bertajuk “Penyair Ba’labak[5]”. Dalam prosanya itu, Gibran menggambarkan bahwa konsep-konsep baru dalam persajakan Arab dimungkinkan dapat senantiasa terjadi sebab penyair-penyair Arab melakukan identifikasi pada semangat pembaruan yang disemaikan oleh Khalil Effendi Mutran.

Cerita dalam prosa “Penyair Ba’labak” bermula dari kematian penyair muda di taman istana. Sang Amir, pemimpin kota Ba’labak —kota purba di Libanon yang juga dikenal dengan sebutan Heliapolis, 112 S.M, lalu memakamkan sang penyair muda di bawah kerimbunan kuil Istyar Suci untuk memuliahkan jenazahnya. Kematian penyair muda itu, berbarengan dengan kedatangan filsuf India di istana Sang Amir yang menjelaskan pengetahuan tentang proses perpindahan jiwa dari satu tempat ke tempat lain, perpindahan jiwa dari generasi ke generasi hingga ke titik kesempurnaan dan berakhir di batas Tuhan. Saat berada pada upacara pemakaman, lalu sang Amir bertanya pada filsuf India tentang adakah kemungkinan kelahiran kedua (reinkarnasi)? Dan sang filsuf menjawab bahwa “apa yang dirindukan oleh jiwa, akan terkabulkan”.

Singkatnya, lalu cerita beralih pada masa 1912 M dan bertempat di Kairo, Mesir, dimana seorang Amir negeri sedang duduk merenungkan suku bangsa yang muncul tenggelam di sepanjang tepi sungai Nil. Lalu Sang Amir itu berkata pada Nadimnya bahwa ia rindu pada alunan syair, dan meminta si Nadim menyanyikan sebuah syair. Pada mulanya si Nadim menyanyikan syair penyair jahiliyiah, tetapi sang Amir meminta si Nadim mendendangkan syair yang baru. Selanjutnya, sang Nadim menyanyikan salah satu syair penyair dua masa dan alunan sajak-sajak Andalusia, tetapi si Amir meminta si penyair menyanyikan syair yang lebih baru lagi. Akhirnya, si Nadim menyanyikan syair penyair muda Ba’labak dan sang Amir merasakan adanya sepasang tangan gaib yang menariknya dari istana ke suatu tempat yang asing. Dan pada akhirnya sang Amir hanya bersidekap mengulang-ngulang sebait firman Allah yang diwahyukan melalui seorang rasulnya, “padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkanmu, kemudian kamu dimatikan dan dibangkitkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nyalah kamu dikembalikan”.

Secara khusus prosa bertajuk “Penyair Ba’labak” itu ditulis Gibran untuk menghormati Penyair Khalil Effendi Mutran yang menerima penghormatan dari Liga Kemajuan Arab pada tahun 1912 (Surat Gibran pada Salim sarkis, ditulis di New York, 6 Oktober 1912). Di mata Gibran, Khalil Mutran yang lahir di Ba’labak tahun 1872, dinilainya telah menuangkan jiwanya laksana anggur ke dalam piala Liga Kemajuan Arab demi mempromosikan persatuan dan kebudayaan Arab.

Prosa “Penyair Ba’labak”, juga berisi pujian-pujian bagi kepenyairan Khalil Mutran. Pujian pertama, Khalil Mutran dinilai oleh Gibran telah menguatkan ikatan persahabatan antara dua negeri Siria dan Mesir, oleh karena itu ia pantas menerima penghormatan dari Liga Persatuan Arab. Penilaian ini, dalam prosa ditampakkan Gibran dalam cara penyimbolan Khalil Mutran sebagai seorang Amir Ba’labak yang sedang duduk di singgasana emas dan menerima orang-orang bijak dari Timur.

Pujian kedua, berada pada konsep persajakan Khalil Mutran yang dinilai Gibran bukan hanya membawa pembaruan, namun juga memberi inspirasi terhadap cara pengucapan generasi penyair Arab selanjutnya dalam membaca dunia. Penilaian ini disimbolkan oleh Gibran lewat pembayangan Khalil Mutran sebagai Amir Mesir, Kairo yang tergugah oleh syair Arab Modern.

Di antara kedua pujian itu, ada satu titik penting, yaitu pernyataan tersirat yang seakan menegaskan bahwa sajak yang menjadi adalah sebuah laku pemberontakan terhadap konvensi sastra yang berlaku umum di suatu masa. Di tangan Kahlil Mutran sajak yang menjadi adalah sajak yang membawa pembaruan. Pembaruan inilah yang nantinya membentuk semacam pola reinkarnasi, dimana perpindahan spirit pendobrakan konvensi akan terus merasuk ke dalam tubuh para penyair lain sebagai laku identifikasi guna menemukan kekhasan pengucapan maupun wawasan penyair.

Secara historis, pembaruan Kahlil Mutran ditandai dalam upayanya mengembangkan aliran romantik yang pertama dalam persajakan Arab dengan menulis sajak berjudul “Nayrun” atau “Nero” yang merupakan sajak dengan satu tema yang terpanjang yang belum pernah terdapat dalam sejarah persajakan arab saat itu. Berikut fragmen dari sajak panjang bertajuk “Nero”[6], yang terdiri dari 400 baris, yang ditulis oleh Khalil Mutran dalam kumpulan sajaknya yang bertajuk Diwan:

Yang memberikan dukungan padanya
Lebih patut mendapat celaan ketimbang dia
Macam apa itu Nero yang mereka puja?
Dia kasar dan tak tahu apa-apa
Si cebol yang mereka junjung setinggi-tingginya
Mereka merangkak-rangkak di mukanya dan dia pun sombong jadinya
Mereka mengagungkannya dan mengembangluaskan bayang-bayangnya
Hingga bumi pun penuh dengan kejahatan di mana-mana
Mereka berikan kekuasaan mereka padanya
Maka di pun menjadi tiran atas mereka
Penguasa hanya mungkin menindas semaunya
Bila tak perlawanan yang ditakutkannya
Sebagian mengutuk Nero, tetapi aku mengutuk bangsa
Jika mereka menentangnya, pasti akan undur dia
Setiap bangsa menciptakan Nero-nya sendiri pula
Apakah itu “Caesar” atau “Khosru” namanya — sama saja

Kata dalam fragmen sajak “Nero” menggugat realitas dan menyeruak sebagai nada protes, Khalil Mutran dalam sajaknya merangkai kata dan kalimat untuk mempertimbangakan wawasan tentang pentingnya mengkaji ulang despotisme, ketidakadilan social juga tirani yang sering melanda penguasa. Sedang sebagai perambahan ucapan, sajak “Nero” dalam bentuknya merupakan eksperimentasi pengucapan seorang penyair yang dengan segala daya upaya, ingin mengetahui batas-batas yang paling jauh yang bisa dicapai oleh seorang penyair dalam menggubah sajak panjang yang berpokok pada satu tema dan menggunakan rima tunggal (monoryme). Dalam usaha pembaruan inilah, sajak “Nero” menjadi sebuah dunia tersendiri di antara mode persajakan Arab saat itu. Tak urung sajak Mutran pun lantas menghancurkan pola qasida yang telah kehabisan potensi-potensi puitiknya dan menunjukkan bahwa sajak-sajak Arab harus diganti dengan bentuk-bentuk puisi yang lebih bebas[7].

Maka, disinilah pengucapan kata dalam sajak Khalil Mutran lantas memberi pengaruh pada penyair arab lainnya sehingga konsep-konsep baru dalam persajakan Arab dimungkinkan dapat senantiasa terjadi. Kahlil Gibran pun terpengaruh oleh pembaruan ini, pada nantinya ia lebih memilih pembaruan gaya persajakan dengan menulis dalam gaya prosa-puisi maupun puisi-prosa yang ternyata menjadi suatu tonggak sejarah, bukan saja dalam persajakan Arab, tetapi juga dalam sastra Arab pada umumnya.

Pemberontakan terhadap konvensi sastra di suatu zaman, memang berlaku umum bagi kepenyairan seseorang, bahkan telah menjelma sebagai sebuah keharusan. Chairil Anwar pun, di dalam perpuisian Indonesia juga melakukan perambahan pengucapan yang melanggar dan merombak konvensi Pujangga Baru[8], buktinya, bila konvensi pujangga baru memeras tenaga kreatif dengan pemandangan alam yang harus selektif, menghadapkan puisinya pada alam yang indah untuk menghidupkan kesedihan paling melankolis, maka puisi Chairil berucap sebaliknya, alam bisa mengerikan, malam dapat fatal, menjadi kehancuran yang menggoncangkan.

Empat

Di mata saya, Kahlil Gibran dan Chairil Anwar adalah individu-individu yang seakan lebih pantas hidup dalam dunia khayalan namun tak dipungkiri pernah ada dalam dunia nyata. Kehidupan keduanya —seperti manusia pada umumnya— dikelilingi oleh konflik-konflik batin, tetapi secara khusus keduanya menggali potensi-potensi bahasa (kata) sedemikian rupa sebagai media menampung pikiran dan tindakan-tindakan rasional untuk mengurangi ketegangan konflik batin. Pemaksimalan potensi bahasa yang dilakukan keduanya pada akhirnya menandakan sesuatu, setidaknya sebuah poisisi hakiki yang semua orang kini mengenal keduanya; bahwa Kahlil Gibran dan Chairil Anwar adalah seorang penyair.

Sedang kematian: ending drama kehidupan yang membayangi keduanya akhirnya tak sepenuhnya merenggut dan menang. Sebab setiap kata yang ditulis Chairil Anwar maupun Kahlil Gibran, pada suatu momen —saya bayangkan ketika seorang pembaca membaca karya-karya mereka— akan setia menjumpai dan menyentuh pikiran-pikiran para pembaca, membagikan pengalaman, semangat dan cita rasa semasa keduanya menjalani kehidupan. Dan pada akhirnya dalam kata-katalah keduanya menetap, merasuk ke dalam tubuh dan berbisik lirih bahwa segala sesuatu yang dirasakan manusia, selama mampu diekspresikan, hanya dapat diekspresikan dalam kata.

=======
[1] Surat-surat Gibran yang dikutip dalam esai ini, seluruhnya bersumber pada buku Kahlil Gibran, a self-potrait atau Potret Diri , terj. M. Ruslan Shiddieq (Pustaka Jaya. Cet 5: 2000)

[2] Sila baca novel Budi Darma bertajuk Rafilus (Balai Pustaka. Cet..1. 1988. h.105-106)

[3] Puisi-puisi Chairil Anwar yang dikutip dalam esai ini, seluruhnya bersumber pada buku Chairil Anwar yang bertajuk Aku Ini Binatang Jalang, Koleksi sajak 1942-1949 (ed. Pamusuk Eneste. Cet. 21. Juni 2009)

[4] Interpretasi kematian dalam sajak “Mirat Muda, Chairil Muda”, merujuk pada buku Arief Budiman bertajuk Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan (Wacana Bangsa. Cet.2. 2007. h. 35-36)

[5] Prosa bertajuk “Penyair Ba’labak” saya baca dalam buku Al-Majmauah Al-kamelah Li Mauallafat Jubran Khalil Jubran al-‘Arabiyyah atau Penggali Kubur, terj. Faazi L. Kaelan (Pustaka Jaya. Cet 1: 1998)

[6] Fragmen sajak “Nero” yang ditulis khalil Mutran dikutip dari Hartojo Andangdjaja, Puisi Arab Modern (Pustaka Jaya. Cet 1, 1983. h. 168)

[7] Ibid. h. 19-20

[8] A Teeuw, “Sudah Larut Sekali. Chairil Anwar: Kawanku dan aku”, dalam Tergantung pada Kata (Pustaka Jaya. Cet.2. 1983, hlm. 16)

*) Esai ini terkumpul dalam buku Kahlil Gibran di Indonesia (editor: Eka Budianta, Ruas, November 2010) hlm. 29-37.

Minggu, 13 Maret 2011

Para Peletak Dasar Teater Modern

Rakhmat Giryadi
http://teaterapakah.blogspot.com/

Pada suatu ketika kelas borjuasi tidak lagi ingin menonton lakon raja-raja, bangsawan-bangsawan; mereka ingin melihat diri mereka sendiri. Maka tidak sia-sia, George Lillo (1731) menulis lakon tentang magang, pelacur, dan saudagar dalam karyanya Saudagar London. Jelas dalam lakon ini tokoh-tokoh kerajaan tidak hadir seperti yang terjadi dalam teater Elizabethan, yang hanya menampilkan wajah kerajaan.

Kebangkitan kelas borjuasi merupakan salah satu sebab munculnya realisme. Realisme bangkit seiring dengan tumbuh dan berkembang kelas, burjuis di Eropa. Realisme dianggap tonggak kebangkitan teater modern seiring dengan bangkitnya Renaesan, dunia perdaganganpun di Eropa mulai maju. Perlahan-lahan pengaruh dan kekuasan berpindah dari golongan aristokrat pemilik tanah dan pedagang.

Kebangkitan kelas burjuasi merupakan salah satu sebab yang mendukung munculnya realisme. Ada juga kekuatan lain yaitu perkembangan Ilmu pengetahuan. Teori evolusi Darwin, Positivisme Auguste Comnte, serta teori-teori psikologi Freud dan masalah-masalah sosial yang menentang pendekatan secara ilmiah, menimbulkan suatu cara pandang yang khas pada kehidupan.

Dinyatakan oleh Kernodle bahwa realisme menyajikan gagasan untuk menampilkan suatu bagian dari kehidupan. Di atas panggung akan terbayang sepotong kehidupan, sehingga jagad panggung merupakan penyajian kembali kehidupan indrawi. Secara teknis pementasan di atas panggung diusahakan menggambarkan kehidupan sering mungkin. Pentas dan perlengkapan panggung menggambarkan ruang duduk suatu keluarga, atau ruang kantor dan ruang lain yang paling umum dilihat oleh penonton.

Selain properties, setting dan kostum yang secara pasti berkorespondensi dengan realita, realisme konvensional juga menolak gaya akting yang berlebihan. Pencetus utama untuk gaya berperan realis adalah Konstantin Sergeyevich Stanislavsky (1865-1938). Stanislavsky menekankan arti penting gaya berperan yang wajar, tidak dibuat-buat dan menolak gaya bicara deklamatoris. Dasar dari pemeranan ini mengungkapkan tingkah laku manusia sesuai dengan penernuan-penernuan di bidang psikologi.

Pendekatan pemeranan Stanislavsky dengan metode psikologi sangat sesuai untuk menganalisa tokoh-tokoh yang diciptakan dalam lakon realisme. Tokoh-tokoh dalam drama ini hadir sebagai individu-individu yang ada dalam keseharian dengan karakter penuh kontradiksi.

Teater realisme sifatnya sastrawi (literrer). Bahasa sangat menonjol sehingga terkesan verbal. Hal ini dapat dimengerti karena hanya dengan bahasalah cocok untuk mengungkapkan yang bersifat intelektual dan analitik. Seperti halnya kegiatan masyarakat Eropa. Kecenderungan intelektualitas ini diwakili tokoh realisme dari Inggris, Shaw dimana ia menulis dialog sebagai disksi dan debat.

Gambaran obyektif tentang dunia, kecenderungan menempatkan kedudukan individu pada tempat yang sangat dominan serta kecenderungan memandang hakikat drama sebagai konflik telah menggerakkan suatu proses konvensionalisasi terhadap para penata panggung (stage, propertys dansebagainya), gaya berperan dan cara menulis naskah, proses konvensionalisasi ini mencapai kemapanannya pada pertengahan akhir abad XIX, melalui tokoh-tokoh seperti Ibsen, Chekov dan Stanislavsky (Ferguson, 1956).

Awal abad XX terjadi perkembangan baru dalam kehidupan teater di Eropa. Tokoh seperti Brecht, Antonin Artaud menolak aliran realisme. Aliran realisme tidak sepenuhnya diterima dalam abad XX Pemberontakan terhadap realisme timbul, antara lain oleh Symbolisme, Ekspresionisme dan Teater Epik. Konsepsi seni aliran di atas menentang realisme konvensional secara mendesar. Kaum symbolis beranggapan bahwa intuisi meruapakan dasar yang tepat untuk memahami realitas.

Teater epik, meski dipertimbangkan sebagai gaya yang memberontak realisme, namun bentuk dramanya jika dicermati justru memperluas konsep realisme. Pemrakarsa teater epik ialah Bertolt Brecht (1898-1956). la mulai aktif dalam teater ketika Jerman tengah berada dalam puncak jaman ekspresionisme.

Pandangan Brecht pada fenomena sosial tidak bisa dipisah-kan dari sikap ideologinya sebagai penganut Marxisme. Brecht adalah seorang pengecam kapitalisme. Seperti telah dipaparkan di atas, realisme konvensional di antaranya tumbuh dan berkembang berkat pertumbuhan dan perkembangan masyarakat burjuasi. Sementara Brecht sebagai seorang Marxis beranggapan bahwa kelas pekerja membutuhkan gaya teater yang lain, yaitu yang menyampaikan pesan-pesan yang politis.

Tokoh ekspresionime, Antonin Artaud menekankan drama pada tubuh. Dalam persepsi Artaud, tubuh merupakan instrumen yang liar namun memiliki sifat yang fleksibel yang tetap berada dalam prises untuk ditempa. Tubuh manusia tersebut memendam derita perampokan-perampokan jahat yang dilakukan oleh masyarakat, keluarga, dan agama yang membiarkannya dalam keselitan dan sia-sia yang melancarkannya menunuju titik suatu terminal tanpa koherensi dan tanpa kemampuan untuk berekspresi.

Hidup dan karya Artaud mempertanyakan peran tubuh yang terpecah-pecah tetapi dapat berubah bentuk, dalam kesenian, kesusastraan dan pertunjukan. Artaud menyebut proyeknya ini sebagai Theatre of Cruelty (Teater Kejam).

Keguncangan teater modern terjadi tahun 1957, ketika Samuel Beckett mementaskan drama Waiting For Godot. Drama ini dianggap membingungkan dan sulit dicerna bahkan oleh penbonton drama yang canggih sekalipun. Namun pendapat itu kemudian dimentahkan Martin Esslin, bahwa drama yang sebelumnya dianggap nonsense itu ternyata mempunyai makna dan dapat dimengerti.

Oleh Esslin, karya-karya drama Samuel Beckett, Eugene Ionesco, Arthur Adamov dan harold Pinter dikatagorikan sebagai drama absurd (the Theatre of The Absurd). Masing-masing dramawan menurut Esslin, merupakan individu yang menganggap dirinya orang luar yang sendiriran, terisolasi dalam dunia pribadinya sehingga mereka mencoba menampilkan realitas subjektif dunia pribadinya.

Visi darmawan absurd sejalan dengan visi kelompok penulis modernisme. Aliran modernisme timbul sebagai rekasi atas alairan realisema (1830-1880) yang dianggap terlarlu sarat dengan kritik sosial dan persan moralnya. Drma Absurd pada umumnya menohok penontonya dengan hal-hal yang membingunghkan. Drama absurd pun penung dengan serangkaian kejadian tidak masuk akal yang melawan konvensi panggung uang sudah di tetapkan. Oleh sebab itu Esslin kemudan menyebutnya drama absurd sebagai drama yang anti-play.

Dalam waktu yang tidak terlalu lama drama absurd yang lahir di Perancis berkembang ke seluruh penjuru dunia, antarlain Finlandia, Jepang, Norwegia, Argentina, dan juga Indonesia. Tokoh drama ini seperti Beckett, Ionesco, Edward Albee.

PLAGIATOR VS PENGARANG

Nurel Javissyarqi
http://sastra-indonesia.com/

Pengarang yang mentalnya teriming-imingi keinginan menjiplak pesona karya para pendahulunya, ialah pengkarya yang tak memiliki keberanian mengeruk kesejatian di tengah peredaran sejarah. Terpedaya laluan kecil, lalu berhamburan bersuka ria, layaknya si bocah menyenangi permainan, tiada keinginan belajar lebih atas realitas. Sebayang-bayang terhapus, kala pamor yang dijiplak meningkatkan sorot cahaya, di siang hari jaman yang didengungkan.

Pilar-pilar keadaban insan tercipta oleh mereka yang sungguh menempuh nasib, bergulat pemahaman masa lalu ke jenjang dimungkinkan. Temuan dari kesadaran waktu dikumandangkan, bersegenap bacaan menguliti jatidiri, sebelum membangun segugus gagasan murni, sepantulan daya hidup menyerap-menggetarkan.

Tak terpungkiri, pergerakan hayat saling belajar, tentu tidak asal caplok menelan mentah sandaran yang ada. Harus menggapai bersemangat kuat, di sini fitroh mengangkat sumber mata air pribadi; tradisi juga wewarna menaungi. Ialah bebatuan berkarakter tinggi ditempa musim silih berganti soal membentuknya. Ikhtiar pengarang menuju alam-sesama dan saluran informasi yang menggerayangi.

Dalam pada itu, siapa pun pembawa hawa mentalitas menjiplak, menempati kesenangan rendah, surga terdangkal keramaian, manipulasi tak menghantar pencerah. Langkah tanggung, jauh dari tanggung jawab; keberanian palsu, tiada kemerdekaan, dan akrab siksaan. Bagaimana sanggup meloloskan seluruh hasrat kepengarangan, jika kaki-kaki lincahnya terjerat bebenang halus rayuan rendah?

Suatu bangsa mengalami tingkatan mutunya, jika penghuninya peduli-mampu mengudar karya pengarangnya. Yang siapkan diri menyunggi jaman dikandung gairah tertinggi; mendendungkan kebebasan tanpa dekte memincangkan ayunan, tak memicingkan pandangan yang ada.

Aku sebut satu saja, anak manusia benar-benar pengaruhi rentetan sejarah ke belakangnya; Voltaire, sastrawan Prancis berjasa besar untuk bangsanya juga bebangsa lain. Dia abdikan hidup demi prinsipnya, birahinya menanjak tak peduli laguan lama, terpesona sendiri dimasa-masa menempa, tiada waktu mencari-cari sewatak penjiplak.

Manusia-manusia unggul belajar kepada jiwa-jiwa paripurna, mematangkan nasib demi mentakdirkan nafas-nafasnya bersatu alam raya. Menyimak silang pendapat abad-abad lampau, maka telisiknya tidak terbodohi tak membodohi. Tapakan teliti mengudar kalbu fikiran, secahaya menerobosi lubang kunci pada pintu di malam gulita. Yang tersaksikan lorong cahaya tegas, andai menembus bidang air-sungai, meski terbengkokkan, nyata bergerak lurus.

Faham-faham abad lampau dipelajari ulang demi ketepatan berpijak, menyinauhi derajat maknawi realitas berhembusan. Politik siasat penguasa juga masa percobaan menjegal gagasan disimaknya dalam kurungan pelita. Renungan panjang kausalitas terpaparkan tanak hujatan keragu-raguan, dan was-was di sekitar meloloskan sikap kukuh disetiap lekukan kalimah.

Dalam kesusastraan Indonesia, ada beberapa pengarang ketahuan menjiplak namun masih disebut keberadaannya, juga karyanya yang lain meski bukan plagiat. Parahnya berbondong-bondong orang seolah hendak mengamini tak menolak. Yang terjadi kualitas bangsa belunder tidak mandiri, silau mental-mental tidak berpayah-payah. Maka sekali tradisi kebohongan didukung, jangan keliru disusul berikutnya, seperti biang kerok korupsi tak dipenggal, usah heran menjamur koruptor membeludak lagi.

Lebih edan sekaligus kumprung, orang-orang pernah njiplak ditokohkan. Alamak, memang tiada lain? Sekuat apapun yang ngincipi njiplak, tak patutlah dijadikan taulatan. Pribadi terpedaya muka, bukan kandungan isi menariknya. Sekadar mengada ataupun diadakan demi manipulasi sejarah.

Suatu bangsa masih mengedepankan penjiplak, jelas tak punya harga diri di mata bangsa lain. Ia telah merusak martabat, mencoreng muka negerinya dengan arang abadi. Otomatis tidak ada rasa hormat pada kaum pengarang. Pantaskah menjadi pembaharu meski karya lainnya baik? Tidakkah asal kepergokan itu, mentalnya dangkal kekanak-kanakan, juga bukti mengabaikan fitroh diberikan Tuhan.

Kebesaran bangsa terletak betapa keras anak-anaknya mengumpulkan puing berserak, mewujud impian moyangnya di hadapan lain. Bahwa lingkup nafasnya tradisi, budaya mengeram lama menjelma pondasi terpenting di tiap guratannya.

Dan sejarah berangkat dari pembenaran keliru akan jatuh ke jurang nista, hinalah meneguknya. Di sini sepatutnya berontak pada pendahulu picisan, memberondong umpat mereka yang bersikap kemayu mendukung penjiplak berkidungan kolosal pembenaran, mungkin ia teman lamanya.

Secara sederhana-hakikatnya, pengarang dalam hidupnya berusaha mencipta, mencari temuan anyar, mereka-reka pantulan hayat. Tentu tiada kesamaan nasib dengan lainnya, andai ada kemiripan, semata lagu kesejatian universal. Jadi rupa-rupa memirip-miripkan bukan temuan, sekadar pemalas tak menguliti masa-masa direguk, penyakit turunan tak menyehatkan hati fikir sesama.

Kesenangan semu, kelezatan kulit dicecap plagiator, mengelabuhi pembaca sekilas, tertipu sebab tidak berbaca ulang karya di samping semangat jaman pengarangnya. Terperdaya tampakan tanpa menelisik putaran keberadaan, atau kesadaran karya di belahan jiwa pengarang. Padahal itu bisa ditengok berapa rentang usia pengalaman, tampak di setiap lekukan kata kehadirannya atas ciptaan, ataukah sekadar sulapan.

Jalan-jalan pintas dilewati pemalas yang cepat terpuaskan meski pemalsuan; di mana kapan pun, pasti terlihat boroknya. Mentalitas nanggung di alam keraguan, tiada kehendak menanjak dan was-was mudahlah tertangkap.

Sejatinya, pembaca suntuk mengetahui sejauh mana kata-kata racikan, rakitan, atau sungguh dari jiwa sederajat capaian niscaya. Karena penyuntuk memahami kerasnya mbeteti sukma, menghardik watak picik yang diturunkan alam dangkal kerap memenggal jalur-jalur pencariannya dalam berkarya.

Yang terbuai tumpukan bebuku tanpa mencangkul ladang diri, tanpa mengeduk keberadaannya di antara bacaan. Sekadar menambah sampah nan buram tidak meyakinkan di belantara dunia.

Di tanjung karang menjulang; penggagas, penemu, pelopor, tidak kering kaki-kakinya oleh datangnya penimba, dibasahi guyuran para peneliti. Tonggak itu nancap menelisiki bawah sadar pembaca. Maka hanya penyetia hayatnya demi berkarya, datang kemudian mampu keluar dari jaring laba-laba.

Nyatalah pengetahuan penjiplak selebar daun talas, ragu memelanting, asyik bermain di wilayah sempit, hawatir terjatuh nan tak mampu menguap kembali. Padahal kejadian itu menghadirkan kemurnian dari pesona daun-daun. Atau yang terpikat kilau terlupa dirinya ada inti cahaya, serupa kemalasan yang mengambil untung kemenangan para pelaku sebelumnya.

Tiada dalam sejarah dunia, pengarang yang kepincut menjiplak menjadi pemersatu dan jelas tak punya ajaran. Atau ujaran-ujaran terpantul darinya tak layak dan tidak langgeng dinafaskan. Ia hanya pengacau temuan sebelumnya, tiada isme dibelakang namanya, dan tidak pantas menduduki kursi kepengarangan sejati.

Karena kerja mengarang berangkat dinaya lahir-bathin nalar-perasaan menyatukan tekad, menyusuri laluan belum terjamah, air ganjil tak tersentuh, membuka kelambu asing belum terfikir. Maka jikalau terdapati mencontek, wajib dipertanyakan, sebab kerahasiaan insan tidak sama meski keyakinan serupa. Penyakit serakah ini paling buruk daripada tamak pada benda. Karena mengarang mengolah ruh rasa memendarkan kesadaran puitika penyimaknya, dengan bobot seirama lebih.

Sebenarnya, olah cipta dapat dinilai turunan, pencarian, ataukah penggembira. Ini terlihat perjuangan dalam kehidupan, pengorbanan kemanusiaan. Tersebab tidak mungkin keyakinan cemerlang, kalau tidak ditempa ribuan soal jutaan masalah menggayuh. Minimal gagasan penulis sejati yang tak ke medan sosial langsung berwatak keras, karakter tanggung jawab dikeluarkan, telah ditimang selaksa menimbang nyawa di depan algojo;

pergulatan bersama masa-masa penciptaan, sebelum dihadapkan berpundi-pundi kemenangan, selepas sekapan. Kerangkeng nalar-hati menggemuruh, ruh karya meledak segunung memuntahkan lahar. Andai alunannya halus, telah melewati ketabahan tanpa pamrih, kecuali demi abadi ke tanah dijanjikan.

Panggilan menjadi pengarang semisal undangan berjanji, kesaksiannya dipertanggungjawabkan, nilainya kejujuran. Tepat hidupnya mandiri, dinamis menggalang kejayaan umat. Yang rasanya tidak berharap sepeser pun kecuali gagasan ditimbangnya lama diterima sewarna kain maslahat. Andai tak sampai, jiwanya dicukupkan kesaksian hari-harinya bersuntuk mempelajari lekukan hayat.

Seperti penyeru ta’at atas apa yang diserap, siap menanggung resiko terburuk pada segenap dinaya capaiannya. Keimannya pada ondakan penelitian, serupa kefahaman menyeluruh merasai udara sekeliling. Di sana mencecapi madu murni tempaan waktu, maka tiada mungkin dilepas sekejapan. Itu nirwananya, keintiman bathin kepuasan iman pada pencariannya tidak menyerah, kecuali diambil nyawanya oleh el-maut.

Lamongan, JaTim, Untuk 8 Maret 2011

Kamis, 10 Maret 2011

Menafsir Puisi-puisi DN Aidit

Asep Sambodja
http://www.kompas.com

“Tukang pidato adalah seniman,” kata Njoto alias Iramani, menerjemahkan pernyataan Multatuli, “Ook de redenner is een kunstenaar.” Paling tidak, DN Aidit yang dikenal dunia internasional sebagai Ketua Partai Komunis Indonesia (PKI) itu juga menulis puisi.

Ada sembilan puisi DN Aidit yang terdapat dalam buku Gugur Merah: Sehimpunan Puisi Lekra, Harian Rakyat 1950-1965 yang dihimpun Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan, yang terbit pada bulan September 2008. Sebenarnya jumlah puisi Aidit lebih banyak dari itu, hanya saja ada puisi-puisi Aidit yang tidak lolos dari redaksi Harian Rakyat Minggu, Amarzan Ismail Hamid, yang kini menjadi redaktur senior Tempo dengan nama Amarzan Loebis.

Dari kesembilan puisi itu, ada satu puisi yang sepertinya tidak utuh karena kertas Koran Harian Rakyat itu sudah dimakan rayap, yakni puisi yang berjudul Jauhilah Imperialis AS, yang ditulis pada 20 Juli 1965. Meskipun demikian, pesan yang ingin disampaikan Aidit melalui puisi itu jelas tertangkap, yakni meminta Amerika Serikat menghentikan agresinya di Vietnam.

Kedelapan puisi Aidit yang lainnya adalah Hanya Inilah Jalannya, Sekarang Ia Sudah Dewasa, Yang Mati Hidup Kembali, Kidung Dobrak Salahurus, Sepeda Butut, Untukmu Pahlawan Tani, Tugas Partai, dan Ziarah ke Makam Usani.

Dari judulnya saja sudah cukup terbaca dengan terang-benderang pesan apa yang hendak disampaikan oleh penyair DN Aidit ini. Memang, kebijakan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) dan redaksi Harian Rakyat tidak mengharamkan puisi pamflet. Justru yang dihindari itu adalah puisi-puisi yang dinilai dekaden, klangenan, dan kosong melompong. Konsep seni Lekra adalah 1-5-1, dalam arti “Politik adalah panglima”, “5 kombinasi”, dan “Turun ke bawah”.

Yang dimaksud 5 kombinasi di sini adalah: (1) meluas dan meninggi, (2) tinggi mutu ideologi dan tinggi mutu artistik, (3) tradisi baik dan kekinian revolusioner, (4) kreativitas individual dan kearifan massa, (5) realisme sosialis dan romantik revolusioner.

Dengan kata lain, kelima kombinasi itu menjadi dasar dalam kerja kreatif seniman Lekra dengan payung “politik adalah panglima”. Dan, itu hanya bisa diwujudkan kalau senimannya itu langsung turun ke bawah, langsung merasakan denyut nadi rakyatnya, baik nelayan, petani, buruh, prajurit, pegawai, atau katakanlah kaum wong cilik.

Nah, konsep seperti itulah yang terbaca dalam puisi-puisi DN Aidit ini. Ia, misalnya, langsung bersimpati pada orang-orang kecil yang mati memperjuangkan haknya. Dalam puisi “Untukmu Pahlawan Tani” Aidit menuliskan /kutundukkan kepala/ untukmu pahlawan/ pahlawan tani boyolali. Jelas, bahwa yang dikatakan Aidit dalam puisinya itu memiliki konteks, yakni peristiwa penembakan petani yang terjadi pada 18 November 1964, yang menewaskan tiga petani, yakni Jumari, Sonowiredjo, dan Partodikromo.

Peristiwa penembakan petani itu cukup terekspos secara nasional, sehingga yang merespons peristiwa itu melalui puisi bukan hanya DN Aidit. Penyair lainnya yang juga menulis puisi dengan konteks yang sama adalah Sitor Situmorang, yang menulis Pesan 3 Petani Boyolali, Budi Santosa Djajadisastra yang menulis Ketahon–Suatu Titik Balik, dan Amarzan Ismail Hamid yang menulis Boyolali. Amarzan tidak hanya menulis puisi mengenai hal ini. Dalam buku Laporan Dari Bawah:Sehimpunan Cerita Pendek Lekra, Harian Rakyat 1950-1965 (yang juga disusun oleh Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan), Amarzan juga menulis cerpen dengan judul yang sama, Boyolali. Bahwa ketiga petani itu mati karena memperjuangkan haknya untuk mendapatkan bagi hasil yang sama antara petani dengan pemilik tanah (‘tuan tanah’) Wirjowiredjo, yakni 1:1 sesuau UU Pokok Agraria. Sayang, ketiga petani itu ditembak mati.

Demikian pula dalam puisi Ziarah ke Makam Usani, Aidit menulis /semua kawan tunduk berdiri/ duka cita menyayat hati/ airmata mengalir, butir demi butir/ dan semua berjanji/ akan nyalakan api juang usani …usani pergi, api juangnya nyala abadi/ PKI mekar harum mewangi. Sekali lagi, konteksnya jelas, yakni Usani, seorang perempuan yang mungkin dianggap biasa-biasa saja, tapi di mata seorang ketua partai politik terbesar keempat di Indonesia diberi penghargaan yang demikian terhormat. Aidit menyebutnya, “Wanita pejuang komunis, pembela setia buruh dan tani, yang mati dalam pengabdiannya sebagai proletariat sejati.”

Dalam puisi Ziarah ke Makam Usani ini, Aidit juga memasukkan ideologinya atau ideologi partainya, yakni “Mengganyang si lima jahat”. Kelima “lawan” yang dianggap “jahat” itu adalah (1) “Malaysia”, (2) kabir, (3) 7 setan desa, (4), imperialis AS, (5) Revisionis.

Presiden Soekarno pada 3 Mei 1964 mengeluarkan kebijakan mengenai Dwikora, yang terdiri dari: pertama, Ganyang Malaysia, yang dianggap sebagai negara bentukan neokolonialis Inggris, dan kedua, membantu perjuangan rakyat Kalimantan Utara. Kebijakan ini ditafsir Aidit sebagai lawan yang harus dihadapi, terutama untuk pembentukan negara federasi Malaysia.

Kabir atau Kapbir adalah akronim dari Kapitalis Birokrat, yakni para purnawirawan militer yang ditempatkan di perusahaan-perusahaan negara, sehingga mengakibatkan mismanagement yang akrab dikenal dengan “salah urus”. Bisa dibayangkan jika Aidit jadi presiden seandainya menang dalam pemilihan umum, maka para purnawirawan militer itu akan dibersihkan dari perusahaan-perusahaan. Makanya, dengan menjadikan kabir sebagai musuh, Aidit dan PKI pun berhadapan dengan militer, terutama Angkatan Darat.

Tujuh setan desa juga dimaksudkan Aidit dan PKI untuk memudahkan warga desa mewaspadai musuh-musuhnya. Ketujuh setan desa yang dimaksud adalah (1) tuan tanah, (2) lintah darat, (3) tengkulak jahat, (4) tukang ijon, (5) bandit desa, (6) pemungut zakat, (7) kapitalis birokrat desa. Untuk poin nomor 6, tentu saja menyebabkan massa PKI di desa berhadapan dengan massa Islam, karena membayar zakat itu merupakan kewajiban sebagai seorang muslim, sama halnya dengan melakukan ibadah sholat atau puasa, serta naik haji bagi yang kaya. Dibandingkan seruan menyerang 3 setan kota, seruan mengganyang 7 setan desa ini lebih bergemuruh di bawah. Dampaknya adalah terjadi konflik horisontal di level akar rumput, mirip dengan konflik di Ambon dan Sambas.

Dengan menempatkan imperialis AS sebagai musuh, meskipun hingga kini kita masih melihat “kreativitas” Amerika di Afghanistan dan Irak, sudah pasti PKI berhadapan dengan Amerika, lengkap dengan mata-matanya. Kalau dalam penelitian Asvi Warman Adam mengenai peristiwa G 30 S 1965 disebutkan adanya keterlibatan CIA, hal itu merupakan sesuatu yang niscaya. Demikian pula dengan menempatkan kaum Revisionis, kalangan yang tidak sejalan dengan paham Revolusi belum selesai, sebagai musuh, maka Aidit dan PKI serta merta membuat jurang pemisah yang semakin dalam.

Dari puisi Ziarah ke Makam Usani itu pula Aidit memperlihatkan bahwa api juang Usani, semangat Usani dan kaum proletar lainnya, bahkan semangat partai komunis demikian tumbuh bergelora. Semangat seperti inilah yang membuat hidup lebih hidup, membuat hidup penuh taste, sama sekali tidak menciptakan generasi yang enjoy aja.

Berikut saya kutipkan sebuah sajak lengkap Aidit, Kidung Dobrak Salahurus, yang tetap memperlihatkan garis ideologi dan keyakinan politiknya yang demikian kental.

Kidung Dobrak Salahurus

Kau datang dari jauh adik
Dari daerah banjir dan lapar
Membawa hati lebih keras dari bencana
Selamat datang dalam barisan kita

Di kala kidung itu kau tembangkan
Bertambah indah tanah priangan
Sesubur seindah priangan manis
Itulah kini partai komunis

Tarik, tarik lebih tinggi suaramu
Biar tukang-tukang salahurus mengerti
Benci rakyat dibawa mati
Cinta rakyat pada pki

Teruskan, teruskan tembangmu
Bikin rakyat bersatupadu
Bikin priangan maju dan jaya
Alam indah rakyat bahagia

Cipanas, 13 Januari 1963

Apa yang ditulis penyair Aidit di atas tidak jauh beda dengan apa yang diucapkan para calon presiden Indonesia sekarang ini. Baik yang kita baca di media massa atau yang kita tonton di iklan televisi. Jadi, sama saja. Siapa pun ketua partai politiknya, siapa pun yang ingin menjadi penguasa, suaranya akan sama seperti itu. Inilah puisi pamflet. Dan itu sah saja, meskipun bukan satu-satunya. ***

Penyair-penyair Jawa Timur Terabaikan

Catatan Kecil dari Festival Puisi Internasional
Tjahjono Widarmanto
14 Mei 2002, Kompas Jawa Timur

SEBUAH pesta kebudayaan baru saja lalu. Selama dua minggu, dari tanggal 1-13 April 2002, di tiga kota di Indonesia (Bandung, Surakarta, dan Makassar) digelar sebuah acara baca puisi antarbangsa yang diberi tajuk Festival Puisi Internasional Indonesia 2002. Festival ini melibatkan 45 penyair dari delapan negara, yaitu empat negara Eropa (Jerman, Belanda, Austria, dan Irlandia), tiga negara Asia (Jepang, Malaysia, dan tuan rumah Indonesia), serta satu negara Afrika (Afrika Selatan).

Monolog Ayam Jago

Purnawan Kristanto
http://www.sinarharapan.co.id/

Hari ini rasanya aneh sekali. Entah mengapa, rasanya malam lebih cepat menjelang daripada biasanya. Matahari memang sudah bergulir ke Barat, tapi masih tinggi. Tiba-tiba langit berubah menjadi gelap. Karena mengira hari sudah malam, betina-betina mulai masuk ke petarangannya. Anak-anak menciap-ciap mencari kehangatan di balik ketiak induknya. Mereka bersiap mulai tidur. Pandangan mataku juga mulai meremang. Walaupun sebenarnya belum merasa mengantuk, aku pun mulai bertengger di atas ranting pohon kesukaanku. Dengan perasaan aneh, aku juga mencoba untuk tidur.

Sambil memejamkan mata, aku mengingat kembali kejadian hari ini. Siang tadi, penduduk kota mengerumuni pinggir jalan di kota ini. Mereka sedang menunggu dan ingin menonton sebuah arak-arakan. Karena penasaran, aku menerobos di sela-sela kaki manusia untuk melihat apa yang terjadi. Tapi celaka, ketika aku melongokkan kepalaku, ada barisan tentara yang lewat. Satu tentara berusaha aku dengan garang. Aku berusaha berkelit, tapi tak urung, pantatku terkena juga. Sakitnya masih terasa sampai kini. Rupanya pasukan tentara itu sedang menyeret tiga orang pesakitan. Wajah mereka terlihat sangat kotor. Tubuh mereka penuh dengan luka. Darah mengering bercampur dengan debu jalan. Ketiganya berjalan terhuyung-huyung. Setiap kali terjatuh, tentara yang mengawal di belakangnya segera melecutkan cambuknya. Penonton bersorak. Seolah dendam mereka pada penjahat itu terbalas melalui tangan tentara itu.

Orang-orang sekitar mengatakan dua penjahat yang diarak di jalanan kota itu memang orang yang sangat kejam. Kejahatan kedua laki-laki ini sudah terkenal dan sangat merisaukaan warga kota. Sedangkan penjahat yang satunya lagi digelandang ke jalanan karena dituduh telah melawan pemerintah. Laki-laki ini juga dituduh telah menghina para pemimpin agama. Dia menyebut para pemimpin agama sebagai orang yang gila hormat, munafik dan buta. Laki-laki itu bahkan mengatai mereka sebagai ”keturunan ular beludak!” Pantas saja, aku melihat beberapa pemimpin agama yang membuntuti arak-arakan tadi. Meski penasaran, aku putuskan tidak mengikuti arak-arakan itu. Aku harus cari makan.

Tiba-tiba aku merasa ranting pohon, tempat aku bertengger, bergoyang-goyang. Padahal tidak ada angin yang berembus. Lama-lama goyangannya semakin hebat. Seluruh batang pohon bahkan ikut bergoncang. Aku mengepak-kepak sayapku untuk menjaga keseimbangan. Ups, aku nyaris jatuh. Apa yang terjadi? Sontak, suasana menjadi gaduh. Di dalam keremangan, samar-samar aku melihat manusia yang berlarian dengan panik. ”Gempa bumi….gempa bumi” teriak mereka. Pohon-pohon besar tumbang, tembok-tembok merekah, pilar-pilar berguguran, tanah merekah. Seluruh penghuni kota berusaha menyelamatkan diri.

Kegaduhan belum reda, tiba-tiba dari arah pintu gerbang kota terdengar jeritan ketakutan. ”Tolong-tolong….. ada orang mati yang hidup lagi.” Gempa bumi itu telah membelah bukit di pinggiran kota dan membongkar makam-makam yang ada di sana. Mayat-mayat yang ada di dalamnya keluar dari kuburnya dan berjalan-jalan di kota. Geger seluruh isi kota!

***
Tanda-tanda kegemparan di kota ini, sebenarnya sudah mulai terlihat sejak kemarin sore. Seperti biasa, begitu matahari terbenam aku bersiap untuk tidur. Aku tidak boleh tidur terlalu larut supaya besok tidak bangun kesiangan. Aku mengemban tugas yang mulia. Kalau besok aku bangun kesiangan, banyak orang yang akan mengomel-ngomel. Manusia memang aneh, kalau aku menjalankan tugasku dengan baik, mereka berlalu begitu saja. Tak sepotong ucapan terima kasih keluar dari mulut mereka. Aku seolah dianggap angin lalu saja. Tapi begitu aku melalaikan tugasku, mereka pasti tergesa-gesa berangkat kerja sambil bersungut-sungut. Bahkan kalau lagi apes, ada yang menyambit aku dengan batu kerikil. Meski begitu, toh aku tetap setia dengan tugasku ini: Setiap hari aku harus membangunkan manusia sepagi mungkin. Inilah satu-satunya hal yang bisa kubanggakan dalam hidupku. Inilah yang memberi arti pada hidupku.

Aku mulai memejamkan mataku, ketika tiba-tiba aku mendengar ribut-ribut dari arah rumah Imam Besar. Dari atas ranting pohon ini aku melihat sekelompok orang yang menggelandang seorang laki-laki ke halaman rumah Imam Besar itu. Mereka menggedor-gedor pintu rumah orang yang terhormat itu. Saat tuan rumah membuka pintu, mereka segera mendorong tubuh laki-laki itu masuk ke dalam rumah dengan kasar. Orang-orang yang mengiring di belakangnya turut masuk ke rumah besar itu. Beberapa orang memilih menunggu di luar.

Dalam sekejap, rumah itu menjadi riuh. Suara-suara yang keluar dari mulut-mulut manusia itu berdengung, seperti lebah yang berang karena sarangnya diusik. Para pelayan mulai menyalakan lampu rumah. Orang-orang terlihat menunduk takzim pada pemilik rumah. Tapi laki-laki itu, hanya dia sendiri yang berani menatap langsung wajah tuan rumah itu. Rasanya aku pernah melihat laki-laki itu. Sayangnya aku tidak bisa melihatnya dengan jelas. Selain jarak yang terlalu jauh, setiap malam begini mataku menjadi rabun. Yang kulihat hanyalah bayang-bayang orang-orang yang menghina laki-laki itu. Mereka meludahi mukanya. Ada juga yang menutup wajahnya dengan kain, lalu meninjunya. Mereka tertawa-tawa puas. Seolah-olah mereka ingin melampiaskan dendam pada laki-laki itu. Entah apa yang dilakukan oleh laki-laki itu sehingga harus dikeroyok dan dihina sekian banyak orang. Anehnya, laki-laki itu diam saja. Dia tidak melawan. Padahal, oh….ya aku ingat! Ya laki-laki itu punya kekuatan yang dahsyat. Aku pernah melihat dia mengusir setan. Waktu itu aku sedang mencari makan di Gadara. Ketika baru melihat wajahnya saja, setan-setan sudah gemetaran. Lalu laki-laki itu hanya memberi perintah sekali saja, maka ribuan setan itu lari terkencing-kencing seperti anjing yang kena gebuk.

Mengapa laki-laki itu tidak menggunakan kekuatannya itu untuk melarikan diri? Anehnya lagi, meskipun dihina seperti itu, dia malah melihat para penganiayanya dengan tatapan mata yang teduh. Seolah dia justru mengasihani orang yang menghinanya itu.

Aku berpaling melihat tingkah manusia yang ada di halaman rumah. Terlihat ada sekelompok tentara yang sedang menghangat tubuhnya di dekat perapian. Udara malam itu memang terasa lebih dingin dari biasanya. Rasanya hampir menusuk tulang. Setiap kali manusia-manusia di tempat itu berbicara, ada kabut putih keluar dari mulutnya. Seorang tentara melemparkan sebatang balok kayu ke dalam perapian. Api mulai membesar. Semakin banyak manusia yang mengerumuni perapian untuk mencari kehangatan. Mereka hanya membisu, seolah terbawa oleh suasana malam yang memang mencekam.

Tak lama kemudian, ada seorang laki-laki menerobos kerumunan perapian itu. Kulitnya legam karena terbakar sinar matahari. Otot-otot lengannya menonjol, menandakan dia seorang pekerja keras. Gurat-gurat di wajahnya menunjukkan laki-laki ini punya semangat yang menyala-nyala. Namun dia terlihat sangat murung. Dia menjulurkan kedua tangannya di atas perapian, sambil sesekali menempelkan di daun telinganya yang terasa dingin. Dengan sembunyi-sembunyi, dia sesekali melirik ke arah rumah Imam Besar. Rupanya dia ingin mengetahui apa yang terjadi di dalam rumah. Namun entah mengapa dia tidak masuk ke dalam rumah. Mungkin dia merasa sungkan atau bisa juga karena takut.

Malam telah merayap naik. Sebentar lagi fajar merekah. Aku mencoba memejamkan mataku lagi, tapi rasa kantuk itu telah hilang sama sekali. Masih banyak manusia yang berkerumun rumah itu. Di dalam rumah besar, para pembesar agama masih sibuk menyidang Laki-laki itu. Mereka terlihat suntuk dan bingung karena sedari tadi laki-laki itu hanya mendiam saja. Segala cara sudah dipakai untuk memprovokasi laki-laki itu. Tapi dia tidak terpancing.

Sementara itu, di halaman ada seorang wanita pelayan yang ikut bergabung untuk berdiang. Mereka tetap saja saling membisu. Sesekali mereka melemparkan senyum basa-basi. Tapi sesudah itu mereka tenggelam di dalam pikiran masing-masing.

Tiba-tiba, wanita itu mengamat-mati wajah laki-laki berkulit legam yang terlihat berkilat-kilat tertimpa cahaya lidah-lidah api. Sadar karena sedang diperhatikan, laki-laki legam itu berusaha menyembunyikan wajahnya, dengan sedikit menjauh. Tapi terlambat. ”Hey, aku mengenal orang ini. Bukankah dia pernah bersama-sama dengan laki-laki yang ada di dalam rumah itu?” kata wanita itu. Laki-laki legam itu tergagap-gagap. Tentara yang ada di dekatnya ikut menatap tajam wajahnya. Dia mengamati dengan teliti. Laki-laki legam itu semakin gugup. ”Kamu ini ngomong apa…aku…aku tidak mengenal laki-laki itu,” jawabnya terbata-bata. Tubuhnya bergetar. Laki-laki legam itu kemudian menyingkir ke beranda rumah. Dia terlihat gelisah. Tatapan matanya nanar dan waspada.

Ah, sebentar lagi fajar. Aku harus menjalankan tugasku. Tetapi buat apa? Toh sampai sekarang manusia-manusia itu malah belum tidur sama sekali. Ah, tapi tugas , tetaplah tugas. Aku harus menjalankan bagianku. ”Kukuruyuuuuuuk……!” Tugas pertamaku sudah selesai.

Hmmm…..manusia-manusia itu rupanya tidak peduli. Mereka masih saja berkasak-kusuk. Aku lebih tertarik mengamati laki-laki legam yang sedang duduk terpekur di beranda rumah. Sekarang dia terlihat lelah dan kuyu. Sepertinya dia baru saja melewati satu hari yang cukup berat. Setiap kali ada orang yang melihat ke arah dirinya, dia berusaha menghindar. Ada seorang pelayan yang lewat di dekatnya. Dia berpaling sejenak dan mengamati wajah laki-laki legam itu. ”Iya, nih….orang ini memang pernah bersama dengan laki-laki di dalam rumah itu,” kata pelayan itu dengan yakin. Laki-laki legam itu terkejut. Spontan dia berkata dengan lantang, ”A…aku….aku tidak mengenal laki-laki itu. ” Tapi suaranya ini justru menarik perhatian orang di sekitarnya. Mereka lalu mengerumuni laki-laki legam itu dan ikut-ikutan mengamati-amati wajahnya. Suasananya tambah ribut. Wah…aku harus mengingatkan mereka kalau hari sudah menjelang pagi. ”Kukuruyuuuuuuk!” Aku berkokok lagi, tetapi suaraku tenggelam oleh gumaman orang yang menerumuni laki-laki itu.

”Iya benar…laki-laki ini dulunya nelayan, terus menjadi pengikut laki-laki itu?” celetuk seseorang. ”Tidak salah lagi, dia pula yang menebas telinga Malthus hingga putus dengan pedangnya,” kata orang yang lain. ”Dia juga yang pernah berjalan di atas air. Lalu tenggelam dan ditolong Laki-laki di dalam rumah itu itu,” kata yang lain. ”Tidak salah lagi. Aku juga pernah melihat perahu orang ini hampir tenggelam karena kebanyakan menangkap ikan, setelah mengikuti perintah laki-laki itu.” ”Dari cara ngomongnya saja kelihatan kok. Dia memakai bahasa seperti yang digunakan laki-laki itu. Orang ini memang tangan kanan laki-laki itu. Dia sering bersama-sama dengan laki-laki di dalam rumah itu” Mendapat tuduhan yang bertubi-tubi itu, lidah laki-laki legam seperti kelu. Para tentara yang berjaga mulai tertarik pada ribut-ribut itu dan mendekati kerumunan. Laki-laki legam itu semakin panik. ”Berani sumpah, deh…aku tidak mengenal laki-laki itu,”teriaknya dengan suara tinggi. Kerumunan itu terkesima sejenak. Hening beberapa saat. Mereka lalu membubarkan diri satu per satu, meninggalkan laki-laki legam itu termangu. Dari dalam rumah, aku melihat laki-laki yang sedang disidang berpaling kepada laki-laki legam itu dengan sorot mata kecewa. Sepertinya laki-laki di dalam rumah itu justru merasakan sakit, saat mendengar teriakan dari halaman rumah itu.

Di halaman, laki-laki itu terpekur sambil menutupi wajahnya. Sesekali dia menebah-nebah dadanya. Seolah ingin menyingkirkan penyesalan yang mengganjal di dalam dadanya. ”Kukuruyuk!” Aku berkokok pendek. Entah mengapa, perasaanku ikut larut dengan kesedihan laki-laki legam itu. Laki-laki legam itu tersentak. Dia lalu berlari melewati pintu gerbang dan berbelok menulusuri lorong-lorong kota yang masih sunyi. Sayup-sayup kudengar laki-laki itu menangis pilu. Fajar merekah di langit Timur. Warnanya merah darah.

KA Jayabaya Selatan, 7 April 2004

Mempersoalkan Sistem Pembinaan Kesenian di Jakarta

Slamet Rahardjo Rais*
http://www.suarakarya-online.com/

Berangkat dari akar paling bawah masyarakat kita, sekelompok orang bergerak bersama menghimpun potensi diri. Kemudian menyatu bersama untuk melakukan serangkaian aktivitas sastra. Menyebutnya sekumpulan pegiat sastra. Itulah gambaran kecil sekelompok orang sastra membangun geliat sastra. Kemudian menyebut dirinya komunitas sastra. Dan lazim disebut sanggar, dapur atau bengkel, kelompok atau organisasi sastra, dan lain-lain penyebutan yang cukup banyak jumlah sebutan.

Komunitas sastra tak lain sosok bentuk kebersamaan dengan mengusung sejumlah agenda kerja bakti kegiatan sastra.Dengan merangkak sekalipun menghimpun orang, mengumpulkan dana dari masyarakat, dan menyatukan ide agar dapat terwujud kegiatan sastra.Dilakukan bersama aktivitas melalui kelompok agar dapat lebih menyempurnakan kemampuan menerima dan menyampaikan hal-hal yang bersifat apresiatif, mampu mencapai luas jangkauan wawasan, serta mempertajam keterampilan teknik dalam menyelesaikan proses kreatif dan menawarkan capaian nilai-nilai estetik kepada masyarakat.

Di situ individu-individu menangkap fenomena ide tentang sastra yang banyak bertebaran di atas permukaan masyarakat sastra. Komunitas sastra meletakkan dirinya menjadi bentuk kolektivitas, kemudian merupakan rumah tempat tinggal kreatif. Kesepakatan untuk selalu menjaga, dipelihara, dan dikembangkan sampai batas kemampuan untuk berkembang. Tentu dalam batas kemampuan mengumpulkan dan memiliki dana sebagai bagian sumber kekuatan energi. Seluruhnya dilakukannya dengan secara berdarah-darah. Sampai batas mana komunitas dapat diharapkan menjadi sebuah lahan persemaian menumbuhkan, dan mengembangkan kemampuan kreatif adalah sebuah renungan bagi siapa pun yang merasa sebagai peminat dan pegiat sastra. Sebuah perjuangan ! Sentuhan-sentuhan dialog kreatif itulah yang menggerakkan untuk sampai kepada capaian estetik dan sekaligus mengangkat karya-karya, internal dan external, kepada publiknya yang lebih luas.

Agaknya telah menjadi suatu pemahaman meluas bahwa karya-karya sastra, termasuk kegiatan sastra itu sendiri, menghadirkan kembali paparan tentang manusia beserta lingkungan hidup persekitaran yang mengelilinginya. Sajian tentang masalah-masalah moral, etika, pendidikan, tradisi kultural, dan lain-lain yang merupakan rangkaian arus proses pembelajaran bagi kemanusiaan kita. Sastra dan nilai-nilai kemanusiaan selalu menghendaki perubahan dinamik sebagaimana capaian perubahan yang dikehendaki oleh proses perjalanan budaya masyarakat yang mengagungkan nilai-nilai peradaban. Kalangan sastrawan maupun peminat sastra menyadari betapa pentingnya makna sastra bagi msyarakat luas terutama kalangan pelajar, mahasiswa, dan kalangan generasi muda bangsa serta kalangan pendidik.

Sastrawan dari kalangan komunitas sastra yang tergabung dalam wadah kerjasama dan kemitraan antar komunitas/kelompok sastra telah berangkat ke berbagai sekolah/madrasah bergerilya untuk mengangkat posisi sastra yang nampak terabaikan. Menawarkan bentuk-bentuk apresisi, seperti: pelatihan pembacaan dan penulisan karya sastra, dialog kreatif sastra bersama guru kelas, dalam membantu meningkatkan penyelenggaraan extrakurrikuler di bidang sastra. Membangun suasana cinta dan minat baca, menuturkan kembali, kemudian menuliskannya berbagai fenomena yang telah tertangkap atas bacaan

Bukankah gambaran seperti di atas adalah latihan atau proses pembelajaran bagi siapa pun (tentu saja yang utama pelajar) untuk mencapai pencerdasan emosional dan intelektualitas ketika menangkap berbagai fenomena yang mengalir di persekitaran diri. Sekaligus mengexpresikan diri secara cerdas sebagai obyektivasi aktual (terutama ketika manusia bersentuhan antar manusia dan kelompok, dst).

Bagaimana mungkin mengingkari pentingnya makna sastra dalam membangun kebudayaan dan peradaban masyarakat bangsa. Keberadaan komunitas sastra adalah sebuah keniscayaan di tengah hiruk pikuk kota besar seperti Jakarta dalam memberi pencerahan. Jakarta adalah kota urban yang sarat dengan berbagai ketegangan konflik pergeseran nilai-nilai atas berbagai perbedaan kepentingan dari kelompok maupun individual, bentuk-bentuk benturan dari premanisme yang banyak berkeliaran di masyarakat luas.

Komunitas sastra beserta kelompok kesenian yang lain seharusnya memperoleh pembinaan yang benar wajar dan sangat layak. Mengapa tidak!Bukan sekedar retorika mainan kata-kata.

Aktualisasi keberadaannya menyatakan, bahwa peran komunitas sastra dan kelompok kesenian yang lain itu pun telah memberikan kontribusinya dalam masyarakat. Dan sulit mengingkari atas kontribusinya dalam membangun dan mewujudkan Jakarta sebagai pusat kebudayaan. Wadah sastra( dan pewadahan kesenian lain) telah ditetapkan menjadi wadah kerjasama dan kemitraan antar sanggar /kelompok atau organisasi berkesenian. Memiliki SK Gubernur Provinsi DKI Jakarta sebagai isyarat pengakuan dan sekaligus pembinaan atas beban tugas diletakkan ke pundaknya sebagai mitra kerja Pemda Provinsi DKI Jakarta dalam rangka lebih “memanusiakan ” warga Jakarta di tengah rimba ketegangan konflik yang ada di masyarakat.

Lalu, bagaimana dengan arah dan sistem pembinaan yang telah dilakukan oleh Pemda Prov. DKI Jakarta. Simaklah sejenak dalam realisasi pengucuran dana pembinaan kesenian. Tahun anggaran 2005, dana pembinaan kesenian untuk Dewan Kesenian Jakarta sebesar Rp 5.000.000.000,- Akademi Jakarta menerima Rp. 800. 000.000,- Lembaga Kebudayaan Betawi sebesar Rp.400.000.000,- Yay. WO. Bharata memperoleh kucuran Rp. 300.000.000,- sedangkan Miss Cicih sebesar Rp. 300.000. 000,-Sejumlah wadah kesenian sejenis 32 wadah memperoleh dana pembinaan sebesar Rp. 240.000.000,- Bila dibagi rata, setiap wadah memperoleh tak lebih dari Rp. 7.000.000.- Tetapi yang jelas wadah sastra memperoleh jatah tak lebih dari Rp. 2.000. 000,- untuk satu tahun. Tahun anggaran 2006 dan tahun 2007 Dewan Kesenian Jakarta sebesar

Rp. 6000.000.000,- untuk masing-masing tahun anggaran sedangkan Akademi Jakarta untuk masing-masing tahun anggaran memperoleh sebesar Rp. 800.000. 000,- Diterima oleh wadah sastra untuk tahun anggaran 2006 tak lebih dari Rp. 3000. 000,- Untuk tahun anggaran 2007, komunitas sastra serta komunitas kesenian yang lain, entahlah.

Bukan soal kecemburuan atau bukan, masalahnya adalah asas keadilan. Adalah bijak bila pusat-pusat kekuasaan dalam jajaran Pemda Provinsi DKI Jakarta yang memiliki otoritas pembinaan atas potensi sentra-sentra kesenian dan di dalamnya ada sastra, mampu melakukan komunikasi dalam bentuk pendekatan mitra kerja bukan pendekatan kekuasaan. Tentu dalam menangkap fenomena yang muncul atas aktualisasi realitas kebenaran. Dengan rasa ihlas yang tulus bisa menerima pemikiran-pemikiran baru. Kesadaran memiliki pemikiran-pemikiran baru. Kemudian mengapresiasi diri dalam menggunakan dan mendistribusikan kekuasaan dalam menghormati asas keadilan. Sejauh mana arah dan sistem pembinaan kesenian yang berkaitan dengan capaian asas keadilan berkaitan dengan kucuran dana pembinaan kesenian telah dilakukan!

Mengabaikan makna komunitas sastra adalah kebijakan yang sangat keliru, kalau tidak boleh disebut keteledoran yang sangat celaka. Komunitas sastra adalah tempat melahirkan, membina dan mengembangkan embrio-embrio yang sekaligus membesarkannya. Melalui komunitas sastra, lahir sastrawan-sastrawan.

Dewan Kesenian Jakarta saat ini bukan lagi sebuah pusat kesenian satu-satunya. Komunitas sastra dapat juga meletakkan dirinya sebagai pusat kesenian yang lain (baca sastra). Dalam kebangkitan komunitas sastra, beberapa komunitas sastra di daerah mampu menjadikan dirinya sebagai pusat sastra yang lain melalui berbagai kegiatan tingkat Nasional. dan bahkan tingkat regional dengan mendapatkan dukungan dan pembinaan dari Pemda masing-masing. Seperti: Medan, Riau, Lampung, Serang (Banten), DIJ, Bali, Mataram (NTB), Banjarbaru (Kalsel), Samarinda/Balikpapan (Kaltim), maupun Makassar (Sulsel), dan lain-lain.

Nampaknya dengan dana yang begitu besar Komite Sastra DKJ nyaris tak mampu menyelenggarakan kegiatan sastra yang memiliki daya tukik sebagai puncak-puncak apresiasi dan luas wawasan. Bahkan hanya merupakan kegiatan sastra yang tak memiliki daya tawar. Dalam gambaran kucuran dana seperti di atas, sungguh sangat disayangkan ! Lagi pula menuai kritik tajam banyak kalangan atas beberapa penyelenggaraan kegiatan sastra dengan tema-tema seks atau tema perkelaminan (dalasastra) Sebenarnya sejauh mana “estetika perkelaminan” dalam karya sastra mampu memberi pencerahan terhadap masalah-masalah moral bagi upaya pencerdasan kehidupan kemanusiaan yang beradab.

Berangkat dari sini, agaknya pusat-pusat kekuasaan dalam jajaran Pemda Provinsi DKI Jakarta yang memiliki otoritas menyusun arah pembinaan dan pengembangan di Jakarta agar bersedia membuat renungan: Siapa sebenarnya Dewan Kesenian Jakarta saat ini! Siapa sebenarnya Komite Sastra DKJ saat ini! Sebuah pertanyaan, “Adakah aroma suatu ideologi dalam sastra telah “bersetubuh” menggerayangi tubuh Dewan Kesenian Jaakarta saat ini?”

Maka, posisi Dewan Kesenian Jakarta agaknya perlu dikaji ulang kembali dengan memperhatikan fenomena kebangkitan komunitas di berbagai daerah dan di Jakarta sendiri. DKJ juga perlu selalu membaca dirinya sendiri, membaca fenomena yang muncul di sekitar dirinya. Sebagai perimbangan atas keberadaan DKJ (meliputi program dan realisasi atas program yang disusun DKJ) agaknya perlu membangun institusi pembanding yang juga melalui dana pembinaan dari Pemda DKI Jakarta. Agar muncul persaingan kreatif yang menyegarkan. Semuanya ke arah upaya mengembangkan kehidupan berkesenian yang lebih semarak bagi masyarakat Jakarta. Munculkan saja asas keadilan atas arah dan sistem pembinaan kesenian di DKI Jakarta.

Strategi arah dan sistem pembinaan kesenian di DKI Jakarta yang lain adalah meletakkan posisi DKJ sebagai konsultan dalam hal berkesenian di Jakarta. Bertugaslah sebagai fasilitator, transformasi dalam mengakomodir berbagai aspirasi yang muncul di kalangan masyarakat seni di Jakarta. Teknis operasional penyelenggaraan kesenian serahkan saja kepada suatu kepanitiaan yang berasal dari wadah-wadah kesenian yang sudah memiliki SK Gubernur DKI Jakarta. Tak usah sibuk dengan urusan yang bersifat teknis. Sebab kalian adalah para pemikir yang disimbolkan sebagai sosok para dewa yang hanya senang di awang-awang bukan di bumi

*) Penyair tinggal di Cijantung-Jakarta Timur.

Ramadhan, Menikmati (Lagi) Puisi Ajamuddin Tifani, Sang Sufi dari Alam…

Raudal Tanjung Banua*
http://www.balipost.co.id/

RAMADHAN, saya pikir tidak harus berkutat sebatas kitab suci, tapi sesekali perlulah membongkar kembali koleksi buku-buku dan menikmati muatannya sebagai pesan ilahiah juga. Alhamdulillah, setelah memilih dan memilah beberapa buku, saya dapatkan buku puisi Ajamuddin Tifani, ”Tanah Perjanjian” (Hasta Mitra-YBS 78, 2005) yang tebalnya hampir 300 halaman. Wah, ini klop, pikir saya, mencari-cari sembarang bacaan akhirnya dapat puisi sufi!

Ketika membuat catatan ini, tentu saja saya sadar sudah cukup sering karya-karya Ajamuddin Tifani dibahas, khususnya oleh sastrawan/ kritikus di Kalimantan Selatan, dan lebih khusus lagi dalam konteks nilai sufistiknya. Tapi tak apa, pikir saya, setidaknya saya menuliskannya selagi bulan Ramadhan, di mana pembacaan ulang atas puisi-puisi sufi Tifani terasa khas, kalau bukan aktual. Walaupun secara muatan, risikonya saya hanya sekadar mengulang. Maafkan.

Sembari membolak-balik buku hard-cover itu, saya terus bergumam: akhirnya, terbit juga buku puisi salah seorang penyair kuat dari Kalimantan, Ajamuddin Tifani (1951-2002) ini, setelah bertahun-tahun — bahkan sampai akhir hayatnya — hanya berupa manuskrip. Saya beruntung mendapatkannya satu; ketika berkunjung ke Banjarmasin beberapa tahun lalu, kolega almarhum, Y.S. Agus Suseno, Micky Hidayat dan Maman S. Tawie memberi saya kopian manuskrip itu, dengan harapan saya bisa membantu mencari penerbit di Yogya. Apa lacur, di negeri ini buku puisi belum menggugah nurani penerbit yang berbasis industri, seraya merujuk selera publik yang katanya tak doyan puisi. Untunglah, pertengahan 2006 saya dikontak Suseno: manuskrip itu akan terbit di Jakarta, berkat santunan kawan lama dikontak Suseno: manuskrip itu akan terbit di Jakarta, berkat santunan kawan lama almarhum, Tariganu. Maka, ”Tanah Perjanjian” terbitlah.

Menikmati puisi Ajamuddin Tifani dalam buku ini, kesan pertama yang muncul adalah kekuatannya menggunakan citraan alam; dan kedua, upayanya membangun dunia transenden. Seperti sudah saya sebutkan, Tifani memang cukup lazim dikenal dalam ranah penyair sufi, terutama ketika kecenderungan aliran ”terekat puitik” ini menguat sekitar tahun 1980-an.

Menurut Abdul Hadi W.M. dalam kata pengantar, Tifani sangat produktif bersama penyair segenerasinya seperti Heru Emka, Nyoman Wirata, Juardi Bisri, dan Raka Kusuma. Waktu itu, harian Berita Buana yang diasuh Abdul Hadi memang ‘corong’-nya sastra sufi, menyusul lahirnya gagasan atau konsepsi seputar sastra sufi yang antara lain juga melibatkan Kuntowijoyo, Y.B. Mangunwijaya, Sutardji Calzoum Bachri dan Abdul Hadi sendiri. Tentu kegairahan suatu zaman ikut mempengaruhi capaian estetik seseorang, sebagaimana tercermin dalam sajak Tifani.

Apa yang menarik dari sajak ‘sufi’ Tifani (kalau disepakati demikian), memanglah kemampuannya menggunakan citraan alam sebagai simbol atau jalan profetik seperti disinggung tadi, baik secara personal maupun kolektif (lingkungan sosial tempatnya tinggal). Yang personal, biasanya berupa bisik lirik permohonan (tapi bukan cuplikan doa); pengakuan, harapan dan pencarian (tapi jauh dari bentuk pengakuan dosa dan rintih putus asa) antara si aku lirik dengan Yang Maha Pemilik Alam. Yang kolektif terasakan dari gugatan terhadap simpul yang membuhul hajat hidup orang banyak, seperti institusi kehutanan, pengusaha kayu, penguasa, sampai rezim Orba dan arogansi Serbia di Sarajevo, tapi tidak jatuh sebagai sajak pamflet atau kutukan. Lewat citraan alam yang segar, semua itu berhasil ia tarik pada tataran reflektif.

Dengan demikian, dunia transenden Tifani adalah buah ”persetubuhan” yang intens dengan alam, yang menyumbang tak hanya kosa kata natural seperti ricau unggas, daun basah, hutan-rimba, sungai, laut, tanah huma dan semacamnya, tapi menyatu dalam ungkapan dan bait segar, sekaligus kaya makna seperti dikutip secara acak dari beberapa sajak berikut: ”kudengarkan senandung batu, dalam rinai yang menampung jejak malam, melantun ke penjuru lembah, menghijaukan lagi lumutnya; jika ia daun, berilah gugur, berilah, agar tanah dapat menghimpunkan humusnya, restu dari luka-riangnya; sudah kutimang tandas-tikammu sedarah, sedarah sudah kubuai timpas-suburmu sepasir, sepasir sudah kuludahkan khuldimu setangis; maut menggesek tiap ranting, dengarlah suaranya berjalin dengan tiap suara, terima kasih, pagi yang bersuka.”

Kalau ada asumsi yang menyebut penyair sufi cenderung mengasingkan diri, lalu muncul dengan idiom yang sarat nama Tuhan, tak peduli streotipe atau verbal, itu tidak terjadi pada sosok Tifani. Di tangannya, sufisme justru sangat dekat dengan lingkungan alam dan sosial; sementara yang vertikal buah dari pergulatan horizontal, atau bisa juga sebaliknya. Tak heran, dalam sajak kontemplatif dengan subjek aku lirik misalnya, situasi sosial di tingkatan kolektif saja muncul tak terbendung, semisal dalam sajak ”Risalah Embun” (hal. 182): ”inilah hamba yang ingin mengabarkan suara-suara cinta/ pada kepompong dan daun gugur, pada belukar impian/ dan putik bunga, pada padang luas dan angin pagi, pada auman badai dan jeritan burung-burung putus asa.” Sebaliknya, dalam lirik-kolektif, suara aku-lirik tetap menyelip yang memberi aksentuasi puitis dan kritis pada suara bersama, simak misalnya sajak ”Risalah Darah” (hal. 163): ”yang dikicaukan burung-burung pagi hari itu/ terbitkan sudah matahari pencerahan, yang olehnya/ tragika kemanusiaan kita terselamatkan/ Tapi bagaimana merumuskan sorakan berjuta-juta anak/ yang bermain rembulan dengan perut lapar?”

Situsi penciptaan semacam ini mungkin cocok dengan konsepsi ”relegiusitas sastra” Y.B. Mangunwijaya. Lewat relegiusitas inilah Tifani menyuarakan keadaan masyarakatnya (termasuk dirinya yang gelisah); mulai dari rusaknya hutan Kalimantan (Mantuil, Murungpudak, Meratus), situasi kota kenangan (Banjarmasin, Kandangan), pertobatan dan refleksi dalam perayaan (Idul Fitri, Idul Adha, HUT kemerdekaan), sampai kepada bencana tsunami di Flores dan perang di Bosnia-Palestina. Berkat citraan alam, puisi-puisi Tifani terdedah dengan jernih, akrab dan dekat. Meski di lain waktu ia mencoba membangun imaji sureal tentang maut, hijrah, miraj dan dunia unik lainnya dalam khazanah sufi, tapi itu tetap hangat tersaji lantaran kepiawaiannya membangun ‘jembatan’ puitik, semisal lewat mantra, alam yang keramat, dan muatan lokal.

Sosok Ajamuddin Tifani

Memahami sosok Ajamuddin dan wawasan puitiknya, tentu dapat dilakukan lebih lanjut lewat 161 sajak alam buku ini. Setidaknya, dengan asumsi ini Abdul Hadi W.M. tak perlu menyebut bahwa salah satu kelemahan Tifani adalah ‘ia jarang menulis esei dan kritik”. Seorang penyair, justru harus berbicara dengan puisinya; setidaknya, bukanlah suatu kelemahan jika ia tak menuliskan wawasannya dalam bentuk esei. Persoalannya mungkin akan lebih buruk bila seorang pengarang memaksakan diri menjelajah segala bentuk ekspresi seni, yang ternyata hanya mengantarnya jadi sekadar seorang ‘budayawan’.

Apalagi dalam konteks Tifani, julukan seniman serba bisa sesungguhnya layak disandangnya, sebab ia juga melukis (sebagian dicetak di buku ini), pembaca sajak yang baik dan sebenarnya juga menulis esei (satu di antaranya tentang tassauf melengkapi Tanah Perjanjian) serta menulis cerpen (salah satunya ada dalam antologi Cerita Pendek Indonesia Jilid IV editor Satyagraha Hoerip); tapi puisilah skala prioritas Tifani. Ketimbang persoalan ini, kelemahan Tifani yang seharusnya ditelisik lebih jauh adalah kekurangcermatannya mengutip kalimat dan nama ayat Al-Quran, sebagaimana pernah diteliti seorang penyair Kalsel, Jamat T. Suryanata, yang juga diakui Abdul Hadi. Meski kalau dicermati, kadang Tifani sengaja mengubah kutipan, namun esensinya sama.

Kelemahan Lain

Kelemahan lain yang cukup mengganggu pada buku ini adalah kurang selektifnya pilihan sajak. Seharusnya puisi Ajamuddin Tifan dieditori ulang, tidak saja untuk menghindari persoalan teknis seperti salah cetak, penatan EYD atau ungkapan yang kurang tepat (perhatikan misalnya ”dianyam raungan ayam jantan”), termasuk membenahi nama surah dan kutipan ayatnya seperti disinggung di atas. Ini juga merujuk kenyataan bahwa tidak semua sajak Ajamuddin dapat dianggap kuat (sesuatu yang wajar dalam proses kreatif semua orang). Sajak-sajak periode awalnya yang relatif pendek dan sederhana, menurut saya hanya yang lebih kuat, ketimbang sajak periode akhir yang relatif panjang-panjang dan ‘telanjang’ (kurang mengeksplorasi citraan alam sebagai kekuatannya yang sejati).

Ketiga dokumentator — Y.S. Agus Suseno, Micky Hidayat, dan Maman S. Tawie — mestinya diberi kesempatan (atau menyempatkan diri) sekaligus sebagai editor. Lewat cara ini, puisi yang terpilih betul-betul yang kuat, dan buku ini pun akan sangat representatif. Sungguh pun demikian, dengan keadaan sekarang, buku ini jadi bernilai dokumentatif. Di samping semua puisi yang pernah ditulis Ajamuddin hadir full (mungkin masih banyak yang tercecer), juga disertakan esei dan surat tulisan tangan Ajamuddin, biodata lengkapnya yang ditulis Maman S. Tawie serta daftar kliping yang pernah memuat sajaknya. Pertanyaannya, sebuah buku, apakah hanya lebih bernilai dokumentatif, apalagi lantaran penyair/ penulisnya sudah tiada? Saya kira tidak juga. Sebuah buku yang baik (dalam arti selektif) dengan sendirinya akan bernilai dokumentatif, dan itu lebih esensial.

Tapi yang paling mengganggu dari semua itu adalah kehadiran penyantun yang kurang proporsional, baik peran, nama dan biografinya, maupun pengertian penyantun itu sendiri. Di cover depan misalnya, nama si penyantun, yang bernama Tariganu — yang mengaku kawan baik Ajamudin — tampil mencolok bersama nama penyair dan Abdul Hadi W.M. sebagai pengantar — dua nama terakhir masih wajar. Tapi nama penyantun, adakah ia memiliki urgensi seperti itu, apalagi dengan font sebesar ‘gajah’? Celakanya, di cover belakang bukan biodata Ajamuddin, tapi biodata Tariganu, sang penyantun!

Ada yang hilang dari ”Tanah Perjanjian” sebagai sebuah ‘proses panjang’. Editor yang berpayah-payah malah lenyap, di kolofon pun tak tercantum, tapi penyantun — sebagai point yang kurang jelas posisinya dalam sebuah buku — justru mencuri fokus. Tidakkah penyantun cukup santun dengan merasa terwakili Yayasan Bengkel Seni ’78 yang bekerja sama dengan Hasta Mitra? Ah, puisi, engkau benar-benar diuji; tak dilirik penerbit industri, kurang pula ketulusan dari sedikit orang yang peduli — meski penyairmu sudah mati! Marhaban ya Ramadhan, selamat datang ya ketulusan!

*) Penyair, Koordinator Komintas Rumahlebah Yogyakarta tinggal di Sewon, Bantul.

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest