Nurel
Javissyarqi
Sebenarnya
ingin ngelenceki bukunya, namun belum
ada kesempatan jauh, maka sekadarlah ucapan terima kasih, sebab bahasa
Indonesia sudah diperkenalkan di Jerman dengan ketekunan penuh piawai, atau ini
ikut-ikutan bijak seperti tulisannya; “Sebagai dosen bijaksana saya suka sekali
kalau mahasiswa banyak bertanya.”
“Ini dan Itu
Indonesia, Pandangan Seorang Jerman” buku karangan Berthold Damshäuser, dipengantari
Agus R. Sarjono dan penutupnya Jamal D. Rahman, penerbit Komodo Books. Buku ini
sangat ajaib, karena ada tulisannya yang dijumput dari Majalah Sastra Horison
No.3/2016, hal. 13-17, padahal di buku itu adanya catatan Cetakan Pertama Mei
2015?
Saya
tidak kenal pengarang ini,
tapi bisa saja pernah bertemu di Jakarta, Jogja atau blas, tetapi-nya tiba-tiba ingin menulisnya, sebab dari bacaan terhadap
bukunya, terbersitlah satu kata; kocak. Andai layang ini tak sampai tidak masalah, toh saya bisa kenal dapat
akrab sangat dekat atau sok kenal sok akrab sok dekat, namun bukan. Saya tahu kelihaian Ibnu
Khaldun, coraknya Hegel, wataknya Sartre, karekter Camus, nafsunya Nietzsche,
perangainya Derrida, ketelitian Hassan Hanafi, ketampanan Goethe, kewibawaan
Tagore dsb, padahal tidak pernah berjumpa belum sempat kenalan, namun rasanya
lebih nyaman daripada guru bahasa Indonesia saya di bangku sekolah. Jadi
bisalah mencantelkan ‘kocak’ di depan namanya; kocaknya Berthold Damshäuser.
Ini bukan mensejajarkan pribadinya dengan para tokoh itu, hanya semata dari
negara asing dengan nama asing pula terdengar di telinga.
Bahasa
Indonesia-nya agak kocak, artinya mbanyol,
lucu, menggelitik, menggelikan, jenaka, tapi tidak sampai keringkan bibir, dan
kata ‘kocak’ jika digeser agak diselewengkan maknanya sebanding culun, tapi
bukan di dalam kasusnya. Kocak juga bisa diartikan tidak seret sedikit kendor atau longgar menggelikan; biasanya dipakai dalam
kejadian mur dan baut yang tidak erat berpelukan, keadaan renggang yang tidak
sampai lepas keduanya.
Kata ‘kocak’
pernah dipopulerkan Radio Suzana Surabaya sekitar awal tahun 1990an; adanya
acara; berita kocak, cerita kocak, bahasa mandari kocak, bahasa arab kocak, bahasa
belanda kocak, bahasa jepang kocak, bahasa jerman kocak, dst. Kocak di situ maknanya
lucu, karena di bukunya memiliki unsul hiburan, semisal sering mengawali
tulisan dengan kata-kata; “Lapor! Sudah saatnya saya kembali melaporkan diskusi
yang terjadi pada jam mata kuliah bahasa Indonesia di Universitas Bonn” dan
mengakhirinya dengan kalimat “… saya meninggalkan kelas. Lonceng bel berbunyi”
atau “Tiba-tiba lonceng berbunyi, jam kuliah sudah selesai. Alhamdulillah!” dan
serupa-rupanya yang sebelumnya telah terbit di Majalah Tempo.
***
Sekecilnya ada empat nama
besar yang tercatat ngincipi dataran bumi
Nusantara; Tagore, Neruda, Hesse, Chamisso, dan kemungkinan ada belasan nama besar
yang pernah singgah di tlatah Sumpah
Palapa-nya Gajah Mada, namun tak ingin mencatatnya atau tidak mau dituliskan
kejadiannya, barangkali dianggap kurang menarik ataupun menggelapkan proses perjalanan
kreatifnya, maka di waktu sepertiga malam ini saya menujum orang asing itu.
Takdir memang bukan kita yang
menuliskan, tapi dinaya tarik-menarik
ketentuan serta ketetapan hidup, tidak lebih melalui prosesi panjang pergolakan
batin antara condong menerima atau menolaknya, dan kecenderungan melapangkan
perjalanan anak manusia menuju perjumpaan ajaib dirasa, tapi sangat akrab
seolah baru kemarin bertemu atau ribuan tahun silam sudah mengenalnya, karena
kelahiran serta kematian disegarkan embun waktu, diremajakan masa.
***
Menunggu lima tahun setelah
terbitnya buku “Puisi Dunia, Gema Djiwa Slavia dan Latin;” Jilid I, disusun M.
Taslim Ali, ia baru dilahirkan dunia, tepatnya di Wanne-Eickel (Jerman) 8
Februari 1957, tanah yang pernah menghadirkan filsuf tersohor yang pengaruhnya
menggemparkan nalar, Nietzsche semacam Voltaire di lemah Prancis; satu mendorong Hitler memecahkan perang dunia ke II,
satunya lagi menggerakkan kesadaran masyarakat merevolusi. Dan tatkala buku
susunan M. Taslim Ali, “Puisi Dunia, Gema Djiwa Germania” terbit tahun 1953,
tinggal 4 tahun alam menanti kehadirannya.
Barangkali usianya menginjak
11 tahun (1967) atau umur 17 (1973), ia sudah ber-papas-an dengan buku-bukunya M. Taslim Ali, bisa jadi mulai
tertarik Pantun yang disebarkan oleh Chamisso, yang jelas di alam kemungkinan;
deretan buku-buku pada perpustakaan keluarganya, sudah menyebarkan kabar keindahan
tanah gemah ripah loh jinawi toto tentrem
kerto raharjo ini, setidaknya tahun 1976 sudah mengenal nama Trisno Sumardjo
disaat-saat mempersiapkan diri untuk perjalanan pertama kalinya ke Indonesia.
Pada umur 20 tahun itu, ia baca
sebuah kumpulan cerpen Indonesia yang diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman,
editornya Irene Hilgers-Hesse dan Mochtar Lubis, penerjemahnya Irene
Hilgers-Hesse, Tübingen/Basel 1971 (lihat catatan kaki halaman 91). Enam tahun
kemudian, ia merampungkan skripsi Master pada Jurusan Sastra Indonesia di Universitas
Köln (“Trisno Sumardjo, Sang Sastrawan dan Karya-karyanya,” selengkapkan lihat
catatan kaki selanjutnya). Saya tidak tahu persis apakah di antara tahun itu ia
pernah keluyuran ke Indonesia? Apakah berjumpa Dami N. Toda di Hamburg atau
tidak (1981)? Yang pasti setahun setelah kelulusannya dari Köln, ia menjadi
mahasiswa tamu untuk program pascasarjana di Universitas Indonesia (1983) atau
menginjak usianya ke 27. Berbeda perjalanan juga beda nasibnya, Neruda pada
usia 23 (dalam tahun 1927) menginjakkan kaki di Kolombo (Sri Lanka), Batavia
dan Singapura, sedangkan usianya Tagore 66 di tahun tersebut ke tanah Jawa.
Mengenai Dami, saya teringat penelitiannya
yang belum matang sejenis kurang jeli, dan terlanjur cepat Allah menjemputnya.
Kata-kata ‘belum matang kurang jeli’ bisa dibaca pada esainya yang bertitel
“Kesibukan Hamba-Hamba Kebudayaan” lalu sejenis esai pertaubatannya yang dimuat
Kompas 17 September 2006, yang berlabel “Pengakuan Anggota Waffen-SS” yang
disebut juga oleh Afrizal Malna di Tempo 20 November 2006, dengan judul “Sejarah
dalam Kulit Bawang,” lewat satu kunci perjalanan hidup pemenang Nobel Sastra
1999, Günter Grass.
Dan meski hanya sekali tatap
muka di ruang kelas dengan Sapardi Djoko Damono, empat tahun berlalu dan ia
putuskan balik ke Jerman (1986), mengabdi di Universitas Bonn, tepatnya
mengajar bahasa dan sastra Indonesia pada Lembaga Kajian Asia, dan bersama
Wolfgang Kubin menjadi editor Orientierungen. Di tahun 1987, untuk pertama
kalinya menemui Ramadhan KH yang mendampingi istrinya berdinas sebagai diplomat
di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Bonn, perjumpaan yang sangat berkesan.
KH sekitar lima tahun berada di sono
(Jerman), dan tujuh tahun dilewati ke tahun 1993, KH diminta olehnya sebagai
anggota redaksi Orientierungen,
Zeitschrift
zur Kultur Asiens.
Namun, empat tahun sebelum
itu, tepatnya 1989, kedua anak manusia ini telah merampungkan hasil-hasil ikhtiarnya
dalam kerjasama menerjemahkan sekaligus menerbitkan “Antologi dwibahasa puisi
Jerman, Selama delapanratus tahun” yang diberinya titel “Malam Biru di Berlin” dengan
kerjasama Kedutaan Besar Republik Federal Jerman di Jakarta. Sungguh hasrat yang
luar biasa bermanfaat, bagi wacana kesusastraan di Nusantara. Kecocokannya
dengan KH, memberikan dampak merindu penuh jiwanya pada Tanah Air keduanya yakni
Indonesia. Dan atas permintaannya, KH di tahun 1997 bersedia menjadi anggota
Komisi Indonesia-Jerman untuk Bahasa dan Sastra.
Ada yang saya sayangkan di
pengantar “Malam Biru di Berlin,” paragraf ke 2 tertulis: “Sebelum penerbitan
buku ini, belum terdapat antologi sajak-sajak Jerman yang diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia. Karena itu kami berpendapat, bahwa antologi ini
sebaiknya mencoba memberikan gambaran yang luas tentang puisi Jerman. Maka yang
dikumpulkan di sini adalah sajak dari abad keduabelas sampai abad keduapuluh
yang diciptakan oleh delapan puluh tujuh penyair. Titik berat terletak pada
sajak yang ditulis pada abad sekarang.” Kalimat itu seakan-akan menghapus
kerjanya M. Taslim Ali sebelumnya, atau apakah terlambat mengetahui? Lalu seperti
terpaksa disusupkan pada tulisannya, lihat sambil pelajari kepiawaiannya merakit
kata, halaman 67.
Tulisannya mengenai “Ramadhan
KH, Arsitektur Jembatan antara Jerman dan Indonesia” dimuat di buku yang
berjudul “Ramadhan KH, Tiga Perempat Abad” Pustaka Jaya 2002, halaman 130-136,
editornya Ajib Rosidi, Ahmad Rivai, Hawe Setiawan. Tahun 1997, ia menjadi
anggota Komisi Jerman-Indonesia untuk Bahasa dan Sastra, yang didirikan atas
petunjuk Kanselir Jerman dan Presiden Republik Indonesia. Tahun 1998 mulai
berhubungan dekat dengan penyair Hamid Jabbar; orang saling dekat karena sama
frekuensinya, serasi sepadupadan seirama nada naik-turunnya batin yang diembankan
hayatnya, lalu di tahun 2004 tulisannya kepada sahabatnya Hamid terbit, lantas yang
berjudul “Hatur Nuhun, Kang Atun! In Memoriam Ramadhan KH” (2006) hadir di
majalah yang sama; Horison.
Bersama Agus R. Sarjono
menjadi editor Seri Puisi Jerman yang terbit sejak 2003, kemudian tahun 2007 keduanya
bersama-sama mengeditori buku bertitel “Johan Wolfgang van Goethe, Satu dan
Segalanya” jilid IV Seri Puisi Jerman, yang dipengantari Jamal D. Rahman, penerbit
Horison. Tahun-tahun berlalu semakin menjelajah, kian akrablah dengan para sastrawan
serta kaum kritukus sastra Indonesia. Tahun 2010 ia dipilih Kementerian Luar
Negeri Republik Indonesia, menjabat Presidential Friend of Indonesia, dan sejak
2011 bergiat sebagai redaktur Jurnal Sajak. Tahun 2014 dan 2015 ia menjadi
anggota Komite Nasional Indonesia, selaku Tamu Kehormatan Pekan Raya Buku
Frankfurt. Dan oleh ketekunannya menerjemahkan puisi Jerman ke bahasa Indonesia,
puisi Indonesia ke dalam bahasa Jerman, tahun 2017 seterusnya, ia bagai bintang
timur yang selalu dinanti kedatangannya di Indonesia.
Dusun Pilang, Desa Tejoasri,
Laren, Lamongan,
daerah yang dikelilingi
Bengawan Solo, 27/8/2017.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar