Edeng Syamsul Ma’arif
cirebontrust.com
Apa
kabar generasi teater di Cirebon? Mencengkeram bola-gagasan keberdirian dan
kebertahanan atau membiarkannya terbang bersama pesimisme wacana publik yang
telah menelikungnya ke dalam ruang gelap dan pengap? Keras kepala dengan
estetika dan manajemen kelompoknya atau merelakan sekujur tubuh dilindas
eksistensi kapiran masa lalu?
Membicarakan
teater modern Cirebon, tak ubahnya mengobok-obok sebuah kolam ikan hingga
keruh. Sementara, semua paham betul teater modern Cirebon mengalami involusi.
Ibarat menegakkan benang basah, serba salah berbaur aroma apatis dan apriori.
Sejak
dahulu persoalannya selalu sama. Seputar nostalgia, menyedihkan dan tidak
menyedihkan, tentang legenda dan mitos-mitos yang dibangun untuk mengutuk
setiap generasi menjadi pecundang. Hingga fakta terbaru melukiskan
kecenderungan generasi hari ini yang sibuk mencari tempat berlindung dari
sergapan kompetisi kreatif dan ekonomi yang tidak mengenakkan.
Ada
baiknya semua pihak kembali ke rumah masing-masing. Mengembalikan kesadaran
kepada ruang dan waktu konkretnya. Menata diri dan berpikir ulang soal
orientasi berkesenian, menegaskan cita-cita pribadi dan kelompok, merumuskan
estetika lewat peristiwa di atas panggung, menggali potensi dan fungsi
manajemen organisasi, membangun jaringan kerja kreatif antar komunitas untuk
menghadirkan pergesekan dan kompetisi wacana lewat pertunjukan dan dialog
intensif, dan seterusnya. Meski tidak bermaksud simplifikatif, langkah semacam
ini akan memenggal kesombongan masa silam yang telanjur membatu.
Karena
sejarah telah menjelma lampion yang akan menerangi sekat-sekat masa lalu. Kita
tidak akan bisa masuk untuk sekadar meniup atau menghidupkannya kembali, sebab
ia telah menempati tanah pekuburannya. Sejarah adalah benda-benda, prasasti,
imaji-imaji, legenda tentang labirin, atau titian yang menjembatani gerbang
masa kini dengan masa lalu yang berserak memenuhi halaman ingatan-ingatan.
Dan
pada kenyatannya, ingatan-ingatan generasi yang berada jauh di belakangnya
tidak akan mampu sepenuhnya memahami, menginterpretasi, dan mengharu-biru
singgasananya. Kecuali membacanya lewat fakta-fakta lisan dan tulisan yang
tersebar di media massa, makalah-makalah, arsip-arsip yang bertumpuk di laci
gudang, atau obrolan-obrolan di warung kopi.
Mungkin
kita tidak akan pernah bisa menolak atau menerima gagasan dan kemungkinan yang
ditawarkan oleh masa lalu, dalam bentuk retorika maupun teka-teki, tanpa
pertimbangan interpretatif, imajinatif, kreatif, dan rasional. Dengan bahasa
lain, kita tidak mungkin merebahkan diri pada hamparan artefak tanpa
menggerakkan naluri skeptik, sejalan dengan pengetahuan dan wacana yang
berkaitan dengannya.
Namun, jika pilihan wacana tak pernah bisa ditemukan,
persoalan klasik masih menjadi hantu bergentayangan merasuki tubuh dan isi
batok kepala; masa lalu masih menyisakan tempat untuk sekadar mengisap
cangklong sambil bertumpang kaki, sembari menilik gagasan yang berserak tak
beraturan dalam khazanah literatur kebudayaan.
***
Jika
ditengok kembali, sejak mula berteater adalah pilihan sulit dan mengerikan.
Lorong gelap yang tidak tegas memberikan jaminan masa depan. Meski tidak
berarti menciptakan martir atau sekadar melanjutkan tradisi Sisyphus, betapa
naif ketika harus berpikir tentang waktu yang dibutuhkan untuk proses berteater.
Berteater adalah fakta tentang ilmu, cita-cita, perasaan,
teks literer, karya cipta dan praktik dramaturgi, naskah, sutradara, aktor,
pendanaan, produksi, organisasi, publikasi, penonton, kritik, ulasan, dan
sebagainya. Berteater tidak merupakan simplifikasi atas keluh dan duka lara
perasaan ingin bermanja-manja atau pelampiasan ekspresi semata.
Pikiran semacam itu akan menemukan bentuknya ketika
direkatkan pada sewujud komunitas yang terbangun karena kesamaan emosi,
cita-cita, komitmen, faktor sosial, kesungguhan, dan spiritualitas para
pelakunya. Di sana ada hukum-hukum yang disepakati bersama sebagai pengatur
lalu-lintas kreatif dan sosial. Mencapai target bersama, mengevaluasi,
introspeksi, dan membangun kesadaran terhadap tanggungjawab moral dan estetika
suatu karya.
Sadar
Kemiskinan
Kata WS
Rendra, bekerja menciptakan teater modern Indonesia harus bertolak dari
kesadaran akan kemiskinan. Adapun kesadaran itu bukan dari jenis yang penuh
rasa kasihan pada diri sendiri dan bukan pula kesadaran yang segera disertai
hiburan-hiburan maya tak berguna. Kesadaran itu harus dari jenis pandangan akal
sehat yang biasa saja.
Sudah
menjadi kenyataan teater modern di Indonesia miskin penonton, miskin kritikus,
miskin penulis, miskin gedung, miskin kesempatan, miskin modal, miskin
keuntungan material, miskin peralatan teknis.
Lebih
jauh, Rendra menyebut, kritik drama di Indonesia juga belum tumbuh. Sehingga
orang terpaksa harus bekerja dalam gosip, komentar-komentar ngawur, opini-opini
penuh dorongan ego yang tidak mampu merangsang kreativitas dan justru menyeret
ke arah tetek-bengek yang tidak ada hubungannya dengan drama.
Namun, jelas Rendra, karena kreativitas datangnya dari dalam
diri manusia dan tidak dari lingkungan serta tetangganya, maka tetap tidak ada
alasan untuk mengompromikan kualitas dengan situasi. Statemen Rendra ini telah
dilontarkan sejak awal 60-an. Namun, sudahkah para pelaku teater di Cirebon
menjadikannya sebagai tawaran gagasan yang keras didiskusikan?
Memang,
berteater dengan identitas komunitasnya tak sejenis supermarket yang dibangun
oleh motivasi dan kekuatan korporasi. Kelompok teater adalah sejenis Sega
Lengko Pagongan atau bubur sop ayam Pelet di Plered dengan segala kekhasan
produk dan manajerialnya, sehingga akan membuat siapa saja merasa penasaran,
ketagihan, dan akan berusaha mencari di manapun warung itu berada. Analogi
semacam ini memang menyebalkan. Namun, faktanya, selama ini teater modern di
Cirebon tidak dibangun oleh asumsi kosmopolit dan konglomerasi. Jika ada yang
nekat melakukannya, niscaya ia sejenis calo kesenian dalam pertunjukan teater
naskah realis.
***
SEKADAR menyebut nama, Cirebon pernah memiliki sutradara,
aktor, penulis naskah andal seperti Arifin C Noer (alm), Indra Suradi (alm),
Nano Riantiarno (pendiri Teater Koma), Embi C Noer, Toto Sugiarto (alm), Nurdin
M Noer, Dicky Purs, Usman C Noer, Sumbadi Sastra Alam, Dino Sahrudin, Mahmud,
Nana Gareng Mulyana, Andrian Raharjo, Ken Nagasi, Ali Bustomi, Chaerul Salam,
Askadi Gibarlah, Satoy Syahbandar, Dewi Mayasari, Ade Nurhadi, Neneng Herni,
Dedi Kampleng, Alvin Aquila, Koernady Chalzoum, Muhammad Achir, dan sederet
nama lain yang sempat mewarnai jagat teater modern Cirebon.
Pada
saat itu, sekitar tahun 1970-an hingga 1995, Tim Budaya “PR” Edis Cirebon dan
kelompok lain seperti Teater Nara, Teater Cob Cob Gerage, Teater An-Nur, Teater
Alif , Teater Awal, dan lain-lain menemukan masa keemasannya. Teater modern
Cirebon marak oleh pertunjukan beserta ulasan-ulasannya di media massa (ketika
Cirebon baru memiliki surat kabar mingguan satu-satunya, “PR” Edisi Cirebon).
Gedung
Pemuda di Jalan Lawanggada (kini menjadi Apotek Aman) menjadi alternatif ruang
terbaik untuk setiap acara-acara kesenian. Pentas teater, lomba baca puisi dan
cerpen, dan seminar kebudayaan, berlangsung meriah di tempat ini. Badan
Koordinasi Kesenian Nasional Indonesia (BKKNI) ketika itu masih menjalankan
fungsinya sebagai fasilitator event-event kebudayaan. Pergesekan kreatif dan
sosial berlangsung intens.
Kemudian,
situasi berubah. Gedung kesenian dipindah ke komplek perkantoran Bima. Atas
prakarsa Walikota Cirebon, Kumaedhi Syafruddin (alm), berdirilah gedung
kesenian yang diberi nama Nyi Mas Rarasantang pada tahun 1997. Aktivitas
kesenian dan kebudayaan bergerak kembali, meski konstruksi dan akustiknya jauh
dari kategori gedung pertunjukan. Akses transportasi juga cukup menyulitkan
apresian untuk menghadiri acar-acara yang diselenggarakan di tempat ini.
Sehingga muncullah kebiasaan baru yang cukup memprihatinkan: pentas teater
diadakan siang hari! Tujuannya satu, agar penonton bisa pulang sebelum hari
menjadi gelap.
Hanya
Dewan Kesenian Cirebon (dikomandoi penyair Ahmad Syubbanuddin Alwy) yang masih
mempertahankan tradisi acara dan pertunjukan di malam hari. Tercatat, WS Rendra
bersama Bengkel Teater pernah singgah di Gedung Kesenian Nyi Mas Rarasantang,
menampilkan teater mini kata Bip Bop. Kemudian Teater Koma Jakarta, Teater
Titik Nol Bandung, Teater ESKA Yogyakarta, Teater Tangga Yogyakarta, Studi Klub
Teater Bandung. Pun sastrawan, penyair, cerpenis serius seperti Adi Wicaksono
(Malang), Mathori A Elwa (Yogyakarta), Acep Zamzam Noor (Tasikmalaya), Ahda Imran
(Bandung), Joni Ariadinata (Yogyakarta), Bode Riswandi (Tasikmalaya), Godi
Suwarna (Ciamis), Beni Setia (Madiun), Riki Dhamparan Putra (Bali), Binhad
Nurrohmat (Jakarta), Hajriansyah (Kalimantan), Ian Campbel (Australia), Andy
Fuller (Australia), dan sederet nama lain yang pernah membincangkan wacana
sastra dan membacakan karya-karyanya.
Namun,
gegap kebudayaan di tempat ini harus berakhir. Pada paruh 2010, melalui
musyawarah mufakat, kepengelolaan gedung kesenian yang semula dipegang seniman,
dikembalikan kepada Pemerintah Kota Cirebon cq Dinas Pemuda Olahraga Kebudayaan
dan Pariwisata. Kelompok-kelompok seni yang sempat memelihara gedung kesenian,
menyebar. Gedung Kesenian Nyi Mas Rarasantang yang sudah mengalami empat kali
perbaikan pun, tetap saja tidak memenuhi standar kelayakan sebagai gedung
kesenian.
***
Kita
lupakan gedung kesenian. Sebab keberadaannya tidak lagi menjadi representasi
kreativitas dan kebutuhan penting masyarakat seni Cirebon. Siapa pun bisa
membuat pertunjukan di mana saja ia mau.
Bahkan, jika dalam kondisi gedung kesenian seperti sekarang
masih saja digunakan, justru akan semakin menghancurkan estetika dan suasana
pertunjukan. Pelaku di panggung dan penonton akan sama-sama merasakan situasi
seperti di dalam pabrik beras.
Spiritualitas
dan Anti Membaca
Membicarakan
teater modern di Cirebon memang involutif. Serba salah dan serba susah. Hampir
semua mengeluhkan pendanaaan, miss-orientasi, sulitnya regenerasi, yang
kemudian berbalik menjadi kekecewaan psikologis terhadap teater itu sendiri.
Tak jarang, para pelaku teater beserta kelompoknya menafikan spiritualitas,
kesungguhan, dan kesetiaan.
Akibatnya,
hampir tidak dijumpai gagasan yang mencuat dan menjadi perbincangan serius,
tidak ada isu menarik tentang teater di media massa Cirebon, serta sulitnya
menemukan pertunjukan bagus dan layak diapresiasi. Belum ada kesadaran
ontologis, sesuatu antara diri manusia dengan teater masih menyatu. Teater
dipahami sebatas ekspresi bukan sebagai ilmu. Tidak referensi, refleksi, dan
evaluasi dalam penciptaan.
Perlu
ada penilikan kembali terhadap kehendak dan cita-cita, ketika seseorang berniat
masuk ke dalam dunia teater atau membangun sebuah kelompok. Berserikat untuk
mengukuhkan kekuatan ideologis. Sebab berteater tidak sekadar keisengan
menyalurkan hobi, melepas penat, dan memenuhi hasrat biologis para pelakunya.
Jika
gagasan ini dikesampingkan, yakinlah, teater (meminjam istilah Adorno) hanya
akan dijadikan terminal bagi lalu-lintas orang-orang buta yang melakukan
aktivitas. Karena faktanya, tidak sedikit pelaku teater di Cirebon yang tidak
tertib menata manajemen pribadi dan kelompok. Sanggar dibiarkan kumuh.
Menganggap seni dan kesenian tidak bersih dan wangi.
Pertanyaannya,
kapan pelaku teater di Cirebon memiliki tekad bergerak menertibkan konstruksi
pikiran dan cara bekerja? Bagaimana merumuskan sistem dan metode proses,
dramaturgi, gagasan unik, mengumpulkan teks referensi, mengukur capaian-capaian
estetik, menumbuhkan gagasan ke dalam peristiwa di atas panggung?
Membaca
buku-buku, koran, majalah, pertunjukan-pertunjukan kelompok lain, dan membangun
jaringan sosial yang sehat? Mengritisi kembali teori WS Rendra, Putu Wijaya,
Arifin C Noer, N Riantiarno, Danarto, Suyatna Anirun? Atau membongkar kembali rumus
Constantin Stanislavsky, Jerzy Grotowsky, Bertolt Brecht, Walter Benjamin,
Antonin Artaud, Henrik Ibsen, Richard Boleslavsky, Albert Camus, Jean-Paul
Sartre, Peter Brook, atau teks-teks lain yang tidak pernah dilirik itu?
Sudahkah
merumuskan dan merancang sistematika pra-produksi, menjalankan produksi, dan
melakukan evaluasi? Membangun dan mengejar paspor kebudayaan untuk meluaskan
jaringan lewat lobi-lobi elegan sebagai pengiring capaian estetis kerja kreatif?
Adakah
kebutuhan terhadap pentingnya media massa sebagai pengukuh dan penyebar isu
dari gagasan maupun praktik teaternya? Mendorong para pelakunya menjadi pekerja
seni sekaligus intelektual yang mampu menjadi juru bicara di hadapan publik
kebudayaan?
***
Tahun
2005 saya menulis di sebuah koran lokal: Saya tidak sedang menggugat apalagi
menumbuhkan paranoia. Tapi jika wacana yang berlangsung di tubuh teater Cirebon
masih seperti hari ini, yakinlah, lima atau sepuluh tahun ke depan, para pelaku
teater di Cirebon hanya akan menjadi sekumpulan kecoa yang berlompatan di atas
lembar-lembar kebudayaan.
Ke sana
kemari mencari pengakuaan eksistensi atas kegagalan membangun sejarahnya
sendiri. Dan sekarang sudah tahun 2015! Lho, memangnya ada berapa kelompok
teater di Cirebon yang masih tersisa? Tak perlu kecewa. Kini tinggal kelompok
teater kampus yang masih tertera.
Ada
Teater Awal (IAIN Syekh Nurjati), Teater Dugal (Unswagati), Teater Roempoet
(UMC), Teater Rantai Biru (FKIP Unswagati). Selebihnya, kelompok teater yang
tersebar di sekolah-sekolah menengah atas dengan segala keterbatasannya tanpa
pelatih yang cukup kapabel.
Nama-nama
tersebut masih berkiprah meski sudah semakin kehilangan arah. Proses dan
pertunjukan berlangsung seolah tanpa greget. Sekadar pentas dan berkeluh-kesah.
Masing-masing tampak gagap dengan konsep pemanggungan dan teknis penggarapan.
Menunggu
Godot
Ibarat
kegetiran Estragon dan Vladimir dalam naskahnya Samuel Becket (1906-1989) En
Attendant Godot (diterjemahkan menjadi Menunggu Godot), publik teater di
Cirebon juga berharap nyaris putus asa. Panggung tampak ramai oleh para pemain.
Penuh ketegangan dialog dan saling-silang sorot lampu. Tapi terasa sepi oleh
gagasan-gagasan artistik, estetika, dan produksi.
Menunggu
lahirnya karya yang cukup menarik untuk diapresiasi dari para pegiat teater di
Cirebon, layaknya Menunggu Godot. Menunggu apa saja yang ditunggu. Namun yang
ditunggu itu tak kunjung muncul.
Maka
orang yang menunggu menjadi gelisah. Berjalan hilir-mudik dan berbicara dengan
diri sendiri. Kegelisahan itu menimbulkan ketegangan. Akan tetapi dalam waktu
itu, sesungguhnya, tidak ada yang dikerjakan. Hanya pikiran saja yang
simpang-siur.
Lebih dramatis lagi, apabila kita bayangkan menunggu itu
sambil duduk saja, tetapi jantung berdegup memukul-mukul. “Kapan datang? Kapan
datang?” Sebab Godot diharapkan mendatangkan kebahagiaan, memberikan tempat
tinggal yang menyenangkan dan makanan cukup lezat kepada dua gelandangan itu
(Estragon dan Vladimir) yang tidur di bawah langit tanpa selimut dan makan pun
hanya sepotong bagi berdua.
Lantas,
apakah publik teater di Cirebon akan bermain sebagai penunggu sebagaimana
Estragon dan Vladimir, atau justru menjadi Godot itu sendiri?
Dan bagai marahnya Pozzo—si tuan tanah kejam yang mengikat
leher Lucky, budaknya, dengan seutas tali—pertanyaan dan pernyataan di atas
tentu akan membuat geram para pegiat teater di Cirebon.
“Anda
menyiksa saya dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Saya benci mendengarnya. Kapan?
Kapan? Pada suatu saat tentu. Tidak cukup jelas bagi Anda? Pada suatu saat
seperti mungkin akan terjadi pada orang lain dia menjadi bisu. Sebagaimana juga
saya pada suatu saat menjadi buta. Suatu saat kita dilahirkan dan pada suatu
saat kita akan mati. Saat itu, detik itu. Jelaskah sekarang bagi Anda?***
*) Penulis adalah cerpenis penikmat Kopi Eho
Tidak ada komentar:
Posting Komentar