Interferensi Bahasa

Ajip Rosidi *
Pikiran Rakyat, 5 Des 2009

Dalam percakapan sehari-hari malahan juga dalam tulisan-tulisan yang dimuat dalam majalah atau surat kabar, kita sering menemui kalimat-kalimat yang membingungkan karena ada kata-kata yang kurang lazim atau susunan kalimat atau ungkapan yang ganjil. Misalnya dalam buku telaah tentang sastra Sunda yang ditulis oleh sarjana terkenal yang menulis disertasi tentang interferensi, saya temukan ungkapan “menanam ikan”.
Sebagai orang yang paham bahasa Sunda saya segera tahu bahwa ungkapan itu terjemahan dari bahasa Sunda melak lauk. Kata melak dari kata dasar pelak dalam bahasa Sunda biasa digunakan untuk menanam pohon-pohonan seperti melak cau, melak nangka, melak suuk, dan lain-lain. Akan tetapi, kata pelak juga digunakan untuk memelihara ikan di kolam sehingga digunakan ungkapan “Kuring melak lauk di balong deukeut imah.” Kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia seharusnya perkataan yang digunakan ialah memelihara sehingga terjemahan kalimat itu menjadi, “Saya memelihara ikan di kolam dekat rumah.” Maklumlah, kalau ikan ditanam (di dalam tanah) niscaya mati.

Saya juga mula-mula bingung mendengar kawan orang Jawa berkata, “Ini anak saya yang besar sendiri.” Tentu saja setiap anak kan (menjadi) besar sendiri. Asal makan minumnya cukup, biasanya dia sendiri akan menjadi besar. Tak usah ditolong orang lain membesarkannya. Namun kemudian, baru saya tahu bahwa ungkapan besar sendiri, tua sendiri, tinggi sendiri dalam bahasa Indonesia itu merupakan terjemahan dari kalimat bahasa Jawa sing gede dhewek, sing pinter dhewek, sing duwur dhewek, sing pinter dhewek, dan lain-lain. Seharusnya kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi yang paling besar, yang paling tua, yang paling tinggi, yang paling pinter.

Interferensi dalam berbahasa yang biasanya dilakukan oleh orang dwibahasawan adalah lumrah. Orang Indonesia yang dalam hidupnya lebih banyak bergaul dengan berbagai bahasa, interferensi niscaya bukan hak yang ganjil. Setiap orang Indonesia, terutama yang hidup di pedalaman atau di kota-kota kecil paling tidak mengenal bahkan tak mustahil menguasai paling tidak dua macam bahasa, yaitu bahasa ibunya yang dipelajarinya sejak bayi dan bahasa nasional, bahasa Indonesia yang diajarkan di sekolah. Kalau sekolahnya lebih tinggi ada kemungkinan dia akan mempelajari dan menguasai bahasa-bahasa asing seperti bahasa Inggris, Prancis, Jerman, Jepang, Cina, Rusia, dan lain-lain. Banyak orang Indonesia yang terkenal fasih berbicara dalam lebih dari enam macam bahasa seperti H. Agus Salim, Dr. Hoesein Djajadiningrat, Bahrum Rangkuti, Moh. Said, dan lain-lain. Umumnya mereka juga penulis yang lancar dan produktif.

Akan tetapi, interferensi tidak hanya kita dengar atau baca dalam karangan para pemula. Bahkan, para sastrawan terkemuka yang sudah banyak menulis karya sastra dalam bahasa Indonesia seperti Pramoedya Ananta Toer, Achdiat K. Mihardja, Ramadhan K.H., Trisnoyuwono, dan banyak lagi, apalagi Mangunwijaya, banyak melakukan inteferensi. Hal itu saya pikir disebabkan terutama karena kebanyakan para pengarang kita generasi 1945 dan angkatan sesudahnya kebanyakan hidup dalam lingkungan bahasa daerah atau bahasa ibu. Bahkan banyak yang dalam hidupnya sehari-hari — walaupun tinggal di Jakarta — dalam lingkungan rumah tangganya tetap mempergunakan bahasa ibunya.

Pramoedya Ananta Toer dalam karyanya “Keluarga Gerilya” (1950) misalnya memperlihatkan hal itu. “Amilah masih dalam keadaannya memanjang angan” (halaman 20). Ungkapan memanjang angan itu agaknya terjemahan harfiah dari ungkapan ngulur angen-angen bahasa Jawa. Begitu juga ungkapan terus makan dalam kalimat “Aku sudah senang jadi tukang becak, asal engkau bisa terus makan” (halaman 25). Ungkapan itu terjemahan dari bahasa Jawa mangan terus. Dalam bahasa Jawa ungkapan itu berarti jangan sampai tidak makan. Dalam bahasa Indonesia ungkapan terus makan bisa berarti langsung makan atau makan tak henti-henti.

Achdiat K. Mihardja yang terkenal karena romannya “Atheis”, menulis dalam kumpulan cerita pendeknya “Keretakan dan Ketegangan” (cet. II, 1972) kalimat sebagai berikut, “Nyi Emeh, istrinya yang telah lebih dari dua puluh tahun sepahit-semanis dengan dia, telah tidak ada lagi mati tertembak di bawah pohon jambu” (halaman 15). Orang Sunda niscaya segera mengenal ungkapan sepahit semanis itu merupakan terjemahan dari ungkapan bahasa Sunda sapapait samamanis. Pembaca yang bukan orang Sunda niscaya kebingungan menemukan ungkapan sepahit semanis.

Interferensi itu terjadi karena para pengarang tersebut mempergunakan bahasa Indonesia yang bukan bahasa ibunya. Mereka mempelajari bahasa Indonesia di sekolah, padahal waktu kecil mereka dibiasakan berbicara (dan dengan demikian berpikir juga) dalam bahasa ibunya. Ketika mereka menulis dalam bahasa Indonesia, susunan kalimat dan pikirannya masih dalam bahasa ibunya sehingga ketika ditulis banyak yang hanya merupakan terjemahan dari kalimat-kalimat dalam bahasa ibunya itu.

Hal tersebut kelihatan juga pada karya-karya para pengarang Pujangga Baru. Banyak di antaranya didikan sekolah Belanda yang menggunakan bahasa pengantar bahasa Belanda dan bahkan di rumah pun mereka biasa berbahasa Belanda. Dengan demikian, kalimat-kalimat yang ditulisnya dalam bahasa Indonesia banyak berinterferensi dengan bahasa Belanda seperti dalam karya Armijn Pané dan J.E. Taténgkéng.

*) Ajip Rosidi: Penulis, budayawan.
https://rubrikbahasa.wordpress.com/2009/12/05/interferensi-bahasa/