Untuk 50 tahun Majalah Horison, 26
Juli 2016
Emha Ainun Nadjib
caknun.com
Sastra Generasi Millenial
Sejak hampir dua dekade yang lalu
lahir Generasi Millenial, juga dalam sastra. Kaum muda usia 18 sd 39-an tahun
yang seakan-akan merupakan “putra langit”, bukan anak-anak yang dibesarkan oleh
tata nilai kepengasuhan di bumi. Memang indikator kelahiran adalah semakin
dominannya peradaban IT, tetapi tidak bisa disebut sebagai kontinyuitas dari
karakter kebudayaan generasi sebelumnya yang melahirkan IT. Anak-anak itu
seperti makhluk baru yang lebih genuin, seolah-olah ada pengasuh yang lain yang
tidak berada di bumi.
Generasi Millenial itu, di samping
sangat IT-addict, sangat menonjol kecerdasan enterpreneurshipnya, tidak terlalu
tersandera oleh kekuasaan politik, tidak menjadi pengemis di depan kantor
kapitalisme industri, tidak termakan secara semena-mena oleh media massa, punya
keberpihakan yang serius terhadap ‘kesalehan’, serta memiliki kebebasan otentik
dalam kreativitas, termasuk dalam kesenian dan sastra.
Selama hampir dua dekade
belakangan ini mereka menciptakan ruang-ruang sastra sendiri, tanpa fobi,
sentimentalitas atau penolakan terhadap ruang-ruang sastra yang telah ada
sebelumnya, yang sangat berbeda formula sosialisasinya. Mereka menampilkan
optimisme sastra yang tidak tersangka-sangka, merekahkan harapan-harapan
kebudayaan dan kemanusiaan melalui keasyikan sastra yang berbeda dari
generasi-generasi sebelumnya.
Saya tidak atau belum akan
menyeret pembacaan ini ke wilayah substansial yang lebih mendalam. Fakta
Generasi Sastra Millenial itu saya kemukakan untuk sekurang-kurangnya
meyakinkan diri saya sendiri bahwa terbukti dimensi sastra tidak bisa
dicerabut, dihilangkan, dibuang atau ditiadakan dari makhluk manusia. Kegembiraan
atas keyakinan itulah yang bagi saya merupakan nilai terpenting dari
pangayubagya saya atas ulangtahun ke 50 Majalah Horison.
Pasti saya tidak mampu merumuskan
sastra dari perspektif transendensi atas-sastra, sebagaimana tak sanggup juga
merumuskan manusia dari perspektif yang me-makro-i manusia. Mungkin sastra itu
semacam energi batin, yang berposisi hakiki, niscaya atau sejati, di dalam diri
manusia. Sehingga tak mungkin terjadi manusia jika tanpa sastra. Tak mungkin
manusia menjadi manusia tanpa sastra. Apabila sastra direduksi dari keutuhan
manusia, akan berlangsung ketidakseimbangan yang serius. Ada semacam lobang
gelap di dalam jiwa manusia yang membatalkan keutuhan kemanusiaannya. Jika
manusia berlubang dan tak seimbang ini berkumpul menyusun suatu sistem
sosialitas, maka kebudayaan yang dihasilkannya akan penuh guncangan, peradaban
yang dibangunnya tidak memiliki kesuburan.
Kemanusiaan Di Titik Nadir
Terserah apa dan bagaimana sastra
dipandang, dituliskan, digagas, dialami, dihayati, diilmukan, diteorikan. Tidak
masalah sastra dilihat sebagai kata atau ruh, dibebaskan atau dibatasi,
dikonsepkan atau diformulasikan, direligiuskan atau disekulerkan, diharuskan
atau dilarang, dihubungkan atau dipisahkan, dihamparkan atau disekat-sekat –
yang utama saya sangat menikmati kenyataan bahwa sastra tidak bisa mati, bahkan
pun mungkin sesudah manusianya mati.
Setiap manusia memperluas dirinya
untuk mengakomodasi beribu kemungkinan perbedaan. Di bidang apapun. Apalagi
sastra, suatu semesta nilai yang terus bergerak, yang watak utamanya adalah
“gerak dan aliran”, yang sesekali jadi padatan sementara, tetapi kemudian
selalu dipergoki oleh kemungkinan keindahannya yang baru dan yang lebih baru
lagi.
Orang menemukan sastra yang saya
tidak temukan, atau sebaliknya: saya menemukan sastra yang orang tak
menemukannya, tidak menganggapnya atau mempercayainya. Itu bukan hanya bukan
masalah: justru itulah hakiki sastra. Saya menikmati sastra di materi-materi
karya sastra, di wajah manusia, di kandungan jiwa makhluk-makhluk, di hamparan
alam semesta, di firman Tuhan, di duka derita rakyat dalam Negara, di tali-tali
persambungan antar apapun dalam kehidupan.
50 tahun Horison ini saya sapa
dengan syukur dan rasa kagum, betapa sastra tetap tegak martabatnya di tengah
zaman — yang sebagian pelakunya semakin tidak mengenalnya, sebagian lain
meremehkannya, serta sebagian yang lain lagi mencampakkannya dan menganggapnya
tidak ada.
Sastra ternyata belum, dan memang
tidak – menjadi “fosil” sejarah di tengah peradaban sosial di mana kemanusiaan
ditindih sampai ke garis paling nadir di telapak kaki sejarah. Sastra tidak
musnah oleh riuh rendah Negara, Industri dan Kapitalisme yang sangat tidak
berpihak pada manusia. Negara yang hanya mampu memandang kehidupan manusia pada
lapis paling permukaan, yakni yang kasat mata, atau yang di seputar jangkauan
indera.
Terlebih lagi dominasi kekuasaan
Materialisme, Kapitalisme dan Industrialisme, yang puncak pencapaiannya adalah
memutilasi manusia dengan menyisakannya hanya sebagai “benda” saja, demi
“agama” Pasarnya. Kalaupun ada faktor-faktor non-materi yang diambil dari
manusia, misalnya intelektualitas, kreativitas, kecerdasan, sensibilitas,
kelembutan, bahkan berbagai hal yang mereka sangka “rohani” – itu semua tetap
dimobilisasikan untuk mengabdi kepada Benda dan Pasar.
Sastra tidak musnah di tengah
situasi dan gerak ‘ketidak-beradaban’ Peradaban Benda dan Pasar hasil karya
makhluk-makhluk di bumi — yang kalaupun mereka masih menyebut-nyebut dimensi
rohani – itu pun dikonstruksikan dan diformulasikan secara dan sebagai materi.
Rohani diidentifikasi dengan cara pandang, sisi pandang, sudut pandang serta
jarak pandang materialisme. Untuk kemudian dikapitalkan dan dikomoditaskan.
Sastra pada Bangsa, Negara, Agama
Manusia sangat dipersyarati oleh
sastra untuk kemanusiaannya. Jika manusia itu punya keperluan terhadap Tuhan,
maka manusia sangat membutuhkan sastra untuk mengolah proses perohanian dan
pelembutan kehidupan keber-Agama-annya. Dan jika manusia berkumpul sebagai
bangsa, mereka sangat butuh sastra untuk punya kemungkinan mencapai
ke-beradab-an Negaranya.
Sebagaimana dimafhumi, semua
wacana nilai menyepakati bahwa manusia, masyarakat, Bangsa dan Negara sangat
membutuhkan sastra. Tapi saya melihat lebih dari itu. Misalnya kalau dalam
kaitan bangsa, alur sebab-akibatnya bukan bahwa sastra membutuhkan peran Negara
untuk memberadabkan bangsa. Melainkan: Negara membutuhkan sastra, kalau memang
para pelaku Negara mengetahui bahwa tak ada masa depan Negara jika rakyatnya
tidak dipertahankan sebagai bangsa manusia dengan keberadaban rohani
kemanusiaannya.
Atau dalam kaitan Agama: bukan
kalau sastra ingin menarik garis dari dirinya ke Tuhan maka ia perlu
bekerjasama dengan Agama. Melainkan: kalau para pelaku Agama memerlukan
istiqamah sambungan silaturahminya dengan Tuhan, maka ia memerlukan sastra.
Karena Tuhan sendiri
mempersambungkan diri-Nya kepada manusia, pun melalui firman-firman yang sangat
bergelimang sastra. Tatkala Tuhan memperkenalkan diri-Nya sebagai Yang Maha
Pengasih dan Maha Penyayang, kata atau idiom Rahman dan Rahim bukanlah bahasa
hukum, tidak bisa disentuh oleh ilmu, hanya bisa diprasangkai oleh budaya,
tetapi bisa diselami dengan sastra.
Perusahaan Negara dan Pasar
Demokrasi
50 tahun Horison adalah momentum
untuk merayakan betapa kita semua ini masih manusia, karena hidupnya sastra
adalah tanda masih adanya manusia. Nyawa manusia terletak pada rohaninya,
sebagaimana nyawa ibadat ada pada khusyu`nya, atau nyawa rumahtangga dan
keluarga ada pada cintanya, atau nyawa Negara ada pada Tanah Air yang dicintai
oleh penghuninya, serta Ibu Pertiwi yang dijunjung oleh manusia-manusianya.
Industrialisme dan kapitalisme
yang sudah sedemikian jauh memperbudak Negara dan Pemerintah menjadi alat pasar
maniak-materialismenya, ternyata tidak
serta merta mampu sepenuhnya melindas dan menggiling manusia menjadi robot dan
onderdilnya. Kalau masih ada sastra, maka masih ada manusia. Kalau masih ada
manusia, kita punya harapan akan ada Negara, tidak sekadar Perusahaan yang
dinegara-negarakan, serta Pasar yang didemokrasi-demokrasikan. Kalau suatu saat
terbangun Negara, maka akan terpilih juga Pengelola Negara yang memahami
rakyatnya sebagai manusia.
Maka, demi memenuhi tugas ‘Orasi
Budaya’ ini saya mencoba melacak, meniti dan menemukan kembali sastra dalam
manusia, sastra dalam bangunan yang disebut Negara, juga sastra dalam lingkup
kesibukan yang dipercayai sebagai Agama.
Akan tetapi sama sekali tidak
mudah merumuskan apa yang sebenarnya ingin saya kemukakan. Judul ini merupakan
keputusan darurat di tengah kebingungan saya menentukan beberapa kata untuk
menjuduli pembacaan dan pembicaraan yang dibingkai dengan idiom ‘Orasi Budaya’
siang ini.
Mempelajari dan Belajar Kepada
Awalnya ‘Belajar Lukisan kepada
Pelukisnya”. Kemudian “Belajar Sastra kepada Penulisnya”. Karena dimensi
faktanya sangat luas dan memuat keseluruhan nilai-nilai kehidupan, kalimat itu
menjadi “Belajar Sastra kepada Manusia”. Tetapi berhubung yang sedang banyak
terlihat oleh saya adalah hilangnya manusia dari kehidupannya sendiri, kalimat
berbalik menjadi “Belajar Manusia kepada Sastra”.
Lengkapnya “Belajar Tentang
Manusia kepada Sastra”. Ada kemungkinan lain: “Mempelajari Manusia dari atau
pada Sastra”. Tetapi saya lebih memilih “belajar kepada” daripada
“mempelajari”. Kalau “mempelajari” itu kegiatan “sekolahan”, sedangkan “belajar
kepada” itu kegiatan kehidupan.
“Mempelajari” itu mengandung
semacam arogansi intelektual, serta terdapat pemetaan di mana manusia adalah
objek yang dipelajari, dengan sastra sebagai sumber wacananya, dan “kita yang
mempelajari” berdiri gagah di depan objek tersebut.
Tetapi kalau “belajar kepada”,
pelakunya memposisikan diri pada sikap rendah hati, membungkuk karena sadar
kurang berilmu sehingga memerlukannya, serta tidak memperlakukan yang dihadapannya
sebagai obyek. Sementara biasanya yang “mempelajari” berposisi lebih pandai,
lebih mengerti atau lebih hebat dibanding yang “dipelajari”.
Kalau diperkenankan memakai
analogi bagaimana manusia berinteraksi dengan Al-Qur`an: “mempelajari” itu opsi
Tafsir, produknya adalah Madzhab-madzhab yang masing-masing membenarkan dirinya
sendiri-sendiri. Sementara “belajar kepada” adalah Tadabbur, yang hasilnya
adalah manfaat otentik pada pelakunya, keluasan untuk kebersamaan, serta
kearifan terhadap kemungkinan-kemungkinan.
Belajar Manusia kepada Penciptanya
Pada proses berikutnya muncul
semacam masalah. Kalau memang “Belajar Lukisan kepada Pelukisnya”, mestinya
yang paling otentik adalah “Belajar Manusia kepada Penciptanya”. Berhubung
sampai hari ini belum pernah ada wacana, pembacaan, ilmu, pengetahuan,
prasangka, perkiraan atau anggapan bahwa yang menciptakan manusia adalah –
misalnya – Jin, Malaikat, Dewa, Iblis, atau manusia sendiri yang menciptakan
dirinya sendiri: maka saya mohon toleransi untuk menyebut dan melibatkan Tuhan.
Ini yang saya sebut semacam
masalah, terutama bagi rekan-rekan yang kurang berkenan terhadap Tuhan. Sebab
secara pribadi saya tidak menutup pintu bagi siapapun yang membenci Tuhan,
tidak mengakui Tuhan, tidak menemukan Tuhan, salah paham terhadap hadir
tidaknya Tuhan dalam hidupnya, gagal paham terhadap informasi-informasi tentang
Tuhan yang sampai kepadanya, atau berbagai kemungkinan “ya” dan “tidak”nya
Tuhan dalam pandangan dan sikap hidup manusia.
Sekurang-kurangnya saya selalu
menghindar dari peluang untuk diejek oleh Tuhan: “Apakah engkau akan bersedih
hati kemudian membunuh dirimu sendiri, hanya karena mereka berpaling dari-Ku
dan tidak beriman kepada-Ku?”
Tuhan ini sendiri sesungguhnya
bukan benar-benar Tuhan, karena Ia adalah Maha Unikum yang tidak bisa dicapai
oleh ilmu, sampai pun dengan puncak akalnya. Tapi ia bisa disentuh oleh
kelembutan cinta di pusat rohani manusia. Dan yang ditradisikan, dilatihkan dan
diasah oleh sastra adalah kelembutan cinta, di kandungan terdalam rohani
manusia.
Tuhan yang dikenal oleh
wacana-wacana peradaban bukanlah Tuhan yang sejatinya Tuhan, melainkan sejauh
yang disepakati oleh keterbatasan pandangan manusia untuk disebut Tuhan. Bahkan
ada sebutan- bermacam-macam: Yahwe, Yehovah, Manitou, Sang Hyang, Sang Yuang,
ada yang menambahi embel-embel Widhi, Wenang, atau Tunggal.
Atau Tuhan yang Allah sendiri
menginformasikan “XY” diri-Nya, untuk memudahkan manusia mengenali dan
merasakan kehadiran-Nya. Allah itu sendiri, secara “objektif”, berposisi “tan
kinaya ngapa” atau “laisa kamitslihi syaiun”: tidak seperti apapun juga.
Secara Ilmu dan Secara Sastra
Sekelompok pemeluk Agama Islam
melarang dirinya menyebut semua nama atau kata-kata itu, karena menurut mereka
yang benar adalah Allah. Alasannya, karena Allah sendiri memperkenalkan
diri-Nya sebagai atau dengan nama Allah – meskipun sebelum informasi resmi itu
disampaikan melalui Nabi Muhammad saw, kata Allah sudah dipakai banyak orang di
zaman sebelumnya, bahkan oleh Bapaknya Sang Nabi itu sendiri, yakni Abdullah,
Abdu-nya Allah. Juga sesudahnya, tokoh munafik yang mengkhianati Nabi juga
bernama Abdullah bin Ubay.
Pada hakikinya manusia tidak
memiliki perangkat ilmu atau alat jangkau pengetahuan untuk benar-benar
mengetahui bahwa Ia adalah dan bernama Allah, sekurang-kurangnya karena dua
hal.
Pertama, Allah memperkenankan
makhluknya menyebut dan memanggil-Nya Allah, demi mempermudah sistem
pengetahuan manusia di tengah keterbatasannya yang tidak memungkinkannya
sungguh-sungguh mengenal Allah.
Kedua, Allah tidak berada posisi
untuk memerlukan nama. Allah tidak berkomunitas, tidak bermasyarakat, tidak
bertetangga, tidak ada rekanan, handai tolan atau sahabat-sahabat yang
memerlukan nama-Nya agar mudah dan jelas dengan sebutan apa mereka menyapa-Nya.
Ia Maha Tunggal. Sendiri. Tidak ada padanan-Nya.
Allah hanya menciptakan makhluk,
dan para makhluk itu perlu berkomunikasi dengan-Nya, sehingga Ia ‘berkompromi’
atau ‘mengalah’ dengan meresmikian nama-Nya adalah Allah. Mungkin sebagaimana
seorang Kakek mengalah memanggil Pak Lurah dengan “Mbawwa”, karena demikian
cucunya memanggil Pak Lurah.
Tetapi Ia bernama dan dipanggil
Allah tidak sebagai fakta objektif, melainkan inisial subyektif pada atau bagi
pada makhluk-Nya. Sebab semua makhluk tidak memiliki perangkat apapun untuk
mengenali-Nya secara objektif, sebagaimana – sampai batas tertentu yang juga
relatif – para makhluk itu secara objektif mengenali rumput, pepohonan, angin,
hamparan tanah, gunung-gunung yang gagah, atau wajahnya sendiri.
Pembelajaran dan perjuangan bidang
apakah, selain sastra dan kesenian, yang mengembarakan batin manusia ke wilayah
disiplin dan gerakan batin seperti itu? “Sesungguhnya orang-orang yang beriman
adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan
apabila dihamparkan tanda-tanda keagungan-Nya maka bertambahlah iman mereka…”
Hadapilah dan rumuskan pernyataan
Tuhan itu dengan ilmu, lantas rasakan dan selamilah secara sastra, kemudian
bandingkan hasil di antara keduanya.
Jarak Sastra, Pendidikan Sastra
Maka sesungguhnya para makhluk itu
mengenali Allah secara sastra, tidak secara ilmu, apalagi secara materiil,
secara fisika, biologi atau ilmu-ilmu jasad, Ngelmu Katon atau ilmu kasat mata.
Dengan cara pandang lain: jarak antara Tuhan dengan manusia bukan terbentang
jarak materi, bukan jarak ilmu, melainkan jarak sastra.
Demikianlah juga rentang dan
sekat-sekat yang terjadi di antara manusia dengan manusia, antara manusia
dengan dirinya sendiri, antara manusia dengan lingkup sosialitasnya, antara
identitas individu dengan fungsi sosialnya, antara Negara dengan bangsanya,
antara Pemerintah dengan rakyatnya, antara kelompok-kelompok, golongan,
madzhab, aliran, serta antar apapun yang sejauh ini menghasilkan perselisihan,
benturan, dismanajemen, konflik, permusuhan dan kebencian – ketika jelas
berpanjang-panjang waktu itu semua tak terselesaikan oleh ilmu – karena memang
yang terjadi adalah jarak sastra, jarak rohani, jarak batin, jarak cinta dan
kelembutan yang tak ditemukan di tengah kegelapan.
Ketika sekelompok manusia
mengacungkan dua jari dan berteriak “Peace!” – itu adalah kosakata sastra.
Sekurang-kurangnya ia adalah kosakata yang nyawanya hanya bisa ditemukan secara
sastra. Sebagaimana kata Negara, Propinsi, Ibukota, adalah kosakata hukum dan
konstitusi. Tetapi tanah air, ibu pertiwi, negeri, adalah kosakata sastra,
kosakata cinta, kosakata rohani. Setiap Pegawai Negara Sipil, bekerja dalam
ikatan konstitusi Negara. Kalau yang ada adalah Pegawai Negeri Sipil, maka
syarat etos kerjanya adalah cinta yang meluap kepada tanah air dan semua
manusia yang menghuninya.
Dunia Pendidikan mengajarkan
sastra sebagai ilmu dan secara ilmu, dan kemudian tidak menghasilkan manusia
rohani. Mungkin berbeda hasilnya jika ia mengajarkan ilmu secara sastra. Ada
baiknya membuka diri untuk berpikir bukan mengajarkan sastra dengan mekanisme
transfer data, tetapi menyusun perjuangan pendidikan dengan proses pemberadaban
bersama secara rohani sastra.
Tuhan tidak mengajari manusia
dengan kalimat “Wahai manusia, ketahuilah bahwa ciptaan-Ku ini tidak ada yang
sia-sia”. Yang dilakukan Tuhan adalah memancing imaginasi dan kreativitas
manusia dengan menurutkan kalimat “Wahai Tuhan, tidaklah sia-sia Engkau
menciptakan semua ini”. Kalau manusia mendengar itu secara sastra, dengan imajinasi
dan daya kreatif – yang ia lakukan adalah ia terlebih dulu merambah pengalaman,
melakukan penelitian dan pendalaman, agar berposisi relevan dan “historis”
untuk mengucapkan “tidak sia-sia Engkau ciptakan ini semua”.
Menemukan Kembali Letak Sastra
Maka akhirnya saya merasa punya
pijakan untuk memutuskan judul “Belajar Manusia kepada Sastra”. Manusia perlu
belajar kepada sastra untuk menjadi manusia dan mempertahankan kemanusiaannya.
Ketika Chairil Anwar berpuisi “Aku
hilang bentuk. Remuk. Aku tak bisa berpaling” – kalau dipahami dengan bahasa
hukum dan konstitusi, maka Chairil kehilangan kewarganegaraannya. Foto yang
terpampang di Kartu Identitasnya harus jelas bentuknya, harus tertentu
wajahnya. Bahkan harus dicatat ia sudah meninggal. Sebab kalau seseorang remuk
seluruh badannya, ia bukan orang yang hidup. Apalagi si makhluk Chairil Anwar
yang tak berbentuk, yang remuk ini tidak bisa berpaling, tidak bisa menoleh, ia
bersikukuh berada di depan kita, pastilah sangat menakutkan.
Penyair Taufiq Ismail memunculkan
problem kenegaraan dan ekonomi dengan lontaran kalimat puisinya “Beri Daku
Sumba”. Bagaimana mungkin Pulau Sumba diminta oleh seseorang hak
kepemilikannya. Lantas Sang Raja Umbu Landu Paranggi akan memobilisasikan
611.594 penduduk Pulau Sumba untuk ditransmigrasikan ke mana. Tidak mungkin ada
Kabupaten atau Provinsi bersedia menampung orang sebanyak itu. Hanya tenaga
kerja dari Negeri Naga, meskipun sampai 10 juta jumlahnya, yang semua penduduk
Nusantara siap menerima dengan sikap altruistik, penuh kemuliaan dan kasih
sayang.
Chairil juga merupakan ancaman
bagi Kepolisian pada umumnya dan Densus 88 pada khususnya:
“Aku ini binatang jalang /Dari
kumpulannya terbuang /Biar peluru menembus kulitku /Aku tetap meradang
menerjang…”
Sementara para Ustadz sebaiknya
memberinya tausiyah agar Chairil tidak lagi bicara ngawur: “Aku ingin hidup
seribu tahun lagi”. Itu kebodohan sekaligus keserakahan, menentang sunnatullah
atau tradisi penciptaan oleh Allah, makar dan sesat. Termasuk Bung Karno yang
melanggar teknologi: “Gantungkan cita-citamu setinggi langit”. Antara planet
apa dengan planet apa tali gantungannya direntangkan.
Tentulah tidak ada pejabat Negara
atau para ilmuwan yang menjadi staf-staf ahli mereka berpikir sedungu itu.
Tetapi saya juga tidak bisa membantah bahwa para penguasa Negara, para
pengendali kebudayaan masyarakat, para stakeholders kehidupan sosial, termasuk
banyak pemimpin-pemimpin Agama – semakin gagal menemukan letak sastra dalam
perikehidupan manusia, masyarakat dan bangsa yang mereka kelola.
Manusia Wajib Hidup Abadi
Saya tidak memaksudkan ‘materi
sastra’ atau bidang kesusastraan, kesenian dan kebudayaan. Di pemerintahan
Kerajaan atau Negara manapun hal-hal tersebut selalu disediakan institusinya,
lembaga yang mengurusinya. Sebagai birokrat, memang yang mereka kelola adalah
‘materi sastra, seni dan budaya’: sastra yang diwakili oleh deretan kata,
lukisan yang diantarkan oleh kanvas, guratan dan warna, atau paket-paket materi
musik, tari, atau drama. Termasuk kreatornya dan peluang-peluang
sosialisasinya.
Akan tetapi sebagai manusia,
pertemuan dan interaksi mereka dengan sastra bukanlah interaksi materiil.
Melainkan kandungan nilai-nilainya, dimensi rohaniahnya, perangkat-perangkat
halus yang tak tak tersentuh oleh pancaindera, yang menyebabkan para kreator
itu menyampaikannya dengan menggunakan perangkat-perangkat materiil: kata,
warna, nada, gerak dst.
Sastra, atau lebih luas disebut
seni, itu tidak kasat mata. Ia mungkin bagian dari yang disebut ruh atau roh,
mungkin berupa getaran, gelombang atau magnet, sebagaimana secara samar-samar
manusia merabanya melalui kata persangkaan: jiwa, nyawa, nurani. Sebuah karya
sastra, pementasan drama, pergelaran musik atau pertunjukan tari, lazim disebut
“tidak ada ruhnya”. Bahkan permainan sepakbola, biasa menggunakan istilah
‘seni’-nya. Pun peperangan, di puncak kecanggihannya orang membahasakannya
sebagai ‘seni perang’.
Ummat manusia tidak bisa mengelak
dari pengalaman sastra, agar ia bertahan menjadi manusia. Maka ia membutuhkan
karya-karya sastra. Namun demikian karya sastra bukan satu-satunya tempat di
mana sastra bisa ditemukan dan dialami. Karya sastra bekerja mengantarkan
manusia untuk memasuki dimensi sastra – yang letaknya ada di dalam dirinya
sendiri, di kandungan alam semesta, serta dalam komunikasi dan interaksi dengan
Tuhan yang merupakan asal-usul dan tujuan akhirnya.
Manusia tidak bisa tidak hidup
abadi. Manusia wajib hidup abadi. Manusia tidak bisa absen untuk tidak terlibat
di dalam dua keabadian yang disiapkan oleh Penciptanya: yakni kholidina dan
abada. Apa gerangan itu, tak ada gunanya mencoba menggapainya dengan ilmu,
tetapi bisa menjangkaunya dengan pengalaman sastra. Manusia tidak punya
kemungkinan atau hak untuk “pensiun dini”, ia harus mengalir di keabadian.
Manusia dipersilakan menggunakan hak pilih: menempuh ekosistem Neraka atau atau
peta nilai Sorga.
Materi Sastra Indera dan
Pengalaman Sastra Ruh
Oleh karena itu manusia bukan
(hanya, atau terutama) jasadnya. Bukan pancainderanya. Bukan gedung-gedung
kemewahan dan segala pencapaian jasadiyah keduniaannya. Bukan
perangkat-perangkat kesementaraannya. Manusia adalah getaran sejati di dalam
jiwanya, di mana pengalaman sastra bisa membantunya untuk berada padanya.
Manusia adalah resonansi gelombang Tuhan Yang Maha Abadi, yang dibuntu dan
ditimbun oleh segala jenis peradaban materialisme, namun bisa ditembus dengan
lembutnya pengalaman sastra.
Manusia menempuh rentang jarak
antara karya sastra dengan pengalaman jiwa sastra. Jarak antara warna, guratan,
garis, gerak, bunyi, serta apapun materi-materi lainnya, dengan jiwa di
sebaliknya. Sebagaimana ia menempuh jarak dari Mushaf ke Qur`an, dari kehadiran
Tuhan ke sejatinya Tuhan, dari materi karya-karya seni ke pengalaman cinta
sejati.
Para pelaku sastra menimba
kesejatian hidup dari Sastra Ruh, dimaterikan menjadi Sastra Indera. Sedangkan
pembaca sastra diantarkan ke arah sebaliknya: dari Materi Sastra ke Ruh Sastra.
Di dalam peristiwa Agama, manusia
yang tergetar hatinya tatkala mengucapkan “Allahu Akbar”, ia bukan sedang
mengetahui kebesaran Tuhan dan mentakjubi-Nya, melainkan sedang menempuh proses
perjalanan menuju otentisitas Tuhan, yang tak pernah benar-benar bisa
digapainya, sehingga ia harus terus menerus mengalir kepada-Nya.
Sebab “Allahu Akbar” tidak bisa
diterjemahkan menjadi Allah Yang Maha Besar, melainkan Allah Yang Senantiasa
Maha Lebih Besar. Ia bukan peristiwa dan penemuan objektif sebagaimana ilmu
memadatkan fakta dan data. Allahu Akbar adalah dinamika perjalanan menempuh
ruang keabadian. Tuhan selalu lebih besar lagi dan terus lebih besar lagi dari
yang sebelumnya kita rasakan atau temukan.
Mainstream peradaban yang sedang
berlangsung membuka lahan selebar-lebarnya untuk bangunan-bangunan budaya, ilmu
dan materi-materi yang di beberapa langkah ke depan dihadang oleh senjahari dan
gelap malam. Memprimerkan segala sesuatu
yang akan ditinggalkan dan meninggalkan, yang didirikan untuk ambruk dan
dibangun untuk hancur. Sedangkan sastra mengawal perjalanan manusia di rentang
keabadian dan semesta kesejatian.
Andaikanpun pelaku sastra menolak
keterkaitannya dengan keabadian, kesejatian, Tuhan, jiwa fitri dan getaran
cinta otentik — tidak menjadi masalah.
Ia atau mereka berhak menciptakan sastranya sendiri, dirinya sendiri, semesta
dan gagasan nilainya sendiri, meskipun tidak ada wilayah lain di luar
kesejatian dan keabadian.
Saya mohon maaf kepada siapa saja
yang tidak sependapat dengan yang saya kemukakan. Jangankan orang lain atau
siapapun yang di luar diri saya, sedangkan saya sendiri tidak kecil kemungkinannya
untuk tak sependapat dengan apa yang baru saja saya ungkapkan.
Manusia di dunia tidak sedang
bertempat tinggal, melainkan sedang melakukan perjalanan. Dan getaran selama
perjalanan itulah sastra.
Yogya 22 Juli 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar