Marhalim Zaini
http://riaupos.co
SESUNGGUHNYA, menelisik perkembangan puisi Melayu Riau, tak dapat serta merta memisahkan diri dari perkembangan kesusastraan Melayu secara luas. Sebab, begitu menyebut “Melayu Riau” untuk dunia sastra, dunia puisi, maka ingatan kita seolah diajak berkelana ke rentang sejarah yang panjang. Terutama, ketika—rentang sejarah itu—tak dapat pula dicecah-cecah secara administratif, sehingga takboleh tidak, harus pula menyebut sejarah perkembangan kesusastraan Riau-Lingga. Namun begitu, dalam konteks tulisan ini, saya hendak membatasi diri untuk menengok lebih spesifik terhadap teks-teks puisi yang lahir, setelah masa itu. Pembatasan ini lebih bertujuan untuk melihat gerak dinamika puisi-puisi “modern” Melayu Riau, dalam lalu lintas perpuisian modern Indonesia.
Istilah “modern” di sini, lebih untuk memberi batasan terutama pada bentuk-bentuk “puisi klasik.” Puisi modern, dalam konteks ini, bolehmasuk dalam kategori “puisi bebas” dengan tidak lagi terkekang oleh konvensi-konvensi baku, seperti halnya pantun, syair, gurindam, dll. Meskipun, kita tahu, pertanyaan tentang kapan puisi modern Indonesia itu lahir pun masih dalam perdebatan. Apakah dari Hamzah Fansuri (abad XV) atau sejak Bahasa Indonesia lahir, ditandai dengan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Atau ketika Muhammad Yamin memperkenalkan bentuk soneta yang mendapat pengaruh dari Eropa, sehingga puisi Indonesia mulai meninggalkan kisah-kisah dunia istana. Namun, sebagai prdouk budaya, puisi tetap tidak dapat dengan mudah memisahkan diri secara tegas batas antara tradisional/klasik dan modern.
Namun, membahas sastra modern, menjadi penting ketika diyakini pendukung utama modernisasi (di) Indonesia itu, sejak semula, adalah bahasa. Dan bahasa Melayu, dengan kematangan wataknya yang egaliter, diterima sebagai bahasa Nasional, seolah tak mendapat hambatan berarti untuk melahirkan “Indonesia” sebagai sebuah “negara-bangsa modern” di awal abad ke-20. Maka, puisi modern Indonesia, yang lahir dan tumbuh dalam “tubuh” bahasa Melayu-Indonesia serupa itu, rupanya turut berkembang dengan amat baik. Para penyair terus lahir, dengan menggunakan bahasa Indonesia (dari bahasa Melayu yang egaliter itu), yang segera menyerap/menerima berbagai bahasa asing dari etnis lain, pun dari bahasa dunia—yang tentu membawa serta berbagai nilai kebudayaannya. Puisi modern Indonesia, pada gilirannya, telah pun diterima dalam pergaulan sastra dunia.
Meski kemudian, bukan sama sekali tidak membawa resiko. Di antaranya, gairah kepenulisan puisi/sastra berbahasa daerah kian tergerus. Sebab, dalam perkembangannya puisi/sastra modern Indonesia demikian mendominasi, selain menjadi arus-kuat-utama dalam penciptaan karya sastra, juga dalam berbagai kajian/kritik sastra di Indonesia. Termasuk juga peran “media sastra” lokal maupun nasional yang lebih memberi tempat pada karya sastra (berbahasa) Indonesia dibanding dengan karya sastra (berbahasa) daerah. Bagi Riau, meskipun karya sastra berbahasa “Melayu daerah” juga mengalami resiko yang sama, namun tetap “diuntungkan” oleh pengalaman-pengalaman kebahasaan (Melayu) yang langsung dipraktekkan oleh si penyair/sastrawannya sejak lahir. Sehingga, bahasa Melayu bagi orang Riau misalnya, lebih “mendarah-daging” dibanding bagi orang yang bukan Melayu.
Hemat saya, pengalaman kebahasaan inilah yang membuat proses penciptaan karya sastra dalam bahasa Indonesia relatif lebih mudah, dan lebih terbuka kemungkinan-kemungkinan eksplorasi bahasa. Sehingga, peluang ini seolah kemudian memberi laluan bagi para penyair (di) Riau untuk secara lebih leluasa mengeksplorasi basis historis-kulturalnya itu. Eksplorasi itu, pada perkembangannya memperlihatkan beberapa kecenderungan bentuk puisi yang diciptakan oleh para penyair Riau, yang setidaknya dapat dilihat dalam tiga kecenderungan: puisi mantra, puisi Islam, dan puisi maritim. Ketiga kecenderungan ini, dalam pembacaan awal saya, dapat menunjukkan “identitas” puisi Melayu-Riau, yang akan saya coba paparkan dalam analisa berikut.
Puisi Mantra
Hemat saya, peluang dan potensi yang semacam itulah yang kemudian diambil oleh Sutardji Calzoum Bachri melalui “puisi mantra”-nya. Selain, tentu kesadaran Sutardji akan penggalian akar kebudayaannya sendiri sebagai wilayah kreatif yang tak pernah padam, yang tak ada habisnya. Elaborasi mantra dengan makna-makna baru dalam bentuk puisi modern, telah membawa Sutardji untuk merumuskan kredo puisinya “membebaskan kata dari makna.” Inilah kontribusi besar Sutardji—sebagai penyair yang berasal dari (Melayu) Riau—dalam memberikan kebaruan dan kesegaran puisi modern Indonesia, yang menurut kritikus Maman S Mahayana, “ternyatalah Sutardji lebih besar dari Chairil Anwar.” Sebab bagi Maman, Sutardji bukan sekedar menerjemahkan-menafsirkan budaya Timur-Barat, melainkan peletak dasar estetika sastra Indonesia.
Selain Sutardji, ada Ibrahim Sattah. Terutama secara bentuk, puisi-puisi Ibrahim Sattah tampak “sealiran” dengan Sutardji. Keberangkatannya menulis puisi, juga dari upaya mengelaborasi mantra Melayu. Entah siapa yang terlebih dahulu menemukan cara berpuisi yang semacam ini, yang pasti, sebagai kawan seangkatan dalam berkarya, mereka berdua telah sama-sama memperkuat satu genre puisi dalam khazanah sastra Indonesia, yakni “puisi mantra.” Tentu, mereka memiliki kekuatannya masing-masing, dengan daya kreatifitasnya masing-masing. Meskipun, bolehjadi kemudian, untuk beberapa puisinya, ditemukan saling keterpengaruhan itu (sebagaimana juga Slamet Sukirnanto pernah menulis “Mengenal Ibrahim Sattah,” dalam Pelita, 19 September 1978). Semisal dalam penggalan puisi berikut:
dukaku dukakau dukarisau duka
kaliandukangiau
resahku resahkau resahrisau
resahbalau resahkalian
(O karya Sutardji Calzoum Bachri)
duka itu saya saya ini kau kau itu duka
duka bunga duka daun duka duri duka hari
(Duka karya Ibrahim Sattah)
Pada generasi berikutnya, “puisi mantra” masih tetap menjadi spirit tersendiri. Setidaknya genre ini masih tetap “dianut” oleh beberapa penyair. Salah satunya, yang tampak dengan bersungguh-sungguh dan konsisten dalam menekuni genre ini, kita bisa menyebut nama Akib (Abdul Kadir Ibrahim). Terutama dalam buku puisinya 66 Menguak (1991) dan Negeri Airmata (2004), Sapardi Djoko Damono (sebagai pengulas buku tersebut) pun menemukan pengaruh mantra dalam puisi-puisi penyair yang menetap di Kepulauan Riau ini. Alazhar, yang pernah membicarakan buku 66 Menguak di tahun 1992 (sebagaimana juga dicatat dalam pengantar Akib sendiri) menyebut Akib adalah “mata rantai” puisi mantra setelah Sutardji dan Ibrahim Sattah. Meskipun ketiganya sama-sama berangkat dari mantra, namun tetap memiliki kekhasannya masing-masing. Alazhar menandaskan kekhasan itu, misalnya Sutardji kata-kata puisinya bebas makna, Ibrahim kata-kata puisinya permainan anak-anak, dan Akib kata-katanya bermakna.
Hemat saya, “mata rantai” itu tidak juga putus sampai di situ. Kalau hendak menelusuri puisi-puisi dari sejumlah penyair yang lain misalnya, maka kita akan juga menemukan model “puisi mantra.” Meskipun tentu dengan frekuensi yang berbeda-beda, dan kadang tampak lebih bersifat insidental. Artinya, “puisi mantra” di situ tidak sebagai aliran arus utama dalam proses penciptaannya, akan tetapi tetap bisa kita lacak dengan mudah jejak-jejak mantranya. Beberapa puisi Rida K Liamsi, dalam Tempuling (2002) misalnya juga memperlihatkan indikasi itu. Tengoklah puisi berjudul "Elegi (I)", "Elegi (I) Mengenang Mishima", "Pada Jam Dua Puluh Lima", dan "Rose (I)".
Andai dapat kita cirikan "puisi mantra” dengan pemakaian repetisi (pengulangan), lalu dengan tempo atau ritme yang cenderung cepat, maka mata rantainya juga bisa kita lihat dalam puisi "Ratap Keasingan" karya Taufik Ikram Jamil (dalam buku Tersebab Haku Melayu, 1995). Misalnya pada bait ini:
telah jadi januari ke oktober
telah jadi februari ke november
telah jadi maret ke desember
Atau pada bait berikutnya:
alilah dikau adnanlah dikau
khalidlah dikau adnanlah dikau
kalsumlah dikau aisyahlah dikau
hasanlah dikau tardjilah dikau
kaulah dikaulah engkaulah itu
Maka sesungguhnya, tradisi “puisi mantra” masih terus hidup dalam puisi-puisi yang lahir dari generasi penyair berikutnya, bahkan bolehjadi juga pada penyair-penyair mutakhir kita hari ini. Dengan begitu, jika Jamal D Rahman dalam sebuah esai pernah menyatakan bahwa mantra itu hanyalah “tradisi kecil” dalam kebudayaan Melayu, dan membandingkannya dengan “tradisi besar” berupa “moralitas, intelektualitas, spiritualitas, nilai-nilai kerohanian, dan kearifan yang terpancar antara lain dalam bahasa Melayu yang cemerlang,” maka saya kira, Jamal sedang melupakan bahwa tradisi-tradisi kecil itulah yang kemudian membangun tradisi besar. Tradisi kecil macam mantra-lah sebagai “saripati” bahasa Melayu, yang kemudian menjadi tonggak-tonggak kecemerlangan bahasa Melayu.
Puisi Islam
Selain mantra, sebagai salah satu bentuk “identitas” puisi-puisi penyair Melayu Riau, adalah adanya unsur-unsur nilai agama Islam. Identitas sebagai (bolehlah sementara kita sebut dengan) “puisi Islam” untuk puisi Melayu Riau ini, tentu sebagaimana kita ketahui memiliki latar belakang sejarah yang kuat. Sejak abad ke-17, paling tidak, Islam jelas telah memainkan peranannya yang signifikan dalam pembentukan bahsa dan kebudayaan Melayu. Banyak kajian yang memperlihatkan hubungan Melayu dan Islam yang (seolah) tak terpisahkan, termasuk dalam karya sastra baik yang klasik maupun modern. Bentuk puisi Arab seperti syair misalnya, yang kemudain dikenal luas dalam kebudayaan Melayu dapat menunjukkan itu. Belum lagi, pengarang macam Raja Ali Haji yang ulama dan pemuka tarekat Naqsyabandiyah yang berbasis di pulau Penyengat, Riau, pusat penting kebudayaan Melayu di abad ke-19.
Sementara itu, tradisi “sastra Islam” sendiri dalam konstelasi perkembangan sastra modern Indonesia bukanlah hal baru. Sebutan “sastra profetik” misalnya, mengingatkan kita pada nama Kuntowijoyo dan Abdul Hadi WM. Sastra Profetik, sastra yang “bersemangat kenabian” ini, sesungguhnya telah cukup ramai diperbincangkan dalam dasawarsa 1980-an sebagai salah satu gagasan estetika alternatif dalam sastra. Maka tafsir atasnya pun kemudian mengundang keragaman. Meski tetap bersepakat untuk menghala pada bagaimana sastra sebagai sebuah produk budaya—tentu dengan caranya sendiri—mampu mendorong terjadinya perubahan sosial. Bagi Kuntowijoyo sendiri, sastra profetik adalah juga “sastra ibadah” yang merupakan ekspresi dari penghayatan nilai-nilai agamanya. Untuk itu, sastra profetik jelas merujuk pada pemahaman dan penafsiran Kitab Suci atas realitas, yang otomatis terlibat dalam sejarah kemanusiaan. Sastra adalah renungan tentang realitas. Realitas sastra, kata Kuntowijoyo, “adalah realitas simbolis bukan realitas aktual dan realitas historis. Dan melalui simbol itulah sastra memberi arah dan melakukan kritik atas realitas.”
Ahmadun Yosi Herfanda, seorang sastrawan lain yang juga memperkuat barisan estetika sastra religius, seolah ikut menandaskan bahwa sastra profetik tak selalu identik dengan sastra sufistik. Jika sastra sufistik cenderung hanya dipahami sebagai sastra zikir, atau sebatas ekspresi kerinduan untuk bermanunggal dengan Tuhan semata. Ahmadun menegaskan bahwa “persoalan-persoalan kemanusiaan, bahkan keseharian, juga merupakan persoalan sastra profetik, sebagaimana misi kenabian seorang Rosul Allah” (52:1998). ***
*) Marhalim Zaini, adalah sastrawan dan dosen sastra/seni.
http://riaupos.co/3241-spesial-puisi-mantra,-puisi-islam,-puisi-maritim.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Ginandjar Wiludjeng
A. Junianto
A. Kurnia
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.S Laksana
A’yat Khalili
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Razak
Abdul Rosyid
Abdul Wahab
Abdurrahman Wahid
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adam Chiefni
Ade P. Nasution
Adhitia Armitriant
Adi Prasetyo
Adrizas
AF. Tuasikal
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Baso
Ahmad Faishal
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Naufel
Ahmad Rofiq
Ahmad S. Zahari
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ainul Fiah
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Alex R. Nainggolan
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Almania Rohmah
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aminah
Aminullah HA.Noor
Amir Sutaarga
Anam Rahus
Anata Siregar
Andari Karina Anom
Andina Dwifatma
Andong Buku #3
Andre Mediansyah
Andri Awan
Anett Tapai
Anggie Melianna
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Wahyudi
Anwar Nuris
Ardi Bramantyo
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Joko Wicaksono
Arief Junianto
Ariera
Arif Bagus Prasetyo
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Asmaul Fauziyah
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Wulan Sari
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Camelia Mafaza
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Daisuke Miyoshi
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Danusantoso
Dareen Tatour
Darju Prasetya
David Kuncara
Denny Mizhar
Denza Perdana
Desi Sommalia Gustina
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewi Indah Sari
Dewi Susme
Dian Sukarno
Didik Harianto
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur
Dipo Handoko
Diyah Errita Damayanti
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddy Wisnu Pribadi
Dody Kristianto
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi SS MHum
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Wiyana
Dyah Ratna Meta Novia
Dyah Sulistyorini
Ecep Heryadi
Eddy Pranata PNP
Edeng Syamsul Ma’arif
Eep Saefulloh Fatah
EH Kartanegara
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Hendri Saiful
Eko Windarto
Elnisya Mahendra
Elva Lestary
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Sulwesi
Endo Suanda
Eppril Wulaningtyas R
Esai
Evan Ys
F. Moses
F. Rahardi
Fadlillah Malin Sutan
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Febby Fortinella Rusmoyo
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Gabriel Garcia Marquez
Galang Ari P.
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Ganug Nugroho Adi
Gerson Poyk
Ghassan Kanafani
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunoto Saparie
H.B. Jassin
Habibullah
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Hardi
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
HE. Benyamine
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Herman RN
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Nugroho
Hikmat Gumelar
HL Renjis Magalah
Hudan Nur
Hujuala Rika Ayu
Huminca Sinaga
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ira Puspitaningsih
Irfan Budiman
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Zulkarnain
Ismail Marzuki
Iva Titin Shovia
Iwan Kurniawan
Jabbar Abdullah
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D. Rahman
Jamal T. Suryanata
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
JILFest 2008
Jody Setiawan
Johan Edy Raharjo
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Juan Kromen
Julika Hasanah
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Ka’bati
Karanggeneng
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Keith Foulcher
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khoirul Inayah
Khoirul Rosyadi
Khudori Husnan
Ki Ompong Sudarsono
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
L.N. Idayanie
Laili Rahmawati
Lamongan
Lan Fang
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lucia Idayanie
Lukman A Sya
Lutfiah
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Ismail
M Thobroni
M. Afifuddin
M. Arwan Hamidi
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Luthfi Aziz
M. Nurdin
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.S. Nugroho
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahmud Syaltut Usfa
Mahmudi Arif Dahlan
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Martin Aleida
Maruli Tobing
Mas Ruscita
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni Muserang
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mia Arista
Mia El Zahra
Mikael Johani
Misbahus Surur
Misran
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
Much. Khoiri
Muh. Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun
Muhammadun AS
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mukti Sutarman Espe
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Munawir Aziz
Musfarayani
Musfi Efrizal
Nafisatul Husniah
Nandang Darana
Naskah Teater
Nelson Alwi
Ni Made Purnamasari
Nikmatus Sholikhah
Nina Herlina Lubis
Nina Susilo
Ning Elia
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel-novel berbahasa Jawa
Novelet
Nunuy Nurhayati
Nur Azizah
Nur Hamzah
Nur Kholiq
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Aini
Nurul Anam
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Okty Budiati
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso H.N.
Pagan Press
Pagelaran Musim Tandur
Palupi Panca Astuti
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Petrus Nandi
Politik
Politik Sastra
Pradana Boy ZTF
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringadi AS
Prof Dr Fabiola D. Kurnia
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Puji Tyasari
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
Purnawan Kristanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Ng. Ronggowarsito
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmat Kemat Hidayatullah
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rasanrasan Boengaketji
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Resensi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Ririe Rengganis
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rusmanadi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saiful Amin Ghofur
Saiful Anam
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman S. Yoga
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang KSII
Santi Puji Rahayu
Sapardi Djoko Damono
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Jawa Timur
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputra
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sri Weni
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugi Lanus
Sukron Ma’mun
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaf Anton Wr
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syarif Wadja Bae
Sylvianita Widyawati
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie (1961-2019)
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tia Setiadi
Tirto Suwondo
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tosa Poetra
Tri Nurdianingsih
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulul Azmiyati
Umar Fauzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Utari Tri Prestianti
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wan Anwar
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wina Bojonegoro
Wita Lestari
Wong Wing King
Wowok Hesti Prabowo
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopi Setia Umbara
Yudhi Herwibowo
Yudi Latif
Yusri Fajar
Yusuf Ariel Hakim
Yuval Noah Harari
Zacky Khairul Uman
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zed Abidien
Zehan Zareez
Zhaenal Fanani
Zubaidi Khan
Zuniest
Tidak ada komentar:
Posting Komentar