Anton Kurnia *
http://www.dw.com
Tahun ini kita memperingati 70 tahun kemerdekaan Republik Indonesia. Namun, masih banyak hal yang harus kita benahi. Dalam bidang sastra, misalnya, sejujurnya karya sastra Indonesia masih menjadi terra incognita—negeri tak dikenal—dalam pentas sastra dunia. Salah satu sebabnya, meski kita cukup banyak menerjemahkan karya sastra asing ke bahasa Indonesia, adalah tak banyak karya sastra kita yang diterjemahkan ke bahasa asing, terutama bahasa utama dunia seperti Inggris, Jerman, dan Prancis.
Tahun ini Indonesia menjadi tamu kehormatan di ajang akbar Frankfurt Book Fair.
Sejumlah karya telah disiapkan untuk dipamerkan oleh pemerintah, termasuk dalam edisi terjemahan, khususnya bahasa Inggris dan Jerman. Apakah ini dapat memperbaiki representasi dan penetrasi karya sastra Indonesia di pentas dunia?
Berkaitan dengan soal penerjemahan karya sastra ini, saya mengusulkan agar pada jangka panjang kita bisa membentuk semacam Lembaga Penerjemahan Sastra (saya pernah menulis tentang hal ini di harian Media Indonesia, November 2003, dan di majalah sastra Horison, Oktober 2012). Lembaga ini kurang lebih semacam ITBM (Institut Terjemahan dan Buku Malaysia) di negara tetangga. Contoh lain, di Jerman misalnya terdapat Lembaga Penerjemahan Eropa yang berpusat di Straelen, sebuah kota di negara bagian Nordrhein-Westfalen, yang kini telah berusia lebih dari seperempat abad.
Upaya Kolektif
Lembaga Penerjemahan Sastra itu nantinya bertugas membantu dan memperbaiki kemampuan para penerjemah—khususnya para penerjemah sastra—dari berbagai bahasa ke bahasa Indonesia dalam menjalankan tugasnya, lengkap dengan segenap fungsi dan fasilitas penunjang: referensi yang lengkap, jaringan yang luas, dan koordinasi yang baik.
Lembaga ini juga bertugas memfasilitasi penerjemahan karya-karya sastra Indonesia terbaik ke berbagai bahasa asing, serta mengupayakan penerbitan dan penyebarannya.
Pembentukan serta pengelolaan lembaga ini hendaknya merupakan kerja sama antara pemerintah, berbagai kelompok praktisi penerjemahan (termasuk HPI), kalangan akademisi, para penerbit, dan kaum sastrawan, dengan melibatkan berbagai lembaga kebudayaan asing (termasuk Goethe Institut, British Council, Erasmus Huis, dan lembaga kebudayaan lain).
Lembaga penerjemahan sastra ini tentu saja bukanlah semacam tukang sulap yang akan menuntaskan berbagai persoalan penerjemahan karya sastra secara serta-merta, melainkan semacam upaya kolektif yang dilakukan secara terkoordinasi, terencana, dan berkesinambungan untuk menyelesaikan sejumlah permasalahan yang mengemuka dalam penerjemahan karya sastra dunia ke dalam bahasa Indonesia dan dari bahasa Indonesia ke bahasa-bahasa lain secara bertahap.
Salah satu tugas lembaga penerjemahan sastra ini adalah mengupayakan pemberian penghargaan yang sepadan kepada para penerjemah agar mampu berkonsentrasi dalam berkarya. Selain itu, di sini para penerjemah dari berbagai bahasa bisa berkumpul, berdiskusi membahas proses kerja, sekaligus meningkatkan komunikasi dan saling pengertian demi menghasilkan karya terjemahan yang baik kualitasnya—baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa asing. Karya terjemahan yang baik amat kita perlukan demi kemajuan sastra kita.
Bukan soal mudah
Kerja penerjemahan memang bukan soal mudah. Menerjemahkan adalah pekerjaan serius yang menuntut kerja keras dan mengandung tanggung jawab berat, yakni kewajiban menepati makna teks asal dan keniscayaan agar teks hasil terjemahan terbaca dengan jelas dalam bahasa sasaran, sekaligus terjaga nuansanya—terutama pada teks sastra. Maka, sesungguhnya kerja seorang penerjemah adalah sebuah upaya luar biasa untuk mencapai kesempurnaan yang nyaris musykil: terbaca maknanya, indah nuansanya, serta sedapat-dapatnya setia pada teks ciptaan sang penulis—seraya berupaya menafsir dengan setepat-tepatnya.
Kita tidak bisa menutup diri dari perkembangan sastra dunia jika kita ingin berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang menguasai pentas sastra dunia. Sebagai bahan renungan, sejak Hadiah Nobel Sastra diraih pertama kali oleh sastrawan Prancis Sully Prudhomme hingga saat ini, orang Indonesia yang pernah menjadi kandidat kuat memenangi hadiah sastra prestisius itu hanyalah Pramoedya Ananta Toer, sastrawan terkemuka kita yang pernah dipenjarakan dan diasingkan di Pulau Buru tanpa proses pengadilan oleh rezim Orde Baru selama belasan tahun (1965-1979). Setelah bebas, ia menerbitkan novel-novel cemerlang yang melambungkan namanya di pentas sastra dunia.
Saya melihat, di balik keberhasilan individu para peraih Hadiah Nobel Sastra, terbentang tradisi sastra sebuah bangsa yang berakar dan tumbuh sejak berabad-abad silam. Tradisi itu dalam wujud sederhana adalah semangat membaca, menulis, dan menerbitkan karya sastra, serta mewariskan pustaka sebagai pusaka yang terus dimaknai dan kemudian mewujud dalam karya-karya besar. Juga kesediaan untuk belajar dari karya-karya utama dalam khazanah sastra dunia.
Perkembangan sastra Asia
Lihatlah sesama bangsa Asia seperti India, Jepang, dan Cina. India tak hanya punya Rabindranath Tagore, orang Asia pertama yang meraih Hadiah Nobel Sastra (1913), tapi mereka juga melahirkan pendekar-pendekar utama dalam panggung sastra kontemporer yang diperbincangkan oleh dunia semisal Salman Rushdie dan Arundhati Roy.
Jepang memiliki dua peraih Hadiah Nobel Sastra: Yasunari Kawabata (1968) dan Kenzaburo Oe (1994). Jauh sebelum Kawabata dan Oe meraih Hadiah Nobel, karya-karya terkemuka dari khazanah sastra dunia diterjemahkan secara besar-besaran di sana sejak zaman Restorasi Meiji. Karya-karya Shakespeare bahkan diterjemahkan hingga berkali-kali dalam berbagai versi.
Dan kini Cina pun telah melangkah dalam pergaulan sastra dunia kaliber Nobel lewat Gao Xingjian, pemenang Nobel Sastra 2000 yang kini mukim di Prancis, dan Mo Yan, novelis pemenang Nobel Sastra 2012.
Mereka memang memiliki tradisi sastra yang kuat dan sejarah yang panjang. Mereka telah menyalin karya-karya asing dari khazanah sastra dunia ke dalam bahasa mereka, menerbitkannya dalam bentuk buku, menelaah dan menarik manfaat darinya. Kemudian pada saatnya melahirkan karya-karya besar yang setara dengan karya-karya terbaik dunia lainnya.
Tradisi sastra
Lalu, bagaimana dengan kita? Apakah kita telah memiliki sebuah “tradisi sastra” yang kuat dan sejarah yang panjang?
Pada masa lalu kita pernah melahirkan karya-karya klasik yang tak kalah hebat dengan warisan bangsa lain. Sebut misalnya I La Galigo atau Serat Centhini. Namun, untuk kembali melahirkan karya-karya besar, kita harus mau membuka diri. Tidak hanya puas terkungkung dalam tempurung.
Khalayak sastra kita perlu lebih banyak membaca karya-karya utama dalam pentas sastra dunia, antara lain melalui karya terjemahan, baik melalui penerbitan buku-buku maupun publikasi di media massa (cerpen, sajak, esai, lakon). Saya kira “hal-hal kecil” semacam itu bermanfaat luas bagi perkembangan sastra dan kebudayaan kita.
Kita sudah menerjemahkan dan menerbitkan karya-karya utama dari khazanah sastra dunia dalam katakanlah 10 tahun terakhir, misalnya Lolita (Vladimir Nabokov), Famished Road (Ben Okri), My Name Is Red (Orhan Pamuk), Midnight's Children (Salman Rushdie), The House of the Spirits (Isabel Allende), The Metamorphosis (Franz Kafka), The Palace of Dream (Ismail Kadare), Dictionary of Khazars (Milorad Pavic), One Hundred Years of Solitude (Gabriel Garcia Marquez), Big Breasts and Wide Hips (Mo Yan), atau The Sound and the Fury (William Faulkner).
Namun, kita perlu menerjemahkan serta membaca lebih banyak karya bermutu dari khazanah sastra dunia demi kemajuan kita sendiri, membandingkan karya-karya itu dengan karya-karya kita sendiri, dan belajar dari para pengarang dunia tersebut.
Berkaca pada Amerika Latin
Di kancah sastra Amerika Latin ada satu fenomena yang disebut “El Boom”. Itulah ledakan karya sastra para pengarang Amerika Latin pada 1960-an hingga awal 1970-an ketika mereka muncul di pentas dunia mengeksplorasi ide-ide baru dan mengguncang pentas sastra dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya. Para tokoh utamanya adalah Gabriel Garcia Marquez (1927-2014, Kolombia, pemenang Hadiah Nobel Sastra 1982), Julio Cortazar (1914-1984, Argentina), Carlos Fuentes (1928-2012, Meksiko, pemenang Hadiah Cervantes 1987), dan Mario Vargas Llosa (lahir 1936, Peru, pemenang Hadiah Nobel Sastra 2010) yang “secara kebetulan” sama-sama punya pengalaman mengembara di Eropa.
Ledakan sastra ini sedikit banyak dipicu ketegangan politik kawasan Amerika Latin pada masa itu sebagai imbas Perang Dingin antara blok Barat yang kapitalistis dan blok Timur yang komunis. Kemenangan Revolusi Kuba yang dipimpin Fidel Castro dan Che Guevara pada 1959 ketika gerakan revolusioner yang didukung rakyat berhasil menumbangkan diktator Batista menumbuhkan harapan baru bagi rakyat Amerika Latin yang tertindas di bawah rezim junta militer. Harapan itu memicu tumbuhnya gairah mencipta di kalangan para pengarang muda yang terbuka pada ide-ide baru.
Inilah yang kemudian melahirkan “El Boom” dengan novel-novel bercorak “modern”—antara lain bercirikan alur tak linear, penjungkirbalikan latar waktu, dan perubahan penutur silih-berganti—yang memberontak dari pakem konvensional. Di antaranya yang paling fenomenal tentu saja One Hundred Years of Solitude (Gabriel Garcia Marquez, 1967). Pendeknya, “El Boom” mengubah wajah sastra Amerika Latin untuk selamanya dan berpengaruh pada karya generasi selanjutnya.
Menarik perhatian dunia.
Akibat “El Boom”, karya para pengarang Amerika Latin kian menarik perhatian dunia, termasuk karya para pendahulu mereka (termasuk para master semacam Jorge Luis Borges dan Juan Rulfo) serta generasi setelahnya yang lazim disebut angkatan “Post-Boom” seperti Roberto Bolano (1953-2003, Cile).
Salah satu faktor pendukung suksesnya para penulis Amerika Latin, baik di mata kritikus maupun secara komersial, setelah era “El Boom” menjadi pembuka jalan, adalah peran para agen penerbitan (literary agent) seperti “Big Mama” Carmen Balcells yang legendaris. Selain karena karya mereka memiliki identitas kultural yang kuat, sekaligus menunjukkan aspirasi estetis yang unggul, ada peran para agen yang menjadi perantara aktif untuk menembus ketatnya industri penerbitan dunia sehingga bisa diapresiasi oleh kalangan yang lebih luas.
Faktor penerjemahan yang baik juga sangat penting. Dalam hal ini, sebagai contoh, peran para penerjemah ulung dari bahasa Spanyol ke bahasa Inggris, seperti Edith Grossman, Natasha Wimmer, serta suami-istri Gregory dan Clementine Rabassa, sangat signifikan dalam memperkenalkan karya-karya para sastrawan Amerika Latin ke pentas dunia.
Demikianlah. Jika kita ingin berperan lebih banyak dalam pentas sastra dunia, penerjemahan karya sastra kita ke bahasa-bahasa lain adalah keharusan. Makin banyak karya sastra kita yang diterjemahkan ke bahasa asing, tentu makin terbuka kesempatan untuk diapresiasi oleh khalayak yang lebih luas dan secara lebih serius.
Perlu komitmen dan upaya jangka panjang
Upaya penerjemahan besar-besaran sejumlah karya sastra Indonesia terseleksi terkait Frankfurt Book Fair 2015 perlu diapresiasi. Kabar baiknya, empat karya sastra Indonesia dalam terjemahan bahasa Inggris dimasukkan oleh majalah sastra berwibawa World Literature Today ke dalam daftar 75 karya terjemahan terbaik sepanjang 2014, yakni Anxiety Myths (Afrizal Malna, terjemahan Andy Fuller), The Rainbow Troops (Andrea Hirata, terjemahan Angie Killbane), Krakatau: The Tale of Lampung Submerged (Muhammad Saleh, terjemahan John H. McGlynn), dan Lies, Loss, and Longing (Putu Oka Sukanta, terjemahan Vern Cork dan Leslie Dwyer), sejajar dengan terjemahan karya para pengarang terkemuka dunia semacam Alberto Moravia (Italia), Bohumil Hrabal (Ceko), Cesar Aira (Argentina), Danilo Kis (Kroasia), atau Saadat Hasan Manto (Pakistan).
Sebenarnya, sejak beberapa tahun silam sejumlah karya para penulis kita telah beredar di pentas dunia, baik atas upaya terpadu dari sejumlah pihak maupun upaya sendiri. Sebut misalnya Saman karya Ayu Utami, pemenang Prince Claus Award 2000, yang telah diterjemahkan ke dalam delapan bahasa. Begitu pula Tarian Bumi karya Oka Rusmini yang setidaknya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Jerman, dan Swedia. Bisa disebut pula karya-karya Eka Kurniawan seperti novel Cantik Itu Luka yang telah diterbitkan di sejumlah negara. Namun, tentu itu saja belum cukup.
Kita memerlukan komitmen dan upaya-upaya jangka panjang yang lebih sistematis dan terpadu untuk menerjemahkan dan menerbitkan karya-karya terbaik kita dalam bahasa asing. Semua itu akan menjadi sumbangan kita bagi dunia serta membuka jendela bagi terciptanya dialog antarbudaya tanpa perlu terhalang oleh sekat-sekat perbedaan bangsa dan bahasa.
*) Anton Kurnia, penulis, penerjemah, dan editor buku sastra; pengarang kumpulan cerpen Insomnia (diterjemahkan ke bahasa Inggris sebagai A Cat on the Moon and Other Stories); sehari-hari bekerja sebagai Manajer Redaksi Penerbit Serambi, Jakarta.
http://www.dw.com/id/sastra-indonesia-di-pentas-dunia/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Ginandjar Wiludjeng
A. Junianto
A. Kurnia
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.S Laksana
A’yat Khalili
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Razak
Abdul Rosyid
Abdul Wahab
Abdurrahman Wahid
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adam Chiefni
Ade P. Nasution
Adhitia Armitriant
Adi Prasetyo
Adrizas
AF. Tuasikal
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Baso
Ahmad Faishal
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Naufel
Ahmad Rofiq
Ahmad S. Zahari
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ainul Fiah
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Alex R. Nainggolan
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Almania Rohmah
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aminah
Aminullah HA.Noor
Amir Sutaarga
Anam Rahus
Anata Siregar
Andari Karina Anom
Andina Dwifatma
Andong Buku #3
Andre Mediansyah
Andri Awan
Anett Tapai
Anggie Melianna
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Wahyudi
Anwar Nuris
Ardi Bramantyo
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Joko Wicaksono
Arief Junianto
Ariera
Arif Bagus Prasetyo
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Asmaul Fauziyah
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Wulan Sari
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Camelia Mafaza
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Daisuke Miyoshi
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Danusantoso
Dareen Tatour
Darju Prasetya
David Kuncara
Denny Mizhar
Denza Perdana
Desi Sommalia Gustina
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewi Indah Sari
Dewi Susme
Dian Sukarno
Didik Harianto
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur
Dipo Handoko
Diyah Errita Damayanti
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddy Wisnu Pribadi
Dody Kristianto
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi SS MHum
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Wiyana
Dyah Ratna Meta Novia
Dyah Sulistyorini
Ecep Heryadi
Eddy Pranata PNP
Edeng Syamsul Ma’arif
Eep Saefulloh Fatah
EH Kartanegara
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Hendri Saiful
Eko Windarto
Elnisya Mahendra
Elva Lestary
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Sulwesi
Endo Suanda
Eppril Wulaningtyas R
Esai
Evan Ys
F. Moses
F. Rahardi
Fadlillah Malin Sutan
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Febby Fortinella Rusmoyo
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Gabriel Garcia Marquez
Galang Ari P.
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Ganug Nugroho Adi
Gerson Poyk
Ghassan Kanafani
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunoto Saparie
H.B. Jassin
Habibullah
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Hardi
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
HE. Benyamine
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Herman RN
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Nugroho
Hikmat Gumelar
HL Renjis Magalah
Hudan Nur
Hujuala Rika Ayu
Huminca Sinaga
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ira Puspitaningsih
Irfan Budiman
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Zulkarnain
Ismail Marzuki
Iva Titin Shovia
Iwan Kurniawan
Jabbar Abdullah
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D. Rahman
Jamal T. Suryanata
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
JILFest 2008
Jody Setiawan
Johan Edy Raharjo
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Juan Kromen
Julika Hasanah
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Ka’bati
Karanggeneng
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Keith Foulcher
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khoirul Inayah
Khoirul Rosyadi
Khudori Husnan
Ki Ompong Sudarsono
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
L.N. Idayanie
Laili Rahmawati
Lamongan
Lan Fang
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lucia Idayanie
Lukman A Sya
Lutfiah
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Ismail
M Thobroni
M. Afifuddin
M. Arwan Hamidi
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Luthfi Aziz
M. Nurdin
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.S. Nugroho
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahmud Syaltut Usfa
Mahmudi Arif Dahlan
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Martin Aleida
Maruli Tobing
Mas Ruscita
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni Muserang
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mia Arista
Mia El Zahra
Mikael Johani
Misbahus Surur
Misran
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
Much. Khoiri
Muh. Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun
Muhammadun AS
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mukti Sutarman Espe
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Munawir Aziz
Musfarayani
Musfi Efrizal
Nafisatul Husniah
Nandang Darana
Naskah Teater
Nelson Alwi
Ni Made Purnamasari
Nikmatus Sholikhah
Nina Herlina Lubis
Nina Susilo
Ning Elia
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel-novel berbahasa Jawa
Novelet
Nunuy Nurhayati
Nur Azizah
Nur Hamzah
Nur Kholiq
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Aini
Nurul Anam
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Okty Budiati
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso H.N.
Pagan Press
Pagelaran Musim Tandur
Palupi Panca Astuti
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Petrus Nandi
Politik
Politik Sastra
Pradana Boy ZTF
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringadi AS
Prof Dr Fabiola D. Kurnia
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Puji Tyasari
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
Purnawan Kristanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Ng. Ronggowarsito
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmat Kemat Hidayatullah
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rasanrasan Boengaketji
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Resensi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Ririe Rengganis
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rusmanadi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saiful Amin Ghofur
Saiful Anam
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman S. Yoga
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang KSII
Santi Puji Rahayu
Sapardi Djoko Damono
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Jawa Timur
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputra
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sri Weni
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugi Lanus
Sukron Ma’mun
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaf Anton Wr
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syarif Wadja Bae
Sylvianita Widyawati
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie (1961-2019)
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tia Setiadi
Tirto Suwondo
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tosa Poetra
Tri Nurdianingsih
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulul Azmiyati
Umar Fauzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Utari Tri Prestianti
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wan Anwar
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wina Bojonegoro
Wita Lestari
Wong Wing King
Wowok Hesti Prabowo
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopi Setia Umbara
Yudhi Herwibowo
Yudi Latif
Yusri Fajar
Yusuf Ariel Hakim
Yuval Noah Harari
Zacky Khairul Uman
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zed Abidien
Zehan Zareez
Zhaenal Fanani
Zubaidi Khan
Zuniest
Tidak ada komentar:
Posting Komentar