Catatan Kesan atas Antologi Puisi “Pengembaraan Burung”
Ahmad Syauqi Sumbawi
Kehidupan dunia adalah “kawah penyadaran”, dimana manusia berhadapan dengan realitas yang menuntutnya untuk memahami keberadaan dirinya secara luas. Tidak hanya di dunia, pemahaman itu pun melintasi berbagai alam, baik alam arwah maupun alam barzah dan akhirat—serta hal-hal eskatologis lainnya—.
Dari keseluruhannya, “proses bersama waktu” merupakan keniscayaan. Karena itu, manusia tidak cukup diibaratkan laiknya “kertas putih” yang kosong, melainkan berisi potensi kemanusiaan—fithrah--, baik jasmani, rasional, maupun spiritual, yang tidak lain merupakan “bekal” manusia untuk memahami hidup dan kehidupannya di dunia.
Lantas, siapakah manusia itu?! Tentunya, tidak mudah untuk menjawab pertanyaan tersebut. Hal ini disebabkan permasalahan kemanusiaan merupakan hal yang kompleks. Tidak hanya mengenai diri sendiri, kompleksitas tersebut juga lahir dari keterkaitannya dengan sesama, lingkungan, serta keberadaan dzat yang dikenal sebagai Tuhan. Begitu juga keberadaan dan hidupnya yang menjadi kauniyah. Karena itulah, “membaca”—sebagaimana wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Saw—merupakan syarat mutlak, sekaligus diperintahkan bagi manusia.
***
Membaca “Pengembaraan Burung”: Keterlibatan Manusia dalam Kauniyah dan Humanisme
Kauniyah dan humanisme, menjadi hal penting untuk dikemukakan terkait keberadaan manusia di dunia, sekaligus menjadi catatan kesan penulis atas puisi-puisi yang terkumpul dalam antologi puisi “Pengembaraan Burung.” Di sini, keterlibatan manusia dengan kauniyah—yang notabene adalah medan inspirasi universal—, menjelma sebagai “moment puitika”. Kemudian dengan “potensi puitika”-nya, manusia menjadikannya sebagai “medan makna” yang indah; bermakna bagi kemanusiaan. Dengan concern yang beragam dari 26 penyair yang hadir , antologi ini tidak lain merupakan hasil dari “pembacaan” manusia terhadap dirinya sendiri dalam seluruh dimensi kehidupannya, sekaligus memproyeksikan humanisme-nya secara universal.
Untuk pembahasan lebih jauh mengenai humanisme dalam konteks “Pengembaraan Burung” yang beragam tersebut, maka perlu bagi penulis berangkat dari konsep-konsep al-Qur’an terkait keberadaan manusia. Di sini, al-Qur’an menyebut manusia dalam beberapa terminologi, yaitu abd Allah, al-basyr, al-insan, al-naas, bani Adam, al-ins, dan khalifah fi al-ardl. Dari beberapa terminologi tersebut, yang kemudian dikombinasikan dengan perspektif filosofis-antropologis, setidaknya didapatkan sebuah kerangka pemahaman atas keberadaan manusia dalam kehidupannya secara luas, yaitu sebagai pribadi atau persona, sebagai hamba Tuhan atau makhluk religious, sebagai makhluk sosial, dan sebagai makhluk lingkungan.
***
“Pengembaraan Burung” dan Manusia sebagai Persona: Proses Bersama Waktu dan Eksistensi Manusia
Ekspresi manusia sebagai pribadi atau persona menjadi bagian terbesar dari puisi-puisi yang terdapat dalam antologi ini. Selain membuktikan antusiasme manusia terhadap diri sendiri, hal ini menguatkan stigma terkait salah satu keunikan manusia, yakni upayanya dalam memahami eksistensinya di dunia. Pada titik ini, tampak bahwa “menjadi manusia” bukan perkara sederhana. Proses kemanusiaan bukan proses yang instans, melainkan proses yang menunjuk pada pengembaraan menuju kesadaran, serta melibatkan seluruh potensi dan segala keterkaitan yang menyertainya.
Dari keseluruhannya, proses bersama waktu menjadi keberadaan penting yang melingkupinya, baik dalam kesadaran maupun ketidaksadarannya. Waktu yang mendesak tanpa ragu dengan kandungan segala musimnya, dimana pada gilirannya melahirkan kenangan, kenyataan, dan harapan. Hingga bumi tak bernama, demikian baris terakhir puisi “Pengembaraan Burung” karya Herry Lamongan, mengisyaratkan akhir pengembaraan di dunia. Dalam posisinya sebagai kauniyah, proses ini juga menjadi sesuatu yang harus dipahami manusia dalam hidupnya.
Melalui pembacaan sederhana, proses bersama waktu di atas dapat kita temukan dalam puisi karya Herry Lamongan—“Kabut di Ubun Usia”—, 2 puisi karya Anis Ceha—“Perjalanan Waktu” dan “Metamorfosa”—, 2 puisi karya Bambang Kempling—“Hampir Pagi” dan “Tak Ada”—, serta 2 puisi Luqman Almishr—“Rayu Embun” dan “Muara Waktu”—.
Kemudian dalam proses bersama waktu itulah, dualitas hidup menjadi keniscayaan yang berkelindan mengiringi historisitas manusia, baik idealitas-realitas, suka-duka, serta berbagai manifestasinya yang lain. Begitu juga dengan harapan dan cita-cita, kegagalan dan penyesalan. Hal ini tampak pada beberapa puisi, seperti karya Anis Ceha—“Kidung”—, puisi karya Pringgo Hr—“Sore Tadi”—, 2 puisi karya Imamuddin SA—“Menggulung Senja” dan “Di Stadion”—, puisi karya Nuruddin Zanky—“Sepasang Tetes Hujan”—, puisi karya Dhilla Lembayung Senja—“Kenangan Daun Pisang”—, dan puisi karya Iis RA—“Aku Ingin”—.
Menyadari kehidupan bukan proses yang sederhana, melainkan berat dan melelahkan, terutama disebabkan oleh “kekalahan hidup”, maka wajar jika pada titik terendah, manusia pun dihantui oleh keputusasaan, sebagaimana tergambar pada 2 puisi karya Bambang Kempling—“Pada Sebuah Pementasan” dan “Dalam Hujan”—, 2 puisi karya Pringgo Hr—“Luka Senja” dan “Sajak Belum Selesai”—, dan puisi karya Luqman Almishr—“Perkabungan”—. Kendati demikian, satu hal yang digarisbawahi bahwa hidup manusia adalah proses yang harus tiba pada waktunya. Kesan ini dapat kita lihat pada puisi karya Herry Lamongan—“Memandang Langit Lepas”—, puisi karya Pringgo Hr—“Stasiun Batu”—, puisi karya Ahmad Shodiq—“Bangun”—, dan puisi karya Nuruddin Zanky—“Lorong Paling Sunyi”—.
Berbagai pengalaman yang hadir dari proses bersama waktu di atas, pada gilirannya melahirkan ruang-ruang reflektif bagi manusia untuk memandang hidup dan kehidupannya. Manusia memahami, menilai, mengambil hikmah dan memberi makna atas keberadaannya di dunia. Pada konteks ini, tidak keliru dikatakan bahwa manusia adalah “pembelajar sejati” dari seluruh peristiwa yang hadir bersama waktu—kauniyah—. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa puisi, antara lain puisi karya Iis RA—“Berguru pada Matahari”, 3 puisi karya Tulus Setiyadi—“Kebijaksanaan”, “Kesadaran Diri”, dan “Pengendalian Diri”—, puisi karya Benningdot—“Sesal”—, puisi karya Abdi Rahmansyah—“Berhias”—, puisi karya Benny Nasrullah—“Kunang-kunang di Batu Nisan”—, puisi karya Suharsono A.Q—Tusuk Jarum—, puisi karya Zuhdi Swt—“Notasi Hidup yang Meredup”—, puisi karya Imamuddin SA—“Ajari Aku Melukis”—, dan puisi karya Saiful Anam Assyaibani—“Cerita Pendek tentang Membaca Cakrawala Pada suatu Adegan Pementasan”—.
Pemahaman terhadap eksistensi manusia secara filosofis dapat kita baca dalam puisi karya Saiful Anam Assyaibani—“Perjalanan di Atas Bukit”, yang menyuguhkan sejarah universal manusia di dunia, puisi karya Imamuddin SA—“Aku Tak Lagi Penyair”— mengungkapkan eksistensi terkait manifestasi diri, puisi karya Benningdot—“Wayang”—menampilkan dimensi batin eksistensi manusia, dan puisi karya Amiruddin—“Kosong”—menggambarkan upaya manusia dalam memahami keberadaan dirinya.
***
“Pengembaraan Burung” dan Manusia sebagai Makhluk Religius: Mengenal Tuhan dan Ragam Spiritualitas
Salah satu kesadaran yang dimiliki manusia dalam hidupnya, yaitu keberadaannya sebagai makhluk religius. Pada titik ini, pengenalan terhadap Realitas Tunggal yang menguasai hidup dan kehidupannya, memunculkan berbagai interpretasi dan ekspresi dinamis atas hubungan manusia dengan-Nya. Proses “pengenalan” juga menjadi “pintu pertama” yang pada gilirannya melahirkan ragam spiritualitas manusia. Hal inilah yang menjadi kesan dalam diri penulis atas puisi-puisi bertema religi dalam antologi “Pengembaraan Burung”.
Sebagaimana diketahui, ragam spiritualitas merupakan realitas yang diakui dalam agama—Islam—. Dalam hal ini, konsep syariat, thariqat, hakikat, dan ma’rifat menjadi bukti dari keragaman tersebut. Begitu juga dengan konsep ma’rifah, musyahadah, mukasyafah, mahabbah. Bahkan Tuhan pun mengenalkan Diri sesuai dengan pemahaman yang dimiliki oleh manusia. Karena itu, tidak salah jika ungkapan dan penyebutan manusia kepada-Nya berbeda antara satu dengan yang lain. Dalam tradisi Islam, Tuhan mengenalkan diri-Nya dengan “99 nama yang baik” atau asmaul husna.
Berkaitan dengan uraian di atas, dapat dipahami bahwa risalah kenabian menjadi keberadaan penting dalam historisitas umat manusia. Tidak hanya memberikan petunjuk tentang Tuhan, tetapi juga dalam membangun keshalihan pada diri manusia serta revolusi masyarakat menuju tata nilai kehidupan yang sesuai dengan tuntunan yang diajarkan-Nya. Dalam episode ini, nabi yang notabene adalah manusia muncul sebagai personal model atau teladan yang baik (uswatun hasanah), yang merupakan konkritisasi dari idealitas-idealitas religius, terutama sebagai insan kamil. Dalam spektrum yang luas, pentingnya sejarah kenabian dapat kita temukan dari puisi karya Saiful Anam Assyaibani—“Nubuat”—, dan puisi karya Ahmad Zaini—“Purnama Tergantung Sendiri”—.
Dalam tradisi Islam, idealitas hubungan antara manusia dengan Tuhannya menunjuk pada ketakwaan, yang secara umum diartikan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Hal ini disebabkan oleh keyakinan bahwa Tuhan Maha Segalanya, yang menguasai seluruh alam semesta, sebagaimana yang diungkapkan dalam 2 puisi karya Ahmad Zaini—“Keremangan” dan “Tertiup Angin Kemarau”—, puisi karya Amiruddin—“Kupinjam Nama-Mu”—, puisi karya Zuhdi Swt— “Yaa Alim”—.
Dinamika religiositas dan ekspresi spritualitas manusia kemudian berkembang sesuai dengan kondisi yang dihadapinya. Keberadaan harapan dan doa kepada Tuhan diungkapkan dalam puisi karya Benny Nasrullah—“Aku Belajar Padamu”—, 2 puisi karya Benningdot—“Cita” dan “Kekasih”—, puisi karya Iis RA—“Ketika Putih”—, 2 puisi karya A. Inuy EA—“Simfoni Sang Penjaga” dan “Di Atas Hamparan Sajadah”—, 2 puisi karya Zuhdi Swt—“Mengintip Dunia di Balik Jeda Aksara” dan “Yaa Bashir”—.
Berikutnya, ungkapan mohon ampun atas dosa dan kesalahan, serta kondisi jauh dari-Nya dapat kita temukan dalam puisi karya Ahmad Zaini—“Simpuh Malam”— puisi karya Benny Nasrullah—“Alif-Mu”—”, puisi karya Abdi Rahmansyah—“Tercurah di Malam”—. Sementara ekspresi religiositas yang dipengaruhi oleh entitas yang lain, baik manusia maupun kondisi, dapat kita temukan dalam 2 puisi karya Thoni Mukarrom IA—“Ziarah I” dan “Ziarah II”—, 2 puisi karya Amiruddin—“Semacam Berdzikir” dan “Bagaimana Sempat”—, serta puisi karya Ahmad Shodiq—“Begal”—.
Dimensi esoteris (sufistik) manusia dalam posisinya sebagai makhluk religius menjadi kesan utama dari beberapa puisi di bawah ini, dimana proses pengenalan kembali, terutama pada tataran hakikat, menjadi pintu yang akan mengantarkan pada hubungan yang lebih dekat dengan-Nya. Tidak hanya antara hamba dengan Tuhan, tetapi menunjuk pada kemanunggalan dan mahabbah.
Pentingnya pengenalan dan pemahaman (ma’rifah) yang berlanjut pada penyaksian (musyahadah), setidaknya dapat kita temukan dalam puisi karya Herry Lamongan—“Memanggil Nama Laut”—. Begitu juga puisi Abill Rahmatullah—“Alamat Cinta”— yang di dalamnya terdapat kutipan salah satu hadits yang sangat populer dalam sufisme, yaitu man arafa nafsahu faqad arafa Rabbahu. Lebih lanjut, ekspresi puitika terkait tasawuf falsafi, yaitu wahdat al-wujud, ittihad, fana’-baqa’, serta hubb-syauq, tampak jelas pada puisi karya Tulus Setiyadi—“Cermin Diri”—, dan 3 puisi karya Abill Rahmatullah—“Jalan Rindu”, “Fatwa Rindu”, dan “Hutang Rindu”—.
***
“Pengembaraan Burung” dan Manusia sebagai Makhluk Sosial: Kedekatan Emosional dan Refleksi atas Realitas Sosial
Prinsip utama dari keberadaan manusia sebagai makhluk sosial, bahwa manusia tidak bisa hidup tanpa keberadaan manusia lain. Bahkan, penegasan eksistensi manusia sebagai individu yang “unik”, hanya bisa diwujudkan dengan kehadiran sesamanya. Hal inilah yang kemudian melahirkan konsep sosial atau masyarakat, dimana interaksi sosial menjadi bagian penting di dalamnya.
Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial pada konteks “Pengembaraan Burung”, secara umum diproyeksikan oleh kedekatan emosional, baik simpati, empati, maupun kasih sayang, manusia terhadap sesamanya. Pada unit terkecil masyarakat, yaitu keluarga, berbakti kepada orang tua dalam segala manifestasinya, baik ketika masih hidup maupun telah wafat, tidak lain merupakan ekspresi kasih sayang manusia pada posisinya sebagai seorang anak. Di sini, romantisme masa kecil, tidak dipungkiri, menjadi sesuatu yang menggerakkan siklus afektif terkait peran-peran dari hubungan di antara keduanya, terutama ketika seorang anak telah dewasa. Kesan inilah yang tampak pada beberapa puisi berikut yaitu, puisi karya Suharsono A.Q—“Ruang Tamu”—, puisi karya Iis RA—“Ketika Hati”—, dan 2 puisi karya Emi Sudarwati—“Tangis Ibu” dan “Semalam Bersama Bapak”—.
Kedekatan emosional dalam lingkup keluarga, yakni antara suami dan istri, digambarkan oleh puisi karya saiful anam assyaibani—“Rahasia Asin Tubuhmu”—, yang menampilkan makna dan idealitas pernikahan dan rumah tangga, dengan inspirasi kehidupan para “tokoh” dalam tradisi dan sejarah Islam. Pada spektrum yang lebih umum, pemahaman atas diri manusia sebagai “jenis”—laki-laki dan perempuan—, melahirkan kedekatan emosional terhadap lawan jenis yang dikenal dengan istilah “cinta”. Sebagai hal yang manusiawi, maka tak keliru dikatakan bahwa manusia adalah makhluk cinta. Sederhananya, manusia dalam kehidupannya tidak lepas dari permasalahan terkait cinta ini, di mana pada gilirannya menciptakan kisah cintanya sendiri yang unik.
Keberadaan puisi-puisi bertema cinta dalam antologi ini menjadi bukti konkrit dari keberadaan manusia di atas. Berbagai kedekatan emosional terkait hubungan laki-laki dan perempuan bermanifestasi dalam bentuknya, yaitu puisi karya Rialita Fithra Asmara—“Lelaki Penanam Bunga”—, puisi karya Nuruddin Zanky—“Engkau Laut”—, puisi karya Ahmad Shodiq—“Berita Kasih Cinta”—, 4 puisi karya Luthfi Sepat—“Aku Sebulir Nasi”, “Aku Inderamu”, “Renda Gaun Rembulan” dan “Senandung Rumbai Bunga-bunga”—, puisi karya Suharsono A.Q—“Gadis Perbatasan”—, puisi karya Emi Sudarwati—“Menuju Sebuah Jembatan”—, puisi karya Abdi Rahmansyah—“Menggelar Pukat” dan “Sekat Rindu”—, 2 puisi karya Dhilla Lembayung Senja—“Malaikat Tanpa Sayap” dan “Melati Berdarah”—, 2 puisi karya Debby Niken Kartika Witasari—“Bila Cintamu yang Tersesat” dan “Bukan Karena Aku”—, serta puisi karya Thoni Mukarrom IA—“Senja di Pelabuhan Gresik”—. Lebih lanjut, realitas sosial juga menunjukkan fenomena lain terkait hubungan laki-laki dan perempuan di atas, yakni adanya distorsi dari nilai-nilai yang diakui oleh masyarakat, terutama nilai sosial-religius, serta kecenderungan untuk menjadi “jenis” yang anggap lebih mewadahi “kejenisan”-nya. Kesan ini ditunjukkan oleh 2 puisi karya Debby Niken Kartika Witasari— “Perempuan di Bawah Bulan” dan “Alif dan Dada Lelaki”—.
Kedekatan emosional terkait peran sosial, yakni profesi seorang guru, diungkapkan oleh puisi karya Emi Sudarwati—“Sekolah”—. Kesan lain yang bisa ditemukan dari puisi ini, yakni keberadaan manusia yang multiperan, dimana pada kondisi tertentu akan memainkan peran yang berbeda, baik sebagai seorang ibu rumah tangga, seorang guru, maupun peran lainnya, tergantung konteks sosial yang dihadapinya.
Poin penting dari keberadaan manusia sebagai makhluk sosial mengarah pada pembacaan dan refleksinya terhadap realitas sosial di masyarakat. Kedekatan emosional terhadap “kaum marjinal” menjadi kesan utama dari beberapa puisi, seperti puisi karya A. Inuy EA—“Perempuan Tayub”—, puisi karya Nuruddin Zanky—“Wanita Penyedu Laut”—. Sementara kritik terhadap industrialisasi dan pembangunan yang acapkali mengabaikan dampak sosial bagi masyarakat, kecuali keuntungan financial, diungkapkan dalam puisi karya Thoni Mukarrom IA—“Mengunjungi Kotamu”—
Pada konteks ke-Indonesia-an, refleksi terhadap realitas sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara diungkapkan oleh puisi karya Rialita Fithra Asmara—“Negeri Sapu Tangan”—, dan puisi karya Benny Nasrullah—“Wajah Negeriku”—, yang menampilkan kritik terhadap rasa nasionalisme kita sebagai bangsa, terutama kalangan “penjaga”-nya yang seringkali menampilkan perilaku sebaliknya. Kemudian refleksi terhadap sejarah nasional—tokoh—, menjadi inspirasi bagi puisi karya Rialita Fithra Asmara—“Cut Nyak Dien Muda”— dalam menampilkan idealitas terkait berbagai permasalahan yang dihadapi anak bangsa—perempuan—dewasa ini.
Perpecahan di kalangan internal umat beragama—Islam—menjadi kesan penting dari puisi karya Dhilla Lembayung Senja—“Cerita Rembulan”—. Sementara pada konteks global, yakni hubungan antar bangsa, puisi karya Luqman Almishr—“Relief Gaza”— menampilkan empati terhadap nasib kemanusiaan sebuah bangsa (Palestina) yang berada dalam penindasan bangsa lain (Israel).
***
“Pengembaraan Burung” dan Manusia sebagai Makhluk Lingkungan: Rusaknya Lingkungan Hidup dan Kritik Kemanusiaan Kita
Dalam perspektif ekologis-filosofis, hubungan manusia dengan lingkungan hidup merupakan sebuah keniscayaan. Sederhananya, antara manusia dengan lingkungan hidup terdapat keterikatan yang saling mempengaruhi di antara keduanya. Tanpa keberadaan lingkungan hidup, mustahil manusia bisa hidup. Juga, rusaknya lingkungan hidup mengakibatkan rusaknya kehidupan manusia di lingkungan tersebut. Hubungan manusia dengan lingkungan bersifat dinamis. Dari sisi manusia, hubungannya dengan lingkungan merupakan sebuah kesadaran yang termaknai dan menjadi dasar serta inti dari eksistensi dan kepribadiannya.
Hubungan saling mempengaruhi di antara manusia dan lingkungan hidup, memiliki sifat pengaruh yang berbeda dari keduanya. Pengaruh lingkungan hidup terhadap manusia bersifat pasif, sedangkan pengaruh manusia terhadap lingkungan hidup lebih bersifat aktif. Manusia dengan akalnya, memiliki kemampuan eksploratif terhadap alam, sehingga mampu merubah lingkungan hidup sesuai yang dikehendakinya. Di pihak lain, meskipun tidak mempunyai kemampuan yang sama dengan manusia, namun apa yang terjadi pada lingkungan hidup memberikan pengaruh terhadap kehidupan manusia. Perilaku eksploitatif-manipulatif manusia terhadap lingkungan hidup akan mengakibatkan kerusakan langsung kepadanya serta memberikan dampak negatif bagi kehidupan manusia.
Kerusakan lingkungan hidup merupakan masalah krusial secara global yang dihadapi oleh umat manusia dewasa ini. Permasalahan ini tidak hanya ditandai dengan berbagai fenomena alam, seperti tanah longsor, banjir, global warming, climate change, krisis air bersih, dan sebagainya, tetapi juga menunjuk pada penurunan kualitas sumberdayanya. Pada konteks “Pengembaraan Burung”, rusaknya lingkungan hidup ditunjukkan oleh puisi karya Rialita Fithra Asmara—“Surat Kepada Sungai”—, puisi karya A. Inuy EA—“Pesan dari Ibu”—, puisi karya Suharsono A.Q—“Kering”—, dan puisi karya Anis Ceha—“Gugur Daun”—. Kesan penting dari puisi-puisi tersebut menunjuk pada kritik terhadap kemanusiaan kita sebagai makhluk lingkungan. Sementara permasalahan terkait rusaknya sungai akibat perilaku manusia serta kekeringan, tidak lain merupakan gambaran sebenarnya dari perilaku ekologis masyarakat dan kondisi lingkungan yang disaksikan oleh para penyairnya.
Penutup
Dengan lebih mengarah pada content puisi untuk mencari makna umum terkait kerangka konsep yang dikemukakan, yaitu kauniyah dan humanisme, tentunya tulisan ini memiliki banyak kekurangan, serta belum mewadahi seluruh unsur yang terkandung di dalamnya, baik intrinsik maupun ekstrinsik. Lepas dari itu, inilah “Pengembaraan Burung” yang menghadirkan humanisme dari pembacaan atas kauniyah yang hadir di hadapannya.[*]
***
*) Tulisan disampaikan pada Bedah Buku Antologi Puisi "PENGEMBARAAN BURUNG" pada Lamongan Art 2015, di Plaza Lamongan, Minggu 29 November 2015.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Ginandjar Wiludjeng
A. Junianto
A. Kurnia
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.S Laksana
A’yat Khalili
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Razak
Abdul Rosyid
Abdul Wahab
Abdurrahman Wahid
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adam Chiefni
Ade P. Nasution
Adhitia Armitriant
Adi Prasetyo
Adrizas
AF. Tuasikal
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Baso
Ahmad Faishal
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Naufel
Ahmad Rofiq
Ahmad S. Zahari
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ainul Fiah
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Alex R. Nainggolan
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Almania Rohmah
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aminah
Aminullah HA.Noor
Amir Sutaarga
Anam Rahus
Anata Siregar
Andari Karina Anom
Andina Dwifatma
Andong Buku #3
Andre Mediansyah
Andri Awan
Anett Tapai
Anggie Melianna
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Wahyudi
Anwar Nuris
Ardi Bramantyo
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Joko Wicaksono
Arief Junianto
Ariera
Arif Bagus Prasetyo
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Asmaul Fauziyah
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Wulan Sari
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Camelia Mafaza
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Daisuke Miyoshi
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Danusantoso
Dareen Tatour
Darju Prasetya
David Kuncara
Denny Mizhar
Denza Perdana
Desi Sommalia Gustina
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewi Indah Sari
Dewi Susme
Dian Sukarno
Didik Harianto
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur
Dipo Handoko
Diyah Errita Damayanti
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddy Wisnu Pribadi
Dody Kristianto
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi SS MHum
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Wiyana
Dyah Ratna Meta Novia
Dyah Sulistyorini
Ecep Heryadi
Eddy Pranata PNP
Edeng Syamsul Ma’arif
Eep Saefulloh Fatah
EH Kartanegara
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Hendri Saiful
Eko Windarto
Elnisya Mahendra
Elva Lestary
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Sulwesi
Endo Suanda
Eppril Wulaningtyas R
Esai
Evan Ys
F. Moses
F. Rahardi
Fadlillah Malin Sutan
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Febby Fortinella Rusmoyo
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Gabriel Garcia Marquez
Galang Ari P.
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Ganug Nugroho Adi
Gerson Poyk
Ghassan Kanafani
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunoto Saparie
H.B. Jassin
Habibullah
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Hardi
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
HE. Benyamine
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Herman RN
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Nugroho
Hikmat Gumelar
HL Renjis Magalah
Hudan Nur
Hujuala Rika Ayu
Huminca Sinaga
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ira Puspitaningsih
Irfan Budiman
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Zulkarnain
Ismail Marzuki
Iva Titin Shovia
Iwan Kurniawan
Jabbar Abdullah
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D. Rahman
Jamal T. Suryanata
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
JILFest 2008
Jody Setiawan
Johan Edy Raharjo
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Juan Kromen
Julika Hasanah
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Ka’bati
Karanggeneng
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Keith Foulcher
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khoirul Inayah
Khoirul Rosyadi
Khudori Husnan
Ki Ompong Sudarsono
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
L.N. Idayanie
Laili Rahmawati
Lamongan
Lan Fang
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lucia Idayanie
Lukman A Sya
Lutfiah
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Ismail
M Thobroni
M. Afifuddin
M. Arwan Hamidi
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Luthfi Aziz
M. Nurdin
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.S. Nugroho
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahmud Syaltut Usfa
Mahmudi Arif Dahlan
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Martin Aleida
Maruli Tobing
Mas Ruscita
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni Muserang
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mia Arista
Mia El Zahra
Mikael Johani
Misbahus Surur
Misran
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
Much. Khoiri
Muh. Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun
Muhammadun AS
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mukti Sutarman Espe
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Munawir Aziz
Musfarayani
Musfi Efrizal
Nafisatul Husniah
Nandang Darana
Naskah Teater
Nelson Alwi
Ni Made Purnamasari
Nikmatus Sholikhah
Nina Herlina Lubis
Nina Susilo
Ning Elia
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel-novel berbahasa Jawa
Novelet
Nunuy Nurhayati
Nur Azizah
Nur Hamzah
Nur Kholiq
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Aini
Nurul Anam
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Okty Budiati
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso H.N.
Pagan Press
Pagelaran Musim Tandur
Palupi Panca Astuti
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Petrus Nandi
Politik
Politik Sastra
Pradana Boy ZTF
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringadi AS
Prof Dr Fabiola D. Kurnia
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Puji Tyasari
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
Purnawan Kristanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Ng. Ronggowarsito
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmat Kemat Hidayatullah
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rasanrasan Boengaketji
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Resensi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Ririe Rengganis
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rusmanadi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saiful Amin Ghofur
Saiful Anam
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman S. Yoga
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang KSII
Santi Puji Rahayu
Sapardi Djoko Damono
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Jawa Timur
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputra
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sri Weni
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugi Lanus
Sukron Ma’mun
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaf Anton Wr
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syarif Wadja Bae
Sylvianita Widyawati
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie (1961-2019)
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tia Setiadi
Tirto Suwondo
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tosa Poetra
Tri Nurdianingsih
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulul Azmiyati
Umar Fauzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Utari Tri Prestianti
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wan Anwar
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wina Bojonegoro
Wita Lestari
Wong Wing King
Wowok Hesti Prabowo
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopi Setia Umbara
Yudhi Herwibowo
Yudi Latif
Yusri Fajar
Yusuf Ariel Hakim
Yuval Noah Harari
Zacky Khairul Uman
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zed Abidien
Zehan Zareez
Zhaenal Fanani
Zubaidi Khan
Zuniest
Tidak ada komentar:
Posting Komentar