Wita Lestari
Jurnal Nasional, 21 Juli 2013
Cak Nun merupakan sosok yang tak pernah membosankan untuk didengarkan. Cara pandang dan cara penyampaian gagasannya selalu unik.
MASIH dengan rambut gondrong ikal sebahunya, berkemeja putih lengan pendek dengan celana panjang abu-abu gelap, sosok Emha Ainun Nadjib atau dikenal dengan sapaan Cak Nun akhirnya muncul di ambang pintu ruangan buka puasa bersama di kantor IDI (Ikatan Dokter Indonesia), Jl Sam Ratulangi, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (12/7) sekitar pukul lima sore.
Sedari pukul 16.30 WIB petang itu pria bernama asli Muhammad Ainun Nadjib ini memang ditunggu-tunggu oleh hadirin. Penampilannya, seperti biasa, bersahaja. Dan, tentu saja, tidak kebarat-baratan ataupun kearab-araban. Beberapa waktu lalu dia pernah berkomentar di media bahwa penampilan dari kita sering kebarat-baratan atau kearab-araban.
Pria 60 tahun berjuluk Kiai Kanjeng ini dalam pembukaan orasinya mengatakan, tidak pernah bercita-cita jadi penceramah meski kerap diundang memberikan wejangan. Ia lalu mengemukakan keberatan-keberatannya disebut sebagai penceramah.
“Apalagi apa kaitan antara saya dengan IDI? Karena saya perokok mungkin gak cocok juga dengan IDI. Yang mengundang saya ke sini adalah anaknya Paman saya. Bapaknya beliau itu adiknya ayah saya,” kata laki-laki kelahiran Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953 ini mencoba menjelaskan mengapa dia sampai duduk di antara hadirin dari kalangan medis ini untuk berbicara.
“Nah, karena kalau telanjur ketemu kita harus berguna, sudah macet-macetan di jalan, ya jadi pertemuan kita ini harus ada gunanya,” kata suami artis Novia Kolopaking ini pada hadirin yang terdiri atas para dokter, istri/suami dokter, pegawai IDI, dan para jurnalis media.
Begitulah Cak Nun, yang selama ini kita kenal lebih mengedepankan esensi ketimbang basa-basi. Di surat undangan tertulis: tauziah oleh Emha Ainun Nadjib. “Dari terminologinya tausiah itu adalah omongan orang yang mau meninggal,” kata Cak Nun diiringi tawa hadirin. Jelas dia belum mau meninggal saat itu. “Tapi, karena panitia yang mengundang menyebutnya dengan kata “tauziah” (salah sebut-Red) yang tidak ada artinya ya jadi memang tidak apa-apalah kali ini saya menyampaikan pesan-pesan berguna menjelang buka puasa,” tutur budayawan yang perjalanan hidupnya banyak dipengaruhi oleh penyair/sufi Umbu Landu Paranggi ini.
Kehidupan multi-kesenian Cak Nun selama di Yogya bersinergi dan berkolaborasi dengan Halim HD. Waktu itu dia aktif di jaringan kesenian antara lain Sanggar Bambu dan Teater Dinasti. Dia menghasilkan repertoar juga pementasan drama antara lain Patung Kekasih (1989, tentang pengkultusan), Keajaiban Lik Par (1980, tentang eksploitasi rakyat oleh berbagai institusi modern), Mas Dukun (1982, tentang gagalnya lembaga kepemimpinan modern). Bersama Teater Salahudin, Cak Nun mementaskan Santri-Santri Khidhir tahun 1990 di lapangan Gontor dengan seluruh santri menjadi pemain, sedangkan 35.000 penonton di alun-alun madiun. Sedangkan Lautan Jilbab dipentaskan secara massal di Yogya, Surabaya, dan Makassar, pada tahun 1990.
Sejumlah buku puisi dan esai juga ditulis Cak Nun, antara lain Syair-syair Asmaul Husna (1994) dan Slilit Sang Kiai (1991) yang diterbitkan oleh Pustaka Utama Grafiti. Dalam buku Slilit Sang Kiai, Cak Nun berkisah tentang seorang kiai yang gagal masuk surga karena pernah mengambil serpihan bambu yang dijadikannya slilit (tusuk gigi, untuk mendongkrak sisa makanan yang nyangkut di sela gigi).
Kembali ke perkara puasa, menurut Cak Nun, puasa adalah urusan antara seorang hamba dengan Allah. Oleh karena itu, semestinya saat berbuka pun tak perlu diomong-omongkan, apalagi diadakan buka bersama. “Cuma di Indonesia saja yang ada acara buka bersama. Di luar negeri gak ada. Di Arab sekalipun gak ada. Tapi, kalau orang Indonesia tinggal di AS, ya… bikin buka bersama di sana. Rasulullah juga tidak pernah buka puasa bersama,” kata Cak Nun yang sempat juga menyoroti tema-tema puasa kita, “Kita ini memang tak pernah ‘naik kelas’, dari tahun ke tahun temanya sama.”
Dua Rumus
Lantas, apa hukumnya buka puasa bersama itu? Menurutnya, buka puasa bersama itu sama seperti tahlilan dan maulidan. Menurut Cak Nun, dalam beragama ada dua rumus. Pertama, Dari Langit ke Bumi, kamu lakukan saja apa yang diperintahkan Allah dan Rasulnya, contohnya salat lima waktu. Kedua, Dari Bumi ke Langit, kamu boleh lakukan apa saja kecuali yang dilarang. Nah, buka puasa bersama itu tidak ada larangannya, jadi rumusnya Dari Bumi ke Langit. Tahlilan juga tidak ada larangannya. “Kalau tahlilan bid’ah, maka yang lainnya juga bid’ah. Pakai loud speaker itu bid’ah karena itu cara Hitler untuk mengeraskan suaranya dulu semasa dia berkuasa,” kata pendiri komunitas Kenduri Cinta ini. Kenduri Cinta adalah sebuah forum silaturahmi budaya dan kemanusiaan yang dikemas sangat terbuka, nonpartisan, ringan, dan dibalut dalam gelar kesenian lintas gender, diadakan di Jakarta sebulan sekali sejak tahun 1990.
Bukan di Jakarta saja Cak Nun punya acara rutin bulanan. Di kota-kota lain dia juga punya agenda rutin bulanan, seperti Mocopat Syafaat di Yogyakarta, Padhangmbulan di Jombang, Gambang Syafaat di Semarang, Bangbang Wetan di Surabaya, Paparandang Ate di Mandar, Maiyah Baradah di Sidoarjo, Obro Ilahi di Malang, Hongkong, dan Bali.
Kembali ke soal bid’ah, menurut Cak Nun, orang sering bertengkar tentang hal-hal yang tidak dimengertinya semisal soal bid’ah itu. Ini bid’ah, itu bid’ah, sebentar-sebentar bid’ah. Padahal, selama tidak ada larangannya ya boleh-boleh saja. “Bikin band, buka bersama, bikin IDI, ya boleh. Meski kegiatan itu di luar syariah,” kata Cak Nun.
Namun, tidak berarti juga apa saja yang dilakukan oleh Rasulullah maka kita melakukannya juga dalam konteks sekarang ini. “Pergi haji naik onta misalnya, itu kan dilakukan oleh Rasulullah. Apa kita mau menirunya juga,” kata pria yang pernah dengan lantang meminta Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya saat pusaran arus perubahan kekuasaan 1998 dulu. Boleh dibilang Cak Nun adalah salah seorang tokoh reformasi. Namun, menurutnya, reformasi tidak berlangsung sukses di negeri ini.
Kembali ke soal puasa, menurut rumusan Cak Nun itu berarti Dari Langit ke Bumi. Itu perintah yang tidak bisa ditawar. Secara harfiah puasa itu adalah “menahan”. Kita menahan diri dari imsak hingga Magrib. “Nah, coba terminologi ‘menahan’ itu ditingkatkan dalam hal apa saja. Menahan diri dari korupsi misalnya,” katanya.
Puasa pada hakikatnya adalah rela tidak melakukan apa yang kita suka. Tidak mengambil yang kita suka. “Kita berhak mengambil, tapi tidak kita ambil, misalnya makan,” kata Cak Nun masih soal puasa. Kalau kita mau jujur, kata Cak Nun, sebenarnya kita tidak suka puasa, tapi hebatnya kita tetap puasa, mengapa?
“Mana yang nilainya lebih tinggi, makan getuk karena Anda suka getuk dengan minum obat (pahit) supaya Anda sembuh?” kata Cak Nun. Kira-kira puasa seperti itulah, kita tidak suka berpuasa tapi ikhlas melakukannya karena nilainya mulia.
“Kalau Anda menyukai puasa, Tuhan tidak kagum kok pada Anda. Tapi, kalau Anda tidak suka berpuasa, tapi ikhlas berpuasa untukNya, itulah yang dikagumiNya dari Anda,” kata penerima Penghargaan Satyalancana Kebudayaan 2010 dari Republik Indonesia ini sambil mengingatkan bahwa Ramadan mengingatkan kita untuk melakukan apa yang bermakna dalam hidup ini.
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2013/07/sosok-emha-ainun-nadjib-dari-langit-ke.html
Jurnal Nasional, 21 Juli 2013
Cak Nun merupakan sosok yang tak pernah membosankan untuk didengarkan. Cara pandang dan cara penyampaian gagasannya selalu unik.
MASIH dengan rambut gondrong ikal sebahunya, berkemeja putih lengan pendek dengan celana panjang abu-abu gelap, sosok Emha Ainun Nadjib atau dikenal dengan sapaan Cak Nun akhirnya muncul di ambang pintu ruangan buka puasa bersama di kantor IDI (Ikatan Dokter Indonesia), Jl Sam Ratulangi, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (12/7) sekitar pukul lima sore.
Sedari pukul 16.30 WIB petang itu pria bernama asli Muhammad Ainun Nadjib ini memang ditunggu-tunggu oleh hadirin. Penampilannya, seperti biasa, bersahaja. Dan, tentu saja, tidak kebarat-baratan ataupun kearab-araban. Beberapa waktu lalu dia pernah berkomentar di media bahwa penampilan dari kita sering kebarat-baratan atau kearab-araban.
Pria 60 tahun berjuluk Kiai Kanjeng ini dalam pembukaan orasinya mengatakan, tidak pernah bercita-cita jadi penceramah meski kerap diundang memberikan wejangan. Ia lalu mengemukakan keberatan-keberatannya disebut sebagai penceramah.
“Apalagi apa kaitan antara saya dengan IDI? Karena saya perokok mungkin gak cocok juga dengan IDI. Yang mengundang saya ke sini adalah anaknya Paman saya. Bapaknya beliau itu adiknya ayah saya,” kata laki-laki kelahiran Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953 ini mencoba menjelaskan mengapa dia sampai duduk di antara hadirin dari kalangan medis ini untuk berbicara.
“Nah, karena kalau telanjur ketemu kita harus berguna, sudah macet-macetan di jalan, ya jadi pertemuan kita ini harus ada gunanya,” kata suami artis Novia Kolopaking ini pada hadirin yang terdiri atas para dokter, istri/suami dokter, pegawai IDI, dan para jurnalis media.
Begitulah Cak Nun, yang selama ini kita kenal lebih mengedepankan esensi ketimbang basa-basi. Di surat undangan tertulis: tauziah oleh Emha Ainun Nadjib. “Dari terminologinya tausiah itu adalah omongan orang yang mau meninggal,” kata Cak Nun diiringi tawa hadirin. Jelas dia belum mau meninggal saat itu. “Tapi, karena panitia yang mengundang menyebutnya dengan kata “tauziah” (salah sebut-Red) yang tidak ada artinya ya jadi memang tidak apa-apalah kali ini saya menyampaikan pesan-pesan berguna menjelang buka puasa,” tutur budayawan yang perjalanan hidupnya banyak dipengaruhi oleh penyair/sufi Umbu Landu Paranggi ini.
Kehidupan multi-kesenian Cak Nun selama di Yogya bersinergi dan berkolaborasi dengan Halim HD. Waktu itu dia aktif di jaringan kesenian antara lain Sanggar Bambu dan Teater Dinasti. Dia menghasilkan repertoar juga pementasan drama antara lain Patung Kekasih (1989, tentang pengkultusan), Keajaiban Lik Par (1980, tentang eksploitasi rakyat oleh berbagai institusi modern), Mas Dukun (1982, tentang gagalnya lembaga kepemimpinan modern). Bersama Teater Salahudin, Cak Nun mementaskan Santri-Santri Khidhir tahun 1990 di lapangan Gontor dengan seluruh santri menjadi pemain, sedangkan 35.000 penonton di alun-alun madiun. Sedangkan Lautan Jilbab dipentaskan secara massal di Yogya, Surabaya, dan Makassar, pada tahun 1990.
Sejumlah buku puisi dan esai juga ditulis Cak Nun, antara lain Syair-syair Asmaul Husna (1994) dan Slilit Sang Kiai (1991) yang diterbitkan oleh Pustaka Utama Grafiti. Dalam buku Slilit Sang Kiai, Cak Nun berkisah tentang seorang kiai yang gagal masuk surga karena pernah mengambil serpihan bambu yang dijadikannya slilit (tusuk gigi, untuk mendongkrak sisa makanan yang nyangkut di sela gigi).
Kembali ke perkara puasa, menurut Cak Nun, puasa adalah urusan antara seorang hamba dengan Allah. Oleh karena itu, semestinya saat berbuka pun tak perlu diomong-omongkan, apalagi diadakan buka bersama. “Cuma di Indonesia saja yang ada acara buka bersama. Di luar negeri gak ada. Di Arab sekalipun gak ada. Tapi, kalau orang Indonesia tinggal di AS, ya… bikin buka bersama di sana. Rasulullah juga tidak pernah buka puasa bersama,” kata Cak Nun yang sempat juga menyoroti tema-tema puasa kita, “Kita ini memang tak pernah ‘naik kelas’, dari tahun ke tahun temanya sama.”
Dua Rumus
Lantas, apa hukumnya buka puasa bersama itu? Menurutnya, buka puasa bersama itu sama seperti tahlilan dan maulidan. Menurut Cak Nun, dalam beragama ada dua rumus. Pertama, Dari Langit ke Bumi, kamu lakukan saja apa yang diperintahkan Allah dan Rasulnya, contohnya salat lima waktu. Kedua, Dari Bumi ke Langit, kamu boleh lakukan apa saja kecuali yang dilarang. Nah, buka puasa bersama itu tidak ada larangannya, jadi rumusnya Dari Bumi ke Langit. Tahlilan juga tidak ada larangannya. “Kalau tahlilan bid’ah, maka yang lainnya juga bid’ah. Pakai loud speaker itu bid’ah karena itu cara Hitler untuk mengeraskan suaranya dulu semasa dia berkuasa,” kata pendiri komunitas Kenduri Cinta ini. Kenduri Cinta adalah sebuah forum silaturahmi budaya dan kemanusiaan yang dikemas sangat terbuka, nonpartisan, ringan, dan dibalut dalam gelar kesenian lintas gender, diadakan di Jakarta sebulan sekali sejak tahun 1990.
Bukan di Jakarta saja Cak Nun punya acara rutin bulanan. Di kota-kota lain dia juga punya agenda rutin bulanan, seperti Mocopat Syafaat di Yogyakarta, Padhangmbulan di Jombang, Gambang Syafaat di Semarang, Bangbang Wetan di Surabaya, Paparandang Ate di Mandar, Maiyah Baradah di Sidoarjo, Obro Ilahi di Malang, Hongkong, dan Bali.
Kembali ke soal bid’ah, menurut Cak Nun, orang sering bertengkar tentang hal-hal yang tidak dimengertinya semisal soal bid’ah itu. Ini bid’ah, itu bid’ah, sebentar-sebentar bid’ah. Padahal, selama tidak ada larangannya ya boleh-boleh saja. “Bikin band, buka bersama, bikin IDI, ya boleh. Meski kegiatan itu di luar syariah,” kata Cak Nun.
Namun, tidak berarti juga apa saja yang dilakukan oleh Rasulullah maka kita melakukannya juga dalam konteks sekarang ini. “Pergi haji naik onta misalnya, itu kan dilakukan oleh Rasulullah. Apa kita mau menirunya juga,” kata pria yang pernah dengan lantang meminta Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya saat pusaran arus perubahan kekuasaan 1998 dulu. Boleh dibilang Cak Nun adalah salah seorang tokoh reformasi. Namun, menurutnya, reformasi tidak berlangsung sukses di negeri ini.
Kembali ke soal puasa, menurut rumusan Cak Nun itu berarti Dari Langit ke Bumi. Itu perintah yang tidak bisa ditawar. Secara harfiah puasa itu adalah “menahan”. Kita menahan diri dari imsak hingga Magrib. “Nah, coba terminologi ‘menahan’ itu ditingkatkan dalam hal apa saja. Menahan diri dari korupsi misalnya,” katanya.
Puasa pada hakikatnya adalah rela tidak melakukan apa yang kita suka. Tidak mengambil yang kita suka. “Kita berhak mengambil, tapi tidak kita ambil, misalnya makan,” kata Cak Nun masih soal puasa. Kalau kita mau jujur, kata Cak Nun, sebenarnya kita tidak suka puasa, tapi hebatnya kita tetap puasa, mengapa?
“Mana yang nilainya lebih tinggi, makan getuk karena Anda suka getuk dengan minum obat (pahit) supaya Anda sembuh?” kata Cak Nun. Kira-kira puasa seperti itulah, kita tidak suka berpuasa tapi ikhlas melakukannya karena nilainya mulia.
“Kalau Anda menyukai puasa, Tuhan tidak kagum kok pada Anda. Tapi, kalau Anda tidak suka berpuasa, tapi ikhlas berpuasa untukNya, itulah yang dikagumiNya dari Anda,” kata penerima Penghargaan Satyalancana Kebudayaan 2010 dari Republik Indonesia ini sambil mengingatkan bahwa Ramadan mengingatkan kita untuk melakukan apa yang bermakna dalam hidup ini.
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2013/07/sosok-emha-ainun-nadjib-dari-langit-ke.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar