Misbahus Surur
sastra-indonesia.com
Ada dua model belajar di pondok selama yang saya alami dahulu. Seingat saya dan yang paling terkesan kala itu adalah kentalnya hafalan di berbagai mata pelajaran yang nyaris menyiksa, dan kajian kitab dari berbagai wacana pengetahuan agama dengan teknik memberi syarh menggunakan huruf Pegon alias makna gandhul dengan bahasa Jawa.
Mbah Kyai membacakan makna (syarh) dari isi kitab tertentu, sementara para santri—sembari duduk di lantai, klesotan dan ada pula yang tengkurap—mendengarkan dengan seksama keterangan seorang Kyai sambil mencatatnya (memberi makna gandhul) pada kitab yang sedang dikaji. Di sini, ada sebagian Kyai yang cukup telaten, di samping memaknai juga memberi penjelasan dan uraian mendetail, namun sebagian yang lain cukup dengan secara formal membaca, dan santri mencatat makna-makna (memberi syarh) kitab dengan huruf Pegon, yang secara mayor—sebagaimana yang juga saya lakukan—menggunakan khat riq’i.
Saat belajar di pondok dulu, seingat saya, belajarnya terjadwal secara padat. Saya masih ingat pembagiannya sudah dimulai sejak sehabis subuh: pertama dengan ngaji weton (ngaji komunal) hingga sekitar jam 6 pagi, dan sementara jam 7 hingga sekitar jam 2 siang adalah jadwal untuk sekolah formal/reguler. Pulang sekolah, santri beristirahat sembari menunggu asar, yang kadang diisi dengan bermain sepak bola atau mencuci pakaian. Sehabis asar, santri dijadwal lagi mengaji weton hingga mendekati maghrib. Sehabis magrib adalah waktunya santri untuk belajar di sekolah diniyah hingga mendekati isya. Sehabis isya, santri di-sunah-kan mengikuti ngaji weton lagi, meski sebagian santri juga menyibukkan diri dengan belajar berbagai pelajaran di sekolah formal pagi. Kegiatan santri tidak berhenti di situ, sebab pada setiap sore di hari Jumat, para santri masih di-ajeg-kan untuk berziarah kubur ke makam-makam kyai (para pendiri pesantren) yang berada persis di barat masjid pondok. Dan sementara pada malam harinya di hari yang sama, tepatnya sehabis isya, para santri diwajibkan mengikuti kegiatan dibaiyah sholawatan (barzanji). Di samping, pada hari-hari tertentu dalam seminggu terdapat hari khusus untuk kegiatan ber-muhadharah (berlatih pidato dalam berbagai bahasa) yang—sekali lagi—diwajibkan untuk semua santri yang bermukim di pondok. Nah, kegiatan mengaji kitab santri tersebut akan meningkat ketika tiba bulan Ramadhan. Sebab, hampir setiap habis sholat lima waktu, kegiatan para santri difokuskan secara penuh-padat untuk mengaji kitab kuning. Apalagi karena kitab-kitab itu sudah harus khatam sebelum bulan Ramadhan disudahi Hari Raya.
Adapun kitab-kitab yang dikaji-ajarkan di pondok dulu adalah kitab-kitab yang berkaitan dengan ilmu fiqih, ilmu alat (bahasa) dan ilmu akhlak, yang paling dominan untuk satu-dua tahun pertama. Sementara kitab-kitab dalam babakan etika (akhlak) yang berkelindan dengan babakan aqidah dan tasawuf, kian intensif dikaji kelak oleh para santri senior. Biasanya dalam babakan akhlak dan tauhid kitabnya satu jenis; karena kedua bidang ini memang kerap beririsan di awal diajarkan untuk santri. Kitab Aj-Jurumiyah karangan Syech Sonhaji misalnya adalah kitab alat pertama yang seingat saya, paling sering dipakai untuk belajar ilmu bahasa (tata-bahasa) dan sekaligus digunakan untuk belajar memaknai (mempraktikkan membaca kitab gundul berbahasa Arab dengan terjemah bahasa Jawa khas pesantren). Sementara di sekolah formal/reguler pagi, cukup menggunakan kitab Nahwu Wadhih 1, 2 hingga 3. Kitab At-Tarqib (Fathul Qorib) karangan Al-Qodhi Abu Syuja’ Ahmad bin Husain bin Ahmad Al-Ashfahaniy adalah kitab yang dipakai untuk mengkaji fiqih (hukum), selain dibaca dan kaji, biasanya juga dipakai santri untuk berlatih membaca kitab gundhul. Untuk kitab akhlak/etika tentu saja menggunakan kitab Ta’limul Muta’alim sebagai rujukannya, yang di samping mendapat materinya di pondok, juga diulang-kaji di sekolah formal pagi. Sepertinya, ingatan mengaji ketiga kitab dasar(an) di atas, khususnya bagi saya, adalah yang paling berkesan dan meninggalkan ingatan yang cukup mendalam dibanding kitab-kitab pesantren yang lain. Dan nyatanya memang ketiga kitab tersebut hampir selalu dibacakan. Tentu saja ketiga kitab ini juga paling banyak saya punya daripada kitab-kitab yang lain. Dipastikan hampir tiap tahun, ketiga kitab itu mesti dibeli versi barunya, oleh karena kitab-kitab yang lama—sebagai akibat seringnya dipakai ngaji wetonan—padat dengan makna gandhul, meski belum tentu mampu membacanya.
Selain kitab termasyhur versi saya di atas, para santri juga mengaji beberapa kitab dasaran lain dari berbagai bidang. Sedikitnya seperti Qomiut Thugyan, Usfuriyyah, dua kitab ini adalah kita seputar akhlak yang beririsan dengan kajian-kajian fiqih dan tauhid. Cukup banyak cerita dan riwayat-riwayat unik di kedua kitab tersebut dan cukup menarik kalau dicermati saat sekarang. Kelak ngaji babakan fiqih pun tidak cuma berhenti di Fatkhul Qorib, tapi juga berlanjut ke kitab pertengahan seperti Fathul Muin, dan seterusnya. Selain itu, dulu di pondok cukup sering juga mengaji kitab-kitab tafsir Al-quran maupun kitab-kitab hadist, seperti sedikitnya Tafsir Jalalain, Tafsir surat Fatihah, Tafsir Surat Yasin dan Bulughul Maram. Kitab-kitab alat pun tidak berhenti di Aj-Jurumiyah, tapi juga meningkat ke Nadham Imritiy dan kajian bait-bait kitab Alfiyah karangan Ibn Malik yang fenomenal itu. Dua kitab alat terakhir, kalau diperhatikan sekarang adalah kajian dalam tataran yang bukan sekadar tata bahasa (qawaid), melainkan sudah setingkat wacana kebahasaan (linguistik). Karena di dalam, baik kitab Imrity maupun Alfiyah, secara mayor santri belajar ihwal pendapat sekian ulama nahwu dan shorof mengenai seluk-beluk kebahasaan, lingkup balaghoh juga analisis kebahasaan yang beraneka. Kajian tauhid sebagai dasarannya, di antaranya santri mengaji kitab Kifayatul Awam. Kelak semakin ke belakang, kitab-kitab yang dikaji di pondok sudah berdasarkan disiplin-disiplin keilmuan tertentu dengan kitab yang sudah beragam.
Saya rasa saat di pondok, selain kitab fiqih dan alat (bahasa), kitab-kitab akhlak (etika) pada akhirnya—terlebih saat di pondok sudah lebih dari dua atau tiga tahun—adalah kitab-kitab yang paling sering dikaji oleh santri-santri lawas. Kitab-kitab akhlak (tasawwuf) adalah kitab yang paling dominan dikaji, di samping kitab tauhid (ushuluddin). Kita lihat saja, selain Usfuriyah, Qomiut Thugyan, kifayatul Atqiyak (tasawuf), kitab-kitab akhlak meningkat dengan dikajinya kitab-kitab seperti Bidayatul Hidayah (masih kitab dasar), meningkat lagi ke kitab Al-Hikam, Ihya Ulumuddin sedikit di antaranya adalah kitab-kitab yang paling favorit dibaca-kaji saat di pondok itu. Kitab-kitab fiqih juga sudah mulai beragam, tak hanya Fathul Qorib tapi juga berlanjut ke kitab dasaran yang lain seperti Sullam at Taufiq, Safinatun Naja, Sullam al Munajah (karangan Syech Nawawi Al-Bantani di bidang fiqh) juga Uqud Lujain dan Kasyifatus Saja. Di ranah tauhid, selain Tijan Darary, ada Al-Hikam tadi, Qathr Ghais (tauhid), Simtu Adzurar, Kitab Dasuqi, Bidayatul Mujtahid (kitab Fiqh-nya Ibn Rusyd). Maka, di sini, sebetulnya pengajaran dan pembelajaran di pesantren sangat sejalan bagi pemenuhan pembelajaran kemantapan iman dalam Islam yang di antaranya berkait dengan penguatan aqidah, pembelajaran etika juga pembelajaran ibadah atau ber-syariat (amaliyah kita sehari-hari).
Kita tahu, pendidikan pesantren adalah model pendidikan yang paling memasyarakat di Indonesia, sebelum kelak diperkenalkan pendidikan modern oleh Belanda. Setidaknya, sejak permulaan abad ke-19, atau jauh sebelum itu, pondok pesantren bisa dibilang satu-satunya lembaga pendidikan yang paling banyak dikenal masyarakat. Dahulu pesantren-pesantren itu adalah salah satunya dirintis oleh para prajurit Diponegoro pasca Perang Jawa. Sedikitnya, sebagai contoh, di beberapa tempat di Trenggalek, ada sekian tempat yang pada awalnya dijadikan lokasi berdirinya masjid di tengah masyarakat yang masih menganut agama Hindu-Budha, sebelum kemudian turut pula didirikan pondok di samping masjid yang dirintis oleh bekas prajurit Diponegoro tersebut. Bahkan pada permulaan abad ke-19 itu—sebagaimana dicatat oleh Steenbrink (1984)—para santri dari pondok pesantren banyak memelopori pengolahan tanah-tanah kosong untuk pertanian dan bahkan memioneri gerakan transmigrasi. Santri-santri yang mengaji di rumah seorang kyai atau guru-guru mereka, mengupah pengajaran untuk guru-kyainya dengan bekerja secara cuma-cuma di sawah-sawah milik gurunya (kyai). Dari situ, kemudian disinyalir pesantren-pesantren baru dibuka dan bertumbuh, oleh—salah satunya—tujuan mempersiapkan tanah baru: membuka tempat baru untuk pertanian.
Secara jamak, pesantren merupakan—selain tempat menggembleng diri dengan ilmu agama dan sosial-kemasyarakatan—juga menjadi tempat belajar para santri bagaimana hidup secara mandiri, belajar mengembangkan ketrampilan atau skill santri. Pesantren-pesantren ini dari zaman dulu telah memberikan gambaran yang cukup representatif: bagaimana mengajar lebih ke suatu contoh konkrit tentang suasana hidup yang cukup baik di lingkungan pesantren, yang sengaja diciptakan sebagaimana gambaran prototipe atau pola bagi suatu masyarakat kecil. Sedikitnya di sana, terdapat seorang lurah pondok dan warga pondok. Ada bagian keamanan dan seterusnya, yang secara khusus menggembleng santri menjadi anggota masyarakat pondok dengan peran masing-masing. Dari situ, para santri dididik di pondok selain untuk mengaji ilmu, sebetulnya juga dengan sengaja dipersiapkan untuk ”hidup” di masyarakat. Di samping hidup di pesantren yang nota bene berlokasi di pedesaan, khususnya sesuai pengalaman saya di Joresan, santri punya ikatan yang baik dan kental dengan masyarakat sekitar pondok. Hubungan itu dijaga seolah-olah masyarakat sekitar turut memiliki pesantren, dan sementara santri juga merasa bahwa masyarakat setempat adalah bagian yang tak terpisahkan dengan (kultur) santri dan pesantren sendiri.
Semasa saya pertama mondok dulu di area pondok benar-benar saya sempat melihat dan memasuki kamar-kamar santri sepuh yang berupa pondokan: mereka membuat kamar atau rumah-rumahan panggung dengan atap dari pelepah-pelepah ijuk dan papan-tembok dari bilah-bilah bambu dan kayu dengan beberapa modifikasi almari yang berada di dalamnya. Di samping beberapa rumah panggung itu, terdapat musholla cukup tua yang di sekitarnya dibuat kamar-kamar oleh para santri. Meski ketika saya mondok, saya sudah terhitung—sebagaimana generasi se-angkatan saya saat itu tahun 1997—telah berada di asrama meski secara kultur tidak se-modern seperti sekarang. Bukankah istilah pondok sendiri yang disinyalir berasal dari kata Arab funduq berarti semacam tempat tinggal yang terbuat dari bambu. Bahkan dari beberapa literatur yang saya baca, istilah pondok alias model tempat tinggal dari bambu yang berupa rumah panggung semacam genjot itu adalah kultur khas Nusantara dari semenjak masa-masa Hindu-Budha dulu. Di sinilah saya kira Islam dengan baik mampu ber-akulturasi dengan budaya lokal—atau yang biasa dalam ushul fiqh disebut urf (tradisi atau budaya lokal)—secara arif dan adaptif, dengan tetap mempertahankan tradisi tempat tinggal bagi pendidikan keagamaan yang yang telah ada: khas Nusantara. Tidak berniat menghilangkan sama sekali, tapi meleburnya sebagai bagian dari, salah satunya, teknik memperkaya tradisi. Di zaman Hindu-Budha kita mengenal istilah mandala atau karsyan (situs pertapaan dan pendidikan ajaran agama) dari masa lampau. Selain tempat tinggal santri yang di-asimilasi sedemikian rupa, kalau kita perhatikan tata cara mengajar sistem wetonan atau bandongan itu juga tidak jauh dari model yang berkembang di Nusantara pada masa Hindu-Budha tersebut.
Kelak kedatangan kolonialis Belanda yang membawa perubahan, tidak hanya di sektor administrasi pemerintahan, tapi juga di segala bidang termasuk ranah pendidikan, dengan diperkenalkannya pendidikan yang berbeda dari yang selama ini dipakai pesantren: yang mulai diperkenalkannya sistem pendidikan modern, yang kemudian hari memunculkan kekagetan: dikotomi baru tentang bagaimana pelajaran agama dikaji dalam cara pandang modern, sementara di sisi lain, sebagaian besar masyarakat masih kuat berpegang pada—menerapkan sistem—pendidikan tradisionalis-klasik yang pelaksanaannya sebagaimana sejak dulu bisa kita saksikan di pondok-pondok pesantren salaf tersebut. Di masa kini, selain sistem pendidikan modernis yang dulu dipelopori Muhammadiyah, pendidikan modern yang paling terkini pun adalah sistem pendidikan yang selalu berhadap-hadapan alias bersifat oposan dengan sistem pendidikan tradisional ini. Kendati sebetulnya masing-masing model ini selalu bisa dikonvergensi.
Saya ambil contoh, ihwal perkembangan Islam di Trenggalek sangat dipengaruhi oleh didirikannya masjid dan tumbuhnya pondok untuk belajar agama Islam. Kemunculan tokoh yang mulai mendirikan masjid dan pondok—yang merupakan dua elemen dasar pondok pesantren—itu sedikitnya seperti Mbah Nur Jalifah. Tokoh ini sebagai dicatat Team Sejarah Trenggalek (1983: hlm. 50) sempat merintis mendirikan pondok salaf di Trenggalek. Mbah Nur Jalifah nota bene adalah salah seorang bekas prajurit Untung Suropati yang lari ke daerah Trenggalek pasca gugurnya Untung Suropati. Kelak, pasca Perang Jawa atau Perang Diponegoro, para prajurit Pangeran Diponegoro sebagian juga ada yang lari menuju timur dan menetap di Trenggalek. Prajurit-prajurit itu kemudian banyak yang mendirikan masjid dan pondok. Pondok-pondok tersebut antara lain adalah pondok pesantren Karanggayam, didirikan oleh seorang Mubalig, yang merupakan putra dari seorang prajurit Diponegoro. Pesantren ini berdiri di era Bupati Mangunnegoro I. Bahkan ia sempat diangkat oleh bupati menjadi hakim Agama Islam. Meski pada masa Bupati Mangundiredjo masjid di pondok Karanggayam ini kemudian baru dibangun yakni sekitar tahun 1861 M.
Di daerah Parakan juga sempat pernah terdapat pondok pesantren yang didirikan oleh Kyai Mesir. Ia adalah putra dari Kyai Yahuda yang merupakan pendiri pesantren Lorok di Pacitan. Dari Parakan Kyai Mesir kemudian sempat pindah ke Durenan dan juga mendirikan pondok pesantren di sana. Bupati Mangunnegoro I saat itu bahkan sempat mengangkat Kyai Mesir sebagai naib pertama di Durenan. Kemudian pada awal abad ke-20, pondok-pondok di Trenggalek (Team Sejarah Kabupaten Trenggalek, 1983: hlm. 51) kian berkembang hingga muncul banyak pesantren seperti pondok Sumbergayam di Sumbergedong, Trenggalek. Lalu pondok Keningaran di Surodakan, Trenggalek. Pondok Gondang di Kecamatan Tugu; pondok Jonegaran di Ngantru; pondok Desa Karangan; pondok di Sukorame, Gandusari; pondok Sumbergayam; pondok Kedung Lurah di Pogalan dan pondok Kebun Agung di Kecamatan Panggul.
Dalam penuturan sastra Jawa klasik mengenai kemunculan pesantren itu memang segendang sepenarian dengan semacam kisah yang dituturkan dalam sedikitnya Serat Centini, Serat Cabolek. Dalam tuturan dua karya sastra ini, paling tidak sejak permulaan abad ke-16 telah banyak pesantren masyhur yang menjadi pusat-pusat pendidikan Islam. Pesantren-pesantren tersebut mengajarkan berbagai pengetahuan Islam di berbagai bidang seperti jurisprudensi, teologi dan tasawuf.
Ketika memasuki bulan Ramadhan, betapa saya selalu rindu untuk duduk mengaji mendengarkan uraian dan penjelasan seorang kyai lagi. Saya kangen ikut mengaji kilatan saat Ramadhan. Kerinduan itu sering kambuh setiap bulan puasa tiba. Dan ketika bulan Ramadhan sudah sampai pada detik-detik terakhirnya, keinginan ikut ngaji kitab lagi itu pun luntur ditelan aktivitas lain. Saya ingat pada saat mondok satu-dua tahun dulu, pada saat mengaji mengikuti beberapa kitab yang berulangkali dibaca semisal kitab Taqrib, Jurumiyah atau Bidayatul Hidayah, saya ingat betapa saya selalu tertarik dengan cover-cover kitab terbitan Beirut yang dari sisi estetika lebih menarik dipandang ketimbang cover-cover kitab dari percetakan lokal. Itu mungkin salah satu dari sedikit keisengan sewaktu mondok: pilah-pilih kitab dari desain cover yang lebih estetis, dan tak mau membeli kitab yang desain covernya buruk lagi tak menarik bagi mata.
Terakhir, tahun ini ada sebuah novel yang sangat baik dalam memanfaatkan ranah tradisi keagamaan, konflik sosial-budaya yang dilatari agama, tentang keseharian di pedesaan pada masa lampau, tak ketinggalan seluk beluk sejarah desa dan lokalitasnya ikut tergarap sebagai latar atau persoalan yang diangkat. Terselip pula mengenai dunia pesantren yang akrab dengan pedesaan dan beberapa nama kitab yang sempat saya akrabi, juga disebut di lembar-lembar novel itu. Novel ini sekali lagi mengingatkan saya akan kehidupan di pondok dulu. Novel tersebut adalah pemenang pertama sayembara novel DKJ tahun 2014 kemarin, berjudul Kambing & Hujan (Bentang, Yogyakarta: 2015) karangan Mahfud Ikhwan. Saya ingat 9 tahun lalu saya pernah membaca novel atau roman dengan latar pesantren karya senior saya di Madrasah Al-Islam, Joresan, Ponorogo, berjudul Love in Pesantren (Matapena, Yogyakarta: 2006). Membaca halaman-halaman novel Kambing & Hujan, mengingatkan saya pada novel Shachree M. Daroini, senior saya itu. Dan sekaligus mengingatkan saya pada hari-hari ketika saya masih mondok dan belajar di Joresan dulu. Selamat Hari Santri 22 Oktober.
*) Santri pondok pesantren Darul Hikam, Joresan, Ponorogo (1997-2003) asal Trenggalek.
Malang, Juli 2015
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Senin, 07 Desember 2015
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Ginandjar Wiludjeng
A. Junianto
A. Kurnia
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.S Laksana
A’yat Khalili
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Razak
Abdul Rosyid
Abdul Wahab
Abdurrahman Wahid
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adam Chiefni
Ade P. Nasution
Adhitia Armitriant
Adi Prasetyo
Adrizas
AF. Tuasikal
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Baso
Ahmad Faishal
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Naufel
Ahmad Rofiq
Ahmad S. Zahari
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ainul Fiah
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Alex R. Nainggolan
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Almania Rohmah
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aminah
Aminullah HA.Noor
Amir Sutaarga
Anam Rahus
Anata Siregar
Andari Karina Anom
Andina Dwifatma
Andong Buku #3
Andre Mediansyah
Andri Awan
Anett Tapai
Anggie Melianna
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Wahyudi
Anwar Nuris
Ardi Bramantyo
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Joko Wicaksono
Arief Junianto
Ariera
Arif Bagus Prasetyo
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Asmaul Fauziyah
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Wulan Sari
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Camelia Mafaza
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Daisuke Miyoshi
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Danusantoso
Dareen Tatour
Darju Prasetya
David Kuncara
Denny Mizhar
Denza Perdana
Desi Sommalia Gustina
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewi Indah Sari
Dewi Susme
Dian Sukarno
Didik Harianto
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur
Dipo Handoko
Diyah Errita Damayanti
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddy Wisnu Pribadi
Dody Kristianto
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi SS MHum
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Wiyana
Dyah Ratna Meta Novia
Dyah Sulistyorini
Ecep Heryadi
Eddy Pranata PNP
Edeng Syamsul Ma’arif
Eep Saefulloh Fatah
EH Kartanegara
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Hendri Saiful
Eko Windarto
Elnisya Mahendra
Elva Lestary
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Sulwesi
Endo Suanda
Eppril Wulaningtyas R
Esai
Evan Ys
F. Moses
F. Rahardi
Fadlillah Malin Sutan
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Febby Fortinella Rusmoyo
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Gabriel Garcia Marquez
Galang Ari P.
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Ganug Nugroho Adi
Gerson Poyk
Ghassan Kanafani
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunoto Saparie
H.B. Jassin
Habibullah
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Hardi
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
HE. Benyamine
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Herman RN
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Nugroho
Hikmat Gumelar
HL Renjis Magalah
Hudan Nur
Hujuala Rika Ayu
Huminca Sinaga
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ira Puspitaningsih
Irfan Budiman
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Zulkarnain
Ismail Marzuki
Iva Titin Shovia
Iwan Kurniawan
Jabbar Abdullah
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D. Rahman
Jamal T. Suryanata
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
JILFest 2008
Jody Setiawan
Johan Edy Raharjo
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Juan Kromen
Julika Hasanah
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Ka’bati
Karanggeneng
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Keith Foulcher
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khoirul Inayah
Khoirul Rosyadi
Khudori Husnan
Ki Ompong Sudarsono
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
L.N. Idayanie
Laili Rahmawati
Lamongan
Lan Fang
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lucia Idayanie
Lukman A Sya
Lutfiah
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Ismail
M Thobroni
M. Afifuddin
M. Arwan Hamidi
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Luthfi Aziz
M. Nurdin
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.S. Nugroho
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahmud Syaltut Usfa
Mahmudi Arif Dahlan
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Martin Aleida
Maruli Tobing
Mas Ruscita
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni Muserang
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mia Arista
Mia El Zahra
Mikael Johani
Misbahus Surur
Misran
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
Much. Khoiri
Muh. Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun
Muhammadun AS
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mukti Sutarman Espe
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Munawir Aziz
Musfarayani
Musfi Efrizal
Nafisatul Husniah
Nandang Darana
Naskah Teater
Nelson Alwi
Ni Made Purnamasari
Nikmatus Sholikhah
Nina Herlina Lubis
Nina Susilo
Ning Elia
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel-novel berbahasa Jawa
Novelet
Nunuy Nurhayati
Nur Azizah
Nur Hamzah
Nur Kholiq
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Aini
Nurul Anam
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Okty Budiati
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso H.N.
Pagan Press
Pagelaran Musim Tandur
Palupi Panca Astuti
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Petrus Nandi
Politik
Politik Sastra
Pradana Boy ZTF
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringadi AS
Prof Dr Fabiola D. Kurnia
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Puji Tyasari
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
Purnawan Kristanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Ng. Ronggowarsito
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmat Kemat Hidayatullah
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rasanrasan Boengaketji
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Resensi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Ririe Rengganis
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rusmanadi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saiful Amin Ghofur
Saiful Anam
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman S. Yoga
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang KSII
Santi Puji Rahayu
Sapardi Djoko Damono
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Jawa Timur
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputra
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sri Weni
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugi Lanus
Sukron Ma’mun
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaf Anton Wr
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syarif Wadja Bae
Sylvianita Widyawati
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie (1961-2019)
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tia Setiadi
Tirto Suwondo
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tosa Poetra
Tri Nurdianingsih
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulul Azmiyati
Umar Fauzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Utari Tri Prestianti
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wan Anwar
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wina Bojonegoro
Wita Lestari
Wong Wing King
Wowok Hesti Prabowo
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopi Setia Umbara
Yudhi Herwibowo
Yudi Latif
Yusri Fajar
Yusuf Ariel Hakim
Yuval Noah Harari
Zacky Khairul Uman
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zed Abidien
Zehan Zareez
Zhaenal Fanani
Zubaidi Khan
Zuniest
Tidak ada komentar:
Posting Komentar