Mulyadi SA
www.indospiritual.com
Nama Raden Ngabehi Ronggowarsito memang sudah tidak asing lagi. Dia adalah seorang pejangga keraton Solo yang hidup pada 1802-1873. Tepatnya lahir hari Senin Legi 15 Maret 1802, dan wafat 15 Desember 1873, pada hari Rabu Pon. Pujangga yang dibesarkan di lingkungan kraton Surakarta ini namanya terkenal karena dialah yang menggubah Jangka Jayabaya yang tersohor hingga ke mancanegara itu. Hingga sekarang kitab ramalan ini masih menimbulkan kontroversi.
R. Ng. Ronggowarsito adalah bangsawan keturunan Pajang, dengan silsilah sebagai berikut:
- P. Hadiwijoyo (Joko Tingkir)
- P. Benowo, putera Emas (Panembahan Radin)
- P. Haryo Wiromenggolo (Kajoran)
- P. Adipati Wiromenggolo (Cengkalsewu)
- P.A. Danuupoyo, KRT Padmonegoro (Bupati Pekalongan)
- R.Ng. Yosodipuro (Pujangga keraton Solo)
R.Ng. Yosodipuro alias Bagus Burham adalah R.Ng.Ronggowarsito yang kita kenal. Semasa kecil hingga remaja dia memang lebih dikenal dengan nama Bagus Burhan, dan pernah menuntut ilmu di Pesantren Tegalsari atau Gebang Tinatar.
Dari jalur ibundanya, R.Ng.Ronggowarsito merupakan seorang bangsawan berdarah Demak, dengan silsilah sebagai berikut:
- R. Trenggono (Sultan Demak ke III)
- R.A. Mangkurat
- R.T. Sujonoputero (Pujangga keraton Pajang)
- K.A. Wongsotruno
- K.A. Noyomenggolo (Demang Palar)
- R. Ng. Surodirjo I
- R.Ng. Ronggowarsito/Bagus Burham.
Karena ayahandanya wafat sewaktu sang pujangga belum cukup dewasa, Bagus Burhan kemudian ikut dengan kakeknya, yaitu R. Tumenggung Sastronegoro, yang juga seorang bangsawan keraton Solo.
Dikisahkan, pada saat dirawat oleh kakeknya inilah Bagus Burhan hidup dengan penuh kemanjaan, sehingga bakatnya sebagai seorang pujangga sama sekali belum terlihat. Bahkan, kesukaannya di masa muda adalah sering menyabung jago, dan bertaruh uang. Bermacam-macam kesukaan yang menghambur-hamburkan uang seakan menjadi cirri khasnya kala itu.
Namun demikian sang kakek, R. Tumenggung Sastronegoro, telah meramalkan kalau nanti cucu kinasihnya ini akan menjadi seorang pembesar setaraf dengan kakek buyutnya. Untuk mewujudkan ramalannya ini, sang kakek kemudian menitipkan Bagus Burhan ke Kyai Imam Bestari pemilik pondok pesantren Gebang Tinatar di Tegalsari, Ponorogo.
Pada saat di pesantren, kebengalan Bagus Burhan semakin menjadi. Hal ini membuat Kyai Imam Bestari kewalahan. Kesukaannya bertaruh dan berjudi sabung ayam tidak kunjung luntur. Karena kebiasaan buruknya ini, maka sering kali bekal yang dibawanya dari Solo habis tak karuan di arena judi sabung ayam.
Karena kenakalannya, setelah setahun berguru, tak ada kemajuan sama sekali. Oleh karena itulah Kyai Imam Bestari memintanya agar pulang ke Solo. Sang Kyai merasa tak sanggup untuk mengajarnya ilmu-ilmu keagamaan.
Wibawa Kyai Imam Bestari membuat Bagus Burhan tak kuasa untuk menolak titahnya. Namun, dia menghadapi dilema. Kalau dirinya pulang ke Solo, kakeknya pasti akan marah besar.
Karena takut pada murka kakeknya inilah, maka bersama dengan Ki Tanujoyo pamomongnya, Bagus Burhan memutuskan untuk tidak pulang ke Solo. Dia memilih berguru ke Kediri.
Dikisahkan, dalam perjalanan menuju Kediri, Bagus Burhan dan Ki Tanujoyo tersesat di sebuah hutan. Karena hingga tiga hari tiga malam tak menjumpai rumah penduduk, maka selama itu pula mereka tak makan dan tak minum. Karena kelaparan, Bagus Buhan yang biasa hidup enak dan serba kecukupan akhirnya pingsan.
Sementa itu, di tempat lain, yakni di padepokan Kyai Imam Bestari, sang Kyai memperoleh wangsit yang memberikan pertanda bahwa Ponorogo akan dilanda kelaparan. Dalam wangsit itu dikatakan bahwa bencana kelaparan ini akan tertolong bila Bagus Burhan yang telah pergi jauh itu mau diajak kembali ke Ponorogo.
Demi mendapatkan isyaroh ini, sebagai seorang linuwih, Kyai Imam Bestari langsung mengirim utusan untuk menjemput kembali bocah Bengal itu ke Solo. Celakanya, menurut laporan yang diperoleh, para utusan itu tidak mendapatkan Bagus Burhan di Solo. Bahkan, anak itu belum juga sampai ke rumah kakeknya.
Setelah mendapatkan laporan itu, Kyai Imam Bestari bermunajat kepada Allah untuk meminta petunjukNya. Singkat cerita, Bagus Burhan memang berhasil diketemukan. Bocah ini pun tidak menolak ketika diajak kembali ke padepokan, karena ini memang harapannya agar tidak mendapatkan murka dari sang kakek.
Saat menetap kembali di pesantren Gebang Tinatar, Tegalsari, Ponorogo. Perilaku Bagus Burhan ternyata tak kunjung berubah. Tetap suka berboros-boros dengan bertaruh dan berjudi sabung ayam. Hal ini sangat mengecewakan Kyai Imam Bestari. Karena tak tak tahan melihat kelakukan santrinya, maka suatu hari sang Kyai memarahi Bagus Burhan dengan kata-kata yang sangat menusuk perasaan si anak muda.
Mendapatkan kemarahan hebat dari Kyai Imam Bestari, Bagus Burhan berniat segera hengkang dari pesantren. Untunglah, dalam kondisi seperti iini Ki Tanujoyo segera mengambil peranan. Dia berusaha tampil menolong keadaan, dengan cara membesarkan hati Raden Bagus Burhan.
"Raden ini bukan keturunan orang kebanyakan. Leluhur Raden adalah bangsawan keraton yang hebat. Untuk diketahui, itu semua bukan dicapai dengan hidup enak-enak. Akan tetapi, dicapai dengan cara laku prihatin, tirakat, mesu budi dan patiraga. Apakah Raden tidak ingin seperti mereka?""
Mendengar perkataan Ki Tanujoyo seperti itu, akhirnya bangkitlah semangat Raden Bagus. Dia pun mencoba tetap bertahan di pesantren Gebang Tinatar di Tegalsari, Ponorogo. Sampai suatu ketika, dirinya minta diantar ke kali Kedhung Batu untuk menjalani tirakat, sebagaimana yang pernah ditempuh oleh para leluhurnya.
Berkat kekerasan hati dan ketekunannya, maka setelah menjalani tirakat selama 40 hari 40 malam di kedung Watu, tanpa makan dan minum, kecuali sesisir pisang setiap harinya, akhirnya ada hasil yang dia peroleh. Dari tirakatnya ini Raden Bgus memperoleh wisik, yakni ditemui eyang buyutnya, R.Ng.Yosodipuro I. Dia diminta menengadahkan telinganya, dan gaib sang kakek buyutnya kemudian masuk kedalamnya.
Ada kisah lain yang tak kalah aneh. Konon, Ki Tanujoyo yang menemaninya dipinggir kali, sewaktu menyiapkan nasi untuk buka saat tirakat menginjak hari kw 40, orang tua ini melihat ada sinar masuk ke dalam kendilnya, yang ternyata berupa ikan untuk lauk sang Bagus berbuka puasa.
Semenjak usai menjalani tirakat ini, pribadi Raden Bagus Burhan pun berubah 180 derajat. Kebengalannya berubah menjadi sikap yang sangat patuh. Tak hanya itu, kalau pada awalnya dia santri yang bebal, akhirnya berubah menjadi santri yang cepat menerima pelajaran yang diberikan oleh Kyai Imam Bestari. Dia juga memiliki kelebihan dalam hal mengaji dan berdakwah, sehingga jauh lebih menonjol dibandingkan santri-santri lainnya. Karena kecerdasannya ini, Bagus Burhan memperoleh sebutan baru dari Kyai Imam Bestari, yakni Mas Ilham.
Misteri Kematian Sang Pujangga
Pada akhir sekitar rentang 1979, kematian R.Ng. Ronggowarsito alias Bagus Burham memang sempat menjadi bahan polemik. Pokok pangkal polemik tersebut adalah sekitar kematian Ronggowarsito yang telah diketahui sebelumnya oleh dirinya sendiri. Ya, delapan hari sebelum ajal menjemputnya sang pujangga telah menulis berita kematian tersebit dalam Serat Sabda Jati. Demikian cuplikannya dalam susunan kalimat asli:
"Amung kurang wolu ari kadulu, tamating pati patitis. Wus katon neng lobil makpul, antarane luhur, selaning tahun Jumakir, toluhu madyaning janggur. Sengara winduning pati, netepi ngumpul sakenggon."
Artinya kurang lebih bahwa dirinya akan meninggal pada tanggal 5 Dulkaidah 1802 atau tanggal 24 Desember 1873 pada hari Rabu Pon.
Tulisan tersebut memang sempat melahirkan kontroversi berkepanjangan. Ada yang menilai bahwa Ronggowarsito meninggal bukan secara alami, akan tetapi dibunuh atas perintah persekongkolan Raja Paku Buwono IX yang mendapat desakan Belanda. Ketika itu Belanda merasa resah karena melihat kelebihan dan kemampuannya. Karena itulah Belanda berkepentingan menghabisinya. Apalagi, ayahanda Ronggowarsito ternyata juga telah diculik Belanda hingga akhirnya tutup usia di Jakarta.
Keinginan Belanda itub rupanya sejalan dengan Paku Buwono IX. Sang raja juha merasakan adanya sesuatu yang kurang berkenan dengan sepak terjang Ronggowarsito yang ketika itu namanya sangat terkenal mengingat karya-karyanya. Maka kuat dugaan, konspirasi menyikirkan Ronggowarsito akhirnya berjalan sempurna.
Apakah keraguan ini benar? Memang, sampai sekarang hal tersebut tetap menjadi misteri. Di satu pihak menganggap bahwa dengan kelinuwihannya Ronggowarsito memang mampu mengetahui saat-saat kematiannya, meski kematian adalah rahasia Tuhan. Namun di pihak lain menduga bahwa tidak menutup kemungkinan ada tangan-tangan lain yang merekayasa kematian tersebut, sekaliggus merekayasa kalimat ramalan pada Serat Sabda Jati sebagaimana dinukuli di atas.
Memang, banyak kalangan ahli yang beranggapan, bahwa bait-bait sebagaimana kami nukilkan itu merupakan tambahan dari orang lain. Hal ini jika mengingat dari sekitar 50 buku tulisan karya Ronggowarsito tidak terlalu nyata, mana tulisan murni karyanya, dan mana yang ditulis bersama-sama dengan orang lain, maupun yang merupakan terjemahan. Hal ini mudah dimaklumi, mengingat pada waktu itu belum ada perlindungan hak cipta. Apalagi sewaktu Ronggowarsito bertugas di keraton Solo kerajaan dalam kondisi tidak menentu, terpengaruh dengan perseteruan keluarga raja dan campur tangan kaum penjajah Belanda yang ingin mengail d iair keruh. Bagaimana yang sebenarnya, hanya Tuhan yang Maha Tahu.
Sumur Tua Bernuansa Mistis
Beberapa waktu yang lalu kami berziarah ke makam pujangga agung Tanah Jawa ini. Yang menarik, di bagian utara komplek makam, terdapat sebuah sumur tua, yang konon sudah ada sejak pertama kali makam tersebut dibangun.
Mungkin karena ketuaannya, kami memang merasakan kalau sumur ini telah dipengaruhui oleh khodam sang pujangga yang memiliki daya linuwih tersebut. Kekuatan khodam ini terasa sangat dominant.
Memang, menurut kepercayaan sumur ini menyimpan karomah untuk memperoleh atau meramalkan gambaran jati diri seseorang. Caranya adalah dengan prosesi ritual tertentu, yakni dengan memasukkan uang gobang kuno ke dalam sumur yang saat penghujan hanya berkedalaman sekitar satu setengah meter dari permukaan tanah tersebut.
Menurut tutur, orang yang melakukan ritual akan memperoleh gambaran yang dapat terlihat, yang melambangkan nasib atau peruntungannya. Contohnya, jika terlihat gambaran payung, maka diyakini akan memperoleh jabatan tinggi. Contoh lainnya, bila si pelaku ritual melihat gambaran buku, maka diyakini dia akan menjadi penulis atau pengarang terkenal yang buku-bukunya laris.
Masih banyak gambaran lain yang bisa diperoleh peziarah, yang tentu saja untuk membacanya kita perlu minta petunjuk juru kunci.
"Sumur ini ada yang menyebutnya Sumur Tiban. Menurut penerawangan, sumur itu ditunggu oleh sejenis jin yang berwujud seorang puteri.Namanya Sekar Lara Gadung Melati," demikian tutur Bu Bambang, 55 tahun, isteri juru kunci yang sering diminta tolong mengantarkan tamu, apabila suaminya tidak sedangg ada di tempuh karena keperluan yang tak dapat ditinggalkan.
Ketika kami berkunjung ke tempat ini, maih terlihat batang-batang hio bekas para peziarah. Juga terlihat di sana sini tersebar kembang dari para peziarah yang belum sempat dibersihkan.
"Hampir setiap hari ada tamu yang ritual di sini. Tetapi yang paling banyak di hari Kamis malam Jum’at Kliwon," tambahnya pula.
Kompleks makam Ronggowarsito ini dibangun hingga mencapai bentuknya yang sekarang sekitar 1955 oleh Dinas P & K kala ini. Yang terasa unik, di luar cungkup pujangga terlihat makam Carel Prederick Winters (1799-1859), berikut isterinya, Jacoma Hendrika Logeman (1828). Maka ini memang dipindahkan dari makam Kerkop di Jebres Solo sekitar 1985.
Tak jauh dari maka sang pujangga juga ada makam Bagus Tlogo dan Bagus Gumyur. Mereka disebut sebagai cikal bakal makam, yang merupakan pemuda kembar yang hingga kini masih masih paling diangap wingit.
Sementara itu, terlepas dari mana yang benar tentang peristiwa wafatnya sang pujangga, tulisan-tulisan karyanya telah memberikan andil dalam kesusteraan kita. Khususnya sastrawan bahasa Jawa. Tanpa Ronggowarsito, mungkin terlampau sedikit kajian sastra-sastra Jawa yang dapat dimanfaatkan.
Ramalan Jangka Jayabaya, misalnya, sangat besar andilnya bagi masyarakat Jawa khususnya, dan Indonesia pada umumnya. Terlebih, apabila kondisi bangsa sedang terpuruk, biasanya ada secercah harapan, bahwa di suatu saat nanti cobaan akan berakhir setelah munculnya seorang pemimpin sejati, yang disenangi rakyat, yaitu Satrio Piningit atau Ratu Adil, yang akan mengentaskan kita dari keterpurukan keadaan.
Sebagai contoh, pada zaman pemberontakan Dipenogoro (1825-1830), pengikut sang pangeran mengira bahwa beliaulah Ratu adil yang ditunggu-tunggu, yang akan mampu melepaskan mereka dari derita akibat ulah penjajah Belanda. Demikian pula ketika Jepang mencengkramkan kuku-kuku penjajahannya di Indonesia.
Demikian juga ketika negara kita dilanda oleh krisis multi dimensi, harga-harga mahal, kesulitan hidup mencekik leher seperti sekarang ini. Dengan adanya wacana akan datangnya sang Ratu Adil, maka rakyat tetap memiliki rasa optimis. Setidaknya, mereka masih punya harapan bahwa di suatu waktu nanti keadaan ini akan berakhir, dan kejayaan bangsa akan pulih, bahkan melebihi kejayaan masa lampau.
Kapan itu? Kita sama-sama menunggu. "Bayang-bayang hanya setinggi badan." Demikian kata pepatah., yang artinya cobaan dari Tuhan sebatas kita mampu menanggungnya. Mungkin, kita memang masih harus bersabar!
***
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Ginandjar Wiludjeng
A. Junianto
A. Kurnia
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.S Laksana
A’yat Khalili
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Razak
Abdul Rosyid
Abdul Wahab
Abdurrahman Wahid
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adam Chiefni
Ade P. Nasution
Adhitia Armitriant
Adi Prasetyo
Adrizas
AF. Tuasikal
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Baso
Ahmad Faishal
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Naufel
Ahmad Rofiq
Ahmad S. Zahari
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ainul Fiah
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Alex R. Nainggolan
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Almania Rohmah
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aminah
Aminullah HA.Noor
Amir Sutaarga
Anam Rahus
Anata Siregar
Andari Karina Anom
Andina Dwifatma
Andong Buku #3
Andre Mediansyah
Andri Awan
Anett Tapai
Anggie Melianna
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Wahyudi
Anwar Nuris
Ardi Bramantyo
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Joko Wicaksono
Arief Junianto
Ariera
Arif Bagus Prasetyo
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Asmaul Fauziyah
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Wulan Sari
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Camelia Mafaza
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Daisuke Miyoshi
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Danusantoso
Dareen Tatour
Darju Prasetya
David Kuncara
Denny Mizhar
Denza Perdana
Desi Sommalia Gustina
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewi Indah Sari
Dewi Susme
Dian Sukarno
Didik Harianto
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur
Dipo Handoko
Diyah Errita Damayanti
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddy Wisnu Pribadi
Dody Kristianto
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi SS MHum
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Wiyana
Dyah Ratna Meta Novia
Dyah Sulistyorini
Ecep Heryadi
Eddy Pranata PNP
Edeng Syamsul Ma’arif
Eep Saefulloh Fatah
EH Kartanegara
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Hendri Saiful
Eko Windarto
Elnisya Mahendra
Elva Lestary
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Sulwesi
Endo Suanda
Eppril Wulaningtyas R
Esai
Evan Ys
F. Moses
F. Rahardi
Fadlillah Malin Sutan
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Febby Fortinella Rusmoyo
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Gabriel Garcia Marquez
Galang Ari P.
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Ganug Nugroho Adi
Gerson Poyk
Ghassan Kanafani
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunoto Saparie
H.B. Jassin
Habibullah
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Hardi
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
HE. Benyamine
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Herman RN
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Nugroho
Hikmat Gumelar
HL Renjis Magalah
Hudan Nur
Hujuala Rika Ayu
Huminca Sinaga
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ira Puspitaningsih
Irfan Budiman
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Zulkarnain
Ismail Marzuki
Iva Titin Shovia
Iwan Kurniawan
Jabbar Abdullah
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D. Rahman
Jamal T. Suryanata
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
JILFest 2008
Jody Setiawan
Johan Edy Raharjo
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Juan Kromen
Julika Hasanah
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Ka’bati
Karanggeneng
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Keith Foulcher
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khoirul Inayah
Khoirul Rosyadi
Khudori Husnan
Ki Ompong Sudarsono
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
L.N. Idayanie
Laili Rahmawati
Lamongan
Lan Fang
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lucia Idayanie
Lukman A Sya
Lutfiah
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Ismail
M Thobroni
M. Afifuddin
M. Arwan Hamidi
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Luthfi Aziz
M. Nurdin
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.S. Nugroho
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahmud Syaltut Usfa
Mahmudi Arif Dahlan
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Martin Aleida
Maruli Tobing
Mas Ruscita
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni Muserang
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mia Arista
Mia El Zahra
Mikael Johani
Misbahus Surur
Misran
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
Much. Khoiri
Muh. Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun
Muhammadun AS
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mukti Sutarman Espe
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Munawir Aziz
Musfarayani
Musfi Efrizal
Nafisatul Husniah
Nandang Darana
Naskah Teater
Nelson Alwi
Ni Made Purnamasari
Nikmatus Sholikhah
Nina Herlina Lubis
Nina Susilo
Ning Elia
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel-novel berbahasa Jawa
Novelet
Nunuy Nurhayati
Nur Azizah
Nur Hamzah
Nur Kholiq
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Aini
Nurul Anam
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Okty Budiati
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso H.N.
Pagan Press
Pagelaran Musim Tandur
Palupi Panca Astuti
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Petrus Nandi
Politik
Politik Sastra
Pradana Boy ZTF
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringadi AS
Prof Dr Fabiola D. Kurnia
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Puji Tyasari
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
Purnawan Kristanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Ng. Ronggowarsito
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmat Kemat Hidayatullah
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rasanrasan Boengaketji
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Resensi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Ririe Rengganis
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rusmanadi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saiful Amin Ghofur
Saiful Anam
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman S. Yoga
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang KSII
Santi Puji Rahayu
Sapardi Djoko Damono
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Jawa Timur
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputra
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sri Weni
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugi Lanus
Sukron Ma’mun
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaf Anton Wr
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syarif Wadja Bae
Sylvianita Widyawati
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie (1961-2019)
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tia Setiadi
Tirto Suwondo
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tosa Poetra
Tri Nurdianingsih
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulul Azmiyati
Umar Fauzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Utari Tri Prestianti
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wan Anwar
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wina Bojonegoro
Wita Lestari
Wong Wing King
Wowok Hesti Prabowo
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopi Setia Umbara
Yudhi Herwibowo
Yudi Latif
Yusri Fajar
Yusuf Ariel Hakim
Yuval Noah Harari
Zacky Khairul Uman
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zed Abidien
Zehan Zareez
Zhaenal Fanani
Zubaidi Khan
Zuniest
Tidak ada komentar:
Posting Komentar