A. Kurnia
http://komunitassastra.wordpress.com
Di bawah ini adalah petikan wawancara tertulis yang saya lakukan dengan Goenawan Mohamad, yang jawabannya saya terima pada tanggal 25 Agustus 2007 lalu. Rencananya akan saya gunakan sebagai bahan tesis saya, akan tetapi petikan wawancara ini saya kira bemanfaat untuk dibaca, mengingat debat ramai di beberapa mailing list di internet akhir-akhir ini.
Pertanyaan: Ada yang mengatakan bahwa polemik atau pertentangan yang berlangsung di internet sekarang ini merupakan terusan pertentangan antara Manikebu dan Lekra di tahun 1960-an?
GM: Tidak benar. Sejarah itu tak berulang. Pertentangan antara Manifes Kebudayaan dan “realisme sosialis” di awal tahun 1960-an merupakan produk khas masa itu. Ketika itu asas “realisme sosialis” hendak diberlakukan bagi semua ekspresi kesenian dan pemikiran di Indonesia, dengan dimotori oleh Lekra . Kekuasaan politik yang tak dapat diabaikan pengaruhnya waktu itu, yakni PKI, mendukungnya.
Manifes Kebudayaan disusun dan diumumkan sebagai reaksi atas itu. Yang ditentang Manifes Kebudayaan adalah asas “politik sebagai panglima”, jika itulah yang dianggap jadi soko guru “realisme sosialis”. Sebab “politik sebagai panglima” dalam prakteknya berarti kekuasaan politik-lah – tepatnya Partai — yang mengendalikan kesenian.
Sekarang tidak ada “realisme sosialis” yang seperti itu. Tidak ada Partai yang seperti PKI.
“Realisme sosialis” itu sendiri produk kekuasaan politik tahun 1930-an di Uni Soviet. Ia dirumuskan oleh pengarah kebudayaan yang bekerja untuk Stalin. Tapi beberapa tahun setelah Stalin meninggal dan de-Stalin-isasi terjadi, posisi “realisme sosialis” merosot. Juga wibawanya tidak pernah tinggi. Di negeri sosialis Eropa Timur, karena doktrin itu bersifat represif dalam kehidupan seni, ia ditentang. Para sastrawan pembangkang lahir. Antara lain Vaclac Havel, yang kemudian jadi Presiden Cheko.
Perlu diingat, Manifes Kebudayaan disusun di tahun 1963 – setelah kami melihat bahwa sosialisme dapat diperjuangkan tanpa doktrin “realisme sosialis”. Di masa itu, di Uni Soviet terbit majalah sastra Novy Mir dan muncul penyair bebas seperti Yevtushenko dll. Mereka tak mengikuti doktrin “realisme sosialis”.
Salah satu inspirasi Manifes Kebudayaan adalah “gerakan” sastra yang terjadi di Uni Soviet dan Eropa Timur itu.
Doktrin “realisme sosialis” berakar pada Marxisme-Leninisme yang meletakkan Partai di atas segala-galanya Manfes Kebudayaan menentang itu. Kalau mau mencari sambungan Manifes Kebudayaan dengan dunia pemikiran sebelumnya, mungkin orang apat menemukannya pada pemikiran Marxis yang tidak menerima Utopianisme dan kemahakuasaan Partai.
Latar belakang yang seperti itulah yang tidak ada sekarang. Sekarang ini, dengan lenyapnya “realisme sosialis” di mana-mana, bahkan di Cina yang masih dikuasai Partai Komunis, Manifes Kebudayaan tidak relevan lagi.
Pertanyaan: Banyak yang mengatakan generasi sastrawan yang sekarang menganggap asas “seni untuk rakyat” masih terus penting untuk melawan asas “seni untuk seni”.
GM: Debat di sekitar “seni untuk seni” sudah selesai di tahun 1930-an dalam polemik antara Sanusi Pane dan S. Takdir Alisyahbana. Manifes Kebudayaan sendiri tidak menerima asas “seni untuk seni”.
Sayang, sekarang ini banyak yang bicara tentang “Manikebu” tetapi tak pernah membaca sendiri manifesto itu. Maka terjadi kesalahan besar, misalnya ketika dkatakan bahwa “Manikebu” itu serta merta mendukung “humanisme universal”.
Saya anjurkan supaya kalau mau bicara tentang Manikebu, teksnya perlu dibaca kembali dengan seksama. Akan kelihatan juga bahwa teksnya adalah hasil khas masa tahun 1960-an.
***
http://komunitassastra.wordpress.com
Di bawah ini adalah petikan wawancara tertulis yang saya lakukan dengan Goenawan Mohamad, yang jawabannya saya terima pada tanggal 25 Agustus 2007 lalu. Rencananya akan saya gunakan sebagai bahan tesis saya, akan tetapi petikan wawancara ini saya kira bemanfaat untuk dibaca, mengingat debat ramai di beberapa mailing list di internet akhir-akhir ini.
Pertanyaan: Ada yang mengatakan bahwa polemik atau pertentangan yang berlangsung di internet sekarang ini merupakan terusan pertentangan antara Manikebu dan Lekra di tahun 1960-an?
GM: Tidak benar. Sejarah itu tak berulang. Pertentangan antara Manifes Kebudayaan dan “realisme sosialis” di awal tahun 1960-an merupakan produk khas masa itu. Ketika itu asas “realisme sosialis” hendak diberlakukan bagi semua ekspresi kesenian dan pemikiran di Indonesia, dengan dimotori oleh Lekra . Kekuasaan politik yang tak dapat diabaikan pengaruhnya waktu itu, yakni PKI, mendukungnya.
Manifes Kebudayaan disusun dan diumumkan sebagai reaksi atas itu. Yang ditentang Manifes Kebudayaan adalah asas “politik sebagai panglima”, jika itulah yang dianggap jadi soko guru “realisme sosialis”. Sebab “politik sebagai panglima” dalam prakteknya berarti kekuasaan politik-lah – tepatnya Partai — yang mengendalikan kesenian.
Sekarang tidak ada “realisme sosialis” yang seperti itu. Tidak ada Partai yang seperti PKI.
“Realisme sosialis” itu sendiri produk kekuasaan politik tahun 1930-an di Uni Soviet. Ia dirumuskan oleh pengarah kebudayaan yang bekerja untuk Stalin. Tapi beberapa tahun setelah Stalin meninggal dan de-Stalin-isasi terjadi, posisi “realisme sosialis” merosot. Juga wibawanya tidak pernah tinggi. Di negeri sosialis Eropa Timur, karena doktrin itu bersifat represif dalam kehidupan seni, ia ditentang. Para sastrawan pembangkang lahir. Antara lain Vaclac Havel, yang kemudian jadi Presiden Cheko.
Perlu diingat, Manifes Kebudayaan disusun di tahun 1963 – setelah kami melihat bahwa sosialisme dapat diperjuangkan tanpa doktrin “realisme sosialis”. Di masa itu, di Uni Soviet terbit majalah sastra Novy Mir dan muncul penyair bebas seperti Yevtushenko dll. Mereka tak mengikuti doktrin “realisme sosialis”.
Salah satu inspirasi Manifes Kebudayaan adalah “gerakan” sastra yang terjadi di Uni Soviet dan Eropa Timur itu.
Doktrin “realisme sosialis” berakar pada Marxisme-Leninisme yang meletakkan Partai di atas segala-galanya Manfes Kebudayaan menentang itu. Kalau mau mencari sambungan Manifes Kebudayaan dengan dunia pemikiran sebelumnya, mungkin orang apat menemukannya pada pemikiran Marxis yang tidak menerima Utopianisme dan kemahakuasaan Partai.
Latar belakang yang seperti itulah yang tidak ada sekarang. Sekarang ini, dengan lenyapnya “realisme sosialis” di mana-mana, bahkan di Cina yang masih dikuasai Partai Komunis, Manifes Kebudayaan tidak relevan lagi.
Pertanyaan: Banyak yang mengatakan generasi sastrawan yang sekarang menganggap asas “seni untuk rakyat” masih terus penting untuk melawan asas “seni untuk seni”.
GM: Debat di sekitar “seni untuk seni” sudah selesai di tahun 1930-an dalam polemik antara Sanusi Pane dan S. Takdir Alisyahbana. Manifes Kebudayaan sendiri tidak menerima asas “seni untuk seni”.
Sayang, sekarang ini banyak yang bicara tentang “Manikebu” tetapi tak pernah membaca sendiri manifesto itu. Maka terjadi kesalahan besar, misalnya ketika dkatakan bahwa “Manikebu” itu serta merta mendukung “humanisme universal”.
Saya anjurkan supaya kalau mau bicara tentang Manikebu, teksnya perlu dibaca kembali dengan seksama. Akan kelihatan juga bahwa teksnya adalah hasil khas masa tahun 1960-an.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar