Sabrank Suparno
Radar Jombang-Mojokerto, 18 Mei 2014
Lek nyang nJombang kampunge Sengon
Lemah geneng akeh wedhine
Najan gak sambang kirimo ingon
Lek gak seneng opo mestine
Empat baris parikan di atas adalah puisi Jombangan yang seluruh pelaku ludruk Jawa Timuran pasti mengenal. Selain menyampaikan kegamblangan isi tentang aturan rumah tangga, pelantunnyamengenalkan tanah Jombang disamping menyusun repetitif irama. Saya yakin para pelaku Ludruk tidak mengenal Octavio Paz yang mengatakan kelelahan ekstase seorang penyair adalah kerja menentukan isi dan sampiran berdasarkan irama. Namun pelantun parikan di atas memahami bahwa pengulangan bunyi, terkesan lebih nyamleng diucapkan dan didengar. Artinya, masih ada yang perlu dipertahankan dalam menyusun puisi, yakni kebersahajaan, kenyamlengan ketika menawarkan adol-tinukuantara pelantun dengan pendengar.
Demikianlah puisi Kwatrin RinginContong yang ditulis oleh Binhad Nurrohmat, penyair asal Jakarta yang kini menetap di Pondok Pesantren Alhambra Darul Ulum Rejoso Peterongan. Seluruh puisi dalam Antologi Kwatrin Ringin Contong setiap judulnya hanya berisi empat baris dan bersajak ABAB, AABB atau AAAA. Buku nyentrik setebal enam puluh halaman tersebut dicetak oleh Penerbit Miring, Ar Ruzz Media dan diselesaikan Binhad selama dua tahun ketika pelesiran ke berbagai tempat di Jombang. Alkhasil, terhitung 1 Mei 2014 buku ini resmi beredar di seluruh toko buku yang ada di Jombang.
Ada dua kemungkinan yang mempengaruhi Binhad Nurrohmat dalam menawarkan estetika ketika menggarap puisi Kwatrin Ringin Contong. Pertama, menyerap keseharian masyarakat Tanjung Pinang yang setiap pembicaraan mengunakan pantun berbalas atau yang di Jawa Timur dikenal dengan Parikan Jula Juli Jombang. Pengalaman puisi bersajak tersebut diamati Binhad ketika menjadi peserta Temu Sastra Indonesia 2010. Kedua, setelah dua tahun menetap di Jombang, tampaknya Binhad kesemsem budaya pondok pesantren yang kerap mengaji qasidah kitab kuning. Syair dalam puisi Kwatrin Ringin Contong tak ubahnya nadhom, Imriti atau Alfiah. Satu contoh empat baris nadhom Alfiah misalnya: Wayaktadi ridhon bi ghoiri suhti-Faiqotalfiyata Ibnu Mukti-wayaktadi ridhon bi ghoiri suhti-al hayyu qod yughlabu alfamayyiti. Selain mementingkan irama, nadhom Alfiyah di atas juga menyampaikan nilai bahwa ketika santri mampu berkarya yang mengalahkan kiainya, lalu sesumbar, tak ubahnya satu orang yang masih hidup pasti mampu mengalahkan seribu kiainya yang sudah mati.
Buku puisi Kwatrin Ringin Contong diniatkan khusus mengabadikan tempat tempat yang ada di wilayah Jombang.Terhitung dari 42 judul puisi di antaranya: Pelukis Morosunggingan, PasarPeterongan, Malam Jumat di Rejoso, Rel Terjulur ke Sumobito, Sayyid di Mojoagung, Pertigaan ke Denanyar, Pasar Burung Tunggorono, Iblis Tak Keluyurandi Diwek, Pelarian di Watugaluh, Trah Brantas, Dewa di Gudo, Bercumbu di Kudu,Komunis Curahmalang, Kemah Raja di Tembelang, Kekasih di Kedung Cinet, Es Tehdi Kebun Raja, Russell Wallace di Ngrimbi, Mojowarno Ahad Pagi, Pelesiran ke Wonosalam. Inilah keberanian puisi Kwatrin Ringin Contong, puisi yang disandarkan berdasarkan konsep nama suatu wilayah. Sementara sebagai pegiat sastra di Jombang saya belum menemukan kumpulan puisi khusus yang mengangkat perangkat sejarah di Jombang, kecuali esai, cerpen, prosa bebas, dan naskah derama.
Berangkat dari nama tempat, kemudian pilihan diksi dalam satu kalimat yang mengangkat nama tokoh dan peristiwa diJombang, sepertinya sang penyair hendak menyembulkan elevansi tanya. Apa yang tersembunyi dibalik tema? Misal larik: Setelah bertapa Sungging menggurat raga// Permaisuri di lukisan tersedu dipeluk raja (hal. 9), Kebo Kicak tak menanamdi rel kepalanya // Di sekujur gerbong kuburan Surontanu tak ada (hal. 13), DiKali Tambak Beras mengucur darah pertama // Perih Wiraraja di Trowulan tahta Wijaya (hal. 31), Kapal Tionghoa di utara // Berlayar dewa ke Jawa (hal. 27). Dari gelagat pilihan tema tersebut penyair menyadari, bahwa beberapa tempat di Jombang tidak muncul begitu saja, melainkan ada sejarah yang melatarbelakangi. Penyair berkeyakianan bahwa wilayah dengan sejarah silam yang berperadaban tinggi berpotensi melahirkan karya dahsyat yang bisa digali dari berbagai sisi. Apalagi Jombang memang berbeda dengan kota sekitar di Jawa yang lahir berdasarkan tata letak kota hasil desain arsitektur Kolonial bersama Amangkurat. Jombang sangat perdikan. Mungkin dahulu tempat kecantolnya jubah Mpu Baradah ketika membelah kerajaan Erlangga menjadi Panjalu dan Jenggala dengan caramengucurkan kendi dari langit. Artinya suatu tempat yang wingit dan aura mistisnya mengalahkan kesaktian sang Empu. Maka tanah yang demikian kemudian terbebas dari pengaruh dua wilayah kerajaan yang terbagi. Batas wilayah itu juga berkemungkinan menjadi garis pembatas antara budaya Arek dengan budaya Mataraman. Meskipun dalam sistem tataletak kota dan pemerintahan akhirnya Jombang harus menyesuaikan dengan desain kota lain di sekitar.
Ketertarikan Binhad terhadap sejarah Jombang setara kegelisahan pemikir lain, bahwa penyair itu ibarat penggembala yang selalu kawatir dengan ribuan ternak miliknya. Apalagi ketika malam menjelang, penggembala menggiring seluruh ternaknya ke kandang kawatir dicuri,dirampok, disembelih orang. Sedang sang penggembala sendirian, tak ada yang mau menolong. Demikianlah kekalutan penyair, takut sejarah dan budaya lokal miliknya dicuri atau hilang tak jelas jluntrungnya. Siapa yang hendak mempertahankan? Kwatrin Ringin Contong seolah berteriak, “ke mana penyairJombang? Apakah kebablasan imajinasi menjadi sastrawan Indonesia lantas enggan menulis kota kelahirannya?”
Namun, sebagai persembahan catatan tentang sejarah Jombang, Kwatrin Ringin Contong baru sepersen saja meski puisi berjudul Ringin Contong sendiri ditulis dalam empat pengamatan, yakni RinginContong Pagi, Ringin Contong Siang, Sore dan Malam. Harusnya buku KwatrinRingin Contong setebal Antologi Puisi Festival Bulan Purnama Majapahit Trowulanyang digarap Dewan Kesenian Kabupaten Mojokerto edisi Oktober 2010 yang mencapai 829 halaman. Sebab masih banyak fenomena sejarah dan budaya Jombang yang belum ditangkap imajinasi penulis. Misal: Geger batu ajaib Ponari yang mematahkan teori bahwa supaya profesional menyembuhkan orang harus merampungkan fakultas kedokteran. Begitu juga supaya kaya harus menjadi interpreneur yang handal. Ponari cukup dengan batu temuan mampu menyembuhkan ribuan pasien dan cukup waktu beberapa bulan saja sudah menjadi milyuner dan tak perlu menunggu dewasa. Fenomena si Jagal Rian juga menghentakkan kesadaran, bahwa manusia berparas ganteng belum tentu berperilaku baik. Artinya jangan menilai orang berdasarkan ketoke, tapi berdasarkan nyotone. Fenomena Jombang berikutnya adalah penampakan Manggar Emas, yakni bakal buah kelapa yang mencorong seperti emas disekitaran Mojongapit sebelum tahun 1965. Ada lagi fenomena Kaca Benggala, yakni gedek rumah milik si miskin di sekitaran Desa Kandangan Kecamatan Kesamben berfungsi sebagai cermin. Posisi rumah tetap gedek bambu, cuma siapa yang melintas di depan rumah tersebut seperti melintas di depan kaca raksasa. Persis layar lebar pada film. Kejadian unik sekitar tujuh tahun lalu itu hanya berlangsung satu minggu lalu kembali seperti sediakala. Bahkan, membincang perihal Ringin Contong, menurut cerita tetangga saya, Pak Senipan (alm) bahwa”besok lek ono rejane zaman, Ringin Contong bakale nguwoh brondong (besok jika ada keramaian sejarah, Ringin Contong akan berbuah berondong: snackdari jagung popcorn).” Dongeng dari sesepuh Pak Senipan terbukti bahwa ketika rezim Soeharto berkuasa, orang yang berani menganggu partai berlambang pohon beringin pasti diberondong peluru tembak.
Untuk menulis tentang sejarah tentang Jombang, Binhad masih terlalu sepintas. Perlu lebih banyak minum sumber air dan merasakan bercak lumpur sawah di Jombang, apalagi memasuki pedesaan yang terpencil sekalipun yang diperkirakan tidak ada hal yang menarik. Siapa sangka misal di tanah Lincak Sastra Dowong ternyata ada selonjor patok batu peninggalan Majapahit. Atau dipekuburan Desa Tengaran Peterongan ternyata ada prasasti tergolong tua sebagai data peninggalan manusia purba Jombang. Masih banyak sejarah budaya Jombang yang berpotensi sebagai bahan untuk menebalkan mini epik puisi puisi Binhad selanjutnya.
*) Tulisan ini sebagai makalah bedah buku Kwatrin Ringin Contong karya Binhad Nurrohmat pada Jumat, 16 Mei 2014 di Elek Comik Center, JL. Adityawarman 3 Jombang.
Radar Jombang-Mojokerto, 18 Mei 2014
Lek nyang nJombang kampunge Sengon
Lemah geneng akeh wedhine
Najan gak sambang kirimo ingon
Lek gak seneng opo mestine
Empat baris parikan di atas adalah puisi Jombangan yang seluruh pelaku ludruk Jawa Timuran pasti mengenal. Selain menyampaikan kegamblangan isi tentang aturan rumah tangga, pelantunnyamengenalkan tanah Jombang disamping menyusun repetitif irama. Saya yakin para pelaku Ludruk tidak mengenal Octavio Paz yang mengatakan kelelahan ekstase seorang penyair adalah kerja menentukan isi dan sampiran berdasarkan irama. Namun pelantun parikan di atas memahami bahwa pengulangan bunyi, terkesan lebih nyamleng diucapkan dan didengar. Artinya, masih ada yang perlu dipertahankan dalam menyusun puisi, yakni kebersahajaan, kenyamlengan ketika menawarkan adol-tinukuantara pelantun dengan pendengar.
Demikianlah puisi Kwatrin RinginContong yang ditulis oleh Binhad Nurrohmat, penyair asal Jakarta yang kini menetap di Pondok Pesantren Alhambra Darul Ulum Rejoso Peterongan. Seluruh puisi dalam Antologi Kwatrin Ringin Contong setiap judulnya hanya berisi empat baris dan bersajak ABAB, AABB atau AAAA. Buku nyentrik setebal enam puluh halaman tersebut dicetak oleh Penerbit Miring, Ar Ruzz Media dan diselesaikan Binhad selama dua tahun ketika pelesiran ke berbagai tempat di Jombang. Alkhasil, terhitung 1 Mei 2014 buku ini resmi beredar di seluruh toko buku yang ada di Jombang.
Ada dua kemungkinan yang mempengaruhi Binhad Nurrohmat dalam menawarkan estetika ketika menggarap puisi Kwatrin Ringin Contong. Pertama, menyerap keseharian masyarakat Tanjung Pinang yang setiap pembicaraan mengunakan pantun berbalas atau yang di Jawa Timur dikenal dengan Parikan Jula Juli Jombang. Pengalaman puisi bersajak tersebut diamati Binhad ketika menjadi peserta Temu Sastra Indonesia 2010. Kedua, setelah dua tahun menetap di Jombang, tampaknya Binhad kesemsem budaya pondok pesantren yang kerap mengaji qasidah kitab kuning. Syair dalam puisi Kwatrin Ringin Contong tak ubahnya nadhom, Imriti atau Alfiah. Satu contoh empat baris nadhom Alfiah misalnya: Wayaktadi ridhon bi ghoiri suhti-Faiqotalfiyata Ibnu Mukti-wayaktadi ridhon bi ghoiri suhti-al hayyu qod yughlabu alfamayyiti. Selain mementingkan irama, nadhom Alfiyah di atas juga menyampaikan nilai bahwa ketika santri mampu berkarya yang mengalahkan kiainya, lalu sesumbar, tak ubahnya satu orang yang masih hidup pasti mampu mengalahkan seribu kiainya yang sudah mati.
Buku puisi Kwatrin Ringin Contong diniatkan khusus mengabadikan tempat tempat yang ada di wilayah Jombang.Terhitung dari 42 judul puisi di antaranya: Pelukis Morosunggingan, PasarPeterongan, Malam Jumat di Rejoso, Rel Terjulur ke Sumobito, Sayyid di Mojoagung, Pertigaan ke Denanyar, Pasar Burung Tunggorono, Iblis Tak Keluyurandi Diwek, Pelarian di Watugaluh, Trah Brantas, Dewa di Gudo, Bercumbu di Kudu,Komunis Curahmalang, Kemah Raja di Tembelang, Kekasih di Kedung Cinet, Es Tehdi Kebun Raja, Russell Wallace di Ngrimbi, Mojowarno Ahad Pagi, Pelesiran ke Wonosalam. Inilah keberanian puisi Kwatrin Ringin Contong, puisi yang disandarkan berdasarkan konsep nama suatu wilayah. Sementara sebagai pegiat sastra di Jombang saya belum menemukan kumpulan puisi khusus yang mengangkat perangkat sejarah di Jombang, kecuali esai, cerpen, prosa bebas, dan naskah derama.
Berangkat dari nama tempat, kemudian pilihan diksi dalam satu kalimat yang mengangkat nama tokoh dan peristiwa diJombang, sepertinya sang penyair hendak menyembulkan elevansi tanya. Apa yang tersembunyi dibalik tema? Misal larik: Setelah bertapa Sungging menggurat raga// Permaisuri di lukisan tersedu dipeluk raja (hal. 9), Kebo Kicak tak menanamdi rel kepalanya // Di sekujur gerbong kuburan Surontanu tak ada (hal. 13), DiKali Tambak Beras mengucur darah pertama // Perih Wiraraja di Trowulan tahta Wijaya (hal. 31), Kapal Tionghoa di utara // Berlayar dewa ke Jawa (hal. 27). Dari gelagat pilihan tema tersebut penyair menyadari, bahwa beberapa tempat di Jombang tidak muncul begitu saja, melainkan ada sejarah yang melatarbelakangi. Penyair berkeyakianan bahwa wilayah dengan sejarah silam yang berperadaban tinggi berpotensi melahirkan karya dahsyat yang bisa digali dari berbagai sisi. Apalagi Jombang memang berbeda dengan kota sekitar di Jawa yang lahir berdasarkan tata letak kota hasil desain arsitektur Kolonial bersama Amangkurat. Jombang sangat perdikan. Mungkin dahulu tempat kecantolnya jubah Mpu Baradah ketika membelah kerajaan Erlangga menjadi Panjalu dan Jenggala dengan caramengucurkan kendi dari langit. Artinya suatu tempat yang wingit dan aura mistisnya mengalahkan kesaktian sang Empu. Maka tanah yang demikian kemudian terbebas dari pengaruh dua wilayah kerajaan yang terbagi. Batas wilayah itu juga berkemungkinan menjadi garis pembatas antara budaya Arek dengan budaya Mataraman. Meskipun dalam sistem tataletak kota dan pemerintahan akhirnya Jombang harus menyesuaikan dengan desain kota lain di sekitar.
Ketertarikan Binhad terhadap sejarah Jombang setara kegelisahan pemikir lain, bahwa penyair itu ibarat penggembala yang selalu kawatir dengan ribuan ternak miliknya. Apalagi ketika malam menjelang, penggembala menggiring seluruh ternaknya ke kandang kawatir dicuri,dirampok, disembelih orang. Sedang sang penggembala sendirian, tak ada yang mau menolong. Demikianlah kekalutan penyair, takut sejarah dan budaya lokal miliknya dicuri atau hilang tak jelas jluntrungnya. Siapa yang hendak mempertahankan? Kwatrin Ringin Contong seolah berteriak, “ke mana penyairJombang? Apakah kebablasan imajinasi menjadi sastrawan Indonesia lantas enggan menulis kota kelahirannya?”
Namun, sebagai persembahan catatan tentang sejarah Jombang, Kwatrin Ringin Contong baru sepersen saja meski puisi berjudul Ringin Contong sendiri ditulis dalam empat pengamatan, yakni RinginContong Pagi, Ringin Contong Siang, Sore dan Malam. Harusnya buku KwatrinRingin Contong setebal Antologi Puisi Festival Bulan Purnama Majapahit Trowulanyang digarap Dewan Kesenian Kabupaten Mojokerto edisi Oktober 2010 yang mencapai 829 halaman. Sebab masih banyak fenomena sejarah dan budaya Jombang yang belum ditangkap imajinasi penulis. Misal: Geger batu ajaib Ponari yang mematahkan teori bahwa supaya profesional menyembuhkan orang harus merampungkan fakultas kedokteran. Begitu juga supaya kaya harus menjadi interpreneur yang handal. Ponari cukup dengan batu temuan mampu menyembuhkan ribuan pasien dan cukup waktu beberapa bulan saja sudah menjadi milyuner dan tak perlu menunggu dewasa. Fenomena si Jagal Rian juga menghentakkan kesadaran, bahwa manusia berparas ganteng belum tentu berperilaku baik. Artinya jangan menilai orang berdasarkan ketoke, tapi berdasarkan nyotone. Fenomena Jombang berikutnya adalah penampakan Manggar Emas, yakni bakal buah kelapa yang mencorong seperti emas disekitaran Mojongapit sebelum tahun 1965. Ada lagi fenomena Kaca Benggala, yakni gedek rumah milik si miskin di sekitaran Desa Kandangan Kecamatan Kesamben berfungsi sebagai cermin. Posisi rumah tetap gedek bambu, cuma siapa yang melintas di depan rumah tersebut seperti melintas di depan kaca raksasa. Persis layar lebar pada film. Kejadian unik sekitar tujuh tahun lalu itu hanya berlangsung satu minggu lalu kembali seperti sediakala. Bahkan, membincang perihal Ringin Contong, menurut cerita tetangga saya, Pak Senipan (alm) bahwa”besok lek ono rejane zaman, Ringin Contong bakale nguwoh brondong (besok jika ada keramaian sejarah, Ringin Contong akan berbuah berondong: snackdari jagung popcorn).” Dongeng dari sesepuh Pak Senipan terbukti bahwa ketika rezim Soeharto berkuasa, orang yang berani menganggu partai berlambang pohon beringin pasti diberondong peluru tembak.
Untuk menulis tentang sejarah tentang Jombang, Binhad masih terlalu sepintas. Perlu lebih banyak minum sumber air dan merasakan bercak lumpur sawah di Jombang, apalagi memasuki pedesaan yang terpencil sekalipun yang diperkirakan tidak ada hal yang menarik. Siapa sangka misal di tanah Lincak Sastra Dowong ternyata ada selonjor patok batu peninggalan Majapahit. Atau dipekuburan Desa Tengaran Peterongan ternyata ada prasasti tergolong tua sebagai data peninggalan manusia purba Jombang. Masih banyak sejarah budaya Jombang yang berpotensi sebagai bahan untuk menebalkan mini epik puisi puisi Binhad selanjutnya.
*) Tulisan ini sebagai makalah bedah buku Kwatrin Ringin Contong karya Binhad Nurrohmat pada Jumat, 16 Mei 2014 di Elek Comik Center, JL. Adityawarman 3 Jombang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar