Cucuk Espe *
Radar Surabaya, 14/10/2012
Aku temukan dia. Lelaki itu. Dia masih tetap duduk di atas batu besar yang menjorok ke sungai. Gagang pancing warna hitam terjepit di sela retakan bebatu. Tepat di depannya. Keduanya tidak bergerak meski terik terasa membelah ubun-ubun. Arus sungai yang tenang memang menjadi kesukaan ikan air tawar. Namun, sejak aku mengetahui lelaki itu memancing, belum satu pun ikan yang di dapat. Entah mengapa, dia tetap setia memancing, duduk bersila di atas batu. Ini adalah pemandangan yang ganjil. Ya, menurut kebanyakan orang –termasuk aku– lelaki itu menyuguhkan keganjilan yang sulit dimengerti.
Angin kering musim kemarau panjang, sedikit memberi kesejukan dan meluluhkan keringat yang mengguyur kening keriput lelaki itu. Jika aku boleh menebak, usia lelaki itu tidak muda lagi, sangat jauh di atasku. Barangkali dia pantas sebagai kakekku. Sebagian rambutnya memutih, terlihat sedikit karena tertutupi kopyah hitam kumal. Lelaki itu –aku masih mencoba mengingat namanya– duduk tak bergeming, hampir seharian penuh. Seharian? Mungkin lebih. Pertama kali aku melihat dia, pagi hari ketika aku melewati jembatan kecil tidak jauh dari gundukan bebatu empat kakek itu duduk. Tepatnya tiga hari yang lalu.
Betul! Sejak tiga hari lalu, lelaki tersebut duduk memancing di atas batu dan tidak seekor ikan pun menyambar mata pancingnya. Jujur saja, awalnya aku tidak peduli. Mungkin seperti anggapan banyak orang; lelaki itu adalah orang gila yang baru lepas dari kantor dinas sosial kota. Maklum, adalah hal yang lazim ketika selesai razia gelandangan dan pengamen (termasuk orang gila), dinas sosial kota hanya mendata, lantas dilepas lagi. Anggaran negara memang tidak mencukupi untuk membina orang gila yang jumlahnya terus meningkat. Dan lelaki itu adalah salah satunya, pikirku pada awalnya.
Namun rasa tidak peduli itu perlahan berubah penasaran, ketika hampir setiap hari aku melihat lelaki itu, tetap duduk di atas batu dan memancing. Anggapan bahwa dia orang gila segera aku tepis tergantikan oleh penasaran yang kian memuncak. Dan sore ini, aku penuhi rasa penasaranku itu sambil menuruni jembatan, menyapa lelaki tua itu.
“Belum dapat ikan juga, Pak?” sapaku pelan membuka percakapan. Dia tidak menjawab dan hanya menoleh ke arahku sambil sedikit tersenyum. Tidak ada gurat kesedihan sedikitpun terpancar dari mata cekungnya.
“Maaf, jika saya mengganggu,” lanjutku. Dia tersenyum lagi.
Justru aku yang seperti orang gila. Terus menyapa tanpa mendapat jawaban. Bosan juga rasanya melihat ekspresi lelaki itu yang hanya tersenyum. Entah apa maksudnya. Kalau memang benar prasangkaku, dia orang gila, maka celakalah aku. Antara yakin dan ragu, kondisi psikis lelaki itu, aku terus berusaha menyapa setiapsore. Saat matahari nyaris tenggelam, aku selalu turun ke jembatan, menghampiri dan menyodorkan sebungkus makanan. Dan selalu terulang, dia hanya menyambutku dengan senyum tanpa berkata sepatahpun. Aku tidak berani –dan berusaha menepis—ketika pikiran; Siapa yang gila? Mendadak muncul.
Hampir seminggu, aku memiliki rutinitas baru. Setiap pulang kerja, selalu mampir ke atas batu tempat lelaki itu memancing sambil membawa makanan. Ada perasaan lega, setiap melihat lelaki tua itu tersenyum menerima pemberianku. Senyum yang hingga saat ini belum bisa aku mengerti. Anehnya, hampir setiap malam pikiranku selalu tertuju pada senyum lelaki tua yang memancing di atas batu itu. Ketika aku ceritakan kepada istriku, dia malah memaki dan dianggap aku yang gila.
“Sudahlah, Mas…tidak perlu terlalu repot mengurus orang edan,” selorohnya.
Hal yang sama juga dilontarkan teman-temanku ketika aku ceritakan perihal lelaki di atas batu itu. Malah ada yang menyarankan agar segera menghentikan tingkah konyolku. Memberinya makanan setiap hari sama halnya dengan membuat lelaki itu ketagihan. Bahayanya, jika sampai aku bosan tidak memberi makan, besar kemungkinan akan melabrak ke rumah. Wah, celaka benar jika hal itu terjadi. Apa benar dia gila? Balasan senyum saat menerima bungkusan makanan dariku sama sekali tidak menyiratkan kondisi itu.
“Aku tidak peduli!” umpatku pada teman-teman.
***
Semalam aku mengigau, cerita istriku. Aku menceracau mengeluarkan kata-kata yang tidak jelas. Benar tidak jelas atau memang istriku yang tergeragap mendengarnya, aku tidak peduli. Tapi yang membuat aku penasaran dengan igauanku adalah ketika istriku bilang aku berteriak;…ikan..ikan..ikan..! Apa ini ada hubungannya dengan lelaki di atas batu itu? Jika benar, aku patut curiga, ternyata dia terlalu jauh masuk alam bawah sadarku. Padahal sejak melihatnya, beberapa pekan lalu, hingga saat ini aku lupa namanya. Atau karena aku kurang sabar menghadapinya? Bisa jadi aku menggunakan bahasa yang keliru. Ah, pikiranku mulai tertuju kepada lelaki itu lagi.
Dan sore ini, aku kembali ke atas batu dimana lelaki itu masih terus duduk sambil memancing. Masih belum memperoleh ikan juga. Kali ini aku bawakan makanan berbeda, soto ayam khas Madura. Tiba-tiba saja aku ingin membelinya, sebab aroma bumbu khas Madura memicu rasa lapar. Aku pun berharap lelaki di atas batu itu makan dengan lahap.
“Belum bosan, Mas?” sapaku sambil duduk di sampingnya. “Aku membawa soto paling enak di kota ini,” lanjutku. Lelaki itu menoleh. Tersenyum. Dan kembali konsentrasi pada pancingannya. Sejenak aku ikut larut dan diam. Apa mungkin dia tidak doyan soto? Aku merasa bersalah.
Tiba-tiba dia kembali menoleh ke arahku. Cukup lama menatapku dan membuat aku clingukan menerjemahkan sorot mata lelaki itu. Sejenak aku teringat ucapan teman-teman, secepat kilat aku tepis.
“Terima kasih,” ucapnya pendek. Sungguh di luar dugaan, hampir tiga minggu, ketemu setiap hari dan baru hari ini aku mendengar suaranya. Ternyata dia bukan lelaki seperti prasangka teman-temanku. “Apa mas tidak merasa bosan?”
“Justru saya yang bertanya; apa mas tidak merasa bosan?” Lelaki itu tersenyum lagi. Ini yang membuat aku semakin penasaran.
“Sudah lama saya membuang rasa bosan itu,” jawabnya setengah melenguh.
Gemericik air sungai yang tenang membuat suasana senja semakin hening. Langit mulai muram. Aku dan lelaki tua itu tetap tak bergeming di atas batu.
“Sudah lama?” aku mulai dibelit penasaran.
“Betul. Ternyata penasaran itu membuat hidup saya tidak tenang,” jawabnya yang membuat aku semakin bingung menangkap arah pembicarannya.
“Bisa mas ceritakan jika tidak keberatan?” selorohku. Kembali dia tersenyum, kali ini dibarengi ekspresi wajah berbeda.
“Saya bosan bertemu dengan banyak orang.”
“Termasuk saya?” aku sedikit tersinggung. Dia tersenyum lagi dan lebih renyah.
“Saya belum tahu. Yang jelas, terlalu banyak orang tidak bisa dipercaya dan menyebabkan saya menjadi seperti ini.”
“Maksud mas?”
“Dulu saya bekerja di sebuah kantor pemerintahan, bukan pegawai negeri, masih honorer. Meski begitu saya bisa membangun rumah kecil untuk anak istri saya,” ucapnya lirih.
Aku mulai menangkap benang merah pembicaraannya. Meski agak kabur.
“Mereka semua dimana mas? Apa tidak mencari mas yang hampir setiap hari memancing di sini?” tanyaku sangat penasaran.
“Hilang.”
“Hilang? Kenapa?”
“Ketika lumpur makin tinggi, menenggelamkan seluruh harta kami,” jawabnya. “Rumah dan semuanya terpendam di sana?” lanjutnya sambil menunjuk ke suatu arah.
“Anak dan istri? Pekerjaan mas?”
“Sejak peristiwa itu, semua berubah. Anak dan istri saya pergi karena tidak betah tinggal di tenda pengungsian bersama penduduk lainnya. Mereka pergi. Saya pun meninggalkan pekerjaan begitu saja. Saya bosan. Untuk apa bekerja toh mereka semua telah pergi,” lelaki tua itu menunduk.
Dan matahari telah rebah di balik selimut merah cakrawala.
***
Kabar tentang semburan lumpur yang semakin menggila memang membuat frustrasi siapa saja. Tidak ada satu pun pihak yang bertanggung jawab dan ironisnya saling lempar kesalahan. Ketika ribuan rumah telah tenggelam dan ribuan keluarga kehilangan harkat kemanusiaannya, belum secuil pun niat baik –pemerinah—menyelesaikannya. Aku jadi berpikir, mungkinkah ini wilayah politik?Atau memang sengaja mereka yang rumahnya tenggelam itu dijadikan alat tawar kekuasaaan? Sungguh tidak berperikemanusiaan jika prasangkaku itu benar.
Lelaki tua itu, kini tidak memiliki apa-apa lagi. Yang dia miliki hanyalah sebongkah batu dan pancingan bekas milik anaknya dulu, yang entah sekarang berada dimana bersama ibunya. Batu dan mata pancing, itulah kekayaan paling berharga yang dia miliki.
“Lantas saya harus mencari apa lagi? Saya bosan terus berteriak tetapi tidak digubris. Sampai hari ini, saya semakin yakin bahwa setiap orang memang memiliki kebahagiaan yang berbeda,” ungkap lelaki di atas batu itu sangat filosofis.
“Bisa dijelaskan, Mas?”
“Mereka yang memiliki kuasa bisa bahagia manakala mampu menggunakan kekuasaan sesuai kepentingan hatinya. Dan orang seperti saya merasa bahagia manakala mampu menerima segala kepongahan kekuasaan,” Lelaki tua itu menghela napas panjang dan dalam.
Sore ini, sungguh aku menemukan dia sangat berbeda. Wajahnya bertambah kusam namun sorot matanya semakin bening. Dan sejak saat itu, aku merasakan ada kehidupan di atas batu kali itu. Ada obrolan yang mengundang trenyuh sekaligus amarah. Prihatin sekaligus egois. Semua membaur tanpa jelas batasnya.
“Harus dipaksa bahagia?” tanyaku.
“Tepatnya bukan bahagia tetapi menerima apapun yang terjadi. Dan jika saya masih memiliki rasa bosan, hidup saya pasti lebih sulit,” tukas lelaki itu mantap.
“Karena itu, mas membuang jauh rasa bosan?”
“Betul.”
Aku ceritakan semua itu kepada istriku, dia malah mengejekku. Dan menganggap aku sama sintingnya dengan lelaki di atas batu itu.
“Aku tidak mau punya suami yang pikirannya mulai ngawur!” nada bicaranya tinggi. Jujur saja, aku merasa tesinggung.
“Aku masih waras.”
“Kalau terlalu lama bicara dengan orang gila? Gila juga kan?” bantahnya.
“Dia tidak gila.”
“Itu menurut sampeyan, Mas?” istriku tetap ngotot.
“Bagiku dan mungkin kebanyakan orang di sini, dia itu tidak waras.”
“Dia seperti kita,” bantahku tidak mau kalah.
“Kita? Aku tidak mau dianggap gila,” seru istriku.
Sejak saat itu, aku selalu sembunyi-sembunyi jika datang ke tempat lelaki di atas batu itu. Hampir setiap sore, aku selalu menyempatkan diri mendatanginya dan mengajak berbagi tentang apa saja. Jujur saja, aku banyak memperoleh pelajaran hidup dari perjalanan nasib lelaki di atas batu itu. Pelajaran menyikapi hidup yang tidak anyak aku dapatkan dari teman-temanku.
“Di atas batu ini, aku merasa bahagia, Mas,” kataku suatu sore.
“Kenapa?”
“Mas, banyak bercerita tentang hal tidak aku ketahui,” jawabku lirih. Lelaki yang akhirnya kuingat bernama Tom itu hanya tersenyum. Senyum yang mirip seperti pertama kali aku menemukannnya. Senyum yang ganjil.
***
Samar-samar aku mendengar suara orang puluhan orang di atas jembatan. Mereka berteriak memanggil namaku. Itu istriku di tengah-tengah mereka, berjalan bergegas menuruti jalan setapak menuju ke atas batu. Tepat beberapa meter dari ujung batu, mereka berhenti. Istriku menangis.
“Itu suamimu,” kata salah serang penduduk. Istriku terjatuh dan terkulai begitu melihat lekat ke arahku. Aku bermaksud menolongnya tetapi dihadang oleh orang-rang di sekitarnya.
“Sudah berapa hari di sini?” kudengar ada yang berkata begitu.
“Dua hari…tiga hari. Oh bukan…lima hari!” teriak mereka tidak jelas.
Ya, lima hari terasa begitu cepat bersama lelaki di atas batu itu. Dan aku bisa menjadi diri sendiri dan menjadi manusia paling bahagia dengan menunggui mata pancing lelaki itu. Membunuh rasa bosan dan berdoa semoga Tuhan memberi seekor ikan sebagai tanda kemurahan-Nya. Melihat keributan itu, lelaki di atas batu itu sama sekali tidak bergeming. Dia tetap diam sambil menunggui mata pancingnya yang sedikit bergerak terbawa arus air kecoklatan.
“Aku ingin melihat istriku,” tanganku meronta karena dicegah menyentuh istriku sendiri.
Wajah-wajah –yang kukenal—para tetanggaku itu semakin beringas. Seolah mereka telah melupakan aku dan menganggap aku ini binatang liar yang membahayakan.
“Dia telah berubah.”
“Pikirannya menclek. Stres.”
“Suamimu frustrasi.”
Aku mendengar mereka mengumpatku dengan kata yang paling tidak sopan. Padahal aku baru saja belajar bagaimana menghadapi hidup dan menjadi manusia yang utuh. Utuh seperti diriku sendiri tanpa terpengaruh segala kepentingan dan kepongahan, seperti lelaki di atas batu itu.
Tiba-tiba istriku menyeruak dan berteriak.
“Aku tidak mau suamiku gila!” Lelaki yang selalu memancing di atas batu itu pun tersenyum ke arah istriku, juga aku. Senyum yang semakin ganjil. Akhirnya, kami berdua selalu duduk di atas batu dan memancing.
***
Jombang – Jakarta, 2012.
*) Cucuk Espe (lahir di Jombang, Jawa Timur, 19 Maret 1974) adalah seorang penyair, esais, cerpenis dan penulis naskah drama, juga aktor Indonesia yang dikenal sangat produktif menulis di berbagai media cetak nasional di Indonesia dan beberapa jurnal seni di luar negeri. Ia belajar Bahasa Indonesia di IKIP Malang. Setelah itu menjadi seniman adalah pilihan hidupnya dan mendirikan Teater Kopi Hitam Indonesia. Cucuk Espe pernah menjadi aktor teater terbaik pada Peksiminas III di Taman Ismail Marzuki Jakarta (1995). Selanjutnya, ia mendirikan dan memimpin Teater Kopi Hitam Indonesia yang telah berpentas di hampir seluruh kota besar di Indonesia. Kini aktivitasnya hanya berteater dan menulis. Juga bersama sejumlah pegiat kebudayaan di Jawa Timur menggagas Lembaga Baca-Tulis Indonesia (LBTI) yakni sebuah komunitas nirlaba yang bergerak di bidang kebudayaan (menuju masyarakat makin berbudaya). Sejumlah esainya sering dipublikasikan di Jawa Pos, Kompas, Republika, Media Indonesia, Lampung Post, Radar Surabaya, Bali Post, Banjarmasin Post, Surabaya Pagi, Harian Bhirawa, dan banyak Media Online.
Radar Surabaya, 14/10/2012
Aku temukan dia. Lelaki itu. Dia masih tetap duduk di atas batu besar yang menjorok ke sungai. Gagang pancing warna hitam terjepit di sela retakan bebatu. Tepat di depannya. Keduanya tidak bergerak meski terik terasa membelah ubun-ubun. Arus sungai yang tenang memang menjadi kesukaan ikan air tawar. Namun, sejak aku mengetahui lelaki itu memancing, belum satu pun ikan yang di dapat. Entah mengapa, dia tetap setia memancing, duduk bersila di atas batu. Ini adalah pemandangan yang ganjil. Ya, menurut kebanyakan orang –termasuk aku– lelaki itu menyuguhkan keganjilan yang sulit dimengerti.
Angin kering musim kemarau panjang, sedikit memberi kesejukan dan meluluhkan keringat yang mengguyur kening keriput lelaki itu. Jika aku boleh menebak, usia lelaki itu tidak muda lagi, sangat jauh di atasku. Barangkali dia pantas sebagai kakekku. Sebagian rambutnya memutih, terlihat sedikit karena tertutupi kopyah hitam kumal. Lelaki itu –aku masih mencoba mengingat namanya– duduk tak bergeming, hampir seharian penuh. Seharian? Mungkin lebih. Pertama kali aku melihat dia, pagi hari ketika aku melewati jembatan kecil tidak jauh dari gundukan bebatu empat kakek itu duduk. Tepatnya tiga hari yang lalu.
Betul! Sejak tiga hari lalu, lelaki tersebut duduk memancing di atas batu dan tidak seekor ikan pun menyambar mata pancingnya. Jujur saja, awalnya aku tidak peduli. Mungkin seperti anggapan banyak orang; lelaki itu adalah orang gila yang baru lepas dari kantor dinas sosial kota. Maklum, adalah hal yang lazim ketika selesai razia gelandangan dan pengamen (termasuk orang gila), dinas sosial kota hanya mendata, lantas dilepas lagi. Anggaran negara memang tidak mencukupi untuk membina orang gila yang jumlahnya terus meningkat. Dan lelaki itu adalah salah satunya, pikirku pada awalnya.
Namun rasa tidak peduli itu perlahan berubah penasaran, ketika hampir setiap hari aku melihat lelaki itu, tetap duduk di atas batu dan memancing. Anggapan bahwa dia orang gila segera aku tepis tergantikan oleh penasaran yang kian memuncak. Dan sore ini, aku penuhi rasa penasaranku itu sambil menuruni jembatan, menyapa lelaki tua itu.
“Belum dapat ikan juga, Pak?” sapaku pelan membuka percakapan. Dia tidak menjawab dan hanya menoleh ke arahku sambil sedikit tersenyum. Tidak ada gurat kesedihan sedikitpun terpancar dari mata cekungnya.
“Maaf, jika saya mengganggu,” lanjutku. Dia tersenyum lagi.
Justru aku yang seperti orang gila. Terus menyapa tanpa mendapat jawaban. Bosan juga rasanya melihat ekspresi lelaki itu yang hanya tersenyum. Entah apa maksudnya. Kalau memang benar prasangkaku, dia orang gila, maka celakalah aku. Antara yakin dan ragu, kondisi psikis lelaki itu, aku terus berusaha menyapa setiapsore. Saat matahari nyaris tenggelam, aku selalu turun ke jembatan, menghampiri dan menyodorkan sebungkus makanan. Dan selalu terulang, dia hanya menyambutku dengan senyum tanpa berkata sepatahpun. Aku tidak berani –dan berusaha menepis—ketika pikiran; Siapa yang gila? Mendadak muncul.
Hampir seminggu, aku memiliki rutinitas baru. Setiap pulang kerja, selalu mampir ke atas batu tempat lelaki itu memancing sambil membawa makanan. Ada perasaan lega, setiap melihat lelaki tua itu tersenyum menerima pemberianku. Senyum yang hingga saat ini belum bisa aku mengerti. Anehnya, hampir setiap malam pikiranku selalu tertuju pada senyum lelaki tua yang memancing di atas batu itu. Ketika aku ceritakan kepada istriku, dia malah memaki dan dianggap aku yang gila.
“Sudahlah, Mas…tidak perlu terlalu repot mengurus orang edan,” selorohnya.
Hal yang sama juga dilontarkan teman-temanku ketika aku ceritakan perihal lelaki di atas batu itu. Malah ada yang menyarankan agar segera menghentikan tingkah konyolku. Memberinya makanan setiap hari sama halnya dengan membuat lelaki itu ketagihan. Bahayanya, jika sampai aku bosan tidak memberi makan, besar kemungkinan akan melabrak ke rumah. Wah, celaka benar jika hal itu terjadi. Apa benar dia gila? Balasan senyum saat menerima bungkusan makanan dariku sama sekali tidak menyiratkan kondisi itu.
“Aku tidak peduli!” umpatku pada teman-teman.
***
Semalam aku mengigau, cerita istriku. Aku menceracau mengeluarkan kata-kata yang tidak jelas. Benar tidak jelas atau memang istriku yang tergeragap mendengarnya, aku tidak peduli. Tapi yang membuat aku penasaran dengan igauanku adalah ketika istriku bilang aku berteriak;…ikan..ikan..ikan..! Apa ini ada hubungannya dengan lelaki di atas batu itu? Jika benar, aku patut curiga, ternyata dia terlalu jauh masuk alam bawah sadarku. Padahal sejak melihatnya, beberapa pekan lalu, hingga saat ini aku lupa namanya. Atau karena aku kurang sabar menghadapinya? Bisa jadi aku menggunakan bahasa yang keliru. Ah, pikiranku mulai tertuju kepada lelaki itu lagi.
Dan sore ini, aku kembali ke atas batu dimana lelaki itu masih terus duduk sambil memancing. Masih belum memperoleh ikan juga. Kali ini aku bawakan makanan berbeda, soto ayam khas Madura. Tiba-tiba saja aku ingin membelinya, sebab aroma bumbu khas Madura memicu rasa lapar. Aku pun berharap lelaki di atas batu itu makan dengan lahap.
“Belum bosan, Mas?” sapaku sambil duduk di sampingnya. “Aku membawa soto paling enak di kota ini,” lanjutku. Lelaki itu menoleh. Tersenyum. Dan kembali konsentrasi pada pancingannya. Sejenak aku ikut larut dan diam. Apa mungkin dia tidak doyan soto? Aku merasa bersalah.
Tiba-tiba dia kembali menoleh ke arahku. Cukup lama menatapku dan membuat aku clingukan menerjemahkan sorot mata lelaki itu. Sejenak aku teringat ucapan teman-teman, secepat kilat aku tepis.
“Terima kasih,” ucapnya pendek. Sungguh di luar dugaan, hampir tiga minggu, ketemu setiap hari dan baru hari ini aku mendengar suaranya. Ternyata dia bukan lelaki seperti prasangka teman-temanku. “Apa mas tidak merasa bosan?”
“Justru saya yang bertanya; apa mas tidak merasa bosan?” Lelaki itu tersenyum lagi. Ini yang membuat aku semakin penasaran.
“Sudah lama saya membuang rasa bosan itu,” jawabnya setengah melenguh.
Gemericik air sungai yang tenang membuat suasana senja semakin hening. Langit mulai muram. Aku dan lelaki tua itu tetap tak bergeming di atas batu.
“Sudah lama?” aku mulai dibelit penasaran.
“Betul. Ternyata penasaran itu membuat hidup saya tidak tenang,” jawabnya yang membuat aku semakin bingung menangkap arah pembicarannya.
“Bisa mas ceritakan jika tidak keberatan?” selorohku. Kembali dia tersenyum, kali ini dibarengi ekspresi wajah berbeda.
“Saya bosan bertemu dengan banyak orang.”
“Termasuk saya?” aku sedikit tersinggung. Dia tersenyum lagi dan lebih renyah.
“Saya belum tahu. Yang jelas, terlalu banyak orang tidak bisa dipercaya dan menyebabkan saya menjadi seperti ini.”
“Maksud mas?”
“Dulu saya bekerja di sebuah kantor pemerintahan, bukan pegawai negeri, masih honorer. Meski begitu saya bisa membangun rumah kecil untuk anak istri saya,” ucapnya lirih.
Aku mulai menangkap benang merah pembicaraannya. Meski agak kabur.
“Mereka semua dimana mas? Apa tidak mencari mas yang hampir setiap hari memancing di sini?” tanyaku sangat penasaran.
“Hilang.”
“Hilang? Kenapa?”
“Ketika lumpur makin tinggi, menenggelamkan seluruh harta kami,” jawabnya. “Rumah dan semuanya terpendam di sana?” lanjutnya sambil menunjuk ke suatu arah.
“Anak dan istri? Pekerjaan mas?”
“Sejak peristiwa itu, semua berubah. Anak dan istri saya pergi karena tidak betah tinggal di tenda pengungsian bersama penduduk lainnya. Mereka pergi. Saya pun meninggalkan pekerjaan begitu saja. Saya bosan. Untuk apa bekerja toh mereka semua telah pergi,” lelaki tua itu menunduk.
Dan matahari telah rebah di balik selimut merah cakrawala.
***
Kabar tentang semburan lumpur yang semakin menggila memang membuat frustrasi siapa saja. Tidak ada satu pun pihak yang bertanggung jawab dan ironisnya saling lempar kesalahan. Ketika ribuan rumah telah tenggelam dan ribuan keluarga kehilangan harkat kemanusiaannya, belum secuil pun niat baik –pemerinah—menyelesaikannya. Aku jadi berpikir, mungkinkah ini wilayah politik?Atau memang sengaja mereka yang rumahnya tenggelam itu dijadikan alat tawar kekuasaaan? Sungguh tidak berperikemanusiaan jika prasangkaku itu benar.
Lelaki tua itu, kini tidak memiliki apa-apa lagi. Yang dia miliki hanyalah sebongkah batu dan pancingan bekas milik anaknya dulu, yang entah sekarang berada dimana bersama ibunya. Batu dan mata pancing, itulah kekayaan paling berharga yang dia miliki.
“Lantas saya harus mencari apa lagi? Saya bosan terus berteriak tetapi tidak digubris. Sampai hari ini, saya semakin yakin bahwa setiap orang memang memiliki kebahagiaan yang berbeda,” ungkap lelaki di atas batu itu sangat filosofis.
“Bisa dijelaskan, Mas?”
“Mereka yang memiliki kuasa bisa bahagia manakala mampu menggunakan kekuasaan sesuai kepentingan hatinya. Dan orang seperti saya merasa bahagia manakala mampu menerima segala kepongahan kekuasaan,” Lelaki tua itu menghela napas panjang dan dalam.
Sore ini, sungguh aku menemukan dia sangat berbeda. Wajahnya bertambah kusam namun sorot matanya semakin bening. Dan sejak saat itu, aku merasakan ada kehidupan di atas batu kali itu. Ada obrolan yang mengundang trenyuh sekaligus amarah. Prihatin sekaligus egois. Semua membaur tanpa jelas batasnya.
“Harus dipaksa bahagia?” tanyaku.
“Tepatnya bukan bahagia tetapi menerima apapun yang terjadi. Dan jika saya masih memiliki rasa bosan, hidup saya pasti lebih sulit,” tukas lelaki itu mantap.
“Karena itu, mas membuang jauh rasa bosan?”
“Betul.”
Aku ceritakan semua itu kepada istriku, dia malah mengejekku. Dan menganggap aku sama sintingnya dengan lelaki di atas batu itu.
“Aku tidak mau punya suami yang pikirannya mulai ngawur!” nada bicaranya tinggi. Jujur saja, aku merasa tesinggung.
“Aku masih waras.”
“Kalau terlalu lama bicara dengan orang gila? Gila juga kan?” bantahnya.
“Dia tidak gila.”
“Itu menurut sampeyan, Mas?” istriku tetap ngotot.
“Bagiku dan mungkin kebanyakan orang di sini, dia itu tidak waras.”
“Dia seperti kita,” bantahku tidak mau kalah.
“Kita? Aku tidak mau dianggap gila,” seru istriku.
Sejak saat itu, aku selalu sembunyi-sembunyi jika datang ke tempat lelaki di atas batu itu. Hampir setiap sore, aku selalu menyempatkan diri mendatanginya dan mengajak berbagi tentang apa saja. Jujur saja, aku banyak memperoleh pelajaran hidup dari perjalanan nasib lelaki di atas batu itu. Pelajaran menyikapi hidup yang tidak anyak aku dapatkan dari teman-temanku.
“Di atas batu ini, aku merasa bahagia, Mas,” kataku suatu sore.
“Kenapa?”
“Mas, banyak bercerita tentang hal tidak aku ketahui,” jawabku lirih. Lelaki yang akhirnya kuingat bernama Tom itu hanya tersenyum. Senyum yang mirip seperti pertama kali aku menemukannnya. Senyum yang ganjil.
***
Samar-samar aku mendengar suara orang puluhan orang di atas jembatan. Mereka berteriak memanggil namaku. Itu istriku di tengah-tengah mereka, berjalan bergegas menuruti jalan setapak menuju ke atas batu. Tepat beberapa meter dari ujung batu, mereka berhenti. Istriku menangis.
“Itu suamimu,” kata salah serang penduduk. Istriku terjatuh dan terkulai begitu melihat lekat ke arahku. Aku bermaksud menolongnya tetapi dihadang oleh orang-rang di sekitarnya.
“Sudah berapa hari di sini?” kudengar ada yang berkata begitu.
“Dua hari…tiga hari. Oh bukan…lima hari!” teriak mereka tidak jelas.
Ya, lima hari terasa begitu cepat bersama lelaki di atas batu itu. Dan aku bisa menjadi diri sendiri dan menjadi manusia paling bahagia dengan menunggui mata pancing lelaki itu. Membunuh rasa bosan dan berdoa semoga Tuhan memberi seekor ikan sebagai tanda kemurahan-Nya. Melihat keributan itu, lelaki di atas batu itu sama sekali tidak bergeming. Dia tetap diam sambil menunggui mata pancingnya yang sedikit bergerak terbawa arus air kecoklatan.
“Aku ingin melihat istriku,” tanganku meronta karena dicegah menyentuh istriku sendiri.
Wajah-wajah –yang kukenal—para tetanggaku itu semakin beringas. Seolah mereka telah melupakan aku dan menganggap aku ini binatang liar yang membahayakan.
“Dia telah berubah.”
“Pikirannya menclek. Stres.”
“Suamimu frustrasi.”
Aku mendengar mereka mengumpatku dengan kata yang paling tidak sopan. Padahal aku baru saja belajar bagaimana menghadapi hidup dan menjadi manusia yang utuh. Utuh seperti diriku sendiri tanpa terpengaruh segala kepentingan dan kepongahan, seperti lelaki di atas batu itu.
Tiba-tiba istriku menyeruak dan berteriak.
“Aku tidak mau suamiku gila!” Lelaki yang selalu memancing di atas batu itu pun tersenyum ke arah istriku, juga aku. Senyum yang semakin ganjil. Akhirnya, kami berdua selalu duduk di atas batu dan memancing.
***
Jombang – Jakarta, 2012.
*) Cucuk Espe (lahir di Jombang, Jawa Timur, 19 Maret 1974) adalah seorang penyair, esais, cerpenis dan penulis naskah drama, juga aktor Indonesia yang dikenal sangat produktif menulis di berbagai media cetak nasional di Indonesia dan beberapa jurnal seni di luar negeri. Ia belajar Bahasa Indonesia di IKIP Malang. Setelah itu menjadi seniman adalah pilihan hidupnya dan mendirikan Teater Kopi Hitam Indonesia. Cucuk Espe pernah menjadi aktor teater terbaik pada Peksiminas III di Taman Ismail Marzuki Jakarta (1995). Selanjutnya, ia mendirikan dan memimpin Teater Kopi Hitam Indonesia yang telah berpentas di hampir seluruh kota besar di Indonesia. Kini aktivitasnya hanya berteater dan menulis. Juga bersama sejumlah pegiat kebudayaan di Jawa Timur menggagas Lembaga Baca-Tulis Indonesia (LBTI) yakni sebuah komunitas nirlaba yang bergerak di bidang kebudayaan (menuju masyarakat makin berbudaya). Sejumlah esainya sering dipublikasikan di Jawa Pos, Kompas, Republika, Media Indonesia, Lampung Post, Radar Surabaya, Bali Post, Banjarmasin Post, Surabaya Pagi, Harian Bhirawa, dan banyak Media Online.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar