Kamis, 22 November 2012

Sanktuari: Syarah atas Caping

Asarpin
Sastra-indonesia.com

Stephen Hirtenstein, yang sangat mengagumi Ibn Arabi, menyebut pemikiran sebagai “tamu dari langit yang melintasi ladang hati”. Dalam hal ini, pemikiran tak cuma mengacu kepada proses otak, atau sesuatu yang dapat kita pikirkan, atau kita renungkan. Pemikiran mengindikasikan sesuatu yang muncul dari keheningan batin, setiap saat dalam diri kita, di dalam kesadaran batin kita.

Ketimbang berharap agar pemikiran bisa mengubah dunia, saya setuju dengan Hasif Amini: lebih baik “menatap dan menampung dunia sebagai kemungkinan-kemungkinan”. Dan Leo Tolstoy pernah mengingatkan juga, dan agaknya kita sudah lupa bahwa “semua orang berpikir untuk mengubah dunia, tetapi tak seorang pun yang berpikir untuk mengubah dirinya”.

Perubahan datang dari dalam diri sendiri, bukan dari luar. Bukankah Tuhan sendiri “tak menciptakan dunia” melainkan “Tuhan mengucap dunia”, kata seorang filsuf yang saya lupa namanya. Maka sudah sewajarnya jika kita bicara tentang bagaimana mengabarkan dunia ketimbang bagaimana menciptakan dan mengubah dunia.

Seorang pemikir tentu berbeda dengan para ideolog atau pengajar agama, dan sudah sewajarnya jika mereka menjelmakan dirinya sebagai “seorang yang hidup di rumah sunyi”, kata Goenawan dalam catatan pinggir (Caping) berjudul “Perempuan”. Sebab, dengan itu, ia akan menampik setiap kebenaran yang dinyatakan final dan mutlak, ia akan menjadi “gangguan” terhadap kisah-kisah yang lurus ; ia akan merayakan perdebatan, menjunjung ketidakpastian, menyemangati gairah perbedaan dalam perbedaan. Hal-hal semacam ini mungkin tak menyelesaikan perkara di dalam diri dan dunianya seratus persen. Tetapi ia menjadi manusia yang berhak hidup dan menentukan pilihan-pilihan sendiri dengan merdeka.

Pada titik ini saya masih belum merasa cemas dan waswas dengan pemikiran Goenawan selama ini, sebab keterbukaan sudah menjadi wataknya. Di berbagai tempat tak jarang ia mengundang kita untuk berdialog dengan lapang dan tulus, tanpa rasa takut, tanpa cap berdosa.

Entah mengapa yang terakhir itu kini kita rindukan. Fundamentalisme agaknya akan terus membayang-bayangi dan sekaligus mengintai tulisan-tulisan dan tindakan-tindakan kita yang dianggap menyimpang. Dan bersikap terbuka, tulus dan tanpa cap berdosa, bukan cuma berharga, tapi mesti selalu ada.

Saya bahkan mengagumi sikap yang meletakkan kreativitas tak hanya pada guna dan manfaatnya, melainkan sekian banyak elemen yang terpaut satu sama lain. Dengan itu kita punya bekal mengarungi pintu-pintu yang mahaluas agar mampu menangkap kenyataan. Dalam bahasanya Dick Hartoko, sifat macam ini dinamakan “senggang”: sikap spiritual untuk bisa mendengarkan, semacam kemampuan jiwa untuk tanggap terhadap kenyataan dunia yang tak melulu dilihat dari guna, faedah dan tujuan.

Dalam bahasanya Ayu Utami dan Sitok Srengenge ketika mengumpulkan sajak-sajak lengkap Goenawan, inilah sebentuk penghargaan pada kesetian untuk menciptakan sanktuari : sebuah wilayah di mana bahasa, ciptaan, karya tak harus berguna, di mana sebuah arti tak sama dengan fungsi. Dalam suatu dunia yang hanya mementingkan kegunaan, kata Dick Hartoko dalam esai Keadaan Senggang sebagai Dasar Kebudayaan, memang tak ada tempat dan waktu untuk ritual dan kebaktian. Padahal religi dan puisi yang sejati justru tidak mementingkan faktor kegunaan, bahkan berani mengorbankan barang-barang berguna itu demi sesuatu yang lebih menggairahkan iman dan pemahaman.

Dasar sebuah penciptaan, adalah semadhi, sunyi, hening, bisu, senggang dan lapang. Itulah corak sebagian besar esai-puisi dalam buku Caping 7 (Tempo Print, 2006). Penulis Caping begitu gigih membela puisi, yang berarti membela tegaknya kebebasan. Di sini ada kesamaan antara Goenawan dan Octavio Paz. Dalam sebuah esai, Paz pernah mengakui kalau ambisinya adalah menjadi seorang penyair, dan tak lain kecuali penyair. Buku-buku prosanya dimaksudkan untuk mengabdi pada puisi. Untuk menilai, menjaga, dan menjelaskan puisi kepada orang lain, juga dirinya sendiri. “Saya segera menemukan bahwa pembelaan terhadap puisi, yang diremehkan orang di zaman kita ini, tak terpisahkan dari pembelaan kebebasan”, tulis Paz.

Salah satu soal yang juga paling sering muncul dalam Caping adalah agama. Goenawan begitu gigih membela agama dari tudingan sekularisme. Apa yang dulu dianggap candu dan agak nyinyir di mata sebagian aktivis Marxis, dan harus disingkirkan karena kerapkali melantunkan nyanyian nina bobok, kini justru meluap-luap hingga yang terdengar bukan lagi kesejukan dan kedamaian, tapi agama dalam letupan kemarahan yang mengerikan. Karena itu, apa yang kita harapkan tampil ke publik bukan lagi subjek yang otonom dan universal, iman yang mati, tapi iman yang hidup dan mau berdialog terus-menerus. Dalam konteks ini, Goenawan pernah menyebut : ”iman dalam praksis eksotopi” yang dipinjamnya dari Bakhtin.

Dengan kata lain, iman bukan sebagai sama, tapi iman dalam beda. Hidup dalam keragaman ketimbang hidup dalam persamaan. Dalam sebuah esai pada tahun 1980, From Secularity to World Religions, Berger, yang dikutip Goenawan, menunjukkan dinamika lain di masa kin, yaitu pluralisme. “Kepastian subyektif” dalam beragama tak ditopang lagi oleh satu kesatuan sosial yang padu sebagai penyangga. Dunia kini warna-warni, di mana yang ada bukan sepasukan “jahiliah” yang utuh menghadapi sepasukan “mukminin” yang tunggal. Keretakan, atau beda, di mana-mana sudah tampak.

Kepastian subjek dalam beragama, kata Goenawan dalam esai tentang agama itu, tak ditopang lagi oleh satu kesatuan sosial yang padu sebagai penyangga. Sebab dunia kini bak sebuah bazar; ada berbagai ekspresi iman, aneka agama, dan masing-masing bisa tampak bagaikan ”satu intan dua cahaya”.

Tak heran jika Goenawan cukup terpesona dengan sejumlah penghayatan kaum sufi. Kaum sufi itu paling toleran dalam hidup. Sebagaimana dalam Gatholoco, percakapan tentang pengalaman mistik menemukan problem dalam pem-bahasa-an. Ketika bahasa bergerak lebih ke arah sifatnya yang komunikatif, dan bukan sifatnya yang ekspresif, pengalaman yang paling batin tak akan bisa diartikulasikan.

Yang jadi damba kaum mistik adalah perjalanan yang tak pernah sampai di akhir, bahkan apa yang akhir memang tak pernah ada. Tak ada terminal yang bisa disebut sebagai proses sudah dari sebuah perjalanan yang bisa membuat kita berpuas diri, kecuali mungkin tarian di tepi-tepi yang mengasyikkan. Mirip seperti tafsiran Ibn Arabi tentang perjalanan transformasi persepsi. Apa yang disebut gnosis atau mistik, kata Arabi, adalah sebuah perjalanan tanpa ujung.

Arabi juga mengatakan: kita tak pernah behenti berjalan, dari satu momen penciptaan kita dan penciptaan bagian-bagian fisik kita, dan seterusnya. Tatkala sebuah pemberhentian tampak bagimu, kau berkata, ”inilah! Ini adalah yang terakhir!” Tetapi ada jalan lain yang terbuka bagimu, di mana kau dilengkapi dengan persediaan untuk keberangkatan yang baru. Segera setelah kau melihat tempat pemberhentian, kau mungkin berkata, ”Inilah tujuanku,” akan tetapi tak lama setelah kau sampai, lalu kau bergegas pergi dan mulai lagi.

Perjalanan Goenawan mirip sebuah epektasis dalam tafsiran seorang guru Kristen Cappadician abad keempat, Gregory dari Nyssa: ”perjalanan maju tanpa batas ”dari awal ke awal melalui awal yang tidak pernah berakhir”. Dalam perjalanan macam ini, kata Ibn Arabi yang rajin mengingatkan, kita dituntut untuk selalu melakukan ”pembaruan ciptaan di setiap saat” (tajdid al-khalq fi’l anat).

Dari sana kita bisa melihat lebih dekat bagaimana Goenawan mempersepsi ruang dan waktu dalam proses perjalanan yang tak pernah punya batas itu, karena setiap batas berarti selesai. Ruang dan waktu bagi dia hanyalah efek dari pembaruan yang tak pernah terputus. Gerakan lahir kita di ruang tak lain adalah refleksi dari kreativitas Tuhan yang terus-menerus.

Dengan kata lain, sebuah sikap yang—mengutip kata-kata Goenawan sendiri—“suatu kecenderungan untuk selalu menyangsikan kepercayaan” karena yang namanya ”kepercayaan” selama ini senantiasa dianggap selesai. Menyangsikan, bukan menolak. Karena Goenawan masih mengusulkan bentuk ’kepercayaan di luar segala hal-ikhwal”. Ragu memungkinkan orang untuk mencari. Keyakinan yang hidup bukan sebuah patokan yang telah disiapkan, melainkan sebuah kelana dalam proses.

Dalam setiap pencarian, bisa saja saya mengalami ketidakpastian dan terus menerus dirundung keraguan atau tersesat dan tak bisa kembali. Bahkan mungkin saya mengalami keraguan yang paling murung, atau keraguan yang paling menyengsarakan.

Pandangan Goenawan soal agama senada dengan Ulil Abshar-Abdalla yang mengatakan bahwa Islam lebih tepat disebut sebagai sebuah “proses” yang tak pernah selesai, ketimbang sebuah “lembaga agama” yang sudah mati, baku, beku, jumud, dan mengungkung kebebasan. Ayat Innaddina ‘indal Lahil Islam (QS 3:19), lebih tepat diterjemahkan sebagai, “Sesungguhnya jalan religiusitas yang benar adalah proses-yang-tak-pernah-selesai menuju ketundukan kepada Yang Tak Tertundukkan.”

Goenawan seorang pluralis yang paling tak mau mengambil kesimpulan yang bulat. Ikhtiar dan kerendahhatian serta kewaspadaan dalam menerima aneka warna pelangi dunia, termasuk dengan pelangi bernama ”fundamentalisme”, terasa tak mau kompromi. Ketika merasa ”berbenturan” paham dengan kaum fundamentalis, atau juga revivalis, atau yang skripturalis, terserah, Goenawan kadang masih kurang arif menerima perbedaan pendapat.

Sikap pluralis dan iman dalam proses kadang masih menjebak Goenawan untuk mengambil kesimpulan yang mendesakkan ijtihadnya sendiri kepada kaum yang beda atau berselisih pandangan. Dalam Caping Ahmadinejad, misalnya, Goenawan mengatakan: ”Ada satu ciri kaum fundamentalis, dari agama apa pun: mereka memusuhi hidup. Hidup adalah sejenis hukuman, karena fana dan diubah waktu. Bagi mereka, waktu yang berubah adalah jalan kemerosotan…Setiap kalimat dalam Kitab Suci harus dipatok sebagai sesuatu yang mandek”.

Tapi, benarkah semua kaum fundamentalis memusuhi hidup? Apakah memusuhi hidup adalah satu ciri yang melekat pada fundamentalis dari semua agama? Apakah yang memusuhi hidup identik dengan kaum fundamentalis?

Goenawan sepertinya ingin membenturkan kembali gagasan fundamental dengan gagasan liberal. Seakan-akan pandangan liberal tak bisa retak. Padahal yang liberal tak selalu menjanjikan kesejukan, kedamaian, kasih dan sayang. Liberalisme yang melahirkan pluralisme itu, tak selalu menjanjikan sorga perdamaian dan bebas dari waham. Seperti sering ditegaskan Karen Amstrong—kendati beberapa pandangannya terlampau memuji-ria agama Islam—orang yang berada pada posisi liberal masih sering mengedepankan prasangka, mengdepankan intoleransi, konflik, permusuhan, seperti dalam pandangan sejarah Eropa atau di Barat abad ke-20.
__________
*) ASARPIN, lahir di dekat hilir Teluk Semangka, propinsi Lampung, 08 Januari 1975. Pernah kuliah di jurusan Perbandingan Agama IAIN Raden Intan Bandar Lampung. Setelah kuliah, bergabung dengan Urban Poor Consortium (UPC), 2002-2005. Koordinator Uplink Lampung, 2005-2007. Pada 2009 mengikuti program penulisan Mastera untuk genre Esai di Wisma Arga Mulya, 3-8 Agustus 2009. Tahun 2005 pulang lagi ke Lampung, dengan membuka cabang Urban Poor Linkage (UPLINK). Di UPLINK pernah menjabat koordinator (2005-2007). Menulis esai sudah menjadi bagian perjalanan hidup, yang bukan untuk mengelak dari kebosanan, tapi ingin memuaskan dahaga pengetahuan. Sejak 2005 hampir setiap bulan esai sastra dan keagamaan terbit di Lampung Post. Kini telah beristri Nurmilati dan satu anak Kaila Estetika. Alamat blognya: http://kailaestetika.blogspot.com/
Dijumput dari:  http://sastra-indonesia.com/2011/12/sanktuari-syarah-atas-caping/

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest