Asarpin
Sastra-indonesia.com
Stephen Hirtenstein, yang sangat mengagumi Ibn Arabi, menyebut pemikiran sebagai “tamu dari langit yang melintasi ladang hati”. Dalam hal ini, pemikiran tak cuma mengacu kepada proses otak, atau sesuatu yang dapat kita pikirkan, atau kita renungkan. Pemikiran mengindikasikan sesuatu yang muncul dari keheningan batin, setiap saat dalam diri kita, di dalam kesadaran batin kita.
Ketimbang berharap agar pemikiran bisa mengubah dunia, saya setuju dengan Hasif Amini: lebih baik “menatap dan menampung dunia sebagai kemungkinan-kemungkinan”. Dan Leo Tolstoy pernah mengingatkan juga, dan agaknya kita sudah lupa bahwa “semua orang berpikir untuk mengubah dunia, tetapi tak seorang pun yang berpikir untuk mengubah dirinya”.
Perubahan datang dari dalam diri sendiri, bukan dari luar. Bukankah Tuhan sendiri “tak menciptakan dunia” melainkan “Tuhan mengucap dunia”, kata seorang filsuf yang saya lupa namanya. Maka sudah sewajarnya jika kita bicara tentang bagaimana mengabarkan dunia ketimbang bagaimana menciptakan dan mengubah dunia.
Seorang pemikir tentu berbeda dengan para ideolog atau pengajar agama, dan sudah sewajarnya jika mereka menjelmakan dirinya sebagai “seorang yang hidup di rumah sunyi”, kata Goenawan dalam catatan pinggir (Caping) berjudul “Perempuan”. Sebab, dengan itu, ia akan menampik setiap kebenaran yang dinyatakan final dan mutlak, ia akan menjadi “gangguan” terhadap kisah-kisah yang lurus ; ia akan merayakan perdebatan, menjunjung ketidakpastian, menyemangati gairah perbedaan dalam perbedaan. Hal-hal semacam ini mungkin tak menyelesaikan perkara di dalam diri dan dunianya seratus persen. Tetapi ia menjadi manusia yang berhak hidup dan menentukan pilihan-pilihan sendiri dengan merdeka.
Pada titik ini saya masih belum merasa cemas dan waswas dengan pemikiran Goenawan selama ini, sebab keterbukaan sudah menjadi wataknya. Di berbagai tempat tak jarang ia mengundang kita untuk berdialog dengan lapang dan tulus, tanpa rasa takut, tanpa cap berdosa.
Entah mengapa yang terakhir itu kini kita rindukan. Fundamentalisme agaknya akan terus membayang-bayangi dan sekaligus mengintai tulisan-tulisan dan tindakan-tindakan kita yang dianggap menyimpang. Dan bersikap terbuka, tulus dan tanpa cap berdosa, bukan cuma berharga, tapi mesti selalu ada.
Saya bahkan mengagumi sikap yang meletakkan kreativitas tak hanya pada guna dan manfaatnya, melainkan sekian banyak elemen yang terpaut satu sama lain. Dengan itu kita punya bekal mengarungi pintu-pintu yang mahaluas agar mampu menangkap kenyataan. Dalam bahasanya Dick Hartoko, sifat macam ini dinamakan “senggang”: sikap spiritual untuk bisa mendengarkan, semacam kemampuan jiwa untuk tanggap terhadap kenyataan dunia yang tak melulu dilihat dari guna, faedah dan tujuan.
Dalam bahasanya Ayu Utami dan Sitok Srengenge ketika mengumpulkan sajak-sajak lengkap Goenawan, inilah sebentuk penghargaan pada kesetian untuk menciptakan sanktuari : sebuah wilayah di mana bahasa, ciptaan, karya tak harus berguna, di mana sebuah arti tak sama dengan fungsi. Dalam suatu dunia yang hanya mementingkan kegunaan, kata Dick Hartoko dalam esai Keadaan Senggang sebagai Dasar Kebudayaan, memang tak ada tempat dan waktu untuk ritual dan kebaktian. Padahal religi dan puisi yang sejati justru tidak mementingkan faktor kegunaan, bahkan berani mengorbankan barang-barang berguna itu demi sesuatu yang lebih menggairahkan iman dan pemahaman.
Dasar sebuah penciptaan, adalah semadhi, sunyi, hening, bisu, senggang dan lapang. Itulah corak sebagian besar esai-puisi dalam buku Caping 7 (Tempo Print, 2006). Penulis Caping begitu gigih membela puisi, yang berarti membela tegaknya kebebasan. Di sini ada kesamaan antara Goenawan dan Octavio Paz. Dalam sebuah esai, Paz pernah mengakui kalau ambisinya adalah menjadi seorang penyair, dan tak lain kecuali penyair. Buku-buku prosanya dimaksudkan untuk mengabdi pada puisi. Untuk menilai, menjaga, dan menjelaskan puisi kepada orang lain, juga dirinya sendiri. “Saya segera menemukan bahwa pembelaan terhadap puisi, yang diremehkan orang di zaman kita ini, tak terpisahkan dari pembelaan kebebasan”, tulis Paz.
Salah satu soal yang juga paling sering muncul dalam Caping adalah agama. Goenawan begitu gigih membela agama dari tudingan sekularisme. Apa yang dulu dianggap candu dan agak nyinyir di mata sebagian aktivis Marxis, dan harus disingkirkan karena kerapkali melantunkan nyanyian nina bobok, kini justru meluap-luap hingga yang terdengar bukan lagi kesejukan dan kedamaian, tapi agama dalam letupan kemarahan yang mengerikan. Karena itu, apa yang kita harapkan tampil ke publik bukan lagi subjek yang otonom dan universal, iman yang mati, tapi iman yang hidup dan mau berdialog terus-menerus. Dalam konteks ini, Goenawan pernah menyebut : ”iman dalam praksis eksotopi” yang dipinjamnya dari Bakhtin.
Dengan kata lain, iman bukan sebagai sama, tapi iman dalam beda. Hidup dalam keragaman ketimbang hidup dalam persamaan. Dalam sebuah esai pada tahun 1980, From Secularity to World Religions, Berger, yang dikutip Goenawan, menunjukkan dinamika lain di masa kin, yaitu pluralisme. “Kepastian subyektif” dalam beragama tak ditopang lagi oleh satu kesatuan sosial yang padu sebagai penyangga. Dunia kini warna-warni, di mana yang ada bukan sepasukan “jahiliah” yang utuh menghadapi sepasukan “mukminin” yang tunggal. Keretakan, atau beda, di mana-mana sudah tampak.
Kepastian subjek dalam beragama, kata Goenawan dalam esai tentang agama itu, tak ditopang lagi oleh satu kesatuan sosial yang padu sebagai penyangga. Sebab dunia kini bak sebuah bazar; ada berbagai ekspresi iman, aneka agama, dan masing-masing bisa tampak bagaikan ”satu intan dua cahaya”.
Tak heran jika Goenawan cukup terpesona dengan sejumlah penghayatan kaum sufi. Kaum sufi itu paling toleran dalam hidup. Sebagaimana dalam Gatholoco, percakapan tentang pengalaman mistik menemukan problem dalam pem-bahasa-an. Ketika bahasa bergerak lebih ke arah sifatnya yang komunikatif, dan bukan sifatnya yang ekspresif, pengalaman yang paling batin tak akan bisa diartikulasikan.
Yang jadi damba kaum mistik adalah perjalanan yang tak pernah sampai di akhir, bahkan apa yang akhir memang tak pernah ada. Tak ada terminal yang bisa disebut sebagai proses sudah dari sebuah perjalanan yang bisa membuat kita berpuas diri, kecuali mungkin tarian di tepi-tepi yang mengasyikkan. Mirip seperti tafsiran Ibn Arabi tentang perjalanan transformasi persepsi. Apa yang disebut gnosis atau mistik, kata Arabi, adalah sebuah perjalanan tanpa ujung.
Arabi juga mengatakan: kita tak pernah behenti berjalan, dari satu momen penciptaan kita dan penciptaan bagian-bagian fisik kita, dan seterusnya. Tatkala sebuah pemberhentian tampak bagimu, kau berkata, ”inilah! Ini adalah yang terakhir!” Tetapi ada jalan lain yang terbuka bagimu, di mana kau dilengkapi dengan persediaan untuk keberangkatan yang baru. Segera setelah kau melihat tempat pemberhentian, kau mungkin berkata, ”Inilah tujuanku,” akan tetapi tak lama setelah kau sampai, lalu kau bergegas pergi dan mulai lagi.
Perjalanan Goenawan mirip sebuah epektasis dalam tafsiran seorang guru Kristen Cappadician abad keempat, Gregory dari Nyssa: ”perjalanan maju tanpa batas ”dari awal ke awal melalui awal yang tidak pernah berakhir”. Dalam perjalanan macam ini, kata Ibn Arabi yang rajin mengingatkan, kita dituntut untuk selalu melakukan ”pembaruan ciptaan di setiap saat” (tajdid al-khalq fi’l anat).
Dari sana kita bisa melihat lebih dekat bagaimana Goenawan mempersepsi ruang dan waktu dalam proses perjalanan yang tak pernah punya batas itu, karena setiap batas berarti selesai. Ruang dan waktu bagi dia hanyalah efek dari pembaruan yang tak pernah terputus. Gerakan lahir kita di ruang tak lain adalah refleksi dari kreativitas Tuhan yang terus-menerus.
Dengan kata lain, sebuah sikap yang—mengutip kata-kata Goenawan sendiri—“suatu kecenderungan untuk selalu menyangsikan kepercayaan” karena yang namanya ”kepercayaan” selama ini senantiasa dianggap selesai. Menyangsikan, bukan menolak. Karena Goenawan masih mengusulkan bentuk ’kepercayaan di luar segala hal-ikhwal”. Ragu memungkinkan orang untuk mencari. Keyakinan yang hidup bukan sebuah patokan yang telah disiapkan, melainkan sebuah kelana dalam proses.
Dalam setiap pencarian, bisa saja saya mengalami ketidakpastian dan terus menerus dirundung keraguan atau tersesat dan tak bisa kembali. Bahkan mungkin saya mengalami keraguan yang paling murung, atau keraguan yang paling menyengsarakan.
Pandangan Goenawan soal agama senada dengan Ulil Abshar-Abdalla yang mengatakan bahwa Islam lebih tepat disebut sebagai sebuah “proses” yang tak pernah selesai, ketimbang sebuah “lembaga agama” yang sudah mati, baku, beku, jumud, dan mengungkung kebebasan. Ayat Innaddina ‘indal Lahil Islam (QS 3:19), lebih tepat diterjemahkan sebagai, “Sesungguhnya jalan religiusitas yang benar adalah proses-yang-tak-pernah-selesai menuju ketundukan kepada Yang Tak Tertundukkan.”
Goenawan seorang pluralis yang paling tak mau mengambil kesimpulan yang bulat. Ikhtiar dan kerendahhatian serta kewaspadaan dalam menerima aneka warna pelangi dunia, termasuk dengan pelangi bernama ”fundamentalisme”, terasa tak mau kompromi. Ketika merasa ”berbenturan” paham dengan kaum fundamentalis, atau juga revivalis, atau yang skripturalis, terserah, Goenawan kadang masih kurang arif menerima perbedaan pendapat.
Sikap pluralis dan iman dalam proses kadang masih menjebak Goenawan untuk mengambil kesimpulan yang mendesakkan ijtihadnya sendiri kepada kaum yang beda atau berselisih pandangan. Dalam Caping Ahmadinejad, misalnya, Goenawan mengatakan: ”Ada satu ciri kaum fundamentalis, dari agama apa pun: mereka memusuhi hidup. Hidup adalah sejenis hukuman, karena fana dan diubah waktu. Bagi mereka, waktu yang berubah adalah jalan kemerosotan…Setiap kalimat dalam Kitab Suci harus dipatok sebagai sesuatu yang mandek”.
Tapi, benarkah semua kaum fundamentalis memusuhi hidup? Apakah memusuhi hidup adalah satu ciri yang melekat pada fundamentalis dari semua agama? Apakah yang memusuhi hidup identik dengan kaum fundamentalis?
Goenawan sepertinya ingin membenturkan kembali gagasan fundamental dengan gagasan liberal. Seakan-akan pandangan liberal tak bisa retak. Padahal yang liberal tak selalu menjanjikan kesejukan, kedamaian, kasih dan sayang. Liberalisme yang melahirkan pluralisme itu, tak selalu menjanjikan sorga perdamaian dan bebas dari waham. Seperti sering ditegaskan Karen Amstrong—kendati beberapa pandangannya terlampau memuji-ria agama Islam—orang yang berada pada posisi liberal masih sering mengedepankan prasangka, mengdepankan intoleransi, konflik, permusuhan, seperti dalam pandangan sejarah Eropa atau di Barat abad ke-20.
__________
*) ASARPIN, lahir di dekat hilir Teluk Semangka, propinsi Lampung, 08 Januari 1975. Pernah kuliah di jurusan Perbandingan Agama IAIN Raden Intan Bandar Lampung. Setelah kuliah, bergabung dengan Urban Poor Consortium (UPC), 2002-2005. Koordinator Uplink Lampung, 2005-2007. Pada 2009 mengikuti program penulisan Mastera untuk genre Esai di Wisma Arga Mulya, 3-8 Agustus 2009. Tahun 2005 pulang lagi ke Lampung, dengan membuka cabang Urban Poor Linkage (UPLINK). Di UPLINK pernah menjabat koordinator (2005-2007). Menulis esai sudah menjadi bagian perjalanan hidup, yang bukan untuk mengelak dari kebosanan, tapi ingin memuaskan dahaga pengetahuan. Sejak 2005 hampir setiap bulan esai sastra dan keagamaan terbit di Lampung Post. Kini telah beristri Nurmilati dan satu anak Kaila Estetika. Alamat blognya: http://kailaestetika.blogspot.com/
Dijumput dari: http://sastra-indonesia.com/2011/12/sanktuari-syarah-atas-caping/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Ginandjar Wiludjeng
A. Junianto
A. Kurnia
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.S Laksana
A’yat Khalili
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Razak
Abdul Rosyid
Abdul Wahab
Abdurrahman Wahid
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adam Chiefni
Ade P. Nasution
Adhitia Armitriant
Adi Prasetyo
Adrizas
AF. Tuasikal
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Baso
Ahmad Faishal
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Naufel
Ahmad Rofiq
Ahmad S. Zahari
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ainul Fiah
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Alex R. Nainggolan
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Almania Rohmah
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aminah
Aminullah HA.Noor
Amir Sutaarga
Anam Rahus
Anata Siregar
Andari Karina Anom
Andina Dwifatma
Andong Buku #3
Andre Mediansyah
Andri Awan
Anett Tapai
Anggie Melianna
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Wahyudi
Anwar Nuris
Ardi Bramantyo
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Joko Wicaksono
Arief Junianto
Ariera
Arif Bagus Prasetyo
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Asmaul Fauziyah
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Wulan Sari
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Camelia Mafaza
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Daisuke Miyoshi
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Danusantoso
Dareen Tatour
Darju Prasetya
David Kuncara
Denny Mizhar
Denza Perdana
Desi Sommalia Gustina
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewi Indah Sari
Dewi Susme
Dian Sukarno
Didik Harianto
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur
Dipo Handoko
Diyah Errita Damayanti
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddy Wisnu Pribadi
Dody Kristianto
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi SS MHum
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Wiyana
Dyah Ratna Meta Novia
Dyah Sulistyorini
Ecep Heryadi
Eddy Pranata PNP
Edeng Syamsul Ma’arif
Eep Saefulloh Fatah
EH Kartanegara
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Hendri Saiful
Eko Windarto
Elnisya Mahendra
Elva Lestary
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Sulwesi
Endo Suanda
Eppril Wulaningtyas R
Esai
Evan Ys
F. Moses
F. Rahardi
Fadlillah Malin Sutan
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Febby Fortinella Rusmoyo
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Gabriel Garcia Marquez
Galang Ari P.
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Ganug Nugroho Adi
Gerson Poyk
Ghassan Kanafani
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunoto Saparie
H.B. Jassin
Habibullah
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Hardi
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
HE. Benyamine
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Herman RN
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Nugroho
Hikmat Gumelar
HL Renjis Magalah
Hudan Nur
Hujuala Rika Ayu
Huminca Sinaga
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ira Puspitaningsih
Irfan Budiman
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Zulkarnain
Ismail Marzuki
Iva Titin Shovia
Iwan Kurniawan
Jabbar Abdullah
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D. Rahman
Jamal T. Suryanata
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
JILFest 2008
Jody Setiawan
Johan Edy Raharjo
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Juan Kromen
Julika Hasanah
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Ka’bati
Karanggeneng
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Keith Foulcher
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khoirul Inayah
Khoirul Rosyadi
Khudori Husnan
Ki Ompong Sudarsono
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
L.N. Idayanie
Laili Rahmawati
Lamongan
Lan Fang
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lucia Idayanie
Lukman A Sya
Lutfiah
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Ismail
M Thobroni
M. Afifuddin
M. Arwan Hamidi
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Luthfi Aziz
M. Nurdin
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.S. Nugroho
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahmud Syaltut Usfa
Mahmudi Arif Dahlan
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Martin Aleida
Maruli Tobing
Mas Ruscita
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni Muserang
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mia Arista
Mia El Zahra
Mikael Johani
Misbahus Surur
Misran
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
Much. Khoiri
Muh. Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun
Muhammadun AS
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mukti Sutarman Espe
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Munawir Aziz
Musfarayani
Musfi Efrizal
Nafisatul Husniah
Nandang Darana
Naskah Teater
Nelson Alwi
Ni Made Purnamasari
Nikmatus Sholikhah
Nina Herlina Lubis
Nina Susilo
Ning Elia
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel-novel berbahasa Jawa
Novelet
Nunuy Nurhayati
Nur Azizah
Nur Hamzah
Nur Kholiq
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Aini
Nurul Anam
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Okty Budiati
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso H.N.
Pagan Press
Pagelaran Musim Tandur
Palupi Panca Astuti
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Petrus Nandi
Politik
Politik Sastra
Pradana Boy ZTF
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringadi AS
Prof Dr Fabiola D. Kurnia
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Puji Tyasari
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
Purnawan Kristanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Ng. Ronggowarsito
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmat Kemat Hidayatullah
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rasanrasan Boengaketji
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Resensi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Ririe Rengganis
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rusmanadi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saiful Amin Ghofur
Saiful Anam
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman S. Yoga
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang KSII
Santi Puji Rahayu
Sapardi Djoko Damono
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Jawa Timur
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputra
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sri Weni
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugi Lanus
Sukron Ma’mun
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaf Anton Wr
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syarif Wadja Bae
Sylvianita Widyawati
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie (1961-2019)
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tia Setiadi
Tirto Suwondo
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tosa Poetra
Tri Nurdianingsih
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulul Azmiyati
Umar Fauzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Utari Tri Prestianti
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wan Anwar
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wina Bojonegoro
Wita Lestari
Wong Wing King
Wowok Hesti Prabowo
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopi Setia Umbara
Yudhi Herwibowo
Yudi Latif
Yusri Fajar
Yusuf Ariel Hakim
Yuval Noah Harari
Zacky Khairul Uman
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zed Abidien
Zehan Zareez
Zhaenal Fanani
Zubaidi Khan
Zuniest
Tidak ada komentar:
Posting Komentar