Risalah Mahasiswa

Sartika Dian Nuraini
Solo Pos, 31 Juli 2012

Sejarah tampak selalu memberi tugas-tugas yang berbeda pada mahasiswa di setiap zaman. Fungsi-fungsi mahasiswa dalam setiap zaman akan terus berubah. Sejarah bangsa Indonesia sudah menunjukkan hal itu. Mahasiswa-mahasiswa pertama Indonesia di akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20 banyak yang bergerak dalam dunia politik, pers, dan pendidikan. Mereka antara lain Suwardi Suryaningrat, Cipto Mangunkusumo, Soekarno, M Hatta, Tan Malaka, dan lain-lain. Merekalah yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia.

Angkatan berikutnya, setelah Indonesia merdeka, banyak mahasiswa yang bergerak melanjutkan segala rintisan yang telah dimulai pendahulunya, yakni berperan dalam pembangunan politik, ekonomi, pendidikan atau kebudayaan nasional. Kita tidak bisa hanya melihatnya dalam dunia pergerakan mahasiswa yang sering terlalu diromantisasi menjadi nostalgia kelabu. Kita harus melihatnya dalam dunia pendidikan yang menjadi proyek bersama Bangsa Indonesia. Ke sanalah mahasiswa terpanggil oleh zaman untuk memberikan ilmu, tenaga, dan pengalaman.

Idealitas

Gambaran sekilas itu hanya untuk memberikan ilustrasi bahwa dalam sejarah begitu banyak kepentingan yang menarik mahasiswa. Artinya, mahasiswa dalam tarikan kepentingan ini tampaknya harus sadar bahwa dirinya bisa saja menjadi objek dari kekuatan-kekuatan yang ada di sekitarnya. Mereka tidak bisa menjadi subjek, seperti saat Soekarno menjadi mahasiswa teknik di Bandung, atau saat Hatta menjadi mahasiswa ekonomi di Belanda. Mereka tidak hanya menjadi anak zaman, tapi mereka memberikan warna pada sejarah yang menjadi kesadaran mereka sebagai mahasiswa.

Pertanyaan penting bagi mahasiswa, khususnya mahasiswa baru, adalah di manakah mereka akan memposisikan dirinya dalam arus sejarah pada abad ke-21 ini? Jika tidak memahami dan meletakkan diri dalam arus sejarah ini, mahasiswa akan menjadi objek dari turbulensi mesin zaman yang semakin cepat dan ganas. Pada saat ini, kita bisa menyaksikan beberapa tanda-tanda zaman. Teknologisasi kehidupan yang merambah dalam segala hal yang berakibat pada terjadinya disposisi manusia, menguatnya kapitalisme dengan sistem dan nilai-nilai pasar yang memaksa semuanya harus dikomodifikasikan. Fakta-fakta ini menepikan manusia dan menimbulkan tercerabutnya akar-akar kebudayaan lokal, serta menguatnya akar kekerasan atau konflik. Akibat langsungnya adalah lembaga pendidikan dan mahasiswa akan dijadikan alat kepentingan semata.

Di sini kita bisa melihat bagaimana teknologisasi menguasai mahasiswa dalam bentuk gaya hidup yang tidak ada hubungannya dengan intelektualitas mereka, tapi begitu dipuji-puji. Pendidikan menjadi komoditas ekonomistik yang siap menyingkirkan siapa pun yang tidak punya modal ekonomi. Pendidikan yang perlahan menyingkirkan akar-akar kebudayaan dan lebih memilih yang berbau internasional. Juga, bagaimana beberapa mahasiswa direkrut menjadi agen teroris. Sampai di sini, mahasiswa pada abad ke-21 jelas tidak akan memimpin rakyat untuk menaikkan bendera menuntut transformasi sosial, politik, budaya.

Maka, idealitas kemahasiswaan menjadi kunci untuk menjawab pertanyaan perihal posisis mahasiswa. Setidaknya, ada idealitas yang seharusnya disematkan atau dimiliki oleh mahasiswa: etos pembelajar yang tinggi, intelektualitas berkepakaran, dan moralitas berkepedulian. Semua ini akan berujung pada sebuah kemantapan identitas mahasiswa yang mumpuni.

Makna

Mahasiswa sejatinya diharapkan akan membentuk suatu arus intelektual yang mencakup: intellectual curiousity (keingintahuan intelektualitas), intellectual expertise (kepakaran seorang intelektual) dan intellectual responsibility (tanggungjawab intelektual). Sinergi antara ketiganya selalu akan diperlukan untuk membangun pendidikan dari dan untuk rakyat.

Ilustrasinya: arus intelektual itu bermula dari adanya keingintahuan yang membuat suatu subjek harus mendapatkan pengetahuan, baik secara otodidak ataupun secara didaktis. Hal ini menjadi pilar utama dalam arus intelektual karena akan membentuk dan membawa moralitas intelektual. Keingintahuan akan membimbing subjek intelektual untuk terus mencari dengan cara yang pas dan tepat untuk selalu  berproses menjadi manusia pembelajar. Di sini, tentu kita tidak ingin mengalpakan peran institusi akademik. Keingintahuan tersebut harus mendapatkan perhatian yang tepat agar terjalin kerjasama yang kuat, saling berpengaruh dan beregenerasi terus-menerus.

Selanjutnya, keingintahuan akan menjadi roh intelektualitas mahasiswa, yang memuncak pada pembentukan subjek intelektual yang memiliki kepakaran intelektualitas dalam dirinya. Kepakaran intelektual adalah modal utama untuk membentengi diri dari kecerobohan dan tergerus kepentingan yang merugikan. Kepakaran intelektualitas akan menjadi alat yang ampuh untuk bergerak dengan kepastian ilmu pengetahuan yang dimilikinya.

Terakhir dan terpenting, subjek intelektual yang memiliki kepakaran intelektual itu akan membawa beban tanggungjawab moral kepada masyarakat. Di sinilah mereka dituntut oleh ilmu mereka untuk menjadi manusia yang berkepedulian. Dalam proses inilah terlihat jelas sebenarnya aktualisasi diri sebagai subjek intelektual. Maka, terbentuklah makna menjadi mahasiswa.

Marilah kita menguatkan pilar-pilar itu dengan keberanian dan keseimbangan untuk menahan gelombang air yang datang bergulung-gulung di dunia civitas akademika dan masyarakat yang mengelilinginya. Mahasiswa semestinya menguatkan keteguhan, mempertahankan diri sembari merasakan getarannya, seraya terus menahan setiap guncangan yang mengadang. Mahasiswa tetaplah menjadi gerak dan getar peradaban yang menentukan peradaban bangsa. Akhirnya, risalah ini hanya ingin mengingatkan harapan atas idealitas dan makna mahasiswa di sepanjang perjalanan sejarah di Indonesia.

Dijumput dari:  http://www.solopos.com/2012/07/31/mimbar-mahasiswa-risalah-mahasiswa-205908