Sulaiman Djaya
http://situseni.net
“Lewat tangan daratan
yang terulur ke laut
Kami memandang tanah seberang
bangsa-bangsa, aneka suku
membayang. Juga benua jauh
dan nasib yang disisihkan.”
Seorang penyair yang telah bertahun-tahun bergelut dengan penulisan puisi dan “pengembaraan batin” serta “ziarah intelektual” tentulah memiliki fondasi dan prinsip yang didasarkan dan dilandasi oleh pilihan sadar ketika menjadikan “bentuk dan material estetika” tertentu bagi dan dalam kerja kreatif kepenulisannya. Seorang penyair memang bekerja dan berkarya berdasarkan pilihan “rasa” dan “imajinasi”, namun bukan berarti tidak ada logika dan “keteraturan” dalam karya-karya puisi yang ditulisnya. Bila kita meminjam telaah Nietzsche tentang seni dan teater Yunani kuno, contohnya, estetika dan sastra adalah perwujudan dimensi spirit apollonian dan spirit dionisian. Yang pertama adalah keteraturan, logika, dan ciri yang tenang, sedangkan yang kedua merupakan unsur-unsur keliaran, gairah, spontanitas, dan ketakteraturan. Puisi dan seni biasanya merupakan hasil kompromi (perpaduan), bahkan konfrontasi antara keduanya. Ada saat-saat tertentu seorang penyair menulis puisinya dengan spontan seakan ia sedang mendapatkan ilham yang deras dan membuncah. Namun, tak jarang seorang penyair menulis puisi tak ubahnya seorang pengukir yang berusaha memahat kata-kata, kalimat, dan bahasa. Kedua hal itu lazim dialami dan dilakukan seorang penyair, sehingga puisi-puisi seorang penyair biasanya lahir dan ditulis dalam dua “moment” tersebut, karena inspirasi yang kuat dan karena ketekunan (craftsmanship), atau bahkan gabungan keduanya: inspirasi dan ketekunan.
Meskipun demikian, puisi tidaklah lahir dari “kekosongan” di luar dunia. Ia lahir dan ditulis dari “sebuah dunia” yang diamati, dilihat, dan dirasakan seorang penyair, entah menyangkut pengalaman dan kenangan penyairnya atau menyangkut ikhtiar intelektualnya yang kemudian di-rekonstruksi dan di-imajinisasi dengan daya pikir dan daya rasa, yang lalu ditulis dan disuarakan dengan rima dan bahasa. Saat mengimajinasi itulah seorang penyair berusaha “memahat” dan “mengukir” kata, kalimat, frase menjelma kiasan dan narasi. Ia bisa saja menggunakan pilihan bentuk yang sudah ada dengan berusaha memperbaharuinya secara segar berdasarkan perkembangan bahasa dan ujaran mutakhir yang tidak lagi klise dan aus. Pengalaman pembacaan dengan karya-karya sebelumnya atau yang sezamannya, intertekstualitas, atau jam terbang “ziarah”-nya atas karya-karya orang lain dan dirinya sendiri biasanya akan memperkaya dan mematangkannya. Hal-hal tersebut, saya kira, telah ada dan dimiliki oleh Raudal Tanjung Banua, ketika puisi-puisinya berusaha melakukan penyegaran dan “penulisan ulang” pantun, lirik, dan mantra, utamanya dalam buku puisi keduanya setelah Gugusan Mata Ibu, yaitu Api Bawah Tanah, seperti ketika penyairnya berusaha melakukan parodi santun atas pesimisme lirik dan pantun Herbsttag-nya Rainer Maria Rilke:
mereka yang tak berumah
tak akan membangun lagi
tapi di bantul,
mereka yang tak membangun
tentu tak akan berumah lagi.
maka dengarlah suara
bambu, bata, dan paku-paku
gergaji dan palu
pada berlagu
tentang rumah kecil papa
mengjengkal segala lupa.
Puisi yang berjudul Mereka yang Tak Berumah (tak) Akan Membangun Lagi itu adalah suatu narasi tentang masyarakat Bantul paska gempa Jogja tahun 2006. Puisi tersebut memberitahu kepada kita, para pembaca, bahwa saat kejadian gempa di Jogja itu, penyairnya teringat paragraf terakhir puisi Herbsttag-nya Rainer Maria Rilke,
“Mereka yang tak berumah,
tak akan membangun lagi.
Mereka yang sendiri, akan lama menyendiri,
akan jaga, membaca, menulis surat panjang
dan akan melangkah hilir mudik di jalanan
gelisah, bila dedaunan beterbangan”
(Terjemahan ke Bahasa Indonesia oleh Krista Saloh-Forster).
Bila kita baca sekilas, paragraf terakhir puisi Herbsttag-nya Rainer Maria Rilke dan puisi Mereka yang Tak Berumah (tak) Akan Membangun Lagi-nya Raudal Tanjung Banua tersebut seakan tidak ada perbedaan yang penting secara stilistik dan dari sudut “dunia” dan “kosmologi”-nya. Tetapi, bila kita simak secara seksama, nampaklah bahwa puisinya Raudal Tanjung Banua lebih kuat bunyi pantun-nya, sedangkan puisinya Rilke menggabungkan keseimbangan bunyi lirik dan pantun. Tentu saja, dua puisi tersebut juga berbicara tentang konteks dan peristiwa yang berbeda: Rilke bercerita tentang seseorang, yang dalam hal ini Rilke sendiri, sebagai orang asing yang merasa kesepian, yang pada saat bersamaan ia bandingkan dengan nasib orang-orang yang terasing dan terusir, sementara Raudal Tanjung Banua berusaha menghadirkan makna dan arti rumah sebagai “ruang tinggal” atau space of staying sekaligus sebagai space of going (ruang kepergian) ketika si penyair melakukan komparasi pada dirinya sendiri sebagai seorang yang “hijrah” dari tanah kelahiran pada satu sisi, dan pada sisi lainnya tentang pentingnya rumah bagi para settler, bagi orang-orang yang telah lama “tinggal” yang menjadikan dan memaknakan rumah sebagai tempat berlindung satu-satunya yang sekaligus makna “rumah” bagi si penyair sebagai sesuatu dan ruang yang intim sekaligus asing. Dalam puisi tersebut, penyairnya juga tampak sengaja mengaburkan makna “rumah” sebagai tempat dan ruang tinggal dan sebagai “kampung halaman”. Namun, baik puisinya Rilke dan Raudal Tanjung Banua sama-sama “mengimajinasikan” dan “menggambarkan” rumah sebagai “ruang batin”:
“kemarau dengan lebuh debu
telah berlalu di langit dukuh
bersama rumah-rumah yang dulu
tak kuasa menanggung berat derita bumi
kini semua tegak kembali
merekat yang lama dan yang baru
yang manis, retak dan kelabu.
mereka yang sendiri
mungkin akan lama menyendiri
di sudut rumah rindu minta dihuni
dan mereka yang pergi
tentu tak akan membangun lagi
karena rumah, karena rumah,
hanyalah tanda kasih, kecil-papa,
jauh di bumi.”
Teranglah kepada kita, bila kita baca sekali lagi, kita akan menemukan makna “rumah” dalam arti yang lebih luas, yaitu ekologi dan lingkungan, yang dalam sajak tersebut digambarkan sebagai “derita bumi” yang tentu saja dapat kita artikan sebagai “kerusakan ekologi” yang menyebabkan rusaknya keseimbangan dan ekosistem yang berdampak pada “bencana”. Ternyata, dalam puisi, kata “rumah” yang selama ini hanya kita anggap sebagai “kata benda” bisa juga memiliki arti dan makna “kata keterangan” yang memancarkan ragam arti dan “pemaknaan” sesuai dengan konteks puisi dan struktur “teks” puisi itu sendiri. Karena itulah, seringkali dikatakan, sebuah puisi atau teks sastra secara umum, menciptakan “dunia”, “kosmologi”, dan “realitas” sendiri, yang bahkan acapkali lepas dari intensi dan “niat pemakanaan” yang dikehendaki oleh penyairnya. Tepat, di sini lah, bila kita meminjam wawasan hermeneutika, teks sastra mengalami dan mendapatkan dirinya “otonom” atau terbebas dari penulisnya. Sebab, karya sastra dan “teks” yang telah dituliskan atau “fixed writing” telah memiliki kemungkinan pembacaannya sendiri, meski kita dapat saja menelusuri sejarah konteks penulisan dan latar belakang penulisnya sekedar untuk mengetahui konteks sosiologis atau politis sebuah teks sastra sebelum kita membaca teks sastra itu sendiri.
Secara umum, puisi-puisi Raudal Tanjung Banua yang terkumpul dalam buku Api Bawah Tanah masih setia mempertahankan bentuk dan bunyi pantun dan mantra, sebagaimana dalam buku pertamanya yang berjudul Gugusan Mata Ibu. Kita tahu pantun merupakan bentuk yang tertib dan dapat melahirkan sugesti dan “aura” magis bunyi mantra karena repetisi rimanya, sebuah unsur yang juga lazim ada pada seni musik. Repetisi inilah yang membuat sebuah bunyi dan narasi puisi menjelma musik yang menggunakan kata-kata dan bahasa sebagai instrument musikalnya. Selain unsur musik, yang terkandung dalam pantun adalah juga permainan, terutama permainan bunyi dan rima yang tentu juga mensyaratkan kecerdikan dan kemahiran seorang penyair untuk menulis sebuah puisi pantun yang tidak aus alias sekedar mengulang khazanah lama tanpa melakukan upaya “penulisan” kembali yang sejalan dengan perkembangan bahasa dan ujaran kita saat ini. Pada konteks inilah puisi-puisi Raudal Tanjung Banua berusaha “mengaktualkan” khazanah pantun dan mantra yang merupakan khazanah warisan masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Melayu, yang tentu telah diakrabinya secara sangat baik sebagai seorang penyair yang lahir dari “tradisi” tersebut, sebuah tradisi yang juga telah diakrabi dan diolah para penyair Indonesia di masa lalu semisal Amir Hamzah yang puisi-puisinya juga mencerminkan kematangan “penggabungan” khazanah lirik dan pantun.
Sebagaimana dapat kita baca dalam buku Api Bawah Tanah dan Gugusan Mata Ibu, tanah kelahiran penyairnya, kampung halamannya, yang dapat kita artikan juga sebagai “tradisi” dan “khazanah hidup”, atau tentang tempat-tempat yang minimal telah dianggapnya sebagai “kampung halaman” secara bathin serta ingatan tentang itu semua menjadi bahan material dan perenungan banyak dari puisi-puisinya, meski penyairnya telah lama tinggal dan bergelut di Jogjakarta, yang sebagai perwakilannya dapat kita contohkan dengan puisinya yang berjudul Ziarah Pohon:
“Di Wangka, sepanjang Sungaiiliat dan Belinyu
dari Tanjung Penyusuk ke Tanjung Ru
aku berziarah. Bukan ke Gua Maria
bukit Moh Thian Liang, bukan ke Bakit
makam Hotaman Rasyid, bukan ke Liang San Phak
dan makam keramat Kapitan Bong
di klenteng dan sunyi Benteng Kutopanji.
Aku berziarah ke pohon-pohon masa kecilku
yang berderet mengurung
halaman kampung –kampung halaman
jauh terpencil.
Durian nangka cempedak hutan
daun-daunnya gugur di angin santer
langsat manggis duku
pucuk-rantingnya sayup di awan.
Semak rangsam di pinggir jalan
rumpun sagu di rawa selokan
cengkeh dan mete rimbun daun
di pantai ketapang mencumbu karang
bambu-pimping-paku bergoyangan di tebing
berpakis haji. Jambu-kweni-ambacang
jatuh berdebum di halaman klenteng dan surau kampung
bangunkan lelap muazin dan penggerek lonceng.
Kantong semar memerangkap serangga
dan kupu-kupu, diam-diam,
hingga mumbang jatuh kelapa jatuh
di pantai itu!
Begitulah kuziarahi pohon-pohon hayatku
yang menyatu sebagai liat tubuh ibu
bayang-bayangnya melindap
meneduhi bunga dan akar yang kurawat.”
Seperti terasa jelas kepada kita sebagai pembaca, “ziarah” yang ditawarkan puisi berjudul Ziarah Pohon tersebut adalah ziarah batin, menziarahi segala hal yang telah akrab bagi penyairnya, bukan ziarah kepada monumen-monumen dan tugu-tugu bisu yang tidak berkaitan dengan pengalaman hidup dan pengalaman batin seorang penyair, di mana seorang peziarahnya tak lain adalah seorang penyairnya sendiri. Apa saja yang diziarahinya? Bila kita mengacu kepada puisi Ziarah Pohon tersebut, si penyairnya menziarahi detil-detil tempat dan benda-benda yang pernah dijumpai, dihidupi, dan diintiminya: “tanah kelahiran” dan “kampung halaman” bathin-nya, sebelum seorang penyairnya akhirnya hijrah dan meninggalkannya, yang karena “tanah kelahiran” dan “kampung halaman” itu telah sedemikian nyatanya, minimal secara batin, membuatnya tetap nyata dan akrab meski telah ditinggalkan, menjadi ingatan dan kenangan batin, menjadi “space of staying” batin. Ia tidak “menziarahi” tempat-tempat, tugu-tugu, dan monumen-monumen yang tidak “berkenaan” dengan pengalaman hidup dan kenangan serta ingatan batinnya sebagai seorang penyair. Begitu pun, dalam puisi Ziarah Pohon tersebut, penyairnya hendak memberikan pemaknaan bahwa “ziarah” bukanlah semata “wisata” yang sifatnya sekedar menjumpai “eksotisme” atau “masa silam” yang tidak “menyumbangkan” kosmik subjektif bagi “historiografi personal” si penyairnya.
Sulaiman Djaya, Penyair.
*) Catatan singkat ini disampaikan pada Diskusi Bedah Buku “Api Bawah Tanah” Karya Raudal Tanjung Banua di Aula PKM Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, 22 November 2013 yang Diselenggarakan Oleh Bengkel Menulis dan Sastra (Belistra) Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Ginandjar Wiludjeng
A. Junianto
A. Kurnia
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.S Laksana
A’yat Khalili
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Razak
Abdul Rosyid
Abdul Wahab
Abdurrahman Wahid
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adam Chiefni
Ade P. Nasution
Adhitia Armitriant
Adi Prasetyo
Adrizas
AF. Tuasikal
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Baso
Ahmad Faishal
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Naufel
Ahmad Rofiq
Ahmad S. Zahari
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ainul Fiah
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Alex R. Nainggolan
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Almania Rohmah
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aminah
Aminullah HA.Noor
Amir Sutaarga
Anam Rahus
Anata Siregar
Andari Karina Anom
Andina Dwifatma
Andong Buku #3
Andre Mediansyah
Andri Awan
Anett Tapai
Anggie Melianna
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Wahyudi
Anwar Nuris
Ardi Bramantyo
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Joko Wicaksono
Arief Junianto
Ariera
Arif Bagus Prasetyo
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Asmaul Fauziyah
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Wulan Sari
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Camelia Mafaza
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Daisuke Miyoshi
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Danusantoso
Dareen Tatour
Darju Prasetya
David Kuncara
Denny Mizhar
Denza Perdana
Desi Sommalia Gustina
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewi Indah Sari
Dewi Susme
Dian Sukarno
Didik Harianto
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur
Dipo Handoko
Diyah Errita Damayanti
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddy Wisnu Pribadi
Dody Kristianto
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi SS MHum
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Wiyana
Dyah Ratna Meta Novia
Dyah Sulistyorini
Ecep Heryadi
Eddy Pranata PNP
Edeng Syamsul Ma’arif
Eep Saefulloh Fatah
EH Kartanegara
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Hendri Saiful
Eko Windarto
Elnisya Mahendra
Elva Lestary
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Sulwesi
Endo Suanda
Eppril Wulaningtyas R
Esai
Evan Ys
F. Moses
F. Rahardi
Fadlillah Malin Sutan
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Febby Fortinella Rusmoyo
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Gabriel Garcia Marquez
Galang Ari P.
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Ganug Nugroho Adi
Gerson Poyk
Ghassan Kanafani
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunoto Saparie
H.B. Jassin
Habibullah
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Hardi
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
HE. Benyamine
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Herman RN
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Nugroho
Hikmat Gumelar
HL Renjis Magalah
Hudan Nur
Hujuala Rika Ayu
Huminca Sinaga
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ira Puspitaningsih
Irfan Budiman
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Zulkarnain
Ismail Marzuki
Iva Titin Shovia
Iwan Kurniawan
Jabbar Abdullah
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D. Rahman
Jamal T. Suryanata
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
JILFest 2008
Jody Setiawan
Johan Edy Raharjo
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Juan Kromen
Julika Hasanah
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Ka’bati
Karanggeneng
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Keith Foulcher
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khoirul Inayah
Khoirul Rosyadi
Khudori Husnan
Ki Ompong Sudarsono
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
L.N. Idayanie
Laili Rahmawati
Lamongan
Lan Fang
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lucia Idayanie
Lukman A Sya
Lutfiah
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Ismail
M Thobroni
M. Afifuddin
M. Arwan Hamidi
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Luthfi Aziz
M. Nurdin
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.S. Nugroho
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahmud Syaltut Usfa
Mahmudi Arif Dahlan
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Martin Aleida
Maruli Tobing
Mas Ruscita
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni Muserang
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mia Arista
Mia El Zahra
Mikael Johani
Misbahus Surur
Misran
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
Much. Khoiri
Muh. Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun
Muhammadun AS
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mukti Sutarman Espe
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Munawir Aziz
Musfarayani
Musfi Efrizal
Nafisatul Husniah
Nandang Darana
Naskah Teater
Nelson Alwi
Ni Made Purnamasari
Nikmatus Sholikhah
Nina Herlina Lubis
Nina Susilo
Ning Elia
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel-novel berbahasa Jawa
Novelet
Nunuy Nurhayati
Nur Azizah
Nur Hamzah
Nur Kholiq
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Aini
Nurul Anam
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Okty Budiati
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso H.N.
Pagan Press
Pagelaran Musim Tandur
Palupi Panca Astuti
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Petrus Nandi
Politik
Politik Sastra
Pradana Boy ZTF
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringadi AS
Prof Dr Fabiola D. Kurnia
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Puji Tyasari
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
Purnawan Kristanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Ng. Ronggowarsito
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmat Kemat Hidayatullah
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rasanrasan Boengaketji
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Resensi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Ririe Rengganis
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rusmanadi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saiful Amin Ghofur
Saiful Anam
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman S. Yoga
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang KSII
Santi Puji Rahayu
Sapardi Djoko Damono
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Jawa Timur
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputra
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sri Weni
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugi Lanus
Sukron Ma’mun
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaf Anton Wr
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syarif Wadja Bae
Sylvianita Widyawati
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie (1961-2019)
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tia Setiadi
Tirto Suwondo
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tosa Poetra
Tri Nurdianingsih
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulul Azmiyati
Umar Fauzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Utari Tri Prestianti
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wan Anwar
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wina Bojonegoro
Wita Lestari
Wong Wing King
Wowok Hesti Prabowo
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopi Setia Umbara
Yudhi Herwibowo
Yudi Latif
Yusri Fajar
Yusuf Ariel Hakim
Yuval Noah Harari
Zacky Khairul Uman
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zed Abidien
Zehan Zareez
Zhaenal Fanani
Zubaidi Khan
Zuniest
Tidak ada komentar:
Posting Komentar