Riyon Fidwar *
harianhaluan.com 29 Juli 2012
Sebuah karya sastra diciptakan oleh sastrawan untuk dinikmati, dipahami dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Satrawan itu sendiri adalah anggota masyarakat, ia tergolong oleh status sosial tertentu. Sastra itu sendiri adalah sebuah karya sastra yang dihasilkan oleh manusia (sastrawan) yang bernilai estetikan, dan memiliki medium, yaitu bahasa. Menurut Rene Wellek ada tiga pengulasan tentang sastra (sosiologi sastra), yaitu: sosiologi pengarang, sosiologi karya, sosiologi pembaca.
Seperti yang telah dijelaskan di atas bagaimana sebuah karya itu dihasilkan oleh sastrawan (pengarang), dan sastrawan itu sendiri adalah anggota dari masyarakat yang memiliki status sosial tertentu. Sosiologi sastra juga merupakan pendekatan terhadap karya sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan.
Sebagaimana kita ketahui pada zaman Sultan Takdir Alsjahbana merupakan sebuah zaman yang kehidupan negara tidak menentu atau zaman penjajahan Belanda. STA sendiri merupakan sastrawan yang berasal dari Sumatera dan hidup pada masa Balai Pustaka. Karya-karya (STA) sangat berpengaruh pada pemuda-pemuda yang hidup di zamannya, yaitu terpengaruh pada sastra Barat.
Berbagai pemikiran dan gagasan dari kaum intelektual digali agar mendapatkan yang sesuai bagi perjalanan masa depan bangsa. Salah satu yang bisa dijadikan suri tauladan adalah Sutan Takdir Alisjahbana (STA). Perlu kiranya kita mengenal lebih mendalam sosok STA yang sepanjang hidupnya memikirkan dan berusaha memecahkan masalah-masalah bahasa, sosial-budaya, filsafat, agama dan kesenian yang melandaskan kehidupan bernegara kita.
Sebutan lain yang disandang STA adalah peletak dasar peradaban modern Indonesia. Pemikiran Takdir mengenai kebudayaan dan identitas nasional kemudian dikembangkan lebih lanjut melingkupi kebudayaan ASEAN dan kebudayaan dunia yang sedang dibentuk akibat globalisasi. Dalam karya terakhirnya ia mengajak kita semua membentuk suatu kebudayaan dunia yang inklusif di mana semua orang mendapat tempat. Selain memodernisasi bahasa Indonesia, tindakan Takdir yang sama pentingnya adalah mencetuskan Polemik Kebudayaan. Indonesia didirikan berdasarkan dialog yang memuncak dengan adanya Sumpah Pemuda. Namun setelah Sumpah Pemuda diucapkan, khususnya di tahun 1930an, pemerintah Hindia Belanda mulai resah dengan berkembangnya gerakan nasionalis yang meginginkan kemerdekaan dan pemerintah kolonial berusaha menghentikan dialog tersebut dengan melarang segala tulisan berbau nasionalis yang menganut Indonesia merdeka di media cetak.
Sutan Takdir Alisjahbana lahir di Natal, Sumatera Utara,11 Februari 1908, dan mendapat pendididikan Barat semenjak sekolah sampai ia menyelesaikan studi terkhirnya dengan pendidikan Barat. Perlu kiranya kita mengenal lebih mendalam sosok STA yang sepanjang hidupnya memikirkan dan berusaha memecahkan masalah-masalah bahasa, sosial-budaya, filsafat, agama dan kesenian yang melandaskan kehidupan bernegara kita. Menurut seorang Editor di Jurnal Ilmu dan Budaya, Liliek Sofyan Ahmad, STA juga memikirkan cara mengadaptasi bidang-bidang tersebut terhadap globalisasi, sebab pada dasarnya Takdir sebagai puncak peradaban manusia yang sempurna.
Dalam hal ini, STA sebagai seorang pemuda yang secara jernih merumuskan pandangan-pandangannya betapa pun sempitnya pandangan itu. Ia melontarkan gagasan yang sering malah mentah, namun dapat membangunkan orang-orang tua yang terkantuk-kantuk. Sebagian besar polemik yang terjadi dan sikap seperti itu besar peengaruhnya kepada kaum cendikiawan muda. Akibatnya adalah sikap memusuhi, sikap anti, sikap tidak peduli, terhadap kekayaan budaya lama (kebudayaan daerah) yang sangat beeragam di seluruh Indonesia.
Takdir kemudian mencetuskan Polemik Kebudayaan dan menerbitkan semua pandangan dalam Polemik Kebudayaan di majalah Pudjangga Baru. Dengan demikian ia memberi corong kepada kaum nasionalis di mana mereka dapat mengexpresikan dan mengembangkan pemikiran mereka melalui tulisan-tulisan mengenai budaya Indonesia baru yang akan dibentuk. Pudjangga Baru merupakan satu-satunya corong yang terbuka bagi kaum nasionalis pada waktu itu untuk meneruskan dialog pembentukan Indonesia.
Takdir sendiri yang telah terpengaruh oleh kebudayaan Barat seperti dalam tulisan-tulisannya. Ia menulis antara lain: “ Didalam dukungan adat, jiwa seseorang tidak mungkin berkembang dengan bebas. Dari hari ke hari, tahun ke tahun, abad kea bad orang hidup persis menurutkan saluran-saluran adat yang berlaku turun menurun. Pikiran tidak mungkin kritis, perasaan tidak mungkin berkembang menurut kodrat pribadinya”.
S. Takdir Alisjahbana adalah orang yang lantang suaranya dalam menganjurkan agar bangsa Indonesia kaalau hendak maju meniru kebudayaan Barat, bahkan mereguk roh dan semangat Barat sebanyak-banyaknya. Dalam rangkaian karangannya tentang puisi Indonesia yang dimuat dalam Pujangga Baru tahun 1930-an Takdir sangat keras mengejek bentuk pantun dan syair sebagai “ucapan nenek-nenek tua yang terbuai antara kuap dan kantuk”. Takdir menolak bentuk-bentuk puisi (Melayu) lama sebagai wadah puisi Indonesia baru, dan menganjurkan agar puisi baru lebih mencerminkan ekspresi penyairnya secara individual. Pengarang-pengarang yang berasal dari Sumatera seperti M. Yamin, Sanusi Pane, Amir Hamzah, S. Takdir Alisjahbana dan lain-lain memperlihatkan hubungannya yang erat dengan sastra Melayu (klasik) dengan baik, selain itu kita pun menyaksikan munculnya para pengarang yang menulis dalam bahasa Indonesia pada awal abad ini (bahkan sejak awal abad yang lalu).
Karena pengaruh pendidikan formal melalui sekolah-sekolah yang dilaksanakan pada waktu itu, ditambah pula kenyataan hidup dalam masyarakat penjajahan, maka dikalangan bangsa Indonesia tumbuh anggapan bahwa kebudayaan Barat-lah yang patut ditiru. Segala sesuatu yang dating dari Barat dianggap baik dan maju.
Sikap angkuh seperti itu besar pengaruhnya kepada pemuda yang lain, terutama kepada pemuda atau generasi yang lebih kemudian. Hal itu pada akhirnya menumbuhkan semacam anggapan bahwa segala sesuatu yang bersifat tradisional atau daerah adalah tidak baik. Tidak sejaln dengan semangat Indonesia baru. Bahkan kemudian timbul anggapan yang lebih parah; segala sesuatu yang berssifat tradisional (daerah) bertentangan atau berlawanan, sekurang-kurangnya tidak sejalan. Bahkan berbahaya terhadap masa depan Indonesia.
Anggapan seperti itu bahkan mendapat anggapan yang lebih parah lagi: perkembangan kebudayaan daerah dianggap akan menghambat perkembangan kebudayaan (nasional) Indonesia. Seakan-akan dalam kehidupan Indonesia baru, walau pun sudah mempunyai semboyan bhinneka tunggal ika , hanya ada satu pilihan saja atau kebudayaan daerah atau kebudayaan nasional. Dengan kata lain adalah membina kebudayaan nasional dengan mengorbankan kebudayaan daerah.
Sutan Takdir Alisjahbana pun mengemukakan bahwa ternyata yang bangkit menjadi pemimpin bangsa, adalah para pemuda yang berpendidikan Barat, dan bukan hasil pendidikan nusantara. Argumentasi yang dikemukakannya itu kelihatannya logis, tetapi saying tidak mengenai sasaran. Hal itu sesungguhnya merupakan suatu kerugian dipandang dari kepentingan kita sebagi bangsa. Sering pikiran STA yang hanya mengandalkan pendidikan Baratnya yang kurang luas. Nampak misalnya pada tulisannya yang berjudul “Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru” (h. 27 dan seterusnya). Dalam semangat hendak membangun kebudayaan Indonesia baru yang terlepas dari zaman prae-Indonesia, ia mengatakan:
“Pekerjaan Indonesia muda bukanlah restaurereren Brobudur dann Prambanan, bukanlah untuk mendirikan bangunan yang lain serupa dengan itu. Pekerjaan yang pertama dapat kita serahkan pada Oudheidkundige dienst,yang akan mencari batu yang telah diserak-serak oleh zaman, yang akan membalik-balik buku-buku tua untuk mengetahui, bagaimana rupa bangunan-bangunan itu dahulu” (h. 16).
Kalimat itu memberi petunjuk bahwa pengertian “kebudayaan” yang dipakai STA paling tidak, tidak memasuki kepurbakalaan ke dalamnya. Dalam tulisannya yang dimuat dalam kumpulan puisi “Lagu Pemacu Ombak” yang diterbitkan oleh Pujangga Baru pada tahun 1933, yang judul “Di Candi Prambanan”, ia menyatakan “…dan aku akan melahirkan seni baru, tidak serupa bentuk ini, abadi selaras dengan gelora sukma dan zamanku”. Dari pernyataan ini STA mencoba merubah ‘kebudayaan’ Indonesia dengan mengubah cara berpikir secara tradisional dan semua yang dilakukan harus bergaya Barat.
Dari penjelasan di atas, bagaimana seorang sastrawan yang besar keinginan untuk merubah ‘kebudayaaan’ Indonesia dengan cara berkiblat ke Barat. Karena pengaruh pendidikan formal melalui sekolah-sekolah yang dilaksanakan pada masa itu, ditambah pula dengan kenyataan hidup dalam masyarakat jajahan, maka kalangan Indonesia tumbuh anggapan bahwa kebudayaan Barat adalah yang maju dan patut ditiru. Segala sesuatu yang dating dari Barat dianggap baik dan maju.
Takdir sendiri yang telah terpengaruh oleh kebudayaan Barat seperti dalam tulisan-tulisannya. Ia menulis antara lain: “ Didalam dukungan adat, jiwa seseorang tidak mungkin berkembang dengan bebas. Dari hari ke hari, tahun ke tahun, abad ke abad orang hidup persis menurutkan saluran-saluran adat yang berlaku turun menurun. Pikiran tidak mungkin kritis, perasaan tidak mungkin berkembang menurut kodrat pribadinya”.
Anggapan seperti itu bahkan mendapat anggapan yang lebih parah lagi: perkembangan kebudayaan daerah dianggap akan menghambat perkembangan kebudayaan (nasional) Indonesia. Seakan-akan dalam kehidupan Indonesia baru, walau pun sudah mempunyai semboyan bhinneka tunggal ika , hanya ada satu pilihan saja atau kebudayaan daerah atau kebudayaan nasional. Dengan kata lain adalah membina kebudayaan nasional dengan mengorbankan kebudayaan daerah.
*) Mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Unand
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Ginandjar Wiludjeng
A. Junianto
A. Kurnia
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.S Laksana
A’yat Khalili
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Razak
Abdul Rosyid
Abdul Wahab
Abdurrahman Wahid
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adam Chiefni
Ade P. Nasution
Adhitia Armitriant
Adi Prasetyo
Adrizas
AF. Tuasikal
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Baso
Ahmad Faishal
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Naufel
Ahmad Rofiq
Ahmad S. Zahari
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ainul Fiah
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Alex R. Nainggolan
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Almania Rohmah
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aminah
Aminullah HA.Noor
Amir Sutaarga
Anam Rahus
Anata Siregar
Andari Karina Anom
Andina Dwifatma
Andong Buku #3
Andre Mediansyah
Andri Awan
Anett Tapai
Anggie Melianna
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Wahyudi
Anwar Nuris
Ardi Bramantyo
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Joko Wicaksono
Arief Junianto
Ariera
Arif Bagus Prasetyo
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Asmaul Fauziyah
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Wulan Sari
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Camelia Mafaza
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Daisuke Miyoshi
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Danusantoso
Dareen Tatour
Darju Prasetya
David Kuncara
Denny Mizhar
Denza Perdana
Desi Sommalia Gustina
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewi Indah Sari
Dewi Susme
Dian Sukarno
Didik Harianto
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur
Dipo Handoko
Diyah Errita Damayanti
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddy Wisnu Pribadi
Dody Kristianto
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi SS MHum
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Wiyana
Dyah Ratna Meta Novia
Dyah Sulistyorini
Ecep Heryadi
Eddy Pranata PNP
Edeng Syamsul Ma’arif
Eep Saefulloh Fatah
EH Kartanegara
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Hendri Saiful
Eko Windarto
Elnisya Mahendra
Elva Lestary
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Sulwesi
Endo Suanda
Eppril Wulaningtyas R
Esai
Evan Ys
F. Moses
F. Rahardi
Fadlillah Malin Sutan
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Febby Fortinella Rusmoyo
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Gabriel Garcia Marquez
Galang Ari P.
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Ganug Nugroho Adi
Gerson Poyk
Ghassan Kanafani
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunoto Saparie
H.B. Jassin
Habibullah
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Hardi
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
HE. Benyamine
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Herman RN
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Nugroho
Hikmat Gumelar
HL Renjis Magalah
Hudan Nur
Hujuala Rika Ayu
Huminca Sinaga
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ira Puspitaningsih
Irfan Budiman
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Zulkarnain
Ismail Marzuki
Iva Titin Shovia
Iwan Kurniawan
Jabbar Abdullah
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D. Rahman
Jamal T. Suryanata
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
JILFest 2008
Jody Setiawan
Johan Edy Raharjo
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Juan Kromen
Julika Hasanah
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Ka’bati
Karanggeneng
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Keith Foulcher
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khoirul Inayah
Khoirul Rosyadi
Khudori Husnan
Ki Ompong Sudarsono
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
L.N. Idayanie
Laili Rahmawati
Lamongan
Lan Fang
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lucia Idayanie
Lukman A Sya
Lutfiah
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Ismail
M Thobroni
M. Afifuddin
M. Arwan Hamidi
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Luthfi Aziz
M. Nurdin
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.S. Nugroho
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahmud Syaltut Usfa
Mahmudi Arif Dahlan
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Martin Aleida
Maruli Tobing
Mas Ruscita
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni Muserang
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mia Arista
Mia El Zahra
Mikael Johani
Misbahus Surur
Misran
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
Much. Khoiri
Muh. Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun
Muhammadun AS
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mukti Sutarman Espe
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Munawir Aziz
Musfarayani
Musfi Efrizal
Nafisatul Husniah
Nandang Darana
Naskah Teater
Nelson Alwi
Ni Made Purnamasari
Nikmatus Sholikhah
Nina Herlina Lubis
Nina Susilo
Ning Elia
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel-novel berbahasa Jawa
Novelet
Nunuy Nurhayati
Nur Azizah
Nur Hamzah
Nur Kholiq
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Aini
Nurul Anam
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Okty Budiati
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso H.N.
Pagan Press
Pagelaran Musim Tandur
Palupi Panca Astuti
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Petrus Nandi
Politik
Politik Sastra
Pradana Boy ZTF
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringadi AS
Prof Dr Fabiola D. Kurnia
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Puji Tyasari
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
Purnawan Kristanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Ng. Ronggowarsito
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmat Kemat Hidayatullah
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rasanrasan Boengaketji
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Resensi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Ririe Rengganis
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rusmanadi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saiful Amin Ghofur
Saiful Anam
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman S. Yoga
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang KSII
Santi Puji Rahayu
Sapardi Djoko Damono
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Jawa Timur
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputra
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sri Weni
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugi Lanus
Sukron Ma’mun
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaf Anton Wr
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syarif Wadja Bae
Sylvianita Widyawati
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie (1961-2019)
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tia Setiadi
Tirto Suwondo
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tosa Poetra
Tri Nurdianingsih
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulul Azmiyati
Umar Fauzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Utari Tri Prestianti
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wan Anwar
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wina Bojonegoro
Wita Lestari
Wong Wing King
Wowok Hesti Prabowo
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopi Setia Umbara
Yudhi Herwibowo
Yudi Latif
Yusri Fajar
Yusuf Ariel Hakim
Yuval Noah Harari
Zacky Khairul Uman
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zed Abidien
Zehan Zareez
Zhaenal Fanani
Zubaidi Khan
Zuniest
Tidak ada komentar:
Posting Komentar