Acep Iwan Saidi *
Pikiran Rakyat, 20 Des 1997
Ernest Renan, di dalam Nationalism: 1st Meaning and History memaknai nasionalisme sebagai solidaritas tinggi yang tercipta dari sentimen pengorbanan bersama demi sebuah masa depan. Mereka memiliki masa lampau yang melanjutkan diri dalam masa kini dengan membentuk suatu fakta yang jelas, yakni mufakat. Para “penganut nation” ini mempunyai kehendak yang dinyatakan dengan jelas untuk meneruskan kehidupan (Kohn, 1965: 139).
Bahasa Indonesia, sebagai bahasa nasional dan pemersatu bangsa, tercipta dari kegelisahan semacam itu. Enam puluh sembilan tahun yang lalu, bahasa Indonesia lahir dari pergumulan dan pengorbanan yang sangat besar dari para penggagasnya. Sumpah nasionalisme 28 Oktober 1928 betul-betul merupakan sumpah yang mengorbankan egoisme kesukuan yang telah mengakar.
Secara historis, tingkat kesulitan terciptanya bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dapat dipaparkan sebagai berikut. Pertama, para penggagas bahasa nasional berasal dari berbagai daerah yang menganggap dirinya memiliki keturuan dan mitos-mitos tersendiri yang terwujud melalui adat dan bahasa tersendiri. Kedua, mereka telah membentuk atau memiliki nation-nation tua dengan identitas kebangsaan tersendiri, seperti Sunda, Jawa, Minang, Batak, dan lain-lain. Ketiga, beberapa daerah telah memiliki aksara tersendiri sebagai lambang dari identitas dirinya. Keempat, daerah-daerah bahkan telah menyusun perilaku kemasyarakatannya melalui pembentukan struktur kenegaraan. Di sini dapat ditunjuk beberapa kerajaan, kesunanan, dan kesultanan.
Nation-nation tua dengan struktur kenegaraan yang dimaksud, antara lain, Kerajaan Bone, Wajo, Goa, Soppeng, Ternate, Sidenreng, dan Roppeng di Sulawesi, Kerajaan Deli, Asahan, Langkat, Serdang dan Siah Sri Indrapura di Sumatera Timur, Kerajaan Buleleng, Jembrano, Badung, Tabanan, Klungkung, dan Bangli di Bali, Kerajaan Bima dan Sumbawa di Sumbawa, Tidore dan Ternate di Halmahera, Kesunanan Surakarta, Kesultanan Yogyakarta dan Mangkunegara di Jawa.
Dalam fase berikutnya, pengaruh dari luar tidak dapat dielakkan. Datangnya bangsa Belanda yang kemudian menjadi penjajah selama kurang lebih 350 tahun, telah berpengaruh besar ke dalam perilaku bahasa yang beraneka ragam tersebut. Bahasa Belanda kemudian menjadi bahasa elit, mereka yang mau dianggap terpelajar harus menguasai bahasa ini. Sejarah mencatat, tahun 1921 kongres guru lulusan Kweekschool dan Kweekschoolbond memutuskan agar pengajaran bahasa Melayu di sekolah-sekolah dihapuskan. Tahun 1926 keputusan tersebut mendapat dukungan dari Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB) melalui referendumnya. Tahun 1930 (dua tahun setelah Sumpah Pemuda) dr. Sutomo bahkan masih mengusulkan agar pengajaran bahasa Melayu di sekolah-sekolah pribumi yang berpola modern diganti dengan bahasa Belanda. Usul ini langsung mendapat sambutan dari sekolah-sekolah di Jawa dan Madura. Tahun 1932, pengaruhnya telah meluas ke seluruh sekolah di luar Jawa dan Madura.
Baru ketika Jepang datang (tahun 1942), bahasa Belanda mulai tersisih. Jepang kemudian melarang sama sekali penggunaan bahasa Belanda di nusantara dan bahasa Melayu harus (boleh) kembali digunakan. Dalam fase itulah, bahasa Indonesia hasil Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 menunjukkan akarnya yang kuat. Dan tahun 1945 kemerdekaan pun “diterjemahkan” ke dalam bahasa tercinta ini.
Dari kilas pandang historis di atas dapat disimpulkan bahwa bahasa Indonesia nyaris tidak mungkin terbentuk sebagai bahasa persatuan jika tidak didasari rasa nasionalisme yang kuat. Solidaritas yang begitu tinggi dari para penggagasnya menunjukkan bahwa bahasa Indonesia tidak lahir hanya karena sebelumnya bahasa Melayu—sebagai cikal bakal bahasa Indonesia—telah menjadi bahasa pergaulan yang dominan di antara kaum terpelajar di nusantara. Ada proses pergumulan batin cukup dahsyat yang diakhiri pengorbanan egoisme kedaerahan dari masing-masing anggota perintis kemerdekaan yang berasal dari aneka ragam suku itu, sehingga kemudian terbentuk nasionalisme kebahasaan.
Kini, enam puluh delapan tahun sudah bahasa Indonesia berusia. Berkali-kali kongres bahasa telah dilaksanakan. Beratus-ratus bahkan beribu-ribu kali diskusi, seminar, simposium, dan yang lain sejenisnya telah dilakukan di seluruh pelosok negeri ini. Semuanya pasti diselenggarakan dengan salah satu tujuan untuk meningkatkan atau mengangkat martabat bahasa Indonesia di tengah-tengah pesatnya kemajuan zaman. Pertanyaannya adalah, apakah bahasa Indonesia telah dapat mengimbangi kemampuan itu? apakah nasionalisme bahasa masih mengakar dalam data bangsa kita?
Realitas menunjukkan bahwa dari aspek komunikasi bahasa Indonesia telah komunikatif. Hampir seluruh warga masyarakat bangsa memahami bahasa ini, meskipun beberapa suku di pedalaman masih kesulitan di dalam hal pengucapan (salah satu contohnya dituturkan Adi Kurdi dalam diskusi film “Surat untuk Bidadari” Garin Nugroho, dua tahun lalu di Unpad. Menurut Adi, sangat sulit mencari warga yang fasih berbahasa Indonesia di pedalaman Sumba, tempat film tersebut dibuat).
Aspek komunikasi dalam bahasa memang merupakan hal yang sangat penting. Aspek inilah yang menjadi sasaran utama pemakaian bahasa Indonesia di masa lalu. Dengan tercapainya aspek komunikasi, terbukti, beribu-ribu pulau di nusantara dapat dipersatukan. Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya, tinjauan terhadap bahasa tidak hanya cukup sampai pada aspek ini. Kajian terhadap bahasa juga tidak hanya berhenti sampai pada kajian fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Bahasa memiliki imbuhan yang sangat kompleks yang melekat pada dirinya. Persoalan-persoalan idiologi, kekuasaan psikologis, filsafat, sampai moralitas bangsa adalah aspek-aspek yang sangat rumit yang senantiasa menempel pada permasalahan bahasa. Di sinilah bahasa Indonesia harus dikaji lebih intens. Soalnya, ditinjau dari segi-segi tersebut, bahasa Indonesia berada pada tingkat yang mengkhawatirkan.
Raja Ali Haji, seorang ahli bahasa dan pujangga besar Melayu, mengibarkan bahasa sebagai lambang martabat bangsa. Menurut Ali Haji, “kalau hendak tahu orang berbangsa, lihat kepada budi bahasa.” Ungakapan ini kemudian menjadi sangat terkenal dalam cogan yang lebih singkat, “bahasa menunjukkan bangsa.” Bahkan anak-anak sekolah dasar pun telah hapal benar ungkapan ini. Jadi, apa yang terjadi dalam sebuah bangsa akan tercermin dalam bahasanya. Moralitas bahasa itu tidak lain adalah moralitas bangsa.
Ditinjau dari aspek tersebut, seperti telah dijelaskan di atas, bahasa Indonesia kini tengah menghadapi persoalan yang sangat rumit. Moralitas bahasa Indonesia tengah menunjukkan kondisinya yang “rusak” berat. Bahasa Indonesia hanya menjadi alat berbagai pihak untuk melegitimasikan segala kehendaknya. Secara garis basar, kerusakan tersebut dapat dibagi atau dikategorikan ke dalam tiga tingkatan.
Pertama, kerusakan bahasa tingkat tinggi, yakni kerusakan bahasa karena kekuasaan. Di sini, bahasa diciptakan semata-mata karena kepentingan kekuasaan. Apapun boleh diucapkan atau ditulis demi tegaknya kekuasaan tersebut. Demi tegaknya persatuan dan kesatuan, demi stabilitas nasional, karena dapat meresahkan masyarakat, untuk menunjang pembangunan, dan untuk mensejahterakan rakyat adalah beberapa contoh “klausa bebas” yang sering digunakan untuk melegitimasi kesewenang-wenangan penggunaan bahasa di tingkat kuasa.
Kedua, adalah kerusahan bahasa tingkat menengah. Pada tataran ini, eufemisme adalah gejala yang boleh ditunjuk. Penghalusan-penghalusan bahasa dilakukan orang untuk mencapai berbagai tujuan. Pada mulanya eufemisme memang boleh disebut sebagai bahasa sopan santun orang Melayu yang tidak berani secara langsung mengungkapkan sesuatu. Akan tetapi, dalam perkembangan berikutnya, eufemisme menjadi semacam “jembatan legitimator” penguasa dan golongan tertentu. Ungkapan-ungkapan semacam penyesuaian harga (sebenarnya penaikan harga), pencekalan (sebenarnya pelarangan), dan diamankan (sebenarnya dipenjara) adalah beberapa contoh kecil yang boleh ditunjuk.
Kerusakan bahasa tingkat ketiga adalah pengrusakan bahasa yang disebabkan karena ketakutan para pemakainya. Kerusakan ini sebenarnya lebih disebabkan oleh dua faktor yang pertama. Di sini orang mengucapkan sesuatu karena itulah yang boleh atau harus diucapkannya. Panggilan Bung terhadap tokoh politik di negeri ini, misalnya, bagi seorang pegawai—“objek politik”—sebuah desa di pedalaman pasti akan dirasakan sebagai sebuah keharusan. Di tingkat ini kaya ya bisa berarti tidak, atau sebaliknya, tidak dapat berarti ya.
Penggolongan tersebut, seperti telah dijelaskan, hanya “berbicara” pada tingkat global, belum dapat menjelaskan bagaimana pengrusakan bahasa Indonesia secara mendetil. Tulisan ini masih belum menyebut kekacauan bahasa di bidang ekonomi (iklan dan papan nama), bahasa media massa (realitas yang dipalsukan dalam berita tertentu), bahasa teknologi (penyerapan istilah teknologi mutakhir dan istilah asing lainnya yang semrawut), sampai ke merebaknya akronim yang diciptakan secara sewenang-wenang oleh berbagai kalangan. Akan tetapi, dari keseluruhannya dapat disimpulkan bahwa semua itu terjadi karena moralitas bangsa ini sedang mengidap penyakit yang cukup membahayakan.
Penghormatan orang terhadap bahasa Indonesia semakin hari semakin menipis. Merebaknya penggunaan bahasa Inggris—dalam hal tertentu memang baik mengingat bahasa Inggris sebagai bahasa dunia—kian memperkecil kepercayaan orang terhadap kemungkinan terciptanya bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Hal ini, tentu saja merupakan keadaan yang sebaliknya dari sejarah terciptanya bahasa Indonesia itu sendiri, seperti yang telah dijelaskan di awal tulisan ini. Jika dahulu bahasa Indonesia tercipta dari nation-nation tua yang meleburkan dirinya demi sebuah tujuan bersama, kini tujuan bersama itu telah menyebar menjadi tujuan masing-masing individu dan golongan. Nasionalisme bahasa Indonesia yang dibangun dari nation-nation tua itu sekarang betul-betul sedang berada dalam krisis.
*) Acep Iwan Saidi, Ketua Forum Studi Kebudayaan FSRD ITB.
Dijumput dari: http://acepiwansaidi.com/2013/05/24/nasionalisme-bahasa-dalam-krisis/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Ginandjar Wiludjeng
A. Junianto
A. Kurnia
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.S Laksana
A’yat Khalili
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Razak
Abdul Rosyid
Abdul Wahab
Abdurrahman Wahid
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adam Chiefni
Ade P. Nasution
Adhitia Armitriant
Adi Prasetyo
Adrizas
AF. Tuasikal
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Baso
Ahmad Faishal
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Naufel
Ahmad Rofiq
Ahmad S. Zahari
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ainul Fiah
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Alex R. Nainggolan
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Almania Rohmah
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aminah
Aminullah HA.Noor
Amir Sutaarga
Anam Rahus
Anata Siregar
Andari Karina Anom
Andina Dwifatma
Andong Buku #3
Andre Mediansyah
Andri Awan
Anett Tapai
Anggie Melianna
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Wahyudi
Anwar Nuris
Ardi Bramantyo
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Joko Wicaksono
Arief Junianto
Ariera
Arif Bagus Prasetyo
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Asmaul Fauziyah
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Wulan Sari
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Camelia Mafaza
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Daisuke Miyoshi
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Danusantoso
Dareen Tatour
Darju Prasetya
David Kuncara
Denny Mizhar
Denza Perdana
Desi Sommalia Gustina
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewi Indah Sari
Dewi Susme
Dian Sukarno
Didik Harianto
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur
Dipo Handoko
Diyah Errita Damayanti
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddy Wisnu Pribadi
Dody Kristianto
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi SS MHum
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Wiyana
Dyah Ratna Meta Novia
Dyah Sulistyorini
Ecep Heryadi
Eddy Pranata PNP
Edeng Syamsul Ma’arif
Eep Saefulloh Fatah
EH Kartanegara
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Hendri Saiful
Eko Windarto
Elnisya Mahendra
Elva Lestary
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Sulwesi
Endo Suanda
Eppril Wulaningtyas R
Esai
Evan Ys
F. Moses
F. Rahardi
Fadlillah Malin Sutan
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Febby Fortinella Rusmoyo
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Gabriel Garcia Marquez
Galang Ari P.
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Ganug Nugroho Adi
Gerson Poyk
Ghassan Kanafani
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunoto Saparie
H.B. Jassin
Habibullah
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Hardi
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
HE. Benyamine
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Herman RN
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Nugroho
Hikmat Gumelar
HL Renjis Magalah
Hudan Nur
Hujuala Rika Ayu
Huminca Sinaga
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ira Puspitaningsih
Irfan Budiman
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Zulkarnain
Ismail Marzuki
Iva Titin Shovia
Iwan Kurniawan
Jabbar Abdullah
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D. Rahman
Jamal T. Suryanata
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
JILFest 2008
Jody Setiawan
Johan Edy Raharjo
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Juan Kromen
Julika Hasanah
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Ka’bati
Karanggeneng
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Keith Foulcher
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khoirul Inayah
Khoirul Rosyadi
Khudori Husnan
Ki Ompong Sudarsono
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
L.N. Idayanie
Laili Rahmawati
Lamongan
Lan Fang
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lucia Idayanie
Lukman A Sya
Lutfiah
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Ismail
M Thobroni
M. Afifuddin
M. Arwan Hamidi
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Luthfi Aziz
M. Nurdin
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.S. Nugroho
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahmud Syaltut Usfa
Mahmudi Arif Dahlan
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Martin Aleida
Maruli Tobing
Mas Ruscita
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni Muserang
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mia Arista
Mia El Zahra
Mikael Johani
Misbahus Surur
Misran
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
Much. Khoiri
Muh. Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun
Muhammadun AS
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mukti Sutarman Espe
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Munawir Aziz
Musfarayani
Musfi Efrizal
Nafisatul Husniah
Nandang Darana
Naskah Teater
Nelson Alwi
Ni Made Purnamasari
Nikmatus Sholikhah
Nina Herlina Lubis
Nina Susilo
Ning Elia
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel-novel berbahasa Jawa
Novelet
Nunuy Nurhayati
Nur Azizah
Nur Hamzah
Nur Kholiq
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Aini
Nurul Anam
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Okty Budiati
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso H.N.
Pagan Press
Pagelaran Musim Tandur
Palupi Panca Astuti
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Petrus Nandi
Politik
Politik Sastra
Pradana Boy ZTF
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringadi AS
Prof Dr Fabiola D. Kurnia
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Puji Tyasari
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
Purnawan Kristanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Ng. Ronggowarsito
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmat Kemat Hidayatullah
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rasanrasan Boengaketji
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Resensi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Ririe Rengganis
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rusmanadi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saiful Amin Ghofur
Saiful Anam
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman S. Yoga
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang KSII
Santi Puji Rahayu
Sapardi Djoko Damono
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Jawa Timur
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputra
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sri Weni
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugi Lanus
Sukron Ma’mun
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaf Anton Wr
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syarif Wadja Bae
Sylvianita Widyawati
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie (1961-2019)
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tia Setiadi
Tirto Suwondo
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tosa Poetra
Tri Nurdianingsih
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulul Azmiyati
Umar Fauzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Utari Tri Prestianti
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wan Anwar
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wina Bojonegoro
Wita Lestari
Wong Wing King
Wowok Hesti Prabowo
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopi Setia Umbara
Yudhi Herwibowo
Yudi Latif
Yusri Fajar
Yusuf Ariel Hakim
Yuval Noah Harari
Zacky Khairul Uman
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zed Abidien
Zehan Zareez
Zhaenal Fanani
Zubaidi Khan
Zuniest
Tidak ada komentar:
Posting Komentar