Raudal Tanjung Banua *
Riau Pos, 12 Mei 2013
PRAMOEDYA Ananta Toer (Blora, 6 Februari 1925-Jakarta, 30 April 2006) tersohor sebagai novelis kenamaan Indonesia. Di tanah air kita yang masih bermasalah dengan identitas, sebuah status tak jarang menenggelamkan status yang lain. Meskipun seseorang punya potensi besar menyandang beberapa status sekaligus, baik karena bakatnya yang besar, etos kerjanya yang baik maupun tuntutan zaman yang mengharuskannya demikian. Selain lintas ilmu dan profesi, di dalam kesenian juga ada sosok yang menekuni semua genre secara bersamaan. Misalnya, sastrawan yang menulis puisi, cerpen, novel, drama, bahkan sekaligus sebagai pelukis.
Tapi potensi tersebut tidak jarang terhalangi oleh potensi yang lain, sehingga identitasnya kerap kali diringkas dalam satu status paling populer. Padahal seseorang memang bisa menjelma menjadi ‘manusia renaissance’, sebuah istilah merujuk alaf aufkalarung yang melahirkan sosok semacam Leonardo da Vinci; tak hanya sebagai pelukis, juga arsitek dan saintek. Sebaliknya, situasi itu menjadi ironi pada zaman kita kini. Tidak jarang orang menyandang status macam-macam hanya karena aji mumpung, tapi diterima dengan tangan terbuka.
Latar itulah agaknya yang membuat Pram dianggap tak pernah menulis naskah drama. Saya sendiri tidak tahu seberapa banyak naskah drama yang pernah ditulis Pramoedya. Saya hanya bertemu naskah drama Mangir terbitan KPG tahun 2005. Naskah dramanya yang lain ialah Calon Arang. Sedangkan Sekali Peristiwa di Banten Selatan, juga memiliki unsur panggung, sebagaimana Pram menyarankan pada pengantarnya bahwa naskah tersebut bisa dipentaskan.
Terlepas dari itu, saya tertarik membicarakan naskah drama Pramoedya berjudul Mangir. Lewat satu naskah itu saja sudah cukup bagi kita menaruh hormat atas kemampuannya mengolah genre sastra yang lain, di luar prediketnya sebagai novelis dan itu bukan aji mumpung! Hanya saja, sungguh disayangkan Pram tidak menekuni drama lebih lanjut. Dapat dibayangkan, jika kiprahnya di dalam drama seperti kiprahnya di dalam prosa, mungkin gagasannya memiliki ruang lain yang langsung dapat disaksikan.
Di tengah keterbatasan naskah drama di tanah air, kelompok teater kita memilih mementaskan drama terjemahan atau mendaur-ulang naskah-naskah dalam negeri yang nyaris usang. Sayang Mangir yang menarik luput dipentaskan. Sepanjang pengetahuan saya, Mangir baru dua kali dipentaskan, pertama di Yogyakarta oleh kelompok teater Bandung (saya lupa namanya, tapi sempat saya saksikan) dan satu lagi kelompok teater di Jakarta.
Drama Kehidupan
Dalam masa pembuangannya, banyak karya Pram telah hilang, baik dirampas oleh militer maupun tercecer dalam perpindahannya dari penjara ke penjara. Mangir yang ditulis Pram di Pulau Buru sekitar tahun 1976, termasuk karya yang sempat hilang. Ucapan terima kasih Pram kepada Gereja Katholik Namlea dan Universitas Cornell, Ithaca, sekaligus menyatakan bahwa kedua lembaga itu telah menyelamatkan karyanya tersebut. Sebuah drama lain segera membayang begitu unsur ekstrinsik karya ini disinggung, ialah drama kehidupan Pram sendiri yang panjang, tak terperi. Kehidupannya dalam merumuskan konsep-konsep ideologis dan estetika yang dipanggulnya, ternyata telah menjadi alur kisah yang sangat dramatik.
Jika teater hadir sebagai ‘subversi’ atas kehidupan yang mapan, sebagaimana pernah dinyatakan Yudi Ahmad Tajuddin, maka drama hidup Pram memperlihatkan subversi yang kelewat tajam. Sebagai ‘aktor kehidupan’ jelas ia tidak bermain dalam tertib dramaturgis sebagaimana Studi Teater Bandung (STB) di bawah arahan Suyatna Anirun, tidak pula dalam kapasitas teror mental sebagaimana Teater Mandiri Putu Wijaya, atau rujukan teater lainnya. Drama Pram adukan itu semua: keakraban pada realisme sosial yang mengakar pada masyarakatnya, namun prakteknya absurd, jungkir-balik. Ia ditangkap, dijerumuskan ke penjara lalu dibuang sebagai tahanan politik tanpa pengadilan. Namun drama kehidupan itu telah meninggalkan narasi besar dalam sosok kepengarangannya, lebih dari sekedar curicculum vitae.
Ini analog dengan narasi besar dalam berbagai bidang seperti sejarah dan politik, yang bukan kebetulan selalu disentuh Pram. Ya, Pramoedyalah pengarang yang berani dan berhasil mengolah narasi-narasi besar ke dalam karyanya, di tengah barisan pengarang di zona nyaman tema-tema kecil-ringan. Bukan berarti tema kecil tak berarti, namun realitas negara ketiga yang belum lepas dari kolonialisme, rasa-rasanya tema besar sangat dibutuhkan. Dan itu diambil Pram, nyaris sendirian. Soal kebangsaan, pergerakan, identitas, pemerdekaan manusia dan visi negara merdeka, bukankah memang itu yang terus-menerus bergaung di dalam karyanya?
Latar Mangir
Naskah Mangir (Pram menyebutnya Cerpang= Cerita panggung) merupakan drama tiga babak yang mengangkat kisah perseteruan Mataram dengan Perdikan Mangir. Waktu kisah merujuk masa awal kekuasaan Panembahan Senopati (1575-1601). Suatu masa di mana Mataram dalam proses babat alas, setelah Ki Ageng Pamanahan (ayahnda Senopati) beroleh kompensasi ‘hak pakai’ lahan dari Demak. Tambahan ‘konflik keluarga’ dengan Pajang, membuat lahan Mataram benar-benar terbuka (Savitri Scherer, dalam Prakata Mangir).
Namun di sisi lain, tanah perdikan sebagai sisa warisan Majapahit masih berdiri. Mangir merupakan salah satunya. Wilayah di bantaran Kali Bedog dan Progo itu diperkirakan mendapat status perdikan semasa Perang Paregreg (Majapahit vs Blambangan) lantaran keikutsertaannya melawan Bhre Wirabumi.
Karena sudah memiliki sistem pemerintahannya sendiri yang teratur, Perdikan Mangir tak mudah diatur apalagi tunduk kepada Mataram. Akibatnya Senopati beberapa kali mengirim pasukan, namun dapat dikalahkan pasukan Mangir di bawah pemimpinnya, Wanabaya. Tak mau kehilangan muka untuk kesekian kali, Senopati menempuh cara lain. Ia mengirim telik sandi (mata-mata), namun selalu terungkap atas kecerdikan Baru Klinting, tetua Mangir, dan Suriwang, si pandai tombak. Senopati akhirnya mengirim anaknya sendiri, Putri Pembayun, yang menyamar sebagai ledhek (penari tayub).
Putri Pembayun (artinya Putri Tertua) berangkat bersama rombongan yang dipimpin langsung Ki Juru Martani, pujangga dan penasehat Mataram. Demikianlah akhirnya, Ki Ageng Mangir Wanabaya terpikat, dan si penari pun jatuh hati melebihi tujuan sebagai telik sandi. Percintaan murni mereka menimbulkan konflik tidak saja dalam rombongan tayub, juga di kalangan tetua Mangir sendiri, terutama beberapa demang yang mencium gelagat bahaya. Apa lacur, Pambayun hamil, dan dengan sifat ksatrianya Wanabaya melamarnya langsung ke Mataram. Saat bersujud di kaki calon mertuanya itulah, Senopati yang dendam segera membenturkan kepala calon menantu ke watu gilang (batu landasan).
Pertanggungjawaban
Cerpang Mangir dilengkapi ‘’Pertanggungjawaban’’ Pramoedya Ananta Toer sebagai pengarang. Ulasannya sangat panjang, berangkat dari wawasan sejarah yang kaya, persoalan yang melingkupi serta visi-misinya menulis Mangir. Boleh dikata pertanggungjawaban semacam ini jarang ada di dalam naskah drama Indonesia. Paling tidak keutuhannya menjelaskan tak hanya konsep estetik, juga ideologis. Di sana dapat dibaca kegelisahan Pram melihat Mangir berhadapan dengan Mataram yang ingin menjadi penguasa tunggal di Jawa. Sebuah kegelisahan yang analog dengan obsesinya untuk terus-menerus melihat bagaimana kekuasaan bekerja dan bagaimana seharusnya kita bersikap.
Pram mempertanyakan kenapa kisah Mangir terlalu lama tidak ditulis, bahkan juga lenyap dalam khazanah sastra Jawa kuno, seolah pujangga istana menganggap kejadian itu tak perlu diabadikan. Padahal Ki Juru Martani, penasehat utama Mataram, adalah juga seorang pujangga yang berjuluk Tumenggung Mandaraka. Jika pun ada ditulis, lebih banyak dalam bentuk sanepa alias kiasan sehingga tafsirnya menjadi bermacam-macam dan melenceng dari inti kisah yang sebenarnya. Pram sendiri mencoba merekonstruksi mitos-mitos, dongeng, dan sanepa di dalam dramaturgi Mataram abad ke-15 ini. Ia misalnya dengan jeli melihat bahwa ada feodalisme Hindu sebelum kemudian feodalisme Islam, meskipun tidak ditegaskan apakah potensi feodalisme itu ada pada agama ataukah lantaran pelembagaan agama, atau mungkin karena adat.
Pram menafsirkan banyak hal sampai ke persoalan etimologi, seperti nama taktik perang, atau asal kata nama tokoh Baru Klinting. Baru kemungkinan berasal dari kata beri, yakni gong besar sebagai kelengkapan perang; dan klinting bisa berarti giring-giring atau bunyinya. Baru bisa pula berasal dari kata bahu, bahuning praja (pelaksana perintah negara); bahu desa (tangan kanan kepala desa), atau bisa saja baru berasal dari kata baro yang artinya barongsai atau barong. Dalam sejumlah kemungkinan itu, Pram mengambil yang paling mendekati, yakni bahu, sebab Baru Klinting aktif dalam mengatur Perdikan Mangir bersama saudaranya yang menjadi Ki Ageng (gelar turun-temurun), Wanabaya.
Terhadap cerita rakyat yang menyatakan bahwa Baru Klinting adalah keris pusaka yang berasal dari lidah ular sakti yang melingkari Gunung Merapi, Pram memaknainya sebagai kemampuan diplomasi. Ini justru kian memperkuat status Baru Klinting sebagai bahuning praja, dan dengan itu ia merasionalisasi mitos menjadi tokoh yang ‘berdarah-daging’ bernama Baru Klinting. Bahkan kematian Ki Ageng Mangir Wanabaya yang selama ini dipercayai di watu gilang, diubah Pram dengan cara yang lebih wajar. Tidak dengan cara dibenturkan, namun dikepung pasukan istana Mataram yang membuat Wanabaya tak berkutik. Menariknya, meskipun Pram mengaku tidak suka wayang, namun sumber referensi yang ia ajukan juga berasal dari Sedjarah Wayang Purwa yang disusun Hardjowirgo, 1965. Tampaknya, persoalan suka atau tidak suka bagi Pram bukan berarti menutup upaya untuk tetap mempelajari segala sesuatu.
Baik di dalam ‘’pertanggung jawaban’’ maupun di dalam teks dramanya, silsilah mendapat tempat terhormat. Tidak hanya silsilah raja yang berkuasa, katakanlah Pamanahan-Senopati, juga tokoh-tokoh Mangir, mendapatkan asal-usulnya dengan jelas. Selain menjelaskan asal-usul Baru Klinting, status dan silsilah Wanabaya tidaklah ahistoris. Ini sepadan dengan obsesi Pram yang memiliki penghormatan tinggi pada sejarah. Itulah sebabnya, setiap kali ia menyebut nama tokoh yang berkuasa atau peristiwa yang pernah terjadi di masa lalu, selalu diikuti angka tahun. Misalnya, masa pemerintahan Panembahan Senopati (1575-1601), Sultan Agung (1613-1645), pemerintahan Gubernur Jendral Van Heutsz (1904-1909) dan seterusnya.
Aspek Dramaturgis
Selain detail dan jelas menuliskan ‘’pertanggung jawaban’’, Pram juga cermat membuat petunjuk pentas, tidak hanya karakter para pelaku, tetapi bahkan profil dan kostum pelaku ia cantumkan lengkap dengan gambarnya. Dari sini tampak bahwa Pram tidak ingin naskahnya ditafsirkan ‘terlalu jauh’ -sebab bukankah visi-misinya sudah begitu jelas dalam pertanggungjawaban? Tersirat juga keinginannya yang kuat untuk mengembalikan teks kepada posisi yang jelas. Tidak sekadar permainan tafsir yang kadang kian menjauhkan dari kenyataan, setidaknya realitas panggung yang ia bayangkan. Ini merupakan upaya mengawal ide sampai ‘titik darah penghabisan’.
Hal menarik lainnya dari drama ini adalah hampir semua tokohnya berusia muda. Sebutlah Wanabaya, sebagai Ki Ageng, kita pasti membayangkan bahwa ia sudah tua. Tapi ternyata tidak. Meskipun Wanabaya panglima dan tua Perdikan, usianya + 23 tahun. Ini pun ditegaskan di dalam cerita bahwa Wanabaya adalah Ki Ageng Mangir Muda yang karena kemampuan dan wibawanya lantas terpilih (bukan turunan) sebagai pemimpin Mangir.
Ada pun Baru Klinting, ahli siasat Mangir, berusia 26 tahun. Hanya Suriwang yang berusia 50 tahun, tapi posisinya disebutkan ‘fanatik Baru Klinting’, yang bisa diartikan bahwa Mangir tetap dipimpin orang muda. Tokoh-tokoh lain dari kubu Mataram juga demikian. Putri Pembayun, tokoh yang awalnya antagonis (dalam persfektif Mangir) lantas jadi protogonis lantaran ‘cinta murni’-nya yang bebas kekuasaan, berumur + 16 tahun. Pendek kata, pemegang kunci cerita, terutama yang memiliki proyeksi ke depan, merupakan anak muda berusia antara 16-30 tahun. Ini tentu bukan kebetulan. Kita tahu, Pram sudah lama mengangkat profil kaum muda dalam narasi besar kepemimpinan masa depan!
Jelaslah, drama Mangir menyusupkan ideologi humanisme Pram dari berbagai aspek mana pun. Aneh, ini membuat saya merenung: mengapa sekarang begitu banyak pentas-pentas teater mewah-kolosal diadakan, tapi hanya mengusung dagelan, lelucon dan gaya hidup? Mengapa sekarang berhamburan novel-novel berlatar-belakang sejarah tetapi kehilangan misi sejarah, dan justru kian mengukuhkan ‘mitos-mitos kecemasan’? Apakah karena proyek-proyek itu dikerjakan tanpa visi yang kuat?
*) Raudal Tanjung Banua, Koordinator Komunitas Rumahlebah Yogyakarta
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2013/05/drama-pramoedya.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Senin, 20 Mei 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Ginandjar Wiludjeng
A. Junianto
A. Kurnia
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.S Laksana
A’yat Khalili
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Razak
Abdul Rosyid
Abdul Wahab
Abdurrahman Wahid
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adam Chiefni
Ade P. Nasution
Adhitia Armitriant
Adi Prasetyo
Adrizas
AF. Tuasikal
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Baso
Ahmad Faishal
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Naufel
Ahmad Rofiq
Ahmad S. Zahari
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ainul Fiah
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Alex R. Nainggolan
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Almania Rohmah
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aminah
Aminullah HA.Noor
Amir Sutaarga
Anam Rahus
Anata Siregar
Andari Karina Anom
Andina Dwifatma
Andong Buku #3
Andre Mediansyah
Andri Awan
Anett Tapai
Anggie Melianna
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Wahyudi
Anwar Nuris
Ardi Bramantyo
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Joko Wicaksono
Arief Junianto
Ariera
Arif Bagus Prasetyo
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Asmaul Fauziyah
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Wulan Sari
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Camelia Mafaza
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Daisuke Miyoshi
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Danusantoso
Dareen Tatour
Darju Prasetya
David Kuncara
Denny Mizhar
Denza Perdana
Desi Sommalia Gustina
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewi Indah Sari
Dewi Susme
Dian Sukarno
Didik Harianto
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur
Dipo Handoko
Diyah Errita Damayanti
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddy Wisnu Pribadi
Dody Kristianto
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi SS MHum
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Wiyana
Dyah Ratna Meta Novia
Dyah Sulistyorini
Ecep Heryadi
Eddy Pranata PNP
Edeng Syamsul Ma’arif
Eep Saefulloh Fatah
EH Kartanegara
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Hendri Saiful
Eko Windarto
Elnisya Mahendra
Elva Lestary
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Sulwesi
Endo Suanda
Eppril Wulaningtyas R
Esai
Evan Ys
F. Moses
F. Rahardi
Fadlillah Malin Sutan
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Febby Fortinella Rusmoyo
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Gabriel Garcia Marquez
Galang Ari P.
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Ganug Nugroho Adi
Gerson Poyk
Ghassan Kanafani
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunoto Saparie
H.B. Jassin
Habibullah
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Hardi
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
HE. Benyamine
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Herman RN
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Nugroho
Hikmat Gumelar
HL Renjis Magalah
Hudan Nur
Hujuala Rika Ayu
Huminca Sinaga
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ira Puspitaningsih
Irfan Budiman
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Zulkarnain
Ismail Marzuki
Iva Titin Shovia
Iwan Kurniawan
Jabbar Abdullah
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D. Rahman
Jamal T. Suryanata
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
JILFest 2008
Jody Setiawan
Johan Edy Raharjo
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Juan Kromen
Julika Hasanah
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Ka’bati
Karanggeneng
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Keith Foulcher
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khoirul Inayah
Khoirul Rosyadi
Khudori Husnan
Ki Ompong Sudarsono
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
L.N. Idayanie
Laili Rahmawati
Lamongan
Lan Fang
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lucia Idayanie
Lukman A Sya
Lutfiah
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Ismail
M Thobroni
M. Afifuddin
M. Arwan Hamidi
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Luthfi Aziz
M. Nurdin
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.S. Nugroho
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahmud Syaltut Usfa
Mahmudi Arif Dahlan
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Martin Aleida
Maruli Tobing
Mas Ruscita
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni Muserang
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mia Arista
Mia El Zahra
Mikael Johani
Misbahus Surur
Misran
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
Much. Khoiri
Muh. Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun
Muhammadun AS
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mukti Sutarman Espe
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Munawir Aziz
Musfarayani
Musfi Efrizal
Nafisatul Husniah
Nandang Darana
Naskah Teater
Nelson Alwi
Ni Made Purnamasari
Nikmatus Sholikhah
Nina Herlina Lubis
Nina Susilo
Ning Elia
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel-novel berbahasa Jawa
Novelet
Nunuy Nurhayati
Nur Azizah
Nur Hamzah
Nur Kholiq
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Aini
Nurul Anam
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Okty Budiati
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso H.N.
Pagan Press
Pagelaran Musim Tandur
Palupi Panca Astuti
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Petrus Nandi
Politik
Politik Sastra
Pradana Boy ZTF
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringadi AS
Prof Dr Fabiola D. Kurnia
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Puji Tyasari
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
Purnawan Kristanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Ng. Ronggowarsito
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmat Kemat Hidayatullah
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rasanrasan Boengaketji
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Resensi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Ririe Rengganis
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rusmanadi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saiful Amin Ghofur
Saiful Anam
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman S. Yoga
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang KSII
Santi Puji Rahayu
Sapardi Djoko Damono
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Jawa Timur
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputra
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sri Weni
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugi Lanus
Sukron Ma’mun
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaf Anton Wr
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syarif Wadja Bae
Sylvianita Widyawati
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie (1961-2019)
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tia Setiadi
Tirto Suwondo
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tosa Poetra
Tri Nurdianingsih
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulul Azmiyati
Umar Fauzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Utari Tri Prestianti
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wan Anwar
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wina Bojonegoro
Wita Lestari
Wong Wing King
Wowok Hesti Prabowo
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopi Setia Umbara
Yudhi Herwibowo
Yudi Latif
Yusri Fajar
Yusuf Ariel Hakim
Yuval Noah Harari
Zacky Khairul Uman
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zed Abidien
Zehan Zareez
Zhaenal Fanani
Zubaidi Khan
Zuniest
Tidak ada komentar:
Posting Komentar