Bambang kempling
http://sastra-indonesia.com/
Adalah setangkai bunga rumput berkelopak ungu dalam genggam perempuan di tengah siang. Sudah tidak begitu segar dan hampir layu, seperti kisah bunga-bunga terlalu tua untuk jadi mahkota. Mengapa? Apakah hari ini telah kehilangan fantasinya juga bagi wajah yang tersembunyi dari langit terbuka di balik payung pelangi?
Jembatan kecil pada suatu jalan kecil itu sungguh telah menjadi tempat yang baik untuk membebaskan keinginan bersedih, bahkan sekali waktu bisa menggodanya untuk iseng bergembira sejenak: memilin-milin tangkai bunga rumput yang digenggamnya sejak tadi sambil bernyanyi-nyanyi lirih. Lalu memungut sempalan ranting pohon waru lantas dilemparkannya ke arah buih yang tersangkut di celah-celah batu…Plung!!, dan buih pun berlubang memanjang, berombak lembut, sebagian terberai mengikuti arus air, maka terciptalah lecut pimping dari perjalanan sunyi gericik air. Tapi masih ada satu pertanyaan yang tidak juga terjawab oleh dirinya: “Benarkah ini satu kegembiraan iseng?” Semacam perjuangan nihil untuk berusaha melegalisasikan semua jalan pelarian dengan pikiran-pikiran yang semakin menjauh. Tidak ada ketajamannya, kecuali alasan-alasan yang sempurna.
Payung pelangi diayunkannya perlahan, saat itu pula dilihatnya langit telah kehilangan warna birunya. Kelabu mendung seperti hendak membawa mala petaka. Ingin rasanya ia beranjak pergi, tetapi gerimis telah menghadirkan harapan lain bagi kangen yang terpenjara begitu hadir seorang lelaki kurus dan capek.
“Sudah lama?” sapa lelaki itu.
“Aku hampir saja pulang! Inilah keajaiban gerimis, dengan cepatnya ia menyihir niat itu menjadi fantasi sore yang indah.” jawab perempuan itu.
“Aku kangen.”
“Apa masih perlu?”
Perempuan itu menggeser duduknya. Itu adalah isyarat bagi kesepakatan tanpa kata-kata bagi lelaki itu untuk menyelinapkan wajah di balik payung.
Merdu gerimis menjadi tak berlagu di atas sepasang kepala yang semakin jelas terdengar tanpa rasa heran yang berlebihan. Dan gericik air pun kemerduannya sama sekali juga tak menimbulkan romantisme luar biasa bagi mereka. Barangkali karena mereka telah terbiasa menjalani hidup dengan kebiasaan-kebiasaan aneh.
“ Ciumlah aku…!” manja perempuan itu. Lelaki itu menyibak rambutnya yang panjang tergerai, membelainya dengan bangga, lantas mencium bibir kering terbuka.
“Peluklah aku…!”
Didekapnya perempuan itu. “Hari ini kita sama tidak merasa kehilangan, tetapi jangan terlalu berharap.” Bisik lelaki itu.
“Mengapa?”
“Tidak apa-apa.”
“Kau tidak mandi hari ini?”
“Kemarin lusa. Mari kita berlindung! Gerimis nampaknya akan deras.”
“Berlindung? Dimana?”
“Bawah jembatan.”
“Apa payung ini tidak cukup.?”
“Jelas cukup! tapi, bagaimana dengan istana kita?”
Di bawah payung, kemesraan begitu mengagumkan, muka kecut dan bahagia sepertinya sama saja, bau tanah basah tak sempat tercium oleh nafas yang diburu keinginan-keinginan dengan cepatnya. Sungguh betapa berartinya hari menjelang sore itu bagi mereka.
“Ulaaar…!!!” perempuan itu tiba-tiba menjerit.
Dari arah semak rerumputan, melata seekor ular tanggung. Perempuan itu meloncat. Karena dalam panik loncatannya justru mengenai ekornya, Ia terpeleset lalu jatuh, kepalanya hampir mengenai sebongkah batu. Payung terlempar. Dalam gerakan reflek sang lelaki menyahut lengannya, tapi sial justru hanya mengenai lubang leher rok kekasihnya hingga sobek memanjang termasuk tali kutangnya juga tersangkut dan putus satu. Dalam gerak reflek instingtif untuk survifal dalam keadaan bahaya barangkali, kepala ular itu secepat kilat menyambar dan “cap!” tepat mengenai pantat perempuan yang menginjaknya.
“Awaass!!” seru yang terlambat dari sang lelaki.
Segera dramatik peristiwa kehidupan terjadi begitu cepatnya – secepat kilat disahutnya ekor ular – disabetkan pada sebongkah batu tepi jembatan – Plak..!!,Plak..!!,Plak..!!!
“Lunglailah kau..!! Harcurlah kau..!!Bangsat..!!”
Nafas memburu dendam berlebihan, didekatinya ular itu, diperhatikannya sungguh-sungguh.
“Matilah kau.” desisnya, dan senyum kepuasan sedikit tersungging di kedua sudut bibir.
Lalu diraih lunglai tubuh ular itu, dilemparkannya jauh-jauh dari situ.
“Bukan maksudku tidak memberi hak kehidupan bagimu hai binatang! tapi kaulah yang menciptakan kesumatku!” Teriaknya sambil melirik wajah memelas kekasihnya.
“Ulaaaar!!!” tiba-tiba terdengar jeritan serentak beberapa anak perempuan dari seberang jalan. Disusul jeritan-jeritan panik serta derap sepatu yang cepat. Lelaki itu terkejut penuh tanda Tanya. “Kok … terlalu jauh ?!” Betapa kekonyolan itu akhirnya juga sedikit memberikan hiburan bagi sang kekasih di sela-sela degup jantung yang membara.
“Aduuuh…” perempuan itu mengaduh, kedua tangannya mencengkeram
luka gigitan.
“Sakit ?”
“Ya… jelas sakiiit..! Ayo cepat tolong…!Tunggu wajahku membiru apa?! Cepaaat..!!! ” bentakkan yang penuh dengan kemanjaan berbaur seringai menahan sakit dan rasa takut yang sangat.
Lelaki itu semakin panik. Kekonyolan-kekoyolan yang hadir bersamaan dengan klimaks dramatik kejadian, membangun tabir keingin-tahuan. Otak mampet. “Apakah ini ketololan?” Desisnya. Sementara jeritan-jeritan seberang jalan masih membuatnya menjadi ingin tahu tentang apa yang telah dan akan terjadi disana. Dalam kondisi seperti itu sulit baginya memberikan prioritas porsi keinginan-keinginan; antara segera menolong kekasih atau beranjak ke seberang jalan. Dalam gundah, dia berdiri mematung. “Selalu saja begini.” Desisnya. Matanya berlinang, menerawang ke atap rumah-rumah yang mencuat dari pucuk pohon-pohon.
Terdengar sayup-sayup di seberang jalan, kegaduhan berkembang menjadi umpatan-umpatan.
“Kurang ajar..! Dikira lucu apa keusilannya!! Kurang ajar..!!”
“Untung saya tidak pingsan….Hiii…!”
“Ya untung kita semua tidak pingsan!”
“Ini pasti ulah orang gila itu.”
“Orang gila yang mana!?”
“Adduuuh… Itu…tu… yang biasa….”
“Oh…Seniman itu. Kemarin dia mengirim bunga buat Rina Lho… Biasanya romantis kan dia.”
“Nyaco pikiran kamu! Itu… mereka sepasang manusia surialis penjaga taman bawah jembatan ……”
“Oh… Barangkali dengan begitu bisa membuatnya bahagia.”
“Humanis banget kamu..?! Eh!! Kamu ada yang sudah ngerjakan tugas Psykologi Sastra? Bantu aku dong..!”
Suara-suara itu semakin menjauh. Segerombol pemuda gondrong menyanyikan lagu romantis melintasi jembatan dalam gerimis yang semakin deras, mereka terlalu cuek untuk mengetahui apa yang terjadi di bawah jembatan.
“Ayo cepat !!! Jangan berpikir terlalu panjang! Aku keburu mati nanti!! sentak perempuan itu.
Lelaki itu segera sadar akan apa yang harus dilakukan segera. Ia hampiri kekasihnya, memeriksa luka bekas gigitan. “Sakit?” tanyanya.
“Tiddak!” jawab perempuan itu dengan cemberut.
“Eeehh! Kamu jangan cemberut begitu dong! Nanti aku tambah bingung. Ini tidak apa-apa.”
“Tidak apa-apa bagaimana..!?”
“Iya… tidak apa-apa… sebab ular tadi tidak berbisa.”
“Sok tahu!”
“Tidak bengkak kan..?”
“Tapi,… ini lihat! Lihat dengan sepasang matamu yang tolol! Ada sepasang luka bekas gigitan dan giginya tertinggal sebelum kau cabut. Apa bukan bukti!!”
“Bukti bahwa ular itu berbisa? Sok tahu !! Ular yang itu tadi, yang menggigitmu sayangku, kekasihku, termasuk ular yang biasa hidup di air atau yang lazim di daerahku menyebutnya sebagai ular air. Dan ular air itu tidak berbisa.:
“Tapi kok sakit.”
“Nah jelas sekarang, siapa yang tolol sebenarnya.”
“Nah!…naah!…naah!! Jangan kau mulai lagi!.”
“Maaf …maaf. Semalam nonton Film Special nggak?”
“Ngaco…!”
“Yang jadi Robin Hood itu aku lho …”
“Jangan kau goda aku dengan ketololanmu!!”
“Giginya tadi aku lempar ke mana ya? Akan aku ambil untuk leontin cinta bagi kekasihku tercinta.” godanya semakin menjadi.
“Kau sudah tahu bagaimana kalau aku marah..!?” Tiba-tiba perempuan itu memekik. Pekikan dari rasa jengkel yang meskipun tidak berlebih, tapi sudah cukup untuk menjadi ancaman berbahaya bagi lelaki itu, dan hal terbaik saat-saat demikian adalah segera menghentikan godaannya.
Darah merah tua…
Merah tua menetes dari luka kecil.
Dengan lembut lelaki itu mengusapnya tanpa sepatah kata. Sehelai sapu tangan biru dan kotor dibalutkannya, seperti bagaimana dia membalut harapan-harapan.
“Mari ke taman kita sebagaimana rencana kita tadi..!” ajak lelaki itu.
Perempuan itu mengatupkan matanya,“Payungnya..?” katanya.
“Sebentar aku ambil.”
Di bawah jembatan gericik air dan gerimis deras yang menggerimisi rimbun daun-daun bersatu di telinga dan dada. Dingin sore sangatlah berarti bagi sepasang kekasih di bawah jembatan. Kelas cinta yang murni dari manusia-manusia pinggiran. Kelas cinta yang bebas dari kebebasan burung-burung ciblek. Kemurnian cinta yang banyak dilupakan.
Bau anyir dari sungai kecil dan kotor dalam keheningannya bukanlah suatu hal yang menjijikkan. Mereka berpelukan…berpelukan mesra sekali. Kadang-kadang dilihatnya bersama luka yang terlupakan. Yaa… Tuhan, dari mana sumber kebahagiaan sebenarnya?
Dalam bahagia mereka lepas tertawa selepas-lepasnya. Lelaki itu tiba-tiba berdiri di sebongkkah batu hitam. Tangan meraih sebatang kayu penguat jembatan, menggelayutkan tubuhnya, dan dengan berekpresi selayaknya seorang pemeran dalam sebuah pertunjukan teater, dia berdeklamasi di hadapan kekasihnya, di hadapan lumut-lumut, rumput-rumput, semut-semut, dan binatang lata dari sebuah kehidupan yang sering terlupakan.
“Dan kitalah pengantin musim ini, yang mempersembahkan cinta kasihnya buat cuaca yang gundah. Tidak selalu kalah dalam pertipuan angin, tidak selalu mencaci kesewenangan nasib, tidak pernah menolak menjadi pemimpi. Wahai… pengantinku mari berdansa dalam alunan musik abadi kita!!”
Sementara itu, sang perempuan dengan mengulum kebanggaan menyibak rambutnya, menengadah ke atap surganya yakni papan-papan jembatan. Dengan khusuk mereka lantas berdansa, menyusuri air kehidupan.
Gerimis masih tetap mewarnai sore. Sebentar kemudian azan Magrib berkumandang. Mereka masih tetap bercinta.
*
Di perempatan jalan, dimana aliran air sungai membentuk pusaran, seorang tukang becak yang kebetulan sedang kencing disitu, menemukan sesuatu terapung terbawa arus air. “Kutang siapa ya ..?” tanyanya dalam hati. “Ah…masa bodoh…lumayan.” desisnya. Ia cepat-cepat mengambilnya, menyimpannya di saku kiri, lalu pergi mengayuh becaknya kembali. Ketika ada yang memanggilnya, ia tidak begitu peduli.
Langit tiba-tiba hitam, semakin hitam. Halilintar susul menyusul dengan guntur dan angin badai.Begitu cepatnya keindahan sore berubah menjadi pekat Hujan mengguyur teramat lebat. Orang-orang segera menutup pintu-pintu dan jendela. Kota menjadi sepi sampai sepanjang malam, hanya dera hujan dan genangan-genangan air mewarnai sepanjag jalan.
Dingin menusuki tulang-tulang.
Kengiluan bagi makhluk seluruh kota itu.
*
Dua hari kemudian, pagi-pagi benar seekor anjing menyalak. Tak lama seseorang yang kebetulan melintas curiga dengan tingkah anjing yang kebetulan anjing tetangganya menghampiri anjing itu. Betapa terkejutnya ia begitu dilihatnya dua sosok manusia telanjang terbujur kaku dalam pelukan.
September 2003
____________________
*) Bambang Kempling lahir di Lamongan, 17 April 1967 dengan nama lengkap Bambang Purnomo Setyo. Menyelesaikan Pendidikan terakhir di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP UMM tahun 1992. Semasa mahasiswa aktif di berbagai kegiatan berkesenian diantaranya Teater MELARAT, Kelompok Musik Seteman Ngobrol IQr.
Sekarang aktif di KOSTELA (KOMUNITAS SASTRA DAN TEATER LAMONGAN). Publikasi cerpen-cerpennya hanya terbatas di kalangan CANDRAKIRANA KOSTELA dan antologi cerpen pilihan “Pada Sebuah Alamat” oleh Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Unisda Lamongan. Sedangkan untuk puisi-puisinya bisa ditemui di Antologi Tunggalnya KATA SEBUAH SAJAK 2002, Majalah Indupati, Antologi Bersama Teman-teman KOSTELA “Rebana Kesunyian”, “Imajinasi Nama”, Antologi bersama “Permohonan Hijau” yang diterbitkan oleh Festival Seni Surabaya tahun 2003, “Bulan Merayap” (DKL 2004), “Lanskap Telunjuk” (DKL 2004), “Duka Atjeh Duka Bersama (DKJT 2005), dan tabloit Telunjuk.
Dijumput dari: http://sastra-indonesia.com/2011/10/fragmen-bawah-jembatan/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Ginandjar Wiludjeng
A. Junianto
A. Kurnia
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.S Laksana
A’yat Khalili
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Razak
Abdul Rosyid
Abdul Wahab
Abdurrahman Wahid
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adam Chiefni
Ade P. Nasution
Adhitia Armitriant
Adi Prasetyo
Adrizas
AF. Tuasikal
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Baso
Ahmad Faishal
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Naufel
Ahmad Rofiq
Ahmad S. Zahari
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ainul Fiah
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Alex R. Nainggolan
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Almania Rohmah
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aminah
Aminullah HA.Noor
Amir Sutaarga
Anam Rahus
Anata Siregar
Andari Karina Anom
Andina Dwifatma
Andong Buku #3
Andre Mediansyah
Andri Awan
Anett Tapai
Anggie Melianna
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Wahyudi
Anwar Nuris
Ardi Bramantyo
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Joko Wicaksono
Arief Junianto
Ariera
Arif Bagus Prasetyo
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Asmaul Fauziyah
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Wulan Sari
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Camelia Mafaza
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Daisuke Miyoshi
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Danusantoso
Dareen Tatour
Darju Prasetya
David Kuncara
Denny Mizhar
Denza Perdana
Desi Sommalia Gustina
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewi Indah Sari
Dewi Susme
Dian Sukarno
Didik Harianto
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur
Dipo Handoko
Diyah Errita Damayanti
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddy Wisnu Pribadi
Dody Kristianto
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi SS MHum
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Wiyana
Dyah Ratna Meta Novia
Dyah Sulistyorini
Ecep Heryadi
Eddy Pranata PNP
Edeng Syamsul Ma’arif
Eep Saefulloh Fatah
EH Kartanegara
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Hendri Saiful
Eko Windarto
Elnisya Mahendra
Elva Lestary
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Sulwesi
Endo Suanda
Eppril Wulaningtyas R
Esai
Evan Ys
F. Moses
F. Rahardi
Fadlillah Malin Sutan
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Febby Fortinella Rusmoyo
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Gabriel Garcia Marquez
Galang Ari P.
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Ganug Nugroho Adi
Gerson Poyk
Ghassan Kanafani
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunoto Saparie
H.B. Jassin
Habibullah
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Hardi
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
HE. Benyamine
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Herman RN
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Nugroho
Hikmat Gumelar
HL Renjis Magalah
Hudan Nur
Hujuala Rika Ayu
Huminca Sinaga
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ira Puspitaningsih
Irfan Budiman
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Zulkarnain
Ismail Marzuki
Iva Titin Shovia
Iwan Kurniawan
Jabbar Abdullah
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D. Rahman
Jamal T. Suryanata
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
JILFest 2008
Jody Setiawan
Johan Edy Raharjo
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Juan Kromen
Julika Hasanah
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Ka’bati
Karanggeneng
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Keith Foulcher
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khoirul Inayah
Khoirul Rosyadi
Khudori Husnan
Ki Ompong Sudarsono
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
L.N. Idayanie
Laili Rahmawati
Lamongan
Lan Fang
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lucia Idayanie
Lukman A Sya
Lutfiah
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Ismail
M Thobroni
M. Afifuddin
M. Arwan Hamidi
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Luthfi Aziz
M. Nurdin
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.S. Nugroho
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahmud Syaltut Usfa
Mahmudi Arif Dahlan
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Martin Aleida
Maruli Tobing
Mas Ruscita
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni Muserang
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mia Arista
Mia El Zahra
Mikael Johani
Misbahus Surur
Misran
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
Much. Khoiri
Muh. Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun
Muhammadun AS
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mukti Sutarman Espe
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Munawir Aziz
Musfarayani
Musfi Efrizal
Nafisatul Husniah
Nandang Darana
Naskah Teater
Nelson Alwi
Ni Made Purnamasari
Nikmatus Sholikhah
Nina Herlina Lubis
Nina Susilo
Ning Elia
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel-novel berbahasa Jawa
Novelet
Nunuy Nurhayati
Nur Azizah
Nur Hamzah
Nur Kholiq
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Aini
Nurul Anam
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Okty Budiati
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso H.N.
Pagan Press
Pagelaran Musim Tandur
Palupi Panca Astuti
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Petrus Nandi
Politik
Politik Sastra
Pradana Boy ZTF
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringadi AS
Prof Dr Fabiola D. Kurnia
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Puji Tyasari
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
Purnawan Kristanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Ng. Ronggowarsito
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmat Kemat Hidayatullah
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rasanrasan Boengaketji
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Resensi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Ririe Rengganis
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rusmanadi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saiful Amin Ghofur
Saiful Anam
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman S. Yoga
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang KSII
Santi Puji Rahayu
Sapardi Djoko Damono
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Jawa Timur
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputra
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sri Weni
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugi Lanus
Sukron Ma’mun
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaf Anton Wr
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syarif Wadja Bae
Sylvianita Widyawati
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie (1961-2019)
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tia Setiadi
Tirto Suwondo
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tosa Poetra
Tri Nurdianingsih
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulul Azmiyati
Umar Fauzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Utari Tri Prestianti
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wan Anwar
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wina Bojonegoro
Wita Lestari
Wong Wing King
Wowok Hesti Prabowo
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopi Setia Umbara
Yudhi Herwibowo
Yudi Latif
Yusri Fajar
Yusuf Ariel Hakim
Yuval Noah Harari
Zacky Khairul Uman
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zed Abidien
Zehan Zareez
Zhaenal Fanani
Zubaidi Khan
Zuniest
Tidak ada komentar:
Posting Komentar