Kamis, 19 Oktober 2017

Dan Fenomena Presiden Penyair Daerah sebagai Dagelan Populer?

Nurel Javissyarqi

Tentu kita tahu sebutan presiden penyair Indonesia tersemat dari-padanya Sutardji Calzoum Bachri. Kredonya yang fenomenal itu meluas mempengaruhi banyak penyair serta kritikus (… dengan kredonya yang terkenal itu, Sutardji memberikan suatu aksentuasi baru kepada daya cipta atau kreativitas, Ignas Kleden endosemen di buku Isyarat, lalu lihat buku Raja Mantra Presiden Penyair, 2007). Sehingga di puncak ketenarannya, SCB tidak segan-segan menyelewengkan ayat-ayat suci; Qs. Asy-Syu’ara, 224-227 (baca buku saya MTJK SCB, 2011).
Sampailah, kita mendengar adanya presiden penyair Surabaya, presiden penyair Lampung, presiden penyair Cirebon dan sebangsanya. Dari sini terpancang jelas pengaruh Sutardji di belantika kepenyairan Tanah Air, atau dengan label presiden penyair memudahkan seseorang berbuat semaunya tanpa halangan berarti pun dari para kritikus; mereka tidak lagi obyektif mengkaji suatu karya, sebab tertutupi titel yang sudah terlanjur mentereng?

Dan saat penobatan dirinya sendiri kurang menguntungkan dalam perjalanannya sebagai sastrawan atau tidak memberikan angin segar sesuai harapannya, maka gelar yang sudah melekat ditanggalkan begitu saja sebagai kenang-kenangan atau masa lalu belaka. Seperti kisah baru saja saya ketahui pagi ini, saat hendak menyegarkan tulisan kembali, tiba-tiba menemukan artikel berjudul “Belajar dari Kisah Burung Botak” berikut kutipannya: Abdul Hadi Wiji Muthari, penyair yang pernah menobatkan dirinya sebagai wakil presiden penyair Indonesia itu, hanya tersenyum sejenak ketika diminta bercerita tentang kiprahnya sebagai penyair. “Ah, itu masa lalu saya yang tak perlu digembar-gemborkan lagi,” katanya merendah. (Dewi Sri Utami, Majalah Gatra, No: 41, 27 Agustus 2001). Lantas, apakah maknawi wewarna di atas dalam kaitannya dengan pribadi seorang penyair?

Penyair tulen merupakan sosok yang menyerap berbagai rupa pengaruh, lalu mengolaborasikan dengan kualitas pribadinya atas pengelanaan sedari pencarian jati dirinya, lantas mengungkapkan kembali (berkarya) secara kreatif sekaligus mapan mempuni. Senada deringan umum bahasa istilah yang dipakai Sutardji; melupa dan mengingat (Menulis adalah upaya untuk melupa dan mengingat, Pengantar Penulis buku Isyarat, SCB halaman ix). Ini semacam proses menghindari keterpengaruhan dari karya-karya lama, atau pada saat itu juga menghapusnya melalui kreativitas tersendiri dalam bentuk karya ‘yang bisa jadi lebih kokoh dari karya yang mempengaruhi?’ Itulah sejenis kedirian penyair, dinaya pada pergolakan hayatnya di kancah penerimaan pula penolakan (perlawanan)? Namun alangkah sayang, keberhasilannya yang semu menumbuhkan tekat kelewat melunjak bertingkah ‘melupa dan mengingat’ dengan sangat ugal-ugalan menyulap “Kun Fayakun” dijelmakan (dirombaknya) membentuk kata-kata “Jadi maka Jadilah!” dan “Jadi, lantas jadilah!” (Bukan -Pidato Anugerah Sastra Dewan Kesenian Riau 2000- oleh SCB, yang terbit di “Bentara” Kompas, Jumat 11 Januari 2003, dan Sambutan SCB Pada Upacara Penyerahan Anugerah Sastra MASTERA, Bandar Seri Begawan, 14 Maret 2006)?
***

Berbeda dengan penyair agung, presiden penyair raja mantra palsu atau bahkan para epigon serta gerombolan pembebek, kerap kali mengungkapkan keterpengaruhannya dengan cara-cara serampangan dan mentah. Selama kreativitasnya sebatas menjiplak, sependek itulah greget karyanya; sekadar meniru tanpa berusaha mengolahnya lebih subur dengan kesabaran yang tangguh. Akibatnya, karya-karyanya mustahil menjadi karya menumental, sebab menempatkan dirinya di bawah bayang-bayang keagungan semu atau bersembunyi dalam ketiak plakat presiden penyair. Itu sekerdil-kerdilnya jiwa penyair; puas dengan julukannya, berbangga atas kekeliruannya, atau mereka sudah pada amnesia?

Dalam konteks kultural, kekerdilan tersebut representasi dari sosok pecundang yang nyaman oleh kelebatan bayangan yang diciptakannya sendiri. Dan bermunculannya presiden penyair daerah menguatkan cita-cita luhur-nya (pun mereka); meski tidak mampu menggapainya tetap bergembira dengan embel-embel lokalitas yang menyertai, yakni kata-kata presiden penyair. Mereka berbahagia sebagai epigon, dan bukan pelopor walaupun sama kentir juga. Lalu yang merasa sebagai pelopor kian riang girang terkekeh, sehingga hasilnya tidak terbendung menyerupai bentuk-bentuk kesurupan pun jadi, lantaran menurutnya seorang penyair tidak harus bertanggungjawab pada karya-karyanya, maka lahirlah sulapan kelas pertama dalam perpuisian di Indonesia.

Ternyata dunia sastra Indonesia tidak lepas dari perihal lelucon. Ketika dilihatnya ada yang sukses memakai umbul-umbul tertentu, lainnya ikut-ikutan, padahal nenek moyang kita pernah memberikan wejangan; usaha bisa dicontoh, namun nasib tidaklah dapat’ atau semakin sial saja. Jika penyontekan tersebut terus berhembus kencang dalam wilayah intelektual kepenyairan di bumi pertiwi, cocoknya para pembebek dinamakan gerobak kosong yang bobrok. Lebih menggelikan lagi, mereka mengunyah betul kenyamanan hidup di bawah bayang-bayang. Padahal baju yang dipakainya tidak lain adalah kepecundangan, sebab yang ikut grubyuk mengklaim dirinya presiden penyair pun tidak melakukan pemberontakan (perombakan ke arah yang baik), mungkin takut gagal seperti pendahulunya. Itu ekspresi mental kerdil yang cepat puas dengan menghirup nafas hidupnya dalam ruang seolah-olah. Saya kira itulah rupa-rupa pelepasan dari kepuasan konyol (putus-asa), karena para pecundang tidak mungkin melebihi pioner, meski pun hanya pioner-pioneran.

Seorang penyair seharusnya memiliki semangat membaja, tidak tunduk membara senantiasa atau ketidakpuasan menjadikan bara api perjuangan yang selalu menyala. Ketika puas sedikit saja, mentalitas jiwanya dalam berkarya pastilah tergerus dan hilang amblas ditelan bumi dinaya kreativitasnya. Lebih tepat pamornya tidak sesegar atau segarang sedia kala, dikarena keterlenaan merasa sebagai orang yang telah menjadi. Adalah niscaya presiden penyair bayangan, tidak mungkin berani memberontak kepada presiden penyair lainnya, sebab sama-sama anggota kelompok pelawak, namun tidak mungkin setenar Srimulat.

Kalau balada ayam sayur yang kumprung ini diteruskan jadi tradisi, tentu menyusul adanya wakil presiden penyair lainnya, atau penggantian presiden penyair, tersebab masanya sudah habis dan seterusnya. Padahal wujud ini merupakan kamuflase sedari model birokrasi, sekadar gagah-gagahan ingin disebut penyair. Untuk menghentikan budaya yang tidak mendidik mentalitas berbangsa serta berbahasa (bersastra), kita seharusnya bersatupadu bikin paduan suara atau beramai-ramai tertawa. Saya rasa perasaan sungkan bisa menghentikan lelucon yang tidak bermutu tersebut, guna langkah mereka berbalik tidak menerima baju kebesaran semu. Lewat berkarya terus demi membuktian dirinya bisa hadir cemerlang, tanpa embel-embel pangkat presiden penyair daerah misalnya.

Saya raba-raba jika mengaku-ngaku saja, yang tidak tahu-menahu dunia tulis-menulis bisa menyebut dirinya Superman. Dan untuk mengaku sebagai presiden penyair daerah lebih gampang, daripada mengatakan dirinya Satria Baja Hitam ataupun Si Buta dari gua hantu. Itulah tubuh mentalitas yang bobrok, korengan sangat parah yang harus segera diamputasi sebelum menjalar ke organ lainnya; ke jantung pengetahuan bersastra dan berbudaya di bumi Nusantara. Sungguh, bayangan kefrustrasian begitu kelam menguntit jasad-jasad rapuh mereka, serupa kayu arang melempem tersiram air hujan, tanpa hadirnya bara api dalam kelam. Seperti watak pembungkusan dari keterpengaruhan lugu, atau seorang anak tersedot cerita Superhero yang memakai baju impiannya, lantas jadilah Super-ho-ho.

Manakala sikap kepenyairan diibaratkan sosok kenabian, maka para epigon tidak bisa mengelak ketika dikutuk menjadi bebek yang keok-keok terperdaya ukuran profan, lalu celakalah yang mengikuti pandangan sempit serta keblinger dari mereka. Apa gunanya yang dipetik dari pemilik jengger lebar, tidak lain keterbelengguan jiwa-jiwa yang membosankan. Saya bayangkan mereka berkarya, tidak berangkat dari kedirian murni paling dalam; dirinya memakai baju birokrat kepenyairan, lalu berusaha menulis sajak. Itulah awal penipuan yang bermula dari peniruan, sikap turunan yang tidak patut dijadikan teladan, atas apa pun yang terpantul darinya.

Jiwa-jiwa yang tidak mampu membebaskan dirinya sebagaimana kepompong menjelma kekupu, tidak sanggup menformulasikan pribadinya mengepakkan sayap-sayap pencerahan. Andai terlintas cahaya, hanya kerlap-kerlip lampu pesta tengah malam atau nafas-nafasnya kembang-kempis dirangsek sesuatu yang tidak membahagiakan (memerdekakan). Mending kunang-kunang tidak menganggap dirinya lintang, mendingan gemintang tidak mengaku sebagai rembulan. Jangan-jangan mereka tak bisa membedakan malam dan siang, yang bukan bermakna peristiwa terbebasnya dari ruang dan waktu, tapi ketololan menyukai satu keadaan yakni dekaden.

Tidakkah tindakan mengamini itu cerminan dari pembonsaian diri? Tumbuh-tumbuhan begitu menarik diprekes menjadi bonsai, tetapi sangat dagelan jika yang tertanam dalam ruh bernama watak. Pengerdilan ke-aku-an sama persis bunuh diri perlahan-lahan. Andai disuru meloncat dari ketinggian gedung kemandirian, tentunya tidak berani. Jiwa-jiwa nyaman di kamar sempit akan grogi keluar kandang, jika tidak menyelimuti tubuhnya atas mantel tebal atau jas hujan. Saya sebut orang-orang penakut menunggu redanya hujan, seperti menanti-nanti datangnya petir saat hendak berlari dalam lebatnya kegelapan malam.

Kepribadian yang takut gelap, tidak mungkin menghadirkan cahaya. Andai bertarung tentu beraninya main kroyokan, atau tidak mungkin memiliki mentalitas pembalap dalam lintasan sirkuit pancaroba, mereka jera disuruh berjalan paling depan, sebab hayatnya telah membonsai. Fenomena ini boleh saja, namun bagi pemilik jiwa muda haruslah waspada terhadap mental-mental kepecundangan. Mental jago kandang, teriak lawan namun lempar batu sembunyi tangan, ini solokoto bin kumprung. Maka meskipun berdarah-darah, tidaklah realis di dalam menerjuni kehidupan yang lapang melintang secahaya kemanusiaan.

Hidup di awang-awang tiada kepastian turunnya hujan semisal awan keraguan, andai melangit tidak mampu, sebab kalbunya telah tercukupi bentuk-bentuk kepuasan. Atau hatinya tercerabut dari akar keyakinan, karena tidak menyunggui dirinya sebagai sosok pemampu memikul beban. Padahal salah satu syarat kenabian’ di dunia kepenyairan ialah membelot, memberontak, mengkudeta hal-hal lapuk jahiliah yang tampak di depan mata yang mengungkungi anak jamannya. Maka sikap pembodohan (pengkerdilan) diri, bisa (secara) otomatis berimbas kepada masyarakat, karena kedunguan sama pengertiannya dengan penipuan, dan golongan tertipu persis seperti kaum merugi di dalam kancah jual beli nilai pengetahuan, atau pada pertukarkan kasih damai kemerdekaan.

Jika kerugian demi menyokong jalannya hikayat kebudayaan sebagai wujud peribadatan, tidaklah masalah, tetapi jikalau kebangkrutan berakar dari ketololan, maka sangat kumprung. Kalau diniatkan sekadar dagelan, mungkin berguna untuk mengendorkan urat-urat syaraf bagi yang sungguh-sungguh, sebab dalam kehidupan pun ada namanya banyolan. Namun bentuk mencontek tetaplah kegagalan, dan para presiden penyair gadungan adalah sosok-sosok pecundang, mengkarbit dirinya agar dikiranya matang. Sekali lagi berhati-hatilah memakan buah yang tidak masak dari tangkainya, bisa-bisa sakit perut berimbas keracunan. Atau jangan-jangan sebentar lagi akan terbit antologi puisi para presiden penyair serta wakil-wakilnya di Indonesia? Maka mari persiapkan tertawa…


Jakarta-Yogyakarta-Lamongan, 18 November 2008 / 21 Agustus 2017.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest