Senin, 11 September 2017

IDENTITAS PUISI MELAYU RIAU (1) Puisi Mantra, Puisi Islam, Puisi Maritim

Marhalim Zaini
http://riaupos.co

SESUNGGUHNYA, menelisik perkembangan puisi Melayu Riau, tak dapat serta merta memisahkan diri dari perkembangan kesusastraan Melayu secara luas. Sebab, begitu menyebut “Melayu Riau” untuk dunia sastra, dunia puisi, maka ingatan kita seolah diajak berkelana ke rentang sejarah yang panjang. Terutama, ketika—rentang sejarah itu—tak dapat pula dicecah-cecah secara administratif, sehingga takboleh tidak, harus pula menyebut sejarah perkembangan kesusastraan Riau-Lingga. Namun begitu, dalam konteks tulisan ini, saya hendak membatasi diri untuk menengok lebih spesifik terhadap teks-teks puisi yang lahir, setelah masa itu. Pembatasan ini lebih bertujuan untuk melihat gerak dinamika puisi-puisi “modern” Melayu Riau, dalam lalu lintas perpuisian modern Indonesia.

Istilah “modern” di sini, lebih untuk memberi batasan terutama pada bentuk-bentuk “puisi klasik.” Puisi modern, dalam konteks ini, bolehmasuk dalam kategori “puisi bebas” dengan tidak lagi terkekang oleh konvensi-konvensi baku, seperti halnya pantun, syair, gurindam, dll. Meskipun, kita tahu, pertanyaan tentang kapan puisi modern Indonesia itu lahir pun masih dalam perdebatan. Apakah dari Hamzah Fansuri (abad XV) atau sejak Bahasa Indonesia lahir, ditandai dengan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.  Atau ketika Muhammad Yamin memperkenalkan bentuk soneta yang mendapat pengaruh dari Eropa, sehingga puisi Indonesia mulai meninggalkan kisah-kisah dunia istana. Namun, sebagai prdouk budaya, puisi tetap tidak dapat dengan mudah memisahkan diri secara tegas batas antara tradisional/klasik dan modern.      

Namun, membahas sastra modern, menjadi penting ketika diyakini pendukung utama modernisasi (di) Indonesia itu, sejak semula, adalah bahasa. Dan bahasa Melayu, dengan kematangan wataknya yang egaliter, diterima sebagai bahasa Nasional, seolah tak mendapat hambatan berarti untuk melahirkan “Indonesia” sebagai sebuah “negara-bangsa modern” di awal abad ke-20. Maka, puisi modern Indonesia, yang lahir dan tumbuh dalam “tubuh” bahasa Melayu-Indonesia serupa itu, rupanya turut berkembang dengan amat baik. Para penyair terus lahir, dengan menggunakan bahasa Indonesia (dari bahasa Melayu yang egaliter itu), yang segera menyerap/menerima berbagai bahasa asing dari etnis lain, pun dari bahasa dunia—yang tentu membawa serta berbagai nilai kebudayaannya. Puisi modern Indonesia, pada gilirannya, telah pun diterima dalam pergaulan sastra dunia.

Meski kemudian, bukan sama sekali tidak membawa resiko. Di antaranya, gairah kepenulisan puisi/sastra berbahasa daerah kian tergerus. Sebab, dalam perkembangannya puisi/sastra modern Indonesia demikian mendominasi, selain menjadi arus-kuat-utama dalam penciptaan karya sastra, juga dalam berbagai kajian/kritik sastra di Indonesia. Termasuk juga peran “media sastra” lokal maupun nasional yang lebih memberi tempat pada karya sastra (berbahasa) Indonesia dibanding dengan karya sastra (berbahasa) daerah. Bagi Riau, meskipun karya sastra berbahasa “Melayu daerah” juga mengalami resiko yang sama, namun tetap “diuntungkan” oleh pengalaman-pengalaman kebahasaan (Melayu) yang langsung dipraktekkan oleh si penyair/sastrawannya sejak lahir. Sehingga, bahasa Melayu bagi orang Riau misalnya, lebih “mendarah-daging” dibanding bagi orang yang bukan Melayu.

Hemat saya, pengalaman kebahasaan inilah yang membuat proses penciptaan karya sastra dalam bahasa Indonesia relatif lebih mudah, dan lebih terbuka kemungkinan-kemungkinan eksplorasi bahasa. Sehingga, peluang ini seolah kemudian memberi laluan bagi para penyair (di) Riau untuk secara lebih leluasa mengeksplorasi basis historis-kulturalnya itu. Eksplorasi itu, pada perkembangannya memperlihatkan beberapa kecenderungan bentuk puisi yang diciptakan oleh para penyair Riau, yang setidaknya dapat dilihat dalam tiga kecenderungan: puisi mantra, puisi Islam, dan puisi maritim. Ketiga kecenderungan ini, dalam pembacaan awal saya, dapat menunjukkan “identitas” puisi Melayu-Riau, yang akan saya coba paparkan dalam analisa berikut.  

Puisi Mantra

Hemat saya, peluang dan potensi yang semacam itulah yang kemudian diambil oleh Sutardji Calzoum Bachri melalui “puisi mantra”-nya. Selain, tentu kesadaran Sutardji akan penggalian akar kebudayaannya sendiri sebagai wilayah kreatif yang tak pernah padam, yang tak ada habisnya. Elaborasi mantra dengan makna-makna baru dalam bentuk puisi modern, telah membawa Sutardji untuk merumuskan kredo puisinya “membebaskan kata dari makna.” Inilah kontribusi besar Sutardji—sebagai penyair yang berasal dari (Melayu) Riau—dalam memberikan kebaruan dan kesegaran puisi modern Indonesia, yang menurut kritikus Maman S Mahayana, “ternyatalah Sutardji lebih besar dari Chairil Anwar.” Sebab bagi Maman, Sutardji bukan sekedar menerjemahkan-menafsirkan budaya Timur-Barat, melainkan peletak dasar estetika sastra Indonesia.

Selain Sutardji, ada Ibrahim Sattah. Terutama secara bentuk, puisi-puisi Ibrahim Sattah tampak “sealiran” dengan Sutardji. Keberangkatannya menulis puisi, juga dari upaya mengelaborasi mantra Melayu. Entah siapa yang terlebih dahulu menemukan cara berpuisi yang semacam ini, yang pasti, sebagai kawan seangkatan dalam berkarya, mereka berdua telah sama-sama memperkuat satu genre puisi dalam khazanah sastra Indonesia, yakni “puisi mantra.” Tentu, mereka memiliki kekuatannya masing-masing, dengan daya kreatifitasnya masing-masing. Meskipun, bolehjadi kemudian, untuk beberapa puisinya, ditemukan saling keterpengaruhan itu (sebagaimana juga Slamet Sukirnanto pernah menulis “Mengenal Ibrahim Sattah,” dalam Pelita, 19 September 1978). Semisal dalam penggalan puisi berikut:

dukaku dukakau dukarisau duka
kaliandukangiau
resahku resahkau resahrisau
resahbalau resahkalian
(O karya Sutardji Calzoum Bachri)

duka itu saya saya ini kau kau itu duka
duka bunga duka daun duka duri duka hari
(Duka karya Ibrahim Sattah)
           
Pada generasi berikutnya, “puisi mantra” masih tetap menjadi spirit tersendiri. Setidaknya genre ini masih tetap “dianut” oleh beberapa penyair. Salah satunya, yang tampak dengan bersungguh-sungguh dan konsisten dalam menekuni genre ini, kita bisa menyebut nama Akib (Abdul Kadir Ibrahim). Terutama dalam buku puisinya 66 Menguak (1991) dan Negeri Airmata (2004), Sapardi Djoko Damono (sebagai pengulas buku tersebut) pun menemukan pengaruh mantra dalam puisi-puisi penyair yang menetap di Kepulauan Riau ini. Alazhar, yang pernah membicarakan buku 66 Menguak di tahun 1992 (sebagaimana juga dicatat dalam pengantar Akib sendiri) menyebut Akib adalah “mata rantai” puisi mantra setelah Sutardji dan Ibrahim Sattah. Meskipun ketiganya sama-sama berangkat dari mantra, namun tetap memiliki kekhasannya masing-masing. Alazhar menandaskan kekhasan itu, misalnya Sutardji kata-kata puisinya bebas makna, Ibrahim kata-kata puisinya permainan anak-anak, dan Akib kata-katanya bermakna.

Hemat saya, “mata rantai” itu tidak juga putus sampai di situ. Kalau hendak menelusuri puisi-puisi dari sejumlah penyair yang lain misalnya, maka kita akan juga menemukan model “puisi mantra.” Meskipun tentu dengan frekuensi yang berbeda-beda, dan kadang tampak lebih bersifat insidental. Artinya, “puisi mantra” di situ tidak sebagai aliran arus utama dalam proses penciptaannya, akan tetapi tetap bisa kita lacak dengan mudah jejak-jejak mantranya. Beberapa puisi Rida K Liamsi, dalam Tempuling (2002) misalnya juga memperlihatkan indikasi itu. Tengoklah puisi berjudul "Elegi (I)", "Elegi (I) Mengenang Mishima", "Pada Jam Dua Puluh Lima", dan "Rose (I)".      

Andai dapat kita cirikan "puisi mantra” dengan pemakaian repetisi (pengulangan), lalu dengan tempo atau ritme yang cenderung cepat, maka mata rantainya juga bisa kita lihat dalam puisi "Ratap Keasingan" karya Taufik Ikram Jamil (dalam buku Tersebab Haku Melayu, 1995). Misalnya pada bait ini:

    telah jadi januari ke oktober
    telah jadi februari ke november
    telah jadi maret ke desember

Atau pada bait berikutnya:
alilah dikau adnanlah dikau
khalidlah dikau adnanlah dikau
kalsumlah dikau aisyahlah dikau
hasanlah dikau tardjilah dikau
kaulah dikaulah engkaulah itu

Maka sesungguhnya, tradisi “puisi mantra” masih terus hidup dalam puisi-puisi yang lahir dari generasi penyair berikutnya, bahkan bolehjadi juga pada penyair-penyair mutakhir kita hari ini. Dengan begitu, jika Jamal D Rahman dalam sebuah esai pernah menyatakan  bahwa mantra itu hanyalah “tradisi kecil” dalam kebudayaan Melayu, dan membandingkannya dengan “tradisi besar” berupa “moralitas, intelektualitas, spiritualitas, nilai-nilai kerohanian, dan kearifan yang terpancar antara lain dalam bahasa Melayu yang cemerlang,” maka saya kira, Jamal sedang melupakan bahwa tradisi-tradisi kecil itulah yang kemudian membangun tradisi besar. Tradisi kecil macam mantra-lah sebagai “saripati” bahasa Melayu, yang kemudian menjadi tonggak-tonggak kecemerlangan bahasa Melayu.

Puisi Islam

Selain mantra, sebagai salah satu bentuk “identitas” puisi-puisi penyair Melayu Riau, adalah adanya unsur-unsur nilai agama Islam. Identitas sebagai (bolehlah sementara kita sebut dengan) “puisi Islam” untuk puisi Melayu Riau ini, tentu sebagaimana kita ketahui memiliki latar belakang sejarah yang kuat. Sejak abad ke-17, paling tidak, Islam jelas telah memainkan peranannya yang signifikan dalam pembentukan bahsa dan kebudayaan Melayu. Banyak kajian yang memperlihatkan hubungan Melayu dan Islam yang (seolah) tak terpisahkan, termasuk dalam karya sastra baik yang klasik maupun modern. Bentuk puisi Arab seperti syair misalnya, yang kemudain dikenal luas dalam kebudayaan Melayu dapat menunjukkan itu. Belum lagi, pengarang macam Raja Ali Haji yang ulama dan pemuka tarekat Naqsyabandiyah yang berbasis di pulau Penyengat, Riau, pusat penting kebudayaan Melayu di abad ke-19.

Sementara itu, tradisi “sastra Islam” sendiri dalam konstelasi perkembangan sastra modern Indonesia bukanlah hal baru. Sebutan “sastra profetik” misalnya, mengingatkan kita pada nama Kuntowijoyo dan Abdul Hadi WM. Sastra Profetik, sastra yang “bersemangat kenabian” ini, sesungguhnya telah cukup ramai diperbincangkan dalam dasawarsa 1980-an sebagai salah satu gagasan estetika alternatif dalam sastra. Maka tafsir atasnya pun kemudian mengundang keragaman. Meski tetap bersepakat untuk menghala pada bagaimana sastra sebagai sebuah produk budaya—tentu dengan caranya sendiri—mampu mendorong terjadinya perubahan sosial. Bagi Kuntowijoyo sendiri, sastra profetik adalah juga “sastra ibadah” yang merupakan ekspresi dari penghayatan nilai-nilai agamanya. Untuk itu, sastra profetik jelas merujuk pada pemahaman dan penafsiran Kitab Suci atas realitas, yang otomatis terlibat dalam sejarah kemanusiaan. Sastra adalah renungan tentang realitas. Realitas sastra, kata Kuntowijoyo, “adalah realitas simbolis bukan realitas aktual dan realitas historis. Dan melalui simbol itulah sastra memberi arah dan melakukan kritik atas realitas.”

Ahmadun Yosi Herfanda, seorang sastrawan lain yang juga memperkuat barisan estetika sastra religius, seolah ikut menandaskan bahwa sastra profetik tak selalu identik dengan sastra sufistik. Jika sastra sufistik cenderung hanya dipahami sebagai sastra zikir, atau sebatas ekspresi kerinduan untuk bermanunggal dengan Tuhan semata. Ahmadun menegaskan bahwa “persoalan-persoalan kemanusiaan, bahkan keseharian, juga merupakan persoalan sastra profetik, sebagaimana misi kenabian seorang Rosul Allah” (52:1998). ***

*) Marhalim Zaini, adalah sastrawan dan dosen sastra/seni.
http://riaupos.co/3241-spesial-puisi-mantra,-puisi-islam,-puisi-maritim.html

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest