Senin, 31 Oktober 2011

Mengenang Chairil, Sebuah Perkenalan

Nelson Alwi
http://www.suarakarya-online.com/

AKU berpikir: Bulan inikah yang membikin dingin,/ Jadi pucat rumah dan kaku pohonan?/ Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin:/ Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan!

Demikian sajak pendek Malam di Pegunungan karya Chairil Anwar. Pertama membaca membersit tanya: beginikah sajak? Sementara salah seorang kakak -yang kemudian saya yakini lumayan lugas mengapresiasi sajak tapi tak sempat jadi penyair- yang kebetulan memperhatikan bertanya, "Apa yang kamu pikirkan, he?"

"Ini," sahut saya. "Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan ini."

"Memang kenapa?"

"Yeah, gimana, ya," kata saya sambil menggaruk kepala yang sebetulnya tidak gatal," lucu!" sembur saya akhirnya.

"Coba bayangkan, bagaimana jika sekiranya kamu yang berkejaran dengan bayangan," kata kakak pula.

"Itu perbuatan yang sia-sia," gerutu saya. "Kita akan penat sendiri. Bayangan itu toh bersatu dengan kita, paling tidak pada telapak kaki."

"Nah itu dia," ujar kakak. "Lewat sajak penyair mempersonofikasikan dirinya sebagai anak kecil yang asyik sendiri dengan pekerjaan yang bagi kebanyakan orang dewasa tak ada faedahnya. Padahal di balik semua itu, sebenarnya penyair bermaksud menyorot sekaligus menertawakan manusia dan kehidupan atas dasar ketakberdayaannya."

Saya terperangah. Bingung! Banyak yang terasa namun tidak tahu harus ngomong atau mempertanyakan apa!?

Dan itu peristiwa 41 tahun yang lalu, tatkala saya masih di bangku Kelas V Sekolah Dasar.

Ya, waktu memang terus menggelinding tanpa kompromi. Kini tahun 2008. Dan Chairil ternyata seorang tokoh yang begitu memasyarakat. Ia tidak hanya dikenal di lingkungan sastrawan dan seniman tok, melainkan juga di kalangan pelajar, mahasiswa, pegawai, politikus, prajurit dan lain sebagainya. Bahkan, lepas dari apa yang menjadi topik pembicaraan mengenai Chairil, di terminal angkot atau di tempat mangkalnya pemuda putus sekolah dan kaum preman(isme), sering mengumandang nama besar penyair itu. Tanpa canggung-canggung mereka turut serta melewakan Chairil sembari -kadang-kadang- dengan suara lantang mendeklamasikan bait atau larik Aku-nya yang masyhur lagi menakjubkan. Konon, peristiwa semacam itu berlangsung sejak dulu (hingga sekarang) dan, mungkin (!?) buat masa datang.

Chairil, putra pasangan Toelus (asal Taeh, Payakumbuh) dan Saleha (asal Koto Gadang, Bukittinggi), lahir di Medan pada 26 Juli 1922. Masa kanak-kanaknya yang getir sangat mempengaruhi perkembangan jiwanya. Banyak orang menganggap ia berperilaku urakan dan susah dimengerti. Tapi Asrul Sani, yang kerap "menemani" Chairil mencuri buku, pernah mengklaim, Chairil tidak selalu bertindak seleboran. Di samping segala kenaifannya, ia punya kepribadian serta komitmen yang kuat untuk mencapai kemajuan dan kemerdekaan. Tidak jarang ia tampil begitu parlente: dengan setelan rapi, berdasi dan pakai sepatu mengkilap, ia bertamu atau bertemu dengan tokoh-tokoh pergerakan maupun pemimpin-pemimpin bangsa dalam diskusi atau resepsi.

Pendidikan Chairil hanya sampai kelas II Mulo (setara SMP). Tapi selama bersekolah ia telah berkenalan dengan kesusastraan Barat. Ia tertarik membaca karya-karya Slauerhoff, Ter Braak, Du Perron, Marsman dan, kemudian Nietzsche, Rilke serta bapak estetika ekspresionisme Benedetto Croce. Alkisah, Chairil fasih beberapa bahasa asing seperti bahasa Belanda, Inggris dan Jerman.

Berhenti dari Mulo Chairil hijrah ke Jakarta. Dan pada Juli 1943 ia menggebrak kota itu dengan sajak-sajak berikut pandangannya tentang seni-budaya. Ia ingin mengerjakan sesuatu yang besar, dan itu ia pertaruhkan sepenuhnya buat kesusastraan.

Sekali berarti/ Sesudah itu mati, tulis Chairil dalam sajak berjudul Diponegoro.

Sedang lewat sajak Rumahku ia pun bertegas-tegas, Rumahku dari unggun-timbun sajak/ Kaca jernih dari luar segala nampak// Kulari dari gedong lebar halaman/ Aku tersesat tak dapat jalan// Kemah kudirikan ketika senjakala/ Di pagi terbang entah kemana// Rumahku dari unggun-timbun sajak/ Di sini aku berbini dan beranak// Rasanya lama lagi, tapi datangnya datang/ Aku tidak lagi meraih petang/ Biar berleleran kata manis madu/ Jika menagih yang satu.

Dan sebenarnyalah apa yang ia canangkan. Kehadirannya telah membawa perubahan spektakuler di kancah sastra Indonesia. Dengan alirannya yang ekspresionistis dan sifatnya yang individualistis-revolusioner, ia berhasil mendobrak jagat perpuisian sebelumnya.

Kini Chairil telah tiada. Ia meninggal pada 28 April 1949, dan berkubur di TPU Karet. Adapun penyebab kematiannya ialah penyakit Typhus. Namun selain itu, konon, sudah cukup lama ia mengidap sakit paru-paru -yang menaun.

Chairil mengamanatkan 70 buah sajak asli, 4 saduran dan 10 terjemahan ditambah 6 prosa asli serta 4 terjemahan. Dan sebagian besar dikumpulkan dalam buku "Koleksi Sajak 1942-1949" Aku Ini Binatang Jalang yang bersumber dari Deru Campur Debu, Kerikil Tajam dan Yang Terhempas dan Yang Putus, antologi (bersama Rivai Apin dan Asrul Sani) Tiga Menguak Takdir, Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45 serta Kesusastraan Indonesia di Masa Jepang.

Memang tidak tergolong banyak karya Chairil ditilik dari kurun waktu kepenulisannya. Tetapi aspek-aspek yang terkandung dalam sajak-sajak maupun prosa-prosanya diakui sarat dengan hakikat hidup dan kehidupan: rasa cinta yang menukik, jiwa kepahlawanan yang bergelora, pikiran-pikiran serta sikap budaya yang -kiranya- relevan sampai saat ini. Karenanya, tak heran kalau kebanyakan buah pena Chairil diterjemahkan orang ke bahasa asing, seperti ke bahasa Inggris dan Jerman.

"Karenanya, tak heran pula kalau saban tahun para seniman sengaja berkumpul buat mengenangkan Chairil," ujar Mochtar Lubis -ketika saya mendampingi Pak dan Bu Mochtar- dalam perjalanan Padang-Bukittinggi beberapa tahun sebelum beliau wafat. Dan di sela tawa serta senyum khas pengarang roman seangkatan Chairil Anwar itu saya pun menimpali, "Acara mengenang, jika tidak mempergunjingkan sudah barang tentu membacakan terutama sajak-sajak Chairil, lazimnya terselenggara pada tanggal kematiannya."

Singkat cerita, banyak sudah orang ngomong tentang Chairil. Namun satu hal yang tak bisa dibantah, HB Jassin adalah figur yang paling sering membicarakan penyair legendaris itu; tidak cuma mengenai karya-karyanya tetapi juga menyangkut sepak-terjang maupun tingkah-laku si penyandang gelar "Binatang Jalang" itu.

Akan halnya saya, menjelang 28 April tahun ini, diam-diam membebaskan ingatan saya mengembara ke berbagai "pertemuan" dengan Chairil. Dan itu sudah barang tentu berbaur dan berproses dalam rentang waktu yang menghasilkan "kekinian" saya. Kekinian yang melahirkan pengertian-pengertian tentang (ke)hidup(an) dan (ke)manusia(an) yang dilengkapi Yang Mahakuasa seperangkat unsur lahir-batin berikut suasana yang menggerakkan saya untuk ikut nimbrung memperbincangkan Chairil serta beberapa sajaknya.

Dan, setelah kemerdekaan berpendapat menyangkut karya seni dianggap sah dan dijamin halal, maka saya ingin menyatakan bahwa Malam di Pegunungan -begitu pun sajak-sajak lainnya- lebih afdal bila dinikmati dan dirasakan ketimbang dijabarkan atau dikonkretkan. Tetapi, apakah yang dinikmati dan dirasakan sewaktu serta sesudah membaca sajak (Chairil) bisa memberikan "sesuatu" kepada saya? Inilah masalahnya! Maka, agaknya, di sinilah saya harus bermain. ***

___________10 Mei 2008
* Nelson Alwi, pencinta sastra budaya, tinggal di Padang.

Sabtu, 29 Oktober 2011

Bedah "Suluk Saloka Jiwa"

Sastra Pertemuan Jawa-Islam
Saroni Asikin
http://www.suaramerdeka.com/

SOSOK R. Ng. Ranggawarsita (1802-1873) dikenal sebagai pewaris sastra kapujanggan alias sastra yang ditulis demi kepentingan istana atau negara. Istana dalam hal ini adalah Keraton Kasunanan Surakarta. Lebih dari itu, dia pernah disebut sebagai pujangga pungkasan.

Maka muncullah beragam tafsir atas gelaran yang diberikan pada lelaki yang ketika muda bernama Bagus Burham itu. Tafsir yang paling dominan adalah soal titik pertemuan kebudayaan Islam dan Jawa (kejawen).

Itulah yang mengemuka dalam sarasehan di Dalem Padmasusastran Solo, Senin (1/7) malam. Sarasehan itu menghadirkan Mh Zaelani Tammaka dengan makalah Suluk Saloka Jiwa, Strategi Mencari Titik Temu Islam-Jawa. Pembahasnya, Mohammad Damami dari IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan makalah Suluk Saloka Jiwa: Sebuah Perspektif. Peserta yang hadir berasal dari berbagai elemen masyarakat Solo yang oleh panitia diundang dengan alasan perhatian mereka terhadap kebudayaan Jawa.

Di manakah sebenarnya titik yang mempertemukan kebudayaan Islam dan Jawa? Tammaka mengatakan, gelar Ranggawarsita sebagai pujangga pungkasan sangat menyiratkan gelar Nabi Muhammad sebagai khatamul anbiya (nabi pamungkas). "Gelar itu jelas sebagai legitimasi keislaman," katanya.

Di sisi lain, karya-karya Ranggawarsita adalah representasi gagasan-gagasan yang penuh kultur politik Jawa. Dan Suluk Saloka Jiwa dapat disebut sebagai representasi tipikal mengenai pertemuan budaya itu.

Tiga Format

Mohammad Damami dalam tanggapannya mengajukan tiga format untuk membedah interaksi Islam-Jawa dalam konteks Suluk Saloka Jiwa. Pertama, agama dinilai dari kepentingan politik yang selanjutnya memunculkan istilah Islam sinkretis. Kedua, ada konflik antara Islam normatif dan Islam kultural yang kemudian memunculkan Islam sintetis. Terakhir, ada konflik Islam normatif dengan superioritas budaya lokal dan memunculkan Islam komplementatif.

"Untuk format ketiga, kalau ada modifikasi pada budaya Jawa di dalam diri pemeluk Islam, maka tidak akan ada benturan apa pun," kata Damami.

Dia mencontohkan, apabila ada pemahaman makna pada "simbol" ritual balang sadak di dalam upacara pernikahan Jawa, maka pengantin yang memeluk Islam tidak akan mengalami konflik internal. "Dia tetap pemeluk Islam sekaligus pelaku ritual Jawa. Saling melengkapi, itulah yang disebut komplementatif."

Karya Sufistik

Berbicara soal kesastraan Ranggawarsita, Takashi Shiraishi (javanolog dari Jepang) memuji sebagai karya sastra dengan bahasa indah dan khas. Ranggawarsita mampu menemukan standar artistik literer. Itulah juga yang membuat dia menjadi sosok legendaris.

Selain itu Suluk Saloka Jiwa, salah satu karyanya, bolehlah disebut sebagai karya sufistik. Sebab, menurut pakar kejawen Dr Simuh yang disitir Tammaka, kitab itu diilhami oleh tradisi permusyawaratan para wali atau ahli tasawuf dalam membahas ilmu kasampurnaan atau makrifat.

Serat itu memang mengetengahkan perbincangan enam sufi di Negeri Rum yang dihadiri Syeh Suman. Syeh itu diidentifikasi sebagai Dewa Wisnu. Dewa Hindu itu begitu tertarik mencari titik temu Islam-Hindu sehingga rela pergi jauh ke negeri Rum (Turki).

Agar diterima, dia mengubah nama menjadi Syeh Suman. Dari pembicaraan itu, Syeh Suman berkesimpulan: sesungguhnya antara ajaran Islam dan Jawa ada paralelisme atawa kesejajaran.

5 Juli 2002

ISLAM DI JAWA

Mh Zaelani Tammaka
http://kotasendeng.blogspot.com/

Alkisah, seorang dewa Hindu, Wisnu didorong oleh keinginannya yang besar untuk mencari titik temu antara ajaran Hindu dan Islam, rela menempuh perjalanan jauh, dengan mengarungi lautan dan daratan, untuk datang ke negeri Rum (Turki), salah satu pusat negeri Islam, yang kala itu dalam penguasaah Daulah Usmaniyah.

Untuk mencapai maksud itu, Wisnu mengubah namanya menjadi Seh Suman. Dia pun menganut dua agama sekaligus, lahir tetap dewa Hindu namun batinnya telah menganut Islam. Dan demikianlah, setelah menempuh perjalanan yang demikian jauh dan melelahkan, sampailah Seh Suman di Negeri Rum. Kebetulan pada masa itu Seh Suman bisa menghadiri musyawarah para wali itu bertujuan untuk mencocokkan wejangan enam mursid (guru sufi): 1) Seh Sumah, 2) She Ngusman Najid, 3) Seh Suman sendiri, 4) Seh Bukti Jalal, 5) Seh Brahmana dan 6) Seh Takru Alam. Demikianlah ikhtisah Suluk Saloka Jiwa karya pujangga Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Raden Ngabei Ranggawarsita, sebagaimana dirangkumkan oleh pakar masalah kejawen dari IAIN Sunan Klaijaga Yogyakarta, Dr. Simuh (1991:76). Menurut Simuh, kitab ini nampaknya diilhami oleh tradisi permusyawaratan para wali atau ahli sufi untuk membehas ilmu kasampuranan atau makrifat yang banyak berkembang di dunia tarekat. Dunia Penciptaan Sumber lain menyebut kitab ini sebagai Suluk Jiwa begita saja. Misalnya, dalam disertai Dr. Alwi Shihab di Universitas ‘Ain Syams, Mesir, Al Tashawwuf Al-Indunisi Al-Ma’asir yang kemudian diindonesiakan oleh Dr. Muhammad Nursamad menjadi Islam Sufistik : "Islam Pertama" dan pengaruhnya hingga kini di Indonesia (Mizan, 2001). Bahkan bukan saja penyebutan judulnya yang berbeda, namun nama tokoh-tokohnya ditulis menurut ejaan Arab. Sehingga, Seh Suman oleh Alwi Shihab ditulisnya sebagai Sulaiman. Seh Ngusman Najib ditulis Syaikh Ustman Al-Naji. Meskipun begitu alur cerita yang digambarkan oleh Alwi Shihab tidak berbeda dengan yang dipaparkan oleh Dr. Simuh. Dari perbedaan penyebutan itu timbul beberapa spekulasi. Spekulasi pertama barangkali memang penyebutan Alwi Shihab kurang lengkap mengingat Alwi tampaknya tidak mengambil dari sumber langsung atau mungkin kekeliruan dalam penerjemahan. Namun, spekulasi yang lain bisa saja antara Seluk Saloka Jiwa dan Suluk Jiwa memang kitab yang berbeda atau turunan yang lain. Hal ini bisa saja terjadi karena kitab Jawa, yang penurunannya belum memakai metode cetak tapi tulisan tangan, suatu kitab sejenis antara turunan yang satu dengan turunan yang lainnya bisa mengalami perubahan karena ditulis dalam waktu dan kesempatan yang berbeda, bahkan bisa oleh penulis yang berbeda pula. Namun, yang pokok, antara apa yang diungkapan oleh Dr. Simuh dengan Dr. Alwi Shihab tidak ada perbedaan yang berarti. Keduanya menyebut bahwa karya Ranggawarsita yang satu ini memiliki pertalian yang erat dengan upaya mensinkronkan ajaran Islam dan Jawa (Hinduisme). Bahkan, Dr. Alwi Shihab menyebut sosok Ranggawarsita sebagai Bapak Kebatinan Jawa atau Kejawen. Menurut Menteri Luar Negeri RI pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, penjulukannya ini didasarkan pada kenyataan bahwa karya-karya Ranggawarsita menjadi rujukan utama untuk kebatinan Jawa. Serat Soluk Saloka Jiwa ini berbicara soal dunia penciptaan, yaitu dari masa manusia berasal dan ke mana bakal kembali (sanggkan paraning dumadi). Ini terlihat dari hasil perbincangan enam sufi di Negeri Rum yang juga dihadiri oleh Seh Suman alias Dewa Wisnu tersebut. Dari sinilah, Seh Suman berkesimpulan bahwa sesungguhnya antara ajaran Islam dan Jawa memiliki paralelisme. Menurut Ranggawarsita, sebagaimana digambarkan dari hasil percakapan enam sufi, Allah SWT itu ada sebelum segala sesuatu ada.
Yang mula-mula diciptakan oleh Allah adalah
* al-nur yang kemudian terpancar darinya 4 unsur : tanah, api, udara, dan air.
* Kemudian diciptakanlah jasad yang terdiri dari 4 unsur: darah, daging, tulang dan tulang rusuk. Api melahirkan 4 jenis jiwa/nafsu : aluamah (dlm ejaan Arab lawwmah) yang memancarkan
1) warna hitam;
2) amarah (ammarah) memancarkan warna merah;
3) supiah (shufiyyah) berwarna kuning dan
4) mutmainah (muthma’inah) berwarna putih. Dari udara lahir nafas, tanaffus, anfas dan nufus. Paham penciptaan ini jelas kemudian sangat berpengaruh terhadap tradisi kejawen yang memang mengambil dari ajaran Islam yang berpadu dengan kebudayaan lokal.

Memang konsep-konsep tentang jiwa (nafs) juga diruntut dalam tradisi Islam sufistik, seperti yang dikembangkan Al-Ghazali. Namun demikian, konsep tentang nafsu-nafsu itu kemudian berkembang dikalangan kebatinan Jawa secara luas, bahkan juga berpengaruh bagi kalangan penganut kebatinan Jawa nonmuslim. Demikianlah ikhtisar Suluk Saloka Jiwa sebagaimana dirangkumkan oleh Simuh (1991: 76).

Menurut Simuh, kitab ini tampaknya "di-ilhami" oleh tradisi permusyawaratan para wali atau ahli sufi untuk membahas ilmu kasampurnan atau makrifat yang banyak berkembang di dunia tarekat. Pendapat senada terdapat dalam disertasi Dr Alwi Shihab di Universitas 'Ain Syams, Mesir, Al Tashawwuf Al-Islami wa Atsaruhu fi Al-Tashawwuf Al-Indunisi Al-Ma'asir. Hanya saja, dalam disertasi Shihab, nama tokoh-tokohnya ditulis menurut ejaan Arab. Seh Suman ditulisnya sebagai Sulaiman, Seh Ngusman Najid ditulis Syaikh Ustman Al-Naji.

Meskipun begitu, alur cerita yang digambarkan tidak berbeda. Keduanya juga menyebut bahwa karya Ranggawarsita yang satu ini memiliki pertalian yang erat dengan upaya menyinkronkan ajaran Islam dan Jawa (Hinduisme), inti pokok ajaran kebatinan Jawa. Serat Suluk Saloka Jiwa ini berbicara soal dunia penciptaan, yaitu dari mana manusia berasal dan ke mana bakal kembali (sangkan paraning dumadi). Ini terlihat dari hasil perbincangan enam sufi di Negeri Rum yang juga dihadiri oleh Seh Suman alias Dewa Wisnu tersebut. Dari sinilah, Seh Suman berkesimpulan bahwa sesungguhnya antara ajaran Islam dan Jawa memiliki paralelisme.

Menurut Ranggawarsita, sebagaimana digambarkan dari hasil percakapan enam sufi, Allah itu ada sebelum segala sesuatu ada. Yang mula-mula diciptakan oleh Allah adalah al-nur yang kemudian terpancar darinya tanah, api, udara, dan air. Kemudian diciptakanlah jasad yang terdiri dari empat unsur: darah, daging, tulang-tulang, dan tulang rusuk. Api melahirkan empat jenis jiwa/nafsu: aluamah (dalam ejaan Arab lawwamah) yang memancarkan warna hitam; amarah (ammarah) memancarkan warna merah; supiah (shufiyyah) berwarna kuning dan mutmainah (muthma'inah) yang berwarna putih.

Dari udara lahir nafas, tanaffus, anfas dan nufus. Paham penciptaan ini jelas kemudian sangat berpengaruh terhadap tradisi kebatinan Jawa yang memang mengambil dari ajaran Islam yang berpadu dengan kebudayaan lokal. Memang konsep-konsep tentang jiwa (nafs) juga diruntut dalam tradisi Islam sufistik, seperti yang dikembangkan Al-Ghazali.

Dalam kaitan pemilahan an-nafs (nafsu) ini, Al-Ghazali membagi tujuh macam nafsu, yaitu mardhiyah, radhiyah, muthmainah, kamilah, mulhammah, lawwamah, dan ammarah (Rahardjo; 1991: 56). Namun, yang berkembang dalam kebatinan Jawa bukan tujuh macam nafsu, namun tetap empat nafsu di atas. Seorang dokter-cendekiawan Jawa dari Semarang, dr Paryana Suryadibrata, pada tahun 1955, pernah menulis karangan "Kesehatan Lahir dan Batin" bersambung lima nomor di Majalah Media Yogyakarta. Ia, misalnya, menyebut 4 (empat) macam tingkatan nafsu manusia:
1. ammarah (egosentros),
2. supiyah (eros),
3. lawwamah (polemos), dan
4. muthmainah (religios).

Konsep tentang empat nafsu itu kemudian berkembang luas di kalangan kebatinan Jawa secara luas, bahkan juga berpengaruh bagi kalangan kebatinan Jawa yang non-muslim. Karena itu, tidak salah jika Alwi Shihab menyebut sosok Ranggawarsita sebagai Bapak Kebatinan Jawa atau Kejawen. Sinkretisme atau Varian Islam?
* Lantas, apa yang bisa diambil bagi generasi masa kini atas keberadaan Suluk Saloka Jiwa?
* Benarkah Ranggawarsita, dengan karya suluknya ini, telah membawa bentuk sinkretisme Islam-Jawa?
* Lantas, mungkinkah semangat pencarian titik temu antar-nilai suatu agama ini bisa dijadikan desain strategi budaya untuk membangun pola relasi antar-umat beragama di Indonesia dewasa ini? Pertanyaan-pertanyaan ini agaknya tidak bisa dipandang enteng, mengingat kompleksnya permasalahan.

Yang jelas, masing-masing pertanyaan di atas memiliki korelasi dengan konteksnya masing-masing, tinggal bagaimana seorang penafsir mengambil sudut pandang. Anggapan bahwa ajaran mistik Jawa sebagaimana tercermin dalam Suluk Saloka Jiwa merupakan bentuk sinkretisme antara Islam dan Jawa (Hinduisme) boleh dikata merupakan pendapat yang umum dan dominan. Apalagi, sejak semula Ranggawarsita sendiri-lewat karyanya itu-seakan telah memberi legitimasi bahwa memang terdapat paralelisme antara Islam dan Hinduisme.

Hal ini seperti tercermin dalam kutipan pupuh berikut ini: Yata wahu/ Seh Suman sareng angrungu/ pandikanira/ sang panditha Ngusman Najid/ langkung suka ngandika jroning wardoyo//Sang Awiku/ nyata pandhita linuhung/ wulange tan siwah/ lan kawruhing jawata di/ pang-gelare pangukute tan pra beda// Artinya: Ketika Seh Suman (Wisnu) mendengar ajaran Ngusman Najid, sangat sukacita dalam hatinya.

Sang ulama benar-benar tinggi ilmunya, ajarannya ternyata tidak berbeda dengan ajaran para dewa (Hinduisme). Pembeberan dan keringkasannya tidak berbeda dengan ilmu kehinduan. Atas pernyataan ini, kalangan pakar banyak yang berpendapat bahwa Ranggawarsita seperti telah menawarkan pemikiran "agama ganda" bagi orang Jawa, yaitu lahir tetap Hindu namun batin menganut Islam, karena antara Hindu dan Islam menurutnya memang terdapat keselarasan teologi. Simuh, misalnya, menyatakan, "Maka, menurut Ranggawarsita, tidak halangan bagi priayi Jawa menganut agama rangkap seperti Dewa Wisnu: Lahir tetap hindu sedangkan batin mengikuti tuntunan Islam" (Simuh; 1991: 77). Tafsiran demikian ini tidak dilepaskan dari konteks sosio-kultural pada saat itu.

Hal tersebut tidak terlepas dari strategi budaya yang diterapkan keraton-keraton Islam di Jawa pasca-Demak, yang mencari keselarasan antara masyarakat pesisiran yang kental dengan ajaran Islam dan masyarakat pedalaman yang masih ketat memegang keyakinan-keyakinan yang bersumber dari Hindu, Buddha, dan kepercayaan-kepercayaan asli,agar tidak ada perpecahan ke agamaan. Upaya-upaya ini telah dilakukan secara sistematis, utamanya sejak dan oleh Sultan Agung, raja ketiga Mataram Islam.

Di antaranya, Sultan Agung mengubah kalender Saka (Hindu) menjadi kalender Jawa, yang merupakan perpaduan antara sistem penanggalan Saka dan sistem penanggalan Islam (Hijriah). Namun, benarkah bahwa Islam Jawa merupakan bentuk sinkretisme Islam dengan ajaran Hindu, Buddha dan kepercayaan Jawa? Pendapat yang dominan memang demikian, khususnya bagi yang mengikuti teori trikotomi-santri-priayi-abangan-Clifford Geertz sebagaimana tercermin dalam The Religion of Java yang monumental itu.

Namun, seorang pakar studi Islam lainnya, Mark R Woodward, yang melakukan penelitian lebih baru dibanding Geertz, yaitu pada tahun 1980-an, berkesimpulan lain. Woodward, yang sebelumnya telah melakukan studi tentang Hindu dan Buddha, ternyata tidak menemukan elemen-elemen Hindu dan Buddha dalam sistem ajaran Islam Jawa. "Tidak ada sistem Taravada, Mahayana, Siva, atau Vaisnava yang saya pelajari yang tampak dikandungnya (Islam Jawa) kecuali sekadar persamaan... sangat sepele," demikian tulis Woodward (1999: 3).

Bagi Wordward, Islam Jawa-yang kemudian disimplikasikan sebagai kejawen-sejatinya bukan sinkretisme antara Islam dan Jawa (Hindu dan Buddha), tetapi tidak lain hanyalah varian Islam, seperti halnya berkembang Islam Arab, Islam India, Islam Syiria, Islam Maroko, dan lain-lainnya. Yang paling mencolok dari Islam Jawa, menurutnya, kecepatan dan kedalamannya mempenetrasi masyarakat Hindu-Buddha yang paling maju atau sophisticated (ibid: 353). Perubahan itu terjadi dengan begitu cepatnya, sehingga masyarakat Jawa seakan tidak sadar kalau sudah terjadi transformasi sistem teologi.

Dengan demikian, konflik yang muncul dengan adanya Islam Jawa sebenarnya bukanlah konflik antar-agama (Islam versus Hindu dan Buddha), melainkan konflik internal Islam, yakni antara Islam normatif dan Islam kultural, antara syariah dan sufisme.

Dalam kaitan ini, Woodward menulis: "Perselisihan keagamaan (Islam di Jawa) tidak didasarkan pada penerimaan yang berbeda terhadap Islam oleh orang-orang Jawa dari berbagai posisi sosial, tetapi pada persoalan lama Islam mengenai bagaimana menyeimbangkan dimensi hukum dan dimensi mistik." (ibid: 4-5). Namun, harus diakui, menyimpulkan apakah Suluk Saloka Jiwa mengajarkan sinkretisme Islam dan Hindu-Buddha atau tidak memang tidak gampang. Ini membutuhkan penelitian lebih lanjut dan mendalam.

Namun, pendapat Woodward bahwa problem keagamaan di Jawa lebih karena faktor konflik Islam normatif dan Islam kultural tersebut juga bukan tanpa alasan, setidak-tidaknya memang konsep nafs (nafsu) seperti yang ditulis Ranggawarsita itu memang sulit dicarikan rujukannya dari sumber-sumber literatur Hindu, Buddha ataupun kepercayaan asli Jawa, namun akan lebih mudah ditelusur dengan mencari rujukan pada literatur-literatur tasawuf (sufisme) Islam, seperti yang dikembangkan oleh Al-Ghazali, As-Suhrawardi, Hujwiri, Qusyayri, Al-Hallaj dan tokoh-tokoh sufi Islam lainnya. Kekhawatiran bahwa Islam Jawa kemungkinan akan "menyeleweng" dari Islam standar tidaklah hanya dikhawatirkan oleh kalangan Islam modernis saja, melainkan kelompok-kelompok lain yang mencoba menggali Islam Jawa dan mencoba mencocokkannya dengan sumber-sumber Islam standar.

Seorang intelektual NU, Ulil Abshar-Abdalla, ketika mengomentari Serat Centhini (Bentara, Kompas, edisi 4 Agustus 2000), menulis sebagai berikut: Yang ingin saya tunjukkan dalam tulisan ini adalah bagaimana Islam menjadi elemen pokok yang mendasari seluruh kisah dalam buku ini [Serat Centhini], tetapi telah mengalami "pembacaan" ulang melalui optik pribumi yang sudah tentu berlainan dengan Islam standar. Islam tidak lagi tampil sebagai "teks besar" yang "membentuk" kembali kebudayaan setempat sesuai dengan kanon ortodoksi yang standar.

Sebaliknya, dalam Serat Centhini, kita melihat justru kejawaan bertindak secara leluasa untuk "membaca kembali" Islam dalam konteks setempat, tanpa ada ancaman kekikukan dan kecemasan karena "menyeleweng" dari kanon resmi. Nada yang begitu menonjol di sana adalah sikap yang wajar dalam melihat hubungan antara Islam dan kejawaan, meskipun yang terakhir ini sedang melakukan suatu tindakan "resistensi".

Penolakan tampil dalam nada yang "subtil", dan sama sekali tidak mengesankan adanya "heroisme".... Ulil-Abshar barangkali ingin mengatakan inilah cara orang Jawa melakukan perlawanan: Menang tanpa ngasorake... Islam tampaknya telah mengalami kemenangan di Jawa, namun sesungguhnya Islam telah "disubversi" sedemikian rupa, dengan menggunakan tangan Islam sendiri, sehingga sesungguhnya yang tetap tampil sebagai pemenang adalah Jawa.

Dari Mitis ke Epistemologis Pada akhirnya, dalam kaitannya relasi Islam-Jawa, bila yang digunakan pendekatan adalah pandangan "kita" versus "mereka", dan karena itu "Jawa" dan "Islam" berada dalam posisi oposisional dan tanpa bisa didialogkan, serta mendudukannya secara vis-a-vis, maka sebenarnya tanpa sadar kita pun telah ikut melegitimasi konflik. Kalau itu yang terjadi, dalam konteks pembangunan toleransi antarpihak, kita sebenarnya tidak memberikan resolusi, namun justru antisolusi. Karena itu, dalam konteks ini, resolusi harus dicarikan pendekatan lain. Dan pendekatan yang layak ditawarkan adalah pendekatan transformatif, yaitu tranformatif dari cara berpikir "mitis" ke pola berpikir "epistemologis. Transformasi berpikir "mitis" ke "epistemologis" adalah membawa alam pikiran masyarakat dari semula yang "tidak berjarak" dengan alam menuju cara berpikir yang "mengambil jarak" dengan alam.

Dengan adanya keberjarakan dengan alam, manusia bisa memberi penilaian yang obyektif terhadap alam semesta. Ini tentu saja berbeda dengan cara berpikir "mitis", manusia berada "dalam penguasaan" alam. Karena itu, ketika mereka gagal memberi rasionalitas terhadap gejala-gejala alam, seperti gunung meletus, angin topan, banjir bandang, maka yang dianggap terjadi adalah alam sedang murka. Berpikir mitos pada akhirnya yang terjadi.

Dengan berpikir epistemologis, mengambil jarak dengan alam, maka manusia bisa memberi gambaran yang rasional tentang alam, dan kemudian mengolahnya, demi kesejahteraan umat manusia. Alam pun berubah menjadi sesuatu yang fungsional, bermanfaat.

*) MH ZAELANI TAMMAKA Peminat studi sosial dan kebudayaan, salah satu penggiat Ndalem Padmosusastro Surakarta.
Dijumput dari: http://kotasendeng.blogspot.com/2009/12/islam-di-jawa.html

Jumat, 21 Oktober 2011

Religiusitas yang tak verbal pada Telepon Berdering Dini Hari

:Sebuah Sajak Bambang Kempling
Zawawi Se
http://sastra-indonesia.com/

Beberapa waktu lalu masih di tahun 2009 ini saya masih teringat ketika memposting sebuah puisi-puisi-an saya ke milist apresiasi sastra. Ketika itu puisi-puisi-an tersebut mendapat respon dari Hudan Hidayat yang menyatakan bahwa puisi-puisi-an yang saya buat tersebut masih terlalu verbal.

Tapi bagaimana lagi, sebagai seorang awam puisi memang sering terjebak pada keverbalan gaya ungkap. Menyatakan A untuk sebuah maksud yang A pula. Menulis B untuk bermaksud menyatakan B pula.

Dalam sajak karya Bambang Kempling berjudul Telepon Berdering Dini Hari yang tergabung dalam Antologi Bersama Lidi Segala Kata seperti mengungkap religiusitas yang tak verbal. Jadi religiusitas itu tidak harus mengungkap kata-kata seperti shalat, zakat, puasa, dan lain-lain

Dalam konsep Islam sepertiga malam akhir atau dini hari sampai menjelang fajar adalah waktu kesunyian dari hiruk pikuk kesibukan dunia. Pada saat itulah turun Tuhan dan para malaikatnya ke langit dunia untuk mengabulkan doa para makhlukNya yang beramal pada saat-saat seperti itu.

Telepon berdering
dini hari
angkasa bening
hening

Turunnya Tuhan dan para malaikatnya bagi semesta cahaya yang dapat membuat keluasan dalam dada manusia.

semesta cahaya
buat cakrawala di jiwa

Dan Bambang Kempling seolah-olah menyindir kita dengan sebuah pertanyaan yang menggoda:

maka, adakah yang mendengar dering syahdu itu?

Adakah kita yang terbangun pada dini hari, saat angkasa bening hening, bersuci lalu, bermunajat, mengangkat telepon untuk menjawab Tuhan yang memanggil-manggil kita dengan janjiNya yang Mahapasti untuk menempatkan kita pada maqomam mahmuda?

Dan sebagaian dari kita mungkin hanya: selalu tergoda untuk mencoba menerka-nerka / dengan memberi tanda pada angka-angka / dalam lafal sesaat yang menyayat.

Dan seolah-olah Bambang Kempling mengajak kita untuk mendengar dan menjawab dering syahdu itu dengan pertanyaan yang sama yang seolah-olah menohok kita:

Adakah kau juga mendengar dering syahdu itu?
: tiba-tiba kita tersipu dalam gigil

Namun justru mungkin kita menjadi malu dibuatnya karena mungkin sebagaian dari kita disibukkan oleh angka-angka yang seolah menjamin kehidupan kita dan tak mempertanggunjawabkannya kepad Yang Mahakuasa.

Sajak Bambang Kempling
Telepon Berdering Dini Hari

telepon bordering
dini hari
angkasa bening
hening

semesta cahaya
buat cakrawala di jiwa

maka,
adakah yang mendengar dering syahdu itu?

Kita selalu tergoda untuk mencoba menerka-nerka
Dengan member tanda pada angka-angka
Dalam lafal sesaat menyayat

Adakah kau juga mendengar dering syahdu itu?
: tiba-tiba kita tersipu dalam gigil

Gresik, 9 November 2009

DARI DAN KE …

Bambang Kempling *
http://sastra-indonesia.com/

Mimpi masih berlanjut setelah itu.

Suatu perbincangan pada suatu sore masih saja mengiang di telinganya sepanjang hari yang dilalui kini. Apakah hal yang tampak selalu di depan mata, telah menjelmakan racun pada setiap lembut udara yang dihirupnya? Ataukah semacam tabir bagi kebanggaan jalan yang pernah dilalui?

Sore itu, selesai rintik hujan dan di barat matahari kuning keemasan hampir terhimpit di antara gedung-gedung tua tertiraikan pohon-pohon akasia, ketika sepasang kekasih duduk berhadapan di bawah tiang bendera yang menjulang di tengah lapangan rumput, ketika dia dan seorang temannya melintas di antara mereka tanpa begitu peduli, ketika mereka lalu menyapa,

“Hallo!!”

Ketika sapaan itu tak ada sahutan sama sekali. Ketika sang perempuan menyebulkan senyum kecil yang manis sekali, lalu bertanya pada sang kekasih:

“Kemana mereka?”

“Entah!” jawab sang kekasih.

Di perempatan jalan mereka berhenti, ketika seorang pengendara motor melambaikan tangan tanpa menoleh lalu mengencangkan laju motornya, ketika percakapan itu terjadi:

“Seekor nyamuk sekarat di atas sehelai kertas putih lantas mati. Begitu mengagumkan ia dalam mengakhiri kebebasannya dengan bermula dari kebahagiaan tanpa beban kelaparan. Tapi dengan begitu, mungkin dan bahkan sangat mungkin, ia justru sangat menderita karena tidak sempat menikmati keinginan-keinginan yang akan terjadi sesudahnya,” temannya mencoba membuka kebisuan.

“Hidup tidaklah sesederhana itu kawan. Adalah tidak salah kalau saya tiba-tiba memilih keputusan yang benar-benar menyakitkan, yaitu pulang. Tidak seperti nyamuk itu, sebab kami ternyata bukan kawan yang baik untuk mati bersama-sama. Kalau hal ini kau anggap menuju kematian? Tunggu dulu! Siapa sebenarnya yang telah merintis jalan itu bahkan cenderung untuk mempertahankannya?”

“Stop!! Saya hanya berbicara tentang nyamuk, bukan untuk berdebat tentang pilihan kita.”

“Apologi kuno!! aku berangkat.”

“Kita belum selesai bicara!”

“Kita tidak akan pernah bisa menyelesaikan pembicaraan! aku berangkat pulang!”

“Sudah kau pikirkan masak-masak?”

“Busyet! kita sehari-hari di sini terlalu banyak menghabiskan waktu untuk mimpi-mimpi..”

“Tunggu dulu.., paling tidak dengarkan perkataanku kali ini!”

“Otakku capek.”

“Apa perlu kita saling berkabar?”

“Kita titipkan pada angin.”

“Itu klise!”

“Ya… pada embun.”

“Sama saja!”

“Kalau begitu tidak usah!”

“Adakah ini keberartian jalan?”

“Simpan kalimatmu untuk nama jalan ini?”

Masih di perempatan jalan itu, di bawah jajaran pohon palem yang menjulang, berpacu dengan matahari mereka berjabatan. Dia berjalan ke timur mengejar bayangannya yang meliuk-liuk di atas rerumputan sepanjang pinggir jalan.

Bagaikan sesosok tubuh tunggal, terasa ada yang hilang dari diri mereka yang lelah dengan harapan-harapan.

“Hai…! tidak kau ucapkan sepatahpun kata pepisahan?” teriak sang kawan.

“Kita bukanlah sepasang kekasih sobat!” jawabnya dari kejauhan dan akhirnya menghilang di kelokan.

Sang kawan berjalan ke utara menyusuri jalan sempit berlawanan dengan arah air sungai kecil yang mengalir di bawahnya.

“Kenapa pulang selalu menjadi masalah?” kalimat itu terulang bersekian juta kali di kepalanya, bagaikan kekhusukan dzikir sepanjang perjalanan beriringan dengan denyut nadi, langkah kakinya sendiri, langkah kaki orang-orang yang bersimpangan, guguran daun-daun sepanjang jalan, laju mobil angkutan, teriakan kenek-kenek bus, obrolan penumpang, sapa orang tuanya sesampainya di rumah, bantingan pintu kamar, ngorok tidurnya.

Pagi-pagi benar ketika bangun tidur, dia menyambut pagi dengan umpatan keras. “Bangsaaat…kubunuh kau!!”

Ibunya yang baru serekaat melaksanakan sholat subuh, membatalkan sholatnya, cepat-cepat menghampirinya. “Ada apa?” tanyanya.

“Cicak…”

“Kenapa dengan cicak?”

“Mukaku dikencingi!”

“Oh…alaaah, begitu saja kok mengumpat! Sana sholat! biar bening hatimu.”

Dengan berang dia beranjak dari kamar menuju kamar mandi, membasuh muka dan bagian-bagian tubuh yang layak tersiram air wudlu lalu segera pergi. Ibunya yang belum selesai sholat tak sempat bertanya.

Matahari sudah membentuk bayangan panjang bagi lalu lalang orang-orang di pasar. Keramaian yang sudah sejak tadi, sebagai satu tanda tentang harapan-harapan. Tapi dia bukanlah seperti kebanyakan dari mereka. Kemarahan yang iseng mengantarkannya ke salah satu toko mainan,“Pistol ini berapa?” tanyanya pada penjaga.

“Baru benah-benah Mas!” jawab perempuan penjaga.

“Busyet!! Pistol ini!!”

“Untuk adiknya?”

“Saya bertanya harganya!? Adapun ini nanti untuk saya atau nenek saya, itu bukan urusanmu! Yang penting saya beli! Titik!!” sahutnya kesal.

Wajah penjaga toko tiba-tiba pucat dan gemetar mendengarnya, segera ia memberikan mainan yang dikehendakinya sekaligus menunjukkan harganya. “Kok sekarang jadi gitu?” desisnya.

Bagaikan remaja belasan tahun dia mengendarai motornya, para tetangga yang kebetulan bangun pagi pada ngedumel lantas segera memasang tanda tanya dan tanda seru yang besar di atas kepalanya: “Ada apa?!” atau “Kok?!” Pengedumel-pengedumel itu serta-merta berkerumun untuk merumuskan tentang sebab dan musabab dari “Ada apa?!” dan “Kok?!”. Hasilnya, tidak lebih dari satu rumusan tanda tanya dan tanda seru yang semakin besar menindih setiap kepala mereka. “Nihil!” Celotehnya.

Sesampai di kamar, cicak di atap semakin banyak, bahkan ada yang asyik bercumbu. Dia segera mengeluarkan pistol mainannya, menembakinya satu persatu. Satu persatu cicak itu terjatuh: ada yang mengenai kepalanya, ada yang ekornya hingga putus dan seakan-akan hidup memisahkan diri dari induk tubuh, menjentik-njentik di lantai sementara sang induk tubuh terus melanjutkan kehidupannya. Tetapi dia tetap tidak akan memberikan hak untuk itu. Ketika dilihatnya ada sepasang yang bercumbu dia jadi tertawa sekeras-kerasnya,

“Ha…ha…ha… Keterlaluan..! Dan inilah ganjaran bagi yang tak tahu diri!!”

Tas!!

Tas!!

“Kena kau…! Mampus kau…!” teriak girangnya.

Di balik pintu kamar ibunya yang masih bermukena setelah menyelesaikan sholat dhuha mengelus dada, meneteskan air mata. “Apa ada yang salah dari doa saya?” tanyanya dalam hati.

Kabar tentang itu segera terdengar sampai di setiap sudut kampung. Peristiwa yang teramat ganjil dalam pikiran-pikiran sederhana mereka dengan santernya menjadi topik setiap pembicaraan di warung-warung, di toko-toko kelotong, di pasar-pasar, di jalan-jalan, di hampir semua tempat orang-orang biasa bergerombol termasuk di tempat ibadah. Sepanjang hari itu topik tidak pernah berubah bahkan cenderung berkembang menjadi pro dan kontra, dan masalah pro dan kontra ini di suatu warung kopi dua orang nyaris saling melempar cangkir kopi kalau tidak segera dilerai dengan geram oleh pemiliknya:

“Kalau berani saling melempar dengan cangkirku, maka kursi ini nanti akan kulempar ke kalian, biar sekalian hancur!!” bentak pemilik warung itu.

Sudah tiga hari dia tidak keluar kamar, kecuali untuk buang air kecil atau makan, lampu kamar dibiarkan menyala terang. Yang dilakukan selama itu kalau tidak ada cicak dia membaca, kalau tidak membaca ya menulis, kalau tidak membaca dan menulis dia bernyanyi keras atau berdeklamasi, kalau semuanya tidak dia tidur mendengkur.

Hari keempat dia mulai jenuh dengan rutinitas perang melawan cicak, maka diputuskannya untuk menempelkan foto-foto dirinya di dinding dan sudut kamar sebagai bidikan barunya. Tidak tanggung-tanggung kali ini senjatanya tidak dengan pistol mainan, tapi dengan senapan angin yang dimiliki. Mula-mula yang dibidik matanya kemudian jidat sampai seluruh bagian tubuhnya. Kalau tidak mengenai sasaran dia berteriak menyumpahi ketololannya.

Hari berikutnya, dia tanpa alasan yang jelas, tiba-tiba mengamuk menghancurkan semua benda-benda dalam kamar, menyobeki semua buku-bukunya, menempelengi kepalanya , bernyanyi keras-keras, berdeklamasi keras-keras, dan menangis keras-keras.

Melihat keadaan yang dianggap ganjil, seluruh keluarganya berkumpul untuk membicarakan sikap dan tindakan yang tepat. Dan hasilnya segera mengirimnya ke rumah sakit jiwa.

Seminggu di rumah sakit jiwa dia lepas, pulang naik taxi. Di depan rumah dia berteriak keras, “Saya tidak gila! saya tidak butuh rumah sakit jiwa! tidak butuh dokter! yang saya butuhkan hanya kebebasan untuk menjalani pilihan hidup saya! Pilihan hidup yang didasari oleh kebebasan cara berpikir! Apakah kemudian dengan demikian lantas dengan enaknya kalian menempatkan saya pada ketidakmampuan akal sehatku untuk menjalani hidup? Percuma saya sekolah! Percuma saya belajar psikologi, sastra, dan filsafat! Kalau kemudian dengan pengabdianku kepada kehidupan yang baru kurintis terlalu cepat dianggap sinting! Tidak adakah bentuk penghargaan lain kecuali tuduhan yang tidak beradab ini? Hari ini saya pergi!”

Selesai mengucapkan itu, dia langsung pergi. Sementara sang supir taxi masih linglung, salah seorang dari keluarganya menanyakan tentang upahnya, setelah dibayar dalam kelinglungannya buru-buru tancap gas. Di perjalanan kembali bertemu dengan bekas penumpangnya tadi, karena takut ditumpangi lagi supir itu semakin tancap gas sampai laju taxinya tak terkendali dan di tikungan jalan nyelonong ke sebuah toko kelontong hingga ringsek, sedang sang supir luka parah. Banyak orang berkerumun, ketika dia sang bekas penumpang tadi lewat tidak menoleh sedikitpun.

“Sombong!! Takabur!! Sok..!!” bisik seseorang kepada seseorang yang kebetulan menyaksikan dia.

*

Tiga tahun sudah peristiwa itu terjadi, dan selama waktu itu, dia telah hampir menyinggahi seluruh kota di negri ini, menjalani hidup sebagai manusia kelas pinggiran, bermukim di rumah-rumah kardus bawah jembatan dan pinggiran jalan kumuh. Untuk makan dia mencari uang dengan mengais dan menjual barang-barang bekas yang dari gundukan sampah pinggir kota. Anehnya selama bermukim di setiap permukimannya, dia hanya dikenal oleh yang lain sebagai ‘entah’ dan mengenal yang lain pun dengan ‘entah’ saja.

“Kamu siapa dan dari mana?” suatu ketika salah seorang wanita bertanya kepadanya, langsung wanita itu diringkusnya lantas disetubuhi, anehnya wanita itu tidak berontak. Esoknya, tepat tengah malam dan bulan bundar terang menyinari perkampungan kardus itu, wanita itu dengan berkain sarung masuk ke rumah kardusnya, dia tidak terkejut dan langsung meringkusnya setelah mendengar pertanyaan yang sama. Begitulah yang terjadi di hari-hari berikutnya apabila wanita itu bertanya. Lama-lama pertanyaan itu sudah terlalu basi bagi bibir manisnya, tapi tetap saja diringkus bahkan sampai menjalani hidup selayaknya sebuah rumah tangga yang aneh dengan tanpa kata-kata. Percintaannya terjadi hanya dengan isyarat-isyarat. Dan dengan isyarat pula, ketika pada suatu pagi dia tiba-tiba memutuskan untuk pergi sebelum wanita itu bangun, ditulisnya pesan singkat dengan arang di salah satu dinding kardus.

“lewat terang bulan yang menerobos di persinggahan ini

aku kabarkan pilar rahasia dari percintaan kita

pada langit terang bila tak ada hujan

luka dan tangis adalah sia-sia

sia-sia

pergiku adalah beruntai-untai kisah panjang

yang tak kan pernah terungkap

Akhirnya hanya pada angin aku bersimpuh.

Hanya pada angin.”

Semula wanita itu tidak terkejut melihat dia sudah tidak di sampingnya, tetapi keadaan menjadi lain ketika ditemuinya tulisan itu.

“Siapa yang kucintai ini?” desisnya, sambil mengusap air mata yang tiba-tiba berurai. Tangisnya semakin menjadi, semakin menjadi setiap dibacanya tulisan yang tepat dihadapannya. Seharian wanita itu menangis, seharian wanita itu membacanya.

*

Beberapa hari kemudian, di suatu tempat yang jauh, di sebuah warung kopi, dia seperti sedang menunggu seseorang. Para pengunjung warung kopi tampak sudah akrab sekali dengannya, sesekali mereka terlibat dalam kelakar dan basa-basi juga saling mengabarkan sesuatu. Seseorang dengan tubuh kerempeng sambil membawa buku tebal melongokkan wajah dari balik jendela, dengan tertawa ia menyambut kedatangannya, “Aku tadi dengar kalau kau datang, bagaimana pulangmu?” sambutnya.

“Busyet!” jawabnya.

November 2003
____________________
*) Bambang Kempling lahir di Lamongan, 17 April 1967 dengan nama lengkap Bambang Purnomo Setyo. Menyelesaikan Pendidikan terakhir di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP UMM tahun 1992. Semasa mahasiswa aktif di berbagai kegiatan berkesenian diantaranya Teater MELARAT, Kelompok Musik Seteman Ngobrol IQr.
Sekarang aktif di KOSTELA (KOMUNITAS SASTRA DAN TEATER LAMONGAN). Publikasi cerpen-cerpennya hanya terbatas di kalangan CANDRAKIRANA KOSTELA dan antologi cerpen pilihan “Pada Sebuah Alamat” oleh Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Unisda Lamongan. Sedangkan untuk puisi-puisinya bisa ditemui di Antologi Tunggalnya KATA SEBUAH SAJAK 2002, Majalah Indupati, Antologi Bersama Teman-teman KOSTELA “Rebana Kesunyian”, “Imajinasi Nama”, Antologi bersama “Permohonan Hijau” yang diterbitkan oleh Festival Seni Surabaya tahun 2003, “Bulan Merayap” (DKL 2004), “Lanskap Telunjuk” (DKL 2004), “Duka Atjeh Duka Bersama (DKJT 2005), dan tabloit Telunjuk.
Baginya menulis adalah sebagai bentuk ‘dialog’ yang harus dilakukan. Bersama teman-teman KOSTELA, ia akan terus menulis sepanjang masih bermakna.
Alamat surat: KOSTELA, Jln Raya Karanggeneng No.107 Cuping, Madulegi, Sukodadi, Lamongan. Tlp. (0322) 393042. HP. 081 332 002 807

Kamis, 20 Oktober 2011

Sastrawan Jawa Timur: Peta Kebangkitan Jaman

Sabrank Suparno
http://sastra-indonesia.com/

Jawa Timur yang luasnya sekitar157.922 kilo meter persegi, dengan jumlah penduduk 36.294.280 merupakan wilayah fenomenik. Berbagai kajian keilmuan tak pernah sepi mengangkat Jawa Timur sebagai topik utama.

Dari sudut sastra, para esais sastra sedang gencar mengupas perihal tarik-ulur eksistensi kesusastraan yang pada akhirnya menguatkan titik fokus jati diri Jawa Timur sebagai wilayah kesusastraan tersendiri di Indonesia, wilayah yang tak lagi menjadikan Jakarta dan Melayu sebagai pusat imperium kesusasteraan.

Dari sudut politik, kita dapat amati setiap menjelang berlangsungnya pemilu. Partai politik, bahkan calon kandidat presiden sekali pun, memprioritaskan agenda utama dalam rangka menggaet suara dari Jawa Timur. Dengan jumlah penduduk yang padat dalam wilayah yang tanggung dibanding Kalimantan, Sulawesi, Sumatera serta Irian, diasumsikan kalau menang pemilu di Jawa Timur, kemungkinan besar menang pemilu di Indonesia.

Secara antropologi, kekondangan Jawa Timur dikenal dunia sejak pernah bercokolnya kerajaan besar Majapahit, kerajaan yang luasnya mencapai duapertiga belahan bumi hingga ke semenanjung Madagaskar dan beberapa bagian negara Filipina.

Potensialitas intelektual juga tumbuh merebak. Banyak tokoh kaliber nasional menduduki posisi penting di pemerintahan pusat. Dari lima kali pergantian presiden di Indonesia, tiga diantaranya dari Jawa Timur: Gus Dur, Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono.

Sejarawan Barat abad terkini mulai menggeser teorinya tentang perdaban tertinggi di dunia. Bukan lagi Mesopotamia-Byzantium. Karena pada wilayah ini tidak ditemukan indikator pendukung terjadinya kebudayaan tertinggi: yaitu banyaknya gunung berapi dan aliran sungai sebagai kemakmuran agrarian. Gunung berapi pangkal kesuburan vulkanik, serta sungai sebagai sarana penunjang irigasi. Sementara wilayah kecil Jawa Timur dihuni gunung berapi terbanyak di dunia. Sedari Kelud hingga Semeru, tercatat sekitar 10 gunung berapi. Tak ada yang menyamai wilayah ini.

Dari sinilah optimisme degub kebangkitan jaman berpusat di Jawa Timur. Apalagi bagi penduduk muslim, sebagai indikator ke dua setelah jumlah gunung berapi dan sungai, ialah keyakinan ajaran islam.

Sholat, bagi muslim merupakan referentasi kehidupan total yang menyangkut perilaku moral individu dan sosial. Sudah pasti, terangkum pula ilmu pengetahuan di dalamnya. Bagi muslim, runtutan gerak rukun sholat berpusat ketika tahiyat akhir. Sebuah posisi yang menjadi ujung sahnya sholat. Do’a tahiyat akhir pun merupakan dialektika langsung antara Nabi Muhammad dengan Alloh saat mi’roj ke Sidratul Muntaha, sebuah pertemuan dengan kapasitas peradaban tertinggi. Posisi tahiyat akhir dapat ditarik temu ruasnya dengan peta propinsi Jawa Timur.

Posisi tahiyat akhir, jika dilihat dari atas (langit) persis peta Jawa Timur. Yakni kaki kiri: tumit, telapak hingga ujung jari menjadi semenanjung Banyuwangi: Blambangan, pesisir Ketapang, Sritanjung, pesisir Bondowoso, Situbondo hingga lengkungan pantai Kenjeran. Sementara telapak kaki kanan menjorok ke timur menjadi pulau Madura. Sedang lutut kanan menjadi tapal batas Bojonegoro. Dan lutut kaki kiri juga menjorok ke pojok barat menjadi perbatasan Pacitan. Pendeknya, sepulang mi’roj dari Sidratul Muntaha, Nabi Muhammad membawa peta Jawa Timur: peta kebangkitan jaman yang sudah ditentukan theokrasi.

Indikator berikutnya, Syeh Subakir jauh dari Ubyekistan datang mbabat alas di pulau Jawa ini, yang kemudian meninggalkan jejak para wali dalam missi membangun peradaban masyarakat Jawa. Dari 9 wali, 5 diantaranya di Jawa Timur pesisir utara. Sebagian ahli kebatinan berasumsi bahwa keberadaan 5 wali yang menduduki pesisir utara, berfungsi sebagai pengimbang pulau Jawa Timur agar tidak miring ke selatan, sebab bagian selatan pulau Jawa banyak dihuni gunung berapi. Terbukti pulau Jawa miring ke utara yang ditandai dengan aliran air yang pasti ke utara. Kecuali satu sungai di Tulungagung mengalir ke selatan. Sungai yang dibangun Belanda sabagai alternatirf pengesatan wilayah tersebut.

Barulah berdiri kerajaan islam Demak yang diamping Sunan Kalijaga. Dengan sistim perdikannya, Sunan Kalijaga membagi kekuasaan kepada 147 anak Brawijaya V dari Mataram hingga seluruh wilayah nusantara. Tidak hanya itu, Sunan Kalijaga juga sebelumnya menguasai pusat persenjataan Majapahit yang dipegang oleh Empu Supo, tokoh persenjataan yang tak tertandingi waktu itu. Padatan gelombang waktu ini simbol penjinakan kekuasaan militer sebelum menjadi negara federal atau yang dikenal dengan otonomi daerah.

Kebangkitan Jawa Timur masa kolonial ditandai pekik takbir Bung Tomo untuk membakar semangat jihat Arek Suroboyo yang didukung para santri seJawa Timur. Terdepaklah agresi militer II yang dikenal dengan pertempuran 10 November.

Ada satu pertanyaan untuk menyongsong jati diri Jawa Timur sebagai peta kebangkitan jaman mendatang. Yakni sejauhmana kesiapan pelaku sejarah di Jawa Timur mengetahui jati dirinya bahwa mereka berpotensi besar? Naif jika Jawa Timur tidak mempersiapkan kebesarannya sedini mungkin. Selayaknyalah Jawa Timur mulai menentukan skala kebesaran dalam berkiprah. Sekaliber regional, nasional, atau mendunia?
_______________
*) Penulis Sabrank Suparno. Menulis esai, puisi, cerpen, cerkak bahasa nJombangan. Redaktur Bulletin Lincak Sastra. Team pengelola media web: www.Sastra-Indonesia.com. Forum Sastra Jombang.blogspot. Alumnus MAN Filial Tambakberas di Balongrejo dan Pondok Pesantren Kwadungan Sumobito tahun 1997. Jebol 2 semester Universitas Sunan Giri (Unsuri) jurusan sospol HI dan Universitas Taruna (Unita) jurusan pendidikan. Lalu bekerja sebagai pedangan Art Shop di Bali hingga tahun 2003. Pernah kursus bahasa Inggris di BESC (Basic Ingglis Study Club) Kediri. Pernah menjadi Team Riset litbang Kajian Keislaman di STAIN Kediri. Pernah berkerja nyambi membina Yayasan Anak Yatim Tunas Harapan di Sumenep tahun 2006. Perumus jaringan pemuda tiga negara: Indonesia, Portugal, Timor Laste, sehingga pada 12 Juli 2009 menggelar acara: Diskusi Ilmiah Budaya yang dihadiri Carlos Miquel Fonseca Horta (seniman asal Portugal) di tempat penulis bersama remaja desa. Pernah menjalani sebagai pedagang kaligrafi keliling seputar Tugu Pahlawan-halaman Balai Kota Madya-Kebun Binatang- Masjid Agung Surabaya. Memenangi lomba penulisan esai sastra Islami Jamaah Maiyah yang diselenggarakan oleh Emha Ainun Nadjib dkk. Aktif sebagai penulis warta di Pengajian Padhang mBulan di Jombang dan Komunitas Bang Bang Wetan di Balai Pemuda Surabaya (tiap bulan) hingga sekarang. Team motifator penulis Jombang hingga sekarang. Pemangku Devisi Kepenulisan di Komunitas Seni Tirto Agung Mojoagung-Jombang. Ajeg bertani dan menghadiri undangan pembinaan jurnajistik hingga sekarang. Esai dan cerpen pernah dimuat beberapa media Rasar Mojokerto-Jombang (esai), Radar Surabaya (esai), Bulletin Maiyah Jawa Timur (esai), Majalah Santri Tebuireng (esai), Buku Antologi Hujan Sunyi Banaspati (cerpen). Beralamat di Dowong RT/RW: 08/02, desa Plosokerep, kecamatan Sumobito, kabupaten Jombang. Email: sabrank_bre@yahoo.com.HP: 085-735-970-909.

Minggu, 16 Oktober 2011

Gerimis di Suatu Malam

Ahmad Zaini
http://sastra-indonesia.com/

Menjelang pagi, mataku masih sulit dipejamkan. Di setiap arah mataku memandang yang tampak hanyalah wajah Luna yang baru saja menghadap Sang Mahakuasa. Kelopak mataku terasa pedih seakan ada yang mengganjal. Lagi-lagi bayangan wajahnya yang mengganjal agar mata ini tidak terpejam. Di setiap sisi ruang kamarku terbayang ribuan lukisan wajahnya yang tersenyum manis. Tawa manja yang merayu saat aku bertemu dengannya setahun yang lalu. Setelah kutatap bayangan itu ribuan wajah Luna pun lenyap ditelan cahaya lampu temaram di ujung malam.

Kusandarkan tubuhku pada tembok berwarna kelabu. Guratan-guratannya menarik khayalan saat aku bersuka cita dengan Luna kala itu. Namun, khayalan itu hanyalah kamuflase belaka. Ia lenyap lantas berganti air mata membanjiri kamarku.

”Andaikan aku tak berangkat saat itu, mungkin malam ini aku duduk berdampingan dengannya,” kataku dalam lamunan.

”Ah, tidak! Luna telah tiada. Aku pembunuh! Aku pembunuh!” teriakku menyalahkan diriku.

Kubekap wajahku dengan bantal guling kusam di pangkuanku. Air mataku terkuras oleh hisapan kapas-kapas yang bersembunyi di balik kantong bantal itu. Kepengapan hidup benar-benar kurasakan saat ini. Orang yang kucintai telah meninggalkanku selama-lamanya.

”Haruskah aku menyusulnya?” tanyaku pada diriku sendiri.

”Jangan!” tolak nuraniku.

”Kematian jangan dicari, kematian tidak bisa dihindari. Kapan dan di mana saja, kematian akan menjemput kita!” bisik nuraniku.

Kini hari-hariku dipenuhi perasaan bersalah yang menyebabkan kematian Luna. Pada suatu sore ia mengirimkan kabar padaku lewat pesan singkat. Dia minta diantarkan ke rumah teman sekolahnya. Saya sudah memperingatkannya agar ke sana besok pagi saja. Namun, ia masih bersikeras meminta aku mengantarkan ke rumah temannya itu. Katanya sangat penting. Akhirnya aku mengalah dan mengantarkannya demi rasa sayangku kepadanya.

Waktu maghrib telah berlalu. Malam mulai menungguku di gerbang hari. Diiringi rintik hujan kupacu motorku ke rumah Luna. Jaket yang kupakai basah kuyup terkena gerimis di malam itu. Sesampai di rumah Luna, kulepas jaket lalu kukibaskan berkali-kali agar butiran air hujan yang menempel segera lepas dari jaketku. Aku melihat Si Luna dari balik jendela kaca rumahnya. Ia sudah menungguku di ruang tamu. Dengan memakai swiiter yang ia beli sewaktu rekreasi ke WBL, ia mengusir dingin malam itu. Tangannya yang terasa dingin segera menjabat tanganku lantas ia mengajakku berangkat ke rumah temannya.

Motorku beranjak dari depan rumah Luna. Suaranya meraung mengusir gerimis yang menerobos cerobong knalpot.

”Agak cepat, dong!” pintanya dengan memukul pundakku.

”Sabar, Luna! Jalannya licin, nih!” jawabku.

Ia rupanya tidak mau bersabar. Ia terus memaksaku memacu motorku melintas di jalan yang licin setelah diguyur hujan.

Pekat malam sedikit mengganggu pandangan mataku. Kilatan cahaya kendaraan yang berpapasan denganku sedikit menyilaukan penglihatanku. Tapi aku tak peduli. Aku tidak mau mengecewakannya. Motor kupacu dengan kecepatan tinggi agar cepat sampai di rumah temannya.

Hawa dingin tak kuhiraukan. Jari-jari hujan membelai wajahku hingga butiran-butirannya mengalir melintasi relung mukaku. Sebutir air hujan mengecup bibir kemudian dengan spontan kuludahkan kembali air itu.

”Asin…!”

”Kenapa, kok, asin?”

”Bibirku dikecup air hujan!” jawabku menggoda.

Si Luna tertawa di atas motor yang melaju semakin kencang.

”Aku cemburu, lho!” katanya.

”Sudah, sudah! Ini di atas motor, lho! Jangan bergurau!”

Si Luna lantas diam tak mengucap sepatah kata pun lagi yang dapat mengganggu konsentrasiku. Lewat jalan berliku, kudahului satu persatu kedaraan di depanku. Di setiap celah yang dapat kulalui, motor yang kupacu lalu menyelinap dan menerobos himpitan kendaraan. Luna tak terlihat ketakutan atau panik saat motorku berada di antara dua kendaraan yang kulalui. Ia semakin senang dan bersemangat agar ia cepat sampai di rumah temannya.

Dekapan kedua tangannya terasa semakin erat. Nafas perutku terasa kembang kempis ditekan tangan halus yang melingkar penuh di perut. Ia seakan menikmati perjalanan yang penuh dengan risiko ini. Mesin motorku meraung-raung memecah gendang telinga. Bak tenaga kuda, motor kupacu tanpa sedikitpun kukendorkan tarikan gasnya. Deru suara motorku mengalahkan dering ponsel dari saku celana si Luna. Untung getaran ponsel itu menyadarkannya bahwa ada panggilan masuk ke ponselnya.

Dekapan erat Luna sedikit mengendur. Tangan kirinya meraih ponsel dari saku celanannya. Sementara tangan kanannya masih melingkar di tubuhku. Saat melintas di jalan berliku, motorku tergelincir dan aku tak mampu mengendalikan motorku lagi. Kami bergulingan jatuh dari motor. Sempat aku melihat motorku meluncur sendiri lantas menabrak pohon yang berdiri di samping jalan raya. Setelah tubuhku terhempas dan terjerembab di persawahan, aku mencari Luna yang sempat lepas lantas terlempar dari motor. Aku tak mendengar rintihan atau erangan dari Luna. Malam itu benar-benar sunyi. Aku melihat benda-benda di sekelilingku lewat terpaan lampu kendaraan yang berlalu. Tapi hingga mataku perih belum juga menemukan Luna.

Kaki kananku terasa perih. Kuraba dengan jari-jari tanganku. Darah mengucur deras dari betis dan telapak kakiku. Saat aku berusaha membalut lukaku dengan sobekan baju lengan panjangku agar darah tidak mengucur, tiba-tba terdengar suara ponsel dari bawah pohon mahoni di pinggir jalan raya. Lampu berirama memberi isyarat mungkin Luna ada di situ. Kuberjalan pelan mendekati kelap-kelip cahaya ponsel. Betapa terkejutnya aku saat melihat tubuh Luna meringkuk bersimbah darah di bawah pohon mahoni. Kuangkat kepalanya yang mengucurkan darah segar. Kupegang denyut nadinya tak ada detaknya. Akhirnya aku berteriak sekuat pita suaraku meminta pertolongan kepada pengguna jalan yang melintas di situ.

Wajah Luna membeku. Ia diam tak menyembulkan senyuman menggodaku. Wajahnya bersimbah darah kudongakku dengan mengharap keajaiban datang. Tapi ia tetap diam.

”Tolooooooong!” teriakku dengan suara serak. Tapi belum ada orang yang datang membantu.

Ponsel yang tergeletak di sisi Luna berdering lalu kuangkat.

”Halo, siapa ini?” tanya suara dari ponsel.

“Aku Daffa, teman Luna. Cepat kemari! Aku butuh pertolongan,” kataku panik.

”Kenapa?”

”Kami kecelakaan.”

”Baik, saya akan segera ke sana. Posisimu di mana?”

Aku kebingungan menjawab pertanyaannya. Aku tak tahu berada di mana sekarang ini. Tak ada rambu penunjuk arah. Tak ada pula papan nama yang bisa menujukkan di mana kami berada.

”Di tikungan jalan menuju ke rumahmu,” jawabku sekenanya.

Hampir dua jam kami bermandi air hujan dan air mata. Aku bingung apakah si Luna masih hidup atau sudah tiada. Dari tanda-tanda di denyut nadinya yang tak berdetak lagi telah menandakan bahwa Luna telah tiada. Aku takut, gugup menghadapi masalah ini sendirian. Dengan sekuat tenaga, tubuh Luna kubopong ke pinggir jalan raya. Baru saja kuturunkan tubuh Luna di pinggir jalan, tiba-tiba ada mobil yang berhenti di depanku.

“Lunaii, Lunaiii!” teriak seorang gadis yang melompat dari pintu mobil tersebut. Ia menangis sejadi-jadinya. Ia merangkul lantas menggoyang-goyang tubuh Luna yang lunglai.

“Luna, jangan pergi!” ratapnya yang tenggelam air mata.

Aku hanya duduk terpaku melihat teman Luna yang merangkul dan menggoyang-goyang tubuh Luna yang tak bernyawa. Sementara aku tak berdaya. Aku tak mampu membantu mereka mengurusi Luna. Akhirnya, tubuhku kusungkurkan di pinggir jalan raya sembari menutup muka dengan kedua telapak tangan. Kemudian dari arah belakang, ada orang yang membangunkanku lantas memapah diriku masuk ke dalam mobil.

Di tengah gerimis di malam itu, lewat kaca jendela mobil yang dipenuhi embun air hujan aku melihat tubuh Luna dibopong dan dimasukkan ke dalam ambulance. Lampu biru di atas ambulance mengubur hatiku ke dalam kesedihan yang mendalam. Tangisku kutahan tak kutumpahkan saat itu. Biarlah nanti air mataku kutumpahkan sebagai pembersih rasa salahku yang menyebabkan kematian Luna.

Saat pemakaman dilaksanakan, tangis pilu mewarnai para pelayat yang kebanyakan adalah kerabat dan teman-teman sekelas Luna. Mereka merasa kehilangan sosok yang supel dan pandai bergaul seperti Luna.

Di atas pusara tertancap dua batu nisan yang bertuliskan Luna Sukmawati. Di atas gundukan tanah itu, taburan ratusan, ribuan bahkan jutaan bunga dengan aroma wangi surga menghiasi pemakaman orang yang terkasih dan tercinta.
______________________________
*) Ahmad Zaini, Penulis beralamat di Wanar Pucuk Lamongan, beberapa puisi dan cerpennya pernah dimuat di Radar Bojonegoro, Majalah MPA (Depag Jatim), Antologi Puisi Bersama seperti Bulan Merayap (Dewan Kesenian Lamongan,2004), Lanskap Telunjuk (DKL, 2004), Khianat Waktu, Antologi Penyair Jawa Timur (DKL, 2006), Absurditas Rindu (Sastra Nesia Lamongan, 2006), Kidung Rumeksa Praja (Dewan Kesenian Jawa Timur, 2010). Pembina SMA Raudlatul Muta’allimin Babat, Lamongan.

Membelah Septum Sastra

Soegiharto *
http://www.lampungpost.com/

Tidak dimungkiri kenyataan sastra kini hanya berkembang di kota-kota. Tokoh-tokoh sastra kita kebanyakan tinggal di daerah urban. Demikian pula dengan penikmatnya. Tidak heran kalau Arief Budiman pernah mengatakan kalau sastra Indonesia merupakan sastra kota.

TENTU Arief tidak sembarang bicara, karena hampir seluruh karya sastra kita muncul dan syiar hanya di kota-kota. Senada pendapat Arief, pada Temu Sastra ’82 Arifin C. Noer tak gamang mengatakan kalau sastra kita adalah sastra borjuis. Kenyataan kalau sastra juga harus dihidupi dan sumber penghidupan itu ada di kota. Pas. Lantas, haruskah sastra kita hanya berkembang di sana? Pastilah sastra kita akan mandek dan sumpek. Sebab, mayoritas penduduk Indonesia masih tinggal di daerah. Ibarat orang lapar: nasi sesuap diharap, sepiring terhidang dibuang.

Sungguh memprihatinkan, penduduk Indonesia yang hampir seperempat miliar semestinya menjadi jaminan investasi bagi karya sastra. Seandainya sastra kita tidak terjebak di daerah urban. Dan sepatutnya sastra Indonesia bicara banyak di khasanah sastra dunia. Saat menerima gelar Doktor Honoris Causa di Universitas Indonesia, H.B. Jassin mengatakan kalau sastra Indonesia sudah mulai masuk dalam khasanah sastra dunia. Itu memang tidak mengada-ada, pantas, dan sepatutnya. Tetapi kata “mulai memasuki” memberi arti sastra Indonesia masih bayi. Masih merah. Masih harus merangkak, berdiri, kemudian berjalan agar bisa disebut bocah.

Untuk tampil mendunia, sastra Indonesia harus meningkatkan bobot. Dan, hal itu tidak akan terjadi jika di negeri sendiri sastra Indonesia mandek, terkurung. Belenggu harus dibebaskan agar sastra kita maju. Estimasi sastra kota harus didobrak dan septum sastra dibelah. Kemudian mengalirkan darah kesusastraan kita ke seluruh wilayah Indonesia. Niscaya sastra kita lebih membumi. Mempunyai ciri dan mampu menepuk dada di kancah dunia.

Realita

Seorang teman pernah mengeluh. Pasalnya, setelah selesai kuliah dia ditugaskan di daerah. Katanya di daerah sangat sulit mengembangkan kepenulisan apalagi bagi pemula. Teman itu rupanya kehilangan optimisme. Alasannya sederhana dan realistis. Pertama, kesulitan menembus media sebagai akibat sastra yang mengota. Asumsi bahwa masyarakat kota jauh berpendidikan lebih punya potensi. Kedua, pusat informasi, referensi dan event-event sastra masih terfokus di kota-kota. Ketiga, kurang berkembangnya media di daerah. Keempat, masih ada asumsi penulis asal kota penerbitan lebih mendapat prioritas. Alasannya penulis kota lebih mudah mengontrol naskah, ada relasi, punya status, aktivis perhimpunan atau hal lain.

Sementara itu, konsep penciptaan sastra terus dipermasalahkan. Sejak Manikebu (Manifes Kebudayaan), hingga usaha untuk membangun kembali konsep Manikebu di penghujung tahun 1992 yang kemudian dikenal dengan Neo-Manikebu. Konsep ini pun masih banyak ditentang, dan salah satunya Sapardi Djoko Damono. Katanya, “Bukan Neo-Manikebu yang dibutuhkan dunia kesusastraan Indonesia, melainkan pengarang-pengarang cendikia”. Ada catatan menarik, pembicaraan sastra Indonesia oleh para cendikia terjadi di luar Indonesia. Tanggal 28—31 Mei 1998, lokakarya diselenggarakan di Centre for Performance Studies dengan hibah dari Faculty of Arts pada Sydney University. Dan sebuah hibah dari Australia Research Council untuk penelitian tahun 1999—2001.

Membelah septum sastra memang bukan perkara mudah. Perlu perhatian dan kesadaran banyak orang. Terutama mereka yang berkubang di dunia sastra penulis, pemerhati, redaktur, dan guru bahasa. Yang terakhir sangat diharapkan karena jumlah mereka banyak dan tersebar di seluruh wilayah. Uluran tangan pemerintah sangat berperan. Misalnya dengan membentuk lembaga, mengadakan lomba, memfasilitasi event-event sastra, dan sebagainya.

Jangan Gerah

Kita tak perlu gatal-gatal dengan empat sandungan di atas. Sudah semestinya seorang penulis membebaskan diri dari segala belenggu. Karena di mana pun sastra boleh tumbuh. Sastra bukan monopoli kota. Septum sastra harus dibelah agar khasanah sastra lebih kaya. Jika dalam kondisi tidak menguntungkan, seorang Chairil Anwar mampu mendobrak dunia kepenyairan Indonesia. Itu karena Chairil Anwar tidak gerah dengan kondisi, bahkan dia “ingin hidup seribu tahun lagi”.

Untuk menjadi pengarang yang tinggal di daerah tidak sendirian. Banyak pengarang terkenal di Indonesia yang tinggal di daerah. Sebut saja seperti Chairul Harun (Sumatera Barat), Zawawi Imron (Madura), Putu Arya Tirtawirya (Lombok), dan Beni Setia (Jawa Timur). Mereka membuktikan daerah bukan halangan untuk menjadi pengarang. Sekaligus sebagai bukti bahwa sebenarnya sastra bukan monopoli kota. Sastra lahir sebagai hasil peradaban di mana pun tempatnya.

Bagi pengarang, menelorkan karya berbobot itu yang penting. Tentu semua itu tidak mungkin diperoleh begitu saja. Perlu belajar dan berlatih terus-menerus. The Liang Gie dalam buku Pengantar Dunia Karang-Mengarang dengan segar memberi nasihat: Kalau mau menjadi pengarang produktif, jangan menunda aktivitas kepengarangan kita dengan dalih udara panas, tetangga berisik, mesin tik tidak diservis, dan badan terasa gatal-gatal.

The Liang Gie tidak bergumam dengan kata-katanya, karena malas memang “penyakit mencari alasan” yang susah disembuhkan.

Menghidupkan sastra di daerah berarti pula membangun fondasi sastra Indonesia di pelataran sastra dunia. Sebab, bibit pengarang tidak lagi lahir dari minoritas kota, tetapi dari seluruh penduduk Indonesia. Setelah itu H.B. Jassin boleh berharap pidato gelar doktornya diteruskan.

Sastra Indonesia sudah mulai masuk khasanah sastra dunia dan akan menjadi anggota sastra dunia yang sangat diperhitungkan. Itu bukan angan-angan jika saja kita mampu membawa sastra ke desa-desa, membuat tumbuh, dan semarak di sana.

Sebuah desa di dekat Oxford pernah melahirkan novelis besar Amerika penerima Nobel 1949, William Faulkner. Sang pengarang ini lahir dan meninggal di sana. Boris Pasternak, pengarang novel Dr. Zhivago yang menerima Nobel tahun 1958, lebih sering tinggal di desa di luar kota Moskwa. Dan setelah enam tahun terakhir, Nobel jatuh pada sastrawan Eropa, akhirnya Nobel Sastra 2010 diterima Mario Vargas Llosa kelahiran Arequipa (Peru). Penyair Abdul Hadi W.M. pernah berniat membuka pesantren di luar kota Sumenep, dan berharap dapat membantu sastra masuk desa. Mengapa kita tidak?

*) Soegiharto, pembaca sastra

Ateisme Kepenyairan, Jalan Menuju Tuhan

Damhuri Muhammad*
Kompas, 9 Desember 2008

BISAKAH sastra dan agama bersekutu, lalu mendedahkan kebenaran yang sama? Bila pertanyaan ini diajukan kepada Adonis, dipastikan jawabnya mustahil. Bagi penyair Arab terkemuka itu, puisi dan agama bagai dua sumbu kebenaran yang bertolak belakang.

Puisi adalah pertanyaan, sementara agama adalah jawaban. Puisi adalah pengembaraan yang dituntun oleh keragu-raguan, sedangkan agama adalah tempat berlabuhnya iman dan kepasrahan. Lebih jauh, di ranah kesusastraan Arab, puisi dan agama bukan saja tak seiring jalan, agama bahkan memaklumatkan, jalan puisi bukan jalan yang menghulu pada kebenaran, tetapi menjerumuskan pada lubang kesesatan. Agama menyingkirkan para penyair Arab jahiliah ke dalam kelompok orang-orang sesat, orang-orang majnun (gila), penyihir. Inilah muasal segala kegelisahan dalam kepenyairan Adonis, yang disampaikannya pada kuliah umum di Komunitas Salihara, Jakarta (3/11/2008).

Tak ragu Adonis mengatakan bahwa sejak munculnya agama, tradisi puisi Arab redup dan akhirnya padam. Para penyair dianggap gila lantaran jalan puisi adalah jalan sesat, lagi menyesatkan. Itu sebabnya Adonis menjadi pembela jalan puisi yang telah disumbat rapat-rapat itu. Lahir dengan nama asli Ali Ahmad Said di Desa Al-Qassabin, Suriah, 1930. Meski baru bersekolah di usia 13 tahun, anak seorang petani yang juga imam masjid itu sudah belajar menulis dan membaca pada seorang guru di desanya dan sudah hafal Al Quran di usia sebelia itu.

Pada tahun 1944 ia membacakan puisi heroiknya di hadapan Presiden Suriah Shukri al-Kuwatli. Presiden terpesona dan mengirimkan Adonis masuk ke sebuah sekolah Perancis di kota Tartus. Adonis lulus dari Universitas Damaskus (1954) dengan spesifikasi filsafat.

Ia menerbitkan kumpulan sajak pertamanya pada 1955 dan pernah dipenjara karena pandangan politiknya. Pada 1956, Adonis meninggalkan tanah airnya, pindah ke Lebanon. Selama 20 tahun ia tinggal dan jadi warga negara di tanah jiran itu. Sejak 1986 Adonis pindah ke Paris. Ia telah menulis karya: puisi dan prosa lebih kurang 30 buku dan telah diterjemahkan ke pelbagai bahasa. Namanya kerap disebut sebagai calon kuat peraih Hadiah Nobel Sastra (tahun 2005, 2006, 2007).

Antologi puisi Nyanyian Mihyar dari Damaskus (terjemahan dari Aghânî Mihyâr Dimasyqî ini disebut-sebut sebagai karyanya yang paling masyhur di samping al-Tsawâbit wal Mutahawwil (Yang Tetap dan Yang Berubah)—yang kerap disebut karya pengarang ateis khas Timur. Adonis mengagumi pencapaian puitis para penyair Arab klasik seperti Imrul Qays (w. 550 M) yang menurutnya telah meniupkan ruh kebebasan berkreasi, memperlihatkan upaya pencarian ”yang baharu” dalam ungkapan, susunan kata, dan tidak mengacu pada ukuran-ukuran masa lampau. Namun, menurut dia, tradisi puisi yang gemilang ini mati sejak munculnya tradisi wahyu. Dalam pencarian kebenaran, penyair digantikan nabi. Di titik inilah ateisme kepenyairan Adonis bertumbuh, berkembang lalu memuncak pada sajak-sajak pendeknya seperti;

kita mati jika tidak kita ciptakan Tuhan
kita mati jika tidak kita bunuh Tuhan (dari sajak ”Sebuah Kematian”).

Mihyar sebentuk lagu pilu, elegi guna meratapi matinya kebebasan di jalan puisi. Adonis membangun sekian banyak pengamsalan tentang ketersingkiran penyair Arab kuno; penyihir debu, lonceng tanpa denting, orang-orang asing yang bahkan diasingkan oleh bahasanya sendiri. Ini senada dengan penilaian Ulil Abshar Abdalla (2004) bahwa Adonis mengumpamakan tradisi kepenyairan Arab seperti keterlunta-luntaan dan kepahitan hidup Al-Mutanabbi, penyair besar masa Dinasti Abbasiyah (abad ke-9). Al-Mutanabbi salah satu penyair yang dikagumi Adonis dan ia hendak mengasosiasikan diri pada sosok penyair yang hidupnya penuh liku dan dramatis itu. Satu ketika menjadi penyair istana, dipuja-puji, dihormati, tetapi kemudian dimusuhi istana, dijauhi oleh masyarakat, sejak itu ia menulis sajak-sajak yang pesimistis. Hidupnya berantakan dan akhirnya meninggal dengan cara yang tragis karena miskin. Pesimisme macam itu juga tergambar dalam sajak-sajak Adonis;

akan kami bunuh kebangkitan dan harapan
kami akan menyanyi dan berlindung
kami akan hidup bersama batu: kami, puisi, dan hujan
Biarkan kami o, Abu Nuwas. (Elegi untuk Abu Nuwas).

Adonis ateis?

Akan tetapi, benarkah Adonis mengingkari jalan wahyu karena tradisi kenabian telah mengalahkan tradisi kepenyairan? Apakah tuduhan ”ateis” layak diberikan kepadanya lantaran ia hendak meniadakan Tuhan demi kelapangan jalan puisi? Kalaupun ada teks agama yang memaktubkan ketersesatan penyair Arab, tentu tidak serta-merta berarti ketersesatan semua penyair pada masa itu. Tengoklah Hasan bin Tsabit yang tetap menggubah syair-syair madah (pujian) setelah teks turun. Berapa banyak penyair Arab yang cemerlang di masa nabi, lebih- lebih masa sesudah nabi? Lagi pula setiap ayat yang turun selalu dilatarbelakangi oleh asbab an-nuzul (sebab-sebab turun ayat). Artinya, penegasan teks perihal penyair sebagai penyihir dan majnun itu sifatnya kasuistik, tidak menggeneralisasi semua penyair. Bila Adonis kecewa dengan jalan kepenyairan yang menurutnya telah dibuntukan itu, kenapa ia masih mengakui pencapaian estetik Al-Mutanabbi, Al-Ma’arri dan Al-Buhturi yang ketiganya hidup di kurun pasca-kenabian?

Meski Adonis ”meniadakan” Tuhan di jalan kepenyairan, tetapi ”ateisme” itu tidak dalam rangka menjauhi Tuhan sebagaimana lelaku para ateis lain. Tampaknya Adonis hanya sedang dijangkiti kegelisahan lantaran sekian banyak jalan lama ternyata gagal mengantarkannya kepada Tuhan. Itu sebabnya ia meneruka jalan baru, yang meski tanpa Tuhan, tetapi pasti menghulu ke hadirat-Nya. Diam-diam Adonis sedang mempersiapkan sajak-sajaknya menjadi sebentuk ”bahasa lain” guna menjelaskan Tuhan masa depan:

sungguh, aku bahasa untuk Tuhan masa depan
sungguh aku penyair debu (Orpheus).

Jalan puisi yang hendak menyelamatkan nama Tuhan, yang selama berkurun-kurun terperangkap dalam bahasa agama- agama. Sampai di sini, Mihyar bukan lagi elegi untuk kematian puisi, di tangan Adonis, ia menjadi gairah asketis yang tiada bersudah dalam meraih persekutuan dengan Tuhan. Maka, tak ada yang perlu dicemaskan pada kepenyairan Adonis sebab ia bukan ateis, tetapi (mungkin) seorang perenialis….

*) Cerpenis Bergiat di Balesastra Kecapi, Jakarta
Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2008/12/sastra-dan-agama-ateisme-kepenyairan.html

Penyair, Kembalilah ke Akarmu

Triyanto Triwikromo, Langgeng Widodo
http://www.suaramerdeka.com/

”SETIAP seniman pasti memiliki akar,” kata Goenawan Mohamad, sesaat sebelum Diskusi dan Pembacaan Puisi 18 Penyair Jawa Tengah, di Teater Arena, Taman Budaya Surakarta, yang berlangsung 27-28 Desember, berakhir.

Budayawan gaek tersebut menyatakan premis indah itu bukan untuk penyair, tetapi untuk para penari. Dia juga tak mengatakan di Teater Arena, tetapi di kantin sederhana. ”Akar itu tak mungkin kalian hilangkan. Jadi, jangan terlalu asyik ke mana-mana. Kalau Anda penari, ya tengoklah tarimu. Jangan terlalu melibatkan ke hal-hal jauh yang berada di luar dirimu.”

Sayang sekali, para penyair (Jawa Tengah) tak mendengarkan nasihat itu. Karena itu, hanya sedikit penyair yang kembali memperhatikan akar atau ”tabiat kata”. Hanya sedikit penyair yang benar-benar bergaul dengan kata-kata. Mereka kebanyakan hanya bergaul dengan seolah-olah kata, sehingga yang muncul ke permukaan hanya seolah-olah puisi.

Simpulan semacam itu perlu dilontarkan karena pada saat diskusi berlangsung, forum justru mempertanyakan hal-hal yang berada di luar puisi. Ada yang membahas, mengapa para kurator tak melibatkan perempuan penyair. Ada yang mempersoalkan, mengapa mereka (Mukti Sutarman Espe, Haryono Soekiran, Roso Titie Sarkoro, Nurhidayat Poso, Triyanto Triwikromo, dan Yant Mujiyanto) tak berani memunculkan penyair-penyair baru.

”Kurator telah gagal!” kata penyair dari Yogyakarta, Bambang Widyatmoko.

”Tidak ada kurator yang gagal. Semua sudah sesuai order! Saya justru menemukan dua penyair baru,” bantah Yant Mujianto.

”Kurator tak peduli pada perempuan,” ujar penyair Al Badursyikin.

”Sampean yang sok peduli, tetapi melecehkan perempuan. Kalau memang tak ada, apa kita harus menyeret tubuh perempuan ke ruangan ini dan mendadani dia dengan baju kepenyairan. Itu lebih biadab,” teriak salah seorang kurator.

”Kita perlu menumbuhkan sastra lokal,” usul Mukti.

”Sastra lokal? Untuk apa? Bagaimana mungkin menumbuhkan sastra semacam itu pada zaman yang kian mengglobal ini,” sanggah Nurhidayat.

Tabiat Kata

Ya, ya, akhirnya forum nyaris tak menyentuh keajaiban nada, keindahan diksi, atau kemisteriusan makna sajak-sajak Jumari Hs, Hidayat Jasn, Rohadi Noor, Badruddin Emce, Teguh Trianton, Faisal Kamandobat, Suroto S Toto, ML Budi Agung, Dulrokhim, Apito Lahire, Al Badurasyikin, M Enthieh Mudakir, Timur Sinar Suprabana, Handry TM, Heru Mugiarso, Wijang Wharek Almauti, Giyato, dan Gunawan Tri Atmojo.

Sajak-sajak mereka memang menggema di Teater Arena yang malam itu diskenografi sebagai sebuah hutan lambang. Namun, sajak-sajak itu menguap begitu saja karena tak dibicarakan di dalam diskusi resmi atau dipercakapkan di warung-warung. Inilah akar persoalan kepenyairan kita. Para penyair bergaul dengan kata, tetapi tak mengenal tabiat kata. Meminjam ungkapan penyair Afrizal Malna, acara akhirnya hanya menjadi ”forum penyair tanpa puisi”.

Tentu tak semua penyair tidak mengerti perilaku atau tingkah kata. Ada juga yang lebih mengerti ketimbang para kuratornya. Malah, hampir semua kurator menyatakan, penyair Faisal Kamandobat benar-benar mengerti tulang sumsum kata. ”Karena itu puisi-puisinya indah. Benar-benar puisi,” kata Sosiawan Leak dalam sebuah percakapan di warung.

Apakah acara itu jadi tak memiliki arti sama sekali? Tentu saja ada. Pertunjukan Sound of Poems oleh Mac Baehaqi dan kawan-kawan, misalnya, kian menunjukkan kepada publik betapa musikalisasi puisi bisa memosisikan sajak ke titik agung. Ia bahkan sangat mungkin diorkestrakan. Pembacaan Timur yang riuh dan Wijang yang sunyi, atau Apito Lahire yang lucu, juga bisa menunjukkan betapa puisi tak hanya layak menghuni laci. Lebih dari itu, pendokumentasian dan penerbitan puisi 18 Penyair Jawa Tengah; Proses Kreatif dan Karyanya oleh Wijang dan kawan-kawan, telah menjadikan para penyair memiliki monumen. Meskipun hanya monumen puisi. Meskipun hanya monumen yang sunyi.

31 Desember 2005

Sabtu, 15 Oktober 2011

Gerson Poyk Terharu Menerima Anugerah Kebudayaan 2011

Ami Herman
http://www.suarakarya-online.com/

Duduk berpangku tangan di pinggir meja rapat Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Menbudpar) Jero Wacik, di lantai 16 Gedung Sapta Pesona, Jakarta, Rabu pekan lalu, Gerson Poyk nampak lebih muda dari usianya. Seluruh rambutnya yang telah putih, dicukur pendek, mengenakan setelan jas warna gelap dilengkapi dasi warna merah.

Sesekali pria kelahiran Nomodale, Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur, 16 Juni 1931 ini memperhatikan ruangan rapat orang nomor satu di Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata itu. Dia kemudian mengalihkan perhatiannya ke masyarakat lain dari berbagai daerah, yang kebetulan duduk berdekatan dengannya karena hari itu bersama-sama Gerson Poyk akan menerima penghargaan dari Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono.

Dan, satu persatu Menbudpar Jero Wacik menyerahkan penghargaan tersebut kepada mereka yang dinilai sangat pantas – tahun ini – menerima tanda jasa dari Pemerintah.

Seluruhnya ada 48 orang yang menerima penghargaan Maestro Seni Tradisi yang diserahkan hari itu oleh Menbudpar. Kemudian 6 orang penerima penghargaan khusus Anugerah Kebudayaan 2011, 6 orang penerima penghargaan Anugerah Seni, 6 penghargaan Pelestari dan Pengembang Warisan Budaya dan 6 penghargaan untuk Anak/Pelajar/Remaja yang berdedikasi Terhadap Kebudayaan. Gerson Poyk termasuk diantara 6 penerima Anugerah Kebudayaan 2011.

Siapa Gerson Poyk? Dia salah satu dari sekian banyak budayawan dan penyair negeri ini yang karyanya selalu dipuji pembacanya. Karyanya berupa puisi, cerita pendek dan novel.Banyak diantaranya karyanya sudah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa asing.

Sampai kini Gerson yang – pernah lama jadi wartawan di harian sore Sinar Harapan – masih aktif menulis cerita pendek.

Beruntung sekali, halaman Sastra dan Budaya Harian Umum Suara Karya termasuk sering mendapat kiriman cerpennya. Sebelum memiliki nomor rekening di sebuah bank, ayah Fanny Jonathan Poyk – juga seorang wartawati dan pengarang produktif dan sering pula menulis cerpen di Suara Karya – selalu datang sendiri ke sekretariat redaksi Suara Karya untuk mengambil honorarium cerpennya. Banyak pembaca Suara Karya menyukai cerpen Gerson Poyk.

“Kebetuan ayah saya pelanggan Harian Suara Karya, jadi bisa mengikuti cerpen karangan Pak Gerson Poyk yang diterbitkan Suara Karya. Saya sudah menyimpan 5 cerpen Pak Gerson dari lembaran sastra Suara Karya. Semua cerpennya punya nyawa dan enak dibaca,” jelas Nadine Tri Duhita, mahasiswi tingkat akhir (Program Sarjana) Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung.

“Saya juga menyukai cerpen karya Pak Gerson. Sejak masa kuliah di ITB Bandung, sering saat senggang saya terisi dengan membaca cerpen karya Pak Gerson. Saya menyukai karakter tokoh yang dibuat Pak Gerson dalam banyak cerita pendeknya. Syukurlah, saat ini saya bisa bertemu langsung cerpenis idola saya,” tutur Menbudpar Jero Wacik dalam acara ramah tanah dengan para penerima penghargaan.

“Cerita pendek karya pak Gerson saya sukai karena memberi inspirasi kepada pembacanya mengenai banyak hal yang ditulisnya. Pak Gerson punya kekuatan tersendiri dibanding budayawan lain kalau sudah bercerita tentang Bali, alam Nusa Tenggara Timur, khususnya Pulau Rote dan kisah suka duka seorang guru di pedalaman. Sampai sekarang saya selalu terkenang cerita pendek beliau. Bahagia sekali saya bisa bertemu Pak Gerson sambil meneruskan penghargaan dan Salam bapak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada Pak Gerson Poyk,” tutur Menbudpar lagi.

Kalau dalam banyak cerpennya Gerson kerap menulis tentang Bali, alam Nusa Tenggara Timur, Kepulauan Maluku, Papua dan fasih berceria tentang tugas-tugas mulai seorang guru di pedalaman, tidaklah mengejutkan lagi. Bisa begitu, karena awal karir penulisan sastra seorang Gerson adalah seorang pendidik, seorang yang berhadapan langsung dengan beragam masalah krusial di pedalaman. Asal tahu saja, guru dipedalaman tidak saja mengurusi anak didik, tetapi juga dibebani tanggungjawab mengkampanyekan program Keluarga Berencana, Pajak Bumi Bangunan, sampai urusan tetek bengek lainnya yang sebenarnya bukan menjadi tugas resmi seorang guru seperti Gerson Poyk.

Tetapi, dengan bermodalkan ijazah SGA (Sekolah Guru Atas) Kristen Surabaya, jadilah Gerson mendapat kepercayaan ikut mengurusi ini dan itu. Maka, dalam menjalami tugas guru jaman baheula, Gerson punya segudang pengalaman suka dan duka sebagai guru dj pedalaman. Belum lagi jika sudah bulan tua, pusingnya minta ampun, karena gaji guru sangatlah minim.

“Bayangkan saja, pernah gaji saya tidak cukup untuk beli sebungkus rokok. Pernah juga gaji saya, dua tahun kemudian baru saya terima. Dulu jadi guru memang benar-benar pengabdian. Hidup sebagai guru juga sangat susah. Sangat menderita. Tidak seperti sekarang, guru banyak sekali yang senang hidupnya. Saya pahami itu semua,” ujar Gerson, lirih.

Setelah jadi guru sekolah dasar Gerson memilih jadi wartawan. Pada masa itulah Gerson sangat produktif menghasilkan karya tulis bernafaskan humanis.

Cerpen, puisi dan esainya mengalir di banyak media cetak. Pada masa itulah pula, Gerson bercerita, banyak karya sastra yang dihasilkannya mencerdaskan pembacanya, terutama sekali dari kalangan mahasiswa yang menjadikan karya-karya sastra penulis novel Memendan Dendam ini sebagai bahan disertasi dan tesis.

Melalui novelnya Sang Guru yang dinilai sangat menyentuh dan memberi isnpirasi tugas-tugas mulia para pendidik di tanah air, Gerson Poyk, bersama dua budayawan lain, yakni Ahmat Tohari (penulis novel Bekisar Merah) dan Ramadhan KH (penulis novel Ladang Perminus) menerima hadiah sastra dari Pusat Bahasa Indonesia Depdiknas Tahun 2003.

Tapi, pernahkah Gerson bermimpi akan menerima penghargaan Anugerah Kebudayaan seperti diterimanya sekarang?

“Belum pernah saya impikan, dan tak akan pernah saya mimpikan. Soalnya, sejak dulu sampai sekarang saya menulis bukan untuk mendapatkan penghargaan, apalagi Anugerah Kebudayaan. Tidak pernah saya mimpikan. Saya menulis karena saya ingin melakukan perubahan perubahan melalui tulisan saya.

Ternyata tidak sia-sia saya menulis. Banyak pembaca yang kirim ucapan terima kasih, karena sudah jadi orang setelah diwisuda jadi sarjana yang tesis dan disertasinya diilhami dari karya-karya sastra saya,” tutur Gerson Poyk.

Sejumlah masyarakat dari berbagai daerah yang hari itu duduk berdampingan menerima penghargaan dari Presiden nampak terharu mendengar penuturan Gerson Poyk. Ketika Menbudpar menyerahkan Anugerah Kebudayaan 2011, Gerson Poyk juga tampak sangat terharu. Menbudpar kemudian minta dipotret bersama dengan GersonPoyk.

Gerson Poyk hari itu, menjadi satu-satunya budayawan dan penyair yang menerima Anugerah Kebudayaan 2011. Gerson juga menerima bantuan sejumlah uang.
Selamat Pak Gerson Poyk!

16 Juli 2011

Ratu Kidul, Mitos yang Tak Akan Hilang

Ardus M Sawega
Kompas, 21 Des 2009

”Tadi terjadi pertempuran alus. Banyak kelompok orang yang ingin gagalkan acara. Ratu menangis lihat perbuatan mereka. Dia juga terharu karena melihat besarnya animo orang untuk ikut seminar.”

Pesan singkat lewat ponsel itu dikirimkan oleh MT Arifin, satu jam seusai seminar ”Membongkar Mitos Ratu Kidul” di Balai Soedjatmoko, Solo, Kamis (17/12). Di seminar itu, dia menjadi salah seorang pembicaranya. Dari pesan singkat MT Arifin itu, seolah benar-benar telah terjadi ”pertempuran” di dunia gaib di tengah seminar.

Padahal, faktanya, tidak ada yang aneh selama seminar yang dipadati sekitar 200 peserta yang datang dari sejumlah kota. Tak ada bau semerbak mewangi, dupa, atau kemenyan selama berlangsung seminar yang makan waktu hampir lima jam ini.

Lho, apakah Ratu Kidul bukan hanya sosok dongeng yang hidup di dunia mitos? Lebih absurd karena dalam pesan dari MT itu disebut kata ”Ratu”—maksudnya adalah Ratu Kidul. Di sana seolah-olah dia ini adalah ”seseorang”, perempuan lumrah yang nyata, bisa disentuh, atau digamit.

Apakah pesan singkat di atas masuk di akal? Apakah MT—panggilan akrab MT Arifin (54)—tidak sedang bercanda atau jangan-jangan ngelindur? Dengan nada sungguh-sungguh MT mengaku, dirinya membuat penelitian secara intensif sejak 2001 tentang Ratu Kidul, dengan metodologi yang dia sebut sesuai kaidah-kaidah keilmuan.

Seminar yang menghadirkan MT Arifin, I Sutardjo, dan Prof Soehardi dari UGM Yogyakarta ini, menurut panitia, memang hendak ”membongkar” mitos seputar Ratu Kidul. Maksudnya, fenomena Ratu Kidul (selanjutnya disingkat RK), yang selama berabad-abad hanya sebatas sebagai mitos yang cenderung negatif dan ”membelenggu” masyarakat Jawa itu, coba didekati secara rasional.

Revitalisasi mitos

Mitos Ratu Kidul adalah fenomena paling populer di masyarakat Jawa, tetapi kurang terungkap secara terbuka karena mitos itu mengandung kontroversi.

Prof Soehardi, mengutip Babad Tanah Jawi, menyebut mitos tentang RK sudah ada jauh sebelum Mataram. Kemudian di-”revitalisasi” oleh Ki Juru Martani bersama Ki Ageng Pemanahan untuk ”mengorbitkan” Danang Sutawijaya menjadi penguasa baru di Mataram (akhir abad ke-16). Sutawijaya yang kemudian menjadi Panembahan Senapati dimitoskan mendapat dukungan Kanjeng Ratu Kidul berupa balatentara lelembut saat mengalahkan pasukan Pajang di Prambanan.

Semenjak itu, mitos RK dikaitkan dengan para Raja Mataram untuk mengukuhkan kekuasaan. ”Mitos Ratu Kidul bukan sebatas kepercayaan takhayul semata, melainkan perlu dipahami sebagai kearifan lokal,” kata Soehardi.

Menyinggung RK, I Sutardjo, mantan pengajar pada Jurusan Sastra Indonesia di UNS Solo, mengungkapkan, pengalaman metafisiknya ketika menghadirkan ”roh” Ragil Suwarna Pragolapati, seorang penyair dan wartawan harian Kedaulatan Rakyat yang dikabarkan ”raib” di pantai Parangtritis pada tahun 1980-an, lewat seorang medium.

Dalam wawancara yang sengaja dia rekam itu, Ragil mengungkapkan keinginannya untuk bertemu RK. Ia bermeditasi duduk di atas batu gilang yang digunakan oleh Panembahan Senapati saat bertemu RK. Kemudian terjadi angin ribut dan mendadak ia menyadari dirinya telah kehilangan raga wadaknya. Nasib Ragil yang tetap raib sampai hari ini menambah daftar panjang cerita misterius yang menimpa warga masyarakat dikaitkan dengan mitos RK.

Bagaimanakah sesungguhnya Ratu Kidul?

Sejauh penelitian empiris yang dilakukan MT, RK bukanlah sosok ratu siluman yang menyeramkan dan kejam karena suka mencabut nyawa orang dan menenggelamkan mereka di Laut Selatan, sebagaimana berita yang kerap terdengar di sekitar pantai selatan Pulau Jawa—dari Ujung Kulon di Banten hingga Banyuwangi di Jawa Timur.

”Ratu Kidul tidak seperti yang dicitrakan banyak orang. Ratu sering merasa sedih oleh anggapan masyarakat yang menuduhnya sebagai biang segala malapetaka. Tetapi, kesalnya, dia tidak bisa begitu saja membantahnya. Beberapa kejadian memang semata-mata karena musibah atau kecelakaan dan kehendak alam, tetapi beberapa yang lain karena ulah yang dilakukan oleh ’orang-orang’ di sekitarnya,” ujar MT.

Apakah keterangan MT memiliki ”kebenaran” yang bisa dipertanggungjawabkan? ”Bagi saya,” ujar MT, ”seorang ilmuwan itu bisa saja salah, tetapi dia tidak boleh berbohong. Sekali seorang ilmuwan berbohong, menurut saya, itu fatal.”

MT menguraikan secara panjang lebar berbagai konsepsi, serta teori tentang RK yang didasarkan data, baik yang dia kutip dari sumber resmi tekstual yang pernah ditulis orang tentang RK maupun pendalamannya berupa cek silang ke sumber-sumber lain. Sumber teks dia kutip dari Serat Kandhaning Ringgit Purwa (abad ke-16), Kitab Manikmaya (abad ke-17), Babad Tanah Jawi (abad ke-18), Serat Centhini (abad ke-19).

MT menjelaskan, selama ini masyarakat salah kaprah mengidentifikasi RK. Menurut dia, nama ”Ratu Kidul” sesungguhnya tidak dikenal di Kerajaan Kidul. Adapun mitos semua raja Mataram (Jawa) ”kawin” dengan RK karena kesepakatan sejak Panembahan Senapati, menurut dia, secara teori terbukti tidak benar.

Sumber-sumber teks itu pun mengungkapkan teori yang berbeda satu sama lain tentang penguasa Laut Selatan. Misalnya, teori ”satu ratu” atau teori ”banyak ratu” untuk RK. Satu ratu artinya hanya ada satu RK untuk sepanjang masa (abadi). Adapun banyak ratu berarti yang menduduki jabatan sebagai RK itu ”orang”-nya berganti- ganti.

Masih menurut MT, RK adalah posisi Ratu atau permaisuri Raja Kidul (lelaki), sedangkan ”orang”-nya berganti-ganti. Adapun para mantan ”Ratu Kidul” yang sudah lengser sebagai Ratu Kidul masih memiliki status khusus, tetap berwibawa dan dihormati; di samping posisi-posisi lain yang dipegang oleh sejumlah perempuan cantik.

Pernah jadi Ratu Kidul

Nama-nama mereka yang pernah menjadi RK itu adalah Dewi Angin-angin, Ratu Ayu, Ratu Andarawati, Ratu Kencanasari, dan Ratu Mayangsari. Masing-masing digambarkan asal-usulnya, ciri-ciri fisik; tinggi tubuh, kecantikan parasnya, bentuk mata, warna kulit, postur, hingga panjang rambutnya. Begitu pula tentang busana kegemarannya, watak, kebiasaan dan perilaku masing-masing.

Betapa pun ”riil” dan gamblangnya penggambaran MT tentang RK, agaknya RK akan tetap berada di ranah mitos. Ranah yang selalu menimbulkan rasa ingin tahu: antara ingin membuktikan tetapi sekaligus menyadari batas keberanian— atau sesungguhnya itulah iman?

Menurut I Sutardjo, mitos tentang RK mustahil bisa ”dihapus” karena alasan pembangunan (modernisasi) atau kemajuan globalisasi. Dari pandangan idiosinkretisme dan kebudayaan, mitos RK selayaknya mendapat tempat. ”Sebagai ideologi kebudayaan, mitos Ratu Kidul sampai kapan pun tidak akan hilang,” ujarnya menegaskan.

Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2009/12/seminar-ratu-kidul-mitos-yang-tak-akan.html

‘Tiga Jagoan’ dan Orang-Orang Merdeka

Eep Saefulloh Fatah
http://www.bookoopedia.com/

Sastra, Kebebasan dan Peradaban Kemanusiaan; merupakan buku karya sastra yang dihimpun oleh 3 penulis berlatar pemikiran progresif, ideologis, visioner, dan humanis.

Buku himpunan esai, prosa liris, puisi, cerpen, dan esai liris; telah menegaskan fungsi sastra sebagai alat pelurusan sejarah, pembebasan dan perjuangan bagi nilai-nilai kemanusiaan.

Heri Latief, Mira Kusuma, dan Leonowens SP; adalah 3 serangkai sahabat yang selama ini berkonsentrasi dalam perwujudan karya-karya sastra sebagai alat pencerdasan dan pembebasan di bidang: politik, ekonomi, budaya, lingkungan, negara, kekuasaan, gender, dan globalisasi.
***

‘Tiga jagoan’ kita berkolaborasi menerbitkan buku yang Anda pegang ini. Lalu, apa yang bisa saya bilang? Kata pengantar sederhana ini adalah jawabannya.

Orang-orang Merdeka

Dunia perbukuan di Indonesia dalam lebih dari satu dasa warsa terakhir telah berkembang secara dramatis. Banyak sekali buku diterbitkan dalam periode ini dengan tema yang di masa Orde Baru dulu tak pernah bisa dibayangkan sebagai topik yang diperkenankan penguasa menjadi konsumsi perbincangan publik.

Mereka yang dulu secara diam-diam, di bawah ancaman penangkapan dan pemenjaraan, membaca karya-karya mendiang Pramoedya Ananta Toer, misalnya, saat ini akan menemukan toko-toko buku sebagai surga yang menyediakan semua karya Pram. Selain itu, buku-buku bermuatan kritik eksplisit terhadap pejabat publik — setidaknya seperti tercermin dari judul-judul buku itu — sekarang begitu mudah ditemukan dan dibaca. Pendeknya, bukan saja dari sisi jumlah namun juga dari sisi keragaman topik, dunia perbukuan Indonesia tengah berkembang dramatis menderu-deru.

Di satu sisi, perkembangan ini membuktikan bahwa dunia perbukuan tidaklah berada dalam ruang hampa sosial-politik, melainkan tumbuh di tengah dan dipengaruhi oleh suasana sosial-politik semasa. Dalam kerangka ini, dinamisasi dunia penerbitan buku dapat dikaitkan dengan dinamisasi ke-hidupan sosial dan politik yang memang menderu-deru dan berkecepatan penuh sejak jatuhnya ke-diktatoran Soeharto.

Di sisi lain, saya berharap, perkembangan dramatis dunia penerbitan buku itu menggarisbawahi tengah tumbuhnya suasana kepenulisan baru yang men-janjikan. Saya berharap bahwa tumbuh pesatnya penerbitan buku — baik dalam jumlah maupun keragaman topik penulisan — merefleksikan makin meluasnya kebebasan yang dirasakan publik dan pada gilirannya mendorong makin terartikulasi-kannya perasaan, sikap dan penilaian publik melalui tulisan.

Sudah lama saya percaya bahwa “kemampuan menulis” bukanlah sekadar perkara teknis.

Kemampuan menulis bagi saya adalah hasil pen-jumlahan dari “kelayakan psikologis” seseorang dengan penguasaan “teknik pengutaraan pikiran”.

Kegiatan penulisan akan senantiasa dimulai dari perasaan merdeka yang dimiliki seseorang. Tanpa kemerdekaan, sebuah kerja penulisan akan gagal dilakukan atau setidaknya gagal memproduksi karya yang punya kelayakan.

Dalam konteks itulah kita bisa menjelaskan mengapa setiap orang bisa membuktikan diri sebagai penulis catatan harian atau diary yang baik, lancar, mengalir, dan biasanya berperasaan (sedih, jenaka, muram, ceria). Sebab, ketika menulis catatan harian orang merasa merdeka. Ia tak merasa akan ada yang memvonisnya sebagai tulisan buruk dengan pandangan yang dangkal. Sebab, sebuah diary dianggap penulisnya tak akan sampai ke tangan khalayak pembaca yang luas. Perasaan merdeka inilah yang ingin saya sebut sebagai “kelayakan psikologis” itu.

Kelayakan psikologis ini kemudian hilang ketika seseorang berusaha menulis untuk khalayak umum. Tiba-tiba saja orang merasa tak merdeka, khawatir dipandang sebelah mata oleh para calon pem-bacanya, dilecehkan sebagai pemilik gagasan-gagasan bodoh, dituding sebagai pencerita gagal nan membosankan, divonis sebagai penulis tak bermutu. Kekangan psikologis inilah yang pertama-tama mesti dihancurkan. Hanya dengan “ke-merdekaan diri” lah sebuah ikhtiar penulisan yang layak bisa dilakukan.

Jadi, saya percaya bahwa hambatan pertama dan terpokok dalam kerja penulisan bukanlah kurang-nya penguasaan teknik penulisan tetapi tirani yang tertanam di kepala setiap orang — sebuah tirani yang menjebak seseorang merasa dirinya sebagai “bukan orang yang merdeka”.

Maka, seseorang bisa secara fisik berada di dalam penjara tetapi produktif menulis karya-karya ber-mutu, sebab dalam pemenjaraan itu ia tetap mampu menjaga kemerdekaandirinya. Walhasil, banyak orang yang justru menghasilkan antologi puisi, novel atau serial novel serta beragam jenis prosa lain, memoar, antologi esai perenungan, dan be-ragam jenis fiksi dan non-fiksi di tengah kekang-an kemerdekaan fisiknya dalam penjara atau “kamp kerja paksa”.

Dengan penjelasan serupa, kita juga bisa men-jelaskan konsistensi, persistensi dan produk-tivitas kepenulisan seorang sekaliber almarhum Penyair WS Rendra. Di tengah kekuasaan yang amat tak bersahabat padanya, Rendra — dan para penulis lain — bisa tetap produktif berkarya lantaran sukses merawat kemerdekaan diri.

Dalam konteks itu, saya berharap bahwa per-kembangan dramatis dunia penerbitan buku kita belakangan ini bukanlah sekadar cerita statistik tapi juga narasi tentang tengah dan akan terus tumbuh-nya perasaan merdeka pada makin banyak orang. Saya berharap dunia penerbitan yang berkembang gegap gempita itu menggarisbawahi sukses makin banyak orang menumbangkan tirani yang tertanam di kepala mereka dan merebut kemerdekaan diri sendiri.

Ketika sang “Tiga Jagoan” datang ke hadapan saya dengan membawa naskah ini, mereka sejatinya sedang memproklamasikan kemerdekaannya di depan khalayak. Saya pun tak bisa tidak merasa perlu ikut serta merayakannya.

Jadi, kesediaan ikut menulis pengantar ini adalah cara saya untuk secara kecil-kecilan ikut merayakan kemerdekaan sang “Tiga Jagoan” ini. Lewat buku ini, ketiganya merayakan kemerdekaan dirinya lewat coretan, rangkaian kata, rentetan bait dan kumpulan puisi yang mengekspresikan pandangan-pandangannya tentang keadaan. Ketiganya telah meruntuhkan tirani dalam kepala mereka.

Empu Narasi

Hal kedua yang ingin saya bilang adalah: buku karya “Tiga Jagoan” ini mengingatkan saya bahwa setiap orang adalah “empu narasi”, pemilik hikayat.

Sejak lama saya percaya bahwa setiap orang dengan segenap keunikannya, dengan keterbatasan kom-petensinya masing-masing, dengan latar belakang sosial macam apapun, sejatinya adalah pemilik cerita atau “shahibul hikayat”. Prinsip demokrasi yang paling asasi menegaskan bahwa setiap orang punya hak sepenuhnya untuk menjadi diri sendiri, menjalani hidup sebagaimana ia inginkan, meng-gapai setiap mimpi dan cita-citanya dengan kerja keras dan cerdas yang ia galang, serta mencapai tahap eksistensi tertentu yang sepadan.

Salah satu konsekuensi penting dari prinsip itu adalah setiap orang berhak dan tak bisa tidak menjadi sesuatu yang unik dan selalu berharga. Keunikan ini melekat pada berbagai unsur yang dimiliki setiap orang: pengalaman sosial dan kebudayaannya, gagasannya, dan pilihan atas gaya bersikap dan bertindak menghadapi tantangan hidup yang privat dan publik di sekitarnya.

Maka, mau tak mau, demokrasi memosisikan setiap orang sebagai pemilik sah atas segenap hikayat yang melakat pada dirinya. Setiap orang bisa menjadi guru sekaligus murid bagi orang lain. Setiap orang membangun interaksi dengan orang lain dalam sebuah proses belajar-mengajar yang tak terhindarkan. Setiap orang berkedudukan setara satu dengan yang lain dalam dinamika yang saling melengkapi.

Di atas keyakinan mengenai prinsip-prinsip itulah saya bersetuju dengan kawan-kawan Perguruan Rakyat Merdeka yang mengusung sebuah prinsip mulia: Setiap orang adalah guru, dan alam semesta adalah sekolahnya. Menurut saya, beginilah se-yogianya hidup dan kebersamaan kita kelola.

Berbasis prinsip-prinsip itulah saya percaya bahwa setiap orang adalah shahibul hikayat, pemilik cerita hidup, yang bisa menjadi mutiara dan pelajaran berharga bagi hidup orang lain. Naskah buku ini mengonfirmasikan berlakunya prinsip ini.

Naskah ini berharga untuk saya dan siapa pun karena bisa membuat kita belajar dan saling belajar. Sebagai pemilik cerita, ketiga penulis memper-lihatkan sikap-sikap penolakan tegas mereka atas keangkaramurkaan yang dibungkus manis dengan jargon demokrasi, diskriminasi sosial dalam berbagai bentuk, korupsi yang merajalela, para pejabat korup yang menyebalkan, penegakan hukum yang lebih kerap melayani ketidakadilan, hukum yang tunduk di bawah ketiak bau ke-kuasaan, orang-orang kecil yang senantiasa dipinggirkan, dan masa depan Indonesia yang dibikin suram oleh keserakahan para penjahat peradaban.

Saya menulis kata pengantar ini dengan senang hati lantaran ingin menjadi bagian pembelajaran dengan ketiga penulis dan khalayak pembaca mengenai betapa sikap-sikap tegas senantiasa berharga.

Enam Infrastruktur

Salah satu ciri khas amat menonjol dari buku ini adalah ketegasan ketiga penulisnya dalam meneriakkan kata “tidak” pada praktik korupsi. Ketegasan semacam ini, menurut hemat saya selalu bernilai dalam ikhtiar Indonesia memberantas korupsi. Sebab, diam-diam tanpa kita sadari, sikap publik semacam ini adalah salah satu infrastruktur pemberantasan korupsi yang pokok.

Pemberantasan korupsi di Indonesia — dan di mana pun — membutuhkan enam infrastruktur untuk bisa mencapai hasil optimal. Keenam infrastruktur itu adalah: aktor, aturan, institusi, mekanisme, publik, dan sistem.

Pemberantasan korupsi membutuhkan aktor, para pelaku, termasuk para pejabat publik dalam posisi mereka masing-masing, yang bukan hanya pandai berpidato tentang perlunya korupsi diberantas dan mafia peradilan diberangus. Dibutuhkan para aktor yang berkomitmen dan sungguh-sungguh meng-gerakkan pemberantasan dan pemberangusan itu.

Peran keaktoran itu tentu saja selayaknya dimulai dari pelaku yang memiliki otoritas pengendalian yang paling besar, semacam Presiden. Di Filipina, Cory Aquino antara tahun 1986-1991 memainkan peran keaktoran ini dengan baik. Cory antara lain berperan menyiapkan aturan yang dibutuhkan bagi pemberantasan korupsi di Filipina (mulai dari Konstitusi hingga aturan-aturan teknis terendah), dan memilih para pejabat yang bersih (sekalipun kurang berpengalaman) untuk pos-pos yang sangat strategis. Infrastruktur warisan Cory itulah yang menyebabkan Presiden Fidel Ramos akhirnya gagal mengubah Konstitusi (yang membatasi masa jabatan seorang Presiden hanya satu periode saja) untuk menambah panjang kekuasaannya. Infra-struktur itu pula, antara lain, yang menyebabkan Presiden Joseph Estrada terjungkal dan dipenjara-kan karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Tentu saja, hambatan-hambatan kultural dan sistemik yang hingga kini tetap membuat Filipina menjadi “negara korup” adalah soal lain.

Di Korea Selatan, Dua Kim, Presiden Kim Yong Sam dan Kim Dae Jung, memainkan peranan penting dalam membangun fondasi kuat pem-berantasan korupsi. Di atas fondasi inilah, Korea Selatan tumbuh sebagai salah satu negara yang relatif bersih di Asia Timur dan terkenal kejam pada para koruptor.

Presiden Nelson Mandela, untuk menyebut contoh lain yang legendaris, adalah seorang aktor penting dalam sejarah pemberantasan korupsi di Afrika Selatan. Peranannya membuat negara ini memiliki fondasi penting bagi pembentukan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).

Tentu saja, peran keaktoran tak hanya dituntut dari seorang kepala negara atau kepala pemerintahan. Peranan keaktoran membutuhkan optimalisasi fungsi para pejabat publik dan tokoh-tokoh non-formal di berbagai jenjang atau level sebagai para pemberantas korupsi.

Namun aktor saja tak cukup. Dibutuhkan infrastruktur lain, yaitu aturan. Aktor antikorupsi tanpa aturan yang anti-korupsi tak akan berarti banyak. Begitu pula sebaliknya.

Tepatnya, para aktor antikorupsi memanggul tugas sejarah penting yaitu membuat aturan-aturan (dari konstitusi hingga aturan-aturan terendah) yang secara tegas dan terang benderang memerangi korupsi. Inilah dua infrastruktur pertama yang mutlak diperlukan.

Infrastruktur ketiga adalah institusi, yakni segenap hal ihwal berkaitan dengan aspek kelembagaan, manajemen kelompok-organisasi-jaringan, serta pengelolaan dan mobilisasi segala sumberdaya (manusia, finansial dan lain-lain). Aspek-aspek institusional ini melengkapi aktor dan aturan. Untuk menjamin kelayakan dan sukses ikhtiar pemberantasan korupsi, kita membutuhkan institusi sebagaimana membutuhkan aktor dan aturan. Ketiganya merupakan prasyarat awal yang sangat elementer.

Namun, percuma saja memiliki ketiga infrastruktur itu manakala ketiganya tak bekerja secara saling komplementer, saling sokong dan menguatkan. Dalam keadaan nir-sinergi, ketiganya hanya menjadi kumpulan energi potensial. Sinergi membuat ketiganya bermetamorfosis menjadi energi kinetik.

Mari kita namai alat pembentuk sinergi itu sebagai “mekanisme”. Inilah infrastruktur keempat.

Mekanisme lah yang membuat aktor, aturan dan institusi menjadi benda dinamis, bergerak, saling tersambung dan saling menguatkan. Karena itu, kita tak sekedar butuh aktor, aturan dan institusi, melainkan juga mekanisme pemberantasan korupsi.

Insrastruktur berikutnya adalah sistem. Sistem tak terbangun begitu saja secara serta merta. Sistem tak terjatuh dari langit. Sistem merupakan hasil akhir dari bekerjanya seluruh infrastruktur lain secara terjaga antarwaktu atau dalam satu periode tertentu.

Dengan kata lain, sistem pemberantasan korupsi hanya mungkin terbangun manaka infrastruktur-infrastuktur sebelumnya — yaitu aktor, aturan, institusi, mekanisme, dan publik — belum ter-bangun dan teruji dalam periode waktu tertentu.

O ya, rupanya saya belum membahas satu infrastruktur sebelum “sistem”, yaitu “publik”.

Publik bukanlah sekadar kumpulan orang atau kelompok. Lebih dari sekadar itu, publik adalah orang atau kelompok yang mampu menyatakan “kutahu yang kumau”.

Ya, publik adalah mereka yang tahu persis kemauannya. Karena itu, publik adalah mereka yang setidaknya memiliki pengetahuan minimal mengenai isu atau persoalan yang menjadi pusat perhatian dan kepedulian mereka. Ketika penge-tahuan — setidaknya di tingkat minimal — itu diperkuat dengan “empati” dan “motivasi untuk berbuat”, terbangunlah “kesadaran”.

Karena pemilikan “kesadaran” itu, publik memiliki potensi membangun “kekuatan” dan kemudian merebut “kesempatan”. Maka, bertemulah kita dengan rumusan publik yang hakiki: Setiap orang atau kelompok yang berkemauan serta punya potensi untuk berkemampuan memiliki kesadaran, membangun kesempatan dan merebut kesempatan.

Publik dalam pengertian itu adalah infrastruktur penting bagi pemberantasan korupsi. Publik semacam ini tak jatuh dari langit melainkan harus dibentuk.

Proses pembentukannya bisa dilakukan melalui amat beragam cara oleh siapa saja. Pada titik inilah kita bertemu dengan jawaban atas pertanyaan yang mengantarkan kita pada perbincangan lumayan panjang tentang enam infrastruktur pemberantasan korupsi ini: Mengapa saya menyebut sikap tegas ketiga penulis yang ditunjukkan dalam buku ini berharga?

Sebab, sikap tegas semacam ini yang terus diumumkan kepada khalayak adalah salah satu bagian dari ikhtiar yang harus selalu mesti dijaga guna membentuk dan memperkuat publik anti-korupsi. Karena sebab itulah, publikasi ini menjadi berharga.

Publik, Warga Negara

Saya percaya bahwa sikap-sikap tegas sebagaimana ditunjukkan para penulis dalam antologi ini berharga untuk membuat setiap orang yang anti-korupsi bisa melipatgandakan kesadaran dan kekuatan mereka. Pada gilirannya, kesadaran dan kekuatan itu, manaka dikelola dan dilipatgandakan terus, akan menjadi modal berharga untuk merebut kesempatan.

Walhasil, sekecil apapun kontribusi ketiganya dan sekecil apapun daya jangkau mereka, ketegasan sikap semacam ini senantiasa berguna untuk membentuk — apa yang dalam Ilmu Politik disebut sebagai — “warga negara”.

Siapakah warga negara itu? Mereka bukanlah orang yang ditandai oleh pemilikan kartu tanda penduduk atau passport. Mereka ditandai oleh lima kualitas.

Pertama, warga negara adalah siapapun yang tahu dan pandai menjaga hak-haknya sendiri. Warga negara bukanlah orang yang berpuas diri mengatakan: Biarlah saya tak tahu hak-hak saya, toh ada orang lain yang lebih tahu dari saya yang suatu saat bisa saya tanyai.

Kedua, warga negara adalah mereka yang pandai menjaga hak-hak orang lain atau orang banyak. Dengan kata lain, warga negara adalah mereka yang pandai menunaikan kewajiban-kewajibannya sendiri atas pihak lain.

Ketiga, seseorang hanya kita sebut warga negara manakala bertumpu pada dirinya sendiri. Mereka tidak bertumpu pada orang lain, siapapun itu, sekalipun orang lain itu adalah pemimpin mereka.

Keempat, warga negara adalah setiap orang yang aktif atau proaktif, bukan pasif atau menunggu. Warga negara adalah mereka yang sadar sepenuhnya bahwa masa depan tak bisa ditunggu melainkan harus dijemput. Dan penjemputannya harus dilakukan dengan menggunakan tangan mereka sendiri.

Akhirnya, kelima, warga negara adalah setiap orang yang “melawan” — bukan sekadar “marah” — secara elegan, dewasa dan tanpa kekerasan setiap pencederaan atas hak-hak mereka. Karena perlawanannya ini, maka tak akan ada kelalilam, kesewenang-wenangan atau keangkaramurkaan yang bisa bersimaharajalela di atas kepala mereka, para warga negara itu.

Percaya atau tidak, upaya-upaya penyadaran seperti yang dikerjakan para penulis melalui buku ini memberi kontribusi — sekecil dan seterbatas apapun — pada upaya kita membangun warga negara. Karena itu, upaya ini sungguh layak beroleh apresiasi.

Akhirulkalam, saya tak akan membahas isi buku ini seperti dokter yang menelaah tubuh pasien di atas tempat tidur praktiknya. Saya lebih senang mem-biarkan Anda menikmati seluruh isi buku ini dengan cara dan derajat kenikmatan masing-masing.

Saya percaya, para penulis buku ini akan sangat bahagia jika Anda, juga saya, bersedia menyambut ajakan tak tertulis dalam penerbitan buku ini. Sebuah ajakan untuk menyusun barisan dan bersinergi menjemput Indonesia yang lebih baik.

Setiap kitalah yang akan membuat masa depan yang cemerlang itu bisa terjemput. Setiap kitalah yang mesti meneteskan keringat berjuang merebut esok yang gemilang itu.

Selamat membaca dan bersinergi!
Tabik!

Permata Hijau, 25 Januari 2010
Sumber: http://www.bookoopedia.com/id/book/id-123-31806/

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest