Minggu, 28 Agustus 2011

Kepada Dingin (yang) Tak Tercatat P: Kehandaitolanan Kreatif Goenawan Mohamad dan Saut Situmorang*

Wawan Eko Yulianto
http://sastra-indonesia.com/

Minimal, sekali atau dua kali seorang pembaca sastra Indonesia (yang tidak hidup membaca dan berkarya secara soliter tentu saja) pasti pernah mendapati nama Saut Situmorang dan Goenawan Mohamad muncul nyaris bersamaan, bahkan dalam satu hela nafas atau dalam satu kalimat. Entah itu dalam esai, perbincangan, postingan blog, atau status facebook. Mungkin memang itu tugas mereka dalam sejarah sastra Indonesia: yang satu di awang-awang dengan komunitasnya yang terbilang mapan dan satunya lagi blusukan bersama penulis-penulis muda, mengobarkan semangat anti kemapanan sastra. Dampak ekstremnya, mungkin seorang pembaca sastra akan beranggapan Saut itu benci karya Goen (saya sebut Goen, demi bersikap adil karena memanggil saut juga dengan hanya 4 huruf, tanpa mengabaikan hormat kepada orang yang lebih tua) dan begitu pula sebaliknya. Tapi, buat saya, sulit rasanya membawa pertikaian “politik sastra” mereka ke ranah kreatif. Saya tidak akan sebutkan sebabnya dalam sebuah pernyataan positif. Saya akan ajak Anda ke satu pembacaan saya atas masing-masing satu karya dari kedua penyair tersebut, yang pada tataran tertentu, menunjukkan kepada saya “kehandaitolanan kreatif” antara kedua penyair itu.

Saya menikmati puisi secara swasta, dan ada kalanya, dalam proses itu saya benar-benar menemukan kenikmatan. Kenikmatannya sih sederhana saja: hati senang, pikiran seperti menjadi berpacu dan ngelayap ke sana-sini, dan dalam pikiran yang ngelayap itu, segala yang tak akur tampak seperti karib yang berdesak-desakan. Terkait bunyi, saya tentu juga bisa merasakan kenikmatan saat bunyi bersaut-sautan dengan kuat. Tapi, karena saya lebih banyak memutar puisi untuk mendapatkan sensasi imaji, dan karena memang saya bukan seorang deklamator yang baik, maka seringkali elemen bunyi dari sebuah puisi berhenti begitu saya menemukan bahwa rima, aliterasi dan asosiasi bunyi sebuah puisi cukup menghibur–saya tidak pernah sampai mengeksplorasi kekuatan bunyi lewat deklamasi.

Salah satu buku sajak yang sering saja jenguk di malam-malam yang dingin, di remang lampu 5 watt (saatnya menidurkan anak, tapi sekaligus saya pingin napak tilas Malcolm X yang membaca suntuk dengan tempias cahaya dari luar selnya), adalah buku Otobiografi karya penyair protes Saut Situmorang. Sajak-sajaknya selalu memancing saya mereka-reka jejak sajak atau karya sastra lain terdahulu–apalagi Saut juga menjelaskan dengan tegas di esainya adanya ketegangan abadi antara “tradisi” atau intertekstualitas dan bakat murni seorang penyair. Sekilas saja akan terlihat berbagai jejak, mulai jejak peringatan bungkus rokok, novela Hemingway, , Goenawan Kundang, dll.

Tadi malam, sajak dari buku Otobiografi yang kebagian tugas memberi saja kenikmatan adalah sajak “Kepada P” yang begini bunyinya:

di kotaku
yang pernah merasakan
panas bibirmu, malam turun
memperkelam segala.
jalanan
cuma aspal hitam
kerontang kehilangan basah
hujan birahi musim.
kata kata pun
menghilang ke bukit tandus

tempat dikubur segala yang mati.

bayang bulan
menambah sunyi malam. tak ada
gonggong anjing yang dulu
mencoba menyesatkan
langkahku dari hangat hitam rambutmu.
cinta dan penyair keduanya
matikah? atau cuma
sekedar rindu?
2007 (Situmorang, 160)

Saat membaca lagi puisi ini tadi malam itu (entah mengapa saya tiba-tiba sadar tidak pernah benar-benar menyuntuki puisi Saut yang satu ini) saya merasa seperti pernah merasakan sensasi yang saya rasakan saat membaca saat ini. Seperti ada Deja Vu yang tidak sempurna. Saya merasa pernah berpapasan dengan sajak serupa ini, entah sekuat atau selemah apapun kemiripannya?

Setelah membaca beberapa kali, perhatian saya terfokus pada “malam turun memperkelam segala” yang tentu saja di mata ingatan saya terdengar seperti gema terdistorsi dari “gerimis mempercepat senja” dari “Senja di Pelabuhan Kecil” sang binatang jalang. Saut tidak langsung saja menerima dan mengulangi gagasan bahwa gerimis bisa membuat senja semakin kelam. Dia membawanya ke level yang lebih jauh: malam, yang merupakan wujud matang dari senja, menyempurnakan segala bentuk kekelaman. Bahkan, buat aku lirik dalam sajak ini, “segalanya” (yang notabene tidak terbatas pada sesuatu yang sejak awalnya sudah muram) bisa dibikin kelam oleh malam. Kalau dalam pembacaan saya, tentu saja bukan kebetulan eksplorasi ini muncul dari Saut Situmorang. Di suatu kesempatan, dia pernah mengaku melakukan penelitian terhadap karya-karya Chairil Anwar ketika menjalani kuliah S2 di Selandia Baru.

Yang kedua menarik-narik saya adalah “jalanan cuma aspal hitam kerontang kehilangan basah hujan birahi musim.” Konstruksi kalimat “bla-bla-bla HANYA bla-bla-bla” ditambah dengan adanya imaji tentang “basah” di sini tak urung menyeret ke sebuah sajak yang buat saya mampu menghadirkan imajinasi yang kuat: Dingin Tak Tercatat. Betul, sajak Dingin Tak Tercatat karya Goenawan Mohamad, yang bisa disamakan dengan musuh terbesar yang pengaruhnya ingin Saut obrak-abrik, andaikan jagad sastra Indonesia ini adalah “dunia kang ouw” istilah jagad persilatan yang lazim dipakai di karya-karya Kho Ping Ho (cerita silat kegemaran Saut). Bagaimana bisa imaji saya terbawa ke Dingin Tak Tercatat? Mari kita baca lagi selengkapnya sajak Dingin Tak Tercatat:

Dingin tak tercatat
pada termometer

Kota hanya basah

Angin sepanjang sungai
mengusir, tapi kita tetap saja

disana. Seakan akan

gerimis raib
dan cahaya berenang

mempermainkan warna

Tuhan, kenapa kita bisa
bahagia?
1971 (Mohamad, 47)

Baris ketiga yang hanya terdiri dari tiga kata itu ternyata sangat kuat tertancap di kesadaran saya. Struktur sintaksisnya sangat sederhana tapi khas: kata benda + hanya + kata sifat. Jalan hanya basah, kira-kira sepadan dengan: saya hanya ngeri, tapi dalam artian “yang saya rasakan hanya kengerian,” bukan “saya sekadar ngeri (tapi tidak takjub atau dll).” Sepertinya itulah yang membuat struktur itu khas, atau paling tidak jarang saya temui dalam perbincangan sehari-hari. Maka, ketika saya membaca kalimat yang agak-agak mirip secara sintaksis agak berbeda, yaitu “jalanan hanya aspal hitam kerontang kehilangan basah hujan birahi musim,” saya pun terbawa kepada Dingin Tak Tercatat (mohon maaf kepada Saut yang, andai bisa, pasti akan memarahi kalimat ciptaannya ini karena telah menghadirkan Goen–tapi, Saut tahu pasti, setelah tertulis, penulis sama sekali tidak punya otoritas atas karyanya).

Tapi, lagi-lagi, dalam puisi “Kepada P” ini, imaji dari “Dingin Tak Tercatat” itu tidak digunakan secara siap-pakai. Imaji tentang “Jalan hanya basah” itu justru dibalik menjadi “Jalanan hanya aspal hitam yang KERONTANG KERONTANG KEHILANGAN BASAH hujan birahi musim.” Imaji yang dihadirkan Saut mengesankan sesuatu yang “keras.” Jalanan basah yang terkesan sendu itu diporak-porandakan dengan imaji tentang jalan dengan aspal yang kerontang. Pada titik ini, saya mulai curiga, jangan-jangan “Kepada P” ini benar-benar bisa “menghancurkan” imaji sendu bin muram al-romantis dalam “Dingin Tak Tercatat”?

Maka mulailah saya baca keduanya secara berdampingan. Tapi, mohon maaf, saat pembacaan puisi sudah diiringi dengan hipotesa-hipotesa seperti ini, bisa jadi segala hal bisa terjadi. Apa yang mungkin tidak ada dalam sebuah puisi bisa jadi benar-benar ada. Seringkali, saat bertindak ekstra kritis, kita tidak mampu lagi membedakan antara apa yang benar-benar terlihat dan apa yang ingin kita lihat. Tapi sudahlah, toh yang saya kejar adalah kenikmatan. Begini ceritanya:

Oh ya, karena kecurigaan saya adalah “Kepada P” berpotensi menghancurkan imaji yang dibangun “Dingin Tak Tercatat,” maka pembacaan saya akan cenderung berangkat dari bangunan yang citranya akan dihancurkan, yaitu “Dingin Tak Tercatat,” dan kemudian dilanjutkan dengan bangunan penghancur citra, “Kepada P.” Teknisnya, saya akan mengiris kedua puisi itu masing-masing ke dalam lima bagian. Karena kedua penyair ini adalah pengguna kalimat yang setia, yang puisi-puisinya terlihat jelas terdiri dari kalimat-kalimat lengkap, maka pembagiannya pun berdasarkan kalimat, bukan baris. Anda boleh saja menuduh saya orang yang suka memutilasi puisi dan memperlakukannya sebagai objek. Boleh saja. Tapi saya tegaskan di sini, saya mengiris-iris puisi itu demi melihat anatomi yang mungkin bisa tercermin pada tiap irisannya. Dan saya juga tidak berhak memisahkan antara irisan satu dengan lainnya.

Baiklah, mari kita mulai:

Irisan pertama:

Dua baris pertama “Dingin tak tercatat” langsung membentuk suasana dingin yang luar biasa, yang tak terbaca pada termometer (oh ya, sebenarnya termometer bukan untuk “mencatat” temperatur, Oom Goen, tapi untuk MENGUKUR temperatur). Sepertinya, puisi ini berlatarkan sebuah musim dingin di sebuah tempat yang kemungkinan besar bukan Indonesia. Lazimnya, cekaman hawa musim dingin dan gersangnya pasca musim gugur memberikan kesan kemurungan, kehilangharapanan. Sementara itu, pada “Kepada P,” tidak dijelaskan seperti apa latar suhunya. Yang jelas, imajinasi yang ditawarkan oleh aku lirik adalah sebuah tempat “yang pernah merasakan panas bibirmu.” Tidak dijelaskan/ditentukan apakah sekarang masih panas atau malah sebaliknya sangat dingin, yang pasti saat ini si kota tidak lagi merasakan BIBIR itu. Kota ini sekarang dalam keadaan telah “kehilangan.” Ada yang berkurang dari kota ini. Tak hanya ada suasana kehilangan, aku lirik menambahkan dengan “malam memperkelam segalanya”: hadirnya malam itu membuat segalanya semakin suram. Bukan suhu yang jadi masalah, tapi “kehilangan” dan “kemuraman.” Selain itu, bukan kelembutan bibir atau kehangatan bibir yang membantu membentuk suasana, tapi “panas” atau gairah yang membara yang ikut membentuk suasana itu.

Irisan kedua:

Di baris “Kota hanya basah,” kalau kita sudah membaca tentang dingin yang luar biasa pada dua baris selanjutnya, kita akan semakin mendapatkan cekaman kemurungan yang terasa lembut. Tapi, yang terjadi di sektor Saut semakin liar. “Jalanan cuma aspal hitam,” tidak ada apa-apa di sana; cuma aspal hitam biasa. Selain itu, aspal tersebut sudah kerontang tanpa hujan. Untuk semakin memperkuat hujan, maka dipadankanlah ia dengan “birahi musim:” hujan adalah puncak gairah musim. Tapi, di sini yang seperti itu tidak ada. Maka, yang kita dapatkan adalah jalanan yang hanya aspal hitam biasa tanpa hasil keliaran nafsu musim. Lagi-lagi, kita diajak untuk membicarakan sesuatu yang lebih dari sekadar ruang; “Kepada P” mengajak kita membicarakan tentang perasaan.

Irisan ketiga:

Pada kalimat selanjutnya, “Dingin Tak Tercatat” menghadirkan “Angin sepanjang sungai mengusir.” Tentu, dalam dingin tak bahkan di termometer pun tak terbaca, hembusan angin akan menghasilkan “wind chill,” yang artinya semakin menurunkan suhu. Dari yang normalnya, katankanlah, -10 derajat Celsius, bisa-bisa suhu menjadi -12 hingga -15. Inilah yang mengusir aku lirik. Tapi, si aku dan seorang lirik lainnya tak juga mau meninggalkan TKP. Mereka terus bertahan di cekaman dingin. Di akhir kalimat ini, kita sudah tahu bahwa puisi berbelok arah, dari dingin yang sangat dan mengesankan suasana yang tidak menyenangkan, menjadi kebersamaan yang dinikmati.

Sementara itu, dalam “Kepada P,” melanjutkan baris-baris yang sebelumnya memberikan imaji tentang hilangnya panas bibirmu, tidak adanya lagi gairah, kini aku lirik bertutur tentang “kata-kata yang menghilang ke bukit tandus, tempat dikubur segala yang mati.” Di sini, aku sudah benar-benar sendiri, dan tidak ada lagi yang namanya berkata-kata. Imaji kehilangan demi kehilangan yang dibangun pada baris-baris sebelumnya semangkin dilengkapi di sini: kata-kata sudah kabur, dan kaburnya ke tempat segala yang mati. Seolah-olah, yang tersisa hanya sunyi, sunyi yang semakin intens.

Ah, turut berduka atas kemurunganmu wahai aku-lirik. Betapa senjangnya: sementara di tempat Oom Goen sana si aku lirik tetap bertahap bersama dengan seorang lainnya (saya bayangkan dia seorang kekasih), abai pada dingin yang mengiris-iris daun kuping.

Irisan keempat:

Di baris-baris selanjutnya dalam “Dingin Tak Tercatat”, si aku lirik semakin membanggakan diri (meskipun wujud kebanggaannya sangat tersamar): Seakan-akan gerimis raib dan cahaya mempermainkan warna. Kalimat ini mulai mendukung pernyataan si aku lirik yang sebelumnya, yaitu meskipun dingin angin di sepanjang sungai mestinya mengusir dia, mereka tetap saja bertahan. Kini, gerimis bahkan seakan raib, seakan tak terasa, dan cahaya yang ada mempermainkan warna. Mestinya, warna yang dipermainkan menghasilkan efek yang menyenangkan, atau setidaknya tidak menambah kemurungan, atau mendukung seakan raibnya gerimis. Sekali lagi, dijelaskan di sini bahkan si aku lirik dan kau lirik tidak terlalu merasakan kesusahan meski dingin luar biasa.

Dari “Kepada P”, saya ingin mengambil empat baris (dua kalimat) sekaligus, yang berbunyi “bayang bulan menambah sunyi malam. tak ada gonggong anjing yang dulu mencoba menyesatkan langkahku dari hangat hitam rambutmu.” Di kalimat pertama terlihat jelas bahwa bayang bulan–apakah yang dimaksud di sini bayang-bayang dari segala hal yang tercipta karena cahaya bulan? ataukah bayangan bulan di atas air? ataukah bulan yang membayang atau terlihat samar-samar karena tertutup sesuatu?–malah menambah kesunyia malam. Bulan atau cahaya minim yang ada hanya membuat malam yang, kalau dirasakan sejak awal puisi tadi, dipenuhi dengan rasa kehilangan kini menjadi semakin sunyi. Ah, kalau sudah sunyi, cahaya pun hanya menambah sunyi. Kalau sedang susah, dikasih hiburan sedikit pun tambah membuat kita merasa bahwa kita sebenarnya sedang kesusahan. Bahkan, di malam yang sunyi ini, “tak ada gonggong anjing yang dulu mencoba menyesatkan langkahku dari hangat hitam rambutmu.” Kalimat ini juga cukup menonjol dalam pembacaan saya, karena, terus terang, saya tidak begitu saja memahami apa yang dimauinya. Ketika saya coba urai, kesan yang muncul adalah: suatu kali, si aku lirik pernah mencoba menikmati “hangat hitam rambutmu.” Penikmatan atas rambut hangat hitam itu seolah sebuah perjalanan yang mempunyai tujuan tertentu. Tapi, lagi enak-enaknya menikmati perjalanan di hangat hitam rambut itu, ada gongggongan anjing yang mengganggunya, yang membuatnya hilang konsentrasi dalam perjalanan tersebut, hingga akhirnya sempat tersesat. Puisi “Kepada P ini ternyata tidak berbelok arah. Dia berjalan lurus: dari kota yang hampa, adanya sesuatu/sesosok yang hilang, dan adanya suasana kesepian, berlanjut terus hingga di titik ini kembali dikuatkan dengan ingatan tentang sesuatu yang pernah ada tapi kini tak ada lagi.

Maka,

Irisan kelima:

ketika aku lirik bertanya “Tuhan kenapa kita bahagia?”, yang dia tanyakan adalah kok bisa ya dalam suasana sedingin ini, setidak nyaman ini, yang dia rasakan hanya bahagia? Ketika membaca puisi ini untuk pertama kalinya dulu, saya cenderung melepaskan pertanyaan ini dari keseluruhan puisi. Saya cenderung kata “kita” di sini mengacu pada aku lirik dan saya sendiri sebagai pembaca. Kayaknya, kegenitan saya lah yang membuat pertanyaan-pertanyaan seperti ini menjadi pertanyaan-pertanyaan eksistensial. Padahal, kini, setelah membaca baris-per-baris, yang terasa adalah, “kita” di sini mengacu kepada si aku lirik dan kamu lirik dalam puisi ini. Siapa kamu liriknya? Ya, tentu saja sosok yang bersama dengan si aku lirik menikmati jalanan ketika suhu dingin luar biasa dan bahkan ada wind-chill di sepanjang sungai yang membuat dingin semakin intens. Jadi, si aku lirik ini sebenarnya mengajak berbicara aku lirik (dan saya pembaca jelata ini hanya seperti orang menguping!): ya Tuhan, kok bisa ya, dingin-dingin kayak begini kita merasa bahagia? (Oh ya, saya sela sebentar, kata “Tuhan” di sini juga–dalam pembacaan saya ini–bukan sapaan kepada tuhan, tapi sebuah ungkapan seru, seperti saat kita bilang “masya allah, kamu ini kok ya repot-repot datang dari Jakarta ke Surabaya cuma untuk ngembalikan buku tulis anakku yang terbawa di kopermu?”) Kembali lagi, kok bisa ya bahagia? Mungkin jawabnya ada pada Jamal Mirdad: “kalau cinta sudah melekat, gula jawa (jadi ter)rasa cokelat.”

Sebaliknya, “Kepada P” diakhiri dengan dua pertanyaan sekaligus yang, ah, lebih to the point: “cinta dan penyair keduanya matikah? atau cuma sekedar rindu?” Kenapa si aku menanyakan apakah cinta dan penyair sudah sama-sama mati? Apakah dia mempertanyakan dirinya sendiri yang tidak bisa “menikmati” kesunyian ini selain sebagai ketidaknyamanan? bukan sesuatu yang bisa dinikmati? Mungkin. Yang pasti, dia berbeda dengan aku lirik dalam “Dingin Tak Tercatat” yang 1) memiliki cinta dan 2) mampu bertahan atau bahkan menemukan sesuatu untuk dinikmati di tengah ketidaknyamanan (misalnya ya permainan cahaya itu tadi). Aku lirik yang mempersembahkan lirisismenya blak-blakannya “Kepada P” ini jadi bertanya-tanya tentang keadaannya sendiri: apakah dia bukan lagi penyair yang bisa mempuitisasi ketaknyamanan? Ataukah memang tidak ada lagi cinta itu, dus tidak ada lagi yang perlu diindah-indahkan? Atau, jangan-jangan, sebenarnya keduanya masih ada tapi dia saja yang “cuma sekedar” merasakan “rindu”? Dia memaklumi kalau saja perasaan kosongnya yang intens itu mungkin saja ada karena dia dibius kerinduan (sehingga masih menginginkan kebersamaan, panas bibir, penikmatan atas hangat hitam rambutmu).

Dari kelima irisan “Dingin Tak Tercatat” dan “Kepada P” yang saya patut-patutkan itu, saya menemukan sejumlah hal yang membedakan pilihan estetika Goen dan Saut.

Yang pertama adalah secara struktur, “Dingin Tak Tercatat” menggunakan ciri mendasar soneta: membelokkan cerita. Dalam tradisi soneta, biasanya delapan baris pertama, atau oktet, berisikan tentang satu hal dan enam baris sisanya (sekstet) berisikan tentang hal yang bertolak belakang atau berbeda arah dengan yang disampaikan pada oktet. Dalam “Dingin Tak Tercatat” meskipun secara fisik tidak ada yang namanya oktet dan sekstet (karena jumlah baris puisi ini sendiri cuma 11, kita bisa merasakan pembelokan tersebut pada baris ke enam, ketika ternyata aku dan kamu lirik tetap berada di sana meskipun udara dingin digambarkan semencekam itu. Sejak baris keenam itu, dingin yang mencekam dikalahkan oleh kekukuhan para tokoh lirik bertahan di sana, hingga bahkan pada dua baris terakhir diindikasikan bahwa mereka berdua bahagia dalam kondisi begitu.

“Kepada P” tidak menerapkan pembelokan bergaya soneta. Bahkan, kalaupun memang dianggap belokan, itu hanya terjadi pada baris terakhir. Saut di sini tampak membangun puisi ini seperti sebuah tanjakan yang dimulai di kedudukan agak tinggi dan kemudian terus menanjak hingga ke puncak. Dan ketika si aku lirik betanya “ataukah cuma sekedar rindu?” kita seperti dijatuhkan dan kita pun berpikir: kalau cuma rindu kan berarti “ngglethek”, cuma segitu doang. Saut tidak membelokkan asosiasi pembaca. Dia membawa pembaca naik ke puncak sajak, dan dari puncak dia memberi pembaca pilihan untuk terus naik sendiri atau menjatuhkan diri ke gigir tebing.

Kedua, ada sikap terhadap hubungan manusia dan kosmos. Dalam puisi “Dingin Tak Tercatat”, terlihat Goen menyajikan ruang fisik yang mestinya dapat memberikan kesan bagi pembacanya dan memantik imajinasi. Dikisahkannya dingin yang bahkan tidak terukur di termometer, angin yang dinginnya semestinya mengusir orang dari jalan, jalan yang basah oleh gerimis, dan permainan cahaya malam. Semua itu belakangan mengarah pada aku dan kamu lirik yang bertahan di luar dan terheran-heran kenapa mereka bisa bahagia dengan keadaan seperti itu. Sajian-sajian deskripsi fisik ini, baik dalam bentuk ruang (jalan, sungai), warna (cahaya), inderaan kulit (suhu dan angin dan gerimis), semua seakan mengajak kita untuk ikut serta merasakan dunia yang serba tidak nyaman dalam dunia itu. Dan ketika pada akhirnya aku dan kamu lirik tetap bahagia, maka kita akan tersugesti bahwa seganas apapun alam, manusia dengan perasaan di dalam hatinya mampu bertahan dan bahkan abai dengan cekaman alam itu.

Sementara itu, pada level yang sama ini, Saut memilih menunjukkan alam secukupnya dan menyelipkan komentarnya sendiri. Dia sajikan alam, tapi dia bandingkan alam itu dengan memorinya. Lingkungan di sekelilingnya saat ini dibandingkan dengan dulu ketika masih ada panas “bibirmu”. Aspal yang kini kerontang dia komentari: karena tidak ada basah hujan berahi musim. Saut memakai majas personifikasi “berahi musim” untuk hujan (wah, ada gunanya juga akhirnya belajar majas-majas di SMP dulu, hehehe), yang menurut saya adalah salah satu cara “mengomentari” alam. Di agak akhir, Saut menunjukkan sunyinya malam ini dengan membandingkan dengan dulu, ketika masih ada suara anjing yang mengganggunya menikmati tenggelam menjelajahi rambut hitamnya yang hangat. “Kepada P” memilih untuk tidak membiarkan alam berbicara dengan sendirinya, harus ada manusia dan aktivitasnya untuk mendefinisikan alam.

Meski menggunakan pendekatan yang berbeda (Goen membiarkan alam berbicara sendiri dan Saut turut campur mengomentari alam), mereka berdua sama-sama mengunggulkan manusia atas alam. Mungkin ini yang membedakan mereka berdua dari para penyair romantik, yang melihat manusia sebagai sosok yang terpengaruh oleh alam. Goen melihat manusia dan alam bisa menunjukkan kekuatannya sendiri-sendiri tapi masing-masing (setidaknya manusianya) tidak bisa terpengaruh oleh yang lain. Sedingin apapun alam, mereka tetap bahagia dan tak terusir. Sementara, Saut membawa ketegaran manusia ini ke sisi yang lebih jauh: alam hanya berarti dalam puisinya saat dijajarkan dengan manusia.

Perbedaan khas ketiga berkaitan dengan kesan yang diberikan saat membaca kedua puisi ini. Pada “Dingin Tak Tercatat”, pembaca puisi bisa dengan mudah mendapatkan kesan kelembutan, kesenduan dan kesantunan. Saking kuatnya kesan ini, saya pribadi membayangkan seorang deklamator membacakan puisi ini dengan biasa saja, seperti seorang kakek yang berkata kepada istrinya yang telah menua bersamanya. “Dingin tak tercatat pada termometer” kata si kakek sambil tatapannya kosong. “Jalan hanya basah” kata si kakek sambil mulai memandang nenek. “Angin sepanjang sungai mengusir, tapi kita tetap saja di sana,” kata si kakek sambil mulai memegang tangan nenek. Begitulah seterusnya. Kata-kata dan asosiasi dari bunyi yang dihasilkan mendukung pembacaan seperti itu.

Sedangkan untuk puisi “Kepada P” saya bayangkan si aku lirik di sedang berada di sebuah telepon umum dan berbicara kepada P yang berada di ujung entah. Dan sambungan telpon sedang tidak terlalu jernih, sehingga aku lirik harus berbicara dengan agak keras dan mengartikulasikan kata demi kata dengan tegas. “di kotaku yang pernah merasakan panas bibirmu, malam turun memperkelam segala,” begitulah si aku lirik membuka percakapan di telepon umum. Kata-kata semacam “panas bibirmu”, “aspal hitam kerontang”, “bukit tandus” dan gonggong anjing” membantu menciptakan kesan kasar itu. Dan kesan kasar itu seperti menuntut adanya ekspresi yang tidak lembut saat dideklamasikan.

Yang terakhir, saya merasakan bahwa kedua sajak ini berhubungan secara serial. “Dingin Tak Tercatat” adalah sajak tentang sebuah kebersamaan di tengah dingin, pada suatu musim dingin, di suatu kota sub-tropika. Di latar ini, aku dan kamu lirik bersama memadu kebersamaan yang mengatasi segala bentuk ketidaknyamanan lingkungan. Dan kalau boleh kita ambil tahun penulisannya sebagai latar waktu penulisnya, maka musim dingin atau akhir musim guugr ini terjadi di tahun 1971. Di manakah? Kita bisa tanyakan pada Goen: Di mana Anda waktu itu, Oom Goen? Untuk “Kepada P”, kisah terjadi di sebuah kota dalam suatu jenis suhu yang tak didefinisikan, tapi yang pasti si aku dan kamu lirik tidak lagi bersama dan kota dipenuhi suasana kehilangan. Untuk kesenangan saya sendiri, saya bayangkan saja aku dan kamu lirik di kedua sajak ini adalah orang yang sama. Bedanya, “Dingin Tak Tercatat” terjadi pada suatu masa ketika aku dan kamu lirik bersama merajut kebersamaan yang membuat windchill serasa anget-anget kuku dan “Kepada P” terjadi beberapa saat sesudahnya, ketika aku dan kamu tak lagi bersama dan si aku mengunjungi TKP (Tempat Kejadian Percintaan[?]) dan mengingat-ingat kembali, menapaktilasi yang dulu-dulu, tapi kali ini dengan lebih blak-blakan, tidak ada sentimentalisme, hanya kekosongan, kehilangan yang memuakkan, tapi dia sadar mungkin juga dia rindu.

Sementara sampai di sini dulu saya membaca karya kedua pendekar dari dua kubu di kang ouw sastra Indonesia ini. Memang keduanya menunjukkan gaya yang berbeda dalam bersastra, kecenderungan berbeda dalam ber”politik sastra”, tapi mau tidak mau, dalam kedua ini, mereka terasa begitu “dekat,” tentu dekat dalam artian yang sangat meluas. Tak apalah, apa boleh saya sebut ini “kehandaitolanan kreatif Saut dan Goen”? Silakan rasakan…

* Draf kasar dari tulisan yang direncanakan ilmiah ?

Sumber Acuan:
Situmorang, Saut. Otobiografi. Yogyakarta: sic. 2007. Cetak.

Mohamad, Goenawan. Sajak-sajak Lengkap 1961-2001. Jakarta: Metafor. 2001. Cetak.

Sumber: http://berbagi-mimpi.info/2011/07/13/kepada-dingin-yang-tak-tercatat-p-kehandaitolanan-kreatif-goenawan-mohamad-dan-saut-situmorang/#more-734

Sabtu, 27 Agustus 2011

Dekonstruksi Cerita Panji Melalui Novel

Ribut Wijoto
http://www.beritajatim.com/

“Engkau janganlah ragu menjadi sumber inspirasi berkat kemurnian jiwa dari pertapaanmu, kesunyianmu, kesendirianmu. Perlihatkanlah, pertontonkanlah dan tunjukkan kini sebagai suatu pengetahuan mutakhir wahai sang psikopat, sang penyair, dan sang pemabuk.” (Hal 276).

Ini adalah potongan isi novel Tanha, Kekasih yang Terlupa buah karya S. Jai. Pengarang kelahiran Kediri 38 tahun lalu memang baru saja mempublikasikan karya terbarunya di bawah penerbit Jogja Mediautama.

Novel yang diselesaikannya kurang lebih selama setahun itu, bertutur tentang jalinan hidup sebuah dinasti keluarga Mak Kaji Idayu Kiyati, yang dibelit kemiskinan, penderitaan dan takdirnya. Juga kisah tentang Lastri Srigati yang mewarisi keterasingan ibunya dan dipaksa kawin dengan Matjain—pria pemuja leluhurnya yang keturunan Sunan Bonang dan jatuh cinta pada klenik. Kisah tentang arus jalan tiga anak turunnya seakan menuju alam cita di luar ruang dan waktu guna melintasi penderitaan dengan jalan keindahan Tanha: Ujub Kajat yang cacat, Maya Durghata Karini yang pemberontak, dan Dalla Ringgit yang tak bergairah.

“Karya ini sebetulnya bicara perihal kisah cinta. Tetapi saya menuliskannya dari percikan spiritualisme pendapat Javanolog Romo Zoetmulder tentang Cerita Panji. Bahwa dalam diri Raden Panji dalam kisah itu, ia menjumpai gambaran mengenai Tuhan yang menampilkan diri di dalam dunia,” ujar penulis lulusan Sastra Indonesia Unair itu saat ditemui di kantornya WYDII di Gubeng Kertajaya, Senin (22/8).

Jadi sesungguhnya, lanjut pengarang yang sebelumnya menelorkan sejumlah novel itu, dirinya mengaku ingin mendedahkan masalah cinta sejati pada novelnya kali ini. Cinta dalam pengertian yang luas. Cinta yang dinamis menyediakan diri dimaknai bagi siapa pun yang terbuka mata batinnya, karena hanya mereka yang terpilih yang dapat mengenal-Nya, yang kuasa menangkap bayang keindahan cinta itu.

Dalam buku Konservasi Budaya Panji (2009), S. Jai memang sempat menyinggung gagasan karyanya. Dikatakannya, idiom Tanha sengaja diambil dari kosakata Budhisme yang berpegang pada teologi “alam itu abadi tetapi jahat,” dan tanha adalah adalah keinginan atau kecenderungan untuk senantiasa berubah, dan penderitaan (dukkha) membentuk esensinya. Hal itu dimaksudkan untuk mengutuhkan seluruh gagasannya yang dapat ditarik satu benang merah terhadap ajaran tantra, sastra juga mantra.

“Oleh karena itu, novel ini saya tulis dalam gaya yang sangat liris, puitis dalam menafsir dan menemukan kembali spirit dalam menangkap bayang keindahan cinta itu di balik mitos Cerita Panji,” papar pengarang yang juga penulis novel Tanah Api itu.

Seperti diketahui, Cerita Panji adalah kisah percintaan dan perjodohan putera mahkota Kerajaan Jenggala dan putri Kerajaan Kediri banyak ditulis dalam bahasa dan huruf Jawa, tetapi kini telah menjadi cerita rakyat.

Cerita berlatar sosial politik Kerajaan Jenggala dan Kediri itu menurut filolog berkebangsaan Belanda Prof CC Berg, tersebar dan populer pada masa Singasari melalui ekspedisi Pamalayu ke nusantara oleh Kertanegara tahun 1297. Begitu populernya Cerita Panji dengan pelbagai versi seperti Panji Sekar, Panji Raras, Panji Dhadhap, Serat Panji.

Bahkan kisah itu sangat berpengaruh dalam kepenulisan sastra sesudahnya, semisal pada pujangga R.Ng Ronggowarsito dan Sumosentiko. Begitu kuat pengaruh sastranya, hingga Cerita Panji tumbuh subur sebagai cerita rakyat tulisan maupun lisan. Tak terbatas sebagai karya sastra. Sejumlah kesenian juga mengadobsi cerita-cerita Panji, diantaranya wayang, kentrung, yang paling sering dijumpai di masyarakat.

Menggugat Patriarki

Dalam kreasi S. Jai kisah tentang priyayi-priyayi keraton yang cenderung bersifat patriarkis tersebut disublimasi, diambil saripati spiritnya dan dipindahkan ke dalam kehidupan masyarakat awam yang miskin dalam kehidupan masa kini di sebuah dusun kecil di Kediri. Pangarang ini mempertanyakan, menggugat bahkan menafsirkan ke dalam makna baru melalui pergulatan tokoh-tokoh yang diciptakannya.

“Semua itu saya lakukan tanpa harus meninggalkan watak aslinya. Saya menyusupkan semacam moralitas dalam tafsir ulangnya, memperkaya ruang bermainnya dalam kemungkinan menyusun metarealitas atau realitas baru menjadi karya budaya,” terang ayah dari tiga anak ini.

Nyatalah novel ini lebih banyak berbicara perihal spiritual ketimbang kemiskinan dimana tokoh-tokohnya hidup, bergelut dan bergulat padanya. Pengarang punya nyali menyusup dalam ruh Cerita Panji untuk kemudian mendekonstruksi apa yang disebut sebagai “berhala dalam bentuk primitif, ” Cerita Panji sebagai teks agung dan berbahasa Jawa dengan kadar sastra yang tinggi.

Dengan kata lain, teks klasik tersebut menjadi tambang emas sastra pascamitos, untuk ditafsirkan ulang sebagai sastra yang kaya falsafi atas nama cinta pada yang Maha Tinggi. Pengarang yang pernah memenangkan sayembara menulis Cerita Panji di Dewan Kesenian Jawa Timur ini melakukan pembongkaran teks-teks yang untouchable (tak tersentuh) tersebut lalu membangunnya kembali dalam sebentuk novel. Karena dengan demikian teks-teks yang semula menyembunyikan kekurangan, kelemahan, bahkan kebohongan, serta mengandung sejumlah ketakkonsistenan, bahkan yang kontradiktif sanggup menemukan kembali makna barunya.

Walaupun diakui S. Jai pengertian baru itu bukannya satu-satunya yang diyakininya secara bulat. Setidaknya melalui novel ini menurutnya, dirinya telah meneguhkan semacam keyakinan bahwa cara manusia menangkap, memandang dan memahami kenyataan dan cara manusia membicarakan kenyataan, itu dua hal yang tetap misteri saling berebut.

“Manusia yang menentukan segalanya ataukah sebetulnya justru manusia dalam cengkeraman dan ditentukan oleh kuasa di luar dirinya,” ungkap advisor program sebuah NGO yang bergerak di bidang pemberdayaan perempuan itu.

Begitulah tokoh-tokoh dalam novel ini melampauinya dengan takdirnya masing-masing. Seorang ahli ilmu jiwa sanggup menembus jalan menuju alam cita di luar ruang dan waktu. Seorang lainnya frustasi dan mati. Sosok lainnya lagi hilang akal dan berkelana tanpa tujuan. Sementara ada yang mengebiri diri, atau mengulang pengembaraannya sebelum akhirnya menemukan tempat barunya yang jahanam.

22 Agustus 2011

Jumat, 26 Agustus 2011

Syarah Kitab Para Malaikat

Untuk Sebuah nama: Sonia Scientia Sacra
Robin Al Kautsar
http://sastra-indonesia.com/

I
Penyair memberi judul sebuah puisinya (antologi puisi?) dengan memunggah kata Kitab. Salah satu kata yang memiliki bentangan makna yang cukup lebar. Kitab bernuansa sebagai kitab suci, kitab keagamaan, kitab wejangan / pedoman hidup yang harus disikapi takzim (walau belum pernah membacanya sekalipun) karena isinya menunjukkan kesucian dan kebesaran yang harus diperjuangkan dan kita tuju. Sementara di sisi lain ada sebuah kitab yang tidak kalah serius, seperti Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), namun sering dicibir orang dengan “Kasih Uang Habis Perkara.”

Judul Kitab Para Malaikat sering menggoda saya untuk menghubungkan dengan Al-Kitab Perjanjian Lama yang di dalamnya memuat judul-judul: Kitab Hakim-Hakim, Kitab Para Raja, Kitab Para Pengkhotbah. Tetapi tidak sampai di situ, Kitab Para Malaikat juga memiliki bagian yang bernama Surat Kepada Gerilyawan yang ditulis oleh orang lain, sama seperti Al-Kitab Perjanjian baru yang memiliki bagian yang bernama Surat Paulus kepada Jemaat di Roma, Surat Paulus kepada Jemaat di Galatia, Surat Paulus kepada jemaat di Efesus dan lain-lain yang juga ditulis orang lain (Paulus).

Judul itu juga mengingatkan saya pada masterpiece Iqbal yang berjudul Javid Nama (Kitab Keabadian) yang mendeskripsikan semacam mikrajnya Penyair Iqbal ke dunia lain dengan dibimbing oleh Mursyid Jalaluddin Rumi.

Apakah kemiripan judul dengan dua kitab tersebut Kitab Para Malaikat ingin menjadi “sastra serius,” “sastra profetik” atau “sastra sufi” yang berpretensi menyodorkan “posisi yang tegas” yang setelah menegasikan kebobrokan manusia kemudian menunjukkan jalan kebenaran atau paling tidak sesuatu yang paling penting secara moral kepada masyarakat luas? Mari kita kaji Kitab ini bersama-sama.

Di depan pintu kitab ini saya diminta untuk percaya bahwa kitab ini merupakan kumpulan puisi (antologi puisi). Tetapi setelah melongok kitab ini sekilas yang penuh dengan panorama judul dan bait puisi secara masif, saya memutuskan untuk menyikapinya sebagai satu puisi panjang, dan bukan antologi puisi, sebagaimana Al- Kitab, Javid Nama serta serat-serat dalam sastra Jawa. Walaupun sayang penomoran dengan angka romawi sangat mengganggu penikmatan saya. Penomoran tersebut walaupun tampak seperti epigon dari kitab suci, justru sangat mengotori layar kesadaran pembaca.

Di depan pintu kitab ini saya sangat bertanya-tanya dengan nama-nama besar filsuf, matematikus, ahli bahasa, kritikus sastra, sufi serta penyair, yang anehnya terakhir justru bukan nama orang, tapi nama sebuah isme. Apakah maksudnya ini? Apakah penyair tidak nyaman hanya sebagai penyair, sehingga harus memperluas identitasnya (kebanyakan mereka ahli fikir)? Atau sekedar kegenitan belaka bahwa penyair sangat onsesif untuk punya nama besar? Sebenarnya saya malu mempertanyakan ini. Tapi saya kira ini penting karena jerawat runyam itu terpampang mencolok di pusat wajah. Maafkan saya.

II
Sebagai sebuah kitab mula-mula terbayang bahwa kitab ini akan berisi gambaran zaman terbaru dari makluk terkutuk (Iblis, Kafir, Musyrik, Kapitalis, Nihilis, Liberalis, Hedonis) di satu sisi dan makluk beriman (pengusung wahyu yang kini tidak begitu laku) di sisi lain, yang saling berhadap-hadapan (walaupun tidak mungkin hitam putih), dan Tuhan menguji masing-masing mereka dalam situasi yang berbeda secara saingnifikan dengan masa yang sudah-susah. Tetapi perkiraan saya meleset. Saya tidak menemukan percikan api dari dua benda tajam yang berbenturan. Tidak. Justru penyair terlalu banyak bernyanyi tentang masa lampau dunia pesantren sorogan yang serba koheren, dengan idiom-idiom alam, sedang kita hidup di alam mikroelektronik-digital yang merayakan paradox dan dibayang-bayangi pemanasan global. Bahkan penyair sebenarnya lebih banyak menggumam dan menghindari pernyataan-pernyataan yang tegas-menyodok. Jadi saya tidak melihat sikap baru sebagai hasil dari penyingkapan baru. Perjalanan sang penyair yang diawali dengan bertengger di atas sayap malaikat tidak jelas mau ke masa depan yang mana, mau membawakan misi apa? Dan sayangnya perjalanan yang “menggetarkan” ini tidak didahului oleh doa yang syahdu ke hadirat Tuhan, kecuali sekadar sholawat pendek yang bernuansa agak menjaga jarak dengan Tuhan. Saya dari bawah kibasan sayap malaikat tidak bisa melihat “perbekalan unik” dan “senjata canggih” yang dibawa oleh sang penyair, kecuali butir-butir warisan sufi lama yang agak kusam.

Maafkan saya. Saya ingin melihat pergulatan sufi zaman ini, di mana kemiskinan dapat merontokkan mental masyarakat, termasuk kemiskinan para ulama dan pejabat. Saya harap bait ini bukanlah magnum opus sang penyair dalam menatap masa depan:

Sengaja mengunjungi masa silam
Puja keagungan di tengah pencarian kesejatian


Membasuh kaki-kaki kembara ke makam para wali



III
Di mata saya Nurel adalah calon penyair profetik atau sufi (santai saja, jangan dibaca terlalu serius) yang dapat kita harapkan di masa depan, karena energi juang yang dimilikinya sudah cukup terkenal dan dia juga adalah sosok “penyair pejalan jauh” yang punya nafas panjang dan istiqomah. Saya yakin karyanya yang akan datang benar-benar merupakan Kitab Para Manusia (Masa kini dan Masa Depan), karena kematangannya menyalam sampai ke inti manusia dan kemanusiaan. Manusia jelas lebih kompleks daripada Malaikat.

Ketika Baghdad dikepung oleh tentara Jengiz Khan, dan umat jatuh nyalinya. Justru seorang sufi buta turun ke pasar menyampaikan khotbah yang membakar.

Saya yakin Nurel akan mampu menunaikan tugas penyair sufi masa depan yang berani melakukan “perjalanan ke dalam” dan sekaligus “perjalanan keluar,” yang penuh dengan resiko.

Tugu, 5 Nop 09.

Rabu, 24 Agustus 2011

Dewan Kesenian, Strategi Kebudayaan, dan Politik Lokal

Halim HD
Jurnal Jombangana, Nov 2010

Bagaimana sesungguhnya posisi lembaga kesenian yang semi swasta dan semi pemerintah ini, dan bagaimana pula fungsinya di tengah-tengah masyarakat kita yang kian ditumbuhi oleh berbagai pola konsumsi seni budaya yang dihantarkan oleh media elektronika; bagaimana pola hubungan lembaga yang namanya Dewan Kesenian (DK) dengan pengelola daerah; adakah DK di tingkat kabupaten/kota/propinsi memiliki jalinan kuat, atau sekedar pelengkap penderita, agar dikatakan bahwa kabupaten/kota/propinsi mempunyai wadah bagi seniman; sejauh manakah DK mempunyai akses strategis dalam memberikan masukan untuk kebijakan pengembangan kesenian di wilayah masing-masing?

Pengalaman saya bertemu dengan para pengelola DK dari berbagai tingkat di daerah masing-masing, dan melihat realitas permasalahan yang ada, hampir rata-rata DK tidak memiliki akses dalam memberi masukan kebijakan. Hal ini dikarenakan nampaknya pihak pemda menganggap DK hanya sekedar lip service; dan hanya disapa jika ada perlunya, sekedar imbuh suatu daerah yang menabalkan diri memiliki arena dan lembaga bagi senimannya. Dalam kondisi seperti itu maka pemda hanya memberikan dana sekedarnya saja, atau bahkan tidak menggubris dan tidak mengikut-sertakan apa pun di dalam berbagai kegiatan.

Adakah pemda salah? Tidak sepenuhnya. Titik lemah dari masalah yang ada, banyak DK tidak memiliki visi tentang kehidupan kesenian dan kebudayaan. Mereka menganggap bahwa lembaga itu hanya “menunggu belas kasihan”. Pada sisi lainnya, banyak pula seniman yang justru mendiamkan posisinya seperti “waiting for godot” atau menanti durian runtuh dalam kaitannya dengan dana. Seluruh mekanisme soal yang dihadapi oleh DK berkaitan dengan dana, dan keluh kesah itu pula yang terjadi. Namun jika kita melihat kasus di Muara Enim misalnya, membuat saya melongo, ketika pemda menyodorkan dana 250 juta, ternyata DK tidak mampu, dan akhirnya dana kembali kepada pemda, dan pemda Muara Enim mengalihkannya kepada Dinas Parbudpora. Itulah ironi yang ada: kebebalan dari seniman dan sejumlah birokrat yang nongkrong di posisi masing-masing di dalam DK, namun tak tahu apa yang akan mereka kerjakan.

Di berbagai daerah banyak hubungan antara pemda dengan DK bersifat sangat psikologis: tergantung sejauh manakah hubungan baik personal antara Bupati/Walkot/ Gubernur, dan di situ pula DK akan mendapatkan perhatian. Kasus di Makassar di zaman DKM dikelola oleh Rachman Arge misalnya, atau DK Surabaya di zaman Gatot Kusumo atau zaman Trisno Sumarjo, Umar kayam dkk dengan DK Jakarta di zaman Ali Sadikin yang membuat Jakarta menjadi sorotan bukan hanya di Indonesia, tapi juga di berbagai negeri Asia Tenggara: Jakarta zaman Ali Sadikin dianggap memiliki hubungan politik kebudayaan yang paling ideal. Bahkan sampai kedengaran di Jepang. Kunjungan saya beberapa kali tahun 1990-an ke negeri Sakura itu, beberapa dedengkot seniman di sana masih bertanya tentang TIM (Taman Ismail Marzuki) dan DKJ.

Pertanyaan kita, kenapa bisa begitu. Marilah kita tengok sejarah yang belum lama: adanya Akademi Jakarta (AJ) yang dikelola oleh pemikir, budayawan, dan filsuf dengan sosok Sutan Takdir Alisjahbana, Soedjatmoko, Affandi, Mohammad Said (tokoh Taman Siswa) dan sejumlah pemikir lainnya, dan DK Jakarta yang benar-benar visioner sebagai wadah bagi hadirnya pembaharuan dan juga menyampaikan penyajian karya terbaru. Dan juga penting, DKJ dan AJ ikut memberikan masukan pemikiran untuk strategi kebudayaan kota Jakarta pada setiap dua tahun dirumuskan, dan setiap tahun disampaikan kepada pemda Jakarta apa yang perlu dilakukan dari sistem pendidikan, lingkungan hidup, sistem transportasi, tatanan nilai yang berkaitan dengan urbanisasi, dan urbanisasi dengan proses peng-Indonesia-an, serta dialog antar kepercayaan/agama.

Adakah hal itu terjadi di Sumatra Selatan, khususnya di Palembang? Sejauh manakah DK Palembang atau Sumatra Selatan telah merumuskan strategi kebudayaan bagi kehidupan warga dan penciptaan citra dan pengembangan ruang publik dalam kaitannya dengan kesenian, dan bagaimana pula kegersangan kota bisa diatasi dengan cara reboisasi dalam kaitannya dengan kebudayaan; bagaimana dengan tata hubungan politik lokal dengan seniman. Banyak pertanyaan perlu kita sodorkan berkaitan dengan rencana Rakorda (Rapat Kerja Koordinasi Daerah) DK Sumatra Selatan yang akan diselenggarakan bulan Juli. Saatnya sekarang bagi seniman dengan lembaganya itu untuk memberikan rumusan pemikiran yang visioner.

Misalnya kita ambil contoh hubungan antara tradisi dan dunia pariwisata. Pada segi pengembangan kesenian atau seni budaya dalam kaitannya dengan pariwisata, di sini terdapat dilema. Pada satu sisi bahwa pariwisata dianggap menciptakan citra dan peningkatan ekonomi, pada sisi lainnya, konsekuensi logis dari industrialisasi kesenian akan menciptakan sesuatu yang bersifat “kitsch”. Dunia pariwisata kita yang lebih banyak mengandalkan kehidupan tradisi membutuhkan strategi yang benar-benar berangkat dari perspektif sosio-historis yang mendalam dan matang. Selama ini kita menyaksikan tradisi selalu masuk ke dalam berbagai kemasan yang artifisial dan dangkal, dan bahkan tak jarang banal. Tradisi yang akan diagungkan justru sering mengalami proses degradasi dalam kemasannya maupun nilai. Hal itu dikarenakan pemahaman tentang tradisi atau khasanah seni budaya kita dianggap “asal ter/di-jual”. Padahal, semestinya tradisi dan khasanah seni budaya lainnya mestilah dilihat sebagai fungsi utamanya: menyatukan dan mengikat solidaritas serta menciptakan memori sosial bagi warga agar tumbuh dan berkembang kesadaran sejarah secara kritis, bahwa warga adalah pemilik sah dari suatu zaman yang telah ikut meletakkan dasar-dasar bagi kehidupan sosial, budaya, ekonomi, dan politik di zaman kiwari.

Dalam konteks itulah, betapa pentingnya DK untuk merumuskan strategi dan mengajukan kepada partai, pemda di masing-masing tingkat, dan terpenting lagi, bagaimana agar warga tahu, bahwa DK bukan hanya wadah bagi seniman. Tapi media bagi warga untuk menyatakan diri; dan pernyataan ini penting sehubungan dengan kanalisasi kebudayaan melalui media elektronika yang cenderung menyeragamkan, dan menciptakan cara berpikir konsumtif. Maka DK pada tahap awal haruslah melakukan oto kritik. Jika tidak, maka hanya akan menjadi katak dalam tempurung yang tak pernah tahu betapa luasnya lingkungan hidupnya.

Selasa, 23 Agustus 2011

MELAGA EMPU, MENDENYUTKAN ILMU

Suryanto Sastroatmodjo
http://sastra-indonesia.com/

1.
Seorang sahabat, baru-baru ini mengenalkan suatu istilah baru :Workaholisme. Apa pulakah itu? Teman kita menjelaskan yang dimaksudkan adalah “keranjingan kerja”, atau tegasnya kita dikendalikan oleh dorongan nafsu kerja, di mana keseimbangan sikap-kerja itu membuat orang jadi tanpa-daya. Dikatakan, kerja adalah merupakan kebutuhan pokok bagi manusia. Dengan bekerja, kita memang dapat memperoleh berbagai manfaat, seperti : imbalan materi, rasa berguna dan kesempatan pergaulan yang relatif luas. Gejala normal demikian tak usah dimasalahkan, tentunya. Yang jadi soal, jika penderitaan keranjingan kerja ini, melepas kesibukan saja merupakan siksaan, dan dia tak bisa menghentikan kegiatan kerjanya. Kalau dipaksa mengaso, warkohalisme akan merasakan stress, depresi, dan sampai tidak bisa tidur (insomnia), karena, kerja baginya adalah obsesi yang berada di luar kontrol diri, seraya menyebut gejala ini, saya malahan teringat akan kaum perempuan, kaum “para empu” (mereka yang mumpuni, allround), yang sedari subuh hingga jauh malam masih terbelenggu oleh sibuknya kerja. Kadang, bukan soal tanggungjawab dalam bekerja itu yang dipersoalkan, melainkan jelmaan dari kerja yang mengejar serta memaksakan kehendaknya, sehingga si perempuan hanya bakal merasa berguna, jika dia melakukan kerja rutin dan ajeg, sebagai sarana untuk bisa dihargai dan dianggap manusia layak bagi sesamanya. Dengan kata lain : melaga empu, buat memperagakan Si Aku!

2.
Juga, ketika dunia tengah berfikir tentang usaha mencampakkan pikiran yang membebani ketenangan rumahtangga, diperoleh kesan, bahwa kaum wanita misalnya, telah lebih memilih adanya persoalan-persoalan berat ketimbang tanpa persoalan sama sekali. Hal begini justru nampak, waktu kita mengajukan pertanyaan-pertanyaan sekitar penghidupan yang diemban dan dihayati kaum ibu—yang banyak kali membuatnya pusing menyangganya. Misalnya, karena anggaran rumahtangga yang terbatas, dan bagaimana dia berusaha untuk mengatasi hubungan antara dirinya dengan keluarga teman-teman suaminya, dan bagaimana dia harus bersikap sebagai ibu bagi karyawan, misalnya. Lantas, dalam mengatasi hambatan-hambatan ini, wanita kemudian mencoba mengalihkan perhatiannya dengan sesuatu yang kadang di luar lingkaran : yang pokok”, umpamanya : mengangkat anak miskin, giat rekreasi, bahkan giat berbelanja, giat dolan-dolan ke rumah tetangga, danlainlain. Kalau dia merasa buntu dan sumpeg di rumah, dapatkah kegiatan di luar rumahtangga itu membuat pikirannya bening kembali? Dalam hal ini, wanita kadang belum sanggup menanggulangi kemelut-kemelut seperti ini secara serentak, apalagi berurutan. Maka dicoba mencari jalan pintas. Kalau tak mampu bersikap terhadapkekasih suaminya, atau tak mampu menyiasati situasi instansional, maka sering dicari terowongan yang sempit, yang membuat tubuhnya tersenggol dan terjepit. Kewanitaannya ikutbicara, tapi dengan nada dasar yang “tidak pas” (terlalu tinggi, terlalu rendah)…

3.
Bagian yang lepas dari kehidupan anak manusia, justru adalah padarealita begini : kita datang bersama, baik lelaki maupun perempuan—dan karena itu, kitapun punya tugas untuk merembug serta menyelesaikan segalanya bersama-sama, hingga rampung. Mungkinkah kita belum menemukan cara terbaik untuk berdialog antara kaum pria dengan kaum wanita? Maksudku, dalam forum yang masing-masing pihak bisa saling menjaga jarak (lantaran panggilan kodratinya yang memang berbeda satu sama lain). Namun juga terikat kebersamaan—bahwa satu sama laim memikul tanggungjawab penyelamatan generasi, pelesetarian cita-cita juang yang suci. Dalam pentas kerjasama dwitunggal seperti ini, belantara hayati harus dipandang belantara penebaran cinta kasih nan universal—lantaran tiada bagian yang tersisa dan tercicir dari program-program “persetubuhan” hati nurani dan nalar-juang yang luhur. Setiap janji atau sakramen perkawinan, maupun pertemuan dua arus yang menuju kepada keabadian harapan yang diimpikan, agaknya harus dipandang sebagai sumbangan bagi makin kokohnya akar-budaya kita semua. Soalnya, pandangan yang nyata dari tiap kelompok yang menyadari rasa kesatuannya itu, tak bisa dipandang kecil. Senantiasa akan bisa kita kaji rentetan peristiwanya yang mengangkat kaum Ibu sebagai pahlawati yang berjangkauan jauh, lagipula bukan hanya secara alamiah dihadapkan kepada prosesi sambung-nyawa di tubuh bangsa, melainkan juga sebagau pekerja kehidupan lumtah, yang melakukan persetujuan dengan hari depan, lewat sikap intelektualnya.

4.
Menggunakan sebuah prinsip, wahai pembaca, sungguh merupakan lampah yang memerlukan keberanian. Karena di dalamnya bukan saja nampak, bagaimana kita membersihkan ruang dan peluang yang terdapat selingkungan hidup, sedemikian rupa, sehingga masyarakat yang kita rebut, adalah benar-benar masyarakat yang “macak”, kendatipun dia bersifat majemuk. Dalamprakteknya, manusia menghadapi batasan dan keterbatasan yang sangat melukai batinnya—dan dengan menyebut tantangan begini, kita bisa menyimpulkan tolak-tarik yang kuat antara diri sendiri yang tetap berkeprihatinan dan serangkum-himpun pribai-pribadi yang optimis menampung gelegar guntur. Hanya dengan keseimbangan seperti ini, dapat diharapkan terciptanya seorang pencahari guyub yang konsekuen.

5.
Fitrah yang nampak sekali disadari oleh kawula muda, sejauh ini sebenarnya adalah dalam kaitan pihak yang menggenapkan perencanaan yang berasal dari muasal kebajikan. Karena kita seringkali menimbang-nimbang kemungkinan denntang tembang-tembang manis, dan seraya memperhatikan rengkuhan dari orang-orang terdekat, dapatlah senantiasa terdekap “karuh, lenguh, keluh dan rikuh”, yang dalam kesehari-harian ternyata sarat di pundak kita, menekan serta menghimpit dan melemaskan tenaga kita. Pantas kita renungkan, bagaimna seorang manusia dewasa harus bisa mempertanggungjawabkan kepada sejumlah reyal tergenggam di tangan (dengan cucur peluh yang bagaimana)—dan bukan lantaran ongkang-ogkang yang mengandalkan rezeki nan kesasar. Zaman kini justru lebih mengutamakan imbalan dan fungsi kerja, dalam arti semurni-murninya, sehingga tiada yang bersifat penghamburan umur dan tenaga. Malahan terdapat proteksi terhadap kerja insani sebegitu rupa, hingga setiap individu berhak mengajukan rekayasa-rekayasa yang menentukan. Rekayasa yang mendorong tatanilai berlabuh.

6.
Garis besarnya, kehidupan pada gelommbang ketiga peradaban niscaya akan lebih menimbang secara cermat luapan emosi sejauh yang dapat ditopang oleh daya-gertak nurani. Dengan demikian, maka pemikiran yang utuh akan lebih dimuliakan orang. Hidup menjadi suatu pertaruhan yang benar-benar seru dan amat menentukan, manakala rekadaya yang muncul dari usia-usia muda diberi kesempatan bertumbuh-kembang menunjang kemekaran gagasan kaum yang berangkat tua, terutama kaum yang mapan, yang ada di harungan pembudayaan sekarang. Orang-orang itu adalah kreator-kreator yang tak kan bisa dicongkel begitu saja, karena peran sertanya adalah dominan dalam perkembangan lokal dan regional kemarin dan hari ini. Pergeseran tentu saja ada dan dibiarkan, namun demikian haruslah masih dalam batasan sehat dan normal, pencipta, pendulang dan penggali adalah mutiara barisan depan. Tapi para peronce dan penata butir-butir mutu-manikan itu, yang meneruskan mars tanpa henti ini, dan pada gilirannya mengurai senandung!

7.
Kembali pada obsesi kaum wanita kita, yang acapkali dewasa membuktikan bahwa dirinya berguna bagi keluarganya, bagi orangtuanya, bagi lingkungan sosialnya, hanya bila mampu bekerja. Saya cemas, kalau-kalau pikiran yang menyebabkan Workaholisme di kalangan kaum yang terpilih (ingat: perempuan para-empu-an), bukan selamanya timbul dari dasar kejujuran pribadi. Pula bukan lantaran dorongan emansipasi yang menggebu, yang menyebabkan Si Ana, Si Ani, dan Si Latifah itu begitu larut mendenyutkan ilmu. Ya, kita banyak mendengar tentang politikus wanita, polisi wanita, profesor wanita, hingga pangkat setinggi-tingginya. Jikalau kesempatan buat merauh profesi tertinggi dikompromikan dengan kebanggaan berkarya-berkreasi, barulah sebuah nama berhak dikibarkan. Tapi selama di balik pintu jiwa terdapat sebentik kecemburuan seksual, bahkan terdorong untuk mengungguli kaum lelaki, maka siapa tahu, tiba-tiba Pangeran Antah Berantah kembali memasukkannya sebagau “perhiasan sekar madu” sebagaimana lagu hiburan pernah melantunkannya?

* Tanggungjawab posting atas PuJa [PUstaka puJAngga]

Sajak-sajak Mardiluhung Perbenturan Budaya Pesisiran dan Pedalaman

Tjahjono Widijanto
11 Mei 2008, Jurnal Nasional

Sulit membayangkan seorang penyair dan sajak berangkat dan hadir dari sebuah kekosongan, nihil ex nihilo: tidak ada sesuatu yang lahir atau berasal dari ketiadaan. Sajak lahir dari persentuhan indrawi atau rohani, antara penyair dan semesta seperti gesekan ranting dengan ranting di musim kering yang menghasilkan api, karena itu sajak —dalam publik yang paling terbatas sekalipun— akan senatiasa mendiskusikan, mendialogkan, dan memperbincangkan “sesuatu”.

Pada sisi lain persoalan ekspresi selalu membawa penyair pada dua ujung kontinum yang ekstrem: penyederhanan atau simplikasi dan perumitan. Kedua kutub ini dapat diibaratkan dalam cerita persilatan sebagai dua pendekar dari perguruan berbeda yang turun gunung dengan semangat yang berbeda pula. Yang pertama menulis dengan sangat memperhatikan dan memperdulikan kepentingan akan pesan dan pembaca; yang kedua bertujuan untuk kepentingan ekspresi tumpahnya kesadaran bawah sadar sehingga hajat-hajat puitiknya terpenuhi, tumpah tanpa sisa.

Penyair H.U Mardi Luhung yang lahir dan bermukim di Gresik adalah satu diantara penyair Jawa Timur yang mendapatkan perhatian lebih dari publik sastra Indonesia karena “keteguhannya” memilih warna ekspresi-estetika pada jalur pilihan kedua yang seakan-akan menafikan pesan dan menafikan pembaca seperti yang terlihat kumpulan puisinya Ciuman Bibirku yang Kelabu (2007)

Bahasa dan Benturan Budaya

Bahasa dan kata dalam puisi mempunyai kedudukan yang paradoksal. Di satu titik dibebani untuk menyampaikan pengertian, di titik lain dalam puisi kata dan bahasa menjungkir-balikkan pengertian umum yang disandang olehnya sendiri. Pada titik ini penyair menggempur, memperhitungkan, bahkan mengingkari berbagai ‘atribut‘™ yang sudah lazim diemban oleh kata tersebut. Sebagai penyair Mardi Luhung terikat pada kodrat ini, namun yang membedakannya dengan Chairil atau Amir Hamzah yang begitu “serius”, Mardi Luhung dengan rilek dan santai memberlakukan dan menyikapi pemilihan kata ini. Bagi Mardi Luhung penyair tak lebih dari “pengrajin” kata-kata , tak heran dalam sajak-sajaknya sering dijumpi kata-kata “enteng” yang jauh dari lazimnya citra estetika bahasa puisi, seperti kata-kata: kosro, kakus, kecebong, dubur, kencing, kulit kadal, menjotosi, jinabat, cawat, pengutil, dan sebagainya yang meluncur begitu saja tanpa beban.

Dalam sajak-saja Mardi Luhung tampak ada paradoksal antara kebanggaan identitas budaya dan kegetiran identitas budaya. Kebanggaan dan kegetiran seakan-akan menyimpan ironi sebuah komologi budaya yang satu sisi dibanggakan dan sisi lainnya pada posisi inlandeert yang tak berdaya berhadapan dengan identitas budaya lainnya. Hal ini dapat dilacak pada sajak “Pengantin Pesisir”:Aku datang dalam seragam penganten pesisir/ Seperti arak-arakan masa silam/Jidor, kenong, terbang, lampu karbit mengiring/ di depan para pesilat bertopeng monyet /‘¦../ dan tahukah kau yang paling aku benci?/ adalah ketika kita sama-sama sekolah/ dan sama-sama disebut: “Orang Laut”/ orang yang dianggap sangat kosro/ kurang adat dan keringatnya pun seamis/ lendir kakap yang sebenarnya sangat mereka sukai/‘¦ / dan mengharapkan lahirnya bocah-bocah pantaimu/ tapi, seperti juga mencusuar yang kini tinggal letak/ dan para nelayan kehilangan jaring dan perahu/ adakah masih sempat kita lakukan persetubuhan ombak/ sementara itu, kertas-kertas kwitansi/ telah mengubah sperma-sperma kita menjadi/ lumut-lumut yang entah siapa pamggilannya.

Dari sajak Pengantin Pesisir di atas tampak bahwa penyair ingin memperlihatkan dirinya dan identitas budayanya sebagai sosok masyarakat pantai. Gresik sebagai tempat lahir dan mukim penyair secara geografis budaya merupakan budaya pesisiran yang memiliki karakter yang berbeda dengan budaya pedalaman (Mentaraman)..Dalam sajak di atas juga terungkap kegeraman dan traumatis masa lampau akibat perbenturan dan pertentangan budaya antara budaya pedalaman dan budaya pesisiran, budaya kerataon dengan budaya rakyat dan budaya santri dengan budaya abangan. Budaya pedalaman membuat benteng budaya yang kokoh berupa kraton dan pembagian daerah kraton. Kraton dilegimitasikan sebagi sentrum budaya dan semua yang berasal dari kraton dianggap sebagi produk budaya “resmi” dan adi luhung. Sedangkan daerah pesisir (pantai) dan derah-daerah yang beruda di luar wilayah kraton (pesisran, manca nagari, brang wetan) produk-produk budayanya dianggap sebagai budaya pinggiran yang secara etik atau estetik berada di bawah kebudayaan kraton (pedalaman). Dalam bahasa Mardi Luhung kondisi ini dikatakan sebagai “dan tahukah kau yang paling aku benci?/ adalah ketika kita sama-sama ke sekolah/ dan sama-sama disebut: “Orang Laut,”/ orang yang dianggap sangat kosro/ kurang adapt dan keringatnya pun seamis/ lender kakap yang sebenarnya sangat mereka sukai”/

Meski pada awalnya penyair dengan lantang, bangga dan gagah mengungkapkan identitas budayanya namun ia tak mampu memendam kegetirannya akan fakta historis bahwa pesisir selama ini selalu berada pada pihak yang “kalah” dalam perbenturan budaya dengan pedalaman dan juga kini malah semakin tergerus dengan arus budaya lainnya. Serangkaian kegetiran dan kekalahan ini oleh Mardi Luhung disimbolkan sebagai “mercusuar yang kini tinggal letak”, “para nelayan kehilangan jaring dan perahu” bahkan dengan sarkas dikatakannya “kertas-kertas kwitansi telah mengubah sperma-sperma kita menjadi lumut-lumut yang entah siapa panggilannya”.

Citra budaya pesisiran yang terbuka, urakan, ekspresif, dan sangat terbuka untuk berimprovisasi yang merupakan antitesis dari budaya pedalaman yang serba halus, hati-hati, penuh sofistifikasi dan sakralisasi menjadi semacam “kredo” bagi sajak-sajak Mardi Luhung seterusnya. Kekasaran, kenakalan, urakan, ekpresif dan bahasa yang sangat terbuka khas masyrakat pantai dapat dengan mudah ditemui pada puisi-puisi lainnya, misalnya; “‘¦./ “Kami telah putuskan untuk memotong/ alat kelamin suami-suami kami, yang telah/ membikin kami bolak-balik melakukan abortus!”/ ‘¦..” (Dari Jalanan); “‘¦Ada di reruntuhan makammu, dan kembali simpulkan:/ memang cuma lubang kakus/ sebuah pembuangan sia-sia, yang melintas/ antara mulut dan dubur, yang bergerak antara vitamin/ dan sampah akhir/ ‘¦” (Ziarah ke Reruntuhan Makammu); “‘¦untuk kemudian berdikit-dikit/ menjadi tai dan kencing, menjadi kesuraman/ yang tak bisa mencari jalan pulang/ ‘¦” (Keheningan Apakah). Bahkan ada yang sangat kurang ajar seperti dalam puisi Wanita Yang Kencing di Semak yang seperti penggalan berikut ini: Wanita yang kencing di semak/ takut apa, jengah apa?/kerumitan-rahasianya terbuka/ pada rumput, batu dan tanah/ bayangan pun tercetak lewat genangan/ /‘¦./ lalu, jalan-jalan pun berbiak/ dan karunia? Siapa yang menolak/ jika semuanya telah digenangi?/ yang jelas, kuyup dan kuncup silih-ganti/ silih-sembul, dengan sedikit guncang/ mata terpejam tapi selalu saja/ betapa lorong itu menggundang duga/ agar segera mengerut seperti kerut-jeruk/ yang telah lama terpetik/ ‘¦..//

Sajak di atas sebenarnya hanya sekedar mendeskripkan sesuatu belaka. Namun seperti halnya kesenian lain dalam produk budaya pesisiran yang serba permisif, terbuka dan menafikan keteraturan, sajak ini seperti menjungkirbalikan citra tentang estetika yang terlanjur terpatri di benak kita. “Sesuatu” yang diungkapkan dalam sajak di atas adalah “sesuatu” yang selama ini dianggap tabu dan menjijikan namun malah dideskripsikan dengan detail dan lancang oleh Mardi Luhung dengan cara yang khas pesisir. Sajak di atas dapat diibaratkan sebagai tari ronggeng, tayub, ledek, atau tandak yang meledek ke-adiluhungan tari bedhaya ketawang —mainstreem estetika sastra Indonesia, yang selama ini dicitrakan serba rumit, teratur, canggih, serba halus, dan hati-hati.

Dari sudut linguistik, berhadapan dengan bahasa dalam sajak-sajak Mardi Luhung mengingatkan orang pada konsep Halliday (1992) yang menjelaskan bahwa teks mesti dipahami sebagai bahasa yang sedang berfungsi, atau dengan kata lain bahasa yang sedang melaksanakan tugas tertentu dalam situasi tertentu yang tentu saja berlainan dengan kata-kata atau kalimat-kalimat lepas yang mungkin ditulis pada sebuah papan tulis. Berangkat dari penrnyataan Halliday ini maka bahasa atau kata-kata yang digunakan Mardi Luhung tidak dapat diperlakukan sebagai perpanjangan tata bahasa dan sentaksi semata-mata karena lebih berupa memperlakukannya sebagai teks yang tidak semata-mata diterjemahkan tetapi lebih kearah penafsiran. Bahasa-bahasa puisi Mardi Luhung lebih bersifat satuan makna yang harus dipandang dari dua sudut yang bersamaan, sebagai produk maupun sebagai proses.

Sebagai produk dalam arti ia merupakan output yang dapat dipelajari karena mempunyai susunan tertentu yang dapat diungkapkan secara sistematik. Sebagai proses dalam arti merupakan proses pemilihan makna terus menerus, sesuatu perubahan melalui jaringan makna dengan setiap perangkat pilihan yang membentuk suatu lingkungan bagi perangkat yang lebih lanjut. Dengan demikian puisi Mardi Luhung sarat mengemban makna sosial budaya dalam kontek situasi tertentu pada masa lampau dan masa kini. Jadilah puisi-puisi Mardi Luhung sebagai jalan setapak atau jalan kecil yang menautkan masa lalu, masa kini dan masa akan datang, puisi menjadi sebagai kegiatan sosial budaya yang terikat dengan setting sosial budaya tertentu dan berbagai kepentingan yang bermain di dalamnya.

Sajak-sajak Mardi Luhung juga memperlihatkan bagaimana penyairnya berada pada kosmologi yang retak dan koyak moyak karena serbuan anasir kosmologi dan mitologi luar berkat hempasan kekuatan politik, budaya, teknologi, komunikasi dan ekonomi. Pada sajak-sajak Mardi Luhung, Jawa Pesisiran yang diakui dan diagungkannya sebenarnya makin samar dan kabur sedangkan kosmologi Indonesia yang dihadapi kini masih begitu cair dan gamang juga.Tak ayal lagi, beberapa puisi dalam antologi Ciuman Bibirku yang Kelabu ini menyiratkan kegelisahan Mardi Luhung sebagai musyafir yang berada pada kondisi yang rancu, satu sisi kosmologi dan mitologi Jawa pesisiran (masa lampau) tak lagi mampu menopang kehidupannya secara penuh, pada sisi lain kosmologi dan mitologi Indonesia juga belum mampu menopangnya, begitu pula kosmologi dan mitologi Barat tak begitu “terang”. Akibatnya beberapa sajak menggambarkan hasrat penyair untuk tak terikat dan membebaskan diri pada tarikan atau gravitasi sebuah kosmologi dan mitologi tertentu. Kegelisahan membebaskan diri dari tarikan kosmologi ini terekam pada baris-bari sajak berikut: ‘¦”Apa yang bisa aku baca dari reuntuhan makammu/ yang kini tinggal kakusnya itu”/‘¦. / dan dunia sana, duniamu tempo dulu/ yang berbinar oleh umbul-umbul kuda dan para/ syuhada jadi kecebong-kecobong/ yang rasanya begitu gerah untuk memetamorfosa/ apalagi memahat perjamuan antara aku dank au”/ “Pertemuan antra pencari dan yang di cari ‘¦.” (Ziarah ke Reruntuhan Makammu).

Bahkan kadang-kadang penyair merasakan ambiguitas dan paradoksalnya identitas dan kosmologi budaya yang mengikatnya selama ini. Jadilah dalam diri penyair keterbelahan menyikapi identitas dan kosmologi budaya pesisirnya sebagai sesuatu yang dicintai sekaligus sesuatu yang ingin ditinggalkannya. Kosmologi budaya pesisir sebagai kosmologi budaya lampaunya merupakan jejak moyangnya yang berubah menjadi memedi atau hantu yang selalu mengikatnya. Hal ini ditunjukkan pada sajak Bapakku Telah Pergi: Bapakku telah pergi/ menemui pembakaran/ ruang suci tempat selesaian/ tapi ekor-ekor yang ditinggalnya/ membelit tubuhku/ menciptakan jarak, yang ujungnya/ masih dipegangnya/ batasnya tak teraba/ maka jadilah itu: “Hantu”/ bapakku telah pergi, memang/ tapi hantunya itu demikian kuat/ demikian mendesak/ sampai bagian dalam tubuhku/ bergetar, berpusar, ‘¦./

Mitos dan Kontra Mitos

Berangkat dari kegamangan, bimbang dan paradoksal terhadap identitas dan kosmologi budayanya ini memaksa Mardi Luhung dalam perantauan budaya untuk mengolah, merekontruksi bahkan membongkar mitologi-mitologi lama untuk menghasilkan dan menggenggam pemikiran baru. Jadilah beberapa sajak Mardi Luhung mengangkat dan mengukuhkan suatu mitos tertentu (myth of concern) dan sekaligus pula menentang mitos tersebut (myth of freedom).

Dalam dua sajaknya berjudul Giri: Ciuman Bibirku yang Kelabu dan Malik Ibrahim mengangkat dua mitos tentang tokoh Wali yang sangat disegani dan dihormati ajarannya di Gresik, Sunan Giri dan Sunan Maulana Malik Ibrahim. Namun dua mitos ini disikapi Mardi Luihung jauh dari rasa takzim bahkan ada nada cemooh, penentangan, ironi, sinisme bahkan sarkasme.

Dalam Giri: Ciuman Bibirku yang Kelabu tokoh Sunan Giri di gambarkan sebagiai pemburu yang membawa asosiasi orang pada sosok yang kejam dan suka memburu. Sunan Giri yang perkasa, yang begitu disegani pada masa kejayaan Demak, keheroannya dipertanyakan kembali dengan sinis: “‘¦./ yang entah datang dari sisi mana, akibat peperangan/ apa, dan membela dewa dan kitab siapa? Oh, aku pun/ Cuma sanggup mengigau sambil membayangkan sebuah/ jalan-berkelok menuju keratonmu yang hilang itu‘¦”

Dalam sajak Malik Ibrahim muncul nada yang tak kalah sinisnya: “‘¦./ mencoba kembali menyentuh lipatan-lipatan kitab/ kuningmu yang berhuruf kemuning itu, kitab-kitab yang/ telah lama terkunci di mulut-asap-jingga:/ “Tapi Malik, apakah itu memang kitab ataukah cuma/ serbuk tuak ataukah cuma kemabukan biasa”/ ‘¦.”

Tak heran dari identitas dan kosmologi budaya yang pada awalnya dibanggakannya sebagai budaya pesisiran yang berbeda dengan pedalaman tetapi yang kemudian dirasakannya menjadi koyak moyak, Mardi Luhung mencoba menggenggam mitologi kosmologi baru yang berbeda sama sekali. Keinginan untuk menggenggam kosmologi yang lain dan yang baru ini nampak dalam puisi-puisinya Zion dan Restoran & Tas Ransel. Kegairahan dan semangat untuk menggenggam kosmologi baru yang sama sekali baru itu digambarkannya : “Aku punya nabi. Si orang suci yang hanya sekali marah/ Sebab, ada yang menghunus parang sambil menggertak:/ “Aku ingin mendengar langkah kaki yang bergegas/ ke gunung dan membuat bulan yang lain, orang yang lain/ dan bumi yang lain, dari asap dan kincir yang lain!”/ Selanjutnya, tiap pipi pun dirajah seperi kegirangan/ ‘¦.” (Zion); atau secara lebih ekstrem dikatakannya: Copotlah dulu gigi-palsumu, lalu ciumlah aku,/ hisaplah nafasku, hiruplah umurku, milikku,/ segalaku, sebab aku kini tak takut lagi, jika/‘¦.” (Restoran & Tas Ransel).

Dari perantaun budaya dari satu mitologi-kosmologi ke mitologi-kosmologi yang lain itu, penyair akhirnya menemukan kesadaran bahwa dalam membentuk dan menemukan kosmologi baru, tidak ada kosmologi yang mampu secara mutlak berdiri sendiri. Kosmologi baru yang akan dibentuk dan diraih sejatinya merupakan persilangan dari berbagai mitologi-kosmologi, entah itu pedalaman, pesisiran, Barat, Timur atau yang lainnya. Persilangan antar kosmologi budaya itu diungkapkannya dalam sajak berjudul Kitaran Bersilangan yang merupakan sajak terakhir pada buku antologi Ciuman Bibirku Yang Kelabu, berikut ini: Ayahku berwarna putih, ibuku berwarna hitam/ lalu aku apa? Sebutlah, dan cari dalam jisim/ yang mengudar warna dabn nasib kulit abu-abuku/ jika berdoa, apakah aku akan mengutuk atau memuja?/ percaya pada bumi atau justru menginjaknya?/ ya, dengan sepedak-yang-mengerikan, aku kitari kampungku/ ….

Keterjebakan Kreativitas

Keasyikan bemain-main dengan bahasa membuat Mardi Luhung kelewat “bernafsu” untuk tampil “berbeda dan ‘unik‘™ sehingga dalam beberapa sajak terjebak untuk sekedar menggambarkan fantasinya semata sehingga beberapa puisi tidak berbicara apa-apa hanya menyampaikan dunia ganjil yang aneh, kelebatan liar yang menghasilkan imaji anarki semata. Seperti misalnya dalam puisi Sekilat Pikiran : Pikiran mungil dalam tempurung mungil/ berdiam si aneh-besar-kelabu/ yang separuh wajahnya penuh rambut/ separuh yang lain seperti/ khusus tercetak di ceruk kursi/ racikan manis dari dahak/ mengendap di jurang matanya, tempat lewat/ setiap mayat yang akan dihantukan/ dengan kedua lengan yang gemetar/ saat terulur di ukuran sekarat-bulan-kejang/‘¦../ aroma yang tersegel dan juga disegelkan/ pada kening tebal setiap para pemuji/ pemuji yang selalu disibukkan dengan kain, benang/ kancing dan setangkup karung kasar/ ranjang bagi tengkurap dan terlentangnya:/ “Si aneh-besar-kelabu.

Saking kelewat bernafsu, Mardi Luhung juga menjadi sangat boros untuk melebih-lebihkan sesuatu atau menyatakan sesuatu yang sebenarnya sederhana. Jadilah beberapa sajaknya penuh dengan hiperbola yang menyesakkan dada pembacanya, seperti: “‘¦../ Mana ada orang-waras percaya itu?/ ada yang meledak di pasar-daging-babi!” (Pikiran Tersembunyi); “‘¦/ lalu sambil memainkan pecut, parut, dan/ pisau. Kaupun memeluki sekian pancang dan/ cerobong yang dating lewat kegelapan dan/ yang selalu mabuk/ ‘¦” (Reis), atau “‘¦selaksa gugusan dungu, yang membuat kemustahilan/ menjadi utuh, dan ingatan melulu menggigilkan jurang yang miring.”/ ( Takwil yang ke-13), akibatnya beberapa sajak itu membuat kenyang sebelum selesai mengunyahnya.

Taman Puisi Gelap Surabaya

S Yoga*
http://www.suarakarya-online.com/

Tak bisa dipungkiri, bahwasanya puisi gelap begitu marak perkembangannya di Jawa Timur, khususnya di Surabaya. Pengistilahan puisi gelap sendiri masih bisa diperdebatkan lagi, juga mutu puisi tidak terkait dengan istilah puisi gelap atau puisi terang. Istilah ini juga sudah biasa digunakan untuk menyebut kecenderungan puisi-puisi dari penyair komunitas Airlangga. Dengan para penyairnya di antaranya W Haryanto, Sihar Ramses Sakti, Indra Tjahyadi, Mashuri, Deny Tri Aryanti, Dheny Jatmiko, Ahmad Faishal dan Puput Amiranti N, coba simak puisi-puisi mereka pada dekade 2000-an hingga sekarang, maka akan terasa kegelapan dan keremang-remangan. Tentu saja hal ini tidak kebetulan semata, karena mereka memang berkembang pada satu komunitas, bermarkas di lingkungan kampus Universitas Airlangga. Namun perlu juga diketahui bahwa meski berada dalam satu komunitas banyak juga penyair yang memilih jalan sendiri, karena demokratisasi dan menghargai perbedaan, lebih ditegakkan daripada mazhab atau ideologi. Misal penyair Panji K Hadi, F Aziz Manna, S Yoga, M Anshor Syahroni, Kadirman, K Yudha Karnanta, St Fatimah, Luska Fitria dan M Aris.

Surealisme

Bila ditelusuri sejarahnya, sebenarnya kecederungan taman puisi gelap Surabaya mulai berkembang pada tahun 1995-an, saat itu mereka gandrung dengan aliran surealisme, super realis, “yang melampaui kenyataan”, begitu menurut pencipta istilah tersebut; Guillaume Apollinaire, bagi mereka surealisme adalah jawaban dan gambaran yang tepat dari realitas sosial yang mencekam, represif dan informasi yang tak bisa dipegang kebenarannya. Puisi, Indra Tjahyadi, “Amsal Kekosongan dan Rindu” bisa menjadi petunjuk akan kata-kata atau bahasa yang tak bisa dipercaya, Seperti katamu bulan adalah hantu. Seteguk pekik terlepas/dari negeri raibmu, lebih nyata ketimbang perahu/Bahasa yang diciptakan geludhuk membisukan penglihatanku.

Maka mereka suntuk membaca dan mempelajari surealimse lewat tokohnya Andre Brenton dan penyair Kriapur (Solo) dengan apokaliptiknya. Kalau kita baca karya-karya Kriapur maka kita akan bisa menarik benang merah pada puisi-puisi gelap mereka. Menurut Abdul Hadi W.M dalam acara Cakrawala Sastra Indonesia tahun 2004, ketika menelaah penyair Jawa Timur, di antaranya Indra Tjahyadi dan W Haryanto, ia menyatakan penyair Jawa Timur berkecenderungan apokalipsa, di mana hasrat untuk menunjukkan bahwa zaman kita hidup sekarang ini dipenuhi tanda-tanda buruk yang mengisyaratkan hancurnya tatanan kehidupan sosial dan kebudayaan. Kemudian Nirwan Dewanto dalam kata pengatar antologi puisi, Lima Pusaran, FSS 2007, menyatakan, sejumlah penyair dari Surabaya memang giat dalam sepuluh tahun terakhir. Di antaranya dengan mengusung puisi gelap yang bisa menjelma keajaiban atau keganjilan dengan kocokan maut kata-kata.

Karena kegandrungan penyair komunitas Airlangga akan surealisme maka ketika membuat antologi bersama, mereka beri judul Manifesto Surealisme, sebuah judul yang mengambil pernyataan, manifesto, Andre Brenton, karena pada tahun 1924, penyair Perancis ini, pernah mengeluarkan Manifesto Surealisme. Andre Breton menyerukan pembebasan potensi-potensi terpendam dalam diri manusia, di alam bawah sadar, yang telah terkekang oleh rasio dan kebiasaan. Merayakan alam mimpi dan menekankan bawah sadar. Membiarkan imajinasi liar bekerja secara bebas tanpa kendali nalar dan tata bahasa. Mereka berharap menemukan paduan antar kata dalam sebuah metafor yang mengejutkan dan baru, tidak terpancang pada logika struktural dan konvensi umum sebuah puisi. Mereka mencoba menerapkan temuan psikoanalisis Sigmun Freud dari Austria. Yakni antara naluri-naluri dan hasrat-hasrat utama kita (id) dan corak perilaku kita yang lebih beradab dan rasional (ego).

Puisi gelap atau abstrak, tidak rasional, sebenarnya sudah marak pada tahun 1950-1960, di mana pada waktu itu banyak puisi yang susah dimengerti dan dinikmati. Kemudian muncul juga pada tahun 70 dan 80-an. Seolah gelombang yang secara siklus terus mengempur kesadaran rasional kita di zaman modern. Puisi-puisi gelap penyair koumintas Airlangga ini, seolah-olah melakukan pelarian kedalam keterasingan terhadap pikiran-pikiran pembaca, mengambil jarak, menjauhi akal sehat dan imajinasi pembacanya. Puisi-puisinya sangat subjektif, alienasi dirinya terhadap dunia sekitarnya. Sarat imajinasi, pembebasan imaji, dan metafor, kata-kata adalah imajinasi. Yang seringkali meloncat-loncat, tidak sinkron, retak-retak dari bangunan imaji sebelumnya. Puisi dipahami sebagai sebuah teks (writerlytext) yang cerai berai, retakan-retakan peristiwa. Dalam gelap rimba imajinasi. Kita berharap bisa mendapatkan sejumput kearifan dan keindahan.

Karena itu dalam menelaah puisi, penyair komunitas Airlangga, perlulah juga melihat struktural semiotik dan latar seting sosial budaya. Di mana kondisi sosial dan politik yang sedang berkembang, khususnya pada era Orde Baru, Soeharto, sangat berperan. Namun kegelisahan mereka dalam manifestasinya tidak muncul dalam karya sastra kritik sosial atau puisi protes. Mereka lebih memilih dalam gambaran dari bentuk pemerintahan yang reprensif itu sendiri. Dalam wadah sebuah ekspresi simbolik yang subyektif. Yang mencerminkan sebuah zaman kegelapan, di mana struktur kekuasaan yang otoriter dan militerisme berkembang, keterasingan masyarakat begitu mengedepan. Puisi Deny Tri Aryanti, “Tarian Sebuah Musim”, merupakan gambaran dari keterasingan peradaban; Aku tak ingin menjadi abu/saat mayat-mayat menari gemulai/menorehkan darah pada tanah peradaban.

Sikap pejabat negara yang bukan pada batas kewenagannya namun sudah menjadi kesewenang-wenangan yang tak bisa ditoleransi lagi. Hingga puncaknya pada demonstrasi mahasiswa dan terjadilah peristiwa reformasi. Maka bentuk-bentuk puisi mereka benar-benar kelam, cemas, seram, gelap, erotis, liar, sebagai bentuk perlawanan realitas sosial yang ada, yang hinggar bingar dengan kekerasan, penembakan, pembunuhan, pengusuran dan ketidakadilan yang merajalela, di mana hukum menjadi barang dagangan. Puisi Mashuri, “Asu” bisa megambarkan betapa dahsyatnya perubahan sosial yang tak bisa terelakan, namun tak bisa disiasati sehingga mereka menjadi korban yang paling hina, yang digambarkan menjadi anjing, yang nasibnya ditedang kesana kemari tanpa keadilan. Begitu angin menderu, seluruh tubuhku berbulu, gigiku bertaring/ kuku-kukuku runcing. Aku telah menjelma anjing. Lalu aku menunggu/ isyarat, ketika malam telah lengser ke peraduan dan kokok ayam/ pertama menggantikannya untuk kembali bertahta. Ketakutan menebar di udara, seperti aromba busuk yang menusuk paru-paru.

Sehingga wajar bila judul antologi puisi mereka yang serba seram, menakutkan dan liar; Ekspedisi Waktu, Syair Pemanggul Mayat (Indra Tjahyadi), Pengantin Lumpur, Ngaceng (Mashuri), Labirin dari Mata Mayat (W Haryanto). Maupun judul-judul puisi mereka misal; Syair Pemabuk, Lembah Kabut Kematian, Kembali ke Neraka, Hantu Pasir, Hikayat Orang Bangkit dari Kubur, Kubur Panjang, Saksi Kematian, Karnaval Ajal. Kata-kata neraka, maut, labirin, mayat, hantu, kematian, kegelapan dan bayang-bayang seolah-olah menjadi kata-kata kunci dalam puisi-puisi mereka.

Dalam kondisi seperti ini, akhirnya mereka memilih sebuah paradigma atau ideologi dalam perjuangan literernya yakni surealisme yang cenderung kedalam kegelapan, di mana bentuk-bentuk strukturalisme mereka tentang. Hingga bila memahami puisi mereka dengan cara strukturalisme maka akan sia-sia, yang akan ditemui hanyalah kegelapan semata. Karena puisi mereka adalah retakan-retakan realitas yang tidak bisa atau terpahami lagi, karena kegelapan peristiwa yang ada, realitas yang ada bagai jaring-jaring labirin yang tak bisa diurai dan ditemukan siapa pelaku, bagaimana bisa terjadi, apa yang terjadi sebenarnya, dan bagaimana bisa keluar dari kenyataan yang ada. Mereka tak bisa memahami realita itu semua, karena yang ada hanya kabar burung tanpa ada sebuah kebenaran yang bisa diyakini. Bila hingga kini mereka masih tekun menulis dengan cara demikian, puisi gelap, berarti mereka masih meyakini bahwa pada zaman sekarang ini, yang kataya menjunjung demokratisasi dan keterbukaan ternyata masih menyimpan labirin kegelapan yang susah untuk dibongkar, semisal mafia peradilan dan korupsi rente dalam sebuah birokrasi. Di mana irasional kemanusiaan berlangsung.***

*) Alumnus Sosiologi FISIP Unair Penyair dan pemerhati kebudayaan anggota Komite Sastra DK-Jatim.

Sajak-Sajak Indra Tjahyadi

http://www.suarapembaruan.com/
Jalan Menuju Masa Lalu

Bulan pipih tugur di langit suntuk. Di likut senyap kabut
tubuh yang ringkih hanya menyisakan batuk. Selalu
kubaca wajahmu di sela sunyi dan rasa kantuk. Wajahmu
adalah sebentang jalan menuju masa lalu, tempat hujan dan rasa
sakit menciptakan kebisingan tak berujud.
Kesunyian adalah sehelai daun yang jatuh di malam larut.
Kota makin bisu, makin sumuk. Kegelapan menyerap
segala pengetahuanku yang cuma seteguk.
Ingatan nafasmu adalah pisau, mengoyak habis
segala harapan dan gerak batinku. Bulan pipih tugur di langit suntuk.
Derita membawaku sampai pada kekelaman tak berbentuk.
Hanya nyala lilin yang kecil yang tertangkap oleh tatapanku.
Seonggok makam batu meretak di bumi jauh. Sesosok
hantu terus gentayangan dari kampung ke kampung,
makin jauh dari sorga, makin jauh dari peluk.
“Tebing begitu tinggi, kasihku, hati begitu sepi
begitu perih begitu pedih merindu!” Sebab kita tak
lagi bertemu, kini kulupakan segala percakapan. Dan bulan
pipih tugur, terus tugur. Dan langit suntuk, makin suntuk. Serupa
sebentang jalan menuju masa lalu.

2008



Wajahmu Adalah Masa Silam
dan Kota Hanya Terik


wajahmu adalah masa silam
kota hanya terik
hanya bising
hanya jadi tempat mukim
bagi maut dan segala yang terasing
tapi (sungguh) di kota yang hanya terik
hanya bising itu
pernah kulihat sosokmu manis
berdiri di simpang jalan
menggenggam sejambak kembang
tapi mengapa kau hanya diam
tak sapaku barang sebait
tidakkah kau kenali
berdiriku di samping
melankoli
begitu putus asa memanggilmu
lewat debu
lewat deru
lewat matahari?
“asmara adalah hantu asing
tapi di dadanya seorang penyair
akan tertawa atau menangis…”
kiranya kini aku telah mahir
(makin mahir!)
bertepuk sebelah tangan
memainkan cinta yang hening
merasakan rindu yang kering
wajahmu adalah masa silam
dan kota hanya terik
cuma terik
hanya bising
cuma bising
hanya jadi tempat mukim
tak kurang
tak lebih

2008



Hikayat Pejalan Malam

Yang ia miliki hanyalah selajur jalan yang terus
memanjang dalam gelap dalam pengap
dalam senyap lanskap dan jauh dekap. Yang ia
kenali hanya setapak jejak yang terus lenyap digerus
kembara antara malam dan rumah tak ada.

2008



Pohon Subuh

Ke tengah subuh, tubuh yang dingin makin gigil. Antara dinding
dan selimut kuning, mata yang kering hanya menangkap
gelap bertangkup hening. Siapakah yang mampu
mengeja keluasan tangis kedalaman gerimis? Aku hanyalah
pohon-seonggok pohon!-dengan tulang-tulangnya kering,
telah lama dilupakan musim,
makin uzur dikungkung renta dan alpa iklim.

2008



Kurasa Aku Telah

kurasa aku telah tenggelam
dan kehabisan waktu
tapi meski begitu
tak akan kubiarkan rinduku
mampus dan kau
dan tanah membusukkannya
jadi belatung
sebab kasihku utuh
cintaku satu
kiranya kuingin bebas
dari segala kantuk
dari segala sumuk
dari segala amuk
dari segala suntuk
dari segala kutuk
meski kelak maut
menundungku jadi hantu:
terus kelayapan
terus gentayangan
dari kampung ke kampung
dimuntahi para pemabuk
dicemooh para penuduh
dan hidup
yang keras kepala dan acuh ini
kian melupakanku darimu
dan kau
dan aku
makin dihempas jarak
kian terpisah
makin jauh dari peluk
makin sepi dari cumbu
: “o kurasa aku telah tenggelam
dan kehabisan waktu!”

2008.



Lagu Perpisahan

jangan tunggu aku datang, puan
aku tak bakal datang
bara dalam dada
telah padam
diguyur hujan
berderas-deras
sungguh:
aku pernah punya harap
bersanding dua-dua
bak pinang dibelah dua
tapi:
nasib lain bicara
maka:
jauhkan saja raga
dari asmara
maka:
bila nanti ada jumpa, puan
jangan biarkan
mata beradu pandang
sudah palingkan saja rupa
tutupkan saja mulut
rapat-rapat
biarkan semuanya diam
jadi rahasia dalam ingatan
lamat-lamat melapuk
lambat-laun terlupa
akan tetapi:
bila puan tak sengaja
tangkap rupa
beradu pandang
usahlah meratap
sunggingan saja
senyum barang seutas
sekali saja
kecil saja
lantas ucapkan:
“selamat tinggal.
selamat jalan.”
tanpa gaung
tanpa gema
sekali saja
sekali saja
pelan
pelan
seakan hanya jiwa
bakal mendengar

2008.



Kusimpan Diriku dalam Gelap Tak Teraba

Kusimpan diriku dalam gelap tak teraba. Kampung
kampung jadi asing, jadi ganjil dalam ingatan.

Tak ada lagi yang bisa ditunggu, bahkan
jejak pun cuma tinggal kabur, tinggal pudar dalam kehampaan.

Tak kunyanyikan lagu kepergian, sebab setiap kata
senantiasa gagal terucap. Kau, detak jam yang berhenti
di dasar jurang waktu menganga. Sekali merintih.

Sekali memekik. Sekali terabaikan. Selalu dilupakan.

2008.



DI STASIUN

Keretaku telah datang, puan, jangan menangis
jangan meratap, sampaikan saja pada hatimu bimbang
: aku hanya sejenak tualang sebentar pasti pulang,
kembali berpeluk mesra di hangat ranjang.

2008



MAUT MEMBURU

Kelak kukenang tengkukmu. Bau tengkumu. Rindu yang dingin
membeku dalam sedeku. Cinta yang bingung menyelinap
di balik selimut, membangun jalan setapak bercecabang di dasar
kalbuku. Tak pernah kuminta pagi yang riuh, rumput yang rumbut,
meski umur kian dekat pada kubur. Di Prabalingga kupeluk tubuhmu.

Bayang-bayang tubuhmu. Segenap kerenggangan mendudukkanku di sudut
kelabu. Serupa malam dilikut kabut. Dan maut memburu.

2008.

———
BIODATA: Indra Tjahyadi. Lahir di Jakarta, 21 Juni 1974. Dosen Fakultas Sastra & Filsafat Universitas Panca Marga. Alumnus Fakultas Sastra Universitas Airlangga Surabaya. Aktif bergiat di Forum Studi Sastra & Seni Luar Pagar (FS3LP) Surabaya. Menulis esai, puisi dan cerpen.
Karya-karyanya, baik puisi, esai maupun cerpen, termuat di AIAA News (Australia), Bahana (Brunei), Horison, Jurnal Cipta, Sastra, Puitika, Jurnal Puisi, Jurnal Nasional, Kidung, Kompas, Koran Tempo, Republika, Media Indonesia, Suara Pembaruan, Sinar Harapan, Suara Karya, Annida, Pikiran Rakyat, Aksara, Fajar Banten, Suara Merdeka, Santri, Mimbar Pembangunan Agama, Surya, Jaya Baya, Bende, Surabaya Post, Surabaya News, Suara Indonesia, Penabur, Jurnal LaminSastra, Jawa Pos, Bali Post, Waspada, Lampung Post, Analisa, Pedoman Rakyat, Radar Banjarmasin, Berdaulat, Sriwijaya Post, Jurnal Kebudayaan Pendar, Duta Masyarakat, Memorandum, Karya Darma, dsb.
Juga di beberapa kumpulan puisi bersama, antara lain: Upacara Menjadi Tanah (Gapus, 1996), Adakah Hujan Lewat Di Situ (Gapus, 1996), Seribu Wajah Lilin (Gapus, 1997), Rumah Yang Kering (FS3LP, 1997), Luka Waktu; Antologi Puisi Penyair Jawa Timur ’98 (Taman Budaya Jawa Timur, 1998), Penunggang Lembu Yang Ganjil (Dewan Kesenian Surabaya, 2000), Gelak Esai dan Ombak Sajak Anno 2001 (Kompas, 2001), Hijau Kelon & Puisi 2002 (Kompas, 2002), Manifesto Surealisme (FS3LP, 2002), Permohonan Hijau (Festival Seni Surabaya, 2003), Birahi Hujan (Dewan Kesenian Jakarta, 2004) dan Dian Sastro for President; End of Trilogy (Insist Press, 2005), Festival Mei; Antologi Puisi (FSB & Institut Nalar Jatinangor, 2006), Kentrung Jancukan (Gapus, 2006), Rumah Pasir; Antologi Puisi Lima Penyair Jawa Timur (Festival Seni Surabaya, 2008).
Pada tahun 1997, kumpulan puisinya yang berjudul Yang Berlari Sepanjang Gerimis memenangkan Juara I Lomba Cipta Puisi Kampus Nasional 1997 yang diadakan oleh UI. Selain itu, juga tercatat sebagai salah satu pemenang pada Sayembara Penulisan Cerpen dan Puisi “Hadiah Tepak” yang diadakah oleh Majalah Sastra dan Budaya Dewan Kesenian Kabupaten Bengkalis.
Puisi-puisinya juga pernah dibacakan di Radio Deutsche Welle. Selain itu pernah pula diundang untuk membacakan puisi-puisinya di Festival Seni Surabaya 2003, Pertemuan Sastrawan Nusantara ke XIII, Festival Mei di Bandung, dan Festival Seni Surabaya 2008. Juga pernah diundang oleh Dewan Kesenian Jakarta untuk membacakan sajak-sajaknya di TIM dalam acara Cakrawala Sastra Indonesia.
Manuskrip kumpulan puisinya yang berjudul Di Bawah Nujum Kabut tercatat sebagai salah satu nominasi penghargaan KSI Award 2003 yang diadakan oleh Yayasan Komunitas Sastra Indonesia. Beberapa puisinya dalam bahasa Inggris termuat di Big Lick Literary Review; a Multicultural Arts Ezine yang diterbitkan di Roanoke, Virginia-USA dan Conestoga Literary Journal.
Ekspedisi Waktu (Atlas Publishing, 2004) dan Kitab Syair Diancuk Jaran (Biliksunyi & Akarkata, 2007) adalah buku kumpulan puisi tunggalnya yang pernah terbit. Sementara Syair Pemanggul Mayat dan Nisan adalah dua manuskrip kumpulan puisinya yang belum pernah diterbitkan oleh penerbit manapun.
Kini, selain mengelola Media Puisigelap bersama Mashuri, Ribut Wijoto, Muhammad Aris, F. Aziz Manna dan S. Jai, juga tengah mempersiapkan naskah kumpulan puisinya yang berjudul Lonceng di Leher Kucing. Alamat: Indra Tjahyadi, Jl. Mayjend Panjaitan No. 48, Probolinggo, 67219, Jawa Timur, Indonesia. Telp. +6281358979276. Email: indra_tjahyadi@yahoo.com

Senin, 22 Agustus 2011

Ketika Tuhan Berbisik Lembut

(salah satu pengantar antologi puisi tunggalnya Samsudin Adlawi, “Jaran Goyang”)
Daisuke Miyoshi
http://sastra-indonesia.com/

Sajak-sajak di dalam antologi ini bukan puisi gelap. Berlama-lama saya pandangi, saya pandangi, saya pendangi terus. Diam saya. Terkejut membaca diksi kepada bait. Dari balik diksi itu, satu per satu makna muncul. Seketika menyatu, membuat makna di dalamnya nyata.

Ada ruh di dalamnya. Ada misteri kehidupan. Sajak di sini seperti sengaja dibuat, dengan jiwa dalam waktu yang lama. Kata-kata yang dihadirkan seperti sudah dipertimbangkan penuh pertimbangan. Dan itu lama. Sehingga bait-demi baitnya seperti punya nyawa. Kepada saya, hati bergetar. Makna yang ada membuat hati risau. Ruhnya meniup kepada telinga yang membaca ”Engkau adalah manusia”.

Kangen kepada Tuhan. Penyair sungguh telah padu dengan jiwanya, sehingga dalam antologi ini bukan penyair yang berkata, tapi jiwa. Rangkaian kata yang dibangun bukan kata-kata yang diucapkan mulut, tapi yang dirasakan jiwa. Penyair telah mengingatkan pembaca kepada Tuhan. Membacanya teringat kecilnya manusia, dan besarnya Pencipta.

Kematangan jiwa penyair dapat dilihat dari diksi yang dipakainya. Dari situ tampak keagungan Tuhan. Seolah Tuhan berbisik lembut kepada hamba-Nya.

Penyair hanya membalik-balikkan kata-kata yang ringan, tapi itu membuat maknanya berubah menjadi tajam. Untuk mengartikannya, tidak perlu buka kamus dan waktu lama.

Satu puisi, pesan di baliknya sangat kompleks. Itu tidak semua penyair bisa. Kenyataan para manusia yang lupa, hanya mengejar dunia, penyair mencoba mengingatkannya melalui kata bahwa dunia tidak selamanya.

Ketuhanan ciri khas orang Timur menjadi dasar penciptaan sajak demi sajak yang lahir mengalir dari dalam hatinya.

Analogi yang digunakan penyair pun tidak jauh-jauh. Semua dekat dengan kita. Contohnya; air rintik itu gerimis, mata menitik itu menangis. Semua orang tahu dan dekat dengannya. Sebab, semua orang pernah kehujanan, dan semua orang pernah menangis, paling tidak ketika dilahirkan. Tapi, siapa yang peka terhadap syair itu. Penyair sangat peka dengan kehidupan, karena kematangan jiwanya.

Syair di atas sangat ringan, bahkan sangat ringan sekali. Tetapi, makna di dalamnya sangat dalam, tajam, dan universal. Siapa saja bisa merasa, syair di atas adalah makna. Makna yang diawali dengan perenungan dan diakhiri dengan perenungan pula.

Syair di atas adalah syair yang sukses. Sebab, maknanya telah sampai ke jiwa saya.

Pendapat bahwa karya sastra, termasuk syair, lahir bukan dari kekosongan budaya adalah benar. Dalam antologi ini, pendapat itu dibenarkan. Puisi ini bukan puisi kosong, layak dimaknai semua orang yang bertuhan.

15 Juni 2009
Daisuke Miyoshi (Ehime, Jepang)
Kritikus, ahli bahasa dan sastra Jepang. Sekarang, sedang mendalami bahasa dan sastra Indonesia.

Jalaluddin Rumi Lahir di Banyuwangi*

Anett Tapai
http://sastra-indonesia.com/

Sajak-sajak (puisi) dalam antologi ini adalah sajak kehidupan. Seperti halnya sastra itu sendiri yang diciptakan oleh kehidupan, maka sastra adalah gambaran kehidupan. Di sini ada kehidupan orang kaya, ada pula kehidupan orang miskin, ada kehidupan orang yang suka mengumpulkan harta saja, ada juga kehidupan orang baik. Yang lebih menarik adalah ada kehidupan orang kota dengan segala gayanya, dan ada pula kehidupan manusia yang penuh dengan kekurangannya.

Jika dipahami secara keseluruhan, antologi ini ibarat miniatur kecil dunia. Segala kajadian terekam dengan baik dalam buku ini. Maka pantas jika saya katakan, membaca buku ini adalah membaca muka dunia. Seperti juga saya melihat muka saya sendiri pada cermin.

Penyair merekam semua itu dalam sebuah kata-kata dan kalimat sehingga bisa dinikmati dengan nuansa yang berbeda. Tetapi, maknanya sangat menusuk. Katajamannya menggambarkan keadaan dunia, membuat penyair seperti seorang fotografer yang selalu mencuri gerak-gerik seseorang setiap detik dan mengabadikannya dalam sebuah gambar.

Semua itu adalah gambaran sebenarnya kehidupan dunia ini.

Semua aspek kehidupan, yang dirasanya sebagai kepincangan, oleh sang penyair disindir cukup tajam. Ada sebuah pengalaman pribadi yang kiranya melatarbelakangi penciptaan seluruh sajak yang ada. Sehingga setiap kata yang dihadirkan sangat fungsional.

Ada tokoh yang digambarkan selalu naik Mercy dan berjalan di jalan hotmix, tetapi ketika mati semua ditingalkannya, termasuk calana dalamnya.

Ini adalah implementasi kehidupan sebenarnya, yang mungkin orang lain akan risih mengungkapkannya. Tetapi, penyair sangat berani.

Penyair juga mengingatkan bahwa hidup bukan hanya senang semata, bukan pula hanya harta semata. Semua itu digambarkan dengan jelas dalam antologi ini. Oleh karena itu, sangatlah tidak benar jika hidup hanya mengejar harta dan kesenangan. Ada Tuhan di balik kehidupan yang harus selalu kita ingat. Sebab, karena dialah yang menghidupkan semua manusia.

Kehidupan hingga kematian sangat realis digambarkan. Sang penyair berhasil membangun sebuah cerita hingga puisinya bisa dinikmati layaknya cerita. Peristiwa seperti kelahiran, percintaan, kesenjangan kaya dan miskin, hingga kematian, digambarkannya dengan sangat hidup dan menyentuh.

Di berbagai kesempatan, sangatlah mudah membedakan puisi dan prosa, tetapi dalam antologi ini sungguh rumit. Nyaris tiada bedanya. Penyair telah membebaskan jiwanya karena dia sadar aturan dalam berkarya adalah pembatasan jiwa. Itulah penyair sejati.

Sajak-sajak di dalam antologi ini, secara pribadi telah menceritakan sebuah perjalanan hidupnya sendiri; yang dimulai dari kelahiran, kemudian tumbuh menjadi anak-anak yang lucu, kemudian menjadi anak dewasa yang mulai mengenal dosa, kemudian menjadi manusia yang penuh dosa, hingga akhirnya semua itu kembali…kembali legi ke awal mula. Laksana siklus kehidupan.

Dilihat dari bentuknya, sajak-sajak dalam antologi ini pada umumnya tidaklah mengikuti konvensi yang ada. Dalam hal ini, konvensi yang berlaku adalah serupa pantun, yaitu empat baris berturut-turut, dan begitu selanjutnya. Akan tetapi, penyair telah keluar dari semua itu. Sehingga kalimat-kalimat di dalamnya sangat mengalir apa adanya.

Rima yang digunakan dalam puisi ini juga sangat bervariasi, tidak lagi menggunakan rima layaknya pantun. Penyair telah membebaskan kata-katanya. Akan tetapi, ada juga yang masih teratur, dan itu justru membuat antologi ini semakin bervariasi. Dari situ terlihat bahwa penyair faham betul tentang kesusastraan.

Dari tema yang dihadirkan, mengingatkan saya kepada tokoh sufi dunia dari Turki, Jalaluddin Rumi.

20 Juni 2009
Anett Tapai (Hungaria) Master bahasa dan sastra Inggris. Menguasai bahasa Ibrani, Asyiri, dan Indonesia. Saat ini, aktif menjadi kritikus sastra Indonesia.
*) pengantar kedua antologi puisi tunggal JARAN GOYANG Samsudin Adlawi.

Pencarian Kesejatian Adlawi

Mohammad Eri Irawan*
http://www.jawapos.com/

Puisi, pada mulanya, adalah ikhtiar penyair menyampaikan ide (dan nubuat) lewat imaji-imaji yang ia representasikan dalam huruf-huruf di puisinya. Imaji itu ada berserakan di mana-mana lalu ditangkap oleh indra penyair. Tantangan utama sang penyair adalah mengolah imaji itu untuk dikonkretkan menjadi ide (dan nubuat) ke dalam puisi, terkadang lewat hal-hal yang simbolik.

Persoalan menghadirkan kekuatan ide yang implisit dalam kata-kata di puisi yang sesungguhnya eksplisit setidaknya menjadi salah satu parameter keberhasilan rekam jejak kepenyairan seseorang.

Samsudin Adlawi hadir lewat buku sajaknya, Jaran Goyang. Sebelum ini, jejak kepenyairan Adlawi (khalayak memanggilnya Sam atau Udi) sudah lumayan panjang. Sejumlah sajaknya hadir di beberapa antologi, seperti Interupsi (1994), Cadik (1998), Wirid Muharram (2001), dan Dzikir (2001). Dari jejak kepenyairan itu, buku ini tetaplah menjadi milestone bagi Adlawi dalam menghidupi dunia sastra tanah air.

Tak cukup mudah menelaah sajak-sajak penyair kelahiran Banyuwangi ini. Sajak-sajaknya berpretensi melampaui makna harfiah hal-hal fisikal -kendati dalam beberapa sajak hal tersebut kurang bisa digapai. Di tangan Adlawi, bahasa menjadi teramat problematis (di sampul buku Arif Bagus Prasetyo menyebutnya sebagai ”problematisasi bahasa”), rentan, namun sekaligus mencerahkan atau setidaknya menghadirkan kesegaran baru dalam jagat perpuisian kontemporer di tanah air; seperti bisa kita simak dalam sajak Ci Pinang Ta, Am dan I Mengapit Bis, Mata Mati Mati Mata, Na Belahan Jiwa Nak, Petualangan Se, Sus Mencari U, Sel Imut, Esa, atau Angin Angan Angan Angin.

Mayoritas sajak Adlawi di antologi ini ditatah dengan semangat religiusitas yang menggebu. Adlawi mencoba mendedah sebuah pencarian makhluk yang tak pernah usai terhadap ”Kesejatian”, karena hidup memang sesak dengan hal aksiden-superfisial: lapar-dahaga hanyalah permainan (sajak Menggapai Akhir).

Kendati hadir dengan semangat spiritualitas yang tinggi, sajak-sajak Adlawi bukanlah traktat yang final. Ia tidak secara diametral mempertentangkan antara sakral dan profan. Artinya, ”Kesejatian” di sini menjadi sesuatu yang tak selesai digamit, selalu urung direngkuh, melulu sesak dengan berbagai kemungkinan. ”Kesejatian” menjadi sesuatu yang remang: ia diafirmasi oleh Adlawi tapi anehnya kemudian dinegasi, begitu seterusnya.

Di sajak Mencari Arah, misalnya, aku-lirik seolah berada di gurun luas yang tak jelas mana pangkalnya. Aku-lirik terus berjalan menuju pangkal, menuju ”Kesejatian”. Ia temui banyak kesejatian (”k” kecil) dalam setiap depa perjalanannya, siang dan malam. Tapi belum pernah dijumpainya ”Kesejatian” (“K” besar): kerna tanpa bulan kau hanyalah kelam, duhai malamku…//kerna tanpa matahari kau hanyalah senja, duhai siangku.

Aku-lirik di sini tampil gahar, keras kepala, dan tak kenal surut melangkah. Ia terus laju melawan badai, sebab hidup memang sebentuk ikhtiar yang tak pernah sudah mendekap yang hakiki, yang kudus, yang sejati. Aku-lirik seolah menjadi majnun: di malam tanpa bulan di bulan tanpa malam/di siang tanpa matahari di matahari tanpa siang/aku terus berjalan mencari arah bertuhan.

Dalam pencarian yang sarat nafas religi semacam itu, agaknya Adlawi teramat larut menggemakan kesunyian. Hampir terasa klise, sebenarnya, jika pencarian ”Kesejatian” melulu diasosiasikan dengan suasana yang hening, seperti dalam sajak Istana Bunyi, Rumah Sepi, dan Kesaksian Malam I.

Namun, tangan dingin Adlawi membuat sajaknya terasa lebih kukuh dan tegar, sehingga kesunyian makin asyik digumuli: jalan ini setapak berundak/menuju gunung sepi/tak eloklah kau menapak/jika karib kau bukan sunyi (sajak Istana Bunyi).

Dalam pencarian panjang menuju yang hakiki, bagi Adlawi, jika kelak sudah menemukan ”Jalan”, maka pertautan manusia dengan yang hakiki bukan bermakna fisikal, melainkan lebih merupakan pengalaman spiritual yang teramat individual: …kali ini aku datang/ke surau hanya membawa jiwa/kerna badanku dipakai sajadah/musafir yang baru kembali menemukan arah menuju (sajak Sajadah).

Sajak-sajak Adlawi secara umum berfokus pada kegelisahan eksistensial, sehingga puisi dibawa pada situasi yang cenderung senyap. Tak heran, kebanyakan puisi Adlawi serupa dialog-dalam-diri: menggumam meski terkadang disampaikan dengan ungkapan yang lantang.

Namun, bukan berarti sajak-sajak Adlawi melulu berisi tema tersebut. Ada kalanya Adlawi, seperti kebanyakan manusia kini, merasa gelisah dengan zaman yang kian centang-perenang. Mata batin Adlawi sebagai penyair mencoba menanggapi dunia yang berderak dengan kebopengannya. Maka, penyair ingin dunia tak merupa conveyor yang melaju cepat tanpa henti mengagungkan progress sebagai mantra andalan manusia modern.

Kendati demikian, sajak-sajak Adlawi secara umum tetap segar dan kuat. Metafora yang tak klise membuat pembaca benar-benar dimanjakan untuk mencapai ekstase ketika membacanya -sekaligus membikin pembaca bekerja keras untuk meraba dan menelaah sajak-sajaknya. (*)

*) Peresensi adalah penikmat sastra, alumnus Unej.
Judul Buku : Jaran Goyang
Penulis : Samsudin Adlawi
Penerbit : Pustaka Pujangga
Cetakan : I, 2009
Tebal : 103 halaman

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest