Senin, 18 Juli 2011

Perlawanan Kaum Santri, 25 Februari 1944

Nina Herlina Lubis
http://pr.qiandra.net.id/

“I have nothing to offer but blood, toil, tears, and sweat.” Itulah “kata-kata bersejarah” yang diucapkan Winston Churchill pada tanggal 13 Mei 1940, tiga hari setelah dia diangkat menjadi perdana menteri Inggris. Kata-kata itu ternyata memberi spirit yang luar biasa kepada para pejuang Inggris untuk memenangkan Perang Dunia ke-2.

Empat tahun kemudian, di tempat nun jauh di Timur, di mana jam menunjuk angka enam jam lebih cepat, “kata-kata bersejarah” itu menjadi fakta sejarah. Pada tanggal 25 Februari 1944, yang jatuh pada hari Jumat, di sebuah kampung di daerah Singaparna, Tasikmalaya, terjadi sebuah peristiwa heroik. Ratusan santri terlibat dalam pertempuran dan perkelahian jarak dekat. Namun, dua kekuatan itu jelas tidak seimbang. Senapan mesin, pistol, dan granat pasukan Jepang (meskipun personelnya adalah bangsa kita juga) berhadapan dengan pasukan K.H. Zaenal Mustofa yang hanya bersenjatakan bambu runcing, pedang bambu, dan batu. Hanya dalam waktu sekitar satu setengah jam saja, pertempuran itu berakhir tragis.

Para santri yang gugur dalam pertempuran berjumlah 86 orang. Meninggal di Singaparna karena disiksa sebanyak 4 orang. Meninggal di penjara Tasikmalaya karena disiksa sebanyak 2 orang. Hilang tak tentu rimbanya (kemungkinan besar dibunuh tentara Jepang), termasuk K.H. Zaenal Mustofa, sebanyak 23 orang. Meninggal di Penjara Sukamiskin Bandung sebanyak 38 orang, dan yang mengalami cacat (kehilangan mata atau ingatan) sebanyak 10 orang. Para santri ini tidak memiliki apa-apa untuk memperjuangkan kemerdekaan negeri ini, kecuali darah, kerja keras, air mata, dan keringat, seperti kata Winston Churchill di atas.

Sebagai penghargaan atas jasa dan pengorbanannya, pemerintah mengangkat K.H. Zaenal Mustofa sebagai pahlawan nasional dengan SK Presiden No. 064/TK/1972.

Makna

Peristiwa heroik dan tragis itu telah berlalu enam dasawarsa lebih. Apakah gunanya mengungkit-ungkit kembali peristiwa yang menyedihkan itu?

Manakala sebuah kisah sejarah ditampilkan kembali, tentu bukan sekadar untuk mengenang sesuatu yang sudah lewat, atau mengenang gugurnya para pahlawan. Sejarah berfungsi edukatif, agar manusia sekarang mau belajar dari masa lalu, meneladani apa yang baik, meninggalkan yang tidak baik, memetik hikmah suatu peristiwa, menghargai jasa mereka yang berjuang tanpa pamrih, belajar dari kegagalan, kekalahan, dan mencintai negeri.

Kalau saja kita tahu, bagaimana kemerdekaan negeri ini diperjuangkan, sudah bisa diprediksi bahwa paling tidak kita akan memiliki rasa cinta tanah air, memiliki jiwa patriotis sehingga kita tidak akan meruntuhkan negeri yang sudah dibangun selama 63 tahun ini, dengan cara menggerogotinya beramai-ramai.

Salah satu peristiwa heroik yang perlu kita ketahui adalah usaha para santri pimpinan K.H. Zaenal Mustofa melawan fasisme Jepang, yang terjadi pada tanggal 25 Februari 1944 itu. Mungkin sudah banyak yang mengetahui kisah ini, namun tidak ada salahnya untuk ditampilkan kembali.

Santri Sukamanah

K.H. Zaenal Mustofa yang dilahirkan pada tahun 1899 di Kampung Bageur, Desa Cimerah (sekarang bernama Desa Sukarapih), Kecamatan Singaparna, Kabupaten Tasikmalaya, sejak tahun 1927 mendirikan Pesantren Sukamanah. Kiai yang menjadi wakil ketua NU Kabupaten Tasikmalaya ini, dalam setiap dakwahnya, selalu menyerang kebijakan-kebijakan politik kolonial Belanda dengan kata-kata yang pedas. Oleh karena mata-mata penjajah ada di mana-mana, akibatnya, kiai yang telah belajar di berbagai pesantren selama 17 tahun ini sering mendapat peringatan. Kadang-kadang pidatonya dilarang untuk dilanjutkan, apabila ia tengah mengupas kekejaman serta kepalsuan politik kolonial Belanda.

Tanggal 17 November 1941, K.H. Zaenal Mustofa, bersama Kiai Rukhiyat (dari Pesantren Cipasung), Haji Syirod, dan Hambali Syafei ditangkap Belanda dengan tuduhan telah menghasut rakyat, untuk memberontak terhadap pemerintah Hindia Belanda. Mereka dipenjarakan di Tasikmalaya selama satu hari, kemudian dipindahkan ke penjara Sukamiskin di Bandung.

Setelah dibebaskan, K.H. Zaenal Mustofa tidak berubah. Kembali ia berdakwah yang isinya jelas-jelas menentang penjajah. Pada akhir bulan Februari 1942, ia dan Kiai Rukhiyat kembali ditangkap dan ditahan di penjara Ciamis. Kedua ulama ini menghadapi tuduhan yang sama dengan penangkapannya yang pertama.

Pada tanggal 8 Maret 1942 kekuasaan Hindia Belanda berakhir dan Indonesia diduduki Pemerintah Militer Jepang. Oleh penjajah yang baru ini, K.H. Zaenal Mustofa dibebaskan dari penjara, dengan harapan ia akan mau membantu Jepang dalam mewujudkan ambisi fasisnya, yaitu menciptakan Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Akan tetapi, apa yang menjadi harapan Jepang tidak pernah terwujud, karena KH Zaenal Mustofa dengan tegas menolak. Bahkan kepada para santrinya, ia memperingatkan bahwa fasisme Jepang itu lebih berbahaya dari imperialisme Belanda.

Suatu ketika, semua alim ulama Singaparna harus berkumpul di alun-alun dan semua diwajibkan menghormat (seikerei) ke arah Tokyo. Di bawah todongan senjata, semua ulama terpaksa melakukan perintah itu, hanya K.H. Zaenal Mustofa yang tetap membangkang. Bahkan, ia berkata kepada Kiai Rukhiyat yang hadir pada waktu itu bahwa perbuatan tersebut musyrik. Kepada para santri dan pengikutnya, ia juga mengatakan, lebih baik mati ketimbang menuruti perintah Jepang.

Tindakan pemerintah pendudukan Jepang yang juga sangat memberatkan rakyat adalah, penerapan politik beras atau kewajiban menyerahkan beras kepada Jepang yang sangat merugikan rakyat. Rakyat kelaparan. Bahkan banyak yang menderita busung lapar. Selain itu, banyak kaum wanita ditipu. Mereka dijanjikan akan disekolahkan di Tokyo sehingga banyak yang mendaftarkan diri, ternyata mereka dikirim ke daerah-daerah pertempuran seperti Birma dan Malaya dan dijadikan sebagai wanita penghibur tentara-tentara Jepang (jugun ianfu).

Akhirnya, K.H. Zaenal Mustofa memutuskan untuk melakukan perlawanan terbuka terhadap kekejaman fasisme Jepang. Bersama para santrinya ia merencanakan suatu gerakan yang akan dilakukan pada tanggal 25 Februari 1944 (1 Maulud 1363 H). Mula-mula ia akan menculik para pembesar Jepang di Tasikmalaya, kemudian melakukan sabotase, memutuskan kawat-kawat telefon sehingga militer Jepang tidak dapat berkomunikasi, dan terakhir, membebaskan tahanan-tahanan politik.

Untuk melaksanakan rencana ini, K.H. Zaenal Mustofa meminta para santrinya mempersiapkan persenjataan berupa bambu runcing dan golok yang terbuat dari bambu, serta berlatih pencak silat. Kiai juga memberikan latihan spiritual (tarekat) seperti mengurangi makan, tidur, dan membaca wirid-wirid untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Persiapan para santri ini tercium Jepang. Segera mereka mengirim camat Singaparna disertai 11 orang staf dan dikawal oleh beberapa anggota polisi untuk melakukan penangkapan. Usaha ini tidak berhasil. Mereka malah ditahan di rumah K.H. Zaenal Mustofa. Keesokan harinya, pukul 8 pagi tanggal 25 Februari 1944, mereka dilepaskan.

Tiba-tiba, sekitar pukul 13.00, datang empat orang opsir Jepang meminta agar K.H. Zaenal Mustofa menghadap pemerintah Jepang di Tasikmalaya. Perintah tersebut ditolak tegas sehingga terjadilah keributan. Hasilnya, keempat opsir itu tewas dan salah seorang santri yang bernama Nur menjadi korban, karena terkena tembakan salah seorang opsir Jepang tersebut. Setelah kejadian tersebut, sore harinya sekitar pukul 16.00 datang beberapa buah truk mendekati garis depan pertahanan Sukamanah. Suara takbir mulai terdengar, pasukan Sukamanah sangat terkejut, setelah tampak dengan jelas bahwa yang berhadapan dengan mereka adalah bangsa sendiri. Rupanya Jepang telah mempergunakan taktik adu domba. Maka terjadilah apa yang dikisahkan pada awal tulisan ini.

Perlu dijelaskan pula bahwa sehari setelah peristiwa itu, antara 700-900 orang ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara di Tasikmalaya. Yang sangat penting adalah instruksi rahasia dari K.H. Zaenal Mustofa kepada para santri dan seluruh pengikutnya yang ditahan, yaitu agar tidak mengaku terlibat dalam pertempuran melawan Jepang, termasuk dalam kematian para opsir Jepang, dan pertanggungjawaban tentang pemberontakan Sukamanah dipikul sepenuhnya oleh K.H. Zaenal Mustofa.

Akibatnya memang berat. Sebanyak 23 orang yang dianggap bersalah, termasuk K.H. Zaenal Mustofa, dibawa ke Jakarta untuk diadili. Namun mereka hilang tak tentu rimbanya. Kemungkinan besar mereka dibunuh. Korban lainnya, seperti telah disebutkan di atas dan sekitar 600-an orang dilepas, karena dianggap tidak terlibat.

Penutup

Dengan membaca kisah ringkas perlawanan para santri dari Pesantren Sukamanah pimpinan K.H. Zaenal Mustofa di atas, setidaknya kita bisa melakukan refleksi sejenak. Sesungguhnya para pahlawan itu adalah mereka yang berjuang tanpa pamrih, siap berkorban dengan nyawanya sekali pun. Tentu saja, mereka tidak pernah terpikir untuk mendapat gelar pahlawan nasional. Masih banyak peristiwa heroik dari para pahlawan kita dalam upaya memperjuangkan kemerdekaan negeri ini.

Sementara itu, kita, anak cucunya tinggal enaknya menerima warisan. Sebuah negara yang sudah merdeka. Masalahnya adalah, apakah pengorbanan mereka, keikhlasan mereka, harus dikorbankan oleh kita, dengan cara menggerogoti negeri ini perlahan-lahan, dengan segala kerakusan dan keserakahan hingga hancur sehancur-hancurnya. Marilah kita sadar sebelum semuanya terlambat. ***

*) Penulis, Guru Besar Ilmu Sejarah Unpad, Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat, dan Ketua Pusat Kebudayaan Sunda Fak. Sastra Unpad.

Puisi Indonesia Miskin Diksi

Teguh Presetyo
Lampung Post, 4 Mei 2008

KARYA sastra Indonesia, terutama puisi, meski pertumbuhannya pesat, dinilai miskin diksi. Bahkan bisa dikatakan tidak ada perkembangan diksi-diksi terbaru yang mampu dihasilkan para penyair.

Penyair Binhad Nurohmat mengemukakan hal tersebut dalam kegiatan Bilik Sastra Membedah Buku 100 Puisi Indonesia Terbaik 2008 yang dikeluarkan Anugerah Sastra Pena Kencana, di PKM Unila, Rabu (30-4) malam. Padahal menurut dia, sekitar 10 tahun terakhir ini, karya sastra yang ada dan berhasil diciptakan para penyair sudah sangat banyak.

Apalagi berkaitan dengan sastra yang ada di Indonesia saat ini yang tidak bisa dimungkiri merupakan “sastra koran”, di mana kuantitas penerbitan karya sastra terutama puisi dan cerpen menjadi semakin intens. Sebab, jumlahnya yang diperkirakan mencapai ribuan judul puisi dan cerpen yang telah di keluarkan. Tentu saja ini merupakan angka yang tidak sedikit.

“Namun, ternyata pertumbuhan karya sastra yang tinggi tersebut tidak dibarengi dengan inovasi baik berkaitan dengan ekstetika maupun tema. Begitu juga dengan pertumbuhan diksi yang nyaris dikatakan tak ada yang baru,” kata Binhad. Sehingga penyair asal Lampung Timur ini berani mengatakan dalam waktu 20 tahun, hanya ada beberapa saja kalimat yang bisa ditebarkan.

Dia menyebutkan bahwa pada era tahun 70-an, paling tidak terdapat tiga penyair yang bisa dikatakan memiliki waktu starter yang sama, tapi bisa dikenal dengan memiliki ciri khasnya tersendiri yakni Goenawan Muhammad, Sapardi Djoko Damono, dan Sutardji Calzoum Bachri. Sedangkan yang ada kini penyair banyak yang tidak memiliki temuan inovasi terutama persoalan diksi seperti dahulu. “Inovasinya semakin miskin. Dunia semakin maju tapi dunia kepenyairan mundur.”

Meskipun memang diksi yang dimaksudkan bukanlah suatu yang masih mentah. Namun, diksi tersebut yang mampu diberikan makna lain oleh penyairnya. “Kini penyair banyak yang miskin dalam menyikapi kata.”

Binhad menyatakan berdasarkan sejarah perkembangan dunia sastra Indonesia yang diawali penyair yang tergabung dalam Pujangga Baru bisa dikatakan mampu menjawab kekosongan akan diksi yang sarat akan optimisme. Lalu era revolusioner, Chairil Anwar muncul dengan diksi yang berbeda dengan yang digulirkan Pujangga Baru. Kemudian era tahun 1970-an, muncul Sutardji Calzoum Bachri dengan Mantra yang merupakan kegelisahannya memunculkan identitas kelokalannya di tengah dunia yang menjelang era globalisasi.

Kemudian tahun 80-an muncul W.S. Rendra dengan diksi yang penuh protes akan kondisi yang ada. Dan kemudian muncul Afrizal Malna yang kemudian membawa diksi-diksi yng memperlihatkan kondisi masyarakat perkotaan. “Dalam puisinya muncul kata-kata yang dulu tidak dikenal pada karya sastra seperti botol Coca Cola, odol, opelet, kulkas, dan sebagainya,” kata Binhad lagi.

Makanya, dia menyatakan bahwa ketika 100 karya sastra yang ada sudah dilabelkan menjadi karya terbaik, takutnya nanti akan dijadikan satu rujukan oleh masyarakat. “Dan inilah yang kemudian menjadi beban sosial bagi dewan juri yang ada.”

Sedangkan Joko Pinurbo, penyair yang juga merupakan wakil dari dewan juri dari Anugerah Sastra Pena Kencana, mengatakan kalau dirinya lebih tertarik melihat karya sastra terutama puisi dari detail. “Saya akan tercengang ketika membaca karya puisi yang kalimatnya sederhana tapi bisa membuat sebuah metafora yang sangat indah. Contohnya karya Ari Pahala Hutabarat yang berjudul Kado Ulang Tahun.”

Sebab, menurut Joko, puisi bisa berkata lebih sederhana, lebih jernih, dan lebih jelas terhadap suatu yang rumit ataupun kata biasa yang kerap diucapkan. “Salah satu yang menghambat penyair dalam mengembangkan diksi adalah banyaknya penyair yang hanya belajar dari penayir-penyair terdahulu, belum mencoba menginjakkan ke dunia lain.” Sementara itu, penyair Ari Pahala Hutabarat mengaku sangat tidak setuju dengan pernyataan Binhad. Dia mengaku cukup mengerti niatan baik dari Binhad agar para penyair bisa lebih memperkaya diksi yang dimilikinya. Namun, menurut dia, diksi bukanlah satu persoalan krusial yang dialami para penyair kini.

“Apakah betul diksi yang menjadi persoalan saat ini. Sebab sebenarnya menurut saya, persoalan utama dari dunia sastra terutama puisi adalah sedikitnya tema. Sehingga terlampau jemu dengan tema-tema itu saja seperti sepi, senja, dan pelabuhan,” kata penggiat KoBER ini.

Sebab itu, menurut dia, tema-tema yang ada sekarang merupakan satu pengulangan dari tema yang sudah ada, bahkan bisa dikatakan semakin menyempit. Kalaupun ada tema yang baru, tapi ini tidak disertai dengan pendalaman tema. Sehingga belum bisa secara jernih untuk memasukinya. “Tugas penyair inilah mendalami tema yang ada. Karena karya yang berbeda hanyalah sebatas antitetis dari karya yang sudah ada. Untuk itu, Ari sangat tidak sepakat dengan pendapat Binhad yang lebih mempersoalkan masalah kelemahan diksi.

Anugerah Sastra Pena Kencana

Mengapa sastra Indonesia hingga kini belum pernah mendapatkan Nobel? Bahkan cerpen dan puisi yang merupakan genre terpopuler yang banyak diciptakan oleh sastrawan, memang tidak dididik atau dikondisikan untuk mendapatkan penghargaan yang memadai.

Sebuah pertanyaan menggelitik tapi cukup menyentak tersebut dikemukakan Triyanto Triwikromo yang merupakan Direktur Program Anugrah Sastra Pena Kencana, dalam kata pengantar buku 100 Puisi Terbaik Indonesia. Triyanto mengatakan hingga kini apresiasi yang diberikan atas karya sastra puisi ataupun cerpen masih sangat kecil sekali. Honorarium yang diterima penulis untuk karya puisi tertinggi hanya mencapai Rp250 ribu dan cerpen berkisar Rp1 juta–Rp1,5 juta.

Meskipun sudah ada pemberian penghargaan yang diberikan beberapa institusi pada karya puisi dan cerpen terbaik. Misalnya dari Harian Kompas dan Departemen Pariwisata dan Kebudayaan. Pun dengan Khatulistiwa Literary Award yang memberikan penghargaan kepada penyair yang berhasil melahirkan buku kumpulan puisi ataupun cerpen terbaik. “Makanya Anugerah Sastra Pena Kencana ini hadir memangkas jalur yang terlalu lama dan ingin memartabatkan sastrawan.”

Eka Kurnia dari Anugerah Sastra Pena Kencana yang hadir dalam kegiatan bilik sastra menyatakan bahwa 100 puisi terbaik yang ada tersebut, diambil dari karya-karya puisi yang diterbitkan 12 media massa yakni Lampung Post, Kompas, Suara Pembaharuan, Koran Tempo, Media Indonesia, Republika, Suara Merdeka, Jawa Pos, Bali Post, Pontianak Post, Fajar, dan Pikiran Rakyat. “Namun, pemilihan media massa ini akan terus berubah dilihat dari apakah media tersebut masih peduli dengan dunia sastra.”

Kemudian karya-karya yang ada di media massa tersebut dinilai oleh tujuh dewan juri yang ditunjuk PT Kharisma Pena Kencana, yakni Prof.Dr.Sapardi Djoko Damono, Prof.Dr.Budi Darma, Prof.Dr.Apsanti Djokosujatno, Ahmad Tohari, Sitok Srengenge, Joko Pinurbo, dan Jamal D. Rahman. Karya yang dinilai mulai 1 November 2006 sampai 31 Oktober 2007.

“Pembaca bisa menentukan karya terbaik yang dipilihnya dengan mengirimkannya via SMS. Nantinya akan dipilih tiga pemenang dengan total hadiah Rp50 juta, yakni juara pertama Rp25 juta, juara kedua Rp15 juta, dan juara ketiga Rp10 juta. Pemilihan dapat dilakukan hingga 15 Agustus yang akan datang dan akan diumumkan pada bulan September 2008,” ujar Eka.

Dan dari 100 karya puisi terbaik yang ada tersebut, penyair asal Lampung mendominasi jumlahnya. Sebut saja Ari Pahala Hutabarat, Dahta Gautama, Dina Oktaviani, Inggit Putria Marga, Iswadi Pratama, Jimmy Maruli Alfian, Laela Awalia, Lupita Lukman, dan Oyos Saroso H.N. Semoga saja gelar puisi terbaik tersebut mampu diraih oleh penyair asal Lampung. Sehingga nama Lampung sebagai negeri penyair akan semakin berkibar.

Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2008/05/apresiasi-puisi-indonesia-miskin-diksi.html

Membawa Sastra Indonesia ke Panggung Dunia

Seri “Modern Library of Indonesia”
Benny Benke
http://suaramerdeka.com/

Buku Modern Library of Indonesia yang berisi seri terkini hasil karya sastra Indonesia modern akhirnya diterbitkan. Buku yang diharapkan menjadi usaha untuk meningkatkan peranan sastra Indonesia di panggung dunia itu, sebagaimana dikatakan Mira Lesmana dalam diskusi tentang “Kebangkitan Sastra Indonesia di Panggung Dunia”, bersama sejumlah pembicara lainnya diantaranya Putu Wijaya, Dewi Lestari, dan John McGlynn, diharapkan dapat mendekatkan karya sastra Indonesia dengan masyarakat Indonesia sendiri. “Bersama harapan lainnya, karya sastra Indonesia semakin dikenal di manca negara,’ katanya di Jakarta, Kamis (19/5).

Mira Lesmana, yang dinilai turut mengangkat pamor sastra Indonesia melalui film Bumi Manusia, yang sedang dimatangkan proses penulisan skenarionya, dan berangkat dari novel karya Pramoedya Ananta Toer, juga berharap penerbitan buku yang digagas yayasan Lontar dan Djarum Foundation itu, dapat merangsang karya sastra Indonesia berkualitas yang akan lahir.

Sebagaimana diharapkan Renitasari, Program Director-Bakti Budaya Djarum Foundation, yang mengatakan penerbitan seri buku Modern Library of Indonesia karena menimbang bahwa sastra adalah bagian kebudayaan yang penting. Buku yang disunting John McGlynn itu, dari mula proses penerjemahannya ke bahasa Inggris, diharapkan dapat menjadi jembatan ke pembaca asing. Dengan demikian, ujar John, pembaca asing tak hanya dapat mengikuti perkembangan sastra Indonesia dari zaman ke zaman, “Melainkan juga pengamat luar akan dapat lebih menghayati kekuatan politik dan sosial yang ikut mengejawantahkan negara Indonesia”, katanya.

Terkejut

Hal senada dikatakan sastrawan dan teaterwan Putu Wijaya, yang mengakui sastra Indonesia kurang dikenal di manca negara. Buktinya, dia bercerita, pada tahun 1985 ketika dia diundang mengikuti festival sastra Horisonte di Berlin. Seorang penyair Amerika bertanya, apakah dirinya berasal dari Filipina? “Ketika saya jawab saya dari Indonesia, dia terkejut,” katanya. Si penyair kembali bertanya, apakah di Indonesia ada sastrawan? Karena sepemahamannya, Indonesia hanya identik dengan seni pertunjukan tradisional.

Proses terjemahan bahasa Inggris karya-karya sastra Indonesia dimulai dari periode awal sastra Indonesia yang dianggap modern, yaitu tahun 1920-an hingga karya sastra terkini. Sampai sekarang, telah terbit sepuluh judul pertama. Dalam tiga tahun mendatang diharapkan terbit 50 judul agar dunia dapat makin mengenal dan mendokumentasikan sejarah perkembangan masyarakat Indonesia melalui sastra.

Ihwal seri Modern Library of Indonesia, Dewi Lestari, juga menyatakan kebangganggannya, karena karyanya berjudul Supernova: Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh, terpilih menjadi salah satu koleksi Modern Library of Indonesia. “Semoga koleksi itu dapat menjadi alternatif jendela untuk memahami Indonesia kontemporer, sebagaimana sastra selalu menjadi cermin dari dinamika sebuah bangsa. Sebuah generasi”, katanya.

Berikut adalah sepuluh judul pertama seri buku Modern Library of Indonesia yang diluncurkan, yaitu Never the Twain (Salah Asuhan)-karya Abdoel Moeis, Shackles (Belenggu)-karya Armijn Pané, The Fall and the Heart (Kejatuhan dan Hati)-karya S. Rukiah, Mirah of Banda (Mirah dari Banda)-karya Hanna Rambé, Family Room, sebuah kumpulan cerpen karya Lily Yulianti Farid, And the War is Over (Dan Perang pun Usai)-karya Ismail Marahimin, The Pilgrim (Ziarah)-karya Iwan Simatupang, Sitti Nurbaya-karya Marah Rusli, Telegram-karya Putu Wijaya, dan Supernova-karya Dewi Lestari.

Kisah masing-masing novel dan kumpulan cerita pendek yang diterbitkan menyoroti bermacam-macam fenomena yang ada dalam kehidupan, mulai dari persoalan gender, krisis identitas akibat adanya pencampuran budaya timur dan barat, cinta, mimpi, ketakutan, sains, spiritual, politik, tradisi, hingga perjuangan di masa revolusi.

Sepuluh Tahun Kebangkitan KOSTELA

Zawawi Se
http://www.kompasiana.com/news

Peringatan 10 Tahun Kebangkitan Komunitas Sastra Teater Lamongan (KOSTELA) bertempat di Gedung Serba Guna Kecamatan Sukodadi, Lamongan berlangsung sangat meriah. Dihadiri oleh berbagai elemen pelaku sastra dan budaya dari Lamongan dan sekitarnya. Beberapa nama yang cukup dikenal diantaranya ada Nurel Javissyarqi, Viddy AD Daery (novelis), Jumartono (pelukis), Pringgo Hr (penyair), Bambang Kempling (penyair), dan lain-lain.

Berbagai acara dilaksanakan mulai hari minggu siang sampai minggu malam (6/12/2009). Beberapa agenda acara diantaranya adalah pembacaan puisi, pementasan teater, dan bazaar buku murah. Acara diawali dengan sambutan oleh salah satu senior dalam komunitas tersebut yaitu Herry Lamongan dalam sebuah pidato kebudayaan. Dalam sambutannya Herry Lamongan menyatakan bahwa tujuan untuk lebih mengaktifkan kembali KOSTELA adalah untuk menghidup-hidupkan sastra dan budaya di Kabupaten Lamongan.

Setelah pidato kebudayaan oleh Herry Lamongan, acara dilanjutkan dengan pembacaan puisi. Tampil pertama dalam pembacaan puisi adalah Bambang Kempling dengan puisi-puisi panjangnya, kemudian dilanjutkan oleh beberapa penyair lainnya. Yang cukup memukau para penonton adalah penampilan dari Jafet Sattah, seorang penyair muda yang namanya cukup dikenal di Jawa Timur. Bahkan pernah mendapatkan penghargaan dari Dewan Kesenian Jawa Timur. Dalam membacakan tiga puisinya, Jafet seolah menghidupkan suasana dengan dialog-dialog dan membaur dengan para penonton. Mengawali pembacaan puisinya dengan sebuah gending jawa yang memikat. Jafet seolah dapat mengambil hati para penonton yang memberikannya applaus beberapa kali.

Setelah pembacaan puisi, acara dilanjutkan dengan peluncuran Majalah Sastra Indupati. Majalah yang diterbitkan oleh KOSTELA yang pernah terbit beberapa kali sebelumnya, namun sempat terhenti penerbitannya. Dalam peluncuran majalah ini, secara simbolis, masing-masing elemen/komunitas masyarakat yang diwakili oleh seseorang untuk menerima Majalah Sastra Indupati.

Sangat disayangkan momen tersebut tidak digunakan untuk membedah karya sastra atau apresiasi sastra dan berdiskusi permasalahan-permasalahan yang menjadi kendala bagi terwujudnya kemajuan sastra dan teater di Lamongan. Padahal dalam momen tersebut telah berkumpul orang-orang yang terlibat dalam sastra setidaknya menyukai sastra.

Namun demikian saya hanya ingin mengucapkan Selamat Ulang Tahun Ke-10 untuk KOSTELA, dan selamat pula atas keberhasilan KOSTELA sehingga mendapat hadiah dari Dewan Kesenian Jawa Timur sebagai komunitas aktif dalam berkegiatan sastra. Semoga tetap semangat dalam memprakarsai kemajuan dan kebangkitan sastra dan teater di Lamongan.

24 February 2010

Sastra di Titik Persilangan

Sabrank Suparno
http://sastra-indonesia.com/

Memimpikan kata ‘perubahan’ di Indonesia, sama halnya mengidamkan hadirnya sebuah revolusi. Tentu banyak pilihan di dalamnya untuk berkiblat, ada revolusi yang berdarah-darah (simak detik-detik terhangat revolusi Mesir), ada pula revolusi ‘aman saja’ (sluman, slumun, slamet yang terjadi di Iran). Revolusi sesungguhnya bermakna membongkar keburukan ‘kita’secara menyeluruh dari berbagai segi.

Setiaknya ada dua syarat yang bisa menyebabkan terjadinya revolusi menurut pakar politik DR. Ruslan Abdul Gani. Pertama: Tingkat kesadaran masyarakat yang tinggi terhadap hukum, hak dan kewajiban sebagai warga negara. Kedua: Terjadinya gab, kesenjangan yang akut antar dua kubu. Revolusi adalah hasil perkalian dua syarat tersebut.

Kilas tahun 80-an, ketika Indonesia ingin menyamai Malaysia dengan pendapatan 2000 dolar/kapita/tahun, Polandia sudah mencapai 20.000 dolar/kapita/tahun.,Artinya secara perekonomian Polandia berada pada taraf kemapanan, namun karena terjadi gab dengan pemerintah, maka terjadilah demonstrasi buruh besar-besaran yang menggulingkan pemerintahan setempat. Samahalnya dengan Rhu Tai Wu yang berkorupsi tidak lebih dari 50 juta, beresiko digulingkan rakyat Korea Utara. Kedua permasalahan di atas, terjadi semata karena kesadaran masyarakat yang tinggi serta terjadinya suatu gab.

Indonesia yang multikultural dengan basis wilayah kepulauan terpencar, tidak memungkinkan terjadinya revolusi, ada banyak sekat yang berpotensi sebagai hambatan. Sebab, dasar revolusi sendiri bertumpu pada demokrasi, sedangkan demokrasi yang mampu diterapkan di Indonesia hanyalah demokrasi ‘godokan’ yang tak pernah matang. Jargon demokrasi perlementer atau demokrasi terpimpin yang dipopulerkan Soekarno hingga demokrasi ala orba, mokal bisa menampung aspirasi beragam pada segilintir orang. Yang terjadi kemudian adalah peluang distorsi dan penyalahgunaan kepercayaan yang disebut pseudo demokrasi. Titik kerancuhan demokarasi pada negara multikultural tersebab sistem baku, yakni adopsi menguniversal, sementara di sisi lain mempertahankan nilai lokal. Inilah kesulitan tersendiri di Indonesia.

Demokrasi godokan ialah tawaran para teoritikus seperti pengamat politik Affan Gaffar (1999) yang mengintroduksi gagasan demokrasi tak lumrah (un-common democracy). Demokrasi yang berpilar pada kekuatan dominan (partai-non partai) dengan setidaknya didukung 60% kekuatan suara. Indonesia dengan pemilahan dan segregasi aspek sosial-budaya, berbeda bentuk dengan model Amerika, Australia, Kanada, Inggris dan Perancis (Pengantar: Richard M. Ketchum. Demokrasi. Niagara 2004).

Buku ‘Indonesia Tanpa Muhammadiyah dan NU’ yang ditulis oleh Teguh Santoso dan Harianto menjadi sumbangsih besar bagi generasi muda Indonesia. Kalau Indonesia ditakdir ber-revolusi damai seperti Iran, maka Teguh Santoso-Harianto jasanya sejajar Murtadha Mutohari. Di mana ketika Ayatulloh Khomaini mengambil alih seluruh aset dan simpati masyarakat atas rezim Reza Pahlevi, adalah Murtadha Mutohari yang jauh sebelumnya menjadi rausyanfikr (intelektual muslim) dengan karya-karya bukunya.

Berangkat dari kegelisahan penulis ketika mengamati dua organisasi keislaman terbesar di Indonesia yang acapkali berseteru, berebut pengakuan sebagai ponak ane GustiAlloh, menganggap bahwa dirinyalah yang paling benar di hadapan Alloh, dan jika tidak menganut ajarannya maka tidak akan mereka (salah satu organisasi antara NU-Muhammadiya) masukkan ke surga. Sedang di sisi lain, terbentuknya NU-Muhammadiyah merupakan ekspresi masing-masing golongan untuk memaknai demokratisasi yang memuat hak asasi manusia. Berangkat dari sanalah buku ini lahir, sebagai alternatif menyisir kemubadziran kiprah ke dua belah pihak.

Buku setebal 171 halaman ini menyerupai novel yang tersusun menjadi 20 sub judul. Meski pun berupa karya ilmiah yang syarat dengan analisa dan data otientik, buku ini masuk dalam kategori sastra, sebab penulis menuangkan penceritaannya dengan gaya dialog imajiner. Penulis membangun ‘ceritanya’dengan intensitas teks ke dalam bingkai rasionalisasi sastra. Penulis apapun sesungguhnya adalah pencerita, ia menceritakan kepada pembaca dengan berbagai metode: esai, opini, artikel, puisi, cerpen, novel dll. Namun bentuk sastra semacam ini, belum berkembang di Indonesia sebagai genre.

Kelebihan buku Indonesia Tanpa Muhammadiyah dan NU ialah memuat multidisipliner, sastra dan agama (Islam) yang memungkinkan bertempat di rak pembaca. Sastra: karena disusun berdasar metode dialog imajiner. Agama Islam: karena dikhususkan bagi warga NU-Muhammadiyah yang tertulis jelas pada lembaran awal /dipersembahkan bagi semua yang merindukan bersatunya Umat Islam /(hal.ix).

Pada dialog pertama yang berjudul ‘Muhammadiyah dan NU meng-Global’, kedua penulis menghadirkan dua tokoh K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari yang hadir dalam Muktamar Muhammadiyah ke 46 di Jogja. Kedua tokoh kondang di Indonesia itu duduk dan ngobrol di angkringan (warung khas Jogja). “Selamat ber-Muktamar ya Kang. Wah, aku nggak ngira sudah seabad usia Muhammadiyah.” Kedua tokoh ini memang pernah berguru pada Syeikh Ahmad Katib Minangkabawi, ulama besar madzhab Syafi’i di Makkah. Mereka berdua bahkan pernah sekamar ketika berguru pada K.H Sholeh Darat di Semarang. “Iya Cak. Maturnuwun. Se-abad memang usianya, tapi pemikirannya, gerakannya…” “Lho, La piye to kang? (hal.9)

Dari percakapan di atas alur buku ini dimulai. Ke dua tokoh dikemas dengan rasionalisasi kebudayaan berbahasa Jawa Timuran dan Jogja dengan nuansa paseduluran yang angglek. Ke dua tokoh yang digambarkan sebagai momentum padatan ulang baik fisik maupun psikologis K.H Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari kemudian memasuki wilayah perbincangan panjang-lebar seputar carapandang mereka berdua terhadap organisasi yang meraka dirikan dari kontek (praktek) kekinian. Beberapa alur suspansi terbangun dengan perdebatan kedua tokoh yang saling mengkritisi, menyarankan, mengkaji kelemahan serta kekurangan masing-masing. Sungguh, pembuka teks dengan kemasan alur yang mengesankan.

Kedua tokoh NU-Muhammadiyah tersebut digambarkan berada di tengan kerumunan massa Muktamar. Namun penulis seperti menceritakan hal lain di luar teks, yakni baik aktivis NU maupun Muhammadiyah, tidak ada yang mengenali wajah sesepuh pendiri organisasi yang mereka takdzimkan. Ada apa sesungguhnya dengan ke dua aktivis organisasi besar NU-Muhammadiyah sekarang ini? Lebih jauh terjawab kemungkinannya adalah penyelewengan gerakan yang berorientasi pada kepentingan individu atau golongan semata. Tidak murni mengenali pemikiran KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari dengan hati nurani, jelaslah terhijab.

Buku ini menggambarkan potret ijtihat penulis yang mendamba pada dua hal pokok. Pertama: Metodologi formil sastra relegius. Kedua: Menawarkan genre sastra baru yang berbeda tekhnik penarasian dengan cerpen dan novel. Sastra relegius yang dianut penulis sedikit mencair dari sekedar kaidah Lesbumi (Lembaga Seniman Budayawan Muslim) yang menjadi poros tengah dari pertentangan kubu Lekra vc Manikebu. Lesbumi yang diproklamirkan Asrul Sani, Djamaludin Malik, Umar Ismail, tahun 1962, tegas menolak jargon’Politik sebagai Panglima (kebudayaan) . Lesbumi tidak menyepakati konsep Lekra jika sastra hanya sebagai budak tunggangan realisme sosial semata. Begitu juga tidak mengamini Manikebu dengan manipulasi tanggungjawab bahwa sastra hanya berkutat pada ‘seni untuk seni’. Keduanya dicakup Lesbumi dengan rel yang tidak melepaskan sastra dari fungsi sosial dan komunikatifnya dalam penuangan intern sastra. Lesbumi juga menegaskan bahwa’isme’dalam berkesenian tidak penting, kecuali sejauh mana berkesenian mampu menyertakan nilai ke-tuhanan (baca Lesbumi Strategi Politik Kebudayaan LKiS 2008. hal.61).

Cara tematik yang diusung penulis setelah wareg meriset berbagai kebobrokan sistem, dan khatam nyawang dedikasi yang dihasilkan para petarung aliran 60 tahun silam. Semua tahu! Bahwa dedengkot sastra hingga tahun 2000 ke atas, kelakuannya tidak kunjung menempati makom ke-tua-annya sebagai anutan generasi muda bangsa, kian tua, kian dancuk an. Al khasil, jika yang bernilai agama saja masih kebobolan nafsu, apalagi yang lepas dari tuntutan nilai, meskipun tak tentu. Andai pun terlepas dari kesusasteraan Indonesia, buku ini hanyalah upaya penulis untuk ndandani perselisihan rumahtangganya-NU-Muhammadiyah.

Ketegangan membaca alur buku ini akan terjedahkan tekhnik humor penulis. Pada dialog ke empat misalnya, perbincangan serius KH. Ahmad Dahlan dengan KH. Hasyim Asy’ari terhenti gara-gara seorang copet yang tertangkap dan digebuki beramai-ramai. Si copet, kaosnya bertuliskan Muktamar NU. Tak lama kemudian tertangkap seorang penodong, dan dikeroyok massa. Si penodong, kaosnya bertuliskan Muhammadiyah Gerkanku. Disusul anekdot berikutnya yang memerankan para pentolan NU-Muhammdiyah menjalin hubungan damai. Di mana PBNU dan PP Muhammadiya menggabungkan pertai baru bernama NUMU atau MUNU, Dien Syamsudin dan Said Agil Sirodj membentuk Partai Bumi Matahari (PBM), Ulil Abshar dan Daruqutni membentuk Partai ANUMU, Gus Mus dan Abdul Munir Mulkan membentuk Partai Independent NU Muhammadiyah, Muhaimin Iskandar dan Hatta Rajasa membentuk Partai Kebangkitan Nasional (PKN), sedang Yeni Wahid dan Hanif Rais membentuk Partai Gus Amin (PGA).

Wacana akan terus berpolah dari sekedar teks naratif. Berikutnya, nasib buku ini dihadapkan pada dua tataran. Pertama: Menjadi irama pembusukan militansi dari sekedar berorganisasi dan kemudian menuju damai. Kedua: Senasib dengan cerpen ‘Anjing dari Titwal’ karya Sa’adat Husein Manto yang diterjemahkan Anton Kurnia (Jalasutra 2003). Cerpen yang mengisahkan seekor anjing dengan aman blusukan ke kamp militer Pakistan dan kamp militer India di perbatasan. Namun ke dua moncong senapan segera saling membidik ketika anjing persis berada di garis perbatasan. Jangan-jangan! Anjing mata-mata? Padahal hewan tak sepantasnya dijadikan manusia.

*) Sabrank Suparno, esais, cerpenis Jombang. Bergiat di Lincak Sastra Dowong.
*) Makalah bedah buku Indonesia Tanpa Muhammadiyah dan NU, karya Teguh Santoso-Harianto di KOMA Tambakberas, pada 22 Juni 2011.

Busur Pelangi di Ngarai Sianok

MEMBACA KOVER BELAKANG MANGKUTAK DI NEGERI PROSA LIRIS
Fadlillah Malin Sutan
http://www.harianhaluan.com/

seperti lukisan
siluet seorang perempuan duduk
merentang tangan di bibir lembah Sianok
ketika senja, ketika dilihat dari jauh
seakan memegang pelangi jadi busur,
memanah ke langit

Tidak seperti biasa, membaca kumpulan puisi Mangkutak di Negeri Prosa Liris (2010) dari kover belakang, yakni memba­canya dari belakang, dimulai dari kanan, tidak dari kiri, seperti membuka Alquran, terasa lain. Bagian belakang merupakan sesuatu yang ter­ping­girkan, di zaman semua orang lebih mementingkan kulit depan. Jangan kan bagian belakang, bagian isi pun sering di anggap tidak begitu penting, karena yang lebih penting kulit depan. Sebuah puisi di kulit belakang, yang bukan bagian dari kumpulan puisi, mungkin puisi “dari kumpulannya ter­buang” (cf Charil Anwar). Kulit depan sebagai pusat, belakang sebagai pinggir dan diping­girkan, orang struktural menye­butnya oposisi binner.

Pada manusia, jika mulai membacanya berurut (linear), maka akan dimulai sejak dari kanak-kanak yang jernih tanpa dosa, membacanya dari bela­kang adalah membaca ketika dia sudah tua (namun tidak semua yang tua adalah matang). Membaca kepenyairan Rusli Marzuki Saria (RMS, bukan Republik Maluku Selatan, tetapi Rusli Marzuki Saria) dan puisinya, sebagai satu sisi, merupakan membaca manusia yang sudah menanggung ragam, manusia yang matang dengan asam garam, tidak mambaca keindahan yang bening. Bagai­mana keindahan dalam realitas menanggung ragam, keindahan yang matang dengan asam garam, tentu jauh berbeda dengan keindahan sederhana dunia kanak-kanak.

Keindahan pelangi di mata dunia kanak-kanak (puisi ini jauh lebih dahulu hadir dari novel populer Laskar Pelangi), jauh berbeda keindahan pelangi di mata seorang yang sudah menanggung ragam dan asam garam kehidupan. Keindahan pelangi di dunia kanak-kanak adalah ungkapan yang sederha­na; semua orang paham, oleh sebab itu ketika seorang penya­ir RMS yang sudah menang­gung ragam dan asam garam kehidupan, mengungkapkan kata pelangi, maka dapat dipahami tidak lagi sesuatu yang sederhana.

RMS menulis syair puisinya (di kulit belakang, yang diku­tip­kan penyair Yurnaldi); Busur pelangi senja/Terpanah duka di sarangnya/Mengalir sungai dalam banjir/Lembah Sianok di dasarnya (terima kasih kepada penyair Esha Tegar Putra yang telah bersusah payah mencari dan mengirim puisi ini kepadaku). Mungkin sepertinya keindahan sederhana, namun ketika dipahami, dia tidak lagi suatu keindahan yang sederhana.

Kata pelangi itu di tangan RMS, sudah jadi asam garam realitas budaya, sejarah, ekono­mi politik, bukan lagi kata dalam lirik lagu kanak-kanak yang bening, tetapi kata dari mulut kehidupan yang sudah malang melintang di rimba kehidupan, dengan demikian itu bukan lagi kata yang seder­hana. Makna warna pelangi di sana sudah berubah ke dalam arti keindahan multikultur.

Keindahan warna di tangan orang dewasa, sudah tidak lagi sebagai sesuatu yang netral dan jernih, bahkan warna sudah merupakan suatu kekuasaan. Partai-partai politik identik dan mengidentifikasi diri dengan warna. Di zaman Orde Baru, warna yang berkuasa adalah kuning, dan di zaman Refor­masi, warna yang berkuasa adalah biru dan pernah sebe­lum­nya warna merah yang garang berkuasa. Adapun RMS menulis di zaman ketika warna hanya boleh ada satu (eka), tidak boleh multi warna (bhi­neka), maka bukankah ini tidak lagi persoalan serderhana. Di mana orang berkorban, berkelahi, berperang hanya dikarenakan warna.

Sejarah dunia merekam dengan baik bagaimana duka yang ditorehkan oleh warna pada kulit. Warna yang sela­yaknya keindahan yang bening, jernih dan sejuk, berubah jadi duka karena kulit berwarna putih harus berkuasa, sedangkan kulit yang berwarna hitam, kuning atau coklat, harus menyingkir; jadi budak. Inilah rasial itu bermula. Bagaimana ganasnya, ideologi warna, sehingga tercatat pembunuhan terhadap kulit hitam dan kulit berwarna yang tak terperihkan.

Memaknai Warna

Sampai hari ini, kulit putih masih tetap seperti dewa, para perempuan di negara-negara kulit berwarna masih berlom­ba-lomba untuk memutihkan kulitnya, karena apa yang disebut cantik dan indah adalah kulit berwarna putih. Perem­puan yang berkulit warna hitam, kuning, sawo matang adalah buruk, sehingga perem­puan dari kulit berwarna selalu rendah diri di depan perem­puan kulit putih.

Bahkan warna sudah men­jadi identifikasi teologi, di Barat; warna putih adalah Tuhan dan Malaikat, sedangkan warna hitam, merah dan ku­ning adalah Iblis. Sebaliknya, adapun di Timur, warna kuning adalah Dewa Brahmana, warna hitam adalah Dewa Wisnu, dan warna merah adalah Dewa Syiwa. Secara teologis, warna Barat jelas menghina dan merendahkan warna Timur, namun dalam sejarah sampai hari ini warna Barat tetap berkuasa, dan warna Timur masih dipinggirkan.

Multi warna pun dilihat sebagai ancaman (bermula dari sikap Barat), dan multi warna adalah sebagai penyebab buruk­nya situasi. Huntington (2003:5), dan Liddle (dalam, Purwanto, 2007:5), pun masih seperti itu pandangannya. Fenomena inilah yang ditu­angkan, barangkali, oleh RMS, pada puisinya; Busur pelangi senja / Terpanah duka di sarangnya. Pelangi yang meleng­kung indah di lihat sebagai busur ancaman, tidak seperti dunia kanak-kanak yang meli­hat pelangi sebagai dunia multi warna yang yang indah dan damai. Dalam konteks budaya, RMS, menghadirkan pelangi pada kanvas senja, hal itu akan jadi lain artinya ketika di hubungkan dengan budaya dan latarnya.

Secara budaya dan latarnya, Lembah Sianok, berada dan dihidupi oleh budaya Minang­kabau. Adapun warna yang dominan pada senja adalah kuning, merah dan hitam, jelas itu adalah warnanya kebuda­yaan Minangkabau. Ketiga warna itu merupakan tiga wilayah Minangkabau, yakni warna kuning Luhak Tanah Data, warna hitam Luhak Lima Puluh Kota, warna merah Luhak Agam. Pada hakekatnya inilah jejak kekuasaan agama Hindu dan Budha di Minang­kabau. Oleh sebab itu, warna kuning, merah dan warna hitam sesungguhnya juga berada di wilayah teologis, warna kuning adalah lambang Dewa Brah­mana, warnanya adalah hitam; lambang Dewa Wisnu, warna merah; adalah lambang Dewa Syiwa.

Pada hari ini bangsa Mi­nang­kabau tidak lagi beragama Hindu atau Budha, maka warna itu hanya menjadi warna kebudayaan serta warna ke­bangsaan Minangkabau (profan) dan tidak lagi dalam tataran teologis, secara teologi mereka muslim tanpa warna (karena warna akan bertendensi syirik), mereka tidak menjadikan warna hijau seperti di Jawa, untuk teologis. Warna kuning, merah dan warna hitam menjadi warna kebudayaan serta warna ke­bangsaan Minangkabau (profan) dalam kemuslimannya yang dapat diterima, karena dalam Islam semua warna milik Allah.

Dalam pandangan kebuda­yaan Minangkabau tidak ada sepenuhnya yang harmoni pada budaya, sebab bila demikian maka tidak ada dinamika. Disharmoni maupun harmoni, disasosiasi maupun asosiasi; dan konflik akan selalu ada. Menurut kebudayaan Minang­kabau adalah salah bila menga­takan konflik sebagai faktor yang memecah belah dan merusak kesatuan. Tanpa kon­flik kebudayaan tidak maju, tidak ada perubahan. Inilah yang disebut dalam estetika kebudayaan minangkabau “bersilang kayu dalam tungku, begitu api baru hidup, di sana nasi masak” (basilang kayu dalam tungku, disinan api mangko iduik, disinan nasi mangko masak).

Konflik tidak identik de­ngan penganiayaan dan penin­dasan dan tidak selamanya termanifestasikan oleh penza­liman. Adalah benar, kita menentang kejahatan, tetapi tidak bijak mematikan konflik dan mengkambinghitamkan konflik. Menentang ketidak­adilan adalah sesuatu yang legitimat, akan tetapi menyama­kan konflik dengan penindasan dan penganiayaan adalah kesala­han tragis.

Bagaimana alam lembah seperti ibu pertiwi, perempuan, bunda kandung, karena Mi­nang­kabau adalah negeri pe­rem­puan, sangkutan baju yang setia adalah dalam pengertian ‘home’ bukan ‘house’. Adapun estetika kebudayaan Minangka­bau, yang dihadirkan RMS pada bait selanjutnya merupa­kan sebuah estetika alam terkembang jadi guru; dikata­kannya; Di tubir ngarai curam/Tumbuh enau dan bunga lala/ Seperti sangkutan baju yang setia/Di rumah pengantin baru/Lembah biru/Yang rindu. Seakan suatu lukisan siluet seorang perempuan duduk merentang tangan di bibir lembah Sianok ketika senja, sehingga ketika dilihat dari jauh seperti memegang pelangi jadi busur, memanah ke la­ngit.

(Pengajar Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Andalas, Padang) 03 April 2011

Hakikat Bahasa, Mantra, dan Tanggung Jawab

(Tanggapan atas buku Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri)
Mahmud Jauhari Ali
http://sastra-indonesia.com/

Apakah yang terbayang di benak Anda ketika membaca judul saya di atas? Wujud bahasakah? Dukun yang sedang membaca mantra? Seorang lelaki yang sedang menunaikan tanggung jawabnya? Atau apa?

Hari itu, di sebuah ruang belajar, saya pernah menyimak sebuah pertanyaan singkat, “Apakah bahasa itu?” Mungkin Anda juga pernah mendengarnya. Mungkin juga tidak. Mengenai pertanyaan tersebut, banyak orang menjawabnya dengan kalimat sederhana, “Bahasa ialah alat komunikasi.” Pertanyaannya sekarang adalah, benarkah bahasa itu memang alat komunikasi?

Sebelum kita masuk ke wilayah yang lebih jauh menyangkut hakikat bahasa, dan juga menanggapi buku karangan Nurel Javissyarqi yang judulnya saya tuliskan di atas itu, saya katakan terlebih dahulu, bahwa saya bukanlah seorang linguis atau pun sastrawan hebat. Dalam hal ini saya hanyalah seorang penulis yang ingin menuliskan apa yang saya ketahui saja.

Baiklah, kembali ke pertanyaan apakah bahasa, sekilas tidak salah jika bahasa diartikan sebagai alat komunikasi. Mengapa? Sebab, fungsi utama bahasa memanglah sebagai alat penyampai pesan dari pembicara kepada penyimak, atau dari penulis kepada pembaca. Namun, apakah argumen itu sudah kuat dalam kajian yang mendalam untuk menjadi landasan dalam pendefinisian bahasa?

Saya yakin semuanya akan sepakat bahwa fungsi utama bahasa ialah sebagai alat komunikasi. Akan tetapi, fungsi tidaklah sama dengan batasan atau definisi, bukan? Jadi, jika ditanya apa salah satu fungsi bahasa, jawabannya yang benar ialah alat komunikasi. Dengan demikian, “alat komunikasi” bukanlah definisi bahasa, melainkan salah satu fungsi bahasa saja.

Nah sebenarnya pertanyaan apakah bahasa ini menyangkut hakikat bahasa itu sendiri. Ketika kita mendengar kata “bahasa”, yang muncul di dalam otak kita ialah “kata”, “frasa”, “klausa”, “kalimat”, dan seterusnya. Kata dan lainnya itulah bahasa di tiap-tiap tatarannya. Secara mudah, baik kata maupun yang lainnya itu sebenarnya ialah lambang bunyi. Dan, lambang bunyi tersebut merupakan wadah makna yang menghubungkan antara lambang seperti kata dengan rujukannya. Misalnya, kata mata merupakan wadah makna yang berbunyi ‘indra di tubuh makhluk hidup untuk melihat’. Makna ini menghubungkan kata mata dengan rujukannya berupa benda bulat yang melekat di bagian wajah tubuh makhluk hidup untuk melihat.

Jadi, ketika kita mendengarkan orang mengucapkan, “Selamat pagi!”, berarti kita mendengarkan orang mengucapkan bahasa. Atau, saat ada seorang anak kecil mengucapkan kata “Enak.”, dia telah mengucapkan bahasa, yakni bahasa Indonesia.

Jika kita cermati dengan saksama,“Selamat pagi!” dan “Enak.”, semuanya memiliki aturan atau bersistem. Perhatikan saja, “Selamat pagi!” tidak diucapkan dengan pagi selamat dan “Enak.” tidak diucapkan kane, anek, neak, atau kena. Ini membuktikan bahwa bahasa itu bersistem dan sistem itu berlaku secara konvensional oleh suatu kelompok manusia atau masyarakat bahasa. Sebut saja salah satu kelompok manusia yang saya maksud itu ialah warga Indonesia. Saya, Anda, dan lainnya termasuk di dalam kelompok manusia itu yang sepakat secara konvensional atas bahasa Indonesia, baik kata dan lainnya.

Dengan demikian, kiranya sudah dapat kita tangkap apakah bahasa yang sejatinya merupakan hakikat bahasa itu sendiri, yakni sistem lambang bunyi yang arbitrer (mana suka) dan secara konvensional digunakan untuk kepentingan manusia, seperti berkomunikasi, bekerja sama, dan membangun bangsa dalam suatu masyarakat bahasa.

Dalam kaitannya dengan masyarakat bahasa ini, dikenal istilah kreativitas linguistik. Contoh nyata dari kreativitas itu ialah, huruf-huruf latin yang jumlahnya tak sampai seratus buah, bisa dibuat kata, kalimat, paragraf, dan lainnya yang tak terhingga jumlahnya. Buku-buku berhuruf latin yang jumlahnya sangat banyak di dunia ini pun, sejatinya juga dibentuk dari huruf-huruf dengan jumlah yang tak terlalu banyak itu. Bayangkan saja, seorang penyair memanfaatkan huruf latin untuk dibentuk menjadi kata, larik, bait, hingga menjadi banyak puisi yang terhimpun dalam buku antologi puisi. Begitupun nenek moyang kita dulu, dari huruf-huruf, mereka membuat banyak mantra. Ya, mantra yang memiliki makna dan maksud untuk ditujukan kepada roh dan lainnya.

Tentunya agar bisa membuat karya semacam puisi mutahkhir atau pun mantra, dibutuhkan kompetensi bahasa termasuk mengerti makna dari kata yang digunakan pembuatnya untuk menghasilkan karya bermutu.

Nah, menghubungkan perihal bahasa di atas itu dengan buku Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri karangan Nurel Javissyarqi (terbitan Pustaka Pujangga, Mei, 2011), menurut saya sangat menarik. Sejauh mana kemenarikan itu? Silakan ikuti bahasan saya berikut ini.

Kata-Kata harus Bebas dari Pengertian

Dalam buku Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan SCB, Nurel Javissyarqi terkesan langsung menghubungkannya dengan mantra. Hal ini sesuai dengan SCB dalam kata-katanya yang ingin mengembalikan kata kepada mantra. Menurut SCB, mantra tak bermakna sebagai bagian dari pemikiranya untuk melepaskan kata dari pengertian. Dan, pada buku itu terlihat jelas Nurel menolak penyataan SCB bahwa kata harus bebas dari pengertian tersebut.

Nurel beropini bahwa mantra itu sendiri mengandung makna agung untuk ditujukan kepada roh dan lainnya. Dengan kata lain, mantra tanpa makna tidak akan mujarab. Lalu apakah persoalannya sekarang sudah tuntas sampai di situ? Ternyata tidak. Sebab, muncul pertanyaan baru, apakah benar mantra tanpa makna seperti kata SCB? Ataukah memang memiliki makna seperti yang dikatakan Nurel?

Untuk menjawab dua pertanyaan pilihan itu tentu kita selayaknya kembali kepada apa sebenarnya hakikat bahasa. Kata, sesuai dengan ilmu linguistik yang saya paparkan di atas, merupakan wadah makna. Tentunya, makna, maksud, dan pengertian tidak bisa dilepaskan dari kata itu sendiri. Mengapa?

Sebab, kata tanpa makna, maksud, atau pengetian, menjadikan kata itu kosong. Serupa dengan kaleng bekas wadah kue kering yang sudah habis kita makan. Misalnya kata pintu, jika dilepaskan dari maknanya, kata itu tidak akan berfungsi apa-apa. Itu sama saja dengan wujud-wujud seperti lopi, meka, juha, dan lainnya yang tanpa makna dan tanpa fungsi apa-apa. Coba renungkan, apakah lopi, meka, juha bisa kita gunakan untuk meyampaikan pesan? Tidak bukan? Sebaliknya, jika makna, maksud, atau pengertian yang dilepaskan dari kata, semuanya itu akan kehilangan wadahnya. Dan, ujung-ujungnya akan dicari wadah atau kata lain untuk mewadahi makna yang dilepaskan dari kata awalnya.

Wadah makna itu sangat penting sebagai penamaan dalam komunikasi. Sebagai gambaran singkat, dulu orang belum bisa membuat komputer sehingga orang-orang tidak mengenal kata computer. Kemudian dengan kegigihan orang, terciptalah benda baru yang bisa digunakan untuk mengetik, mendesain gambar dan sebagainya. Untuk mewadahi atau menamai ciptaan baru manusia itu, dicarilah dan dipilihlah secara artbirter (mana suka) dengan nama computer. Pertanyaannya, apa jadinya jika kata dan makna dipisahkan satu sama lainnya?

Nah, selain kata, sebenarnya sesuatu di luar lingual atau nonverbal pun memiliki makna. Tidak percaya? Perhatikan ilustrasi berikut.

Siang itu Fajar membujuk Hena makan di warung sederhana di ujung kampus. Fajar sudah berusaha keras membuat pacarnya yang super elit itu mau mengikuti kehendaknya. Tapi sayang, Hena diam saja. Beberapa waktu Hena masih diam dan tak lama kemudian Fajar menyerah. Ya, dia berhenti membujuk pacar kesayangannya yang cantik itu. Mereka pun akhirnya makan siang seperti biasanya di rumah makan yang mewah dengan harga selangit.

Dari ilustrasi itu kita bisa mengetahui makna dari diamnya Hena, yakni ‘tidak mau makan di warung makan sederhana di ujung kampus mereka’. Dengan diam itu, Fajar menyerah dalam bujuk rayunya. Diam termasuk nonverbal, tapi memiliki makna. Apalagi dengan bahasa verbal? Tentu memiliki makna, bukan.

Melihat fakta emperis dan pembahasan di atas, jelaslah bahwa kata tidak bisa dilepaskan dari makna, maksud, dan pengertian. Dengan kata lain, kata yang merupakan lambang selalu akan menjadi wadah dari makna, maksud, dan pengertian yang menghubungkan dengan rujukannya, baik benda maupun konsep. Jika demikian, kata-kata dalam mantra pun sebenarnya memiliki makna. Perhatikanlah mantra berikut ini.

Bahasa Arab dan Banjar …………………….Bahasa Indonesia

Bismilahirrahmanirahim……………Dengan nama Allah Tuhan
…………………………………………….Yang Maha Pengasih
…………………………………………….lagi Maha Penyayang
Kecuali pandira ini bagarak………Kecuali bendera ini bergerak
Maka maling kawa bagarak………Maka pencuri bisa bergerak
Barakat La ilahaillah………………..Berkat tiada Tuhan malainkan Allah
Muhammadarasulullah……………..Muhammad adalah utusan Allah

Tak ada satu kata pun yang tak bermakna dalam mantra di atas bukan? Dan, pembuatnya mampu membuat mantra itu dengan ditunjang kompetensi bahasanya termasuk dalam hal makna dari kata-kata yang digunakannya itu. Kalau pun ada kata-kata yang hanya bunyi saja di dalam mantra, itu mengandung maksud tertentu yang dimengerti oleh si pembuatnya untuk ditujukan kepada roh dan lainnya. Dan, pembuat mantra harus memiliki komptensi bahasa dulu baru bisa membuat mantra.

Intinya, antara kata dan makna tidak bisa dilepaskan. Dan, makna itu sangatlah penting. Karena itulah, ada ilmu semantik yang membahas soal makna dan wadahnya. Untuk kata-kata yang terkesan hanya bunyi tanpa makna dalam mantra, dikaji khusus dalam semantik maksud.

Kata Pertama adalah Mantra

Di bagian terdahulu dari tulisan ini sudah saya katakan bahwa dalam masyarakat bahasa ada istilah kreativitas linguistik. Seorang penyair misalnya, memanfaatkan huruf latin untuk dibentuk menjadi kata, larik, bait, hingga menjadi banyak puisi. Begitupun nenek moyang kita dulu, dari huruf-huruf, mereka membuat banyak mantra. Tentunya agar bisa membuat karya semacam puisi mutakhir atau pun mantra, dibutuhkan kompetensi bahasa termasuk mengerti makna dari kata yang dia gunakan untuk membuat karya bermutu.

Jadi, nenek moyang kita membuat mantra dengan berdasarkan kompetensi bahasa. Di sini jelas, sebelum membuat mantra, nenek moyang kita sudah mengenal kata dan mengetahui maknanya. Bisa dikatakan, sebelum mantra diciptakan, terlebih dahulu harus ada kata dengan kandungan maknanya. Atau dengan kata lain, kata dan makna lebih dahulu ada sebelum adanya mantra. Dengan demikian, tentunya tidak mungkin yang belakangan diciptakan—mantra—menjadi awal dari yang sebelumnya telah ada (kata dan makna).

Nah inilah yang dipersoalkan oleh Nurel dalam bukunya yang berkover warna dominan merah itu. Secara terang-terangan, Nurel menolak pernyataan SCB bahwa kata pertama ialah mantra. Saya pun secara objektif tidak sependapat dengan pernyataan SCB tersebut. Mengapa? Karena, sudah jelas bahwa mantra itu diciptakan setelah ada kata. Jadi, kata pertama bukanlah mantra. Kalau benar penyataan SCB itu bahwa kata pertama ialah mantra, lalu misalnya di dunia ini kata yang pertama ialah makan, apakah kata makan itu mantra? Tentunya kata makan bukanlah mantra. Melainkan, kata makan bisa menjadi kata untuk membuat mantra.

Penyair Tidak Bisa Dimintai Pertanggungjawabannya

Siapakah penyair itu?
Apakah dia wali Tuhan di bumi? Rasul yang membawa wahyu? Atau Tuhan itu sendiri?

Ada yang mengatakan bahwa penyair disebut juga sastrawan. Nah, kata sastrawan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan lema yang tergolong nomina dengan beberapa makna di dalamnya. Makna-makna itu adalah ’ahli sastra’, ’pujangga’, ’pengarang prosa dan puisi’, ’(orang) pandai-pandai’, dan ’cerdik cendekia’.

Batasan itu secara umum memasukkan penyair ke dalam golongan sastrawan. Dan, setinggi apapun penyair hingga dia dimasukkan dalam kaum sastrawan, tidak serta merta membuatnya bebas dari tanggung jawab. Penyair tetaplah manusia. Dia tak bisa menjelma malaikat atau lainnya. Semua manusia, termasuk penyair akan mempertanggungjawabkan segala amalnya. Jika salah, dia dihukum dan jika benar dia akan mendapatkan ganjaran yang baik. Jangankan kata dalam bentuk puisi tertulis atau diujarkan di atas panggung, bisikan hati penyair yang belum menjelma kata-kata dan perbuatan lainnya pun dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Tuhan kelak.

Dalam tataran manusia saja, perkataan siapa pun selalu menimbulkan efek. Bisa negatif, bisa pula perkataan kita berdampak positif bagi orang lain. Jika berdampak negatif, bukan hanya di akhirat kita mempertanggungjawabkannya, tetapi di dunia kita juga harus mempertanggungjawabkan perkataan itu. Bahkan, bisa jadi pertanggung jawabannya dengan kehilangan nyawa atau kematian.

Sehubungan dengan dunia puisi, SCB menyatakan penyair tidak bisa dimintai pertanggungjawabannya. Dan, pernyataannya itu ditolak oleh Nurel Javvisyarqi. Menurut Nurel, penyair tidak bisa disamakan dengan Tuhan. Saya pun secara objektif dan sesuai penjelasan di atas itu, menolak pernyataan SCB tersebut.

Berkaitan dengan efek, pernyataan SCB itu dapat menimbulkan kebebasan tingkat tinggi. Bayangkan saja, jika penyair tidak dimintai pertanggungjawabannya, tentu penyair akan sesukanya menggunakan kata. Kata-kata yang tak patut dikatakan semisal yang porno, kotor, dan lainnya pun akan menjadi halal dikatakan oleh penyair. Sebab, penyair tidak mempertanggungjawabkan kata-katanya. Ini kekebasan yang sangat tidak diharapkan. Apabila hal ini dikaitkan dengan Licentia peotica dalam sastra pun, kurang sejalan. Licentia poetica pun yang ideal memiliki batasan agar tidak melampaui batas kewajaran, termasuk memperhatikan aspek tanggung jawab dalam berkarya.

Penyair yang baik, selayaknya memperhatikan setiap kata yang digunakannya untuk membuat puisi sebelum dipublikasikan ke tengah masyarakat. Ini penting untuk menghindarkan tafsiran-tafsiran yang tidak diharapkan.

Nah, ketiga hal di atas itulah yang menurut saya merupakan inti dari buku Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri karangan Nurel Javissyarqi, sang pengelana dari bencah Tanah Jawa itu. Dan, hanya inilah secuil tulisan yang dapat saya sampaikan. Sejatinya kebenaran hanya milik Tuhan dan jika ada yang tak sejalan dengan pemikiran saya di atas, itu hal wajar. Salam takzim dari saya di Tanah Borneo!

Kalimantan Selatan, 8 Juni 2011
Sumber: http://tulisanbaru-mahmud.blogspot.com/2011/06/hakikat-bahasa-mantra-dan-tanggung.html

Jumat, 08 Juli 2011

Lelaki Penghias Kubur

Aguk Irawan MN*
Minggu Pagi, Juli 2011

TAK bisa dipungkiri, bagi banyak orang sejauh mata memandang, harta dan kehormatan itulah kebahagiaan. Orang mengejar mati-matian agar menjadi pejabat, tidak lebih tujuannya adalah demi itu. Menjadi pejabat, atau orang terhormat tanpa materi adalah semacam aib besar. Tetapi tidak pada seorang lelaki tua. Di keheningan pagi yang buta, ia seperti berkelakuan aneh, padahal orang seantero negeri ini tahu, kalau ia adalah lelaki terhormat dan kaya. Ia terliihat sedang membongkokan tubuhnya, membersihkan sebuah kuburan di halaman rumahnya, dan kuburan itu masih tanpa nisan, tanpa nama, tapi selalu saja terlihat seperti ada bekas siraman bunga mawar. Dan bau harumnya semerbak sampai ke jalan-jalan.

Ada yang aneh di kuburan itu, kalau dilihat dari seberang jalan ia nampak lapuk dan berlumut hitam, namun bila diperhatikan lebih lama kubur tersebut nampak eksotik dan bersih. Tanpa menghiraukan sesiapa yang sesekali mencuri pandang pada dirinya, lelaki tua itu terus saja membengkokkan tubuhnya, ia terlihat sangat sibuk, tangannya yang hampir jompo itu terus mencabuti rumput-rumput liar yang tumbuh di sekitar kubur tersebut. Apa yang dikehendakinya? Siapa dia sebenarnya? Kenapa tiap pagi ia selalu saja terlihat mematut-matut diri di kuburan tunggal itu? Tepatnya di depan luas halaman rumahnya yang mewah, dengan sebuah taman indah, penuh tumbuh bunga-bunga lebat berkilaun, dan tak jauh dari kuburan itu ada air bergemericik, seperti perak yang berjatuhan di sebuah kolam.

Tak dipungkuri sudah sepekan lebih ia jadi bahan gunjingan masyarakat setempat. Tiap pagi semua mata orang kampung yang kebetulan sedang lewat persis di depan rumah mewah itu, setiap itu pula mereka tak luput, dan selalu menyunggingkan pandangannya. Dan setiap kali mereka menolehkan mukanya ke sebuah taman yang mewah dan ketika mata mencercap pemandangan sebuah kuburan itu, mereka selalu menyisakan tanda tanya. Kuburan siapa gerangan? Lalu tanda tanya itu menyeruak dan beranak-pinak menjadi desas-desus, dugaan telah terjadi pembunuhan gelap di rumah mewah itu. Sebab tak pernah ada kabar penghuni rumah mewah itu ada yang meninggal, tapi kenapa tahu-tahu ada kuburan di situ? Bahkan sempat seorang warga telah memfitnahnya bahwa dalam keluarga tersebut telah terjadi pertikaian dahsyat, sehingga mengakibatkan kematian.

“Tanya saja pada Pak Kades!” Kata Bulek Ndari, seorang perempuan setengah baya, usia kira-kira tiga puluh lima tahun, pemilik warung kelontong, saat temanku menanyakan perihal kuburan itu.

Teman yang bertanya itu memang sedari awal sudah mencurigai kuburan yang terdapat di halaman rumah mewah itu, tapi ia tak ada nyali untuk mengorek lebih jauh perihal ganjil itu, ia sering bertanya soal kuburan itu kepada teman-teman kami, tapi kemudian ia lupa lagi, dan kembali ia berpikir untuk kehidupannya sendiri, untuk perutnya, dan untuk perut keluarganya yang terus harus diisi. Tapi, tiap kali ia kebetulan sedang lewat di depan rumah mewah itu, melihat kuburan dan mencium aroma bunga mawar, ia kemudian ingat lagi, dan bertanya-tanya, soal kuburan itu.

Pernah pada suatu ketika, ia mengajakku untuk nekat bertamu, dan berkenalan lalu ingin bercakap-cakap dengan lelaki tua itu, tapi kita sama-sama mengurungkan niat. Sebab buat orang seperti kami, betapa merindingnya bulu kuduk ini, jika masuk ke halaman rumah mewah.

Belum beberapa langkah kami berjalan, seseorang berseru dari dalam warung, yang kebetulan tetangga paling dekat rumah mewah itu.

”He, aku sudah tahu tentang lelaki tua itu!”, selorohnya tiba-tiba.

”Oh, ya?!” Jawab kami serentak.

”Dia itu ayah kandungnya Pakde Surip?”

Saat pemilik warung menyebut nama Surip, tak ada yang asing di kepala kami, sebab memang hanya Suriplah satu-satunya orang kampung kami yang berhasil menjadi militer dan terpandang, hingga ia berpangkat Letnan Kolonel. Banyak orang kampung yang memuji-muji namanya, karena keberhasilannya, bahkan saat anak-anak masih kecil sering dikenalkan oleh ibunya dengan nama Surip, agar kelak nanti anaknya bisa seperti dia.

Rumah Surip yang mewah itu, di hari-hari biasa memang terlihat sepi dan sunyi, sebab ia sering ke luar karena Dinas. Sementara lelaki tua itu tinggal belum berapa lama di rumah itu. Dan sejak kehadiran lelaki tua itu, sejak saat itu pula tahu-tahu terlihat begitu saja gundukan tanah di halaman rumah mewah itu.

“Tahu dari mana kalau itu ayahnya Pak Surip?”, kata temanku.

“Pak Kades yang memberi tahuku, saat membeli rokok kemarin.”

”Nah, begitu dong. Itu baru namanya tetangga!” Celetuk temanku. Lalu segera saja temanku itu menanyakan perihal kuburan itu, tapi tiba-tiba percakapan menjadi sunyi, dan mata, hanya bertemu mata, saling memandang saja. Tak ada percakapan lebih lanjut mengenai kuburan itu.

***

Matahari berputar untuk menuntun manusia bertemu dengan hari berikutnya. Saat itu matahari baru saja merangkak setengah penggalan. Namun, karena sudah banyak desas-desus di desa kami, dengan sangat terpaksa, kami akhirnya sepakat membawa lelaki tua dan asing itu untuk bertemu dengan Pak Kades. Ya, semacam untuk klarifikasi prihal kuburan aneh itu, karena kegenjilan kami sudah cukup bukti, bahwa sejak lelaki itu tinggal dalam rumah mewah itu, sejak itulah kuburan ada.

Dengan cara ramai-ramai, tentu bisa dibilang kurang sopan, kamipun membawa lelaki tua itu menghadap Pak Kades. Tak lama, lalu ia memperkenalkan dirinya, dan mengaku bahwa ia dahulu lahir dan tinggal di desa ini. Ia telah meninggalkan desa ini saat usianya masih dua puluh sembilan tahun dan baru tiga bulan terakhir ini, ia pulang kampung. Ia mengatakan bahwa Surip adalah satu-satunya anaknya yang selamat. Sebab istrinya, juga kedua anaknya yang lain meninggal dalam genggaman penjajah Belanda, saat gerilya, kemudian ia menyebutkan deretan nama-nama kerabatnya yang lain, ladang dan rumah orangtuanya, dan nama tetangga yang pernah tinggal di dekat rumahnya. Lama ia bertutur tentang kampung dan peristiwa masa kecil serta remajanya yang pernah dialaminya di desa kami, sekadar meyakinkan warga dan kepala desa bahwa dia memang orang sini. Meski logat bahasanya terlihat aneh bagi penduduk desa ini.

Nyaris tak ada warga yang percaya dengan perkataan lelaki tua itu. Bahkan kebanyakan dari kami menganggap bahwa itu cerita bualan saja. Namun, meski begitu, warga dan Pak Kades menghormati dengan cara membiarkan ia bercerita. Suasana hening sesaat, tak ada yang memberi komentar atas pengakuan lelaki tua itu, namun seorang nenek rentah dengan kapur sirih di bibirnya, tiba-tiba muncul di balik pintu rumah Pak Kades. Rupanya dari kamar sebelah ia menguping cerita lelaki tua itu. Kemudian nenek yang tak lain ibu kandung Pak Kades itu berkata-kata.

“Pak Karta?” Kata nenek berambut putih itu. ”Aku mengingatmu, ya aku mengingatmu. Masa lalu. O, kaulah pemimpin gerilya yang menyerang pertahanan Belanda saat itu, saat penjajah memaksa mengambil hasil panen penduduk desa ini. Dan sejak saat itu kamu menghilang. Kukira engkau sudah meninggal, bersama dengan mereka. Betulkah namamu Karta?”.

”Betul namaku Karta.”

Suasana riuh tiba-tiba menjadi nyinyir dan sunyi . Warga dan Pak Kades mengamati ibunya, begitu saja mereka berpelukan dengan lelaki tua yang bernama Karta itu. Semua mata warga memandang, juga menyaksikan masa lalu sedang berputar kembali di depan matanya. Masa gerilya yang tak seorangpun diantara mereka pernah merasakan pahit getirnya perjuangan untuk melawan penjajah.

“Kau sekarang pulang ke kampung ini, dan anakmu telah menjadi Letnan, tentu kau berbahagia sekali Karta?” Suara nenek itu terbata-bata.

“Bahagia? Aku sendiri bertahun-tahun lamanya sedang bertanya soal itu?”, jawabnya.

“Ya pasti kau bahagia, anakmu menjadi orang terpandang, meski istrimu telah lama tiada?”

Karta diam, tak bisa menjawab apa-apa lagi.

“Sudah hampir lima puluh tahun ya, engkau tak pernah nengok ke kampung ini. Dimana saja engkau Karta?”

Karta benar-benar telah kehilangan kata-kata. Saat nenek itu mengingatkan lagi masa lalunya. Dan dalam hatinya pun terbesit oleh sesuatu, “kau tentu telah bahagia Karta?”, ia benar tak bisa memahami selama hidupnya, apa arti kebahagiaan itu? Pangkat, kehormatan, dan harta benda yang ia miliki, nyatanya telah membuat hidupnya semakin terasing. Karena kebahagiaan menurutnya hanya ada dalam angan-angan, atau kebahagian itu lebih tepatnya hanya ada pada diri orang lain saja. Begitulah tiap ia melihat kebahagiaan, tiap itu pula ia membayangkan pada kehidupan orang lain, dan tak ada pada dirinya. Padahal ia mempunyai segalanya apa yang orang sebut dengan bahagia. Satu-satunya yang ia tahu makna kebahagiaan, hanyalah pada saat hari-hari gerilya, perang melawan penjajah. Masa-masa perjuangan itulah hari-hari yang menyenangkan, haru biru melawan musuh-musuh. Sapaan merdeka, di tiap tikungan jalan, saat itulah kebahagian memukau dirinya.

“Kau ingat Kar?”, kata nenek itu sambil jalan tertatih membawa tongkatnya, “lima puluh tujuh tahun yang lalu, sebelum kau beristrikan Yu Sri, ketika pagi-pagi sekali kau sedang buang hajat, tiba-tiba seorang tentara Belanda memberondongmu, dan dua peluru menyasar pinggangmu, lalu kau lari terbirit-birit, ke persembunyian kita di semak-semak lorekali (utara sungai)”

“Ya aku ingat! Tapi itu sudah lama berlalu.”

“Saat kau selamat dan bisa berkumpul dengan kami, bau buang hajatmu yang tak selesai itu bikin hiburan teman-teman yang sedang makan beramai-ramai!”

Diingatkan itu Karta hanya senyum sedikit saja. Dan ia diam lagi, kini pikirannya diam-diam menyusup ke wilayah yang jauh lima puluh tujuh tahun lamanya, masa-masa perjuangan.

“Sebenarnya aku sudah lupa, tapi sekarang kau ingatkan lagi. Ya, waktu itu seperti sekarang ini, masih pagi. Orang-orang kampung kita sudah meruncingkan bambu, siap-siap melawan Belanda. Kami berperang dengan cara gerilya, sebagian ada yang mengumpat di semak, sebagian memanjat pohon, dan sebagian yang lain ada dalam lobangan tanah. Dan saat itu kukira tak ada Belanda, makanya aku buang hajat seenaknya, tak tahunya, e Belanda dari jauh menembakku?”

“Dan akulah perempuan yang pertama kali merawatmu itu?”

“Ya.”

“Masa itu aku masih gadis?”

“Ya, aku masih ingat, aku tersipu, saat kau merawatku penuh dengan perhatian. Dan saat itu, aku tahu kau mau bicara, akupun menunggunya, tapi tak ada apa-apa, lalu kita sibuk bersembunyi, karena Belanda menyerang.”

“Kala itu sebenarnya aku ingin mengucapkan sesuatu yang indah buatmu, agar bisa memberimu semangat untuk bertahan dari siksaan peluru. Tapi bagaimana itu bisa kuucapkan. Sementara Front Timur banyak yang terluka. Bukankah saat itu sebagai perempuan, merawat lelaki yang terkapar dari perang adalah segalanya?”

“Ya, aku mengerti!”

“Begitulah kalau ada warga yang kena peluru, kami langsung merawatnya, dan di waktu malam-malam yang sunyi, kami menghibur mereka, kami bernyanyi, kadang juga menembang. Dan mereka dapat melupakan lukanya dan segala hal yang menekan. Kerana perjuangan masih harus diteruskan sampai titik darah penghabisan!”

“Dan aku sekarang tak bisa bahagia seperti dulu. Sekarang malah aku sering menangis. Menangisi segala sesuatu yang sudah hilang?”

“Untuk apa menangisi masa lalu?”

“Aku tahu itu tak ada gunanya. Tapi aku selalu mengingatnya. Dulu kita bisa berbuat banyak hal yang berarti untuk negeri ini. Dan alangkah bahagianya hidup dalam kebersamaan mempertahankan negeri. Kita bisa berjuang sesuai apa yang kita impikan. Berjuang untuk merdeka, ya merdeka!”

“Tentu hidup seperti itu tidak akan selamanya berlangsung. Karena suatu masa akan berhenti pada waktunya. Dan perang telah selesai, bahkan seperti yang kita harapkan dulu, yaitu kita mendapatkan kemerdekaan!”

Hati Karta menjadi remuk dan berteriak, meneriakkan banyak kenangan yang datang mengharu biru, saat-saat masa gerilya, ia mencoba membuang segala kerisauannya, tapi ia tak mampu, bahkan ia semakin tenggelam dengan masa silam yang terus berputar-putar dalam kepalanya.

“Anakmu jadi Letnan, rumahmu mewah, banyak harta, dan pernah kudengar, kau juga pernah mendapat penghormatan dari Presiden, karena kegigihanmu membela tanah air, apa yang kurang dari hidupmu?”, kata nenek itu penuh semangat.

“Di tengah-tengah kemewahan itulah aku terasing, dan tercampakkan dari hidup sebenarnya!”

Tapi nenek itu tak paham apa yang telah dikatakan Karta. Dan warga yang mengerumuni lelaki tua itu tak ada yang berbicara sepatah pun, suasana dibiarkan hanya milik mereka berdua. Karta dan Nenek rentah itu. Kurang lebih setengah jam mereka berbincang-bincang di halaman rumah, dalam kerumunan warga yang ingin mendengar ceritanya.

Dan tiba-tiba, temanku yang dari awal mencurigai perihal kuburan itu, akhirnya memberanikan diri untuk bertanya padaKarta. Karena kesempatan seperti inilah yang sedang ditunggu-tunggu, sejak ia melihat kuburan di pelataran rumah mewah itu.

“Lalu kuburan di depan rumah itu, kuburan siapa?” Tanya temanku dengan penuh penasaran.

“Itu adalah kuburan untukku suatu saat nanti!”, jawab Karta pendek.

Dan betapa terkejutnya warga, mendengar penjelasan lelaki tua yang baru tahu kalau ia bernama Karta. Mata mereka terperangah, setelah mendengarkan penjelasannya.

“Jadi kuburan itu masih kosong?”, tanya warga yang lain.

“Ya. Sebab masih menungguku?”

“Kau masih hidup, kenapa sudah tergesa saja membuat kuburan?”

“Karena itulah rumah yang sebenarnya rumah, yang tak ada satupun bisa mencegahnya untuk masuk di dalamnya. Rumah yang pasti. Karena itu aku telah mempersiapkannya.”

Kerumanan warga itu tampak keheranan. Denyut jantungnya berdetak kencang, saat mendengarkan penjelasan pak Karta lebih lanjut.

“Buatmu yang masih bugar ini?” Tanya warga yang lain sambil terheran-heran.

“Tentu”, berhenti sejenak, kemudian ia melanjutkan perkataannya.” Kalau kau berpikir seperti aku, pasti kau berbuat seperti apa yang kulakukan”

“Apa yang kau pikirkan?”, tanya warga tiba-tiba.

Karta jadi gugup, dan tersentak dari keterbebanan perasaannya yang sedang naik turun. Akhirnya kata-kata pun berhasil disusunnya.

“Kalau kau pernah mengalami seperti aku, hidup di zaman revolusi, gerilya, dan perang melawan penjajah. Pasti kau merasa sudah mati hidup di zaman merdeka seperti sekarang ini”, katanya latah dan terbata.

Kemudian lelaki tua itu meneruskan perkataanya: “Ya, hidup setelah merdeka memang seperti hidup dalam kematian. Betapa tidak? Kemerdekaan yang kami pertaruhkan dengan nyawa, darah dan segala upaya, dengan harapan kita bisa hidup di bumi percikan surga ini dengan bebas, makmur dan sejahtera, tanpa ada rintangan. Ternyata keadaannya, ya keadaannya sungguh jauh dari harapan. Di zaman merdeka ini, betapa kita sering mendengar rakyat terkena korban penggusuran, terlantar, busung lapar, dan lagi-lagi berita korupsi, kolusi dan nepotisme. Ternyata anak-anak sejarah mengisi kemerdekaannya hanya dengan cara kenyang mengisi perutnya sendiri. Inilah yang membuat aku seperti mati. Lalu aku membuat liang kubur untukku itu!”

Setelah berbicara panjang. Hati Karta bergetar. Ia ambil nafas panjang, dan matanya seperti melampaui segala apa yang dilihatnya. Mata tua yang sayu itu mengucurkan deras air hangat yang meleleh di pipinya.

“Apa kalian setuju dengan apa yang kupikir. Tiap diri dari kita harus membuat kubur dan menghiasnya!”, suara serak itu disertai dengan isak tangisnya.

“Untuk apa? Itu usaha yang sia-sia.” Celetuk salah seorang warga.

“Agar kita bisa menghitung tiap perbuatan. Sebab kuburan adalah semacam kaca tempat kita bercermin.”, sambil mengusap air matanya, Karta tetap meyakinkan warga.

“Itu namanya putus asa!”, jawab warga dengan ringan.

“Untuk mengerti, kalian memang harus pernah berjuang terlebih dahulu, seperti kami dulu, agar kalian bisa memaknai hidup, memaknai kemerdekaan ini, dan selanjutnya membuat kuburan sepertiku!”, suaranya semakin lemah.

Karta merasa tak berhasil meyakinkan warga, bahwa apa yang telah diperbuatnya adalah benar. Meski ia telah memberi penjelasan yang lebih, yang dia sendiri pada dasarnya sudah tak percaya akan semangatnya lagi. Kemudian ia pulang, pergi dari kerumunan warga yang menyesakkan itu.

Esok harinya, di pagi sekali, orang-orang kampung dikejutkan dengan berita di Layar Televisi. Panglima Jenderal Purnawirawan Sukarta, Ayahanda tercinta Letnan Surip, dini hari pukul 09.15 WIB menghembuskan napas terakhir dalam usia delapan puluh lima tahun, di kampung halamannya desa Kalipang, Kecamatan Sugio, Kabupaten Lamongan. Ia adalah pemimpin gerilya yang telah mempersembahkan seluruh jiwa raganya untuk nusa dan bangsa. Almarhum Sukarta memilih tempat tinggal terakhir di desa kelahirannya. Sekitar tiga bulan yang lalu, ia pindah ke kampung, setelah bertahun-tahun lamanya menetap di Ibu Kota Jakarta, sejak tahun 1963, tepatnya di bulan September. Purnawairawan Jenderal Sukarta memang ingin mati di tempat perjuangannya dahulu, di sisi ayah bundanya dan kerabat dekatnya, serta teman-temannya yang gugur mendahului di masa gerilya dahulu.

*Aguk Irawan MN, tiga buku kumpulan cerpennya sudah terbit, Hadiah Seribu Menara (Kinanah 2000), Sungai yang Memerah (Lanarka, 2004), Adik Berbaring di Gerobak Ayah (Arti Bumi Intaran, 2007), selain cerpen, ia juga menulis novel, puisi, esai dan menerjemahkan beberapa karya sastra bahasa arab ke bahasa Indonesia.

Nina dari Kampung

Aminullah HA.Noor
http://www.suarakarya-online.com/

Tanpa menanggalkan pakaian panjangnya, Nina langsung memba- ringkan tubuhnya pada tikar usang di sudut ruang tengah yang sekaligus jadi ruang tamu dan ruang makan. Nina lelah, tapi pikirannya tak mau istirahat. Menerawang, Nina tak mengerti mengapa ia tiba di kompleks perumahan ini.

Memang, baru pertama kali ia memasuki kompleks perumahan sederhana yang sesak dan sumpek. Nina gugup mendengar suara yang menurutnya aneh. Suara seperti itu selama ini belum pernah ia dengar. Betapa lagi ketika malam sudah larut. Ada desing dan bising kendaraan, ada teriakan memekakkan gendang telinga dan ada erangan panjang yang amat memilukan. Dan ada pula tangis anak kecil yang mungkin sangat haus dan karena itu memerlukan air susu.

Padahal, di kampungnya, Nina terbiasa dengan udara dingin kala malam dan alangkah sejuk ketika siang. Pada malam hari ia sering mendengar suara burung hantu dan binatang-binatang malam. Dan pada malam- malam tertentu ia mendengar lolongan anjing dari kejauhan. Dan lolongan yang tingkah-bertingkah dengan suara burung hantu itu menakutkan. Itu dijadikan pertanda, dalam waktu dekat kampung terkena musibah. Entah musibah apa.

Akan tetapi, di kota? Selain gerah, Nina merasakan hal lain dan kadang-kadang tak terterima oleh akal sehatnya. Ya, seperti suara yang menurutnya aneh itulah. Serta-merta ia merasa menyesal terdampar di kota itu. Betapa lagi, selama ini, baru sekali ia ke kota. Itu terjadi ketika ia kanak-kanak, dulu, ketika ikut berdarmawisata bersama teman-temannya di Sekolah Dasar sebelum libur panjang. Biarpun tak mungkin dilupakan, tetapi peristiwa pertama kali ke kota itu bukan kejadian yang membahagiakannya. Soalnya, dalam perjalanan itu ia kehilangan uang, enam puluh ribu rupiah uang jajan dari ibunya.

Dengan demikian, selama perjalanan, ia tak sempat berbelanja sama sekali. Ia pun takut mengadukan kehilangan dompet kecil berisi uang itu kepada guru-gurunya. Dan, selamanya ia tak ingin kehilangan lagi.

* * *

Rasa sesal itu ia utarakan kepada mamak alias pamannya, kakak lelaki ibunya, yang membawanya ke kota.

"Mengapa ke kota?" polos gadis sederhana itu bertanya, tanpa menyembunyikan kegugupannya.
"Cari kerja," jawab pamannya enteng.

"Cari kerja? gadis itu balik bertanya, tak memahami jawaban mamaknya.

Si mamak menjelaskan, sebuah perusahaan yang mengelola Tenaga Kerja Perempuan Indonesia untuk kawasan Asia Selatan dan Timur memerlukan paling tidak dua ratus perempuan muda-usia untuk dikirim dan dipekerjakan di luarnegeri. Mamak-nya, pedagang kecil di kota, mengetahui informasi itu dari sebuah iklan suratkabar setempat.

"Sebagai mamak, saya bertanggung jawab mengusahakan agar kemenakan saya mendapat pekerjaan. Dalam kehidupan yang serba susah seperti kini, tiap orang harus kerja. Sebaiknya kemenakan saya itu cukup bekerja di kampung. Tetapi apa yang bisa ia kerjakan. Ke sawah dan ke ladang seperti yang dikerjakan ayah, ibu atau kakek dan neneknya? Pekerjaan seperti itu tak mungkin lagi. Jumlah warga bertambah banyak. Lahan pertanian tersedia kian terbatas. Dan hasil yang didapat pun sangat tak seimbang. Saya sendiri semestinya bisa bekerja menjadi petani di kampung-halaman. Tetapi ternyata saya harus hidup di rantau. Di kota, asal mau kerja keras, hasil yang diraih lumayan, terutama untuk hidup dari hari ke hari," si mamak merenung.

Sang mamak yang juga sudah beranak tiga itu bukan tak tahu, persis sebagaimana anak-anaknya, kemenakannya pun sebaiknya disekolahkan sebaik dan setinggi mungkin. Sekolah dan pendidikan amat penting di masa sekarang, tetapi untuk itu diperlukan biaya yang tak sedikit. Jangankan membantu kemenakannya secara finansial, menyekolahkan anak-anaknya pun ia tak sanggup. Anaknya yang tertua, yang seusia dengan kemenakannya itu, menganggur, setelah tamat SLTP. Ia menduga, ia mampu menyekolahkan anak-anaknya hanya sampai ke tingkat itu. Mampu menyekolahkan anak sampai ke tingkat pendidikan setinggi itu pun sudah sangat membahagiakannya.

Dan ia takkan begitu hirau andai ayah dari kemenakannya itu masih hidup. Ayah Nina, semendanya itu, dan ibu Nina, adik kandung si paman, tewas dalam kecelakaan tanah longsor yang menimpa kampung-halaman mereka beberapa tahun lalu. Galodo, demikian ungkapan setempat untuk musibah tanah longsor, memang merenggut puluhan nyawa warga setempat. Dua orang di antara mereka adalah ayah dan ibu Nina.

"Saya harus membantu Nina," ujar sang paman dalam hati.
* * *

Dan Nina pun sampai di sana, di kompleks itu. Dan terkapar seorang diri di atas tikar usang itu dengan penerangan redup, tiba-tiba Nina takut. Dia mengintip ke sudut-sudut kamar, tetapi dia tak menampak seorang pun. Pamannya yang membawanya dari kaki gunung tadi pun sudah tak terlihat.

"Ke mana paman, ya? tanya gadis itu.
Nina tak habis pikir. Dia tak tahu apakah pintu terkunci. Dan ia memang tak sempat membayangkan andaikan ke rumah itu, ke kamarnya, tiba-tiba datang dua atau tiga lelaki kekar tak dikenal. Dan tanpa ba-bi-bu mereka meminta Nina melepaskan semua pakaiannya. Dan andai dia coba melawan, setidak-tidaknya mempertahankan diri, lalu seorang di antara tamu-tamu tak diundang itu memegang kedua pangkal lengan, dan dua orang yang lain memegang kedua kaki Nina. Dan ketika Nina mencoba berteriak lalu lelaki itu menyumbat moncong Nina. Ketika Nina tambah ketakutan, nyaris pingsan, lalu mereka benar-benar melucuti pakaian gadis itu yang memang punya pikiran sangat sederhana.

Nina tak tahu dan mungkin takkan pernah mengerti, bahwa di kompleks perumahan itu pernah, bahkan lebih dari tiga kali, terjadi pemerkosaan terhadap perempuan. Satu kali dilakukan terhadap siswi sekolah menengah. Pemerkosanya mantan pacar. Pemerkosaan kedua dilakukan terhadap seorang janda, dilakukan pada pagi hari. Pelakunya adalah seorang pemuda yang setelah berkali-kali menonton film lelaki-perempuan bersebadan di layar VCD, benar-benar tak dapat menahan nafsu birahi seksualnya. Dan, pemerkosaan terakhir dilakukan terhadap seorang perempuan yang hamil tiga bulan. Pelakunya diduga lelaki tetangga sebelah yang sampai kini masih buron.

Ketika mamak-nya yang tak terlihat, Nina tak sempat berpikir, bahwa oleh pamannya itu sesungguhnya ia ingin dipekerjakan di mana, dan bekerja sebagai apa. Kecuali ke sawah dan ke ladang, baginya pengertian bekerja tak satu apa pun. Ia tak mengenal konsep bekerja menjadi pembantu rumah-tangga, bekerja di pabrik atau di rumah bordil. Ia sama sekali tak mempunyai gambaran bekerja di luar negeri. Luar negeri! Gambarannya tentang luar negeri tak lebih daripada negeri-negeri atau mungkin cuma awan-gemawan di balik gunung yang demikian jauh, di balik kampung halamannya.

Nina juga tak berharap apa-apa lagi dari ayah-ibunya, yang secara persis dia ketahui, sudah meninggal-dunia dilanda galodo. Saat kanak-kanak, ia bukan tak pernah mendapatkan kasih-sayang dari mereka. Kenangan masa kanak-kanak itu tentu saja sangat membekas. Tetapi, kini, dia berhadapan dengan keanehan dan keganjilan yang selama ini tak terbayangkan.

Bekerja di Malaysia, Arab Saudi, Timur Tengah, menjadi pembantu rumah-tangga keluarga kaya-raya? Sama sekali tak punya gambaran, dan juga sama sekali belum menerima informasi, tentang itu semua. Juga tidak dari mamaknya! Tentu saja ia tak pernah memaklumi kisah-kasih nyata nasib-malang pembantu rumah tangga yang bekerja di luar negeri. Selain sering harus segera berbadan dua, bukan tak ada fisik pekerja perempuan itu hancur sehancur-hancurnya, dianiaya dan disiksa majikan. Bahkan ada yang pulang hanya nama.

Dan, jangankan bisa berbahasa Arab, Inggris, berbahasa asing apa pun, bertutur dalam bahasa Indonesia saja pun Nina tak cukup lancar. Ia hanya fasih, sefasih-fasihnya, berbicara dalam bahasa ibunya. Tak lain, ia memang belum sempat membayangkan, bahwa kelak, bila ia memang bekerja di luar negeri, maka sedikitnya, untuk keperluan sehari-hari, ia harus mampu berbahasa setempat.

Nina juga tak berharap apa-apa lagi dari ayah-ibunya, yang secara persis dia ketahui, sudah meninggal-dunia dilanda galodo. Ia sendiri belum dapat cerita bagaimana ia sampai selamat dari bencana bah yang sangat besar. Saat masih kanak-kanak, ia bukan tak pernah mendapatkan kasih-sayang dari mereka, dari ayah-ibunya itu. Andai ayah-ibunya masih hidup, tentu saja ia bisa mendapatkan kisah getir bagaimana ia bisa selamat dari mara bahaya dahsyat itu. Tapi tidak! Bahkan, kini, ia berhadapan dengan kenyataan, keanehan dan keganjilan yang selama ini sama sekali tak pernah ia bayangkan.

* * *

Pada akhirnya, nyaris menjelang subuh, dengan kelelahan yang tak terkira, baik fisik maupun mental, seorang diri Nina tertidur di lantai kamar. Di kamar itu ia memang tak mendapatkan gangguan apa-apa. Dan ketika Nina terbangun pagi hari, mamak-nya sudah berada lagi di dekatnya. Nina tak tahu di mana pamannya bermalam. Dan, setelah menyuruh Nina membersihkan badan, mandi, ganti pakaian, si paman langsung membawa gadis itu sarapan pagi di warung kecil, tak jauh dari sana.
"Kita ke mana, Mamak?"

Entah bagaimana, tiba-tiba Nina memberanikan diri, bertanya. Pamannya tak menyambut. Setelah sarapan pagi, sang paman langsung membawa kemenakannya itu ke sebuah kantor perusahaan yang mengaku menyalurkan tenaga kerja ke luar negeri. Sesampai di sana, persisnya di sebuah aula di belakang kantor yang berpagar tinggi sekali, Nina berhadapan dengan puluhan, bahkan lebih dari seratus, gadis seusianya. Mereka adalah calon tenaga kerja luar negeri. Nina benar-benar tak mengerti. Bagaimana pun ia tak ingin bergabung dengan gadis-gadis itu.

"Mamak, pulangkan saya ke kampung," ujar Nina sebelum pamannya pamit.

Namun, pasti, di pagi itu Nina berada di aula itu. Dan, sang paman, tak sempat berpikir untuk memulangkan Nina, kemenakannya itu, ke kampung-asal.

* Muara Labuh, 20 Januari 2005

Pita Ungu Multatuli

Beni Setia
http://www.suarakarya-online.com/

Berkali-kali Nina bermimpi jadi kembang api. Terdorong ke ketinggian langit kota yang kelam, dengan bunyi bercericis yang membuat orang-orang menengadah mengawasi gerakannya melintas, lantas tiba di zenit dan meledak menebarkan aneka lentik api warna-warni dalam bentuk bola cahaya. Terbahak-bahak melihat mata [orang-orang] yang membelalak, mulut yang ternganga heran, dan kemudian lirikan pada yang di sebelah sambil berdecak kagum dan menggeleng-gelengkan kepala.

Kata-kata mereka itu, yang berkubang dalam kekaguman dan takjub keheranan, akan mengalun dan meluas seperti efek lemparan kerikil di tengah kolam yang tenang. Menjilat-jilat pematang kolam, menggoyang-goyang benda-benda yang terapung di atas muka air, dan membuat ikan-ikan resah selusupan sebelum kembali di permukaan bila goncangan jadi tenang. Celingukan memeriksa lengkung langit yang disangkanya rubuh itu tetap lengkung biru dengan sedikit hiasan awan yang meng-geliat dan melintas menjauh. Memeriksa tepi kolam dan menemukan dirinya yang tersenyum sambil menimang-nimang kerikil yang siap dilomtar ke kolam. Tertawa mendengar desah kaget dan kagum akibat lontaran kerikil di pagi hari.

***

"Aku bahagia," gumannya. Dan Nina selalu ingin mengatakan hal itu kepada setiap orang agar setiap orang tahu kalau ia memang berbahagia. Terutama kepada orang-orang kampung ketika bertemu di warung saat belanja untuk makan siang di hari libur. Ketika arisan, ketika sama-sama pergi menjenguk yang sakit, mengucapkan bela sungkawa, dan terutama ketika pergi ke hajatan perkawinan atau sunatan. Kepada orang-orang kantor yang merasa dirinya sebanding, sama-sama PNS - cuma guru bidang studi di SMP pinggiran. Ya! Padahal ia itu istri Yuwana, PNS Pemkab yang sekarang menjadi Kabag. Yang baru membeli mobil setelah mempunyai tiga sepeda motor - dengan rumah baru dengan perabotan lengkap anyar.

Ya! Tapi kenapa mereka mencibir, melengos, dan terkadang - di balik punggungnya - tertawa, meniru intonasi, caranya bicara dengan nyinyir, lalu terbahak-bahak.

Apa tidak boleh orang merasakan kebahagian, penuh dengan kebahagiaan, dan karenanya kepengen menjalarkan kebahagiaan itu pada seluruh teman dan tetangga? Apa kebahagiaan hanya boleh dirasakan dalam hati, dihayati dalam hati, dan kare-nanya dirayakan di dalam hati - dengan sedikit gejala yang diekspresikan ke luar. Bersenandung, mengganti model rambut, memakai baju baru, dan sekedar memba-wa jajan yang dibagi-bagi di kantor? Kenapa tidak boleh diperkatakan, sebagai ke-bahagiaan yang dipertontonkan - selama tidak diekspresikan secara berlebihan.

***

"Kenapa orang-orang itu?" katanya pada Muis - rekan sekantor yang lembut dan penuh pengertian, mau mendengar kebahagiaannya dan penuh perhatian bila ia mengeluhkan kesumpekan batin. Lelaki langsing dengan rambut tercukur dan tersi-sir rapi - seperti juga garis setrikaan baju seragamnya dan semiran sepatunya - itu tersenyum.

"Bukan di sana pokok persoalannya," katanya sambil terus memainkan jarinya di keyboard komputer, sambil terus menyelesaikan tugas-tugas sebagai staf. "Mereka mengapresiasi kebahagiaanmu bukan dengan gairah berbahagia yang kamu rasa-kan, tapi dengan ketidakbahagiaan mereka, bahkan dengan semacam ketersinggungan, luka karena mereka merasa dicemooh sebagai yang tidak berbahagiaan - ketika kamu mengekspresikan kebahagiaanmu."
"Jadi aku harus bagaimana?"

"Coba membungkam. Coba belajar diam, memendam kebahagian - karena itu bisa jadi duri yang melukai orang-orang yang sumpek di tengah keterpurukan."

"Tapi ...?"
"Ingat Kisah Pita Multatuli? Fenomena kita hidup untuk disalahtafsiri, selalu," katanya, sambil tersenyum. Nina tefakur. Melongo di sisi Muis. Matanya mengawasi layar monitor, tapi tak menangkap deretan huruf yang muncul dari balik garis yang terus bergeser mengikuti gerak jari Muis pada keyboard. Sekaligus ia kembali teri-ngat akan Kisah Pita Multatuli yang diungkapkan Muis. Begini kisahnya: Seorang ibu mendandani gadis kecilnya dengan pita, lalu menmbawanya ke tetangga sebe-lah untuk dibanggakan. "Lihat, cantik bukan?" katanya. Si tetangga menggangguk. "Gaun yang anggun," katanya. Ibu gadis kecil itu ternganga. Yang dipertontonkan dan dibanggakannya itu sesungguhnya pita rambut anaknya dan bukan gaun, tapi kenapa si tetangga malah memuji gaunnya - yang sudah sering dipakai itu -? Ya! Dan itu menunjukkan bahwa kita berkomunikasi untuk senantiasa terjerunuk dalam miskomunikasi. Dan setelah itu?

Nina memenjam. Ia ingat, cerita itu dituturkan Muis ketika satu hari - ia masih ingat tanggal, bulan, tahun, dan bahkan jam dan menitnya -: ia mengeluhkan suaminya yang marah besar saat disiapkan menu [makan siang] sayur lodeh, ikan asin, dan sambal dengan lalab. Suaminya yang pulang dari olah raga pagi di hari libur itu membelalak.

"Memangnya aku ini kucing kok disuruh makan ikan asin!" teriaknya sambil menndorong piring. Beranjak ke kamar, lantas berangkat ke kota untuk makan soto. Nina terbelalak. Bukankah terkadang dia suka minta dibuatkan sambal, lengkap dengan lalab dan lauk ikan asin yang digoreng garing - terkadang ikan segar goreng. Apa ia salah?

Siangnya ia menyembah - minta maaf. Tapi Yuwana diam saja. Di keesokan harinya ia mengeluhkan kelakuan suaminya itu pada Muis, mempertanyakan menga-pa Yuwana tak menyukai menu yang seingatnya merupakan menu favorit sang suami. Muis tersenyum. Menceritakan Kisah Pita Multatuli itu, dan menambahinya dengan sebuah nasihat pendek. Bahwa kita tidak bisa menebak selera, keinginan, dan angan-angan orang lain, meski dia itu suami, dan karennya lebih baik bertanya terlebih dulu - untuk mencari tahu apa yang paling diinginkannya saat itu.

Terkadang ia membayangkan kebahagiaan bersuamikan Muis yang begitu bijaksana, penuh toleransi dan pengertian. Ya! Tapi apa Muis bisa membuatnya mencelat ke zenit malam dan meledak sebagai kembang api di tengah kota dengan puluhan orang yang membelalak dan ternganga - takjub dan mengagumi kecerlangnya sebagai si kembang api? Sebagai istri yang beruntung, dengan anak cerdas dan su-ami yang punya jabatan - serta melimpahinya dengan kekayaan -?

Terkadang ia berpikir, satu saat suaminya akan sebijak, setoleran dan sepenuh pengertian Muis. Tapi terpikir juga: bagaimana rasanya jadi istri Muis? Mungkin cuma dapat senyum, sentuhan dan belaian - dengan tugas rutin mencuci yang bersih dan menyetrika yang rapi. Mungkin. Benarkah begitu? Bukankah itu juga semacam jebakan Pita Multatuli? Tapi bisakah kita memahami keinginan setiap orang? Atau ia tak perlu memikirkan mood setiap orang, dengan tetap setia pada nalurinya untuk memperkatakan kebahagiaan yang dilimpahkan-Nya?

***

Dengan lantang ia bilang bahwa SMP kota yang katanya berdisiplin nilai itu ternyata omong kosong. "Tidak percaya?" katanya, "Anakku tak diidzinkan Thukul ikut her olah raga - agar nilai angka 5-nya bisa dikoreksi. Bojo-ku menggertak. Membawa pengacara dan bersumpah akan menuntut. Mereka tekuk lutut, dan angka 5 pun berubah jadi 7. Dan karenanya anakku bisa ikut tes SMA Taruna," kata Nina sambil tertawa, kepada setiap orang di setiap kesempatan.

Ketika anaknya lulus di Magelang - setelah lulus seleksi tingkat Kodim dan Kodam -, dengan bangga Nina bilang bahwa semua itu karena ada yang menun-jukkan dalan Jendral dan Yuwana berani bayar ongkos tol-nya. "Pada zaman sekarang ini tidak ada yang gratis," kata Nina dengan setengah mencibir dan meneliti reaksi orang-orang, "Pokoknya ono rupa ono rego!" Dan orang-orang mengiyakan sambil menunduk menahan marah dan menelan rasa pahit dari kepapaan tak punya kuasa dan harta. Dan Nina yakin, di balik punggungnya, mereka pasti menggerutu.

Tapi bisa apa mereka? Bahkan Muis yang mengingatkan agar Nina tidak banyak omong. "Bahaya itu," katanya, "Bisa jadi bahan fitnah," Nina cuma meng-angkat bahu. Siapa yang bisa mengutak-ngutik dan mengganggu-gugat sesuatu yang telah tertulis secara formal-legal? Seperti kata suamiku, guman Nina setengah tertawa. Dan ia merasa terbang di atas langit malam dan meledak jadi berkas cahaya warna-warni dengan bentuk bola yang menggelembung - sambil merasakan banyak tatapan dengan mata terbelalak dan mulut menganga, decakan kagum dan gelengan kepala yang menyatakan ketakjuban.

Dan memang tak setiap orang dilahirkan untuk merasakan lengkung keberuntungan yang cemerlang di langit malam. Hanya Nina, hanya seorang Nina: Lantas tidak bolehkah aku merasakan sensasi kepuasan dari kebahagiaan yang dijalarkan secara verbal kepada setiap orang?

***

"Akulah malam, Kembang api yang menguasai dan menghiasai malam."

Meski sesaat, guman Nina, tapi aku bisa merasakan indahnya ketinggian dan gemerlapnya percikan lentik cahaya warna-warni yang menggelembung membentuk wujud bola api imajiner. Ya! Karena, SMP Kota - di mana anakku disekolahkan - ditelepon Kodim, yang merasa mendapat telepon dari seseorang yang mengatakan bahwa Thukul, guru olah raga, merasa dirinya ditekan dan dipaksa untuk mengu-bah nilai olah raga anaknya, dari 5 jadi 7, dan seterusnya. Kemudian SMP Kota memanggil kami dan KS-nya menegur aku - yang dikatainya banyak omong. Aku cuma tersenyum. Bukankah segala sesuatunya telah tetulis formal-legal? Biarlah sekolah dan Thukul yang bertengkar berkepanjangan. Bukankah suamiku akan kembali membayar pengacara dan menggertak dengan gugatan?

"Atas dasar apa mereka melarang aku berbicara mengekspresikan kebahagiaan yang menjalari punggung dan ingin diteriakan kepada setiap orang - agar mereka mengerti kalau aku sedang berbahagia," teriak Nina - sambil tetap duduk di pojok, bergoyang-goyang meski kedua tangannya ada dalam lengan baju terpal yang dibelitkan dan diikat tali di punggung. Sesaat Nina tersenyum. Terbahak dengan rambut masai. Di kamar belakang yang sunyi. Terpencil.***

Minggu, 10 Juli 2005

Memaknai Sastra Religius dari Pesantren

Linda Sarmili
http://www.suarakarya-online.com/

Dewasa ini, secara kualitatif, dinamika sastra pesantren bisa kita analisis. Salah satunya adalah melalui pelbagai macam perubahan serta pergeseran corak orientasi paradigmatik yang menjadi substansi dalam karya sastra yang bersangkutan.

Maka, bertambahlah 'spesies' baru, genre baru ke dalam khazanah sastra pesantren mutakhir; sastra pop pesantren dan sastra pesantren yang subversif. Keberadaan dua spesies baru ini tidak hanya melengkapi dan menemani kanon sastra pesantren yang sudah ada, tetapi juga di banyak sisi menyimpan suatu potensi dialektis dan kritis baginya; intertextual clash (benturan intertekstual).

Sebagaimana kita kenal dari jejak historisnya, sastra pesantren kita dikenal sebagai genre sastra yang giat mengangkat tema-tema nilai esoterik keagamaan; Cinta Illahiyyah, pengalaman-pengalaman sufistik, cinta sosial (habluminannaas), atau ekspresi dan impresi transendental keindahan alam semesta (makrokosmos).

Mayoritas begitu kental dengan nuansa religius. Ini terlihat begitu jelas dalam karya-karya sastrawan pesantren tahun 90-an Acep Zamzam Noor, D Zawawi Imron, Zainal Arifin Toha, Jamal D Rahman, Abi-dah el-Khaeliqi, Kuswaidi Syafi'ie, Faizi L. Kaelan dan sastrawan-sastrawan lain yang ruang kreasi mereka bertempat di lingkungan geografis yang bernama pesantren.

Akibat kentalnya nuansa tasawwuf, sastra pesantren sering di-identikan dengan sastra sufistik atau sastra profetik (nubuwwah). Dengan kata lain, karakter sastra sufistik telah menjadi kanon sastra (mainstream literature) dalam tradisi kesusasteraan pesantren.

Dengan Cinta Ilahiyyah dan spirit religius yang menjadi grand theme, paradigma estetika utama dalam etos berkreasi, sastra pesantren sebenarnya membawakan relevansi yang cukup signifikan terhadap vitalitas tradisi keilmuan di pesantren itu sendiri; sastra pesantren menjadi salah satu media alternatif bagi para apresian untuk mengenal dunia tasawwuf.

Dengan apresiasi yang kontinyu, paling tidak sedikit demi sedikit nilai estetika dan kearifan humanis-teologis yang inheren dalam karya sastra dapat membentuk suatu sikap yang eklektik dalam beragama bagi para apresian, salah satunya dicirikan dengan terbangunnya sinergitas pemahaman terhadap fiqih dan tasawwuf. Dengan kentalnya nuansa Cinta Illahiyah ini pula, lengkaplah sudah sastra pe-santren sebagai subjek mayoritas dari keluarga besar sastra Indonesia yang mengusung dan meng-eksplorasi simbol-simbol serta nilai religiusitas (Islam). Sekalipun tentu saja, secara hakiki nilai-nilai sufistik dan profetik tidak bersifat ekslusif untuk golongan tertentu, melainkan juga terbuka luas untuk kalangan non-pesantren.

Namun, dewasa ini ada perkembangan yang cukup menarik; bahwa kalangan sastrawan pesantren ternyata tidak hanya menjadikan ke-tasawwuf-an sebagai grand theme dalam etos kreativitasnya; satu persatu mulai terlihat adanya keliaran, muntahan-muntahan kegelisahan untuk merambah ke sisi-sisi lain. Sastra pesantren berada dalam kegelisahan yang panas. Di sinilah saya melihat munculnya genre sastra pesantren yang subversif.

Yang paling ekstrim barangkali adalah novel Mairil (Pilar Media, Yogyakarta; 2005) karangan Syarifuddin yang sedemikian berani mengangkat sisi gelap pesantren; yakni abnormalitas perilaku seksual yang terjadi di pesantren (mairil; homoseksual). Detail-detail ilustrasi peristiwa yang diangkat dari fakta itu dinarasikan sedemikian vulgar. Boleh dikatakan bahwa novel ini subversif terhadap sistem tradisi pesantren; bukankah seksualitas dan cinta lawan jenis selama ini menjadi suatu hal yang (di) tabu (kan) di lingkungan pesantren? Faktanya; pembatasan pergaulan lawan jenis yang berlebihan merupakan faktor utama dari disorientasi seksual yang terjadi di pesantren. Meskipun tidak bisa tidak, di sisi lain novel ini potensial menciptakan suatu bias eksternal; dimana ia mengundang stigma buruk kalangan masyarakat terhadap pesantren sebagai institusi pendidikan berbasis agama.

Sayangnya, kritisitas novel Mairil ini tidak diimbangi dengan kebaruan corak dan wawasan estetika. Prestasi dari novel Mairil adalah kualitas dokumenter (Faruk HT, 2000) dimana ia berhasil mendongkrak sisi tersembunyi pesantren sebagai suatu sistem yang dinamis, dan bukan kualitas literer; kualitas stilistika, capaian estetika sastrawinya masih cenderung nge-pop.

Namun, bagaimanapun inilah satu bentuk muntahan otokritik baru. Revolusioner terhadap kultur pesantren yang secara mayoritas cenderung patriarkhal dan mono-referen (hanya terpaku pada sistem referensi pemahaman tunggal). Secara implisit, dapat kita interpretasikan bahwa kehadiran novel Mairil berusaha membuka cakrawala baru pemahaman tentang cinta; bahwa Cinta Illahiyah -yang sufistik- tidak begitu saja dengan gampang diraih secara instant.

Demi kesuksesan dalam perjalanan mendaki tangga-tangga cinta, seorang insan mesti sabar dalam melewati tahapan-tahapan dimensional dari Jalan Cinta. Bukankah Ibn 'Arabi, sang maestro sufi itu pernah memberikan formulasi tentang Jalan Cinta; Cinta alami (cinta lawan jenis dan unifikasi makrokosmis), Cinta Ruhani, dan Cinta Illahi. Dan Cinta Alami menempati posisi yang amat vital; bukankah Ibn Arabi juga mampu menelurkan banyak karya lantaran motivasi psikologis yang kuat dari Nidzam, seorang wanita Baghdad yang dicintainya?

Karenanya jatuh cinta terhadap lawan jenis merupakan suatu hal yang manusiawi dan tak bisa ditinggalkan. Di wilayah sosio-internal, novel Mairil kiranya layak untuk mendapat perhatian dari kalangan elite pesantren. Suatu tantangan untuk berintrospeksi; bagaimana merekontruksi dan merevisi kembali penataan lingkungan pergaulan (millieu) antar lawan jenis, atau mulai mempertimbangkan pendidikan seksual yang efektif dan proporsional bagi santri-santrinya. Secara kuantitatif, sastra pop pesantren semakin menyemarakkan industri perbukuan.

Sederetan nama sastra-wan pesantren yang rata-rata berusia muda dengan karyanya tampil ke muka: Santri Semelekete (karya Ma'rifatun Baroroh), Bola-Bola Santri (Shachree M Daroini), Kidung Cinta Puisi Pegon (Pijer Sri Laswiji), Dilarang Jatuh Cinta (S. Tiny), dan Santri Baru Gede (Zaki Zarung) Salahkah Aku Mencintaimu (Ahmad Fazlur Rosyad) dan sederet nama lain yang tak bisa disebutkan satu-persatu.

Motivasinya bisa beragam, atau barangkali sastra pop pesantren dipandang lebih prospektif dalam hal laba finansial? Terlepas dari semua itu, ini akan menjadi aset ekonomi para sastrawan. Banyak kalangan elit sastra yang cenderung 'mengejek' akan keberadaan sastra pop, termasuk sastra pop pesantren. Budi Darma dalam esainya "Sastra Mutakhir Kita" (Horison, Februari 2000) menyatakan kekhawatirannya bahwa dengan industri, keberadaan sastra pop bukan hanya sekedar keberadaan, melainkan juga kekuatan yang akan menggeser keberadaan sastra serius".

Ini saya kira suatu kekahawatiran yang agak berlebihan. Sementara, St Sunardi (2006) mengatakan" dalam setiap kebudayaan pop ada suatu jaringan kekuatan. Namun bagaimana kebijakan kita mengarahkannya untuk kepentingan-kepentingan kemanusiaan."

Dalam konteks sastra pesantren saya melihat bahwa relasi sastra serius pesantren dan sastra pop pesantren cenderung bersifat hierarkis, sinergis dan interdependen; bahwa dari minat terhadap karya sastra pop yang ringan itulah embrio tradisi membaca bisa terbangun. Karena itu animo masyarakat dan kalangan santri terhadap sastra pop pesantren tetaplah harus kita pandang positif.

Bahkan penyair Jamal D Rahman dalam sebuah perbincangan tentang proses kreatifnya, mengaku mendapat modal senang membaca karena awalnya keranjingan membaca novel-novel 'kacangan' Freddy. S, tapi seiring dengan waktu dan intelegensinya yang terus berkembang ia pun beralih membaca dan menulis karya sastra sufistik yang high-quality. Sastra pop juga berfungsi untuk 'latihan pemula', dan ini akan melanggengkan tradisi bersastra (baik kepenulisan maupun apresiasi) sehingga kontinuitasnya terjaga; bukankah hanya dengan hal itu literacy culture di pesantren bisa hidup, menyala dan terus memberi sumbangan-sumbangan berarti bagi peradaban? ***

12 Maret 2011

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest