Nurel Javissyarqi
http://sastra-indonesia.com/
Seperti biasa, aku mencari data-data dari media massa di Google untuk kuunggah pada web http://sastra-indonesia.com/ yang telah berjalan sejak Juli 2008. Aku nekat membikin situs tersebut dari biaya transport acara sastra di Jakarta. Sepulang dari Ibu Kota, perasaanku seolah sudah menjadi penyair, apalagi membaca puisi sepanggung dengan para jawara sastra, pada malam pengukuhan Guru Besar Abdul Hadi W.M., di kampus Paramadina Jakarta.
Di kereta, dalam perjalanan pulang, aku berpikir mengenai tulisanku, pula karya kawan-kawanku yang tidak tercium media massa. Maka web itu kusengajakan sebagai alat propaganda. Lambat laun aku menyadari kegunaan kekaryaan di luar lingkaran yang kukenal. Oleh sebab itu, kujumput karya-karya mereka. Awalnya aku ragu, apakah itu tindakan ilegal, tapi setelah aku periksa, ternyata banyak juga yang berlaku demikian untuk arsip bersama.
Kata bersama bermakna karena di sana diriku tak mengambil untung, malah setiap tahun keluar biaya kepemilikan. Tak masalah. Andaipun diseret ke pengadilan gara-gara menjumput data media massa, aku kira banyak temannya. Sedang yang dari Blogspot, Facebook, dan jejaring sosial lainnya, aku meminta izin terlebih dahulu kepada si empunya.
Nah, suatu hari aku temukan esai Sutardji Calzoum Bachri: Sajak dan Pertanggungjawaban Penyair di web Infoanda (bukan Republika). Aku girang kala itu; “Wah, ini tulisan orang beken yang jarang tampak, kecuali di e-book dan semacamnya”.
Tapi kemudian aku tersentak pada ungkapan Tardji: “Peran penyair menjadi unik, karena — sebagaimana Tuhan tidak bisa dimintakan pertanggunganjawaban atas ciptaannya, atas mimpinya, atas imajinasinya — secara ekstrim boleh dikatakan penyair tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban atas ciptaannya, atas puisinya.”
Saat itu juga aku terusik, terseret ujaran yang biasa dalam masyarakat Jawa Timur: “Meski saya tidak rajin ibadah, melakukan dosa, jangan sekali-kali menghina agama saya, Tuhan saya, Nabi saya, keyakinan saya.” Letupan itu menjelma lembar-lembar yang kini terbukukan.
Sebenarnya, acara Pekan Presiden Penyair telah aku ketahui dari SMS yang dikirimkan Amin Wangsitalaja. Tapi entah kenapa, aku hanya mengucapkan terima kasih atas informasinya.
Rerangkaian itu menyegerakanku menelisiki, apakah benar ungkapan Presiden Penyair tersebut? Anda bisa simak nantinya. Aku masih ingin bercuap-cuap.
Mendadak sekelebat bayangan Tardji melintas di depan laptopku. Kupandang tajam seruntut ingatan dahulu, melotot tatkala kusuntuki. Dan kelopaknya melebar, saat terus kupahami, lalu menjadi pikiran.
***
Hal mudah mengimaji seseorang dibungkus pakaian tak banyak warna; putih, hitam, cokelat, lebih ringan remang, ini didukung dan dilemahkan pencahayaan ruangan. Kuamati sedalam hati, bersebutlah sugesti, atau aku memercayai hadir?
Aku dapat melakukannya tersebab bertemu sebelumnya. Andai tak pernah berjumpa, aku meletakkan bayangan fotonya di antara dinding perasaan sambil menyugesti mataku menyadari, padahal tidak di depanku saat ini.
Jika tak punya perbendaharaan sama sekali, semisal Tuhan yang hanya kukenal lewat firman-Nya, tentu jarak ini suci karena iman, percaya atas hukum-hukum-Nya. Kemudian pikiranku melenceng jauh, apakah Yang Esa seperti makhluknya? Lekas-lekas kuhapus penalaran itu, apalagi aku belum menghatamkan ayat-ayatnya, juga pelbagai pola pengertian, di sisi beban khilaf memberati langkah demi mengetahui Yang Esa.
Ingatanku terlempar ke beberapa tahun silam, memasuki situs Jaringan Islam Liberal. Aku baca kupasan mereka yang tidak menampilkan ajaran agama secara purna. Terpenggal, juga dilandasi penalaran semata dipantulkan para pemikir yang kadar imannya diragukan, atau sebaliknya, berbeda keyakinan. Padahal banyak ulama, tapi kenapa tak mengambil ujaran terdekat, malah yang rendah.
Di web JIL waktu itu ada peraturan; komentar tidak boleh menyinggung sara dan semacamnya, serta dimuat tidaknya tergantung pengelola. Dan sepertinya, komentarku ini sampai kini tak muncul, padahal sanggahan biasa: “Jika Anda punya pendapat begitu, coba bikin buku, biar aku faham keseluruhan penalaran Anda. Jangan lupa kabarkan padaku, tentu kujawab sejumlah hal yang Anda tuliskan“. Tapi karena komentarku tak muncul-muncul, tidak lagi aku perhatikan.
Ingatan tiba-tiba datang dari rendaman masa, kaum terpelajar menamainya refleksi kejadian, mungkin, nanti aku koreksi ulang. Dan perkataan koreksi itu pantulan kesadaran di atas hasil spontanitas yang dipatenkan renungan, jikalau ingin memasuki nalar.
Mendadak terpampang di depanku sosok serupa Donny Gahral Adian. Ya, ia muncul bersama kumis dan jambangnya. Aku ingat betul, ia pernah membela pandangan-pandanganku saat diskusi buku Trilogi Kesadaran, kumpulan esaiku, terbitan 2006, di toko buku dekat kampus UI. Ia mengatakan kurang lebih ini:
“Memang corak jalannya filsuf Timur sebagaimana begini“, sambil menunjuk kepadaku. Hatiku sempat bangga, karena disaksikan dua guru besar UI, UGM kalau tak salah, kata Damhuri Muhammad. Dan teringat aku melemparkan kalimat sampai mereka manggut-manggut, entah faham atau bingung tak setuju. Waktu itu aku berkata seperti ini: “Watak seorang bisa terlihat dari kecenderungannya“.
Lalu perasaanku seperti di dalam lingkaran kaum filsuf. Tapi menjadi pertanyaan hingga kini, kenapa belum membikin mazhab filsafat? Biar tidak ikut grubyuk ke Barat; “Padahal Anda semua cerdas sekaligus mampu menulis“.
“Dengan sederhana menghimpun tulisan, maka jadilah”. Begitu yang kukatakan.
Lantas kepribadianku terbelah. Ia berkata: “Nurel, bukumu Trilogi Kesadaran banyak salah ketik pun harus dibenahi“. Lalu pecahan pribadiku yang lain berucap: “Ya, kan sudah kurevisi, hanya belum cetak ulang”. Sempalan yang lain lagi menggagas: “Tapi aku masih ragu, kayaknya perlu diserahkan ke editor”. Dan aku biarkan sempalan-sempalan itu membiak berdebat.
Pecahan sosokku mengingatkan istilah Pancasona, judul yang aku rancang meneruskan Trilogi Kesadaran bertitel Pancasona Kesadaran. Salah satu esai yang hendak kumasukkan mengenai Tardji ini. Tapi ketika mengunggah bagian I, Denny Mizhar mengomentari dengan memberi link jadwal Tardji di Malang pada bulan depan. Maka kuputar haluan, kubetot lebih dulu untuk dibukukan. Andai batal acaranya, tak jadi masalah. Toh jika kecewa hatiku tetap sumringah.
Sisi lain ubun-ubunku digerak-gerakkan hawa angin 2001, tatkala bedah bukuku Balada-Balada Takdir Terlalu Dini di Purna Budaya Yogyakarta, sehabis membacakan sajak yang bertitel Balada Jala Suta, yang dibedah Suryanto Sastroatmodjo dan Iman Budi Santosa. Aku teringat ucapan Iman Budi Santosa. Kata-katanya kian terngiang saat merevisi buku ini. Ungkapannya: “Kau ibarat keris, Keris Gandring. Kau membahayakan orang lain dan dirimu sendiri“. Mengenai jawabannya, kusimpan saja dalam hati.
Nyatalah hati penyimpan lebih awet daripada otak. Hati menarik keinginan dalam, mimpi harapan lewat perantara pikir melalui sorot imajinasi, sebelum itu jangan mengiyakan. Apakah imaji seperti cahaya?
Ia laksana energi listrik menghadirkan kilatan, kala bergesekan pikiran atas pertarungan hati dan kondisi melingkupi. Iklim, lebih jauh bacaan-bacaan beredar, seperti menulis juga membaca ingatan. Kejadian hal pertarungan diri kusebut pergumulan, olah batin, serupa kanuragannya jiwa demi letak kesaksian.
***
Sampai mana, ya?
Lupa, timbul karena bertumpuknya ingatan berjubel ingin keluar serempak, tapi karena lubang keluarnya sempit, bagian lain seolah terhapus, padahal hanya mengendap sembunyi. Lubang sempit terjadi atas banyak faktor; kurang merawat ingatan dengan bacaan, perasaan senang berlebihan menimbulkan pembengkakan syaraf, penyempitan rongga udaranya. Ah, ini bisa ditanyakan pada dokter. Kalau memang keliru, maklum cuap-cuap.
Ketika menerangkan lupa, nyata imaji menawarkan pemikiran, atau imaji serupa jala dilempar ke dasar refleksi. Atau sebaliknya, pikiran mendorong imaji merangkai benang pengalaman, tangga tingkatan kesadaran. Undak-undakan ini mungkin dilupakan Tardji, melupa alur keilmuan para pendahulu lantaran hanya bermodalkan berani. Seperti kenekatanku mengenai penyempitan udara dalam otak, yang kusebut di atas.
Maka teguran perlu, perevisian mutlak memperingati jenjang kesadarannya; apakah membumi di jalurnya atau mengapung kelelahan berpikir. Istilahnya mentok, gelagapan hingga yang bergerak sebatas imajinasi, sampai tanggung jawab luput.
***
Ada beberapa kawan kuminta pendapat mengenai terbitan ini. Yang membuatku tak suka, teguran M.D. Atmaja. Ia bilang, Pertama, eman dengan namaku. Kedua, gaya tulisanku yang –katanya- sulit dicerna.
Lalu aku menandaskan kata, “Begini kawan. Caraku menulis pengantar ini tidak lebih sepertimu, yaitu mudah dimengerti dan terus terang. Jalannya serupa sa’i atau lari kecil. Maka tak heran kau produktif, tapi cobalah kurangi kata mubazir yang kau maknai penekanan sekelas iklan. Sebab dalam pengendapan, kesaksian dimatangkan, hasil lawatan membaca alam pun buku dibakukan, agar tidak membosan seperti berita pengantar buku pelajaran.
Soal nama, kenapa kau hawatir. Apa lantaran kau tengah meneliti Kitab Para Malaikat yang baru sampai separuh itu? Terus waswas tak bisa bangkit saat aku disangkal? Jika begitu, hentikan saja penelitianmu, toh dari dulu aku bukan apa-apa. Di sini pun aku hanya kurang suka, dengan yang berfaham Tuhan bermimpi, berimajinasi. Semoga kau bahagia sekeluarga kawan”.
Ngomong-ngomong keluarga, aku ingat ungkapan anakku kala aku memanggilnya: “Anakku” (bernada menggoda). Dengan sigap, dia biasanya menjawab: “Bukan, anaknya Abah itu buku, laptop, kopi, dan rokok”. Hal ini biasa terdengar dan nyatalah terasa indah, aku bisa memeluknya setiap malam, sambil membaca buku.
Yang kau risaukan lagi, gaya tuturku ruwet, tidak komunikatif. Waktu itu kujawab: “Tapi kau faham Kitab Para Malaikat”. Kau menimpalinya: “Ya Kang, tetapi tidak semua orang mengerti tulisan Sampean“.
Begini Atmaja: “Aku bisa mengudar satu paragraf punyamu pun punyaku, dengan jalan pelan lari kecil semacam ini dalam satu esai kalau mau. Tentu lewat referensi olah rasa dan daya lain yang terkandung dalam diri, pula perpustakaan pribadi. Aku bisa saja mengudar kata-kata darimu dari kejiwaan, filosofinya, dan terserah”.
Kurasa gaya bisa diperdebatkan lebih jauh, minimal jika ada faham puisiku, kumprung kalau tak mengerti esaiku. Hanya pengotak-ngotakkan membuat terjebak dalam kebutaan, maka jangan mengkhawatirkanku kawan.
***
Astagfirullah. Maaf aku ambil air wudu dulu, karena barusan timbul kesembronoan. Ini demi mengurangi berat bentangan sayap-sayapku berkehendak jauh. Aku tuliskan ini pada status Facebook, tentu banyak kawan menggoda. Tapi bagiku biasa, di keramaian pasar pun tak soal, dan mengenai kualitas tentunya siap dipertanggungjawabkan.
Mengenai tanggung jawab, aku petik tulisan almarhum penyair Zainal Arifin Thoha, dalam bukunya Eksotisme Seni Budaya Islam (Khasanah Peradaban dari Serambi Pesantren), diterbitkan Bukulaila 2002, bagian awal Menuju Logika, Estetika dan Dialektika al Qur’an, halaman 15. “Kullukum roo’in wa kullukum mas’uulin ‘an ro’iyyatihi”. Kamu semua adalah pemimpin, dan kamu semua akan dimintai pertanggunganjawaban dari kepemimpinan yang telah dijalankan. Demikian Nabi SAW mengingatkan. Sebuah kepemimpinan, tentu pertama-tama membutuhkan konsep memimpin, dalam konteks inilah eskplorasi tafakur (refleksi dan ijtihad) atas ayat-ayat qauniyah (makrokosmos), dan ayat-ayat insaniyah (mikrokosmos), berdasarkan logika-teologis? Sebab, “Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya” (Q.S. 25:2)”.
Lantas pikiranku meneror pertanyaan kepadaku. Karena aku kurang mampu menjawabnya, aku bertanya kepada kritikus Maman S. Mahayana.
“Pak Maman, bulan ini aku ingin membukukan tanggapanku mengenai esai Tardji yang berjudul Sajak dan Pertanggungjawaban Penyair, bertitel: Mempertanyakan Tanggungjawab Kepenyairan Sutardji dan Asy Syu’ara (Para Penyair). Buku tersebut untuk menyambutnya jika ke Malang, Mei nanti. Terus, kalau aku muat esainya, apakah sopan? Ini berguna untuk keseimbangan buku, agar tidak dianggap lempar batu sembunyi tangan, tapi aku khawatir tak diperkenankan, maka mohon pertimbangan. Matur nuwon sebelumnya ….”.
“Nurel yang baik. Muat saja esai SCB. Masukkan sebagai lampiran dengan data publikasi sebagaimana adanya. Misalnya, judul, karya, terbit di mana, penerbitnya apa, kapan dipublikasikan. Dalam tradisi ilmiah di mana pun, cara itu diizinkan, meskipun penulisnya keberatan. Jadi bukan perkara sopan atau tak sopan, boleh atau tak boleh. Ini tradisi ilmiah. Sebab, menanggapi tulisan orang hakikatnya kita menghargai (mengapresiasi) tulisan itu, betapapun isinya berupa kritik. Oke, teruslah menulis. Salam. Maman S. Mahayana”.
Demikian pengantar ini, tak lebih sebagai kehausan belajar. Terima kasih kepada almarhum guruku Suryanto Sastroatmodjo. Tak lupa kepada S.W. Teofani dan Imamuddin SA sebagai editornya. Yang tercinta Isti Anisa dan anakku Ahmad Syauqillah, semoga ini bermakna bagi para pembaca.
*) pengantar buku “Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri” (kumpulan Esai, karya Nurel Javissyarqi, terbitan PUstaka puJAngga dan SastraNESIA, Mei 2011).
Sumber: http://sastra-indonesia.com/2011/04/mulanya/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Selasa, 26 April 2011
Sabtu, 16 April 2011
Mendedah 'Warah' Sejarah
Judul buku: Syekh Bajirum dan Rajah Anjing
Penulis : Fahrudin Nasrullah
Penerbit : Pustaka Pujangga
Cetakan : 1, Februari 2011
Tebal : 142 halaman
Peresensi : S.W. Teofani
http://www.lampungpost.com/
MEMBACA kumpulan cerpen tak ubah melakukan tamasya kisah. Kadang kita mendapatkan pengalaman batin pun pengetahuan lahir yang membuat sejenak melancong ke alam cerita yang diwarahkan penulisnya. Begitu pun kisah yang diwedarkan Fahrudin Nasrullah dalam Syekh Bajirum dan Rajah Anjing. Pembaca disuguhi bermacam kisah dengan latar sejarah pada 11 cerpen yang diagitnya. Cerpen satu dan lainnya menyuguhkan tema dan cita yang berbeda, tapi tetap dengan latar sejarah.
Ada dua tema besar yang tertuang dalam beragam judul, yaitu sejarah dengan warna sejarah kolonial dan sufistik Islam yang kental dengan kejawaan. Apa pun tema besarnya, Fahrudin mampu menggiring pembaca lesap dalam cerita yang dibangunnya dalam silang sengkarut permasalahan sang tokoh.
Seperti pada pembuka yang bertitel Surabawuk Megatruh. Pembaca diajak berpikir keras pada perdebatan filsafat yang mengerutkan dahi. Bagi yang tidak akrab dengan cerita-cerita dan tokoh-tokoh besar pesantren seperti Hasan Besari, tentu akan semakin mengernyit dan meraba-raba cerita lain pelengkap pemahaman tentang cerita yang disuguhkan. Beruntung ada catatan kaki yang membantu kita memahami pertanyaan yang menyelinap atas ketidakhafalan kita pada sejarah itu. Meskipun catatan kaki panjang dan kadang menjadi cerita baru yang terpisah masih menyisakan kehausan di sana sini.
Tapi bagi pembaca yang akrab dengan kisah hikmah tokoh-tokoh dunia pesantren dan sejarah, membaca kumpulan cerpen Fahrudin menjadi tamasya nostagik dan arung sejarah yang mengasyikkan. Bagaimana pun latar samping pembaca akan mendapat hal serupa, kembara pengetahuan sejarah dan spiritual.
Kadang kita diajak menyelam pada tokoh sekelas Hasan Besari yang mempunyai kedalaman pemahaman tauhid. Juga tokoh Surabawuk, sebagai tokoh antagonis dalam Surabawuk Megatruh, dengan pemahaman filsafat purna tentang Zat Ilahiat. Mengikuti pertarungan pemikiran keduanya kita seperti bertarung dengan diri sendiri. Hati dan pemikiran tersedot untuk kalimat demi kalimat, frasa demi frasa, yang akhirnya membetot seluruh energi untuk mengkaji lagi ketauhidan yang kita miliki.
Dialog keduanya bukanlah hitam-putih dan benar salah seperti tokoh-tokoh antagonis-protagonis cerpen pada umumnya. Pada setiap perdebatan-baik dari Hasan Basari maupun Surobawuk-mengandung pesan filsafat yang menghujam hati pun pikiran untuk mempertanyakan kembali pemahaman pun perilaku tauhid kita.
Dengan bahasa yang estetis, Fahrudin mampu membunuh kejenuhan pembaca. Meskipun dahi berkerut, dia berhasil menggiring pembaca untuk merasa rugi jika tak menyelesaikan ceritanya.
Penulis tak melukiskan Surobawuk tokoh antagonis yang bermantel salah, tak semua kata-katanya nyasar, banyak makna yang diudarnya membuat kita berkaca pada semua peribadatan pun keyakinan yang sudah mapan. Begitu pun Kiai Hasan Besari. Meskipun dia seorang kiai besar, pada kisah ini tidak disujudi atau diajeni. Dengan mencak-mencak bertabur sumpah serapah Surobawuk mementalkannya pada derajat kesetaraan untuk bertanding pengetahuan.
Pada kisah pertama Fahrudin menutupnya dengan sublimasi yang diserahkan pada imajinasi intelektual pun spiritual pembaca, tanpa menggurui.
Warna kental lain yang ada pada setiap cerpen-cerpen Fahrudin adalah dialetika filsafat dan keyakinan. Membacanya mengingatkan kita pada kitab Jawa Serat Centini yang telah dinovelkan oleh Elizabet Inandiak. Dalam Serat Centini kita diajak mengudal-udal keyakinan kita sampai pada titik manunggaling kawulo gusti.
Dalam kumpulan cerpen ini kita akan melakukan tamasya ruhiah yang ditatah dalam sejarah pun kekentalan dialektika keimanan. Bukan hanya pada cerpen Megatruh Surobawuk, pada cerpen Montel pun kita diajak berdialektika dengan diri sendiri tentang hakikat diri, ruang, sepuluh bayangan diri kita yang mengejawantah dalam laku.
Dalam cerpen Syekh Bajirum dan Rajah Anjing yang menjadi titel kumpulan cerpen ini, pembaca akan mengikuti safari ruhani yang dilakuakan Syekh Bajirum. Di sini kita tidak semata-mata melakukan telusur kata. Ada telisik sejaran perjalanan petualang unggul Ibnu Batuta juga sang tokoh Syekh Bajirum. Selain kita disuguhi data-data sejarah yang membuat pembaca nyaris tak sedang membaca fiksi, tapi menyigi pengetahuan sejarah dalam kembara sastra.
Dilengkapi referensi kitab kuning khas pesantren membuat kita tak hanya melakukan wisata sejarah, juga menjadi seorang santri yang sedang mengulang pelajaran di pondok pesantren yang telah lama ditinggalkan.
Bagi pembaca yang yang mempunyai latar belakang pesantren, kisah ini tak asing. Meskipun tak mengurangi pesona untuk membacanya karena dikemas dalam gaya dan bahasa yang cukup nyastra. Dan bagi pembaca yang baru bersentuhan dengan literatur pesantren, akan menyisakan penasaran untuk membaca lagi kisah lain yang berhubungan dengan cerpen-cerpen ini.
Kumpulan cerpen dengan penghantar Afizal Malna dan diterbtikan Pustaka Pujangga ini pun menghadirkan kisah sejarah Nusantara dan Babad Tanah Jawa, seperti cerpen Memburu Maria Van Pausten, Puputan Walanda Tack, Prahara Giri Kedaton. Cerpen lain yang tak kalah seru, antara lain Nubuat dari Sabrang, Duel Dua Bajungan, Arung Beliung, dan Huru Hara Babarong.
Akhirnya kumpulan cerpen ini sayang dilewatkan bagi para pencinta sastra karena kita tidak hanya mendapatkan cerita pada gugusan kata, banyak makna untuk kita renungkan sebagai jajan pasar kehidupan.
S.W. Teofani, cerpenis
Penulis : Fahrudin Nasrullah
Penerbit : Pustaka Pujangga
Cetakan : 1, Februari 2011
Tebal : 142 halaman
Peresensi : S.W. Teofani
http://www.lampungpost.com/
MEMBACA kumpulan cerpen tak ubah melakukan tamasya kisah. Kadang kita mendapatkan pengalaman batin pun pengetahuan lahir yang membuat sejenak melancong ke alam cerita yang diwarahkan penulisnya. Begitu pun kisah yang diwedarkan Fahrudin Nasrullah dalam Syekh Bajirum dan Rajah Anjing. Pembaca disuguhi bermacam kisah dengan latar sejarah pada 11 cerpen yang diagitnya. Cerpen satu dan lainnya menyuguhkan tema dan cita yang berbeda, tapi tetap dengan latar sejarah.
Ada dua tema besar yang tertuang dalam beragam judul, yaitu sejarah dengan warna sejarah kolonial dan sufistik Islam yang kental dengan kejawaan. Apa pun tema besarnya, Fahrudin mampu menggiring pembaca lesap dalam cerita yang dibangunnya dalam silang sengkarut permasalahan sang tokoh.
Seperti pada pembuka yang bertitel Surabawuk Megatruh. Pembaca diajak berpikir keras pada perdebatan filsafat yang mengerutkan dahi. Bagi yang tidak akrab dengan cerita-cerita dan tokoh-tokoh besar pesantren seperti Hasan Besari, tentu akan semakin mengernyit dan meraba-raba cerita lain pelengkap pemahaman tentang cerita yang disuguhkan. Beruntung ada catatan kaki yang membantu kita memahami pertanyaan yang menyelinap atas ketidakhafalan kita pada sejarah itu. Meskipun catatan kaki panjang dan kadang menjadi cerita baru yang terpisah masih menyisakan kehausan di sana sini.
Tapi bagi pembaca yang akrab dengan kisah hikmah tokoh-tokoh dunia pesantren dan sejarah, membaca kumpulan cerpen Fahrudin menjadi tamasya nostagik dan arung sejarah yang mengasyikkan. Bagaimana pun latar samping pembaca akan mendapat hal serupa, kembara pengetahuan sejarah dan spiritual.
Kadang kita diajak menyelam pada tokoh sekelas Hasan Besari yang mempunyai kedalaman pemahaman tauhid. Juga tokoh Surabawuk, sebagai tokoh antagonis dalam Surabawuk Megatruh, dengan pemahaman filsafat purna tentang Zat Ilahiat. Mengikuti pertarungan pemikiran keduanya kita seperti bertarung dengan diri sendiri. Hati dan pemikiran tersedot untuk kalimat demi kalimat, frasa demi frasa, yang akhirnya membetot seluruh energi untuk mengkaji lagi ketauhidan yang kita miliki.
Dialog keduanya bukanlah hitam-putih dan benar salah seperti tokoh-tokoh antagonis-protagonis cerpen pada umumnya. Pada setiap perdebatan-baik dari Hasan Basari maupun Surobawuk-mengandung pesan filsafat yang menghujam hati pun pikiran untuk mempertanyakan kembali pemahaman pun perilaku tauhid kita.
Dengan bahasa yang estetis, Fahrudin mampu membunuh kejenuhan pembaca. Meskipun dahi berkerut, dia berhasil menggiring pembaca untuk merasa rugi jika tak menyelesaikan ceritanya.
Penulis tak melukiskan Surobawuk tokoh antagonis yang bermantel salah, tak semua kata-katanya nyasar, banyak makna yang diudarnya membuat kita berkaca pada semua peribadatan pun keyakinan yang sudah mapan. Begitu pun Kiai Hasan Besari. Meskipun dia seorang kiai besar, pada kisah ini tidak disujudi atau diajeni. Dengan mencak-mencak bertabur sumpah serapah Surobawuk mementalkannya pada derajat kesetaraan untuk bertanding pengetahuan.
Pada kisah pertama Fahrudin menutupnya dengan sublimasi yang diserahkan pada imajinasi intelektual pun spiritual pembaca, tanpa menggurui.
Warna kental lain yang ada pada setiap cerpen-cerpen Fahrudin adalah dialetika filsafat dan keyakinan. Membacanya mengingatkan kita pada kitab Jawa Serat Centini yang telah dinovelkan oleh Elizabet Inandiak. Dalam Serat Centini kita diajak mengudal-udal keyakinan kita sampai pada titik manunggaling kawulo gusti.
Dalam kumpulan cerpen ini kita akan melakukan tamasya ruhiah yang ditatah dalam sejarah pun kekentalan dialektika keimanan. Bukan hanya pada cerpen Megatruh Surobawuk, pada cerpen Montel pun kita diajak berdialektika dengan diri sendiri tentang hakikat diri, ruang, sepuluh bayangan diri kita yang mengejawantah dalam laku.
Dalam cerpen Syekh Bajirum dan Rajah Anjing yang menjadi titel kumpulan cerpen ini, pembaca akan mengikuti safari ruhani yang dilakuakan Syekh Bajirum. Di sini kita tidak semata-mata melakukan telusur kata. Ada telisik sejaran perjalanan petualang unggul Ibnu Batuta juga sang tokoh Syekh Bajirum. Selain kita disuguhi data-data sejarah yang membuat pembaca nyaris tak sedang membaca fiksi, tapi menyigi pengetahuan sejarah dalam kembara sastra.
Dilengkapi referensi kitab kuning khas pesantren membuat kita tak hanya melakukan wisata sejarah, juga menjadi seorang santri yang sedang mengulang pelajaran di pondok pesantren yang telah lama ditinggalkan.
Bagi pembaca yang yang mempunyai latar belakang pesantren, kisah ini tak asing. Meskipun tak mengurangi pesona untuk membacanya karena dikemas dalam gaya dan bahasa yang cukup nyastra. Dan bagi pembaca yang baru bersentuhan dengan literatur pesantren, akan menyisakan penasaran untuk membaca lagi kisah lain yang berhubungan dengan cerpen-cerpen ini.
Kumpulan cerpen dengan penghantar Afizal Malna dan diterbtikan Pustaka Pujangga ini pun menghadirkan kisah sejarah Nusantara dan Babad Tanah Jawa, seperti cerpen Memburu Maria Van Pausten, Puputan Walanda Tack, Prahara Giri Kedaton. Cerpen lain yang tak kalah seru, antara lain Nubuat dari Sabrang, Duel Dua Bajungan, Arung Beliung, dan Huru Hara Babarong.
Akhirnya kumpulan cerpen ini sayang dilewatkan bagi para pencinta sastra karena kita tidak hanya mendapatkan cerita pada gugusan kata, banyak makna untuk kita renungkan sebagai jajan pasar kehidupan.
S.W. Teofani, cerpenis
Jumat, 15 April 2011
Sebuah Pertanyaan
Rakhmat Giryadi
http://sastraapakah.blogspot.com/
Hidup di gang sempit, para tetangga seperti punya alat perekam yang canggih. Kupingnya seperti alat pendeteksi, matanya seperti hidencamera, yang setiap gerak gerik kita, semua terekam. Dan otak mereka seperti hardisc yang mampu menyimpan miliaran data. Sekali tekan tombol : mulut mengoperasikan data itu menjadi gosip yang berkepanjangan.
Hidup di gang sempit memang tidak ada rahasia. Kita seperti hidup di ruang kaca. Semua polah tingkah kita akan segera bisa diketahui dari gang satu ke gang lain, kemudian merebak bagai gelombang radio yang dalam sepersekian detik, kabar itu bisa diterima ke pendengar terjauh sekalipun.
Hidup di gang sempit, semua orang boleh mengetahui apa yang kami miliki dan tidak kami miliki. Hidup di gang sempit, ruang hidup kita memang benar-benar sempit. Mata, telinga, dan otak tetangga ada disisi kita, menempel di dinding, seperti lumut yang menggerogoti tembok.
Dan kali ini lumut itu menggerogoti tembok kami.
Sore yang sumpek dan gerah, seperti biasa Sukir mulai belajar membaca. Ia selalu belajar membaca dengan suara lantang. Ia tidak bisa membaca dalam hati. Apalagi ia masih belajar mengeja. Suaranya hampir mengalahkan tarqim dari musala kampung. Otot-otot lehernya terasa mencuat. Ludahnya muncrat. Lidahnya sekali-kali mengelap ludahnya yang ndlewer di ujung bibirnya, persis seperti ular Cak Nurdin tukang sulap keliling itu.
Kami menyambut gembira. Tetapi, tidak bagi tetangga kami.
“Apa yang kamu baca, sudah saya baca sejak kecil. Dilarang membaca keras-keras!” seru Bejan dengan wajah tersungut-sungut.
“Tidak tahu surub, ta? Dilarang membaca keras-keras!,” teriak Karno yang baru pulang dari nyopet di terminal Joyoboyo, sok alim.
“Nggak punya telinga, ya. Ini kan magrib! Dilarang teriak-teriak,” himbau Kaji Dofir, yang gelar Kaji atau Haji di depan namanya itu sebenarnya hanya gelar-gelaran. Dia dipanggil Kaji Dofir karena dia sangat rajin salat magrib di musala. Para tetangga yang mulutnya panjang memperoloknya dengan sebutan Kaji. Gelar itu tersemat begitu saja.
Mendapat teguran dari tetanga sebelah, Sukir tak pernah menghiraukan. Ia malah membaca dengan sangat lantang. Lantang sekali! Sampai saya dan istri harus menegurnya. Tetapi dasar anak kecil yang sedang senang-senangnya belajar, semua dianggap angin lalu.
“Kalau baca yang lirih. Nggak tahu ada tetangga sakit!” hardik Cak Dahlan yang meski lambungnya rusak, masih saja mulutnya menyemburkan bau alkohol.
Larangan tetangga tak menyurutkan Sukir untuk terus membuka bukunya, halaman demi halaman. Halaman demi halaman seperti misteri yang harus ia pecahkan dengan rasa kegembiraan. Setiap kata ia eja dengan lantang. Tentu itu bukan kemauan Sukir. Tetapi begitulah guru Sukir mengajarinya. Atau mungkin juga bukulah yang mengharuskan Sukir membaca dengan tegas dan lantang.
Menurut saya memang wajar. Tetapi menurut tetangga kami tidak.
Apakah Sukir mengalah? Tidak! Ia tetap saja belajar mengeja dengan suara lantang. Bahkan kali ini cukup lantang, seperti teriakan seorang telah menemukan jalan baru ketika terjebak di jalan buntu. Namun, kerasnya sikap Sukir disambut sikap keras para tetangga.
Pak RT berkunjung ke rumah. Ia mewakili warga yang protes. Dengan nada ditegas-tegaskan ia menghimbau kami agar bisa membimbing anak berlaku sopan dalam bertetangga. Bahkan ia membawa plakat bertuliskan : ‘Dilarang Berisik!’ Plakat itu ia pasang di gerbang RT. Saya dan istriku bisa mengerti saran Pak RT. Tetapi apakah Sukir bisa mengerti?
Besoknya Sukir masih berprilaku sama. Bahkan kali ini ia membaca dengan irama cepat dan lantang. Bahkan, sekarang ia tidak hanya membaca buku pelajarannya. Setiap ada tulisan, ia eja. Tulisan di tembok, di koran, di kalender, di kardus-kardus bekas, di kaleng-kaleng bekas, di spanduk-spanduk, di iklan-iklan tempel, di baliho, di poster, di majalah, semua ia baca. Ia seperti sedang membuka rahasia kehidupan yang hari demi hari ia lalui. Tak lupa ia membacanya dengan cepat dan lantang.
Bahkan kini, tidak hanya sekedar membaca, tetapi diikuti dengan pertanyaan tentang arti kata yang diejanya. “Fuk y-o-u itu apa?,” tanya Sukir pada Giono yang kaosnya bertuliskan : Fuck You dan gambar jari tengah menelunjuk ke atas.
Giono yang preman lulusan SD itu malah menunjukan jemari tengahnya tepat di hidung Sukir. Sukir membalas dengan gaya yang sama. “Fak yu, men!”
Sukir dijitak. Sukir menangis.
Hampir semua tetangga mendapat jatah pertanyaan dari Sukir. Pertanyaannya itu tidak hanya menyibukan kami, tetapi juga guru, teman-temannya di sekolah, orang di jalanan, dan tentunya orang sekampung. Ada saja yang dieja dan ditanyakan. Tulisan-tulisan yang bertebaran di jalan, di tembok, di pagar seng, di tiang listrik, di mobil, di becak, di truk, di angkot, semua diejanya. Tetapi yang tidak bisa kami pahami adalah pertanyaannya itu.
Kali ini tidak Pak RT yang berkunjung ke rumah, tetapi juga Pak RW dan dua Hansip. Memang kedatangan Pak RW tidak membentak-bentak. Dengan didatangi pejabat kampung, tentu itu suatu sasmita bagi orang kecil seperti kami.
“Saya tidak melarang anakmu belajar membaca. Tetapi dilarang banyak tanya!” kata Pak RW.
Kami harus mengerti. Tetapi apakah Sukir bisa mengerti?
Suatu hari ia menangis sesenggukan. Gara-garanya ia dipukul Cak Bendol. Kata Sukir, ia hanya tanya pada Cak Bendol yang sedang cangkruk di becak, arti kata cabul. Besokan juga terjadi hal yang sama. Katanya ia baru saja dicubit Ning Maryati hanya gara-gara ia tanya arti kata lonthe. Ning Maryati yang mantan pelacur itu tentu naik pitam.
Kebiasakan ‘buruk’ Sukir, membuat Pak RT dan Pak RW bertindak tegas. Mereka menghimbau agar kami pindah rumah. Karena perbuatan Sukir sudah memusingkan orang sekampung. Dengan nada dihaluskan, beliau menghimbau kami agar anaknya diajari sopan santun. Hidup di kampung harus tau tepa selira. Memahami hak-hak tetangga. Dan yang lebih penting adalah tidak mengganggu tetangga.
Istri saya sempat protes. Tetapi apalah artinya protes bagi suara kecil yang terselip di gang sempit seperti itu?
“Sssst! Sabar, sabar!” kataku menenangkan.
“Sabar, sabar. Sampeyan itu wong lanang kok tidak bisa bela keluarga. Ini hak kita, Cak. Hak anak kita!”
***
Sepulang sekolah, Sukir nangis lagi. Katanya ia baru dipukul Cak Dul. Masalahnya sepele. Ia tanya arti kata : ‘Narapidana.’ Karena jengkel, Cak Dul memukul kepala Sukir. Saya cari Cak Dul di pangkalan becak, dekat gedong ludruk Irama Budaya, milik Cak Zakia.
“Kenapa kamu Drat. Cari saya ta?. Kamu tidak terima anakmu saya pukul?. Mau apa?!,” sergah Cak Dul jumawa.
Saya sedikit grogi. Demi anak, saya beranikan diri melawannya, meski Cak Dul yang gemar lagunya Roma Irama ini pernah dipenjara, karena membunuh teman becakannya yang ngencani istrinya.
“Kalau anak kamu sendiri saya pukul, bagaimana?”
“Tak bunuh orangnya!” potong Cak Dul.
Saya semakin terpojok. Apakah saya juga akan membunuhnya? Orang-orang sudah mulai menjauh. Sayapun keder. Karena Cak Dul mulai turun dari becaknya. Tangannya mencengkeram leher saya. Matanya melotot tajam. Mulutnya menyemburkan bau minuman keras.
“Kamu mau membunuh saya?” tantangnya.
Kali ini saya beranikan diri, mendorong tubuhnya keras sekali sampai terjengkang ke becak. Cak Dul hendak beranjak dengan wajah memerah. Tetapi satu tendangan, membuatnya terjungkal lagi. Kali ini Cak Bokir, Kolik, Gimo, Rodli, Sariban, mengerubut Cak Dul yang naik pitam sembari mengerang-ngerang. Sementara saya diseret Cak Ripin pergi menjauh.
Malam harinya, Pak RW datang lagi. Kali ini ia bicara agak keras. Bahkan berbau ancaman. Paling tidak itulah yang saya rasakan.
“Demi ketenangan, ada baiknya sampeyan merubah sikap. Kalau tidak kita sebagai aparat desa, tidak bisa berbuat apa-apa kalau rakyat bertindak sendiri-sendiri….,” kata Pak RT, kemudian menyudahi kunjungannya itu dengan kalimat singkat tetapi penuh harapan sekaligus ancaman : “Camkan itu!”
Untuk melawan tentu kami tidak punya modal. Sederhananya, terpaksa kami memaksa Sukir untuk belajar membaca dalam hati.
“Tidak perlu bersuara. Cukup dibatin saja. Dan yang penting jangan banyak tanya,” sergahku. Bahkan kali ini dengan menjewer telinganya.
***
Sejak anak saya tidak membaca dengan keras, rumah terasa sepi. Bahkan kampung juga terasa sepi. Setiap usai magrib, tak ada suara, selain suara ketokan penjual bakso. Klakson penjual roti. Atau teriakan penjual sate ayam. Teriakan anak-anak kecil yang main petak umpet.
Buku-buku sukir tertata rapi di meja kecil. Ia enggan menyentuhnya, apalagi membukanya. Ia lebih memilih bermain dengan mainan apa adanya. Terkadang ia bermalas-malas di tempat tidur, sambil nonton TV. Sepulang sekolah ia juga tak menyentuh buku. Ia memilih nonton TV.
Yang merisaukan, Sukir menjadi enggan sekolah. Bahkan kali ini ia sama sekali tidak mau masuk sekolah. Terpaksa Sukir saya pindahkan sekolah di desa orang tua saya. Namun tiga bulan kemudian, orang tua saya memulangkan Sukir.
“Anakmu tak kembalikan, di sana merepotkan sekali,” kata Bapak yang dibenarkan Ibu.
Begitu juga mertua saya, mereka memulangkan Sukir dengan alasan sama.
Sukir kembali kepangkuan kami. Ia tetap tidak mau sekolah.
“Kalau Sukir tidak mau sekolah, nanti kan tidak bisa membaca?” kata saya suatu hari. “Kalau sukir mau sekolah nanti dibelikan bapak buku baru,” rayu saya.
Sukir bergeming. Kami tidak memaksakan diri, meski kami was-was dengan masa depannya.
Pada tahun ajaran baru, kami mengajak Sukir pergi sekolah. Untung sekali ia mau kembali ke sekolah. Hati kami lega. Tetapi suatu siang Sukir pulang sekolah dengan berurai air mata.
Saya tidak berani bertanya. Saya melihat ada rasa kecewa yang dalam dari sorot matanya. Sukir saya biarkan menangis. Begitu juga istriku, ia tetap sibuk menata barang-barang bekas.
Pada malam harinya, saya baru berani mendekati Sukir yang tampak sudah melupakan kejadian tadi siang. Dengan sedikit bercanda saya beranikan diri bertanya pada Sukir.
“Kenapa kamu tadi siang menangis?”
“Habis, Bu Guru tanya terus pada Sukir. Sukir kesal. Sukir bilang ‘dilarang bertanya!’ Eh, Sukir dipukul pakai penggaris,” cerita Sukir.
“Terus?”
“Dilarang bertanya terus!” sergahnya. Kali ini ini dengan nada lepas dan tanpa beban.
Kami melongo. Hidup di gang sempit memang tidak ada kata tanya.
Surabaya, Desember 2007
http://sastraapakah.blogspot.com/
Hidup di gang sempit, para tetangga seperti punya alat perekam yang canggih. Kupingnya seperti alat pendeteksi, matanya seperti hidencamera, yang setiap gerak gerik kita, semua terekam. Dan otak mereka seperti hardisc yang mampu menyimpan miliaran data. Sekali tekan tombol : mulut mengoperasikan data itu menjadi gosip yang berkepanjangan.
Hidup di gang sempit memang tidak ada rahasia. Kita seperti hidup di ruang kaca. Semua polah tingkah kita akan segera bisa diketahui dari gang satu ke gang lain, kemudian merebak bagai gelombang radio yang dalam sepersekian detik, kabar itu bisa diterima ke pendengar terjauh sekalipun.
Hidup di gang sempit, semua orang boleh mengetahui apa yang kami miliki dan tidak kami miliki. Hidup di gang sempit, ruang hidup kita memang benar-benar sempit. Mata, telinga, dan otak tetangga ada disisi kita, menempel di dinding, seperti lumut yang menggerogoti tembok.
Dan kali ini lumut itu menggerogoti tembok kami.
Sore yang sumpek dan gerah, seperti biasa Sukir mulai belajar membaca. Ia selalu belajar membaca dengan suara lantang. Ia tidak bisa membaca dalam hati. Apalagi ia masih belajar mengeja. Suaranya hampir mengalahkan tarqim dari musala kampung. Otot-otot lehernya terasa mencuat. Ludahnya muncrat. Lidahnya sekali-kali mengelap ludahnya yang ndlewer di ujung bibirnya, persis seperti ular Cak Nurdin tukang sulap keliling itu.
Kami menyambut gembira. Tetapi, tidak bagi tetangga kami.
“Apa yang kamu baca, sudah saya baca sejak kecil. Dilarang membaca keras-keras!” seru Bejan dengan wajah tersungut-sungut.
“Tidak tahu surub, ta? Dilarang membaca keras-keras!,” teriak Karno yang baru pulang dari nyopet di terminal Joyoboyo, sok alim.
“Nggak punya telinga, ya. Ini kan magrib! Dilarang teriak-teriak,” himbau Kaji Dofir, yang gelar Kaji atau Haji di depan namanya itu sebenarnya hanya gelar-gelaran. Dia dipanggil Kaji Dofir karena dia sangat rajin salat magrib di musala. Para tetangga yang mulutnya panjang memperoloknya dengan sebutan Kaji. Gelar itu tersemat begitu saja.
Mendapat teguran dari tetanga sebelah, Sukir tak pernah menghiraukan. Ia malah membaca dengan sangat lantang. Lantang sekali! Sampai saya dan istri harus menegurnya. Tetapi dasar anak kecil yang sedang senang-senangnya belajar, semua dianggap angin lalu.
“Kalau baca yang lirih. Nggak tahu ada tetangga sakit!” hardik Cak Dahlan yang meski lambungnya rusak, masih saja mulutnya menyemburkan bau alkohol.
Larangan tetangga tak menyurutkan Sukir untuk terus membuka bukunya, halaman demi halaman. Halaman demi halaman seperti misteri yang harus ia pecahkan dengan rasa kegembiraan. Setiap kata ia eja dengan lantang. Tentu itu bukan kemauan Sukir. Tetapi begitulah guru Sukir mengajarinya. Atau mungkin juga bukulah yang mengharuskan Sukir membaca dengan tegas dan lantang.
Menurut saya memang wajar. Tetapi menurut tetangga kami tidak.
Apakah Sukir mengalah? Tidak! Ia tetap saja belajar mengeja dengan suara lantang. Bahkan kali ini cukup lantang, seperti teriakan seorang telah menemukan jalan baru ketika terjebak di jalan buntu. Namun, kerasnya sikap Sukir disambut sikap keras para tetangga.
Pak RT berkunjung ke rumah. Ia mewakili warga yang protes. Dengan nada ditegas-tegaskan ia menghimbau kami agar bisa membimbing anak berlaku sopan dalam bertetangga. Bahkan ia membawa plakat bertuliskan : ‘Dilarang Berisik!’ Plakat itu ia pasang di gerbang RT. Saya dan istriku bisa mengerti saran Pak RT. Tetapi apakah Sukir bisa mengerti?
Besoknya Sukir masih berprilaku sama. Bahkan kali ini ia membaca dengan irama cepat dan lantang. Bahkan, sekarang ia tidak hanya membaca buku pelajarannya. Setiap ada tulisan, ia eja. Tulisan di tembok, di koran, di kalender, di kardus-kardus bekas, di kaleng-kaleng bekas, di spanduk-spanduk, di iklan-iklan tempel, di baliho, di poster, di majalah, semua ia baca. Ia seperti sedang membuka rahasia kehidupan yang hari demi hari ia lalui. Tak lupa ia membacanya dengan cepat dan lantang.
Bahkan kini, tidak hanya sekedar membaca, tetapi diikuti dengan pertanyaan tentang arti kata yang diejanya. “Fuk y-o-u itu apa?,” tanya Sukir pada Giono yang kaosnya bertuliskan : Fuck You dan gambar jari tengah menelunjuk ke atas.
Giono yang preman lulusan SD itu malah menunjukan jemari tengahnya tepat di hidung Sukir. Sukir membalas dengan gaya yang sama. “Fak yu, men!”
Sukir dijitak. Sukir menangis.
Hampir semua tetangga mendapat jatah pertanyaan dari Sukir. Pertanyaannya itu tidak hanya menyibukan kami, tetapi juga guru, teman-temannya di sekolah, orang di jalanan, dan tentunya orang sekampung. Ada saja yang dieja dan ditanyakan. Tulisan-tulisan yang bertebaran di jalan, di tembok, di pagar seng, di tiang listrik, di mobil, di becak, di truk, di angkot, semua diejanya. Tetapi yang tidak bisa kami pahami adalah pertanyaannya itu.
Kali ini tidak Pak RT yang berkunjung ke rumah, tetapi juga Pak RW dan dua Hansip. Memang kedatangan Pak RW tidak membentak-bentak. Dengan didatangi pejabat kampung, tentu itu suatu sasmita bagi orang kecil seperti kami.
“Saya tidak melarang anakmu belajar membaca. Tetapi dilarang banyak tanya!” kata Pak RW.
Kami harus mengerti. Tetapi apakah Sukir bisa mengerti?
Suatu hari ia menangis sesenggukan. Gara-garanya ia dipukul Cak Bendol. Kata Sukir, ia hanya tanya pada Cak Bendol yang sedang cangkruk di becak, arti kata cabul. Besokan juga terjadi hal yang sama. Katanya ia baru saja dicubit Ning Maryati hanya gara-gara ia tanya arti kata lonthe. Ning Maryati yang mantan pelacur itu tentu naik pitam.
Kebiasakan ‘buruk’ Sukir, membuat Pak RT dan Pak RW bertindak tegas. Mereka menghimbau agar kami pindah rumah. Karena perbuatan Sukir sudah memusingkan orang sekampung. Dengan nada dihaluskan, beliau menghimbau kami agar anaknya diajari sopan santun. Hidup di kampung harus tau tepa selira. Memahami hak-hak tetangga. Dan yang lebih penting adalah tidak mengganggu tetangga.
Istri saya sempat protes. Tetapi apalah artinya protes bagi suara kecil yang terselip di gang sempit seperti itu?
“Sssst! Sabar, sabar!” kataku menenangkan.
“Sabar, sabar. Sampeyan itu wong lanang kok tidak bisa bela keluarga. Ini hak kita, Cak. Hak anak kita!”
***
Sepulang sekolah, Sukir nangis lagi. Katanya ia baru dipukul Cak Dul. Masalahnya sepele. Ia tanya arti kata : ‘Narapidana.’ Karena jengkel, Cak Dul memukul kepala Sukir. Saya cari Cak Dul di pangkalan becak, dekat gedong ludruk Irama Budaya, milik Cak Zakia.
“Kenapa kamu Drat. Cari saya ta?. Kamu tidak terima anakmu saya pukul?. Mau apa?!,” sergah Cak Dul jumawa.
Saya sedikit grogi. Demi anak, saya beranikan diri melawannya, meski Cak Dul yang gemar lagunya Roma Irama ini pernah dipenjara, karena membunuh teman becakannya yang ngencani istrinya.
“Kalau anak kamu sendiri saya pukul, bagaimana?”
“Tak bunuh orangnya!” potong Cak Dul.
Saya semakin terpojok. Apakah saya juga akan membunuhnya? Orang-orang sudah mulai menjauh. Sayapun keder. Karena Cak Dul mulai turun dari becaknya. Tangannya mencengkeram leher saya. Matanya melotot tajam. Mulutnya menyemburkan bau minuman keras.
“Kamu mau membunuh saya?” tantangnya.
Kali ini saya beranikan diri, mendorong tubuhnya keras sekali sampai terjengkang ke becak. Cak Dul hendak beranjak dengan wajah memerah. Tetapi satu tendangan, membuatnya terjungkal lagi. Kali ini Cak Bokir, Kolik, Gimo, Rodli, Sariban, mengerubut Cak Dul yang naik pitam sembari mengerang-ngerang. Sementara saya diseret Cak Ripin pergi menjauh.
Malam harinya, Pak RW datang lagi. Kali ini ia bicara agak keras. Bahkan berbau ancaman. Paling tidak itulah yang saya rasakan.
“Demi ketenangan, ada baiknya sampeyan merubah sikap. Kalau tidak kita sebagai aparat desa, tidak bisa berbuat apa-apa kalau rakyat bertindak sendiri-sendiri….,” kata Pak RT, kemudian menyudahi kunjungannya itu dengan kalimat singkat tetapi penuh harapan sekaligus ancaman : “Camkan itu!”
Untuk melawan tentu kami tidak punya modal. Sederhananya, terpaksa kami memaksa Sukir untuk belajar membaca dalam hati.
“Tidak perlu bersuara. Cukup dibatin saja. Dan yang penting jangan banyak tanya,” sergahku. Bahkan kali ini dengan menjewer telinganya.
***
Sejak anak saya tidak membaca dengan keras, rumah terasa sepi. Bahkan kampung juga terasa sepi. Setiap usai magrib, tak ada suara, selain suara ketokan penjual bakso. Klakson penjual roti. Atau teriakan penjual sate ayam. Teriakan anak-anak kecil yang main petak umpet.
Buku-buku sukir tertata rapi di meja kecil. Ia enggan menyentuhnya, apalagi membukanya. Ia lebih memilih bermain dengan mainan apa adanya. Terkadang ia bermalas-malas di tempat tidur, sambil nonton TV. Sepulang sekolah ia juga tak menyentuh buku. Ia memilih nonton TV.
Yang merisaukan, Sukir menjadi enggan sekolah. Bahkan kali ini ia sama sekali tidak mau masuk sekolah. Terpaksa Sukir saya pindahkan sekolah di desa orang tua saya. Namun tiga bulan kemudian, orang tua saya memulangkan Sukir.
“Anakmu tak kembalikan, di sana merepotkan sekali,” kata Bapak yang dibenarkan Ibu.
Begitu juga mertua saya, mereka memulangkan Sukir dengan alasan sama.
Sukir kembali kepangkuan kami. Ia tetap tidak mau sekolah.
“Kalau Sukir tidak mau sekolah, nanti kan tidak bisa membaca?” kata saya suatu hari. “Kalau sukir mau sekolah nanti dibelikan bapak buku baru,” rayu saya.
Sukir bergeming. Kami tidak memaksakan diri, meski kami was-was dengan masa depannya.
Pada tahun ajaran baru, kami mengajak Sukir pergi sekolah. Untung sekali ia mau kembali ke sekolah. Hati kami lega. Tetapi suatu siang Sukir pulang sekolah dengan berurai air mata.
Saya tidak berani bertanya. Saya melihat ada rasa kecewa yang dalam dari sorot matanya. Sukir saya biarkan menangis. Begitu juga istriku, ia tetap sibuk menata barang-barang bekas.
Pada malam harinya, saya baru berani mendekati Sukir yang tampak sudah melupakan kejadian tadi siang. Dengan sedikit bercanda saya beranikan diri bertanya pada Sukir.
“Kenapa kamu tadi siang menangis?”
“Habis, Bu Guru tanya terus pada Sukir. Sukir kesal. Sukir bilang ‘dilarang bertanya!’ Eh, Sukir dipukul pakai penggaris,” cerita Sukir.
“Terus?”
“Dilarang bertanya terus!” sergahnya. Kali ini ini dengan nada lepas dan tanpa beban.
Kami melongo. Hidup di gang sempit memang tidak ada kata tanya.
Surabaya, Desember 2007
Kebangkitan Arab: Dalam Kedigdayaan Sastra
Zacky Khairul Uman*
Kompas, 15 Des 2007
Sihir sejarahmu senjakala sudah
Kubur wajah rendah diri itu, kubur warisan tolol itu…
Aku mampu mengubah:
tambang peradaban-inilah namaku
(Adonis, Waqt bayn al-Ramâd wa al-Ward, 2004:12)
PADA mulanya adalah kekalahan. Pada Juni 1967, hujan peluru membanjiri Perang Enam Hari dunia Arab melawan Israel. Inilah perang yang menentukan segalanya. Nasionalisme kerakyatan yang kemudian masyhur dengan Nasserisme, akibat pengaruh Gamal Abdel Nasser, yang sempat membikin gairah kebangkitan bangsa Arab era 1950-an hingga 1960-an, bertekuk lutut menderai air mata.
Pasca-1967 adalah petanda krisis mentalitas Arab. Mulailah, ramai diperbincangkan revitalisasi “tradisi”.
Yang tradisionalis memaksa untuk kembali ke otentisitas Islam sebagai warisan utama Arab. Yang neomodernis berupaya mendialogkan warisan tradisi dengan ide-ide kemajuan dari Barat. Bahkan, ada pula yang sekuler: mendekonstruksi tradisi dan mengambil inspirasi kemajuan Barat. Mulai saat itulah hingga kini, kita mengenal pemikiran brilian dari Adonis, Hassan Hanafi, Abid al-Jabiri, Arkoun, Abu Zayd, dan seterusnya.
Bagi ’Ali Ahmad Sa’id Asbar, nama asli Adonis, seorang sastrawan Arab kontemporer, krisis pascaperang hanya sebuah koinsiden. Mengenai genealogi keterpurukan bangsa Arab, Adonis punya preseden tersendiri. Yakni kala Adonis meneliti puisi-puisi terbaik Arab sepanjang masa, mulai dari era Jahiliah hingga modern. Mulai dari ‘Imru al-Qays hingga Kahlil Gibran, dan membikin buku yang berjilid-jilid dalam Antologi Puisi Arab di awal 1960-an.
Temuan Adonis mencengangkan. Hampir mayoritas produk puisi Arab—yang kita maklumi sebagai intisari karya sastra Arab—mengikuti nalar yang mengekor ke masa lalu. Stilistika dan bentuk puisi Arab manut pada suatu wujud yang baku, mapan, dan tak tergugat.
Jika sastra yang semestinya menabuh perubahan, kreatif, dan dinamis, situasi itu membuat kebudayaan menjadi statis. Adonis menilai kemunduran sastra menjadi ayat bagi kemerosotan budaya yang dipegang oleh mayoritas kemapanan yang statis.
Kritik budaya
Maka, peristiwa 1967 pun menjadi titik balik pula bagi kreativitas Adonis. Karya puisinya yang terbit setelah tahun krisis itu, “Waktu di Antara Abu dan Mawar”, menjadi “baru” sekaligus kritik tajam dan paling berani atas kebudayaan Arab. Mulailah ia meneropong kebudayaan Arab secara keseluruhan, hingga menjadi sebuah disertasi dengan kajian fenomenologis dalam kebudayaan Arab.
Ia membagi kajiannya dalam dua konsep, “yang statis” dan “yang dinamis”, sebagai kecenderungan dua “mazhab” yang bertentangan. Ia menegaskan, baik yang klasik maupun yang modern, menentang “budaya liberal”. Ia melihat kecenderungan ini dalam pemikiran para sarjana Arab klasik dan modern.
Kehidupan Arab tak akan pernah mencapai kemajuan, menurut Adonis, dan tidak dapat mencipta kecuali jika struktur tradisional pemikiran Arab diubah sehingga terjadi perubahan dalam cara memandang dan memahami sesuatu.
Dekonstruksi budaya tidak dilakukan melalui instrumen lain kecuali lewat tradisi itu sendiri. Dalam Deklarasi ke Arah Kebudayaan Arab Baru (1980), Adonis menyerukan untuk membebaskan Arab dari setiap bentuk tradisionalisme, mendesakralisasi masa lalu dan menganggapnya sebagai pengalaman serta pengetahuan yang tak mengikat secara mutlak.
Manifesto modernitas
Adonis menolak nilai-nilai statis dalam membangun tradisi sastra dan budaya. Ia meredefinisi puisi secara prestisius sebagai “visi untuk mengubah dunia”. Dengan mencipta kebaruan dalam ekspresi sastra, Adonis membangun pembaruan dalam kesusastraan yang membuat dirinya sebagai “juru bicara” sastra Arab kontemporer. Visi tersebut berujung pada pembentukan identitas dan kebudayaan baru berdasarkan kebebasan berekspresi dan perubahan yang mencerahkan.
Meski Adonis mengkaji kekuatan inovasi pada gerakan revolusioner (Khawarij dan Qaramith), pemikiran rasional (Mu’tazilah dan sarjana lainnya), dan tasawuf (gerakan esoterisme menentang formalitas syari’ah), tetapi tampaknya Adonis lebih banyak menyoroti kecenderungan kreatif sastra (puisi) untuk meneropong perubahan kebudayaan.
Puisi bagi Adonis adalah “upaya menciptakan dunia baru dengan cara melemparkan masa kini ke masa depan atau membuka pintu-pintu masa kini untuk menerawang masa depan.
Lebih lanjut dalam Zaman Puisi (1972), ia menyatakan, “puisi baru merupakan metafisika eksistensi kemanusiaan; pujangga besar ialah perubah, bukan hanyut dalam keheningan (statis)”. Sebagaimana TS Elliot dalam sastra Inggris, Adonis memang pencipta genre dan mazhab baru serta kritikus sastra Arab yang amat ulung.
Nobel sastra
Adonis, yang beberapa kali dinobatkan sebagai calon peraih Nobel Sastra, menganggap kesusastraan sebagai politis. Dalam manifesto modernitasnya, Adonis meyakini bahwa kesusastraan dapat mengubah dunia secara revolusioner, dengan seorang pujangga memainkan peran utama di dalamnya.
Kreativitas dilihatnya sebagai bukti kebesaran manusia bahwa ia makhluk kreatif. Zaman kreasi ialah dialektika antara yang lahir dan yang batin. Manusia mulai mempersonifikasikan sesuatu yang gaib.
Keyakinan Adonis untuk mengubah kebudayaan diperlukan kreator-kreator yang transformatif. Mereka yang memerankan diri sebagai ubermensch yang mampu menggelorakan spirit zaman. Ia mendeklarasikan diri sebagai kreator itu sendiri. Ia banyak dipuja, tetapi karena itu pula ia banyak dicela.
“Aku menulis dalam bahasa yang mengasingkanku,” ungkap Adonis.
Ya, memang, ia hijrah dari Suriah ke Lebanon terus ke Paris karena tekanan politik, penolakan ide-ide liberalnya serta prahara perang saudara yang menyekam api. Tetapi, ia tak pernah puas berkarya.
Karyanya adalah simbol kreativitas dan perubahan itu sendiri. Adonis, dialah sang penyair-filsuf yang menggegerkan Arab. Ia pembawa kredo dinamis bagi arti sebuah kebebasan, kemanusiaan, dan kemajuan peradaban sebagaimana ia buktikan sebelumnya sebagai pemimpin gerakan “sastra pembebasan” (syi’r hurr) era 1950-an hingga 1960-an.
Ia berseru: liber, libera, phallus….
* Zacky Khairul Uman, Program Studi Arab Universitas Indonesia; Cak Tarno Intitute
Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2007/12/kebangkitan-arab-dalam-kedigdayaan.html
Kompas, 15 Des 2007
Sihir sejarahmu senjakala sudah
Kubur wajah rendah diri itu, kubur warisan tolol itu…
Aku mampu mengubah:
tambang peradaban-inilah namaku
(Adonis, Waqt bayn al-Ramâd wa al-Ward, 2004:12)
PADA mulanya adalah kekalahan. Pada Juni 1967, hujan peluru membanjiri Perang Enam Hari dunia Arab melawan Israel. Inilah perang yang menentukan segalanya. Nasionalisme kerakyatan yang kemudian masyhur dengan Nasserisme, akibat pengaruh Gamal Abdel Nasser, yang sempat membikin gairah kebangkitan bangsa Arab era 1950-an hingga 1960-an, bertekuk lutut menderai air mata.
Pasca-1967 adalah petanda krisis mentalitas Arab. Mulailah, ramai diperbincangkan revitalisasi “tradisi”.
Yang tradisionalis memaksa untuk kembali ke otentisitas Islam sebagai warisan utama Arab. Yang neomodernis berupaya mendialogkan warisan tradisi dengan ide-ide kemajuan dari Barat. Bahkan, ada pula yang sekuler: mendekonstruksi tradisi dan mengambil inspirasi kemajuan Barat. Mulai saat itulah hingga kini, kita mengenal pemikiran brilian dari Adonis, Hassan Hanafi, Abid al-Jabiri, Arkoun, Abu Zayd, dan seterusnya.
Bagi ’Ali Ahmad Sa’id Asbar, nama asli Adonis, seorang sastrawan Arab kontemporer, krisis pascaperang hanya sebuah koinsiden. Mengenai genealogi keterpurukan bangsa Arab, Adonis punya preseden tersendiri. Yakni kala Adonis meneliti puisi-puisi terbaik Arab sepanjang masa, mulai dari era Jahiliah hingga modern. Mulai dari ‘Imru al-Qays hingga Kahlil Gibran, dan membikin buku yang berjilid-jilid dalam Antologi Puisi Arab di awal 1960-an.
Temuan Adonis mencengangkan. Hampir mayoritas produk puisi Arab—yang kita maklumi sebagai intisari karya sastra Arab—mengikuti nalar yang mengekor ke masa lalu. Stilistika dan bentuk puisi Arab manut pada suatu wujud yang baku, mapan, dan tak tergugat.
Jika sastra yang semestinya menabuh perubahan, kreatif, dan dinamis, situasi itu membuat kebudayaan menjadi statis. Adonis menilai kemunduran sastra menjadi ayat bagi kemerosotan budaya yang dipegang oleh mayoritas kemapanan yang statis.
Kritik budaya
Maka, peristiwa 1967 pun menjadi titik balik pula bagi kreativitas Adonis. Karya puisinya yang terbit setelah tahun krisis itu, “Waktu di Antara Abu dan Mawar”, menjadi “baru” sekaligus kritik tajam dan paling berani atas kebudayaan Arab. Mulailah ia meneropong kebudayaan Arab secara keseluruhan, hingga menjadi sebuah disertasi dengan kajian fenomenologis dalam kebudayaan Arab.
Ia membagi kajiannya dalam dua konsep, “yang statis” dan “yang dinamis”, sebagai kecenderungan dua “mazhab” yang bertentangan. Ia menegaskan, baik yang klasik maupun yang modern, menentang “budaya liberal”. Ia melihat kecenderungan ini dalam pemikiran para sarjana Arab klasik dan modern.
Kehidupan Arab tak akan pernah mencapai kemajuan, menurut Adonis, dan tidak dapat mencipta kecuali jika struktur tradisional pemikiran Arab diubah sehingga terjadi perubahan dalam cara memandang dan memahami sesuatu.
Dekonstruksi budaya tidak dilakukan melalui instrumen lain kecuali lewat tradisi itu sendiri. Dalam Deklarasi ke Arah Kebudayaan Arab Baru (1980), Adonis menyerukan untuk membebaskan Arab dari setiap bentuk tradisionalisme, mendesakralisasi masa lalu dan menganggapnya sebagai pengalaman serta pengetahuan yang tak mengikat secara mutlak.
Manifesto modernitas
Adonis menolak nilai-nilai statis dalam membangun tradisi sastra dan budaya. Ia meredefinisi puisi secara prestisius sebagai “visi untuk mengubah dunia”. Dengan mencipta kebaruan dalam ekspresi sastra, Adonis membangun pembaruan dalam kesusastraan yang membuat dirinya sebagai “juru bicara” sastra Arab kontemporer. Visi tersebut berujung pada pembentukan identitas dan kebudayaan baru berdasarkan kebebasan berekspresi dan perubahan yang mencerahkan.
Meski Adonis mengkaji kekuatan inovasi pada gerakan revolusioner (Khawarij dan Qaramith), pemikiran rasional (Mu’tazilah dan sarjana lainnya), dan tasawuf (gerakan esoterisme menentang formalitas syari’ah), tetapi tampaknya Adonis lebih banyak menyoroti kecenderungan kreatif sastra (puisi) untuk meneropong perubahan kebudayaan.
Puisi bagi Adonis adalah “upaya menciptakan dunia baru dengan cara melemparkan masa kini ke masa depan atau membuka pintu-pintu masa kini untuk menerawang masa depan.
Lebih lanjut dalam Zaman Puisi (1972), ia menyatakan, “puisi baru merupakan metafisika eksistensi kemanusiaan; pujangga besar ialah perubah, bukan hanyut dalam keheningan (statis)”. Sebagaimana TS Elliot dalam sastra Inggris, Adonis memang pencipta genre dan mazhab baru serta kritikus sastra Arab yang amat ulung.
Nobel sastra
Adonis, yang beberapa kali dinobatkan sebagai calon peraih Nobel Sastra, menganggap kesusastraan sebagai politis. Dalam manifesto modernitasnya, Adonis meyakini bahwa kesusastraan dapat mengubah dunia secara revolusioner, dengan seorang pujangga memainkan peran utama di dalamnya.
Kreativitas dilihatnya sebagai bukti kebesaran manusia bahwa ia makhluk kreatif. Zaman kreasi ialah dialektika antara yang lahir dan yang batin. Manusia mulai mempersonifikasikan sesuatu yang gaib.
Keyakinan Adonis untuk mengubah kebudayaan diperlukan kreator-kreator yang transformatif. Mereka yang memerankan diri sebagai ubermensch yang mampu menggelorakan spirit zaman. Ia mendeklarasikan diri sebagai kreator itu sendiri. Ia banyak dipuja, tetapi karena itu pula ia banyak dicela.
“Aku menulis dalam bahasa yang mengasingkanku,” ungkap Adonis.
Ya, memang, ia hijrah dari Suriah ke Lebanon terus ke Paris karena tekanan politik, penolakan ide-ide liberalnya serta prahara perang saudara yang menyekam api. Tetapi, ia tak pernah puas berkarya.
Karyanya adalah simbol kreativitas dan perubahan itu sendiri. Adonis, dialah sang penyair-filsuf yang menggegerkan Arab. Ia pembawa kredo dinamis bagi arti sebuah kebebasan, kemanusiaan, dan kemajuan peradaban sebagaimana ia buktikan sebelumnya sebagai pemimpin gerakan “sastra pembebasan” (syi’r hurr) era 1950-an hingga 1960-an.
Ia berseru: liber, libera, phallus….
* Zacky Khairul Uman, Program Studi Arab Universitas Indonesia; Cak Tarno Intitute
Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2007/12/kebangkitan-arab-dalam-kedigdayaan.html
Menulis di Atas Mantera
Sutardji Calzoum Bachri
Media Indonesia, 16 Des 2007
SUDAH lebih dari tiga puluh tahun yang lalu sikap kepenyairan saya paparkan di berbagai kesempatan, antara lain seperti dalam acara pembacaan sajak. Sedikitnya masyarakat pecinta puisi agaknya sudah tahu.
Saya adalah penyair yang menulis tidak dari suatu kekosongan. Saya menulis di atas kertas yang telah berisi tulisan. Saya menulis di atas tulisan. Tulisan itu adalah hasil budaya dari subkultur yang sangat saya akrabi, yaitu budaya Riau berupa mantra.
Dengan atau dari atau di atas mantra itulah saya menulis. Dalam aktivitas menulis, kadang bagian-bagian mantra itu saya pertebal dengan tulisan saya. Kadang mantra itu malah tertutup, terhapus, atau terlupakan karena tulisan saya yang berada di atasnya. Memang salah satu peran menulis ialah upaya untuk menutup atau melupa, yakni melupakan nilai-nilai atau ihwal yang tak lagi relevan untuk masa-masa kini atau masa depan, dengan demikian lebih terfokuskan (tambahan makna) pada bagian-bagian atau nilai-nilai yang masih bermakna untuk masa kini ataupun untuk masa mendatang.
Maka menulis di atas tulisan atau di atas mantra bukanlah sekadar menerima mantra sebagai sesuatu nilai yang siap pakai, tetapi suatu pertemuan atau dialog kritis kreatif yang pada akhirnya memberikan upaya perpanjangan makna bagi mantra lewat kemampuan kreatif dari penyairnya.
Kita tahu sejak tahun 70-an banyak penyair dan para sastrawan lainnya yang kembali mengakrabi subkulturnya masing-masing. Tanpa gembar-gembor untuk memperkaya kebudayaan nasional dengan kebudayaan daerah, para sastrawan dan seniman memberikan ventilasi ekspresi daerahnya tanpa pula menghilangkan ciri khasnya sebagai individu seniman. Mereka betah dengan kultur daerahnya dan tidak merasa terasing atau mendurhakainya. Ia tidak seperti seniman sebelumnya yang antara lain merasa dirinya sebagai binatang jalang yang terbuang, atau malin kundang atau dianggap manusia terbatas terhadap nilai-nilai dari kultur daerahnya.
Kultur lokal ini memberikan kebetahan batin dan menimbulkan rangsangan kreatif bagi para seniman untuk menciptakan karya-karyanya dan sekaligus karakternya.
Kebudayaan tanpa karakter bisa mengakibatkan pelakunya jatuh pada kekosongan dan kehampaan makna. Hidup menjadi pragmatis praktis dan manusia bisa dipandang sebagai nomor-nomor fungsional belaka.
Dalam kancah pemikiran kebudayaan di Indonesia, kesadaran akan pencarian kepribadian menjadi sangat penting. Boleh dikatakan upaya mencari karakter ini hampir sama bermula dengan sejarah kesusastraan modern kita yaitu mulai dari zaman Pujangga Baru sekitar tahun 30-an.
Sebelum Indonesia merdeka, para budayawan dan seniman kita telah merenungkan dan memperdebatkan karakter apa yang akan dianut atau yang menjadi model bagi Indonesia yang kelak merdeka.
Polemik Kebudayaan yang bertahun-tahun berlangsung sejak sekitar tahun tiga puluhan, sebenarnya adalah upaya mencari model lokalitas budaya yang ingin dianut dalam skala besar: Barat atau Timur dengan tokoh-tokohnya Takdir Alisyahbana yang ingin mengadopsi Barat versus Sanusi Pane dan kawan-kawannya yang menyarankan jangan melupakan Timur.
Lewat keberhasilan karya-karya Chairil Anwar yang penuh dengan vitalitas individual, buat sementara, kelompok yang menjagokan Barat memenangi polemik itu.
Namun sejak tahun 70-an, para sastrawan dan seniman lainnya tidak lagi memedulikan masalah Barat atau Timur. Bagi mereka, familiaritas atau keakraban pada suatu nilai dari kultur tertentulah yang menjadi dasar pijakan dan rangsangan untuk berkarya. Ilham mereka muncul dari nilai-nilai kemanusiaan dan kehidupan yang sangat familier untuk mereka.
Karena biasanya yang sangat dikenal dan diakrabi adalah kultur lokal atau tradisi daerah tempat mereka dilahirkan dan dibesarkan. Oleh sebab itu warna lokal, kultur setempat, tradisi, dan mitos-mitosnya menjadi acuan bagi pergulatan kerja kesenian mereka. Akibat kerja mereka, nilai-nilai tradisi lokal menjadi modern, segar kembali. Di tangan para seniman ini, tradisi yang dulunya sering bersikap defensif menjadi kreatif. Unsur kreatif ini akan memperpanjang eksistensi nilai-nilai tradisi atau warna lokal dalam kehidupan masyarakat mendatang, dalam menciptakan sejarah.
Dalam menciptakan sejarah, puisi memiliki peran yang unik. Di satu sisi ia adalah buah dari sejarah. Di sisi lain, ia adalah benih untuk sejarah. Buah pahit bagi Belanda dari sejarah kolonialismenya adalah sebuah puisi besar yang berjudul Sumpah Pemuda, diciptakan oleh sekumpulan pemuda yang tidak mengklaim diri sebagai penyair.
Sumpah Pemuda selama ini memang tidak dikenal sebagai puisi. Tetapi jika kita lihat apa yang dikandung dalam teksnya adalah imajinasi yang ditampilkan lewat kata-kata yang padat, ringkas, dan kuat makna. Karena itu, ia memiliki syarat sebagai sebuah puisi, sebagai karya imajinasi yang padat kata dan kuat makna.
“Kami putra-putri Indonesia berbangsa satu bangsa Indonesia, bertanah air satu tanah air Indonesia, berbahasa satu bahasa Indonesia”. Dalam kenyataannya, pada waktu itu tahun 1928 belum ada atau tidak ada putra-putri Indonesia, yang ada putra-putri Jawa, Sumatra, Sunda, Maluku, Sulawesi dan seterusnya. Juga tidak ada bangsa Indonesia atau tanah air Indonesia, yang nyata ada adalah Hindia Belanda. Tidak ada bahasa Indonesia yang ada bahasa-bahasa daerah dan bahasa Melayu sebagai lingua franca.
Sebagaimana halnya puisi, kandungan teks Sumpah Pemuda adalah imajinasi. Suatu imajinasi yang diungkapkan dengan bahasa yang ringkas, padat, ketat, dan tangkas, suatu hal yang lazim disyaratkan pada puisi.
Puisi Sumpah Pemuda inilah yang merupakan benih yang kelak menumbuhkan sejarah perjuangan bangsa untuk meraih kemerdekaan, menjadikan imajinasi yang terkandung dalam sajak itu sebagai kenyataan.
Puisi-puisi besar atau sekelompok sajak dari beberapa penyair bisa merupakan firasat atau pertanda zaman untuk suatu perbaikan martabat manusia dan kehidupan. Ia bisa memberikan inspirasi untuk menciptakan sejarah.
Maraknya perpuisian yang kembali pada kultur dan tradisi daerah yang heterogen bisa dilihat sebagai koreksi terhadap penafsiran kesatuan dari teks puisi Sumpah Pemuda yang cenderung homogen, seraya mengisyaratkan imbauan untuk lebih memerhatikan warna-warni keragaman kultural dan kepentingan daerah masing-masing.
Tetapi gerakan sastra subkultur yang bermula di tahun 70-an itu barulah mendapatkan ventilasi sosial-politiknya setelah datangnya era Reformasi berupa maraknya otonomi daerah sekitar tahun 2000-an. Keterlambatan 30 tahun ini bisa menunjukkan bahwa suatu politik yang berlandaskan kultural memang masih merupakan cita-cita.
* Sutardji Calzoum Bachri, Penyair
Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/
Media Indonesia, 16 Des 2007
SUDAH lebih dari tiga puluh tahun yang lalu sikap kepenyairan saya paparkan di berbagai kesempatan, antara lain seperti dalam acara pembacaan sajak. Sedikitnya masyarakat pecinta puisi agaknya sudah tahu.
Saya adalah penyair yang menulis tidak dari suatu kekosongan. Saya menulis di atas kertas yang telah berisi tulisan. Saya menulis di atas tulisan. Tulisan itu adalah hasil budaya dari subkultur yang sangat saya akrabi, yaitu budaya Riau berupa mantra.
Dengan atau dari atau di atas mantra itulah saya menulis. Dalam aktivitas menulis, kadang bagian-bagian mantra itu saya pertebal dengan tulisan saya. Kadang mantra itu malah tertutup, terhapus, atau terlupakan karena tulisan saya yang berada di atasnya. Memang salah satu peran menulis ialah upaya untuk menutup atau melupa, yakni melupakan nilai-nilai atau ihwal yang tak lagi relevan untuk masa-masa kini atau masa depan, dengan demikian lebih terfokuskan (tambahan makna) pada bagian-bagian atau nilai-nilai yang masih bermakna untuk masa kini ataupun untuk masa mendatang.
Maka menulis di atas tulisan atau di atas mantra bukanlah sekadar menerima mantra sebagai sesuatu nilai yang siap pakai, tetapi suatu pertemuan atau dialog kritis kreatif yang pada akhirnya memberikan upaya perpanjangan makna bagi mantra lewat kemampuan kreatif dari penyairnya.
Kita tahu sejak tahun 70-an banyak penyair dan para sastrawan lainnya yang kembali mengakrabi subkulturnya masing-masing. Tanpa gembar-gembor untuk memperkaya kebudayaan nasional dengan kebudayaan daerah, para sastrawan dan seniman memberikan ventilasi ekspresi daerahnya tanpa pula menghilangkan ciri khasnya sebagai individu seniman. Mereka betah dengan kultur daerahnya dan tidak merasa terasing atau mendurhakainya. Ia tidak seperti seniman sebelumnya yang antara lain merasa dirinya sebagai binatang jalang yang terbuang, atau malin kundang atau dianggap manusia terbatas terhadap nilai-nilai dari kultur daerahnya.
Kultur lokal ini memberikan kebetahan batin dan menimbulkan rangsangan kreatif bagi para seniman untuk menciptakan karya-karyanya dan sekaligus karakternya.
Kebudayaan tanpa karakter bisa mengakibatkan pelakunya jatuh pada kekosongan dan kehampaan makna. Hidup menjadi pragmatis praktis dan manusia bisa dipandang sebagai nomor-nomor fungsional belaka.
Dalam kancah pemikiran kebudayaan di Indonesia, kesadaran akan pencarian kepribadian menjadi sangat penting. Boleh dikatakan upaya mencari karakter ini hampir sama bermula dengan sejarah kesusastraan modern kita yaitu mulai dari zaman Pujangga Baru sekitar tahun 30-an.
Sebelum Indonesia merdeka, para budayawan dan seniman kita telah merenungkan dan memperdebatkan karakter apa yang akan dianut atau yang menjadi model bagi Indonesia yang kelak merdeka.
Polemik Kebudayaan yang bertahun-tahun berlangsung sejak sekitar tahun tiga puluhan, sebenarnya adalah upaya mencari model lokalitas budaya yang ingin dianut dalam skala besar: Barat atau Timur dengan tokoh-tokohnya Takdir Alisyahbana yang ingin mengadopsi Barat versus Sanusi Pane dan kawan-kawannya yang menyarankan jangan melupakan Timur.
Lewat keberhasilan karya-karya Chairil Anwar yang penuh dengan vitalitas individual, buat sementara, kelompok yang menjagokan Barat memenangi polemik itu.
Namun sejak tahun 70-an, para sastrawan dan seniman lainnya tidak lagi memedulikan masalah Barat atau Timur. Bagi mereka, familiaritas atau keakraban pada suatu nilai dari kultur tertentulah yang menjadi dasar pijakan dan rangsangan untuk berkarya. Ilham mereka muncul dari nilai-nilai kemanusiaan dan kehidupan yang sangat familier untuk mereka.
Karena biasanya yang sangat dikenal dan diakrabi adalah kultur lokal atau tradisi daerah tempat mereka dilahirkan dan dibesarkan. Oleh sebab itu warna lokal, kultur setempat, tradisi, dan mitos-mitosnya menjadi acuan bagi pergulatan kerja kesenian mereka. Akibat kerja mereka, nilai-nilai tradisi lokal menjadi modern, segar kembali. Di tangan para seniman ini, tradisi yang dulunya sering bersikap defensif menjadi kreatif. Unsur kreatif ini akan memperpanjang eksistensi nilai-nilai tradisi atau warna lokal dalam kehidupan masyarakat mendatang, dalam menciptakan sejarah.
Dalam menciptakan sejarah, puisi memiliki peran yang unik. Di satu sisi ia adalah buah dari sejarah. Di sisi lain, ia adalah benih untuk sejarah. Buah pahit bagi Belanda dari sejarah kolonialismenya adalah sebuah puisi besar yang berjudul Sumpah Pemuda, diciptakan oleh sekumpulan pemuda yang tidak mengklaim diri sebagai penyair.
Sumpah Pemuda selama ini memang tidak dikenal sebagai puisi. Tetapi jika kita lihat apa yang dikandung dalam teksnya adalah imajinasi yang ditampilkan lewat kata-kata yang padat, ringkas, dan kuat makna. Karena itu, ia memiliki syarat sebagai sebuah puisi, sebagai karya imajinasi yang padat kata dan kuat makna.
“Kami putra-putri Indonesia berbangsa satu bangsa Indonesia, bertanah air satu tanah air Indonesia, berbahasa satu bahasa Indonesia”. Dalam kenyataannya, pada waktu itu tahun 1928 belum ada atau tidak ada putra-putri Indonesia, yang ada putra-putri Jawa, Sumatra, Sunda, Maluku, Sulawesi dan seterusnya. Juga tidak ada bangsa Indonesia atau tanah air Indonesia, yang nyata ada adalah Hindia Belanda. Tidak ada bahasa Indonesia yang ada bahasa-bahasa daerah dan bahasa Melayu sebagai lingua franca.
Sebagaimana halnya puisi, kandungan teks Sumpah Pemuda adalah imajinasi. Suatu imajinasi yang diungkapkan dengan bahasa yang ringkas, padat, ketat, dan tangkas, suatu hal yang lazim disyaratkan pada puisi.
Puisi Sumpah Pemuda inilah yang merupakan benih yang kelak menumbuhkan sejarah perjuangan bangsa untuk meraih kemerdekaan, menjadikan imajinasi yang terkandung dalam sajak itu sebagai kenyataan.
Puisi-puisi besar atau sekelompok sajak dari beberapa penyair bisa merupakan firasat atau pertanda zaman untuk suatu perbaikan martabat manusia dan kehidupan. Ia bisa memberikan inspirasi untuk menciptakan sejarah.
Maraknya perpuisian yang kembali pada kultur dan tradisi daerah yang heterogen bisa dilihat sebagai koreksi terhadap penafsiran kesatuan dari teks puisi Sumpah Pemuda yang cenderung homogen, seraya mengisyaratkan imbauan untuk lebih memerhatikan warna-warni keragaman kultural dan kepentingan daerah masing-masing.
Tetapi gerakan sastra subkultur yang bermula di tahun 70-an itu barulah mendapatkan ventilasi sosial-politiknya setelah datangnya era Reformasi berupa maraknya otonomi daerah sekitar tahun 2000-an. Keterlambatan 30 tahun ini bisa menunjukkan bahwa suatu politik yang berlandaskan kultural memang masih merupakan cita-cita.
* Sutardji Calzoum Bachri, Penyair
Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/
Kesederhanaan Saut Poltak Tambunan Yang Menyimpan Luka Bahagia
Judul Buku : Sengkarut Meja Makan
Penulis : Saut Poltak Tambunan
Penerbit : Selasar Pena Talenta – Jakarta Timur
Cetakan : I, Maret 2011
Harga : Rp. 44.000, 00
ISBN : 978-602-97300-1-2
Peresensi : Lina Kelana
http://sastra-indonesia.com/
Apa yang kita tangkap dari suatu kesederhanaan bukan hal yang sekedar “cukup” untuk dimaknai dengan sederhana terhadap sesuatu yang lumrah/lazim. Tetapi ternyata lebih dari sekedar batasan biasa dan tak biasa. Dari sinilah kita (bisa) “ter”mahfumi untuk memaknai sebuah kesederhanaan dengan sempurna.
Dalam “cerita” klise kepenulisan_sastra; gaya bahasa, metafora, diksi, dansebagainya mungkin menjadi hal yang patut mendapat “perhatian” yang lebih cermat dan seksama dalam penyampaian sebuah karya. Perkara nanti di”lontar”kan dalam “logat” yang “santun” maupun sebaliknya, “kasar”, itu menjadi hal yang dipertimbangkan selanjutnya. Namun yang menjadi inti permasalahan adalah “sampai tidak”nya pesan-pesan yang hendak dibagi kepada oranglain_pembaca. Bagaimana pembaca mampu masuk ataupun dimasuki atas ruh sebuah karya. Diksi dan pelbaagai “hiasan” bahasa kemudian menjadi luruh manakala yang kita pahami hanya serentetan kata yang membentuk kalimat-kalimat menjadi paragraph-paragraf tanpa makna. Kalau bisa dipermisalkan, hal ini semacam banyak harta, tetapi banyak hutang. (He..he..he)
Lepas dari bagaimana teori menilai atau mengklasifikasikan suatu karya ke dalam satu golongan tertentu, tak perlu kiranya hal tersebut diperdebatkan. Bagaimana pembaca “menuduh” penulis masuk atau menganut/mendukung manisterm tertentu atau tidak, karya akan menentukan jalan hidupnya sendiri. Bahkan, beberapa penulis kemudian_tanpa disadari_ “belajar” lebih arif memaknai hidupnya justru dari karya yang dibuatnya sendiri. Hal ini tentunya membawa pengaruh positif bagi kebaikan, termasuk pada pembacanya.
Jika Kahlil Gibran menyampaikan karyanya dalam bentuk sebuah narasi surat puisi, Imam Budi santosa yang mematahkan “penilaian” masyarakat dengan “gugatan”nya terhadap mitos Jawa, Pringadi Abdi Surya dengan “ketakwarasan”nya, dan Bamby Cahyadi dengan “kelembutan”nya, maka Saut Poltak Tambunan memiliki keunikan dengan “kesederhanaan”nya yang meng”kamera” ironisme kehidupan dengan renyah. Di mana di dalamnya terangkum manis, asam, asin, pahit, dan getirnya “nasib” manusia dalam kisah laku hidup yang beragam. Kejadian-kejadian yang kerap kita abaikan dari “penglihatan” (entah sengaja atau tidak). Dan ini dipoles sedemikian hingga ada kenikmatan tersendiri di dalamnya. SPT berhasil mengunggah kesempurnaan dari kesederhanaan yang dimilikinya.
“ Setiap hari deru mesin traktor menggaruk-garuk keperkasaannya di tanah sekeliling. Puluhan traktor dan ratusa truk pengangkut tanah menyulap seketika dan meratakan tanah berbukit-bukit….” ( hal 38)
“ Menurut Kiman, dokumen-dokumen temuannya itu membuat anak-anaknya makan bagai berpesta. Bu Kiman mengolah kertas sertifikat jadi bubur. Naskah kontrak bisnis dibuat bakso. Nota-nota rahasia dirajang jadi pecel. Menurut Kirman, nota pinjaman luar negri lebih nikmat dari dokumen-dokumen lainnya” (hal 76).
SPT dengan detil dan cekatan membuka luka-luka dengan birahi yang manis. Sesekali dentuman dan ledakan dicetuskan di beberapa bagian kisah. Pembaca seperti diajak untuk “bertengkar” atau “menciptakan pertengkaran” dengan diri sendiri. Sebuah kontradiksi yang berdiri di atas impian, harapan, keinginan, kesadaran, kekecewaan, juga penderitaan. Yang kesemuanya adalah segmen-segmen yang ada dalam luka-luka yang entah bisa sembuh ataukah tidak. Hal yang paling dekat dilakukan untuk memaknai hakekat hidup dan “eksistensi” diri dan ke”diri”an dalam kehidupan.
Maret 2011
Penulis : Saut Poltak Tambunan
Penerbit : Selasar Pena Talenta – Jakarta Timur
Cetakan : I, Maret 2011
Harga : Rp. 44.000, 00
ISBN : 978-602-97300-1-2
Peresensi : Lina Kelana
http://sastra-indonesia.com/
Apa yang kita tangkap dari suatu kesederhanaan bukan hal yang sekedar “cukup” untuk dimaknai dengan sederhana terhadap sesuatu yang lumrah/lazim. Tetapi ternyata lebih dari sekedar batasan biasa dan tak biasa. Dari sinilah kita (bisa) “ter”mahfumi untuk memaknai sebuah kesederhanaan dengan sempurna.
Dalam “cerita” klise kepenulisan_sastra; gaya bahasa, metafora, diksi, dansebagainya mungkin menjadi hal yang patut mendapat “perhatian” yang lebih cermat dan seksama dalam penyampaian sebuah karya. Perkara nanti di”lontar”kan dalam “logat” yang “santun” maupun sebaliknya, “kasar”, itu menjadi hal yang dipertimbangkan selanjutnya. Namun yang menjadi inti permasalahan adalah “sampai tidak”nya pesan-pesan yang hendak dibagi kepada oranglain_pembaca. Bagaimana pembaca mampu masuk ataupun dimasuki atas ruh sebuah karya. Diksi dan pelbaagai “hiasan” bahasa kemudian menjadi luruh manakala yang kita pahami hanya serentetan kata yang membentuk kalimat-kalimat menjadi paragraph-paragraf tanpa makna. Kalau bisa dipermisalkan, hal ini semacam banyak harta, tetapi banyak hutang. (He..he..he)
Lepas dari bagaimana teori menilai atau mengklasifikasikan suatu karya ke dalam satu golongan tertentu, tak perlu kiranya hal tersebut diperdebatkan. Bagaimana pembaca “menuduh” penulis masuk atau menganut/mendukung manisterm tertentu atau tidak, karya akan menentukan jalan hidupnya sendiri. Bahkan, beberapa penulis kemudian_tanpa disadari_ “belajar” lebih arif memaknai hidupnya justru dari karya yang dibuatnya sendiri. Hal ini tentunya membawa pengaruh positif bagi kebaikan, termasuk pada pembacanya.
Jika Kahlil Gibran menyampaikan karyanya dalam bentuk sebuah narasi surat puisi, Imam Budi santosa yang mematahkan “penilaian” masyarakat dengan “gugatan”nya terhadap mitos Jawa, Pringadi Abdi Surya dengan “ketakwarasan”nya, dan Bamby Cahyadi dengan “kelembutan”nya, maka Saut Poltak Tambunan memiliki keunikan dengan “kesederhanaan”nya yang meng”kamera” ironisme kehidupan dengan renyah. Di mana di dalamnya terangkum manis, asam, asin, pahit, dan getirnya “nasib” manusia dalam kisah laku hidup yang beragam. Kejadian-kejadian yang kerap kita abaikan dari “penglihatan” (entah sengaja atau tidak). Dan ini dipoles sedemikian hingga ada kenikmatan tersendiri di dalamnya. SPT berhasil mengunggah kesempurnaan dari kesederhanaan yang dimilikinya.
“ Setiap hari deru mesin traktor menggaruk-garuk keperkasaannya di tanah sekeliling. Puluhan traktor dan ratusa truk pengangkut tanah menyulap seketika dan meratakan tanah berbukit-bukit….” ( hal 38)
“ Menurut Kiman, dokumen-dokumen temuannya itu membuat anak-anaknya makan bagai berpesta. Bu Kiman mengolah kertas sertifikat jadi bubur. Naskah kontrak bisnis dibuat bakso. Nota-nota rahasia dirajang jadi pecel. Menurut Kirman, nota pinjaman luar negri lebih nikmat dari dokumen-dokumen lainnya” (hal 76).
SPT dengan detil dan cekatan membuka luka-luka dengan birahi yang manis. Sesekali dentuman dan ledakan dicetuskan di beberapa bagian kisah. Pembaca seperti diajak untuk “bertengkar” atau “menciptakan pertengkaran” dengan diri sendiri. Sebuah kontradiksi yang berdiri di atas impian, harapan, keinginan, kesadaran, kekecewaan, juga penderitaan. Yang kesemuanya adalah segmen-segmen yang ada dalam luka-luka yang entah bisa sembuh ataukah tidak. Hal yang paling dekat dilakukan untuk memaknai hakekat hidup dan “eksistensi” diri dan ke”diri”an dalam kehidupan.
Maret 2011
Rabu, 13 April 2011
Ibu Bumi
Rodli TL
http://sastra-indonesia.com/
Sinopsis:
Seorang ibu, bagi anak-anaknya adalah bumi. Wajahnya adalah dedauanan menyambut fajar, sejuk menyelimuti. Jiwanya adalah ladang berbenih, penuh dengan kicauan burung pagi.
Anak-anak kemudian bertanya tentang bapaknya. Ibu berkata bahwa bapaknya adalah matahari, pergi dalam gelap datang membawa cahaya. Anaka-anak terus menuntut jawaban yang lebih tentang ayah yang matahari itu. Ibu kemudian sulit bersikap, lalu dengan berat hati pergi meninggalkan anak-anaknya.
Lama ibu tak kembali. Anak-anak mencarinya. Kepergian ibu akan mencerabut akar-kar tumbuhan, padahal anak-anak masih ingin melihat taman di rumah yang bunganya bermekaran, kebun yang biji-bijiannya bisa dimakan. Kepergian ibu membuat anak-anak lunglai, dedaunan layu, tiada lagi nyanyian kumbang dan tarian kupu-kupu.
Anak-anak kemudian memutuskan untuk mencari ibu yang lama tak kembali. Mereka tak menemukannya. Yang mereka temukan hanyalah pertengkaran-pertengkaran tentang apa saja yang mereka temukan di pinggir jalan.
Setting:
Setting cerita ini adalah diawali di taman rumah yang penuh dengan bunga-bunga. Kemudian berlanjut di jalanan yang gersang.
Tokoh:
1. Ibu, mulai terlihat garis pada wajahnya, lantaran beban yang ditanggungnya.
2. Sia, anak perempuan yang paling kecil. Masih terlihat paling manja.
3. Bam, kakak laki-laki Sia yang gagap.
4. Mata, kakak Bam, anak perempuan yang paling cerewet dan kadang egois.
5. Manto, anak laki-laki yang agak jahil, juga tidak mau mengalah kalau berdebat.
6. Ifik, Anak laki-laki yang karakternya biasa-biasa saja
7. Ovan, saudara tertua. Anak laki-laki yang jiwanya sudah mulai dewasa.
Ibu Bumi
Karya: Rodli TL
Suara musik bertalu dalam gelap.
Nyanyian sluku bathok memanggil cahaya.
Cahaya temaram, cahaya terang menyisir gelap panggung,
menyirami kerumunan anak-anak berwajah putih.
Sumber dari musik, sumber dari nyanyian.
Sluku-sluku bathok
Bathoke ela-elu
Si Romo menyang solo
Le-olee payung modo
Mak jentit loloba
Sing mati ora oba
Sing oba medeni bocah
Sing urip goleko duwit
Musik diam
Nyanyian diam
Tubuh-tubuh statis dengan tarian,
Wajah-wajah mengekpresikan nyanyian.
Hening
Seorang ibu muncul dengan nyanyiannya. Ia menari dengan menggendong bayi, Ia lambaikan selendang gendongan mengudang bayinya. Nyanyiannya sama seperti pembuka adegan.
1. Ibu : Anakku, kau adalah anak bumi dan matahari
Jiwamu akan tenang bersama ibu. Ibu adalah bumi yang mengandung sari patih, penuh dengan akar-akar tumbuhan
Sedangkan ayahmu
Ia adalah matahari,
Pergi dalam gelap datang membawa cahaya
(lalu Menyanyi)
Puk-upuk ubang
Gedindang nabo gendang
Percil nabo gender
Kodok mbegogok
Ceblong megal-megol
Tubuh-tubuh yang statis ikut bergoyang, ikut menyanyi dengan gemulai tubuh yang menggemaskan, seperti bayi yang sedang dikudang.
2. Anak-anak : (menyanyi mengikuti nyanyian Ibu)
Ibu diam pada satu tempat. Menyaksikan anak-anaknya yang sedang menyanyi dan menari dengan senyuman
3. Sia : Ibuku, kau adalah bumi
Wajahmu adalah dedauanan menyambut fajar,
Sejuk menyelimuti
Jiwamu adalah ladang berbenih,
Penuh dengan kicauan burung pagi
Aku menyusumu ibu, bagai samudra
Tidak pernah habis kasih sayangmu
Upuk-upuk ubang, engkau mengajakku bermain
Bagai anak-anak katak menyambut hujan
Anak-anak bermain dan menyanyi. ia bergerak berenang, melompat-lompat seperti anak katak dalam deras hujan.
4. Mata : Hujan telah reda, hujan telah reda…….!
Berhenti menyanyi!
5. Manto : Kenapa mesti berhenti?
6. Mata : Lihat langit, ia sedang meminta kita berhenti menyanyi
7. Bam : Apa bukti ia mengatakannya?
8. Mata : Lihat, langit tidak menurunkan hujan lagi, hujan telah reda
9. Manto : Justru katak-katak akan semakin nyaring bernyanyi kalau hujan mulai reda
10. Mata : Tapi kita bukan katak-katak, kita adalah anak-anak beribu bumi dan berayah matahari
Anak-anak kembali bernyanyi dan menari. tariannya mempertegas tentang keluasan kasih sayang ibu dan keperkasaan ayahnya.
Ibuku bumi
Ayahku matahari
Berhenti
11. Ifik : Ya, saya berpendapat, kita memang harus berhenti bernyanyi bila kita ingin bertemu dengan ayah kita
12. Ovan : Ya, bila jiwa-jiwa kita menjadi katak, ayah akan takut datang, bukan lantaran malu melihat kita yang kerdil, ayah yang matahari itu takut akan menyakiti kita. Katak adalah binatang yang takut akan sengatan matahari.
Tiba-tiba ibu muncul lagi dengan nyanyiannya. Lembut ia menyanyi. Ada rasa gundah menunggu sang ayah datang untuk menyinari jiwanya.
13. Bam : Lihat ibu, jiwanya berlinang ia harus dihibur dalam hujan jangan biarkan mendung terus menebal kita harus bernyanyi lagi seperti katak-katak dalam hujan
14. Mata : Tapi hujan telah berhenti
15. Manto : Apa, hujan telah berhenti?
Tidakkah engkau melihat bahwa ada gerimis pada mata ibu, ada mendung tebal dalam jiwanya
16. Bam : Dan kita akan menjadi katak-katak yang bernyayi.
Syairnya adalah dendang tawa riuh.
Rasa damai pada jiwa-jiwa yang mendengarkannya
17. Mata: Tidak, kita tidak boleh bernyanyi, kita tidak boleh tertawa bila ada satu bagian dari kita yang duka
18. Manto : Justru ibu akan bertambah sedih bila kita ikut bersedih.
19. Mata : Tapi, kita adalah satu tubuh dengan ibu, bila satu bagian ada yang sakit, maka bagian yang lain ikut merasakannya
20. Bam : Tapi, tidakkah kau tahu, bahwa kebahagiaan seorang ibu apabila melihat buah hatinya bahagia
21. Ifik : Akan tetapi, pantaskah kita bergembira ria sedangkan ibu menderita
22. Mata : Perlu saya tegaskan, kita adalah satu tubuh, dalam suka dan duka kita harus berbagi bersama
Ibu berjalan mendekati anak-anaknya. Ia membelainya satu bersatu dengan kasih sayang.
23. ibu : Menyanyilah anak-anaku!
Dirimu yang masih putih adalah deretan syair-syair keceriaan.
Kalian ciptakan menara-menara tawa. Kalian yang membuatku hidup penuh harap, berharap sang matahari datang, menyinari isi taman
rumah.
Daun-daun hijau menyambutnya dengan mekar bunganya.
Musik sedih
Ibu kemudian diam menerawang. Raut wajahnya mulai terlihat sedih. Lama-lama mengalir air matanya. Tiba-tiba ibu bergegas pergi meninggalkan anak-anaknya
24. Sia : (berteriak memanggil) Ibu……! Engkau kemana……!
Jangan tinggalkan kami ibu………..!
Sia berusaha mengejar ibu. suasana menjadi sepi, anak-anak saling berpandangan.
Tak lama kemudian, Sia kembali pada saudara-saudaranya.
25. Sia : Ibu, jangan kau tinggalkan kami!
Kepergianmu akan mencerabut akar-akar tumbuhan.
Aku masih ingin melihat taman di rumah yang bunganya bermekaran.
Kebun yang biji-bijiannya bisa dimakan.
Kepergianmu ibu, membuat kami lunglai.
Dedaunan akan layu.
Tiada lagi nyanyian kumbang dan tarian kupu-kupu.
Anak-anak menangis, mereka bergerak dengan tatapan mata yang sedih. tangisannya menjadi nyanyian duka.
Sia melantunkan nyanyian sedihdi iringi musik
26. Sia :
Oh, ibu air matamu
Ku ingin bersimpu padamu
Nyanyikan dongeng belaianmu
Surga ditelapak kakimu
27. Manto : (berteriak marah) Ini semua gara-gara kamu!
28. Mata : Apa, gara-gara aku?
29. Manto : Ya, gara-gara kamu!
30. Mata : Justru kamu yang membuat gara-gara
31. Manto : Apa, justru aku yang membuat gara-gara?
Anak-anak mulai bertengkar lagi, mereka saling menyalakan. Mereka bergerak berkelompok menjadi dua. gerakanya menjadi tarian yang saling menyerang.
32. Mata : Gara-gara kamu!
33. Manto : Mukamu yang membuat gara-gara!
34. Mata : Gara-gara kamu
35. Manto : Mukamu!
36. Mata : Kamu!
37. Manto : Mukamu!
38. Mata : Kamu!
39. Mata : Mukamu!
Terus mereka bertengkar, semakin lama semakin bergejolak
Semakin lama kemudian mereka mengalami kelelahan
Anak-anak lalu memanggil ibu secara bergantian
40. Anak anak : Ibu, aku kehausan
Aku ingin menyusui kasih sayangmu. Berulangkali mereka memanggil-manggil ibunya, namun tak kunjung datang. Sia melantunkan nyanyian sedih
41. Sia :
Oh, ibu air matamu
Ku ingin bersimpu padamu
Nyanyikan dongeng belaianmu
Surga ditelapak kakimu
42. Ovan : Saudaraku, kita sedang merasakan penderitaan yang sama.
Ibu yang merupakan ladang kasih sayang buat kita telah pergi. Kita menjadi itik yang kehilangan induknya. Kita harus mencari ibu sampai ketemu
Mereka bergerak bersama mencari ibunya. Lama kemudian mereka belum menemukan.
Malam hari terus mencarinya dengan membawa lenter. Mereka bergerak seperti perahu terombang-ambing ombak di malam hari
Pagi harinya mereka tertidur lelap.
Sia bangun lebih awal. lalu ia membangunkan saudaranya dengan nyanyian.
Nyanyiannya cukup ceria kali ini.
43. Sia :
Inilah pagi ayam jantan berkokok
Membangunkan matahari
Embun-embun bercengkrama
Pada rerumputan
Anak-anak tersentak bangun. Ia seakan mendengar nyanyian yang seringkali dilantunkan ibunya ketika pagi hari.
44. Mata : Ibu, kau datang ibu
45. Manto : Ya ibu, aku rindu
46. Bam : Ibu, kemana saja engaku pergi
47. Ifik : Aku ingin memelukmu ibu
48. Ovan : Ayo kita pulang ibu
Anak-anak seakan betul-betul menemukan ibunya
49. Sia : Ibu masih belum kita temukan
50. Mata : Tapi aku sudah menemukan, aku menemukan suarahnya
51. Manto : Ya, ia melantunkan tembang yang biasa ia nyanyikan ketika membangunkan kita
52. Mata : Dimana ibu, dimana ia sekarang?
53. Sia : Aku yang menyanyikan tembang itu untuk membangunkan kalian. Aku ingin kalian segera bangun dan cepat melanjutkan pencarian. Aku sungguh merindukan ibu. (melamun)
54. Ovan : Ayo kita kemasi barang-barang dan melanjutkan perjalanan
55. Mata : Sebelum berangkat, saya berpendapat sebaiknya kita berpencar
56. Bam : Ya, saya setuju. Kita harus berpencar, bergerak ke empat Penjuru, dan disini adalah titik poros dimana kita berpisah dan bertemu
57. Manto : ya, mulai hari ini kita bergerak mencari ibu ke beberapa penjuru yang berbeda.
Anak-anak bergerak dengan memanggil-manggil ibunya. Pencarian itu berlangsung beberapa waktu.
Tiba-tiba Mata dan Manto bertemu pada satu tempat.
58. Manto : Hai, kenapa kau berada di sini?
59. Mata : Ini wilayahku
60. Manto : Wilayah ini adalah mata angin yang kutujuh
61. Mata : Kamu salah arah. kamu mungkin menikung dalam perjalanan
62. Manto : Kamu yang mungkin tidak konsisten dalam pencarian, sehingga kau kini berada di wilayaku
63. Mata : Tidak, kau yang salah. Ini adalah arah yang aku tujuh
64. Manto : Tidak, kau yang salah. ini adalah arah mata anginku. ini daerah kekuasaanku
65. Mata : Arah mata anginku
Mereka berdua terus berdebat merebutkan kebenaran mata angin yang masing-masing mereka tujuh.
Tiba-tiba satu persatu muncul pada tempat yang sama, yaitu daerah yang kini sedang dipersengketakan.
66. Ifik : Hai, kenapa kalian bertengkar di sini?
Mata dan Manto berhenti berdebat, dan saling menatap dengan tatapan tanya.
67. Mata : Kenapa kalian semua kemari
68. Ifik : Kalian juga kenapa berada di sini?
69. Ovan : Pertanyaan itu sama seperti apa yang ada dalam benakku, kenapa kalian berada di wilayah di mana kita berada. Pasti diantara kita ada yang tidak konsisten dalam melakukan pencarian. Tidak setia pada tujuan masing-masing. Peristiwa semacam inilah yang merupakan awal dari pertengkaran, penyebab perang saudara. Ingat, pasti diantara kita semua mengalaminya. Kita pernah berbelok dalam meniti arah tujuan. kita pernah lengah.
70. Ifik : Ya, aku akui itu. semacam ada godaan yang membuatku lengah. Aku menemukan banyak wajah di jalan-jalan, di perempatan-perempatan.
71. Bang : Sama, aku juga menemukannya
72. Ifik : Itu persis terjadi pada diriku, kemudian aku berfikir, pasti diantara wajah-wajah yang dipamerkan itu ada wajah ayah kita
73. Manto : Pasti, pasti. ya aku bisa memastikan
74. Mata : Maksud kamu?
75. Manto : Pasti diantara wajah-wajah itu tidak ada wajah ibu, karena aku mengenal betul wajah ibu.
76. Mata : Pikiran yang tolol itu jangan diutarakan
77. Manto : Maksud kamu?
78. Mata : Siapa yang tidak mengenal ibu diantara kita. Ibu bukanlah
Politkus murahan yang dipamerkan di perempatan-perempatan.
Ibu tidak memiliki banyak wajah apalagi banyak rupa. Ibu kita adalah satu bumi yang memiliki akar-akar kasih sayang, yang jiwanya terus-menerus menjadi tempat tinggal anak-anaknya.
79. Manto : Dosa besar kamu, melakukan apa yang kamu larang
80. Mata : Maksud kamu?
81. Manto : Kamu mengatakan bahwa fikiran-fikiran itu adalah ketololan, sedangkan yang kamu ungkapkan tadi apa, apa bukan ketololan juga?
82. Mata : Ketololan itu adalah kita yang masih berusaha membandingkan ibu kita dengan para perempuan yang hanya ingin menjadi selebritis di jalan-jalan. Sekali lagi, ibu kita hanya ingin anak-anaknya punya cita-cita besar dan berakhlaqul karimah, berani menolak yang dholim karena akan mendapat lebih dari sepuluh kebaikan dari yang ia tolak.
83. Manto : Pandai juga kamu berdeplomasi. Apa yang kau sampaikan tidak sama dengan tabiat yang kamu perbuat. Jangan-jangan kau iri dengan para politikus-politikus itu yang berkesempatan memamerkan wajahnya di slokan-slokan tempat sampah. Terus terang aja, irilantaran tidak punya kendaraan, iri lantaran tidak punya uang.
84. Mata : Shut up! tutup mulutmu. Aku anak ibu bumi dan ayah matahari. Aku adalah saudaramu seibu dan seayah. kamu tahu sendiri. Ibu dan ayah tidak pernah mengajari anak-anaknya tentang kemunafikan. Ibu dan ayah tidak pernah mengajari anak-anaknya menggunakan segala cara untuk menggapai keinginannya.
85. Ovan : Hentikan!……… hentikan semua omong kosong itu!
Selama ini aku adalah orang yang paling kuat menahan amarah. Namun kali ini dadaku terasa membuncah, telingaku mau pencah mendengar ocehan-ocehan itu. Sungguh amarahku ingin meledak setiap kali mendengar kemunafikan yang terus-menerus diperdagangkan, terlebih lagi kemunafikan itu mulai menyusup dalam darah dan fikiran kita. Ini adalah penyakit yang paling akut. (berteriak-teriak dengan menangis) Aku benci! Aku muak! Aku marah! Aku tak mau lagi omong kosong itu!
Tiba-tiba semua anak ikut berteriak histeris
86. Anak-anak : Hentikan omong kosong kemunafikan. Aku, juga saudara-saudaraku tak mau menderita penyakit yang paling nista, menjadi pembohong, menjadi penipu. Aku masih ingin setia pada ibu yang mengajari kasih sayang. Aku masih ingin setia pada ayah yang matahari, yang mengajariku dengan tegas menolak segala cara dusta dan tipu daya. hentikan omong kosong kemunafikan itu!”
kalimat-kalimat itu bersahut-sahutan seperti halilintar, menyerbu pohon-pohon, menara-menara, gedung-gedung terbang menjadi mendung gelap.
87. Sia:
Oh, ibu air matamu
Ku ingin bersimpu padamu
Nyanyikan dongeng belaianmu
Surga ditelapak kakimu
Suasana pelan mulai diam. diam-diam merenungi diri, diam-diam mengaliri isi hati.
TAMAT
Lamongan, Januari 2009
http://sastra-indonesia.com/
Sinopsis:
Seorang ibu, bagi anak-anaknya adalah bumi. Wajahnya adalah dedauanan menyambut fajar, sejuk menyelimuti. Jiwanya adalah ladang berbenih, penuh dengan kicauan burung pagi.
Anak-anak kemudian bertanya tentang bapaknya. Ibu berkata bahwa bapaknya adalah matahari, pergi dalam gelap datang membawa cahaya. Anaka-anak terus menuntut jawaban yang lebih tentang ayah yang matahari itu. Ibu kemudian sulit bersikap, lalu dengan berat hati pergi meninggalkan anak-anaknya.
Lama ibu tak kembali. Anak-anak mencarinya. Kepergian ibu akan mencerabut akar-kar tumbuhan, padahal anak-anak masih ingin melihat taman di rumah yang bunganya bermekaran, kebun yang biji-bijiannya bisa dimakan. Kepergian ibu membuat anak-anak lunglai, dedaunan layu, tiada lagi nyanyian kumbang dan tarian kupu-kupu.
Anak-anak kemudian memutuskan untuk mencari ibu yang lama tak kembali. Mereka tak menemukannya. Yang mereka temukan hanyalah pertengkaran-pertengkaran tentang apa saja yang mereka temukan di pinggir jalan.
Setting:
Setting cerita ini adalah diawali di taman rumah yang penuh dengan bunga-bunga. Kemudian berlanjut di jalanan yang gersang.
Tokoh:
1. Ibu, mulai terlihat garis pada wajahnya, lantaran beban yang ditanggungnya.
2. Sia, anak perempuan yang paling kecil. Masih terlihat paling manja.
3. Bam, kakak laki-laki Sia yang gagap.
4. Mata, kakak Bam, anak perempuan yang paling cerewet dan kadang egois.
5. Manto, anak laki-laki yang agak jahil, juga tidak mau mengalah kalau berdebat.
6. Ifik, Anak laki-laki yang karakternya biasa-biasa saja
7. Ovan, saudara tertua. Anak laki-laki yang jiwanya sudah mulai dewasa.
Ibu Bumi
Karya: Rodli TL
Suara musik bertalu dalam gelap.
Nyanyian sluku bathok memanggil cahaya.
Cahaya temaram, cahaya terang menyisir gelap panggung,
menyirami kerumunan anak-anak berwajah putih.
Sumber dari musik, sumber dari nyanyian.
Sluku-sluku bathok
Bathoke ela-elu
Si Romo menyang solo
Le-olee payung modo
Mak jentit loloba
Sing mati ora oba
Sing oba medeni bocah
Sing urip goleko duwit
Musik diam
Nyanyian diam
Tubuh-tubuh statis dengan tarian,
Wajah-wajah mengekpresikan nyanyian.
Hening
Seorang ibu muncul dengan nyanyiannya. Ia menari dengan menggendong bayi, Ia lambaikan selendang gendongan mengudang bayinya. Nyanyiannya sama seperti pembuka adegan.
1. Ibu : Anakku, kau adalah anak bumi dan matahari
Jiwamu akan tenang bersama ibu. Ibu adalah bumi yang mengandung sari patih, penuh dengan akar-akar tumbuhan
Sedangkan ayahmu
Ia adalah matahari,
Pergi dalam gelap datang membawa cahaya
(lalu Menyanyi)
Puk-upuk ubang
Gedindang nabo gendang
Percil nabo gender
Kodok mbegogok
Ceblong megal-megol
Tubuh-tubuh yang statis ikut bergoyang, ikut menyanyi dengan gemulai tubuh yang menggemaskan, seperti bayi yang sedang dikudang.
2. Anak-anak : (menyanyi mengikuti nyanyian Ibu)
Ibu diam pada satu tempat. Menyaksikan anak-anaknya yang sedang menyanyi dan menari dengan senyuman
3. Sia : Ibuku, kau adalah bumi
Wajahmu adalah dedauanan menyambut fajar,
Sejuk menyelimuti
Jiwamu adalah ladang berbenih,
Penuh dengan kicauan burung pagi
Aku menyusumu ibu, bagai samudra
Tidak pernah habis kasih sayangmu
Upuk-upuk ubang, engkau mengajakku bermain
Bagai anak-anak katak menyambut hujan
Anak-anak bermain dan menyanyi. ia bergerak berenang, melompat-lompat seperti anak katak dalam deras hujan.
4. Mata : Hujan telah reda, hujan telah reda…….!
Berhenti menyanyi!
5. Manto : Kenapa mesti berhenti?
6. Mata : Lihat langit, ia sedang meminta kita berhenti menyanyi
7. Bam : Apa bukti ia mengatakannya?
8. Mata : Lihat, langit tidak menurunkan hujan lagi, hujan telah reda
9. Manto : Justru katak-katak akan semakin nyaring bernyanyi kalau hujan mulai reda
10. Mata : Tapi kita bukan katak-katak, kita adalah anak-anak beribu bumi dan berayah matahari
Anak-anak kembali bernyanyi dan menari. tariannya mempertegas tentang keluasan kasih sayang ibu dan keperkasaan ayahnya.
Ibuku bumi
Ayahku matahari
Berhenti
11. Ifik : Ya, saya berpendapat, kita memang harus berhenti bernyanyi bila kita ingin bertemu dengan ayah kita
12. Ovan : Ya, bila jiwa-jiwa kita menjadi katak, ayah akan takut datang, bukan lantaran malu melihat kita yang kerdil, ayah yang matahari itu takut akan menyakiti kita. Katak adalah binatang yang takut akan sengatan matahari.
Tiba-tiba ibu muncul lagi dengan nyanyiannya. Lembut ia menyanyi. Ada rasa gundah menunggu sang ayah datang untuk menyinari jiwanya.
13. Bam : Lihat ibu, jiwanya berlinang ia harus dihibur dalam hujan jangan biarkan mendung terus menebal kita harus bernyanyi lagi seperti katak-katak dalam hujan
14. Mata : Tapi hujan telah berhenti
15. Manto : Apa, hujan telah berhenti?
Tidakkah engkau melihat bahwa ada gerimis pada mata ibu, ada mendung tebal dalam jiwanya
16. Bam : Dan kita akan menjadi katak-katak yang bernyayi.
Syairnya adalah dendang tawa riuh.
Rasa damai pada jiwa-jiwa yang mendengarkannya
17. Mata: Tidak, kita tidak boleh bernyanyi, kita tidak boleh tertawa bila ada satu bagian dari kita yang duka
18. Manto : Justru ibu akan bertambah sedih bila kita ikut bersedih.
19. Mata : Tapi, kita adalah satu tubuh dengan ibu, bila satu bagian ada yang sakit, maka bagian yang lain ikut merasakannya
20. Bam : Tapi, tidakkah kau tahu, bahwa kebahagiaan seorang ibu apabila melihat buah hatinya bahagia
21. Ifik : Akan tetapi, pantaskah kita bergembira ria sedangkan ibu menderita
22. Mata : Perlu saya tegaskan, kita adalah satu tubuh, dalam suka dan duka kita harus berbagi bersama
Ibu berjalan mendekati anak-anaknya. Ia membelainya satu bersatu dengan kasih sayang.
23. ibu : Menyanyilah anak-anaku!
Dirimu yang masih putih adalah deretan syair-syair keceriaan.
Kalian ciptakan menara-menara tawa. Kalian yang membuatku hidup penuh harap, berharap sang matahari datang, menyinari isi taman
rumah.
Daun-daun hijau menyambutnya dengan mekar bunganya.
Musik sedih
Ibu kemudian diam menerawang. Raut wajahnya mulai terlihat sedih. Lama-lama mengalir air matanya. Tiba-tiba ibu bergegas pergi meninggalkan anak-anaknya
24. Sia : (berteriak memanggil) Ibu……! Engkau kemana……!
Jangan tinggalkan kami ibu………..!
Sia berusaha mengejar ibu. suasana menjadi sepi, anak-anak saling berpandangan.
Tak lama kemudian, Sia kembali pada saudara-saudaranya.
25. Sia : Ibu, jangan kau tinggalkan kami!
Kepergianmu akan mencerabut akar-akar tumbuhan.
Aku masih ingin melihat taman di rumah yang bunganya bermekaran.
Kebun yang biji-bijiannya bisa dimakan.
Kepergianmu ibu, membuat kami lunglai.
Dedaunan akan layu.
Tiada lagi nyanyian kumbang dan tarian kupu-kupu.
Anak-anak menangis, mereka bergerak dengan tatapan mata yang sedih. tangisannya menjadi nyanyian duka.
Sia melantunkan nyanyian sedihdi iringi musik
26. Sia :
Oh, ibu air matamu
Ku ingin bersimpu padamu
Nyanyikan dongeng belaianmu
Surga ditelapak kakimu
27. Manto : (berteriak marah) Ini semua gara-gara kamu!
28. Mata : Apa, gara-gara aku?
29. Manto : Ya, gara-gara kamu!
30. Mata : Justru kamu yang membuat gara-gara
31. Manto : Apa, justru aku yang membuat gara-gara?
Anak-anak mulai bertengkar lagi, mereka saling menyalakan. Mereka bergerak berkelompok menjadi dua. gerakanya menjadi tarian yang saling menyerang.
32. Mata : Gara-gara kamu!
33. Manto : Mukamu yang membuat gara-gara!
34. Mata : Gara-gara kamu
35. Manto : Mukamu!
36. Mata : Kamu!
37. Manto : Mukamu!
38. Mata : Kamu!
39. Mata : Mukamu!
Terus mereka bertengkar, semakin lama semakin bergejolak
Semakin lama kemudian mereka mengalami kelelahan
Anak-anak lalu memanggil ibu secara bergantian
40. Anak anak : Ibu, aku kehausan
Aku ingin menyusui kasih sayangmu. Berulangkali mereka memanggil-manggil ibunya, namun tak kunjung datang. Sia melantunkan nyanyian sedih
41. Sia :
Oh, ibu air matamu
Ku ingin bersimpu padamu
Nyanyikan dongeng belaianmu
Surga ditelapak kakimu
42. Ovan : Saudaraku, kita sedang merasakan penderitaan yang sama.
Ibu yang merupakan ladang kasih sayang buat kita telah pergi. Kita menjadi itik yang kehilangan induknya. Kita harus mencari ibu sampai ketemu
Mereka bergerak bersama mencari ibunya. Lama kemudian mereka belum menemukan.
Malam hari terus mencarinya dengan membawa lenter. Mereka bergerak seperti perahu terombang-ambing ombak di malam hari
Pagi harinya mereka tertidur lelap.
Sia bangun lebih awal. lalu ia membangunkan saudaranya dengan nyanyian.
Nyanyiannya cukup ceria kali ini.
43. Sia :
Inilah pagi ayam jantan berkokok
Membangunkan matahari
Embun-embun bercengkrama
Pada rerumputan
Anak-anak tersentak bangun. Ia seakan mendengar nyanyian yang seringkali dilantunkan ibunya ketika pagi hari.
44. Mata : Ibu, kau datang ibu
45. Manto : Ya ibu, aku rindu
46. Bam : Ibu, kemana saja engaku pergi
47. Ifik : Aku ingin memelukmu ibu
48. Ovan : Ayo kita pulang ibu
Anak-anak seakan betul-betul menemukan ibunya
49. Sia : Ibu masih belum kita temukan
50. Mata : Tapi aku sudah menemukan, aku menemukan suarahnya
51. Manto : Ya, ia melantunkan tembang yang biasa ia nyanyikan ketika membangunkan kita
52. Mata : Dimana ibu, dimana ia sekarang?
53. Sia : Aku yang menyanyikan tembang itu untuk membangunkan kalian. Aku ingin kalian segera bangun dan cepat melanjutkan pencarian. Aku sungguh merindukan ibu. (melamun)
54. Ovan : Ayo kita kemasi barang-barang dan melanjutkan perjalanan
55. Mata : Sebelum berangkat, saya berpendapat sebaiknya kita berpencar
56. Bam : Ya, saya setuju. Kita harus berpencar, bergerak ke empat Penjuru, dan disini adalah titik poros dimana kita berpisah dan bertemu
57. Manto : ya, mulai hari ini kita bergerak mencari ibu ke beberapa penjuru yang berbeda.
Anak-anak bergerak dengan memanggil-manggil ibunya. Pencarian itu berlangsung beberapa waktu.
Tiba-tiba Mata dan Manto bertemu pada satu tempat.
58. Manto : Hai, kenapa kau berada di sini?
59. Mata : Ini wilayahku
60. Manto : Wilayah ini adalah mata angin yang kutujuh
61. Mata : Kamu salah arah. kamu mungkin menikung dalam perjalanan
62. Manto : Kamu yang mungkin tidak konsisten dalam pencarian, sehingga kau kini berada di wilayaku
63. Mata : Tidak, kau yang salah. Ini adalah arah yang aku tujuh
64. Manto : Tidak, kau yang salah. ini adalah arah mata anginku. ini daerah kekuasaanku
65. Mata : Arah mata anginku
Mereka berdua terus berdebat merebutkan kebenaran mata angin yang masing-masing mereka tujuh.
Tiba-tiba satu persatu muncul pada tempat yang sama, yaitu daerah yang kini sedang dipersengketakan.
66. Ifik : Hai, kenapa kalian bertengkar di sini?
Mata dan Manto berhenti berdebat, dan saling menatap dengan tatapan tanya.
67. Mata : Kenapa kalian semua kemari
68. Ifik : Kalian juga kenapa berada di sini?
69. Ovan : Pertanyaan itu sama seperti apa yang ada dalam benakku, kenapa kalian berada di wilayah di mana kita berada. Pasti diantara kita ada yang tidak konsisten dalam melakukan pencarian. Tidak setia pada tujuan masing-masing. Peristiwa semacam inilah yang merupakan awal dari pertengkaran, penyebab perang saudara. Ingat, pasti diantara kita semua mengalaminya. Kita pernah berbelok dalam meniti arah tujuan. kita pernah lengah.
70. Ifik : Ya, aku akui itu. semacam ada godaan yang membuatku lengah. Aku menemukan banyak wajah di jalan-jalan, di perempatan-perempatan.
71. Bang : Sama, aku juga menemukannya
72. Ifik : Itu persis terjadi pada diriku, kemudian aku berfikir, pasti diantara wajah-wajah yang dipamerkan itu ada wajah ayah kita
73. Manto : Pasti, pasti. ya aku bisa memastikan
74. Mata : Maksud kamu?
75. Manto : Pasti diantara wajah-wajah itu tidak ada wajah ibu, karena aku mengenal betul wajah ibu.
76. Mata : Pikiran yang tolol itu jangan diutarakan
77. Manto : Maksud kamu?
78. Mata : Siapa yang tidak mengenal ibu diantara kita. Ibu bukanlah
Politkus murahan yang dipamerkan di perempatan-perempatan.
Ibu tidak memiliki banyak wajah apalagi banyak rupa. Ibu kita adalah satu bumi yang memiliki akar-akar kasih sayang, yang jiwanya terus-menerus menjadi tempat tinggal anak-anaknya.
79. Manto : Dosa besar kamu, melakukan apa yang kamu larang
80. Mata : Maksud kamu?
81. Manto : Kamu mengatakan bahwa fikiran-fikiran itu adalah ketololan, sedangkan yang kamu ungkapkan tadi apa, apa bukan ketololan juga?
82. Mata : Ketololan itu adalah kita yang masih berusaha membandingkan ibu kita dengan para perempuan yang hanya ingin menjadi selebritis di jalan-jalan. Sekali lagi, ibu kita hanya ingin anak-anaknya punya cita-cita besar dan berakhlaqul karimah, berani menolak yang dholim karena akan mendapat lebih dari sepuluh kebaikan dari yang ia tolak.
83. Manto : Pandai juga kamu berdeplomasi. Apa yang kau sampaikan tidak sama dengan tabiat yang kamu perbuat. Jangan-jangan kau iri dengan para politikus-politikus itu yang berkesempatan memamerkan wajahnya di slokan-slokan tempat sampah. Terus terang aja, irilantaran tidak punya kendaraan, iri lantaran tidak punya uang.
84. Mata : Shut up! tutup mulutmu. Aku anak ibu bumi dan ayah matahari. Aku adalah saudaramu seibu dan seayah. kamu tahu sendiri. Ibu dan ayah tidak pernah mengajari anak-anaknya tentang kemunafikan. Ibu dan ayah tidak pernah mengajari anak-anaknya menggunakan segala cara untuk menggapai keinginannya.
85. Ovan : Hentikan!……… hentikan semua omong kosong itu!
Selama ini aku adalah orang yang paling kuat menahan amarah. Namun kali ini dadaku terasa membuncah, telingaku mau pencah mendengar ocehan-ocehan itu. Sungguh amarahku ingin meledak setiap kali mendengar kemunafikan yang terus-menerus diperdagangkan, terlebih lagi kemunafikan itu mulai menyusup dalam darah dan fikiran kita. Ini adalah penyakit yang paling akut. (berteriak-teriak dengan menangis) Aku benci! Aku muak! Aku marah! Aku tak mau lagi omong kosong itu!
Tiba-tiba semua anak ikut berteriak histeris
86. Anak-anak : Hentikan omong kosong kemunafikan. Aku, juga saudara-saudaraku tak mau menderita penyakit yang paling nista, menjadi pembohong, menjadi penipu. Aku masih ingin setia pada ibu yang mengajari kasih sayang. Aku masih ingin setia pada ayah yang matahari, yang mengajariku dengan tegas menolak segala cara dusta dan tipu daya. hentikan omong kosong kemunafikan itu!”
kalimat-kalimat itu bersahut-sahutan seperti halilintar, menyerbu pohon-pohon, menara-menara, gedung-gedung terbang menjadi mendung gelap.
87. Sia:
Oh, ibu air matamu
Ku ingin bersimpu padamu
Nyanyikan dongeng belaianmu
Surga ditelapak kakimu
Suasana pelan mulai diam. diam-diam merenungi diri, diam-diam mengaliri isi hati.
TAMAT
Lamongan, Januari 2009
Remo
Sabrank Suparno *
http://sastra-indonesia.com/
Winarsih berubah menjadi laki-laki, benar-benar berubah. Ia tampan, gagah, tanggap, cekatan, mengesankan. Busananya pun mentereng, dengan pernik warna-warni elegan, ditambah udeng kepala yang terselip lipatan berujung lancip ke atas, betapa ia seorang ksatria wibawa di medan laga yang kesaktiannya melindungi rakyat jelata. Bahkan lebih cocok jika namanya diganti Joko Galing, Joko Sambang, atau Joko Sembung, sebab gelagat, paras, naluri, kekuatannya tak selembek wanita lagi. Sendainya buah dadanya tak menonjol membentuk gunung kembar yang mengapit jurang, atau sedang tidak mengalirkan sumber merah mentrulasi, agaknya kesalahan takdir terjadi pada Winarsih. Kumis tipisnya jelas, bahwa serumpun rerumputan gelap itu hanya tumbuh di ladang bibir laki-laki.
Demikianlah ketika Winarsih menari remo saat mengawali pagelaran wayang kulit atau campursarian di daerahnya. Ia selalu tampil sebagai peremo ke dua, setelah peremo pertama selesai. Peremo pertama dimainkan oleh wanita yang berdandan layaknya wanita, dengan gerakan lembut, gemulai. Sedang peremo ke dua diperankan wanita yang berdandan laki-laki dengan gerak tari cekatan dan trengginas. Karakter dan kepiawaian Winarsih, cocok jika sabagai peremo ke dua.
Blak, blak, ning, nong, ning, rancak suara gamelan yang ditabuh para pengerawit bagai cericit burung, raungan singa, kepak sayap kelelawar, gemercik air, serta dengung kumbang yang menyatu di rimbaraya. Mereka bersatu dan berputar lingkar menjadi suara dengan kapasitas nada yang diserap oleh kode-kode gerak tarian Wiarsih. Seluruh rimba tunduk kepadanya. Selendang yang meliuk-liuk berloncatan dari ujung kaki ke jemari tangan bak tongkat sang gitapati yang mengacung, menjulang-julang ke angkasa sebagai tanda peralihan nada. Tiba-tiba, ia berubah sesosok pemimpin, tiap geraknya menjadi kebijakan agung yang dianut rakyat seluruh negeri. Namun dalam kerajaan kecil negeri Winarsih, yakni wilayah pementasan, dimana semua perhatian mulai pengerawit, penanggap, apalagi penonton, melotot terhepnotis kelihaiannya.
Tutslah nada peralihan remo pun selesai. Remo dalam pertunjukan wayang atau campursarian diteruskan dengan tembang yang siapa pun diperbolehkan memesan lagu. Berbeda dengan meremo dalam pementasan ludruk, peremo laki-lakinya harus benar-benar laki-laki, kecuali terpaksa, dan seusai meremo tidak melayani permintaan lagu dari penonton atau tamu undangan.
Saat melayani lagu inilah, saat Winarsih panen. Sebab tiap peminta lagu, harus memberi uang yang walau tidak ditentukan jumlahnya, namun harus pantas. Bervariasi cara orang memberikan uang kepada Winarsih saat memesan lagu, ada yang diberikan biasa, ada yang diblusukkan ke dalam jurang di antara bukit kembarnya, ada pula yang iseng dengan menjapit lembaran uang di ujung lidi yang kemudian ditarikulur seperti pancing. Dengan perasaan yang terbiasa menyikapi orang iseng, Winarsih menyabet lembaran uang yang memang sudah menjadi hak untuk mengambilnya.
Pelayanan lagu atau tembang, kadang hingga suara Winarsih serak. Bahkan terkadang molor sampai tiga jam. Pernah suatu saat Winarsih dibatasi oleh tuan rumah untuk menyudahi permintaan penonton, sebab waktu molor hingga jam 12 malam. Andai dilanjutkan, dalang akan kehilangan banyak waktu untuk menggebyakkan lakon wayangnya.
Keringat menetes deras, nafas ngos-ngosan, baju basah oleh keringat, bahkan kumis polesannya rada terhapus, tak dihiraukan Winarsih. Baginya, uang hasil saweran yang dibagi dengan pengerawit, adalah uang tips selain bayaran sebagai peremo. Uang hasil saweran itu kadang lebih berlipat dibanding uang saku pokok. Ketika melihat lembaran uang, mata Winarsih menjadi biru lautan yang keluasannya akan menampung seberapa banyak sampah yang hendak tumpah ke samudera.
Menghadiri pementasan, bagi Winarsih adalah saat pesta dalam hidup. Ia teringat masa kecil ketika diajak ibunya menonton pertunjukan. Winarsih selalu mengulum telanan ludah bila melihat aneka jajan yang dijual sederet pedagang. Apalagi ketika melihat anak sebaya dibelikan jajan oleh orang tuanya. Sementara orang tua Winarsih hidup serba kekurangan, jangankan untuk membeli jajan, tiap hendak tidur saja Winarsih sulit memejamkan mata hingga larut karena lapar. Sedang sehari, hanya makan dua kali dan sesudahnya tak ada nasi lagi.Winarsih pun kerap berangkat sekolah tanpa sarapan pagi, karena ibunya kehabisan beras dan belum menerima gaji.
***
Di bilik rumah bambu yang sudah doyong dan disangga beberapa cagak, Winarsih kecil menjalani hidupnya sebagai anak yang serba kekurangan, tak pernah berpesta sedikit pun. Yang paling ia ingat ialah saat orang tuanya selesai membikin welit, anyaman daun tebu yang dipesan tetangga. Welit itu digunalan sebagai atap pawon sebelum ada genteng. Ongkos pesanan welit yang cukup lumayan meski tak banyak, ibu Winarsih menjanjikan esok hari akan mengajaknya ke pasar untuk membeli baju. Saat itulah Winarsih tak bisa tidur semalaman. Angan-angan tentang keramaian pasar menghilangkan kantuknya. Kepahitan hidup yang mendera, seperti menebalkan besitan hati Winarsih bahwa jika dewasa kelak ia akan bekerja keras agar mendapat uang melimpah. Melihat kenyamanan hidup tergantung pada uang, kehidupan ini bagi Winarsih, Tuhan memang Yang Maha Esa, tetapi uang yang maha kuasa.
Setamat SMP, Winarsih ibarat keluar dari penjara yang memberlakukan jam jatah makan. Ia diajak budenya yang memiliki warung di gunung Pucangan. Maka berpindahlah Winarsih dari desa kelahirannya Pangklungan ke gunung Pucangan, tepatnya di desa Montorogo. Tiap hari bergumul melayani tingkah polah, senda-gurau pembeli, kekebalan mental Winarsih pun menebal. Selama tiga tahun hidup di warung, Winarsih bagai berada di pasar kecil yang tak hanya bertransaksi jual beli, tetapi juga tempat berhamburannya berbagai informasi.
Seiring keluar masuk orang di warung, ada yang pendatang baru, ada pelanggan yang tak pernah lagi singgah selama merantau atau meningal dunia, Winarsih yang dulu gadis kecil kini beranjak dewasa. Setiap berdiri di depan kaca, ia melihat dadanya mulai ada benjolan kian membesar, yang kadang dengan sadar, ingin menunjukkan kepada seseorang tentang seberapa tinggi gundukan itu menjulang. Ia pun melihat pinggulnya kian melebar. Diamati perubahan dalam dirinya dengan berputar-putar, sebab yang tampak dalam cermin tak akan jauh beda dengan aslinya.
Winarsih juga merasa ada yang terbuka dalam dirinya. Tak bisa dikunci namun pasti jelas mempersilahkan seseorang memasukinya, seorang lawan jenis, entah siapa. Jiwanya menjadi hamparan belantara yang disinggahi ribuan petualang cinta.
***
Berbagai obrolan selama di warung, hal paling tak terlupakan dan terus terngiang di telinga Winarsih adalah perbincangan tentang kegaiban Sendang Made, kolam kecil di perbukitan dekat kampungnya, bahwa, barang siapa berpuasa beberapa hari lalu menyepi semalam di sendang itu, bisa mendapat azimat untuk kesuksesan.
Winarsih seperti memetik keberuntungan begitu saja. Kejayaan hari pun memihaknya. Tanpa aral larangan atau sekedar curiga, budenya mengijinkan ketika Winarsih berpamit menginap di rumah teman, di kampung sebelah. Sebuah alasan yang tepat. Sebab budenya tau kalau Winarsih mempunyai teman baik, layaknya saudara kembar selama menetap di kampung itu. Padahal Winarsih merencanakan telasan, menyepi ke Sendang Made setelah berpuasa dino renteng, yakni tiga hari beserta pasaran dalam neptu Jawa yang berjumlah 40, semisal Jum’at Pon, Sabtu Wage, Minggu Kliwon.
Menjelang petang, Winarsih menyusuri jalanan setapak menuju Sendang Made. Ia sengaja mencari waktu agar tidak berpapasan dengan orang, apalagi yang dikenal. Tekatnya yang gempita, menjelma para wanita karier yang sedang naik daun di televisi. Para wanita ternama itu mengulurkan tangan, “ ayolah Winarsih, sebentar lagi kau akan duduk bersanding dengan kami. Dengan harta dan popularitas, kau tak akan diperbudak oleh kehidupan, tak disepelehkan laki-laki.” Ajakan yang membuat Winarsih mempercepat langkah. Namun ketika teringat cerita tentang candi olo, waktu surup, waktu mudalnya para Dedemit, Gondoruwo, para Peri, Wewegombel, Elo-Elo Banaspati, Sundel Bolong, Sundel Bentet, Sundel Buntu, Pocongan, Wedhon, Jerangkong,….., bulu kudu Winarsih pun berdiri. Tak pelak, “grrrr, krusek,” sesosok menyusup ke semak belukar. Winarsih gemetar, lumpuh dan terjongkok hingga terkencing. Setelah diamati, ternyata hanya seekor babi hutan. Ia bergegas meneruskan langkah. Tetapi baru lima puluh meter, “whussy,” kibasan kelelawar raksasa sedang melintas dan hinggap di dahan. Setelah dua kali tergoda bahwa sesuatu yang jika amati betul ternyata yang awalnya menakutkan sesungguhnya bukan hantu, Winarsih kian nekat.
Sesampai di tepian sendang, Winarsih mencari tampat sepi. Ia memastikan bahwa tempat itu tak mungkin dijamah orang. Menirukan apa yang ia dengar di warung, Winarsih pun mencari pupus daun pisang yang ia gelar untuk alas bersila.
Bagi Winarsih, malam itu berbeda dengan seribu malam sebelumnya. Malam yang sungguh-sungguh malam sebagai sosok diri kenapa ia disebut malam. Gelap. Sepi. Sunyi. Kecuali canda binatang malam: siul burung hantu, kecek belalang, lolongan srigala, denging serangga, gesek dedaunan jati yang berguguran.
Winarsih perlahan menyusuri lorong malam. Ia tersadar, kenapa malam disebut tidur, tiba-tiba ia sampai pada lorong kesunyian yang jauh ke dalam sunyi, bahwa suara gembrujuk air terjun yang berada lima puluh meter di dekatnya terdiam. Seluruhnya. Beserta riuh binatang malam, tak bersuara. Padahal air tetap mengguyur ke bawah. Masuk ke dalam malam Winarsih menemukan titik terang yang tak segelap malam, begitu juga menemukan kesunyian di balik gemuruh riuh suara alam jika malam.
Suara kentong terdengar sayup berdenting dua belas kali dari perkampungan jauh. Waktu menunjukkan lingsir. Embun mulai turun dengan dingin yang menusuk tulang. Dingin yang sekaligus menjemput bunyi kentongan bertitir satu pukulan, dua kentong, hingga menunggu tiga ketukan yang masing-masing berarti tanda jam.
Dari bilik sunyi ruang malam, Winarsih mendengar suara-suara aneh. Seperti suara orang berkerumun di pasar, lalu menghilang. Beberapa menit kemudian, suara bayi menangis, lalu menghilang. Berganti lagi suara hewan-hewan yang Winarsih pasti faham suaranya, lalu hilang lagi. Bahkan Winarsih mendengar suara yang tak pernah ia dengar selama hidup, entah suara apa itu. Terakhir Winarsih mendengar suara gamelan bergemontang, persis seolah sedang menonton ludruk atau wayang. Winarsih meraba tangan, kaki, serta raut mukanya. Ia memastikan bahwa dirinya sedang tersadar dan bukan tertidur lalu bermimpi. Sebab ia kini berada di tengah tontonan wayang kulit, ia menonton dengan orang orang yang tak pernah ia kenal sebelumnya. Tepatnya bukan pertunjukan wayang yang ditanggap seseorang, namun mirip kompetisi lomba, atau reuni sekolah yang mempersilahkan siapa pun yang hadir untuk menyumbangkan tembang atau tarian. Dari deretan kursi undangan berdiri seorang tua dengan pakaian khas sesepuh Jawa, celana komprang hitam, baju hitam, kaos lorek merah putih, memakai udeng ikat kepala. Rupanya lelaki tua itu tokoh terkenal di antara semua pangunjung. Langkahnya berwibawa dan mengesankan. Ia menghampiri Winarsih di antara kerumunan penonton lain. Lelaki wibawa itu mengulurkan tangan ke Winarsih sambil memberikan selendang. Tak sekedar selendang yang hanya kain sewarna, merah jambu, kuning, atau hijau, tetapi sehelai selendang itu berwarna pelangi hijau dan abang. “Nduk, sekarang giliranmu menari remo, silahkan, kau pasti bisa. Asal syaratnya satu, kau jangan menikah! Kalau kau menikah, maka kau tidak akan bisa meremo lagi dan kebesaranmu akan hilang,” ajak sekaligus nasehat lelaki tua berwibawa itu.
Winarsih kembali meraba tangan, kaki, dan raut mukanya. Ia memastikan kalau dirinya sedang tersadar dan tidak sedang bermimpi waktu tertidur. Sebab semua keramaian gamelan, dengung obrolan ratusan penonton serta undangan tiba-tiba lenyap dari hadapannya. Winarsih kembali menemui dirinya sendirian di tengah hutan, dan, dengan begitu saja ada selendang pelangi ijo-abang tersampir di pangkuannya.
(Tiga bulan kemudian)
Winarsih seperti hari-hari sebelumnya, ia sibuk membantu budenya di warung. Namun beberapa hari ini ia tak tampak di warung. Sudah dimaklumi budenya, ia diminta Tulkiyem membantu membikin kue di rumahnya. Tulkiyem perawan sepantaran Winarsih itu akan menikah. Sudah menjadi tradisi warga desa jika hendak menikah, menyuruh teman atau tetangga untuk membantu segala persiapan perjamuan. Serayanya, pesta pernikahan Tulkiyem bakal ramai, sebab pernikahannya diramaikan pagelaran wayang kulit dengan lakon’Wahyu Cokro Ningrat’ yang dimainkan dalang kondang Ki Sleman.
Pagi, hari’H’pesta perkawinan Tulkiyem, para tetangga yang laki-laki, sibuk mengusung gong, kenong, kendang, kempul, peti wayang dll. Sebab desa Montorogo adalah kawasan perbukitan dengan jalan setapak yang mobil tak bisa masuk.
Setelah perangkat gamelan tertata rapi, para nayoga dan pesinden, memulai ‘giro’sejak jam 9 pagi. Winarsih yang sibuk membungkus aneka kue hidangan menjadi tersentak, ia teringat persis, bahwa suara rancak gamelan yang kini di depan rumah Tulkiyem, persis yang ia alami sesaat ketika menyepi di Sendang Made. Winarsih pun terbayang perihal selendang yang ia sembunyikan dalam almarinya. Ucapan tetua agung saat di Sendang Made, bagai menyembulkan keberaniannya bahwa dirinya pasti bisa menari remo. Winarsih lantas menemui salah satu awak anggota nayoga untuk mengusulkan kalau dirinya ingin menyumbang tari remo nanti malam. Tanpa pikir panjang, nayoga pun mengiyakan setelah berunding dengan orang sekawanan. Begitu pula budenya, malah mendukung keberanian keponakannya yang ia anggap mungkin Winarsih belajar meremo saat sekolah SMP dulu.
***
Menginjak jam 8 malam, para nayoga makan bersama. Pertanda sebentar lagi ‘giro sekaten’ akan dimulai, yakni awal seluruh proses acara berlangsung semalam suntuk. Dua peremo juga sudah datang bersama gurunya Ali Markasa. Bagi kalangan pengerawit dan beberapa warga yang menyukai wayang kulit dan ludruk, tentu mengenal kepiawaian Ali Markasa, seorang pengeremo beken yang pernah menjuarai tinggkat nasioanal. Kebesaran jiwa berkesenian Ali Markasa, menyambut bangga atas keberanian Winarsih yang hendak menyumbang. Winarsih pun dipersilahkan untuk tampil lebih dulu daripada peremo panggilan. Dan, betapa Ali Markasa terpukau menyaksikan tarian Winarsih sungguh-sungguh hidup. Ia benar-benar menyatu dengan alunan musik. Pengerawit pun terserap iringannya ke seluruh gerak gerik detail tarian Winarsih. Mereka tak habis pikir, bagaimana mungkin sosok gadis desa selugu Winarsih mampu mengekspresikan tahap Lumaksana, Tanjak, Iket, Besut Gantungan, Kicatan, Ceklekan, Ayam Alas, Tumpang Tali dan Sembahan dengan begitu sempurna. Tidak hanya itu, ia malah menambahi trik-trik mbeling yang keluar dari pakem tahapan meremo tersebut. “Wow, lahir dari mana anak ini?” desah pukau Ali Markasa. Sejak itulah Winarsih menjadi peremo ulung yang tak henti jobe pementasan menjemputnya. Kabar sepuluh tahun berikutnya ia sudah bisa membangun rumah megah serta menyumbang untuk perbaikan jalan di desa kelahirannya di Pangklungan, dan desa tempat ia menemukan keberuntungan hidupnya, yakni Montorogo Pucangan.
***
Bertahun-tahun keluar masuk terop, kehadiran Winarsih ibarat bumbu pelengkap, kurang sregh rasanya sebuah pesta tanpa kehadirannya. Apalagi ketika ia sedang meremo, liukan selendangnya bagai keloget pelangi saat bidadari meluncur ke bumi mengendarai punggungnya. Atau, ia bagai Murai Batu yang bercericit bersama gelaran sayap dan mekar bulu-bulunya. Sebuah keindahan yang sengaja dipamerkan ke kelopak mata pejantan.
***
Adalah Sukirjo, pemuda asal desa Gongseng, sosok perjaka bersenyum teduh, sorot mata bersinar, ucapan dan gerak geriknya landai tak berpolah mubadzir: kalem, datar, mengesankan bak permukaan air pada kubangan jeruh, tak bergejolak, tak beriak.
Sukirjolah yang menjadi Jaka Tarub dan bersiap menyembunyikan selendang bidadari kala mandi di telaga. Atau menjadi pejantan Batu Murai yang mengerti makna kibasan sayap betina kala berjemur di terik matahari.
***
Malam itu Sukirjo sedang asyik menonton pementasan Ludruk Begidak Massa yang sedang tampil di dekat pondok pesantren. Baginya, menonton kesenian tradisional lebih bernilai daripada menghadiri kampanye PPP, Golkar atau PDI siang harinya. Melihat Winarsih melenggangkan tari remo, Sukirjo laksana melihat kuncup bunga dahlia yang mekar dan bergoyang diterpa semilir angin pagi. Tumbuhlah hasrat Sukirjo untuk memetik sekuntum dahlia itu dan menaruh dalam jambangan jiwanya, agar kehidupan lebih semarak dengan rampak warna-warni dan tak lengung lagi.
Karena kekurangan pemain, Winarsih tak hanya meremo malam itu, tetapi juga berperan sebagai Surti si putri raja dalam lakon Pendekar Joyo Mulyo. Demi mengatasi prahara kelaparan, paceklik, perampokan, penyakit merajalela yang melanda kerajaan, raja akhirnya mengadakan sayembara, barang siapa mampu memulihkan ketentraman kerajaan, ia akan diberi kemulyaan pangkat, serta dinikahkan dengan putri raja. Muncullah Pendekar Joyo Mulyo dari desa Jalinan yang diperankan oleh Pak Ngaidi Wibowo, seniman ludruk kawakan sekaligus kawan Winarsih. Untuk menguji kesaktian Pendekar Joyo Mulyo, raja memberi sarat, kalau pendekar bisa memanah seluruh daun beringin hingga berlobang, maka ia akan dinikahkan dengan putrinya serta diberi kemulyaan.
Sebagai pendekar sakti mandraguna, Joyo Mulyo segera meraih panah ampuh berjuluk Sangkelat Tembus Sukma. Ketika busur disematkan dan melesat dari jemparingnya, tiba-tiba datang berbondong-bondong ribuan para santri dari pondok terdekat. Entah apa sebabnya. Sejak sore mereka curiga kalau ludruk akan membikin lakon yang dipesan untuk berkampanye. Adegan memanah ribuan daun beringin hingga tembus, merupakan sindiran agar dalam pemilu nanti warga nyoblos partai bergambar pohon beringin.
Amarah santri pun membabi buta. Penonton panik dan semburat. Beberapa awak pemain ludruk menjadi bulan-bulanan. Aktor yang biasa memainkan adegan perang, dan memang pandai bersilat, mencoba melawan. Namun para santri agaknya sudah menyiapkan kekebalan tubuhnya. Santri sudah digembleng kiainya sebelum berangkat membubarkan tontonan ludruk tersebut. Cerobong tempat para pemain berias pun diobrak-abrik. Bahkan kerusuhan antara santri dan pemain ludruk, sama-sama mengeluarkan senjata tajam. Namun karena jumlah santri lebih berlipat, para pemain ludruk kocar-kacir berlarian menyelamatkan diri.
Winarsih pontang-panting ketakutan. Ia benar-benar tak mengerti apa yang terjadi. Baginya selama ini meremo atau kadang bermain ludruk hanyalah karena panggilan berkesenian. Ia datang karena dibayar untuk menghibur orang.
Dari hiruk-pikuk penonton, dari sela perkelahian, Sukirjo melompat, menyelinap menghampiri Winarsih. Sukirjo menggandeng tangan Winarsih. “Ayo menyelamatkan diri. Sebagian temanmu ada yang tersabet celurit.” Tanpa pikir panjang, Winarsih pun mengikuti gelendengan tangan Sukirjo. Beberapa santri juga ada yang mengejar sambil mengancam, “kubunuh kau.” Ancaman yang kian membuat Winarsih merinding ketakutan. Alhasil, larilah Winarsih dan Sukirjo merantas ke sawah-sawah. Mereka berdua berlari sejauh-jauhnya, yang penting nyawa terselamatkan. Keduanya jatuh bangun terjungkal di parit. Nafasnya tersengal sembari gemetar.
***
Sejak peristiwa itu, Winarsih kian mengerti bahwa hidup di dunia seni pun diperlukan siasat kepekaan menganalisa sesuatu yang bakal terjadi. Tanpa siasat atau perhitungan, ia bisa dipecundangi siasat itu sendiri. Bahkan nyawa menjadi taruhan.
Sejak peristiwa itu, Winarsih mulai terkagum, kenapa ada sosok yang teramat peduli dengan keselamatan, masa depan karier dan melindunginya saat bahaya. Sementara kawan sepermainan justru sibuk menyelamatkan diri tanpa menghiraukan nasib kawan lainnya.
***
Winarsih dan Sukirjo dipertemukan pada keadaan yang tak terduga. Sukirjo seperti diseleksi alam untuk melindungi serta menyelamatkan harta titipan, sementara Winarsih merasa dirinya berhutang nyawa dari kejamnya politik saat pentas ludrukan sial itu. Selanjutnya pertemuan mereka di sela-sela berkesenian, tak terasa menjelma matador cinta yang mendadung leher keduanya untuk bertekuk lutut pada kerinduan, sebuah ruang putih yang indah dan asyik dibanding rutinitas apa pun.
Sebelum semua terlambat, Sukirjo menjalankan kewenangan sebagai lelaki yang mencintai Winarsih. Saat keduanya menghabiskan senja di tanggul Kali Brantas, di sela-sela padang perdu ilalang, di atas sebongkah batu besar, Sukirjo dengan gugup mengutarakan isi hatinya pada Winarsih. “Dik, setelah kuamati, ternyata aku gelisah jika tidak bertemu kamu, aku juga takut kehilangan kamu, kau selalu menguntit kemana pun kepergianku. Dik, sejak mengenalmu, alam semesta hilang, menjelmamu di setiap pelupuk mata dan degub jantungku. Melihat kawan atau tetangga menggendong anak, bergurau dengan istri, terlintas andai sejoli itu aku dan kau. Kuharap kau menjadi Kali Brantas sang Bengawanjeruh dan aku ikan yang tak hidup tanpa menyelam di kedalamanmu. Mata kita akan berpandangan berabad-abad. Aku merasa kaulah tulang rusukku. Di antara makhluk hidup, kuingin kau sudi mendampingi hidupku sampai usia senja, ikhlas dalam suka dan duka. Aku ingin anakku hanya lahir dari rahimmu. Aku ingin menikahimu.”
Winarsih terperanjat. Ia tertegun bagai gunung di musim hujan, dengan mendung bergelayut dan geluduk menggelegar. Otot dan persindiannya lumpuh, tetesan keringat dingin mengucur sekujur tubuh. Seremeh apapun ucapan lelaki jika dibarengi ketulusan dan kesungguhan, adalah hal sakral bagi wanita. “Aku mengerti bahasa orang menyinta. Aku juga faham arti dicinta. Aku berterimakasih pada setiap huruf dari kata-katamu, keberanian serta kesungguhanmu. Namun,…” Winarsih lalu menceritakan perihal selendang yang membuat dirinya kondang beserta sarat ketika ia menerima selendang itu di Sendang Made dahulu.
Mendengar jawaban Winarsih, perasaan Sukirjo berhamburan bagai ribuan emprit tersentak suara gerombyang kaleng para petani. Emprit yang sedang hinggap di pucuk kuningnya padi.
***
Meski telah sewindu, kata kata Sukirjo di tanggul Kali Brantas tak menyingkir dari selaput gendang telinga Winarsih. Gaungnya terus terngiang melebihi rampak nada gamelan yang mengiringi tariannya ke mana pun. Bergema, dan terus menggema.
Begitu pula Sukirjo. Koor suara santri yang mengaji di pondok belakang rumah. Suara santrinya kian gemontang berkumandang kala berbaur dengan gemercik air dari pancuran kecil diapit tebu diladang sebelah pondok. Suara itu bagai cericit burung perenjak bersautan, burung yang mengabarkan tentang adanya tamu hendak datang. Hari-hari Sukirjo selalu menunggu kedatangan Winarsih.
***
Seusai melewati hari-hari dan mimggu-minggu yang dirundung basahnya hujan, bulan sudah menginjak kalender ke enam. Seperti biasanya, setiap awal pembukaan musim giling tebu, pabrik gula di tikungan kota mengadakan Tayuban dengan menggelar segala kesenian daerah sekitar. Tontonan digelar tak hanya semalam, namun sampai seminggu. Pentas bervaian menjajar, mulai dari Ludruk, Gambus, Jaran Kepang, Ujung, Topeng Sanduran, Samroh-Qosidah bahkan Tahlilan Akbar yang mengundang para kiai sekabupaten. Pesta tontonan itu dimaksudkan agar mendapat keselamatan seluruh karyawan pabrik pada masa giling nanti. Dalam acara skala besar seperti itu, Winarsih pasti diundang.
Di pentas lain yang tak jauh dari pentas ludruk Winarsih manggung, tampak Sukirjo mondar-mandir. Atas nama pondok, ia dan para santrinya diundang pihak pabrik untuk mengisi acara Qosidah. Para santri putra tampak lucu dan menggemaskan dengan pakaian busana muslim, kopyah, sarung dan baju koko. Begitu pula santri putri, mereka kelihatan anggun, molek, menis dengan warna-warni jilbabnya.
Tak kalah dengan pementasan lainnya, terutama para ibu dan remaja putri merangsek berjubelan. Melihat anak sekecil itu berani tampil di atas panggung, para ibu dan orang tua pasti kesemsem. Terdengar suara bergemontang dari MC kecil salah satu dari santri Sukirjo membuka kata-kata penghantar lagu islami mereka, “…asam gendis asam gelugur-ketika asam riang-riang / jasat menangis di dalam kubur-semasa hidup tidak sembahyang.” Seketika penonton senyap sebelum beberapa saat kemudian tepuk tangan riuh menyambutnya.
Entah gravitasi apa yang menarik Winarsih ke pementasan qosidah itu, padahal ia sendiri sedang mempersiapkan tari remo ludruknya yang dimulai jam 9 malam. Di antara desakan penonton wanita lainnya, Winarsih seperti tersodok dadanya. Suara santri kecil Sukirjo bagai virus ganas mematikan. Sumsum dan persendian Winarsih lumpuh. Bagi Winarsih sebaris kalimat MC kecil itu suara halilintar menyambarnya. Ledakan yang berpusat di dalam dada dan getarannya tanpa sadar melelehkan air mata bersama gemuruh tepuk tangan ibu-ibu di sekitar panggung.
Selama bergelimang ketenaran dan kemewahan, Winarsih tak sadar terseret jauh ke dalam keramaian dunia fana, keramaian yang di dalamnya terdapat satu ruang gelap teramat sunyi. Kefanaan yang keras, tajam memanjang bagai pedang Dakstur sedang melintang di leher Nabi Muhammad. “Kalau pedang siap menebas lehermu begini, siapa yang menolongmu Muhammad?” “Alloh” jawab Nabi Muhammad singkat. Namun kata ‘Alloh’ sepertinya Nabi Muhammad hanyalah bibir manusia yang dipinjam Alloh sejenak. Sedangkan yang mengatakan adalah Alloh sendiri, maka tak sanggup siapa pun mendengar, kecuali gemetar.
Begitulah Winarsih. Suara santri kecil Sukirjo, adalah kebenaran yang dititipkan di bibir santri. Gadis seusia Winarsih, mestinya sudah menjadi ibu, ternyata belum mampu menggapai nalar atas kesuksesannya di akhirat kelak, sedang gelimang dunia hanya berakhir sebatas usia.
Winarsih kemudian menemui Sukirjo di belakang panggung yang menjadi sutradara pementasan para santrinya. Pertemuam Winarsih dan Sukirjo kembali bagai gelombang waktu yang terulang. Meski gagap, namuan keduanya merasa terbiasa. “anak-anakmu lucu-lucu ya mas,” sapa Winarsih. “Ah, kebetulan, mumpung diundang Direktur pabrik gula, aku mengajarinya keberanian berekspresi sejak kecil, biar nanti kalau dewasa, mereka tatag seperti kamu. Kalau bisa sih, aku ingin mereka mempunyai ketrampilan seimbang ketika di atas panggung, baik mimik, tekanan suara, ritme dan gerak tubuh. Yang penting, apapun yang mereka lakukan, sekecil apapun energi yang mereka keluarkan, harus berbaur dengan gerak rotasi bumi, gerak revolusi antar planet dan bersandar kepada Alloh. Tanpa itu, ampang rasanya hidup, walau berarti, tapi tak bermakna.”
Winarsih tersentak. Namun, ia menyembunyikan rasa malunya dengan melayangkan pandangan ke sekitar. Ia merasa kehebatannya menari remo selama ini hanyalah bertumpu pada kemampuan bahasa tubuh. Itupun kebanyakan penonton menangkap sebelah mata. Penonton hanya terpesona oleh kemontokan dada, kebahenolan, serta kelangsingan tubuh Winarsih.
“Kenapa matamu berkaca?” Tangkap tanya Sukirjo. Winarsih tak kuasa bergeming. Winarsih, malah menangis. Diantara sesengguk isakan, “Mas, sejak hubungan kita vokum, apakah ada wanita lain yang mengisi hatimu?” Sukirjo terperangah. Ia terkikuk. Burung perenjak yang bercericit tiap hari di belakang rumahnya seperti datang membawa ribuan tamu, dan semua tamu itu ialah Winarsih yang hendak menerima kata cintanya 8 tahun silam. “Belum. Sengaja aku menguncinya. Memang ada banyak wanita, tapi mereka hanya ditakdirkan sekedar melintas di depanku, ada pula yang ditakdir menjadi teman, tapi belum ada yang ditakdir menjadi istri.”
Jawaban Sukirjo menjelma jalan membentang di depan Winarsih. Ia hendak menapakkan kaki menyusurunya walau dengan sedikit keberanian. Yah.., keberanian memang tidak harus berjuang mengacungkan pucuk senapan. Terkadang keberanian cukup hanya melakukan hal sepeleh yang mengandung kepastian. “Mas, menyaksikan qosidah para santri kecilmu, aku merasa bahwa ada nilai berharga dalam dirimu. Entah mengapa, sepertinya aku merasa perlu terlibat menjaganya. Aku ingin menjadi ibu dari mereka, dan ibu dari anak kita.”
Seketika tubuh Sukirjo dan Winarsih gemetar, seperti diguyur anugerah tak terhingga dari langit. Keduanya saling bertatapan mata. Bagi Sukirjo, wajahnya tampak jelas utuh di dalam mata Winarsih, begitu juga Winarsih sedang menyaksikan bulat wajahnya dalam kerling mata Sukirjo.
***
(Dua tahun kemudian)
“Masya’Alloh, subhanalloh, lucunya anakku. Tuhan anugerah macam apa yang kau berikan kepadaku ini, Jombang Kuncoro anakku sedang terbata-bata. Ia hendak berjalan. Ia tertatih, jatuh, bangun dan menangis. Oh anakku, sungguh kau sekuntum bunga yang bermekaran di pelupuk mata, setelah malam-malam lalu engkau mengigaunya. Anakku, kau adalah aku dan ayahmu yang menjelma menjadi kamu.” Demikianlah hari-hari Winarsih dipenuhi kegirangan, kebahagiaan. Setelah 2 tahun berumah tangga dengan Sukirjo terlengkapilah puncak kebahagiaan dengan kehadiran anak pertamanya anak yang diberi nama Jombang Kuncoro, anak dari 2 pertemuan sepasang kekasih dari latar yang berbeda. Ketenaran yang ditinggalkan Winarsih, nyata tergantikan dengan harta tak terniali, sebab ia bersumpah mengubur selendang ajaibnya sebelum duduk di pelaminan bersama Sukirjo yang kini menjadi suaminya.
Jombang, 26 Pebruari 2011, buat: Faza Fauzan Adzima
*) Penulis lahir di Jombang 24 Maret 1975. Menulis esai, puisi, cerpen, cerkak bahasa nJombangan. Redaktur Bulletin Lincak Sastra.
http://sastra-indonesia.com/
Winarsih berubah menjadi laki-laki, benar-benar berubah. Ia tampan, gagah, tanggap, cekatan, mengesankan. Busananya pun mentereng, dengan pernik warna-warni elegan, ditambah udeng kepala yang terselip lipatan berujung lancip ke atas, betapa ia seorang ksatria wibawa di medan laga yang kesaktiannya melindungi rakyat jelata. Bahkan lebih cocok jika namanya diganti Joko Galing, Joko Sambang, atau Joko Sembung, sebab gelagat, paras, naluri, kekuatannya tak selembek wanita lagi. Sendainya buah dadanya tak menonjol membentuk gunung kembar yang mengapit jurang, atau sedang tidak mengalirkan sumber merah mentrulasi, agaknya kesalahan takdir terjadi pada Winarsih. Kumis tipisnya jelas, bahwa serumpun rerumputan gelap itu hanya tumbuh di ladang bibir laki-laki.
Demikianlah ketika Winarsih menari remo saat mengawali pagelaran wayang kulit atau campursarian di daerahnya. Ia selalu tampil sebagai peremo ke dua, setelah peremo pertama selesai. Peremo pertama dimainkan oleh wanita yang berdandan layaknya wanita, dengan gerakan lembut, gemulai. Sedang peremo ke dua diperankan wanita yang berdandan laki-laki dengan gerak tari cekatan dan trengginas. Karakter dan kepiawaian Winarsih, cocok jika sabagai peremo ke dua.
Blak, blak, ning, nong, ning, rancak suara gamelan yang ditabuh para pengerawit bagai cericit burung, raungan singa, kepak sayap kelelawar, gemercik air, serta dengung kumbang yang menyatu di rimbaraya. Mereka bersatu dan berputar lingkar menjadi suara dengan kapasitas nada yang diserap oleh kode-kode gerak tarian Wiarsih. Seluruh rimba tunduk kepadanya. Selendang yang meliuk-liuk berloncatan dari ujung kaki ke jemari tangan bak tongkat sang gitapati yang mengacung, menjulang-julang ke angkasa sebagai tanda peralihan nada. Tiba-tiba, ia berubah sesosok pemimpin, tiap geraknya menjadi kebijakan agung yang dianut rakyat seluruh negeri. Namun dalam kerajaan kecil negeri Winarsih, yakni wilayah pementasan, dimana semua perhatian mulai pengerawit, penanggap, apalagi penonton, melotot terhepnotis kelihaiannya.
Tutslah nada peralihan remo pun selesai. Remo dalam pertunjukan wayang atau campursarian diteruskan dengan tembang yang siapa pun diperbolehkan memesan lagu. Berbeda dengan meremo dalam pementasan ludruk, peremo laki-lakinya harus benar-benar laki-laki, kecuali terpaksa, dan seusai meremo tidak melayani permintaan lagu dari penonton atau tamu undangan.
Saat melayani lagu inilah, saat Winarsih panen. Sebab tiap peminta lagu, harus memberi uang yang walau tidak ditentukan jumlahnya, namun harus pantas. Bervariasi cara orang memberikan uang kepada Winarsih saat memesan lagu, ada yang diberikan biasa, ada yang diblusukkan ke dalam jurang di antara bukit kembarnya, ada pula yang iseng dengan menjapit lembaran uang di ujung lidi yang kemudian ditarikulur seperti pancing. Dengan perasaan yang terbiasa menyikapi orang iseng, Winarsih menyabet lembaran uang yang memang sudah menjadi hak untuk mengambilnya.
Pelayanan lagu atau tembang, kadang hingga suara Winarsih serak. Bahkan terkadang molor sampai tiga jam. Pernah suatu saat Winarsih dibatasi oleh tuan rumah untuk menyudahi permintaan penonton, sebab waktu molor hingga jam 12 malam. Andai dilanjutkan, dalang akan kehilangan banyak waktu untuk menggebyakkan lakon wayangnya.
Keringat menetes deras, nafas ngos-ngosan, baju basah oleh keringat, bahkan kumis polesannya rada terhapus, tak dihiraukan Winarsih. Baginya, uang hasil saweran yang dibagi dengan pengerawit, adalah uang tips selain bayaran sebagai peremo. Uang hasil saweran itu kadang lebih berlipat dibanding uang saku pokok. Ketika melihat lembaran uang, mata Winarsih menjadi biru lautan yang keluasannya akan menampung seberapa banyak sampah yang hendak tumpah ke samudera.
Menghadiri pementasan, bagi Winarsih adalah saat pesta dalam hidup. Ia teringat masa kecil ketika diajak ibunya menonton pertunjukan. Winarsih selalu mengulum telanan ludah bila melihat aneka jajan yang dijual sederet pedagang. Apalagi ketika melihat anak sebaya dibelikan jajan oleh orang tuanya. Sementara orang tua Winarsih hidup serba kekurangan, jangankan untuk membeli jajan, tiap hendak tidur saja Winarsih sulit memejamkan mata hingga larut karena lapar. Sedang sehari, hanya makan dua kali dan sesudahnya tak ada nasi lagi.Winarsih pun kerap berangkat sekolah tanpa sarapan pagi, karena ibunya kehabisan beras dan belum menerima gaji.
***
Di bilik rumah bambu yang sudah doyong dan disangga beberapa cagak, Winarsih kecil menjalani hidupnya sebagai anak yang serba kekurangan, tak pernah berpesta sedikit pun. Yang paling ia ingat ialah saat orang tuanya selesai membikin welit, anyaman daun tebu yang dipesan tetangga. Welit itu digunalan sebagai atap pawon sebelum ada genteng. Ongkos pesanan welit yang cukup lumayan meski tak banyak, ibu Winarsih menjanjikan esok hari akan mengajaknya ke pasar untuk membeli baju. Saat itulah Winarsih tak bisa tidur semalaman. Angan-angan tentang keramaian pasar menghilangkan kantuknya. Kepahitan hidup yang mendera, seperti menebalkan besitan hati Winarsih bahwa jika dewasa kelak ia akan bekerja keras agar mendapat uang melimpah. Melihat kenyamanan hidup tergantung pada uang, kehidupan ini bagi Winarsih, Tuhan memang Yang Maha Esa, tetapi uang yang maha kuasa.
Setamat SMP, Winarsih ibarat keluar dari penjara yang memberlakukan jam jatah makan. Ia diajak budenya yang memiliki warung di gunung Pucangan. Maka berpindahlah Winarsih dari desa kelahirannya Pangklungan ke gunung Pucangan, tepatnya di desa Montorogo. Tiap hari bergumul melayani tingkah polah, senda-gurau pembeli, kekebalan mental Winarsih pun menebal. Selama tiga tahun hidup di warung, Winarsih bagai berada di pasar kecil yang tak hanya bertransaksi jual beli, tetapi juga tempat berhamburannya berbagai informasi.
Seiring keluar masuk orang di warung, ada yang pendatang baru, ada pelanggan yang tak pernah lagi singgah selama merantau atau meningal dunia, Winarsih yang dulu gadis kecil kini beranjak dewasa. Setiap berdiri di depan kaca, ia melihat dadanya mulai ada benjolan kian membesar, yang kadang dengan sadar, ingin menunjukkan kepada seseorang tentang seberapa tinggi gundukan itu menjulang. Ia pun melihat pinggulnya kian melebar. Diamati perubahan dalam dirinya dengan berputar-putar, sebab yang tampak dalam cermin tak akan jauh beda dengan aslinya.
Winarsih juga merasa ada yang terbuka dalam dirinya. Tak bisa dikunci namun pasti jelas mempersilahkan seseorang memasukinya, seorang lawan jenis, entah siapa. Jiwanya menjadi hamparan belantara yang disinggahi ribuan petualang cinta.
***
Berbagai obrolan selama di warung, hal paling tak terlupakan dan terus terngiang di telinga Winarsih adalah perbincangan tentang kegaiban Sendang Made, kolam kecil di perbukitan dekat kampungnya, bahwa, barang siapa berpuasa beberapa hari lalu menyepi semalam di sendang itu, bisa mendapat azimat untuk kesuksesan.
Winarsih seperti memetik keberuntungan begitu saja. Kejayaan hari pun memihaknya. Tanpa aral larangan atau sekedar curiga, budenya mengijinkan ketika Winarsih berpamit menginap di rumah teman, di kampung sebelah. Sebuah alasan yang tepat. Sebab budenya tau kalau Winarsih mempunyai teman baik, layaknya saudara kembar selama menetap di kampung itu. Padahal Winarsih merencanakan telasan, menyepi ke Sendang Made setelah berpuasa dino renteng, yakni tiga hari beserta pasaran dalam neptu Jawa yang berjumlah 40, semisal Jum’at Pon, Sabtu Wage, Minggu Kliwon.
Menjelang petang, Winarsih menyusuri jalanan setapak menuju Sendang Made. Ia sengaja mencari waktu agar tidak berpapasan dengan orang, apalagi yang dikenal. Tekatnya yang gempita, menjelma para wanita karier yang sedang naik daun di televisi. Para wanita ternama itu mengulurkan tangan, “ ayolah Winarsih, sebentar lagi kau akan duduk bersanding dengan kami. Dengan harta dan popularitas, kau tak akan diperbudak oleh kehidupan, tak disepelehkan laki-laki.” Ajakan yang membuat Winarsih mempercepat langkah. Namun ketika teringat cerita tentang candi olo, waktu surup, waktu mudalnya para Dedemit, Gondoruwo, para Peri, Wewegombel, Elo-Elo Banaspati, Sundel Bolong, Sundel Bentet, Sundel Buntu, Pocongan, Wedhon, Jerangkong,….., bulu kudu Winarsih pun berdiri. Tak pelak, “grrrr, krusek,” sesosok menyusup ke semak belukar. Winarsih gemetar, lumpuh dan terjongkok hingga terkencing. Setelah diamati, ternyata hanya seekor babi hutan. Ia bergegas meneruskan langkah. Tetapi baru lima puluh meter, “whussy,” kibasan kelelawar raksasa sedang melintas dan hinggap di dahan. Setelah dua kali tergoda bahwa sesuatu yang jika amati betul ternyata yang awalnya menakutkan sesungguhnya bukan hantu, Winarsih kian nekat.
Sesampai di tepian sendang, Winarsih mencari tampat sepi. Ia memastikan bahwa tempat itu tak mungkin dijamah orang. Menirukan apa yang ia dengar di warung, Winarsih pun mencari pupus daun pisang yang ia gelar untuk alas bersila.
Bagi Winarsih, malam itu berbeda dengan seribu malam sebelumnya. Malam yang sungguh-sungguh malam sebagai sosok diri kenapa ia disebut malam. Gelap. Sepi. Sunyi. Kecuali canda binatang malam: siul burung hantu, kecek belalang, lolongan srigala, denging serangga, gesek dedaunan jati yang berguguran.
Winarsih perlahan menyusuri lorong malam. Ia tersadar, kenapa malam disebut tidur, tiba-tiba ia sampai pada lorong kesunyian yang jauh ke dalam sunyi, bahwa suara gembrujuk air terjun yang berada lima puluh meter di dekatnya terdiam. Seluruhnya. Beserta riuh binatang malam, tak bersuara. Padahal air tetap mengguyur ke bawah. Masuk ke dalam malam Winarsih menemukan titik terang yang tak segelap malam, begitu juga menemukan kesunyian di balik gemuruh riuh suara alam jika malam.
Suara kentong terdengar sayup berdenting dua belas kali dari perkampungan jauh. Waktu menunjukkan lingsir. Embun mulai turun dengan dingin yang menusuk tulang. Dingin yang sekaligus menjemput bunyi kentongan bertitir satu pukulan, dua kentong, hingga menunggu tiga ketukan yang masing-masing berarti tanda jam.
Dari bilik sunyi ruang malam, Winarsih mendengar suara-suara aneh. Seperti suara orang berkerumun di pasar, lalu menghilang. Beberapa menit kemudian, suara bayi menangis, lalu menghilang. Berganti lagi suara hewan-hewan yang Winarsih pasti faham suaranya, lalu hilang lagi. Bahkan Winarsih mendengar suara yang tak pernah ia dengar selama hidup, entah suara apa itu. Terakhir Winarsih mendengar suara gamelan bergemontang, persis seolah sedang menonton ludruk atau wayang. Winarsih meraba tangan, kaki, serta raut mukanya. Ia memastikan bahwa dirinya sedang tersadar dan bukan tertidur lalu bermimpi. Sebab ia kini berada di tengah tontonan wayang kulit, ia menonton dengan orang orang yang tak pernah ia kenal sebelumnya. Tepatnya bukan pertunjukan wayang yang ditanggap seseorang, namun mirip kompetisi lomba, atau reuni sekolah yang mempersilahkan siapa pun yang hadir untuk menyumbangkan tembang atau tarian. Dari deretan kursi undangan berdiri seorang tua dengan pakaian khas sesepuh Jawa, celana komprang hitam, baju hitam, kaos lorek merah putih, memakai udeng ikat kepala. Rupanya lelaki tua itu tokoh terkenal di antara semua pangunjung. Langkahnya berwibawa dan mengesankan. Ia menghampiri Winarsih di antara kerumunan penonton lain. Lelaki wibawa itu mengulurkan tangan ke Winarsih sambil memberikan selendang. Tak sekedar selendang yang hanya kain sewarna, merah jambu, kuning, atau hijau, tetapi sehelai selendang itu berwarna pelangi hijau dan abang. “Nduk, sekarang giliranmu menari remo, silahkan, kau pasti bisa. Asal syaratnya satu, kau jangan menikah! Kalau kau menikah, maka kau tidak akan bisa meremo lagi dan kebesaranmu akan hilang,” ajak sekaligus nasehat lelaki tua berwibawa itu.
Winarsih kembali meraba tangan, kaki, dan raut mukanya. Ia memastikan kalau dirinya sedang tersadar dan tidak sedang bermimpi waktu tertidur. Sebab semua keramaian gamelan, dengung obrolan ratusan penonton serta undangan tiba-tiba lenyap dari hadapannya. Winarsih kembali menemui dirinya sendirian di tengah hutan, dan, dengan begitu saja ada selendang pelangi ijo-abang tersampir di pangkuannya.
(Tiga bulan kemudian)
Winarsih seperti hari-hari sebelumnya, ia sibuk membantu budenya di warung. Namun beberapa hari ini ia tak tampak di warung. Sudah dimaklumi budenya, ia diminta Tulkiyem membantu membikin kue di rumahnya. Tulkiyem perawan sepantaran Winarsih itu akan menikah. Sudah menjadi tradisi warga desa jika hendak menikah, menyuruh teman atau tetangga untuk membantu segala persiapan perjamuan. Serayanya, pesta pernikahan Tulkiyem bakal ramai, sebab pernikahannya diramaikan pagelaran wayang kulit dengan lakon’Wahyu Cokro Ningrat’ yang dimainkan dalang kondang Ki Sleman.
Pagi, hari’H’pesta perkawinan Tulkiyem, para tetangga yang laki-laki, sibuk mengusung gong, kenong, kendang, kempul, peti wayang dll. Sebab desa Montorogo adalah kawasan perbukitan dengan jalan setapak yang mobil tak bisa masuk.
Setelah perangkat gamelan tertata rapi, para nayoga dan pesinden, memulai ‘giro’sejak jam 9 pagi. Winarsih yang sibuk membungkus aneka kue hidangan menjadi tersentak, ia teringat persis, bahwa suara rancak gamelan yang kini di depan rumah Tulkiyem, persis yang ia alami sesaat ketika menyepi di Sendang Made. Winarsih pun terbayang perihal selendang yang ia sembunyikan dalam almarinya. Ucapan tetua agung saat di Sendang Made, bagai menyembulkan keberaniannya bahwa dirinya pasti bisa menari remo. Winarsih lantas menemui salah satu awak anggota nayoga untuk mengusulkan kalau dirinya ingin menyumbang tari remo nanti malam. Tanpa pikir panjang, nayoga pun mengiyakan setelah berunding dengan orang sekawanan. Begitu pula budenya, malah mendukung keberanian keponakannya yang ia anggap mungkin Winarsih belajar meremo saat sekolah SMP dulu.
***
Menginjak jam 8 malam, para nayoga makan bersama. Pertanda sebentar lagi ‘giro sekaten’ akan dimulai, yakni awal seluruh proses acara berlangsung semalam suntuk. Dua peremo juga sudah datang bersama gurunya Ali Markasa. Bagi kalangan pengerawit dan beberapa warga yang menyukai wayang kulit dan ludruk, tentu mengenal kepiawaian Ali Markasa, seorang pengeremo beken yang pernah menjuarai tinggkat nasioanal. Kebesaran jiwa berkesenian Ali Markasa, menyambut bangga atas keberanian Winarsih yang hendak menyumbang. Winarsih pun dipersilahkan untuk tampil lebih dulu daripada peremo panggilan. Dan, betapa Ali Markasa terpukau menyaksikan tarian Winarsih sungguh-sungguh hidup. Ia benar-benar menyatu dengan alunan musik. Pengerawit pun terserap iringannya ke seluruh gerak gerik detail tarian Winarsih. Mereka tak habis pikir, bagaimana mungkin sosok gadis desa selugu Winarsih mampu mengekspresikan tahap Lumaksana, Tanjak, Iket, Besut Gantungan, Kicatan, Ceklekan, Ayam Alas, Tumpang Tali dan Sembahan dengan begitu sempurna. Tidak hanya itu, ia malah menambahi trik-trik mbeling yang keluar dari pakem tahapan meremo tersebut. “Wow, lahir dari mana anak ini?” desah pukau Ali Markasa. Sejak itulah Winarsih menjadi peremo ulung yang tak henti jobe pementasan menjemputnya. Kabar sepuluh tahun berikutnya ia sudah bisa membangun rumah megah serta menyumbang untuk perbaikan jalan di desa kelahirannya di Pangklungan, dan desa tempat ia menemukan keberuntungan hidupnya, yakni Montorogo Pucangan.
***
Bertahun-tahun keluar masuk terop, kehadiran Winarsih ibarat bumbu pelengkap, kurang sregh rasanya sebuah pesta tanpa kehadirannya. Apalagi ketika ia sedang meremo, liukan selendangnya bagai keloget pelangi saat bidadari meluncur ke bumi mengendarai punggungnya. Atau, ia bagai Murai Batu yang bercericit bersama gelaran sayap dan mekar bulu-bulunya. Sebuah keindahan yang sengaja dipamerkan ke kelopak mata pejantan.
***
Adalah Sukirjo, pemuda asal desa Gongseng, sosok perjaka bersenyum teduh, sorot mata bersinar, ucapan dan gerak geriknya landai tak berpolah mubadzir: kalem, datar, mengesankan bak permukaan air pada kubangan jeruh, tak bergejolak, tak beriak.
Sukirjolah yang menjadi Jaka Tarub dan bersiap menyembunyikan selendang bidadari kala mandi di telaga. Atau menjadi pejantan Batu Murai yang mengerti makna kibasan sayap betina kala berjemur di terik matahari.
***
Malam itu Sukirjo sedang asyik menonton pementasan Ludruk Begidak Massa yang sedang tampil di dekat pondok pesantren. Baginya, menonton kesenian tradisional lebih bernilai daripada menghadiri kampanye PPP, Golkar atau PDI siang harinya. Melihat Winarsih melenggangkan tari remo, Sukirjo laksana melihat kuncup bunga dahlia yang mekar dan bergoyang diterpa semilir angin pagi. Tumbuhlah hasrat Sukirjo untuk memetik sekuntum dahlia itu dan menaruh dalam jambangan jiwanya, agar kehidupan lebih semarak dengan rampak warna-warni dan tak lengung lagi.
Karena kekurangan pemain, Winarsih tak hanya meremo malam itu, tetapi juga berperan sebagai Surti si putri raja dalam lakon Pendekar Joyo Mulyo. Demi mengatasi prahara kelaparan, paceklik, perampokan, penyakit merajalela yang melanda kerajaan, raja akhirnya mengadakan sayembara, barang siapa mampu memulihkan ketentraman kerajaan, ia akan diberi kemulyaan pangkat, serta dinikahkan dengan putri raja. Muncullah Pendekar Joyo Mulyo dari desa Jalinan yang diperankan oleh Pak Ngaidi Wibowo, seniman ludruk kawakan sekaligus kawan Winarsih. Untuk menguji kesaktian Pendekar Joyo Mulyo, raja memberi sarat, kalau pendekar bisa memanah seluruh daun beringin hingga berlobang, maka ia akan dinikahkan dengan putrinya serta diberi kemulyaan.
Sebagai pendekar sakti mandraguna, Joyo Mulyo segera meraih panah ampuh berjuluk Sangkelat Tembus Sukma. Ketika busur disematkan dan melesat dari jemparingnya, tiba-tiba datang berbondong-bondong ribuan para santri dari pondok terdekat. Entah apa sebabnya. Sejak sore mereka curiga kalau ludruk akan membikin lakon yang dipesan untuk berkampanye. Adegan memanah ribuan daun beringin hingga tembus, merupakan sindiran agar dalam pemilu nanti warga nyoblos partai bergambar pohon beringin.
Amarah santri pun membabi buta. Penonton panik dan semburat. Beberapa awak pemain ludruk menjadi bulan-bulanan. Aktor yang biasa memainkan adegan perang, dan memang pandai bersilat, mencoba melawan. Namun para santri agaknya sudah menyiapkan kekebalan tubuhnya. Santri sudah digembleng kiainya sebelum berangkat membubarkan tontonan ludruk tersebut. Cerobong tempat para pemain berias pun diobrak-abrik. Bahkan kerusuhan antara santri dan pemain ludruk, sama-sama mengeluarkan senjata tajam. Namun karena jumlah santri lebih berlipat, para pemain ludruk kocar-kacir berlarian menyelamatkan diri.
Winarsih pontang-panting ketakutan. Ia benar-benar tak mengerti apa yang terjadi. Baginya selama ini meremo atau kadang bermain ludruk hanyalah karena panggilan berkesenian. Ia datang karena dibayar untuk menghibur orang.
Dari hiruk-pikuk penonton, dari sela perkelahian, Sukirjo melompat, menyelinap menghampiri Winarsih. Sukirjo menggandeng tangan Winarsih. “Ayo menyelamatkan diri. Sebagian temanmu ada yang tersabet celurit.” Tanpa pikir panjang, Winarsih pun mengikuti gelendengan tangan Sukirjo. Beberapa santri juga ada yang mengejar sambil mengancam, “kubunuh kau.” Ancaman yang kian membuat Winarsih merinding ketakutan. Alhasil, larilah Winarsih dan Sukirjo merantas ke sawah-sawah. Mereka berdua berlari sejauh-jauhnya, yang penting nyawa terselamatkan. Keduanya jatuh bangun terjungkal di parit. Nafasnya tersengal sembari gemetar.
***
Sejak peristiwa itu, Winarsih kian mengerti bahwa hidup di dunia seni pun diperlukan siasat kepekaan menganalisa sesuatu yang bakal terjadi. Tanpa siasat atau perhitungan, ia bisa dipecundangi siasat itu sendiri. Bahkan nyawa menjadi taruhan.
Sejak peristiwa itu, Winarsih mulai terkagum, kenapa ada sosok yang teramat peduli dengan keselamatan, masa depan karier dan melindunginya saat bahaya. Sementara kawan sepermainan justru sibuk menyelamatkan diri tanpa menghiraukan nasib kawan lainnya.
***
Winarsih dan Sukirjo dipertemukan pada keadaan yang tak terduga. Sukirjo seperti diseleksi alam untuk melindungi serta menyelamatkan harta titipan, sementara Winarsih merasa dirinya berhutang nyawa dari kejamnya politik saat pentas ludrukan sial itu. Selanjutnya pertemuan mereka di sela-sela berkesenian, tak terasa menjelma matador cinta yang mendadung leher keduanya untuk bertekuk lutut pada kerinduan, sebuah ruang putih yang indah dan asyik dibanding rutinitas apa pun.
Sebelum semua terlambat, Sukirjo menjalankan kewenangan sebagai lelaki yang mencintai Winarsih. Saat keduanya menghabiskan senja di tanggul Kali Brantas, di sela-sela padang perdu ilalang, di atas sebongkah batu besar, Sukirjo dengan gugup mengutarakan isi hatinya pada Winarsih. “Dik, setelah kuamati, ternyata aku gelisah jika tidak bertemu kamu, aku juga takut kehilangan kamu, kau selalu menguntit kemana pun kepergianku. Dik, sejak mengenalmu, alam semesta hilang, menjelmamu di setiap pelupuk mata dan degub jantungku. Melihat kawan atau tetangga menggendong anak, bergurau dengan istri, terlintas andai sejoli itu aku dan kau. Kuharap kau menjadi Kali Brantas sang Bengawanjeruh dan aku ikan yang tak hidup tanpa menyelam di kedalamanmu. Mata kita akan berpandangan berabad-abad. Aku merasa kaulah tulang rusukku. Di antara makhluk hidup, kuingin kau sudi mendampingi hidupku sampai usia senja, ikhlas dalam suka dan duka. Aku ingin anakku hanya lahir dari rahimmu. Aku ingin menikahimu.”
Winarsih terperanjat. Ia tertegun bagai gunung di musim hujan, dengan mendung bergelayut dan geluduk menggelegar. Otot dan persindiannya lumpuh, tetesan keringat dingin mengucur sekujur tubuh. Seremeh apapun ucapan lelaki jika dibarengi ketulusan dan kesungguhan, adalah hal sakral bagi wanita. “Aku mengerti bahasa orang menyinta. Aku juga faham arti dicinta. Aku berterimakasih pada setiap huruf dari kata-katamu, keberanian serta kesungguhanmu. Namun,…” Winarsih lalu menceritakan perihal selendang yang membuat dirinya kondang beserta sarat ketika ia menerima selendang itu di Sendang Made dahulu.
Mendengar jawaban Winarsih, perasaan Sukirjo berhamburan bagai ribuan emprit tersentak suara gerombyang kaleng para petani. Emprit yang sedang hinggap di pucuk kuningnya padi.
***
Meski telah sewindu, kata kata Sukirjo di tanggul Kali Brantas tak menyingkir dari selaput gendang telinga Winarsih. Gaungnya terus terngiang melebihi rampak nada gamelan yang mengiringi tariannya ke mana pun. Bergema, dan terus menggema.
Begitu pula Sukirjo. Koor suara santri yang mengaji di pondok belakang rumah. Suara santrinya kian gemontang berkumandang kala berbaur dengan gemercik air dari pancuran kecil diapit tebu diladang sebelah pondok. Suara itu bagai cericit burung perenjak bersautan, burung yang mengabarkan tentang adanya tamu hendak datang. Hari-hari Sukirjo selalu menunggu kedatangan Winarsih.
***
Seusai melewati hari-hari dan mimggu-minggu yang dirundung basahnya hujan, bulan sudah menginjak kalender ke enam. Seperti biasanya, setiap awal pembukaan musim giling tebu, pabrik gula di tikungan kota mengadakan Tayuban dengan menggelar segala kesenian daerah sekitar. Tontonan digelar tak hanya semalam, namun sampai seminggu. Pentas bervaian menjajar, mulai dari Ludruk, Gambus, Jaran Kepang, Ujung, Topeng Sanduran, Samroh-Qosidah bahkan Tahlilan Akbar yang mengundang para kiai sekabupaten. Pesta tontonan itu dimaksudkan agar mendapat keselamatan seluruh karyawan pabrik pada masa giling nanti. Dalam acara skala besar seperti itu, Winarsih pasti diundang.
Di pentas lain yang tak jauh dari pentas ludruk Winarsih manggung, tampak Sukirjo mondar-mandir. Atas nama pondok, ia dan para santrinya diundang pihak pabrik untuk mengisi acara Qosidah. Para santri putra tampak lucu dan menggemaskan dengan pakaian busana muslim, kopyah, sarung dan baju koko. Begitu pula santri putri, mereka kelihatan anggun, molek, menis dengan warna-warni jilbabnya.
Tak kalah dengan pementasan lainnya, terutama para ibu dan remaja putri merangsek berjubelan. Melihat anak sekecil itu berani tampil di atas panggung, para ibu dan orang tua pasti kesemsem. Terdengar suara bergemontang dari MC kecil salah satu dari santri Sukirjo membuka kata-kata penghantar lagu islami mereka, “…asam gendis asam gelugur-ketika asam riang-riang / jasat menangis di dalam kubur-semasa hidup tidak sembahyang.” Seketika penonton senyap sebelum beberapa saat kemudian tepuk tangan riuh menyambutnya.
Entah gravitasi apa yang menarik Winarsih ke pementasan qosidah itu, padahal ia sendiri sedang mempersiapkan tari remo ludruknya yang dimulai jam 9 malam. Di antara desakan penonton wanita lainnya, Winarsih seperti tersodok dadanya. Suara santri kecil Sukirjo bagai virus ganas mematikan. Sumsum dan persendian Winarsih lumpuh. Bagi Winarsih sebaris kalimat MC kecil itu suara halilintar menyambarnya. Ledakan yang berpusat di dalam dada dan getarannya tanpa sadar melelehkan air mata bersama gemuruh tepuk tangan ibu-ibu di sekitar panggung.
Selama bergelimang ketenaran dan kemewahan, Winarsih tak sadar terseret jauh ke dalam keramaian dunia fana, keramaian yang di dalamnya terdapat satu ruang gelap teramat sunyi. Kefanaan yang keras, tajam memanjang bagai pedang Dakstur sedang melintang di leher Nabi Muhammad. “Kalau pedang siap menebas lehermu begini, siapa yang menolongmu Muhammad?” “Alloh” jawab Nabi Muhammad singkat. Namun kata ‘Alloh’ sepertinya Nabi Muhammad hanyalah bibir manusia yang dipinjam Alloh sejenak. Sedangkan yang mengatakan adalah Alloh sendiri, maka tak sanggup siapa pun mendengar, kecuali gemetar.
Begitulah Winarsih. Suara santri kecil Sukirjo, adalah kebenaran yang dititipkan di bibir santri. Gadis seusia Winarsih, mestinya sudah menjadi ibu, ternyata belum mampu menggapai nalar atas kesuksesannya di akhirat kelak, sedang gelimang dunia hanya berakhir sebatas usia.
Winarsih kemudian menemui Sukirjo di belakang panggung yang menjadi sutradara pementasan para santrinya. Pertemuam Winarsih dan Sukirjo kembali bagai gelombang waktu yang terulang. Meski gagap, namuan keduanya merasa terbiasa. “anak-anakmu lucu-lucu ya mas,” sapa Winarsih. “Ah, kebetulan, mumpung diundang Direktur pabrik gula, aku mengajarinya keberanian berekspresi sejak kecil, biar nanti kalau dewasa, mereka tatag seperti kamu. Kalau bisa sih, aku ingin mereka mempunyai ketrampilan seimbang ketika di atas panggung, baik mimik, tekanan suara, ritme dan gerak tubuh. Yang penting, apapun yang mereka lakukan, sekecil apapun energi yang mereka keluarkan, harus berbaur dengan gerak rotasi bumi, gerak revolusi antar planet dan bersandar kepada Alloh. Tanpa itu, ampang rasanya hidup, walau berarti, tapi tak bermakna.”
Winarsih tersentak. Namun, ia menyembunyikan rasa malunya dengan melayangkan pandangan ke sekitar. Ia merasa kehebatannya menari remo selama ini hanyalah bertumpu pada kemampuan bahasa tubuh. Itupun kebanyakan penonton menangkap sebelah mata. Penonton hanya terpesona oleh kemontokan dada, kebahenolan, serta kelangsingan tubuh Winarsih.
“Kenapa matamu berkaca?” Tangkap tanya Sukirjo. Winarsih tak kuasa bergeming. Winarsih, malah menangis. Diantara sesengguk isakan, “Mas, sejak hubungan kita vokum, apakah ada wanita lain yang mengisi hatimu?” Sukirjo terperangah. Ia terkikuk. Burung perenjak yang bercericit tiap hari di belakang rumahnya seperti datang membawa ribuan tamu, dan semua tamu itu ialah Winarsih yang hendak menerima kata cintanya 8 tahun silam. “Belum. Sengaja aku menguncinya. Memang ada banyak wanita, tapi mereka hanya ditakdirkan sekedar melintas di depanku, ada pula yang ditakdir menjadi teman, tapi belum ada yang ditakdir menjadi istri.”
Jawaban Sukirjo menjelma jalan membentang di depan Winarsih. Ia hendak menapakkan kaki menyusurunya walau dengan sedikit keberanian. Yah.., keberanian memang tidak harus berjuang mengacungkan pucuk senapan. Terkadang keberanian cukup hanya melakukan hal sepeleh yang mengandung kepastian. “Mas, menyaksikan qosidah para santri kecilmu, aku merasa bahwa ada nilai berharga dalam dirimu. Entah mengapa, sepertinya aku merasa perlu terlibat menjaganya. Aku ingin menjadi ibu dari mereka, dan ibu dari anak kita.”
Seketika tubuh Sukirjo dan Winarsih gemetar, seperti diguyur anugerah tak terhingga dari langit. Keduanya saling bertatapan mata. Bagi Sukirjo, wajahnya tampak jelas utuh di dalam mata Winarsih, begitu juga Winarsih sedang menyaksikan bulat wajahnya dalam kerling mata Sukirjo.
***
(Dua tahun kemudian)
“Masya’Alloh, subhanalloh, lucunya anakku. Tuhan anugerah macam apa yang kau berikan kepadaku ini, Jombang Kuncoro anakku sedang terbata-bata. Ia hendak berjalan. Ia tertatih, jatuh, bangun dan menangis. Oh anakku, sungguh kau sekuntum bunga yang bermekaran di pelupuk mata, setelah malam-malam lalu engkau mengigaunya. Anakku, kau adalah aku dan ayahmu yang menjelma menjadi kamu.” Demikianlah hari-hari Winarsih dipenuhi kegirangan, kebahagiaan. Setelah 2 tahun berumah tangga dengan Sukirjo terlengkapilah puncak kebahagiaan dengan kehadiran anak pertamanya anak yang diberi nama Jombang Kuncoro, anak dari 2 pertemuan sepasang kekasih dari latar yang berbeda. Ketenaran yang ditinggalkan Winarsih, nyata tergantikan dengan harta tak terniali, sebab ia bersumpah mengubur selendang ajaibnya sebelum duduk di pelaminan bersama Sukirjo yang kini menjadi suaminya.
Jombang, 26 Pebruari 2011, buat: Faza Fauzan Adzima
*) Penulis lahir di Jombang 24 Maret 1975. Menulis esai, puisi, cerpen, cerkak bahasa nJombangan. Redaktur Bulletin Lincak Sastra.
Teaterawan Rodli TL, Dewa Kesenian Lamongan, Jawa Timur
Nurel Javissyarqi
http://sastra-indonesia.com/
Totalitas ampuh menggerakkan seluruh tubuh dan jiwa, memancarkan sorot tajam ke segenap penjuru panca indra para insan. Laksana tersedot magnetik, partikel-partikel berbaur mencipta gugusan kesadaran, melampaui hari-hari bangkitkan aura terang, kian sumringah di mana pun sampainya.
Menggempur batu-batu kemalasan, membasmi keminderan, menghardik kepicikan melalui membaca, menyimak ladang kemungkinan. Merangsek kendali fikir menancapi tiang-tiang pancang fitroh diugemi berkeseluruhan hidup bergema. Kumandang lakon-lakon dimainkan, di kedalaman ceruk kehidupan.
Rodli TL, teaterawan jebolan UNEJ, kukira sangat berjasa di dunia teater dewasa ini di Lamongan. Yang lain dilingkup kota Mbah Lamong hanya mengaku-aku senior, tetapi jarang berkesenian, perannya sehangat kucing membina komunitas, kembang-kempis mengikuti musim-musim.
Sedangkan ia merambah sampai masyarakat awam teater di desanya yang berbau kental ajaran Islam, lewat pelbagai pendekatan sejarah kesusastraan dimasa Rasulullah SAW misalnya. Ia salah satu penggerak, sehingga komunitas-komunitas teater makin semarak, sedari sejarah perteateran.
Dosen UNISDA itu, setiap hari disibukkan mendidik anak-anak melalui kursus bahasa Inggris, disamping membina teater anak Sang Bala. Ia juga seorang novelis, novelnya “Dazedlove,” Reportoar Mahasiswi Demonstran, terbit tahun 2006, tidak luput menulis naskah-naskah drama, cerpen &ll.
Awal kehadirannya kuragukan, tapi semenjak mendirikan rumah dibentuk panggung teater, tiada keraguan sekali pun padanya. Ini kukira menjawab kekurangan pemerintahan Lamongan, yang dulu berjanji mendirikan Gedung Kesenian, tapi masih dalam angan sampai sekarang.
Pada acara International Teacher Art Award 2008, diselenggarakan Pusat Pembinaan Pengembangan Pendidik Tenaga Kependidikan Seni Budaya Yogyakarta. SDN Canditunggal mengusung pertunjukan “Past Game” karya Rodli TL, menyabet double winner, terbaik internasional tingkat SD, SLTP, dan mendapat penghargaan Guru Berprestasi dari Mendiknas.
Prestasinya terulang di Festival Seni Internasional III, karya terbaik I kategori guru Seni Budaya tingkat Sekolah Dasar. Kala mementaskan “Kaum Klepto” dihadapan ratusan penonton di auditorium pertunjukan PPPPTK-SB, 3 Agustus 2010. Menyisikan komunitas teater dari USA, Perancis, Belanda, Jepang, Tailand, Inggris, Gambia, Malaysia dan negara-negara lain. Namun sayang pemerintahan Lamongan, belum menaruh perhatian pada komunitas teater Sang Bala.
Sebab semangatnya murni dari kalbu terdalam, terus menggeliati waktu perubahan. Dan jejak langkahnya menggiurkan para teaterawan, menambah matang sikapnya di dalam dunia teater. Mendirikan rumah panggung teater, demi mengukuhkan mentalitas komunitas teater yang ada di Lamongan, Gersik, dan kota sekitarnya.
Ia pantas dijadikan cermin terbaik atas keterbatasan mengelilinginya. Tak memiliki laboratorium memadai, menjelma pemicu membaktikan seluruh jiwa raganya. Totalitas tersebut, tidak lebih pantulan proses kreatif semasa jadi mahasiswa di kota Jember, dan beberapa lawatannya.
Aku teringat menaiki motor berdua ke Jember, diriku diperkenalkan teaterawan sekaligus sutradara muda; Tomtom. Selanjutnya mementaskan naskahku bertitel “Zaitun; Cahaya di atas Cahaya” di kampus UNEJ dan IAIN Surabaya, garapan “Teater Tiang” di bulan Juli 2007.
Ingatanku memusat di alun-alun kota Lamongan, awal tahun 2006. Di sana letak kami biasa berkumpul; Haris del Hakim, AS Sumbawi, Anis CH, Rodli TL, Imamuddin SA, Syaiful Anam Assyaibani. Setidaknya dari situ, pernah membuahkan sesuatu meski tidak bertahan lama;
Majalah “Gerbang Massa,” “Jurnal Sastra Timur Jauh,” terakhir “Jurnal Kebudayaan The Sandour,” semua tebal digerus watak percepatan dunia penulisan di bawah kaki-kaki kami masih belia. Selain mengadakan kegiatan sastra ke pesantren, sekolahan; ajang bedah buku, lomba karya cipta, yang sempat berjalan “Van Der Wijck Award.”
Sebelum hengkang demi mentafakkuri nasib masing-masing diri, kami sempat membuat blog beralamat http://forum-sastra-lamongan.blogspot.com/ dan perpisahan atau jarak tersebut, lebih mengukuhkan badan-badan pribadi menuju takdir yang menempa;
Anis CH hijrah ke Gersik mengajar, AS Sumbawi merantau, meneruskan pendidikan di kota Malang, Haris del Hakim ke kota pahlawan Surabaya. Hanya sesekali bersapa di dunia maya, ataupun bertemu di acara sastra pula menghadiri pementasan teater;
Imamuddin SA, Syaiful Anam Assyaibani atau Javed, disibukkan mengajar, sehingga perjumpaan guyub di atas melempem. Tetapi jiwa kami terus menyala, mematangkan diri meski tak kerap bertatap muka. Demikian keakrapan kami bersama teaterawan kita, lantas kini kufokuskan kepadanya:
Kepiawaian Rodli TL berolah tubuh dan menebarkan kata-kata di panggung, tidak kuragukan sejak awal. Raganya mampu dijelmakan seair menggemai decak ombak, lewati ritme tertentu melalui jari-jemarinya. Kadang seangin lentur, tarian disusupi keindahan musik jiwanya, keseluruhan sampai walau sedikit menggeser kakinya.
Itulah pantulan dirinya mengerami ketabahan bermeditasi di dalam ruangan jiwa, membentengi kesemangatan berkesabaran purna. Sehingga tak lewar, dan hampir gerak-geriknya dihitung, reflek sekalipun terpampang mawah, sedari terbitkan matahari ketekunan. Serupa tiap persendian kata, sedang kalimah membahana, mengarungi sampan kehendak terdalam, dari lakon yang dicanangkan.
Sedikit sekali aku temukan orang sekualitas dirinya. Hanya khusyukkan profesi, ringan berkorban demi pengetahuan masa depan, diberkahi keajaiban. Bayangan ini mengingatkan aku pada sosok teaterawan kota Lampung, Iswadi Pratama; pengalaman melimpahi hidup, menaburi benih berharga teruntuk sesamanya menjadi berkah.
Aku dengar pemerintahan JaTim mulai melirik prestasinya, ialah pantas. Setidaknya Gedung Pertunjukan Teater “Sang Bala” didirikannya, membuktikan keseriusannya berkesenian, yang kerap dibuat ajang pentas para teaterawan, seperti di Hari Teater Sedunia, 27 Maret 2011 lalu.
Berjubel orang datang menyaksikan para teaterawan menampilkan karya-karyanya, lebih menggetarkan warga kampung turut menikmati, meski disambut rintikan gerimis. Kembang perjuangan ini, bebuah gerilyanya memasyarakatkan teater di desa Candi Tunggal, Kalitengah.
Malam sakral tersebut, komunitas-komunitas teater sekitar Lamongan memeriahkan panggung Sang Bala, yang letaknya jauh dari kota. Di pelosok desa dengan jalan aspal rusak parah, tetap antusias mengunjungi dan saling berbagi pengetahuan.
Acaranya: “Teater Anak Sang Bala” dengan lakon “Kaum Klepto,” Sutradara Rodli TL, “Teater Kotak Hitam” mementaskan naskah bertitel “Membunuh Hayalan” Pimpinan kelompok ini Ubaidilah. Teater “Lata” memanggungkan “Segitiga Setan,” Sutradara Welly KS, “Teater 99” memainkan karyanya “Keris 7 Lengkok” Sutradara Sarkadek.
“Teater Pembuat Sejarah” menyuguhkan “Nasihat Abah,” atas Sutradara Godek, “Teater Nafas Kata,” menampilkan “Anak Angin,” sedang “Teater Roda” membawakan “Suatu Waktu Hidup Seorang Aktor.” “Komunitas Teater Almazr” naskah lakon “Lam Yasyhur,” Sutradara Roki, terakhir “Pantomim Psikopat” oleh Arif STKW. Maka semoga perteateran di Lamongan kian dahsyat, atas jiwa-jiwa muda memerdekakan bangsa, amin.
http://sastra-indonesia.com/
Totalitas ampuh menggerakkan seluruh tubuh dan jiwa, memancarkan sorot tajam ke segenap penjuru panca indra para insan. Laksana tersedot magnetik, partikel-partikel berbaur mencipta gugusan kesadaran, melampaui hari-hari bangkitkan aura terang, kian sumringah di mana pun sampainya.
Menggempur batu-batu kemalasan, membasmi keminderan, menghardik kepicikan melalui membaca, menyimak ladang kemungkinan. Merangsek kendali fikir menancapi tiang-tiang pancang fitroh diugemi berkeseluruhan hidup bergema. Kumandang lakon-lakon dimainkan, di kedalaman ceruk kehidupan.
Rodli TL, teaterawan jebolan UNEJ, kukira sangat berjasa di dunia teater dewasa ini di Lamongan. Yang lain dilingkup kota Mbah Lamong hanya mengaku-aku senior, tetapi jarang berkesenian, perannya sehangat kucing membina komunitas, kembang-kempis mengikuti musim-musim.
Sedangkan ia merambah sampai masyarakat awam teater di desanya yang berbau kental ajaran Islam, lewat pelbagai pendekatan sejarah kesusastraan dimasa Rasulullah SAW misalnya. Ia salah satu penggerak, sehingga komunitas-komunitas teater makin semarak, sedari sejarah perteateran.
Dosen UNISDA itu, setiap hari disibukkan mendidik anak-anak melalui kursus bahasa Inggris, disamping membina teater anak Sang Bala. Ia juga seorang novelis, novelnya “Dazedlove,” Reportoar Mahasiswi Demonstran, terbit tahun 2006, tidak luput menulis naskah-naskah drama, cerpen &ll.
Awal kehadirannya kuragukan, tapi semenjak mendirikan rumah dibentuk panggung teater, tiada keraguan sekali pun padanya. Ini kukira menjawab kekurangan pemerintahan Lamongan, yang dulu berjanji mendirikan Gedung Kesenian, tapi masih dalam angan sampai sekarang.
Pada acara International Teacher Art Award 2008, diselenggarakan Pusat Pembinaan Pengembangan Pendidik Tenaga Kependidikan Seni Budaya Yogyakarta. SDN Canditunggal mengusung pertunjukan “Past Game” karya Rodli TL, menyabet double winner, terbaik internasional tingkat SD, SLTP, dan mendapat penghargaan Guru Berprestasi dari Mendiknas.
Prestasinya terulang di Festival Seni Internasional III, karya terbaik I kategori guru Seni Budaya tingkat Sekolah Dasar. Kala mementaskan “Kaum Klepto” dihadapan ratusan penonton di auditorium pertunjukan PPPPTK-SB, 3 Agustus 2010. Menyisikan komunitas teater dari USA, Perancis, Belanda, Jepang, Tailand, Inggris, Gambia, Malaysia dan negara-negara lain. Namun sayang pemerintahan Lamongan, belum menaruh perhatian pada komunitas teater Sang Bala.
Sebab semangatnya murni dari kalbu terdalam, terus menggeliati waktu perubahan. Dan jejak langkahnya menggiurkan para teaterawan, menambah matang sikapnya di dalam dunia teater. Mendirikan rumah panggung teater, demi mengukuhkan mentalitas komunitas teater yang ada di Lamongan, Gersik, dan kota sekitarnya.
Ia pantas dijadikan cermin terbaik atas keterbatasan mengelilinginya. Tak memiliki laboratorium memadai, menjelma pemicu membaktikan seluruh jiwa raganya. Totalitas tersebut, tidak lebih pantulan proses kreatif semasa jadi mahasiswa di kota Jember, dan beberapa lawatannya.
Aku teringat menaiki motor berdua ke Jember, diriku diperkenalkan teaterawan sekaligus sutradara muda; Tomtom. Selanjutnya mementaskan naskahku bertitel “Zaitun; Cahaya di atas Cahaya” di kampus UNEJ dan IAIN Surabaya, garapan “Teater Tiang” di bulan Juli 2007.
Ingatanku memusat di alun-alun kota Lamongan, awal tahun 2006. Di sana letak kami biasa berkumpul; Haris del Hakim, AS Sumbawi, Anis CH, Rodli TL, Imamuddin SA, Syaiful Anam Assyaibani. Setidaknya dari situ, pernah membuahkan sesuatu meski tidak bertahan lama;
Majalah “Gerbang Massa,” “Jurnal Sastra Timur Jauh,” terakhir “Jurnal Kebudayaan The Sandour,” semua tebal digerus watak percepatan dunia penulisan di bawah kaki-kaki kami masih belia. Selain mengadakan kegiatan sastra ke pesantren, sekolahan; ajang bedah buku, lomba karya cipta, yang sempat berjalan “Van Der Wijck Award.”
Sebelum hengkang demi mentafakkuri nasib masing-masing diri, kami sempat membuat blog beralamat http://forum-sastra-lamongan.blogspot.com/ dan perpisahan atau jarak tersebut, lebih mengukuhkan badan-badan pribadi menuju takdir yang menempa;
Anis CH hijrah ke Gersik mengajar, AS Sumbawi merantau, meneruskan pendidikan di kota Malang, Haris del Hakim ke kota pahlawan Surabaya. Hanya sesekali bersapa di dunia maya, ataupun bertemu di acara sastra pula menghadiri pementasan teater;
Imamuddin SA, Syaiful Anam Assyaibani atau Javed, disibukkan mengajar, sehingga perjumpaan guyub di atas melempem. Tetapi jiwa kami terus menyala, mematangkan diri meski tak kerap bertatap muka. Demikian keakrapan kami bersama teaterawan kita, lantas kini kufokuskan kepadanya:
Kepiawaian Rodli TL berolah tubuh dan menebarkan kata-kata di panggung, tidak kuragukan sejak awal. Raganya mampu dijelmakan seair menggemai decak ombak, lewati ritme tertentu melalui jari-jemarinya. Kadang seangin lentur, tarian disusupi keindahan musik jiwanya, keseluruhan sampai walau sedikit menggeser kakinya.
Itulah pantulan dirinya mengerami ketabahan bermeditasi di dalam ruangan jiwa, membentengi kesemangatan berkesabaran purna. Sehingga tak lewar, dan hampir gerak-geriknya dihitung, reflek sekalipun terpampang mawah, sedari terbitkan matahari ketekunan. Serupa tiap persendian kata, sedang kalimah membahana, mengarungi sampan kehendak terdalam, dari lakon yang dicanangkan.
Sedikit sekali aku temukan orang sekualitas dirinya. Hanya khusyukkan profesi, ringan berkorban demi pengetahuan masa depan, diberkahi keajaiban. Bayangan ini mengingatkan aku pada sosok teaterawan kota Lampung, Iswadi Pratama; pengalaman melimpahi hidup, menaburi benih berharga teruntuk sesamanya menjadi berkah.
Aku dengar pemerintahan JaTim mulai melirik prestasinya, ialah pantas. Setidaknya Gedung Pertunjukan Teater “Sang Bala” didirikannya, membuktikan keseriusannya berkesenian, yang kerap dibuat ajang pentas para teaterawan, seperti di Hari Teater Sedunia, 27 Maret 2011 lalu.
Berjubel orang datang menyaksikan para teaterawan menampilkan karya-karyanya, lebih menggetarkan warga kampung turut menikmati, meski disambut rintikan gerimis. Kembang perjuangan ini, bebuah gerilyanya memasyarakatkan teater di desa Candi Tunggal, Kalitengah.
Malam sakral tersebut, komunitas-komunitas teater sekitar Lamongan memeriahkan panggung Sang Bala, yang letaknya jauh dari kota. Di pelosok desa dengan jalan aspal rusak parah, tetap antusias mengunjungi dan saling berbagi pengetahuan.
Acaranya: “Teater Anak Sang Bala” dengan lakon “Kaum Klepto,” Sutradara Rodli TL, “Teater Kotak Hitam” mementaskan naskah bertitel “Membunuh Hayalan” Pimpinan kelompok ini Ubaidilah. Teater “Lata” memanggungkan “Segitiga Setan,” Sutradara Welly KS, “Teater 99” memainkan karyanya “Keris 7 Lengkok” Sutradara Sarkadek.
“Teater Pembuat Sejarah” menyuguhkan “Nasihat Abah,” atas Sutradara Godek, “Teater Nafas Kata,” menampilkan “Anak Angin,” sedang “Teater Roda” membawakan “Suatu Waktu Hidup Seorang Aktor.” “Komunitas Teater Almazr” naskah lakon “Lam Yasyhur,” Sutradara Roki, terakhir “Pantomim Psikopat” oleh Arif STKW. Maka semoga perteateran di Lamongan kian dahsyat, atas jiwa-jiwa muda memerdekakan bangsa, amin.
Langganan:
Postingan (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Ginandjar Wiludjeng
A. Junianto
A. Kurnia
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.S Laksana
A’yat Khalili
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Razak
Abdul Rosyid
Abdul Wahab
Abdurrahman Wahid
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adam Chiefni
Ade P. Nasution
Adhitia Armitriant
Adi Prasetyo
Adrizas
AF. Tuasikal
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Baso
Ahmad Faishal
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Naufel
Ahmad Rofiq
Ahmad S. Zahari
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ainul Fiah
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Alex R. Nainggolan
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Almania Rohmah
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aminah
Aminullah HA.Noor
Amir Sutaarga
Anam Rahus
Anata Siregar
Andari Karina Anom
Andina Dwifatma
Andong Buku #3
Andre Mediansyah
Andri Awan
Anett Tapai
Anggie Melianna
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Wahyudi
Anwar Nuris
Ardi Bramantyo
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Joko Wicaksono
Arief Junianto
Ariera
Arif Bagus Prasetyo
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Asmaul Fauziyah
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Wulan Sari
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Camelia Mafaza
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Daisuke Miyoshi
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Danusantoso
Dareen Tatour
Darju Prasetya
David Kuncara
Denny Mizhar
Denza Perdana
Desi Sommalia Gustina
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewi Indah Sari
Dewi Susme
Dian Sukarno
Didik Harianto
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur
Dipo Handoko
Diyah Errita Damayanti
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddy Wisnu Pribadi
Dody Kristianto
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi SS MHum
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Wiyana
Dyah Ratna Meta Novia
Dyah Sulistyorini
Ecep Heryadi
Eddy Pranata PNP
Edeng Syamsul Ma’arif
Eep Saefulloh Fatah
EH Kartanegara
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Hendri Saiful
Eko Windarto
Elnisya Mahendra
Elva Lestary
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Sulwesi
Endo Suanda
Eppril Wulaningtyas R
Esai
Evan Ys
F. Moses
F. Rahardi
Fadlillah Malin Sutan
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Febby Fortinella Rusmoyo
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Gabriel Garcia Marquez
Galang Ari P.
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Ganug Nugroho Adi
Gerson Poyk
Ghassan Kanafani
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunoto Saparie
H.B. Jassin
Habibullah
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Hardi
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
HE. Benyamine
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Herman RN
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Nugroho
Hikmat Gumelar
HL Renjis Magalah
Hudan Nur
Hujuala Rika Ayu
Huminca Sinaga
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ira Puspitaningsih
Irfan Budiman
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Zulkarnain
Ismail Marzuki
Iva Titin Shovia
Iwan Kurniawan
Jabbar Abdullah
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D. Rahman
Jamal T. Suryanata
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
JILFest 2008
Jody Setiawan
Johan Edy Raharjo
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Juan Kromen
Julika Hasanah
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Ka’bati
Karanggeneng
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Keith Foulcher
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khoirul Inayah
Khoirul Rosyadi
Khudori Husnan
Ki Ompong Sudarsono
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
L.N. Idayanie
Laili Rahmawati
Lamongan
Lan Fang
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lucia Idayanie
Lukman A Sya
Lutfiah
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Ismail
M Thobroni
M. Afifuddin
M. Arwan Hamidi
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Luthfi Aziz
M. Nurdin
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.S. Nugroho
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahmud Syaltut Usfa
Mahmudi Arif Dahlan
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Martin Aleida
Maruli Tobing
Mas Ruscita
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni Muserang
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mia Arista
Mia El Zahra
Mikael Johani
Misbahus Surur
Misran
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
Much. Khoiri
Muh. Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun
Muhammadun AS
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mukti Sutarman Espe
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Munawir Aziz
Musfarayani
Musfi Efrizal
Nafisatul Husniah
Nandang Darana
Naskah Teater
Nelson Alwi
Ni Made Purnamasari
Nikmatus Sholikhah
Nina Herlina Lubis
Nina Susilo
Ning Elia
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel-novel berbahasa Jawa
Novelet
Nunuy Nurhayati
Nur Azizah
Nur Hamzah
Nur Kholiq
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Aini
Nurul Anam
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Okty Budiati
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso H.N.
Pagan Press
Pagelaran Musim Tandur
Palupi Panca Astuti
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Petrus Nandi
Politik
Politik Sastra
Pradana Boy ZTF
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringadi AS
Prof Dr Fabiola D. Kurnia
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Puji Tyasari
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
Purnawan Kristanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Ng. Ronggowarsito
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmat Kemat Hidayatullah
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rasanrasan Boengaketji
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Resensi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Ririe Rengganis
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rusmanadi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saiful Amin Ghofur
Saiful Anam
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman S. Yoga
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang KSII
Santi Puji Rahayu
Sapardi Djoko Damono
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Jawa Timur
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputra
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sri Weni
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugi Lanus
Sukron Ma’mun
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaf Anton Wr
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syarif Wadja Bae
Sylvianita Widyawati
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie (1961-2019)
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tia Setiadi
Tirto Suwondo
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tosa Poetra
Tri Nurdianingsih
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulul Azmiyati
Umar Fauzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Utari Tri Prestianti
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wan Anwar
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wina Bojonegoro
Wita Lestari
Wong Wing King
Wowok Hesti Prabowo
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopi Setia Umbara
Yudhi Herwibowo
Yudi Latif
Yusri Fajar
Yusuf Ariel Hakim
Yuval Noah Harari
Zacky Khairul Uman
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zed Abidien
Zehan Zareez
Zhaenal Fanani
Zubaidi Khan
Zuniest