Minggu, 27 Februari 2011

Membaca Peristiwa dalam Pesona Sastra

Judul buku : Syair Lampung Karam: Sebuah Dokumen Pribumi tentang Dahsyatnya Letusan Krakatau 1883
Penulis : Suryadi
Editor : Yurnaldi
Penerbit : Komunitas Penggiat Sastra Padang (KPSP)
Cetakan : II, Januari 2010
Tebal : xiii + 206 halaman
Peresensi : S.W. Teofani*
http://www.lampungpost.com/

MEMBACA peristiwa melalui berita adalah hal biasa. Tapi, menyimak kejadian yang tertuang dalam syair menjadi kenikmatan tak terkira. Apalagi peristiwa yang disajikan sebuah kejadian kemanusiaan mahadahsyat yang menggegerkan jagat. Dikemas dalam bait-bait kuartet dengan irama yang teratur dan penghayatan dalam, Syair Lampung Karam mampu membuat sisi kemanusiaan kita terkesima.

Sebagai orang yang menyaksikan langsung kejadian meletusnya Gunung Krakatau tahun 1883, Muhammad Saleh, penggubah Syair Lampung Karam, mampu menggambarkan kengerian kejadian itu dari awal hingga akhir. Bukan hanya rangkaian peristiwa ke kejadian berikutnya, melainkan hal-hal kecil sampai sesuatu yang penting pada peristiwa itu mampu diungkapkannya dengan lugas tanpa meninggalkan nilai estetika karya sastra.

Diungkapkan dalam 375 bait sajak empat seuntai, dengan rima AA-AA, menyuguhkan kenikmatan tersendiri bagi pembaca. Selain kenikmatan membaca, kita juga akan mendapati kedahsyatan dan penggambaran kengerian sempurna pada pesan yang disampaikan. Simak saja syair pada bait ke 38-40, berikut:

Di dalam hal demikian peri
Berbunyi meriam tiga kali
Kerasnya itu tak terperi
Bertambah gentar seisi negeri
Negeri sangat ketakutan
Keras bunyinya tiada tertahan
Turunlah angin sertanya hujan
Mengadang mata umat sekalian
Banyaklah lari membawa hartanya
Di dalam perahu sampan koleknya
Dipukul gelombang hilang dianya
Harta perahu habis semuanya

Syair ini ditulis tiga bulan setelah meletusnya Gunung Krakatau. Secara detail menggambarkan waktu kejadian, kedahsyatan letusannya, tragedi kemanusiaan yang menyertaian, hingga kenakalan manusia yang mengambil kesempatan pada masa-masa sulit itu. Syair yang digubah 127 tahun lalu itu ditulis dengan aksara Arab-Melayu atau yang biasa disebut aksara Jawi, merupakan satu-satunya bukti tertulis kesaksian penduduk pribumi pada pristiwa meletusnya Gunung Krakatau.

Syair ini bisa menjadi saksi sejarah yang tidak diragukan keautentikannya karena ditulis oleh orang yang menyaksikan peristiwa itu, sekaligus penduduk pribumi yang mengalami musibah besar ini. Membaca syair-syair ini laksana mendengar cerita langsung dari yang mengalaminya sehingga kita tidak berjarak. Selain itu syair ini mengingatkan kearifan lokal dari penduduk pribumi yang selalu mengaitkan kejadian semesta dengan kekuasaan Allah dan harapan keinsyafan manusia. Bukan data-data kering yang mengagungkan akal pikir tapi menjauhkan manusia pada Khaliknya. Sebagai mana tertuang pada syair 128–131:

Orang banyak nyatalah tentu
Bilangan lebih dari seribu
Mati sekalian orangnya itu
Ditimpa lumpur, api, dan abu.
Khabarnya tuan di pulau ini
Lebih dua hela tebalnya sini
Alangkah sakit mahluk kherani
Sedikit hidup banyak yang fani
Kata orang empunya peri
Kayu dan rumah ilang sekali
Pulaunya licin tiadalah ghari
Sudah taqdir Ilahi Roby
Khabar ini sahlah nyata
Bukan hamba membuat dusta
Malik al Rahman empunya perintah
Hamba mendengar lemah anggota

Kita yang hidup di zaman bahasa alay mungkin tak familiar lagi dengan naskah kuno itu. Tapi bukan berarti tidak bisa membaca data klasik tersebut. Dari usaha Suryadi, seorang filolog yang kini menjadi pengajar dan peneliti di Universitas Leiden, kita bisa menyimaknya dalam buku Syair Lampung Karam: Dahsyatnya Letusan Kratau 1883.

Selama dua tahun Suryadi mengadakan penelitian secara intensif pada dokumen klasik yang terpisah di enam negara, yaitu Inggris, Belanda, Jerman, Rusia, Malaysia, dan Indonesia. Selama dua tahun meneliti, Suryadi menemukan syair ini sebagai satu-satunya kesaksian pribumi dari peristiwa meletusnya Gunung Krakatau. Dengan gigih Suryadi menghimpun syair-syair yang terberai tersebut, kemudian mengalihaksarakan dan menyusunnya dalam sebuah buku.

Dengan kerja keras Suryadi kita bisa dengan mudah mendapatkan khazanah langka itu di toko-toko buku. Dalam buku ini, Suryadi bukan hanya mengalih aksarakan Syair Lampung Karam, melainkan memberi gambaran juga tentang kajian naskah yang tertuang pada bagian satu. Sedangkan bagian dua buku ini memuat secara utuh naskah Syair Lampung Karam. Pada bagian ketiga, Suryadi menyertakan gambar naskah asli, foto-foto atau sketsa-sketsa, dan data-data lain yang menceritakan kedahsyatan peristiwa meletusnya Gunung Krakatau.

Buku setebal 206 halaman ini sarat dengan data-data yang bisa menguatkan data lain tentang peristiwa Krakatau di masa lampau. Tiada gading yang tak retak, begitu pun dalam buku yang dieditori Yurnaldi ini. Kita akan mendapati cita sastra yang imbang jika pada bagian lain selain isi Syair Lampung Karam ditulis dengan bahasa dan pendekatan yang lebih nyastra. Dalam buku ini mempersembahkan karya sastra klasik, tapi disajikan dengan serius. Untuk sebuah kajian, mungkin sah-sah saja.

Akhirnya, bagi Anda yang ingin tahu kepiawaian penduduk pribumi menatah syair duka Ibu Pertiwi, sekaligus kegigihan anak negeri menjaga khazanah bangsanya, buku ini sangat layak untuk dibaca.

*) Penyuka sastra dan sejarah, tinggal di Lampung.

Empat Potong Warahan Batu

Muhammad Amin
http://www.lampungpost.com/

MARI kukisahkan kembali beberapa potong cerita tentang batu. Cerita-cerita ini tercecer begitu saja di lepau atau kedai tuak Wa Isah sebelum kusampaikan lagi kepadamu. Cerita yang kupunguti satu per satu dari mulut kawan yang menyeracau sambil tersedak. Kebiasaan yang tak pernah kita lupakan: mangkal di kedai tuak sembari menunggu Abdul Manan, si tukang cerita itu menyampaikan warahan yang memikat.

O, si tukang cerita tak akan membuka warahan-nya bila tak disuguhi tuak. Mula-mula ia berlagak mengantuk atau mengempaskan batu gaple ke meja. Itulah pertanda ia ingin dibelikan tuak, kemudian mulai bercerita. Ya, cerita yang seban pagi kita tunggu-tunggu mengalir dari mulutnya yang lincah berkisah.

Di tanah kami, katanya, banyak batu yang memiliki kisahnya sendiri. Batu, meskipun tak lebih dari benda mati, tetapi tetap saja menyimpan nasibnya sendiri. Terkadang ia dipaksa menjadi terasa hidup dan menjadi bagian dari kehidupan kita. Sehingga batu tidak benar-benar mati dalam diamnya. Bahkan ia akan tetap hidup bila ada yang menceritakannya. Ia memiliki persepsi, tergantung dari empu atau orang yang kebetulan mengisahkannya. Memiliki versi, sebagaimana cerita-cerita yang disampaikan secara lisan.

Batu, sebagai benda mati, tak pernah menolak menjadi bahan cerita. Dalam diamnya, batu telah menerima nasibnya dengan lapang dada sebagai batu—baik yang memiliki muasal atau cuma benda mati—sama saja.

Dan batu yang ingin kukisahkan di sini sebagian pernah kudengar dari warahan tamong-kajong sembari memijit atau mencari uban ketika masih kanak-kanak dulu.

Batu Kerbau

Puari, aku mendengar, dahulu ketika seorang berjuluk Pahit Lidah mengembara dari negeri ke negeri, dari tanah ke tanah baru, binatang-binatang tak lagi pandai bicara tapi mengerti bahasa manusia. Sebutlah seekor kerbau yang berkhianat pergi dari kandangnya, lepas dari pengawasan sang pengembala.

Kerbau yang mendadak liar itu berlari-lari menyeruduk rumah, dan merusak kebun-kebun. Orang-orang menyerapahinya. Mereka mengejar, tapi sang kerbau kelewat ganas untuk dikendalikan. Akibatnya ada satu dua orang terluka, yang lain keberaniannya menciut. Mereka tak dapat menaklukkan sang kerbau. Kemudian pergi ke rumah si pemilik kerbau, meminta pertanggungjawaban.

“Apakah yang harus aku lakukan, sementara aku sudah kehilangan kerbau kesayanganku?” ucap si pemilik kerbau mengiba.

“Kami tak mau tahu apa-apa mengenai urusanmu. Kami hanya mau kerusakan dan kerugian yang kami alami harus diganti dengan setimpal.”

“Aku tak memiliki apa-apa selain kerbau-kerbau itu. Dan jika kalian mengambilnya, aku akan kehilangan hartaku paling berharga. Padahal aku tak memiliki keahlian apa pun selain mengembala. Apa kalian tega mengambil sumber penghasilanku?”

“Kami tak mau peduli. Itu urusanmu. Kami hanya mau kerugian yang kami alami harus terbayar.” Kemudian orang-orang itu menyeret kerbau milik si pengembala.

“Kalian telah berbuat aniaya. Padahal aku dan anak istriku hidup dari kerbau-kerbau itu. Kalian sudah mengambil sumber penghidupan kami, berarti kalian sudah membunuh kami,” ucap sang pengembala sembari terus mengiba.

Namun, orang-orang itu tak menggubrisnya. Mereka pergi membawa tiga ekor kerbau dan dua ekor yang masih kecil. Si pengembala itu menangis.

“Ah, kerbau kesayanganku. Mengapa kau membuatku susah begini? Padahal aku sudah mengurusmu semenjak kecil, merawat, memandikan, dan memberi makan. Tapi apa yang telah kaulakukan terhadap orang yang telah berjasa kepadamu?”

Si pengembala hanya bisa mengelus dada. Kemudian dengan hati-hati ia menceritakan kejadian itu kepada anak istrinya. Mereka pun menangis tersedu-sedu.

Kerbau itu sudah cukup umur dan dewasa. Tanduknya panjang. Matanya nyalang besar-sebagaimana mata seekor kerbau. Tubuhnya besar kekar. Ia berlari sampai ke tempat yang jauh, mencari betinanya yang beberapa hari lalu dijual oleh si majikan di kampung seberang.

Kerbau itu sudah nekat. Ia mau berenang menyeberang Teluk Semaka yang luas. Di penglihatannya, Teluk Semaka tidaklah luas, seperti sungai kecil. Mula-mula ia merasa ragu. Tetapi tekatnya sudah bulat, ia ingin mencapai seberang secepat mungkin.

Alangkah heran Si Pahit Lidah yang kebetulan sedang beristirahat di bawah pohon yang rindang. Dilihatnya matahari yang terik menyemburkan panasnya yang membakar terpancang di atas kepala.

“Betapa buruk perilaku kerbau itu. Ia mandi padahal sedang tengah hari. Di manakah pengembalanya?” kemudian Si Pahit Lidah berdiri dan memanggil si kerbau.

“Hei kerbau! Sebaiknya kau menepi. Apa yang kau lakukan di situ?”

Si kerbau tak menyahut.

“Hei kerbau! Mengapa kau mandi di saat matahari sedang terik? Di mana penggembalamu?”

Si kerbau seolah tak peduli.

“Hei kerbau! Apa kau tak mendengarku? Sebaiknya kau menepi sekarang dan kembali pada penggembalamu!”

Si kerbau tetap tak menyahut seolah bergeming dari tempatnya.

Pahit Lidah merasa dilecehkan dan marah besar terhadap kerbau bodoh itu. Padahal ia berada jauh di atas bukit dan kerbau berada di bawah sana. Tanpa sengaja, atau dipacu oleh kemarahannya, ia bergumam pada diri sendiri: “Alangkah bodoh dan buruk perilaku kerbau itu. Dan ia tuli dan bisu seperti batu!”

Batu Balai, Sebuah Pengakuan

Dahulu, kakiku berpijak di tanah, dapat berlari ke sana ke mari. Masa kanak-kanak yang menyenangkan bersama ibu. Tak habis-habis kasih sayangnya kepadaku.

Kini, sepanjang waktu tubuhku diempas ombak. Kadang diganyang segerombolan badai. Alam menghukumku sedemikian rupa. Pedih yang tak mungkin dirasakan oleh manusia. Pedih yang tak terkira. Tak ada yang mengenaliku. Tak ada yang tahu bahwa aku demikian tersiksa.

Di tengah laut tempatku terpaku. Setelah kapalku dikaramkan ombak bersama kejayaanku yang runtuh. Porak-poranda. Mengeras jadi beku dan diam sepanjang waktu. Meski aku masih bisa merasakan denyut kehidupan, ini seperti mati. Tetapi bukan mati, hanya sesuatu yang amat menyiksa.

Sesungguhnya aku ingin menangis. Tapi, air mataku telah beku jadi batu. Aku ingin meratap. Tapi, isakku telah pula lenyap. Darahku pun tak lagi mengalir karena sudah lama menjadi beku. Namun, jantungku masih saja berdetak. Aku masih hidup. Sebagai batu. Yang terkutuk. Yang dikutuk ibuku sendiri.

Batu Tangkup

Tuah, pernahkah kalian mendengar cerita batu tangkup, batu yang dapat menelan manusia hidup-hidup? Membayangkannya saja kalian akan merinding dibuatnya.

Baiklah. Aku akan mulai bercerita. Dahulu ada sebongkah batu besar teronggok di tepi sebuah kampung. Batu itu tidaklah istimewa, sama seperti sebagaimana batu biasanya. Namun kemudian batu itu berubah menjadi seolah-olah hidup lantaran perilaku orang-orang di kampung itu yang kelewat batas. Mereka suka minum arak, berjudi dan menyabung manusia. Anak-anak kecil sudah pandai melawan orang tua. Mereka tak pernah mengira bahwa batu di tepi kampung itu yang kemudian menghukum mereka satu per satu. Mereka menghilang ditelan sebongkah batu.

Seorang laki-laki yang sangat menyayangi anak perempuannya merasa waswas ketika anaknya tak pulang hingga larut malam. Ia meminta tolong kepada tetangga untuk mencari anaknya. Mereka berkeliling kampung membawa lampu petromak. Masuk ke hutan karet dan damar, mencari sampai ke tepi ngarai, namun anaknya tetap tak ditemukan. Ketika mereka berada di tepi kampung, di mana batu itu teronggok, terdengar suara isak tangis gadis kecil yang ketakutan sembari memanggil bapaknya.

“Aku mendengar suara anakku, ia ada di sekitar sini!”

Setelah beberapa lama mencari, mereka tetap tak menemukannya. Hanya suaranya saja. Tak tampak sosoknya. Kemudian malah ada seseorang di antara mereka tiba-tiba ikut menghilang seolah tertelan malam.

Penduduk di kampung itu semakin sedikit. Setiap hari selalu ada yang menghilang. Setiap kali mereka mencari orang hilang, selalu ada pula yang tak kembali. Hingga penduduk itu benar-benar berkurang, hanya menyisakan beberapa orang. Akhirnya mereka yang masih tersisa memutuskan untuk pindah ke kampung lain yang lebih aman. Kebun-kebun dan rumah ditelantarkan begitu saja.

Setiap kali ada orang yang lewat di sekitar batu Tangkup, selalu mendengar suara-suara. Terkadang suara orang menangis ketakutan. Terkadang suara orang memaki-maki. Ada pula suara orang menjerit-jerit kesakitan. Tetapi lebih banyak suara orang menangis dan tak pernah tampak sosoknya. Hanya suara-suara saja.

(Anak-anak lebih cepat tertidur setelah mendengar cerita batu tangkup)

Batu Penyabung

“Puari, pernahkah kalian mendengar cerita batu penyabung?”

“Ceritakan apa yang kauketahui,” sahut yang lain.

Baiklah. Menurut cerita yang kudengar, dahulu di keramat Pekon Balak terdapat sebuah batu besar berbentuk perahu dijadikan arena sabung ayam. Setiap hari selalu ada yang menyabung ayam, berjudi. Sepanjang hari selalu ramai oleh orang-orang yang bertaruh.

Selesai menyabung, yang menang berteriak-teriak gaduh dan yang kalah menyumpahi ayamnya. Kadang ada yang sengaja mengumpat dengan kata-kata kotor. Bersiul dan segala macam yang seharusnya tak layak dilakukan di tempat keramat. Karena terlalu sering orang menyabung ayam, marahlah penunggu keramat Pekon Balak. Mereka disumpah menjadi batu.

Bentuk batu itu bermacam-macam. Jika dilihat dari dekat bentuknya seperti ayam beruga sedang bersabung. Ada pula bentuk orang yang sedang menggendong ayam jagoannya. Bentuk ayam terbang. Juga bentuk orang yang dikeroyok ayam.

Dari sanalah dinamai batu penyabung. Banyak orang yang datang ke sana untuk maksud tertentu. Orang yang senang berjudi memohon agar menang judi terus-menerus. Orang yang berniaga meminta agar dagangannya selalu laris. Orang yang mencalonkan diri jadi bupati atau kepala daerah meminta agar menang dalam pemilihan. Pemuda-pemudi yang sudah lapuk meminta agar cepat mendapat jodoh. Suami-istri yang tak punya anak meminta agar diberi keturunan.

Mereka tak lupa meletakkan sesaji di atas batu penyabung. Berupa bunga atau koin atau sesaji lain. Kadang anak-anak sekolah ke sana mengambil sesaji itu.

Tapi, benarlah terjadi terhadap orang yang memohonkan sesuatu di batu penyabung. Setiap orang yang pernah ke sana sudahlah tertunai keinginannya.

Batu penyabung ini ada di Ajan, Pekon Ngarip. Taklah terlalu jauh dari kampung kita. Hanya perlu naik bus ke Sukaraja atau sekalian membawa sepeda motor. Juga perlu sedikit ongkos, uang makan, dan terutama sesaji. Bila kalian mau ke sana, bisa sekalian mengajakku. Aku ini bujang lapuk yang tak laku-laku. Miskin pula. Tentu kalian tahu maksudku?

Abdul Manan terkekeh, sembari menenggak tuak, menutup warahannya kali ini. Jika kami bersedia menambah tuaknya, tentu kisahnya akan tersambung lagi.

Kotaagung, 2010

Catatan:
Warahan : Tradisi penuturan lisan masyarakat Lampung, diantaranya berupa dongeng, hikayat, epos dan mitos.
Tamong-kajong : kakek nenek.
Puakhi : panggilan terhadap kawan sebaya atau saudara.
Tuah : panggilan nenek/kakek terhadap cucu.
Batu Penyabung : sumber cerita dari cerpen bahasa Lampung berjudul Cerita-cerita jak Bandar negeri Semuong karya Asarpin Aslami yang mendapat hadiah Rancage.

Sabtu, 26 Februari 2011

WATU PRAHU

Jayaning S.A
http://sastra-indonesia.com/

Kata ibuku, batu itu sudah ada di sana sejak pertama kali ibuku datang ke daerah ini. Ya, sebuah batu hitam memanjang berbentuk seperti perahu tertangkup yang ada di kaki bukit, tak sampai berjarak puluhan meter dari pintu rumahku.

Batu itu bisa kulongok tiap saat dari jendela depan rumah, asalkan bukan malam hari. Tampak jelas di antara pohon-pohon kurus yang tumbuh jarang di sekitarnya.

Saat kecil dulu, aku pernah beberapa kali bermain di sekitarnya, bersama teman-teman sepermainanku. Kami duduk sambil sesekali menggosok-gosok permukaannya yang tampak berkilat saking halusnya. Kau tahu, halusnya seperti hasil tatahan tangan-tangan ahli yang mengerti benar seperti isi hati si batu, hingga pahatannyapun jadi sedemikian sempurna.

Hingga suatu kali, kami yang penasaran berunding untuk menentukan siapa yang dapat giliran. Temanku yang kena giliran bertanya begini pada ibunya, “Lihat Bu, kenapa ada batu sebagus itu di bukit sana?” sambil telunjuknya mengarah pada batu itu.

“Husy, jangan tunjuk-tunjuk. Nanti jin penunggu bukitnya marah, bisa kuwalat,” kata si ibu sambil menampik tangan putra kecilnya.

Temanku langsung diam. Kami yang sedang duduk di pelataran rumahnya, di dekat anak-beranak itu, sempat mendengar. Sejak itu, walaupun sering bermain di bukit, kami tak pernah mendekati batu itu. Kami hanya memandangnya, lalu cepat-cepat menjauh.

Sampai terakhir kali kami bermain bersama di bukit, kami saling menyalahkan kenapa dulu tertarik mempertanyakan batu itu. Seandainya tak pernah bertanya, kami tak perlu kehilangan salah satu tempat singgah sehabis bermain.

Dan sekarang, ketika adik bungsuku dan teman-temannya asyik bermain di sekitar batu hitam itu, aku hanya bisa melihat dari balik jendela. Sebenarnya aku ingin mengingatkan, karena aku takut terjadi apa-apa. Tapi bagaimana ya, aku sendiri juga tak terlalu percaya.

Akhirnya, aku diam saja.
Entah kenapa aku selalu lupa bertanya pada ayahku yang mungkin lebih tahu. Dan sayangnya, aku terlalu takut untuk mencari tahu sendiri.
***

Seorang lelaki muda memacu kudanya kencang-kencang ke barat, melintasi kerimbunan hutan yang makin menipis. Keringatnya mengembun, wajahnya pias. Ia tak menatap manapun kecuali ke depan. Nanar. Sang kuda tungganganpun sepertinya paham kegelisahan tuannya. Ia melesat, semata-mata menuruti kehendak tuannya.

“Demi keselamatan Raden Pancanaka, kita harus cepat, Jabrik.” Pria muda itu mengelus kudanya, sambil tetap memacunya kencang-kencang.

Maka sang kuda tunggangan makin cepat melesat.
Lelaki muda itu tersenyum. Sekilat binar tampak di matanya. Tatapannya bertumpu pada setitik bayangan gapura nun jauh di sana. Beberapa orang menyunggi pikulan lewat di pinggir jalan setapak yang dilewatinya.

Ditepuknya leher kudanya, “Perdikan sudah dekat. Kau bisa istirahat sepuasnya di istal nanti.”

Si kuda meringkik, mengibaskan ekornya. Laju larinya sedikit melambat. Makin banyak orang berseliweran melintas.

Dua lelaki memalangkan tombak di tengah gapura. Tubuh mereka berisi, wajah mereka garang. Si lelaki muda turun dari kudanya, kemudian terlibat pembicaraan singkat dengan dua pemilik wajah garang.

Dua orang itu minggir, memberi jalan. Segera saja, si lelaki muda melesat dengan tunggangannya.

Ia memacu tunggangannya ke kediaman sang junjungan, Raden Pancanaka. Ia menepuk leher tunggangannya. Kudanya meringkik keras, sambil mengangkat kaki-kaki depannya ke atas. Sekejap, kemudian melesat masuk ke halaman pendopo terbesar di tengah perdikan.

Seorang penjaga berusia paruh baya menyambut kedatangannya. Dan si lelaki meyerahkan kudanya.

“Apa Raden Pancanaka ada di kediamannya?”
“Inggih, Gusti. Gusti Raden Pancanaka baru saja pulang dari meninjau keadaan perdikan,” sahut si penjaga sambil menghaturkan sembah.

“Saya akan sampaikan kedatangan Raden pada Gusti Raden Pancanaka.” Sekali lagi lelaki itu menghaturkan sembah.

“Tidak perlu, Ki,” lelaki muda itu tersenyum. “Raden Pancanaka sudah tahu kedatanganku.”

Penjaga itu berbalik, menghaturkan sembah ketika pandangannya jatuh pada lelaki bersahaja yang berdiri di tangga paling atas pendopo. Lelaki muda itu merunduk, berjalan mendekat pada sang lelaki priyayi.

“Sembah hamba Gusti, hamba datang untuk menyampaikan kabar dari ibukota.”

Sang lelaki priyayi yang tak lain adalah Raden Pancanaka diam. Dia berjalan tenang ke singgasananya. Si lelaki muda beringsut mengikutinya.

Tak ada orang lain di pendopo itu.
“Kabar apa yang kau bawa, Panca?”
“Sembah hamba Gusti, hamba ingin menyampaikan kabar tentang tanah perdikan kita.”

Lelaki muda itu, sekali lagi, menghaturkan sembah.
Sinar mentari makin meredup. Namun, belum ada seorangpun yang datang ke pendopo untuk menyalakan dian. Bayang-bayang dua orang itu jatuh ke timur, menambah kesan suwung pendopo itu.

“Katakan Panca, kabar apa yang kau bawa dari ibukota,” suara berat Raden Pancanaka menggetarkan sunyi di pendopo itu.

“Ampun Raden, kakanda Gusti sudah mengetahui bahwa Gusti sekeluarga bersembunyi di perdikan ini. Kakanda Gusti berencana mengerahkan pasukan kemari dalam waktu dekat ini.”

Lelaki yang disebut Panca itu menghaturkan sembah.
Raden Pancanaka turun dari singgasananya, berjalan bolak-balik di pendopo perdikan yang makin temaram.

“Mereka pasti takkan segan menghabisi nyawa seluruh penduduk untuk menemukanku, Panca.”

“Inggih Gusti.”
“Rakyat perdikan ini sudah terlalu berjasa padaku. Aku tak bisa membiarkan mereka berkorban lebih banyak lagi.”

Pandangan Raden Pancanaka menerawang.
“Menurutmu, apa yang harus kulakukan Panca?”

“Ampun Gusti, mungkin lebih bijaksana jika gusti memerintahkan seluruh rakyat untuk pindah ke kadipaten lain secara terpencar. Agar orang-orang tak curiga bahwa mereka datang dari perdikan ini.”

“Kau benar Panca. Tapi apakah kau yakin mereka akan mau menuruti titahku ini?”

“Ampun Gusti, menurut pemikiran hamba, seorang abdi yang setia akan taat dengan titah junjungannya.”

“Kau benar Panca, tapi tidakkah seorang abdi yang setia itu yang mengikuti kemanapun junjungannya pergi?”

“Sembah hamba Gusti, hamba yakin Gusti lebih mengerti.”
“Kumpulkan para abdiku, Panca. Kumpulkan juga seluruh rakyat perdikan ini. Kita akan berikan pilihan ini, dan biarlah mereka memilih sendiri.”

“Sendiko dawuh Gusti.”
Panca beringsut meninggalkan pendopo. Meninggalkan Raden Pancanaka yang termenung sendirian.
***

Rek-erek kambil endhek,
Wong Nggalek tudung cowek,
Coweke mambu telek,
……………

Dadaku terasa penuh. Sungguh. Mungkin sebentar lagi meledak, jadi debu. Sial!
Aku baru tahu jika ada lagu daerah yang bunyinya begitu. Kemarin ayahku yang memberitahu tentang lagu itu, ketika beliau sedang bercerita tentang masa kecilnya. Sungguh, aku tidak bisa terima. Apalagi Mbah Buyut yang mengajarkan itu.

Siapa yang membuat lagu seperti itu. Merendahkan sekali.
Ibuku pernah berspekulasi tentang sebab musabab kenapa sebegitu konservatifnya masyarakat daerahku terhadap perubahan adalah perasaan takut dan tertekan yang dialami turun temurun karena peristiwa kudeta di jaman Kerajaan Mataram dulu. Orang terkudeta yang lari ke daerahku itu selalu dibayangi ketakutan bahwa prajurit si pengkudeta senantiasa berjaga di balik lingkar pegunungan, menanti kami keluar dan siap menghabisi. Hingga akhirnya si terkudeta dan para pengikutnya memilih untuk tidak pernah keluar dari lingkar pegunungan ini dan melarang anak-anaknya untuk merantau terlalu jauh.

Ketakutan itu ditanam dan tertanamkan turun temurun generasi demi generasi, menjadi ketakutan yang terwariskan.

Ada bukti sejarah yang mengatakan bahwa si terkudeta itu memang lari ke daerah kami, kemudian mengirimkan teliksandinya untuk selalu mengawasi gerak-gerik kami. Tapi tak pernah ada spekulasi tafsir sejarah yang membahas sampai sedetail itu.

Seandainya aku grusa-grusu menelan mentah-mentah spekulasi Ibuku, mungkin aku akan membenci leluhurku, orang-orang yang telah membawa kami –keturunannya- terlahir di tanah ini. Menyalahkan mereka dan mengecam keputusan mereka yang membuat kehidupan kami seperti ini.

Dan lagu erek erek kambil endhek itu, harus dihapus sebersih-bersihnya dari ingatan sejarah. Tak boleh lagi ada yang tahu, apalagi mengajarkan itu.
***

Lelaki muda itu tercenung. Sorot matanya layu, sendu, sesendu hutan yang tak bersedia tertembus sinar surya.

“Jika engkau sudah sampai di lingkaran gunung yang dibelah rawa di salah satu sisinya, masuklah dengan mendaki salah satu gunung. Di baliknya, itulah tempat yang kalian tuju.”

Kata-kata itu terus saja terngiang.
Ya, akhirnya Raden Pancanaka memilih untuk tinggal dan menyambut kedatangan prajurit utusan Raden Balungan. Sedang lelaki muda itu, ia diutus untuk mengungsikan penduduk perdikan ke tanah di timur sana, tempat yang dikatakan Raden Pancanaka lebih menjanjikan keamanan.

Sang junjungan memang berjanji untuk segera menyusul rombongan penduduk. Namun lelaki muda itu gelisah, semua orang yang dekat dengan Raden Balungan pasti mengerti bahwa bukan wataknya untuk mengampuni orang yang dianggap mengancam kuasanya.

Ia tak yakin Raden Pancanaka akan menyusul.
Ia sudah tahu mengapa Raden Pancanaka memilih untuk tinggal. Ya, junjungannya itu pasti berfikiran bahwa tetap tinggal akan membuat pengungsian penduduk perdikan lepas dari incaran prajurit saudara tirinya itu.

Pandangannya tak lepas dari bocah kecil yang berjalan di depannya. Raut mudanya sama sekali tak menampakkan kekalutan akan perpisahan dengan ayah bundanya.

Ah, Raden Trijata, betapa bersahajanya engkau, desis sang pria muda. Seandainya Raden Balungan tahu bahwa putra tunggal Raden Pancanaka ini ada bersama kami, pengorbanan ayahanda dan ibundamu mungkin tak berarti apa-apa. Dia takkan lepaskan.

“Paman Panca, lihat batu itu?”
Pandangan pria muda itu beralih, pada sesuatu yang ditunjuk jari-jari mungil Trijata.

“Mengapa di sekeliling batu itu berkabut, Paman?” Trijata menarik-narik tangannya.

Kening lelaki muda itu berkerut. Pegunungan memang dingin. Tapi hari masih sore, dan pastinya tak terlalu dingin hingga membentuk kabut putih tebal. Diikutinya Trijata yang berjalan ke sana.

Semakin dekat, lapisan kabut itu semakin tipis. Pepohonan di baliknya tampak jarang. Padahal hutan ini, yang di lereng gunung ini, seharusnya pepohonannya lebat.

Sesosok tubuh samar-samar mendekat dari kejauhan. Lalu berhenti. Trijata dan sang pria muda, melangkah lebih jauh dalam kabut.

Bayangan itu mengitari batu, melewati mereka. Sikapnya seolah-olah tak sadar pada kehadiran dua orang itu.

“Paman, kenapa dia tak menoleh pada kita?” Trijata menarik tangan si lelaki muda.
“Hamba tidak tahu Raden.”

Tanpa menunggu si lelaki muda, Trijata mendekat. Lebih dekat, sampai seonggok batu hitam berbentuk perahu menghalangi langkahnya. Diulurkannya tangannya melewati atas batu itu, berupaya meraih bayangan yang kemudian tampak sebagai sosok perempuan. Tapi sosok itu malah diam, tak bergerak. Si lelaki muda yang ikut merasakan keanehan turut mengulurkan tangan.

Sosok itu masih terpaku. Matanya menyipit, hingga satu sentakan membuatnya terjengkang ke belakang.
***

Untuk kesekian kalinya aku memandangi batu hitam itu dari kejauhan. Batu hitam yang sama dengan batu hitam yang kulihat lima tahun lalu, juga masih di tempat yang sama. Tak berpindah. Hanya saja, sekelilingnya tak lagi ditumbuhi pohon jati yang sering menyumbang bentol-bentol di kulitku saat musim ulat. Tergantikan dengan tanah meranggas yang jadi jalan bagi si mobil pribadi menuju garasi.

Untungnya, garasi untuk mobil pribadi itu dibangun agak ke selatan. Sehingga hobiku memandanginya itu tak terhalang.

Ah, sudah bertahun-tahun rupanya sejak pikiran tentang batu itu pertama kali muncul. Bertahun-tahun pula kubiarkan terbenam di satu sudut tersembunyi di dalam rongga otakku, karena tak pernah kucari jawabannya. Tentang alasannya, aku sendiri juga tak tahu. Padahal jaraknya hanya beberapa meter dari rumahku.

Tapi, he..he..he.. Sepertinya aku salah satu korban cerita ibu temanku waktu dulu.
Fiuh, batu ya batu. Tak lebih dari itu.

Sekarang aku sudah dewasa. Sudah lebih banyak belajar tentang masyarakatku. Dan yang harus kuyakini : batu ya batu. Tak lebih dari itu. Meskipun dinamai Watu Prahu, batu berlian, batu akik, terserahlah. Kecuali sebuah kenyataan bahwa batu juga ciptaan Tuhan yang menjadi bagian dari alam. Jin penunggu atau apapun sejenis itu, juga makhluk Tuhan. Punya alamnya masing-masing. Percayalah, mereka tidak akan mengganggu selama kita tak mengganggu.

“Dongeng biar saja jadi dongeng. Tak usah dipikirkan. Orang modern kok percaya begituan.”

Yap, benar sekali. Kukenakan alas kaki, kemudian melangkah mantap –sebenarnya ragu, tapi sedikit saja- ke arah batu itu.

Batu itu tinggal berjarak satu meter dariku.
“Lihat, sama dengan batu-batu lainnya. Aku malah tak tahu dilihat darimana batu ini sehingga disebut-sebut berbentuk perahu,” desisku agak keras.

Kukelilingi batu itu, kuamati pelan-pelan tanpa menyentuh. Tak berubah. Hanya kelihatan lebih kecil. Mungkin terkikis air, hujan, panas, atau segala macam proses alam yang terjadi secara terus menerus. Aku jongkok, kuraba permukaanmu. Halus seperti dulu. Aku berdiri lagi.

“Lihat baik-baik sekali lagi, Lia. Tak ada apa-apa. Orang-orang dewasa saat kau kecil dulu hanya menciptakan mitos supaya anak-anaknya tak keluyuran keluar masuk hutan tanpa ditemani orang dewasa. Oke, finish. Sekarang, out.”

Mentari menjelma oranye di barat sana. Aku hampir berbalik ketika kusadari sesuatu yang agak aneh. Ada kabut tipis.

Pohon-pohon di belakang batu itu menjadi lebih besar, lebih teduh, lebih rapat. Tampak dua bayangan samar manusia di antara kabut.

Kukucek-kucek mataku. Bayangan dua orang itu makin jelas. Berjalan ke arahku. Kukucek mataku sekali lagi. Tak berubah, mereka masih disana.

Seorang pria muda dan anak kecil seumuran adik bungsuku. Si anak tersenyum, lalu mengulurkan tangan mungilnya. Kulihat pria muda yang berdiri di belakang anak itu. Keningnya berkerut. Sedikit keterkejutan terpancar di wajahnya.

Di tengah kebingunganku, samar-samar kudengar anak kecil itu bicara. Aku tak paham yang dikatakannya. Entah karena degub jantungku yang tak karuan, atau ketakutanku yang memuncak. Hanya satu kata yang sempat singgah di telingaku.

”…..Trijata…”
Tangan anak lelaki itu masih terulur, seakan menungguku menyambutnya. Dan aku, tubuhku kaku. Lidahku kelu.

Pria muda itu diam. Lalu menyentuh pundak si anak. Kelihatannya ia juga bicara, namun tak tertangkap telingaku.

Aku betul-betul panik ketika sayup-sayup terdengar seseorang melantunkan lagu yang dulu kerapkali didendangkan oleh kakekku. Bersahutan.

Kutho Trenggalek, Kutho Trenggalek
Kinubengan gunung-gunung,
Tepung gelang bumine
………………………………………….

Mentari makin oranye, namun kabut semakin tipis.
***

Malang, 4 Mei 2008

Sebuah Pojokan Tak Terlalu Penting

Judul: Peta Dunia Tak Kasat Mata
Judul asli: Map of the Invisible World
Pengarang: Tash Aw
Penerjemah: Nadia Andwiani
Penerbit: PT Elex Media Kompatido,
Cetakan: I, Desember, 2010
Tebal: vii + 554 halaman
Peresensi: Asarpin
http://lampungpost.com/

Gerakan Pencerdasan Bangsa

Judul Buku : Membumikan Gerakan Ilmu Dalam Muhammadiyah
Editor : Jabrohim Dkk
Pengantar : A Syafi’i Ma’arif
Penerbit : Pustaka Pelajar Yogyakarta
Cetakan : 1, 2010
Tebal : 231 halaman
Peresensi : Iksan Basoeky *)
http://sastra-indonesia.com/

Sebagai gerakan Islam yang modernis-reformis, Muhammadiyah telah mengukir kisah sukses melakukan perubahan ke arah kemajuan dalam kehidupan masyarakat dari kondisi tradisional ke modern selaras dengan tuntutan zaman.

Dengan semangat kembali pada sumber ajaran Islam (al-Quran dan al-Sunnah), Muhammadiyah mampu memperbarui alam berfikir dan model amaliah umat Islam dalam sejumlah bidang kehidupan, lebih-lebih dalam pengembangan keilmuan.

Paradigma tajdid berwawasan modernis-reformis selalu menuntut Muhammadiyah untuk lebih memperkaya khazanah keilmuan dan mempertajam orientasi tajdidnya yang bersifat pemurnian dan pengembangan supaya mampu menjadi gerakan alternatif di tengah lalulintas global dengan langkah pencerdasan.

Dalalam hal ini gerakan ilmu hadir menjadi sebuah gagasan penting yang patut diperjuangkan. Gagasan ini oleh segenap totoh pembesar Muhammadiyah pada penyelenggaran Muktamar ke-46 di Yogyakarata beberapa bulan yang lalu diperbincangkan dan diperjuangkan sabagai modal utama dalam pencerdasan bangsa.

setidaknya hal itu bercermen pada sosok KH Ahmad Dahlan sebagai pejuang sekaligus pendiri organisasi. KH Ahmad Dahlan pertama kali mendirikan Muhammadiyah di Kauman, Yogyakarta, selain melakukan pencerahan, ia juga melakukan gerakan keilmuan dengan mengajar mengaji dan mendirikan sekolah untuk umat Islam secara keluruahan.

Gerak tempuh kemajuan pendidikan berlabel Muhammadiyah secara perlahan terus berkembang dengan pesat. Alhasil ribuan sekolah di negeri ini berdiri kokoh dengan pesat mulai dari SD, SMP,SMA, sampai pada ratusan perguruan tinggi berdiri megah dilengkapi dengan fasilitas yang serba memadai.

Melalui buku yang berisisi kumpulan tulisan ini, Muhammadiyah mencoba menatap masa depan bangsa ini lebih maju dengan menoleh ke belakang melihat pada hasil perjuangan yang diperoleh, di barengi dengan gerakan ilmu yang terus dikembangkan bahwa salah siasat penting dalam memajukan bangsa pada abad ke-21 ini adalah dengan membumikan gerakan ilmu.

Ahmad Syafi’I Ma’arif dalam kata pengantar buku ini menegaskan bahwa gerakan ilmu sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi untuk merebut masa depan bangsa yang gemilang. Sebab menurutnya, kesadaran bangsa ini terhadap pentingnya gerakan ilmu masih tergolong lemah.

Lebih lanjut Ahmad Syafi’I menjelaskan bahwa tingkat konsumsi membaca buku di Indonesia masih rendah. Demikian pula dalam kemampuan menulis masih tergolong kurang baik. Ditambah lagi dengan kompleksitas angka putus sekolah membuat bangsa ini tertinggal dari kemajuan peradaban zaman. Oleh sebab itulah menurut Husnaini dalam buku ini, bangsa Indonesia harus berkerja keras dalam mencari dan menggali ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya demi menutupi semua itu.

Muhammadiyah sebagai organisasi yang bervisi Islam Rahmatan Lil Alamin harus terus menerus berjuang melawan kebodohan dengan concern gerakan ilmu. Walaupun Muhammadiyah terkesan lamban dan kurang maksimal sebagai gerakan ilmu, namun Muhammadiyah mempunyai potensi besar untuk melakukannya. Setidaknya Muhammadiyah bersama NU sudah berupaya untuk memperkuat dirinya sebagai civil Islam yang sangat penting dalam proses demokratisasi bangsa.

Sudah saatnya Muhammadiyah bangkit meneguhkan jati dirinya sebagai gerakan ilmu yang bersifat lintas golongan, suku, agama, politik, dan negara. Untuk itu, Muhammadiyah harus aktif membentuk dan terlibat dalam epis-temic community dalam lingkup internal dan eksternal.

Melebihi dari itu, Prof. Dr. M. Amien Rais dalam buku ini mengemukakan bahwa demi memperkuat serta membumikan gerakan ilmu, khsusunya di lembaga, ada tujuh tawaran strategi yang setidaknya harus jalani. Pertama, peningkatan kualitas teaching staff. Artinya, merekrut pengajar yang handal dan mumpuni di bidangnya. Para pengajar di lembaga pendidikan harus memiliki kompetensi dan kualifikasi akademik yang layak pakai.

Kedua, membangun atmosfer yang kondusif di lembaga pendidikan. Maksudnya, menciptakan kompetisi yang sehat dan nyaman antar lembaga pendidikan. Ketiga, mendukung terciptanya general library (perpustakaan umum) dan research library (perpustakaan penelitian) yang kuat dan lengkap.

Keempat, kegiatan-kegiatan laboratorium untuk setiap disiplin ilmu perlu memperoleh perhatian yang sama pentingnya dengan perpustakaan. Kelima, kegiatan Research and Development (penelitian dan pengembangan) harus diperhatikan secara sungguh-sungguh. Perguruan tinggi harus diarahkan agar mampu menghasilkan riset penelitian yang bisa dirasakan manfaatnya bagi kemaslahatan masyarakat.

Keenam, untuk memacu dosen dan mahasiswa serta masyarakat secara umum agar melakukan kegiatan ilmiah seperti orasi ilmiah, seminar, symposium, bedah buku, diskusi terbuka, workshop, pelatihan dan lain sebagainya. Ketujuh, berpegang teguh pada nilai-nilai ketuhanan dan mengembangkan misi pembebasan manusia dari kebobohan dan ketertindasan.

Melalui tujuh strategi di atas, menurut Amien Rais, pembumian gerakan ilmu akan berjalan efektif sehingga misi Islam rahmatan lil alamin mampu dirasakan manfaatnya oleh segenap warga Muhammadiyah dan seluruh masyarakat di negeri ini. Namun semua ini akan tercapai bilamana ada dukungan dari pemerintah dan peran akatif dari semua lapisan masyarakat.

Buku ini sangat menarik untuk dibaca, karena selain akan lebih mengenalkan kirprah perjuangan Muhammadiyah yang inten dalam lembaga pendidikan, juga akan membuka kedewasaan akademik kita dalam mengembangkan ilmu, bahwa gerakan ilmu adalah merupakan hal penting yang perlu dikembangkan untuk mencapai sebuah kemajuan bangsa dan kesejahteraan masyarakatnya.

*) Pemerhati pendidikan dan sosial-politik tinggal di Yogyakarta.

The Alchemist “Sang Alkemis”

Fanny Chotimah
http://pawonsastra.blogspot.com/
Karya Paulo Coelho
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Jakarta, November 2005

Pernahkah anda bermimpi berpetualang ke Mesir melihat piramida lalu menemukan harta karun kepingan-kepingan emas? Saya sendiri belum pernah bermimpi seperti halnya mimpi Santiago seorang anak gembala dari Spanyol yang betul-betul mewujudkan impiannya.

Pertemuan Santiago dengan Raja Salem mengubah hidupnya. Sang raja memberinya inspirasi dan jalan untuk mewujudkan impiannya. Sang raja membekalin Santiago dengan sepasang batu yang disebut Urim dan Tumim yang akan membantunya membaca pertanda-pertanda.Saat dalam rombongan karavan dalam perjalanan menuju Al-Fayoum di Mesir, Santiago bertemu dengan seorang Inggris yang mencari Sang Alkemis seseorang yang mengerti bahasa dunia dan bisa mengubah tembaga menjadi emas. Sang Alkemis lah yang menuntun Santiago mengarungi gurun pasir dan mewujudkan impiannya.

Buku ini sudah pasti sangat populer sepopuler sang pengarangnya Paulo Coelho seorang pengarang BestSeller dari Brazil yang saat ini menjadi salah satu duta perdamaian PBB untuk bidang spiritualitas dan keberagaman. Novel Sang Alkemis ini pertama kali terbit tahun 1987 dan menjadi novelnya yang paling berhasil Saya yakin juga sudah banyak yang membaca termasuk anda mungkin. Bahkan dikalangan teman-teman saya banyak yang terinspirasi dan percaya kalimat magis yang diucapkan sang alkemis “Jika kamu menginginkan sesuatu, seluruh jagat raya bersatu padu membantumu mendapatkannya”. Kalimat yang sangat kuat bukan? dan saya percaya karena hal itu pernah saya alami.

Saya ingin berbagi pengalaman saya, beberapa waktu yang lalu saya dan suami sempat adu argumentasi memang hal yang biasa dalam suatu hubungan. Sayang sekali kami mengakhirinya dengan tidak baik yang bersalah tidak meminta maaf dan percakapan terbunuh sebelum persoalannya selesai. Saat itu saya berada di Jogja esok harinya akan pergi ke suatu daerah dekat Kebumen menghadiri pesta perkawinan teman dekat. Suami saya berada di Solo dan esok harinya akan ke Purwokerto menghadiri sebuah undangan workshop bersama teman-temannya. Saat di terminal Giwangan saya merindukan suami saya tapi terlalu gengsi untuk memulai kontak seperti mengetik sebuah sms misalnya atau menekan tombol nomor ponselnya untuk sebuah miss call. Sosoknya hadir dalam benak mengenakan kemeja merah kotak-kotak.

Perjalanan dimulai saya menggunakan Bus karena alamat tempat pesta perkawinan teman saya bukan persis di kota Kebumen, saya harus turun di daerah yang bernama Rowokele lalu menghubungi sang pengantin untuk meminta ada yang menjemput (petunjuk ini sesuai perintah teman saya sendiri). Saya turun persis di depan kantor polisi menurut saya tempat yang aman jika teman saya berhalangan saya bisa minta antar pihak berwajib menjalankan tugasnya untuk melayani masyarakat. Diluar dugaan saya, polisi-polisi itu ramah sekali malah menawarkan kesediaan mengantar sebelum saya meminta. Tapi saya menunggu kabar dari teman saya dulu, hingga teman saya menelepon dan mengabari dia akan mengirimkan tukang ojeg dengan motornya untuk mengantar saya.

Si tukang ojeg datang dan naiklah saya menikmati hamparan sawah dan jalanan asing di tempat yang belum pernah saya kunjungi sebelumnya, sebuah desa bernama Rowokele. Tiba-tiba perhatian saya terpecah saya dikagetkan dengan melihat sosok yang saya kenal, suami saya melambaikan tangannya dibalik jendela mobil menyalip ojeg yang saya tumpangi. Saya sempat tidak percaya melihat penampakannya, saya suruh tukang ojeg menyalip mobilnya. Kami pun menepi lalu bertemu. Spontan saja kami tertawa sungguh luar biasa dipertemukan secara kebetulan yang bukan sebuah kebetulan juga rasanya energi kosmis jagat raya mempertemukan kami, dan hal yang membuat ku semakin tak percaya suamiku memakai kemeja merah bata kotak-kotak seperti yang muncul dalam benak ku sebelumnya saat di terminal Giwangan Jogja.

Bagiku kejadian itu merupakan salah satu dari skenario jagat raya untuk ku. Karena jika saya pikir-pikir peluang untuk bertemu secara kebetulan sangatlah sedikit perbandingannya bahkan hampir tak mungkin. Kami tidak saling mengirim kabar untuk janji bertemu belum lagi ada beberapa hal yang berjalan diluar rencana saya. Seperti waktu keberangkatan sempat tertunda beberapa jam karena bangun terlambat. Saat sampai terminal Bus baru saja berangkat sehingga harus menunggu satu setengah jam. Belum lagi menunggu datangnya tukang ojeg. Sungguh ajaib! mungkin seperti itulah pertemuan Hawa dan Adam di bukit Jabal Rohmah. Saya percaya takdir tidak mutlak dan lebih dari segalanya saya percaya akan kekuatan cinta. Mengutip kalimat Santiago si anak gembala dalam novel Sang Alkemis, “Cinta adalah daya yang mengubah dan memperbaiki jiwa dunia”. Bagaimana dengan anda? Apakah impian anda? Anda percaya jagat raya akan bersatu padu untuk mewujudkan keinginan anda?

Mendengar Nyanyian Penyair, Renungkan Kehidupan

Judul : Ketika Penyair Bernyanyi
Karya : Ngurah Parsua
Penerbit : Pustaka Ekspresi, 2010
Tebal : 157 halaman
Peresensi : Nuryana Asmaudi S.A.
http://www.balipost.co.id/

PENYAIR adalah manusia yang bergerak di dunia seni puisi, Puisi terlahir dari tangan penyair lewat aktivitas kreatif yang dia tekuni. Ia memilih, atau bisa jadi juga “terpilih”, masuk dalam wilayah kehidupan seni tersebut secara sadar maupun tak sadar, sehingga jiwa-pikiran-imajinasi-ucapan serta perilakunya selalu berada dalam kondisi kehidupan yang puitik. Dari tangannya mengalir karya sastra berkat perenungan, suara hati, dan bisikan alam-kehidupan, yang diekspresikan dalam bentuk puisi. Sebuah takdir, sekaligus anugerah, kehidupan yang tak hanya tak bisa dihindari melainkan juga harus disyukuri.

Ngurah Parsua adalah salah seorang penyair yang bersedia menerima dan mensyukuri takdir-anugerah kepenyairan tersebut. Karenanya dari tangannya banyak lahir puisi. Ia bahkan tak henti-henti menuliskan puisi yang dianugerahkan padanya setiap saat, sepanjang waktu, sejak semasih usia remaja hingga sekarang. Dalam keadaan apapun, termasuk di tengah kesibukannya saat masih berdinas kerja formal sebagai pegawai negeri widiasmara pada Kantor Dinas Koperasi Propinsi Bali, ia luangkan waktu untuk menulis puisi. Tak mengherankan kalau puisi buah tangan Ngurah Parsua tersebar di perbagai media massa baik koran, majalah, jurnal, hingga buku kumpulan puisi.

Buku Ketika Penyair Bernyanyi adalah salah satu rumpunan puisi Ngurah Parsua. Buku ini memuat 119 buah puisi goresan Parsua sejak 1969 – 1998, merupakan puisi yang ditulis (dan diseleksi) dalam rentang waktu tersebut. Di samping itu banyak puisi lainnya yang dia rangkum dalam antologi puisi yang lain pula. Mungkin itu salah satu cara yang ditempuh Parsua untuk mengumpulkan dan mengklasifikasi puisi-puisinya sesuai dengan tema, jenis, dan nafas puisi-puisi tersebut, agar lebih mudah didekati-dinikmati pembaca. Sebab penyair sepuh Bali tersebut menulis puisi dalam beragam tema dan jenis, baik yang terkait dengan alam-lingkungan, sosial, cinta, hingga relegius. Dengan perangkuman puiisi sesuai jenisnya, imajinasi dan pikiran pembaca bisa lebih terkonsentrasi dan tidak meloncat-loncat. Begitulah nampaknya maksud Parsua.

Kemasan Baru

Kumpulan puisi Ketika Penyair Bernyanyi (KPB) ini sudah pernah diterbitkan. Ini adalah terbitan (bukan cetakan) ke dua. Terbitan pertama oleh Balai Bahasa Denpasar bekerjasama dengan Lembaga Seni Indonesia Bali. Puisi dalam buku ini diklasifikasi menjadi tiga bagian. Bagian pertama, memuat puisi yang ditulis dari tahun 1969 – 1979, diberi tajuk (sub-judul) Lagu Petani Indonesia.Bagian kedua, puisi yang ditulis dalam rentang waktu 1980 – 1982. Bagian ketiga, memuat 44 buah puisi.

Puisi Ngurah Parsua dalam buku ini banyak berbicara tentang renungan hidup yang terbersit dari peristiwa alam dan pergaulan hidup sehari-hari, yang disajikan lewat bahasa ungkap yang jernih, santun dan jujur, bak perawan desa yang polos, jujur dan lugu, tidak tampil menor dan bergincu-gincu; juga seperti nyanyian-kidung yang dikumandangkan secara spontanitas mengungkapkan perasaan, pikiran, suasana hati dengan kata-kata atau kalimat yang tak direka-reka atau diindah-indahkan nada-suaranya. Kata-kata meluncur seperti rinai gerimis yang bikin nyaman dipandang, bukan hujan-deras (kata) yang menghentak dan bikin kalang kabut pembaca. Pembaca, terutama kalangan sastra dan penikmat-pengapresiasi puisi, bisa santai dan asyik memasuki dunia imaji sang penyair dalam puisi tersebut tanpa perlu tergopoh-gopoh dan memeras otak-pikirannya untuk memahaminya. Dengan kesederhanaan bahasa ungkap dan simbul yang dipakai, justru kita bisa merasakan dan menangkap-pahaminya kandungan makna-pesan yang terlontar dan justru disitulah indah-nikmatnya- seperti menikmati keindahan gerimis atau mendengarkan kidung-nyanyian di alam terbuka. Dengan kesederhanaan itu apakah pembaca bisa merasakan dan mengkap makna sampai saripatinya atau tidak, tergantung pembaca sendiri. Artinya, siapapun yang membaca puisi dalam buku ini bisa -dan boleh- menangkap-pahami sesuai keadaan, alam pikir dan pengalaman batin masing-masing. Bagi orang yang pengalaman batinnya dalam, tentu bisa mengkap-rasakan makna sampai saripatinya. Sementara, pembaca-penikmat puisi pemula, misalnya, boleh memahami sebatas kata atau bentuk luar dari buah puisi tersebut, serta mencecap isinya sesuai imajinasi dan pengalaman rasa lidah-batinnya.Setiap kerja manusia memang selalu ada kekurangsempurnaan. Yang pasti, Ngurah Parsua telah menghadirkan kembali puisi-puisinya dalam buku KPB terbitan kedua ini. Maka, kita berhak, boleh, juga ada baiknya mengoleksi, membaca dan nikmatinya lagi.

Menjawab Pertanyaan Anak dengan Dongeng

Judul buku : Mengapa Manusia Tidak Melihat Dewa?
Pengarang : Made Taro
Tebal : 106 halaman+ix
Penerbit : Sanggar Kukuruyuk
Tahun terbit: 2010
Peresensi : Mas Ruscita
http://www.balipost.co.id/

BISAKAH dongeng menjawab pertanyaan-pertanyaan anak-anak jaman sekarang, yang makin kritis? Jawabnya bisa, asal yang mendongeng atau yang membuat dongeng punya jiwa kreatif seperti pengarang dongeng I Made Taro. Tetapi kalau ingin menjadi pendongeng yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan anak-anak, maka buku dongeng yang berjudul “Mengapa Manusia Tidak Melihat Dewa” karya I Made Taro bisa dipakai sebagai senjata. Dalam buku yang setebal 106 halaman ini, penulis menghadirkan 20 jawaban untuk 20 pertanyaan yang mungkin akan ditanyakan oleh anak-anak yang kreatif kepada kita. Dari 20 jawaban, penulis seaakan mengajar pembaca untuk mencari jawaban-jawaban kreatif bagi pertanyaan-pertanyaan lain, yang agak masuk akal dan lucu. Kelebihan I Made Taro yang sederhana, tetapi kreatif dan kocak terlihat jelas dari caranya menjawab sebuah pertanyaan.

Memang ada 20 pertanyaan yang dijawab dengan dongeng oleh penulis. Pertanyaan-pertanyaan itu adalah: Mengapa manusia tidak melihat Dewa, Mengapa Matahari dan bulan tinggal di langit, mengapa ada pelangi, mengapa pada waktu gerhana memukul kentungan, mengapa pohon beringin keramat, mengapa pohon “teep” tidak dimakan rayap, mengapa bamboo tutul tidak boleh dipakai sarana upacara, mengapa air laut asin, mengapa di Kalimantan tidak ada harimau, mengapa menaruh ayam kurungan di depan rumah, mengapa anjing bermusuhan dengan kucing, menagpa burung hantuimengeluh pada malam hari, mengapa kelopak mata Jalak Bali biru, mengapa kerbau menarik bajak petani, mengapa sapi tidak punya gigi, mengapa burung Kasuari tidak bisa terbang, mengapa puyuh tidak berekor, mengapa ekor kelinci buntung, mengapa unta berpunuk, mengapa ular berganti kulit?

Aryantha Soethama, pengarang dan budayawan dalam pengantar buku ini mengatakan, dalam buku ini Made Taro mencoba menyajikan jawaban-jawaban sehat, sehingga mata anak-anak yang menerima jawaban-jawaban berkejap-kejap karena takjub, dan kepala mereka manggut-manggut senang.

Unik

“Banyak jawaban yang disodorkan dalam buku ini unik, tidak terduga, sehingga kita yang dewasa menjadi tersenyum geli. Jika orang dewasa yang membacanya sampai tergelitik geli, anak-anak yang mendengar jawaban-jawaban versi dongeng kumpulan Made taro ini bakalan tertawa terpingkal-pingkal dengan telapak tangan menutup mulut seperti mengusir malu karena telanjur terbahak-bahak. Air mata mereka bakal mengalir karena tertawa lama-lama berderai,” ungkap Aryantha.

Apa yang dikatakan Aryantha tidaklah berlebihan, hal ini bisa dibaca dari 20 dongeng yang termuat dalam buku ini, semuanya memberi jawaban unik, yang tak masuk akal bagi orang dewasa, tetapi membuat kita tersenyum geli. Misalnya saja tentang pertanyaan “Mengapa matahari dan bulan tinggal di langit?” Untuk menjawab pertanyaan ini, penulis menceritkan saat sebelum manusia lahir, konon katanya, bumi hanya dihuni oleh air, matahari, dan bulan. Mereka dikatakan bersahabat, sehingga sering bertemu dan berbincang-bincang. Penulis kemudian menceritakan pada saat musim panas, matahari berkunjung ke rumah air, sedang bulan disuruh menjaga rumah. Matahari dan bulan katanya sering berkunjung ke rumah air, tetapi air tak pernah berkunjung ke rumah matahari dan bulan. Untuk menjalin persahabatan antara kedua keluarga, matahari dan bulan mengundang air untuk berkunjung ke rumahnya. Air ragu-ragu menerima undangan matahari dan bulan, karena ia khawatir rumah sahabatnya tak akan mapu menampung keluarga besarnya, istrinya, anaknya, cucu-cucu dan kerabatnya yang lain. Tetapi matahari bersikukuh mengundang air ke rumahnya, ia berjanji akan membuat rumah yang lebih besar agar bisa menerima kedatangan air beserta keluarga dan kerabatnya. Hari yang dinantipun tiba, air akhirnya menepati janji berkunjung ke rumah temanya matahari dan bulan. Tetapi matahari dan bulan tak menduga bahwa kunjungan air beserta keluarga dan kerabatnya akan menenggelamkan tempat tinggalnya. Matahari dan bulan merasa malu, tetapi juga tidak ingin tempat tinggalnya terendam air. Akhirnya diam-diam matahari dan bulan meninggalkan bumi, mereka memilih tinggal di tempat yang paling tinggi yang bernama langit. Dari langit kedua suami istri ini bisa melihat dengan jelas betapa banyakanya keluarga air, apalagi saat musim hujan.

Paradoks Pariwisata dalam Senjakala

Judul : Senjakala
Penulis : Komang Ariani
Genre : Novel
Tahun terbit : 2010
Penerbit : Koekoesan
Jumlah Halaman : 135 + viii halaman
Peresensi : Ni Made Purnamasari *
http://www.balipost.com/

BOLEH jadi Ni Komang Ariani, dalam novel terkininya Senjakala (2010), tengah ingin membuat suatu ironi perihal kekinian kepariwisataan Bali. Kisahan dalam buku, yang mulanya merupakan cerita bersambung peraih Pemenang Pertama Sayembara Femina 2007, memang seolah terkesan biasa saja: mengambil latar kehidupan masyarakat adat seputar kawasan wisata situs Candi Gunung Kawi-Gianyar, dengan tokoh-tokoh manusia Bali pada umumnya. Namun, begitu membaca bagian demi bagian cerita, jelas tersirat bahwa penulis kelahiran 19 Mei 1978 ini sedang menuturkan sebuah narasi besar, yakni bagaimana turisme yang seharusnya berfaedah kesejahteraan malahan memberi ruang bagi tindak kejahatan; serta bagaimana mitos lokal dan sikap-sikap rasional kerap kali bersinggungan, bahkan juga dipertentangkan. Atau dapat dikatakan, cerita Komang Ariani ini berusaha menampilkan Bali dengan berbagai sisi paradoksnya, yang sedikit banyak turut mempengaruhi cara pandang penduduknya terkait tradisi serta modernitas.

Novel bermula dari hilangnya seorang bocah laki-laki, Raka, di sekitar kawasan Candi Gunung Kawi. Sang tokoh utama, Lily, jurnalis sebuah media besar di Jakarta yang kebetulan sedang melakukan liputan ke daerah, segera saja tersangkut-paut dengan kasus misterius ini. Ia pun bertemu saudari kembar korban, Naka, beserta keluarga dan lingkungan terdekatnya. Dan jalinan kisahan berlanjut, hampir-hampir sepenuhnya linier, dalam paduan deskripsi kenyataan serta tuturan pengalaman masa lalu nan mengharukan dari Naka, termuat pada surat-surat yang dihanyutkannya ke alir Sungai Pakerisan, sekitar situs wisata tersebut.

Justru karena memilih peran utama seorang wartawan dari luar wilayah Bali, Komang Ariani secara leluasa menggambarkan kehidupan paradoksal pulau ini. Simak saja bagaimana Lily mencoba merasionalkan hilangnya Raka, menepis mitos-mitos tentang hantu ataupun mahluk halus Sungai Petanu yang dipercaya kerap meminta tumbal manusia kendati dalam beberapa adegan terkesan tokoh kosmopolitan ini mulai memudar keyakinannya. Di sisi lain, si pengarangnya juga memotret kehidupan kepariwisataan sehari-hari, mengenai artshop-artshop patung yang komoditinya dikaryakan oleh anak-anak seputar daerah wisata, atau terkait lingkungan adat lokal yang berusaha mempertahankan tradisi dan cenderung berpandangan miring pada orang-orang pendatang luar pulau.

Ikon Pariwisata

Yang menarik dari novel ini, selain kisahnya yang dibuat semi detektif, sang pengarang seolah-olah mencoba menjadikan situs wisata sebagai ikon masa lampau dan kekinian, berikut pergeseran nilai yang menyertainya. Sebagaimana diketahui, Candi Gunung Kawi mempunyai nilai sejarah (dulu merupakan makam para raja Dinasti Udayana) sekaligus unsur mitologi, di mana Prabu Mayadenawa, penguasa raksasa yang lobha, tewas terbunuh oleh para dewa di alir Sungai Petanu, sekarang Sungai Pakerisan, seputar kawasan yang kini jadi obyek turistik itu. Akan tetapi, dalam novel Komang Ariani, kompleks yang dibangun pada sekitar abad 11 M itu seakan tampil dengan nuansa magisnya tersendiri, terlebih setelah tersiar kabar seorang bocah laki-laki menghilang misterius, yang belakangan diketahui bahwa Raka telah menjadi korban pedofilia dari turis-turis asing pengunjung situs tersebut.

Dari ilustrasi ini terlihat bahwa Komang Ariani agaknya ingin mempertanyakan warisan keluhuran masa silam dengan pergeseran nilai yang telah serta tengah terjadi akibat kepariwisataan yang sedemikian terbuka di Bali. Masa lampau seolah-olah hanya berkutat seputar pelestarian tradisi, berikut unsur adat, mitologi, serta kepercayaan lokal yang terkandung di dalamnya, tanpa diikutsertakan atau diolah dalam penentuan maupun penerapakan kebijakan pariwisata. Dengan kata lain, kebudayaan lokal hanya dipandang sebagai sebuah etalase kaca, semata sebagai ikon yang dapat disaksikan dan ditemui secara langsung, dijaga sedemikian rupa, akan tetapi cenderung dinilai baku, dan bahkan dalam novel Komang Ariani, bagaikan tampil sebagai peristiwa sehari-hari yang malahan tidak kontekstual dengan kekinian.

Gaya bahasa novel ini memanglah sederhana, dirangkai dalam deskripsi peristiwa yang terkesan apa-adanya. Tuturannya terasa sungguh wajar, tidak berpretensi untuk melebihkan permasalahan yang coba diungkapnya. Cerita ini boleh dikata membawa kita pada esensi makna humanitas, nilai-nilai tradisi, kenyataan sosial serta sisi paradoks pariwisata. Komang Ariani, mengutip kata salah seorang budayawan, mencoba untuk menyampaikan moralitas, tanpa menjadi seorang yang moralis.

*) Mahasiswi Antropologi Universitas Udayana.

Mooi Indie Vs Jiwa Ketok

Judul : Sang Ahli Gambar Sketsa, Gambar & Pemikiran S Sudjojono
Penulis : Aminudi TH Siregar
Penerbit : S Sudjojono Center dan Galeri Canna
Cetakan : Pertama, Oktober 2010
Tebal : 410 Halaman.
Peresensi : Muh. Muhlisin
http://balaibelajarbersamayuk.blogspot.com/

Praksis sejarah pemikiran seni rupa Indonesia pada awal abad ke-20, tidak bisa dilepaskan dari pemikiran Sundudarsono Sudjojono. Ia dikenal sebagai tokoh besar seni lukis Indonesia pada masa pergerakan nasional dan pada masa terjadinya polemik kebudayaan tahun 1930-an. Buah pemikirannya telah memberikan kontribusi besar bagi kelompok yang ingin menampilkan seni lukis yang bernafaskan kerakyatan.

Dalam buku ini S Sudjojono yang akrab di panggil Pak Djon di tempatkan sebagai tokoh sentral dalam pergolakan seni di Indonesia. Sebab dialah tokoh yang berani mengkritik seni yang bercorak Hindia Belanda. Sindudarsono Sudjojono adalah putra kelahiran Sumatra Utara, pada 14 Desember 1913.

Kemauannya untuk menjadi seniman sudah dia perlihatkan sejak usia muda dan dalam menjalani proses diri menjadi seniman handal ia lakukan tidak setengah-setengah. Begitu juga bagaimana penguasaanya terhadap teknik lukis ia tekuni dengan totalitas. Akhirnya, ketekunannya membuahkan hasil. Pada akhir 1930-an hingga 1940-an, kepeloporan Sudjojono dalam pengembangan seni lukis tanah air sulit di sangkal. Dia tidak saja membangun seni tapi juga merumuskan pengertian tersebut sebagai kesadaran baru, yang merintis munculnya nilai-nilai baru, paradigma baru dalam praktik seni lukis.

Selama hidupnya Pak Djon bukan hanya pelukis nasionalis yang sangat menguasai teknik melukis tetapi juga pemikir dan kritikus seni rupa. Ia pula yang menciptakan dan mempopulerkan istilah Seni Rupa, Seniman dan Sanggar. Pak Djon yang dijuluki sebagai Bapak Seni Lukis Modern Indonesia, merumuskan pengertian “apa itu seni” dalam kalimat pendek yang belakangan ini menjadi kredo terpopuler di dunia seni rupa: “Jiwa Ketok, atau Jiwa Tampak”.

Jiwa Ketok sebenarnya adalah upaya Pak Djon dalam memperingatkan para seniman agar bekerja dengan “kebenaran”. Dia juga tidak menginginkan lahirnya pelukis-pelukis medioker yang menganggap “keterampilan teknik” tidak diperlukan. Karena pelukis semacam ini biasanya berlindung di balik retorika, kalau bukan teori atau filsafat. Para avonturir diingatkan tentang craftmanship. Katanya, “kalau teknik sudah dikuasai, dia mau melantur terserah.” (Halaman, 107).

Dalam catatan sejarah, Pak Djon juga dikenal sebagai pencetus istilah “Mooi Indie”. Istilah ini adalah ungkapan sinisme Pak Djon yang pada awal abad ke-20 seni lukis pribumi mengalami perkembangan dalam bentuk organisasi hingga friksi aliran. Pada masa ini muncul seni lukis gaya Mooi Indie (Idie/Hindia Belanda yang indah) yang hanya bisa dinikmati kaum bangsawan dan elit politik saja. Melihat semua itu, Pak Djon dan Kawan-kawan melakukan perlawanan dengan mendirikan PERSAGI (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) pada tahun 1937. Lahirnya organisasi ini juga menandai lahirnya seni modern Indonesia.

Kelompok ini mengusung gaya realisme kerakyatan, menentang kaum Mooi Indie yang bersifat elitis. Kelompok ini terutama Pak Djon sangat menentang pelukis-pelukis yang hanya menampilkan keindahan alam atau gadis cantik. Bahkan, Basuki Abdullah yang tersohor sebagai pelukis istana ia kecam habis-habisan karena melukiskan perempuan dan keindahan alam.

Bagi Pak Djon, karya lukis kolonia Belanda atau Eropa yang menggambarkan keindahan optimis, tidaklah mengungkapkan alam jiwa masyarakat Indonesia yang sebenarnya. Yang digambarkan itu “bukanlah timur” melainkan “representasi tentang timur”. (Halaman, 46).

Menelisik pemikiran Pak Djon yang ada dalam buku ini mengingatkan bahwa penulis buku ini telah memberikan kontribusi besar dalam khazanah pemikiran seni Indonesia. Kesadaran akan seni yang bukan hanya bisa dinikmati oleh kalangan elit saja tetapi juga untuk rakyat. Pak Djon adalah simbol penolakan “kolonialisme seni” bahkan gambaran alam dalam lukisan-lukisan Pak Djon mengarah ke “patriotisme” yang merefleksikan kuatnya kesadaran nasionalisme sang ahli gambar.

Penulis adalah Pustakawan P-Zat, Yogyakarta
Berdomisili di Jl. Minggiran MJ II/ 1482-B Yogyakarta

Bandar Negeri Semuong *)

Asarpin
http://www.lampungpost.com/

MATAHARI di Teluk Semangka hampir tenggelam dibalut awan hitam. Senja masih memancarkan separuh cahayanya di ufuk langit. Bukit Barisan Selatan segera tertutup kabut. Awan hitam bermandikan cahaya keputih-putihan muncul dari lereng Gunung Tanggamus.

Sore itu saya duduk di bawah pohon dadap yang sedang berbunga kemerah-merahan di dekat Bandar Negeri Semuong. Dulu tempat ini dikenal dengan nama Bandar Brunai, pelabuhan kapal mengangkut rempah-rempah yang hampir sama ramainya dengan Teluk Bayur. Para pedagang dari Brunai dan Bengkulu sering singgah ke pelabuhan ini melewati hulu Teluk Semangka melintasi pesisir Krui.

Rabu, 02 Februari 2011

MEMBACA KULIT LUAR “KITAB PARA MALAIKAT” NUREL JAVISSYARQI

M.D. Atmaja
http://sastra-indonesia.com/

Membaca karya sastra, dalam hal ini adalah karya puisi sama halnya dengan perjalanan panjang menyusuri jalan setapak yang dipenuhi cabang dan penunjuk jalan (baca: tanda). Berbagai macam (bentuk) penunjuk jalan tersebut membawa pada pengungkapan pengalaman, baik pengalaman realitas maupun pengalaman batin si kreator tanda. Aspek pengalaman seorang kreator mempengaruhi bangunan struktur tanda yang dibangun. Pengalaman menjadi dasar atas pembangunan bangunan tanda yang kelak akan diterjemahkan oleh pembaca. Pengalaman itu sendiri yang sebenarnya menjadi inti dari pembangunan struktur tanda, baik yang dalam pengertian transenden maupun yang imanen. Bangunan struktur atas tanda tersebut, mutlak sebagai pencerminan diri kreator tanda (sastrawan).

Bangunan struktur yang sudah jadi dan dilepaskan akan diterima masyarakat pembaca sebagai struktur makna yang diperlukan usaha interprestasi. Dalam aktivitas ini, pengalaman kembali memainkan peran yang penting. Dimana pengalaman pembaca dalam usaha menterjemahkan tanda untuk menjadi bangunan makna baru. Hasil interpretasi dapat dipastikan akan terlepas dari esensial makna yang dimaksudkan si kreator tanda. Antara makna penciptaan dan pembacaan struktur tanda, terdapat adanya jarak yang cukup signifikan yang dapat disebut sebagai ruangan ketiadaan (ada namun tiada, tiada namun ada).

Ruang ketiadaan ini memungkin terjadi adanya interaksi simbolik yang terjadi secara dialektis. Interaksi yang pada akhirnya membangun makna baru. Pembaca, dalam usaha memahami teks tanda (baca: sastra) secara tidak disadari mengembangkan struktur tanda yang pada diciptakan seorang kreator.

Karya sastra, secara khusus puisi, memiliki banyak ruang lingkup tanda yang apabila dilakukan usaha penterjemahan justru menimbulkan tanda baru. Tulisan ini bermaksud meresapi nilai pengalaman yang tertuang di dalam struktur tanda yang dibangun di Kitap Para Malaikat (KPM) karya Nurel Javissyarqi (NJ). KPM yang merupakan buku kumpulan puisi, konon menurut NJ, dipahat selama 1 tahun dan dikristalkan selama 8 tahun. Perjalanan panjang dalam proses penciptaan bangunan tanda KPM ini, sehingga dapat dipastikan kalau KPM disemayami jutaan pengalaman yang mengagumkan.

Menyimak judul, Kitab dan Para Malaikat, mengumumkan adanya jalinan pengalaman religius (kalau tidak boleh dikatakan mistis) hasil dari hubungan gelap antara NJ dan Para Malaikat. Kenapa hubungan gelap? Mungkin hubungan ini hampir sama dengan perselingkuhan, kalau antara seorang perempuan dan lelaki dapat melahirkan anak, hubungan gelap NJ dan Para Malaikat telah menghasilkan sebuah kitab lumayan panjang. Hubungan gelap, karena pertemuan NJ dengan Malaikat tidak diketahui orang lain di dalam pengalaman (baca juga: kesaksian) religius. Apabila wahyu Allah Ta’ala diterjemahkan dan disampaikan untuk para Nabi Allah, para Malaikat (tentu saja Malaikat-Nya Allah) ternyata memilih seorang NJ (Nurel Javissyarqi), seorang penyair dari Lamongan untuk menghimpun cahaya yang berserak.

Pengalaman, yang menurut NJ sebagai kesaksian, dirangkum ke dalam 21 judul (baca: surat) puisi. Surat yang merupakan manifestasi dari hebatnya pemikiran dan renungan yang membuahkan kitab. Ini yang membuat saya merasa was-was dan gemetaran sendiri membacai KPM. Bagaimana tidak, realitasnya yang saya hadapi kali ini bukan Bumi Manusia-nya Pramoedya Ananta Toer yang menyusur sejarah kehidupan manusia Indonesia. Akantetapi, yang saya hadapi kali ini adalah Kitab Para Malaikat yang oleh Maman S. Mahayana (KPM, 2007: iv) disejajarkan dengan para pemikir besar dunia. Sebelum terlalu jauh saya menjajaki samudra pengalaman, terlebih dahulu saya menyibukkan diri dengan gemericik air dan derum ombak di pantainya. Hal ini saya lakukan semata-mata untuk mengukur panjang kaki, hingga saya memutuskan untuk menulis Membaca Kulit Luar “Kitab Para Malaikat” Nurel Javissyarqi ini. Saya berusaha untuk tetap tenang, mengingat pepatah lama, “Sedia payung sebelum hujan” karena tidak ingin bersombong diri yang justru membuat saya tenggelam di samudra.

Pengalaman yang bersinggungan dengan kesadaran ketika menangkapi fenomena realitas, baik dalam ruang transenden maupun imanen. Fenomena ini, yang entah dari dunia realitas maupun non-realitas (yang terjadi di dalam diri NJ), membangun pola pikir yang akhirnya tertuang sebagai karya. Setiap pengalaman, menurut Derrida (dalam Dreyfus dan Wrathall, 2005: 91), sebagai bagian kehidupan yang mengandung makna. Pengalaman yang bermakna termanifestasikan ke dalam karya yang selanjutnya meninggikan nilai sastra itu sendiri sebagai pengalaman dunia kehidupan.

Pun, hal ini dapat kita temukan di dalam bait (baca: ayat) KPM karya NJ. KPM membawa nuansa baru dalam khasanah jagat perpuisian di Indonesia. Ayat-ayat ringkas namun ketika dipahami memberikan bentangan cakrawala yang tanpa batas. Apabila di sana ditemukan adanya “batas’, lebih dikarenakan faktor individu setiap pembaca sebagai mufasir yang menggali makna.

Malaikat-nya NJ tersindromi kekaguman pada perempuan, yang mana makhluk satu ini memiliki rangka estetik yang dengan sangat berhasil menarik perhatian seniman. Tidak hanya seniman sastra, banyak diantara pengagum serta pemuja mengkreatorkan estetika yang diilhami perempuan. Konon, perempuan sebagai keturunan Hawa yang diciptakan dari Adam, pun yang menjadikan sang Adam diturunkan dari surga.

KPM sendiri tidak mampu melepaskan diri dari pesona perempuan. Indah dan makna yang terbangun di banyak tempat di dalam berbagai bahasa. Bahkan, perempuan menjadi satu pokok bahasan yang penting di Surat pertama yang berjudul Membuka Raga Padmi (KPM, 2007: 5-10). Kerangka ini apabila diterawang melalui khasanah sosiologis, akan membidik sang NJ si empu KPM adalah seorang pemuja perempuan.

Panjang dan lebar, waktu yang dibutuhkan untuk menggelar khasanah seperti ini, yang pada titik puncaknya membuat kita kelelahan untuk mengikuti NJ yang telah menisbatkan diri sebagai pengelana. Esensial perempuan terlihat jelas di surat Membuka Raga Padmi yang dengan membara menelusup jiwa perenungan. Dari rambut sampai pada mata batin, tidak kelewatan disusupi diam-diam. Pun, dalam Hukum-Hukum Pecinta, pembaca akan menemukan peran perempuan dalam kehidupan manusia.

Selain itu, permainan simbol dan bangunan struktur makna yang dibangun NJ dalam KPM-nya sangat jelas dipengaruhi oleh kebudayaan Jawa. Simbolisasi dari latar belakang ini terdeteksi dengan sangat jelas, misalnya mengenai penandaan Bunga Wijayakusuma dalam penobatan raja, dalam Surat Muqadimah: Waktu Di Sayap Malaikat ayat XVIII (KPM, 2007: 2). Dari aspek estetik dan struktur tanda ini, menterjemahkan sebagaian pengalaman religius yang termaktub di dalamnya. Pembacaan naskah lama, dilakukan oleh NJ dalam mengkreasikan struktur tanda KPM. NJ sebagai peramu memasukkan nilai sufistik Kejawen.

Latar belakang budaya yang ikut mempengaruhi proses pengkreasian strauktur tanda merupakan hal yang lumrah. Pengalaman ini, baik transenden (maupun) imanen bercorak Jawa yang memungkinkan makna yang tidak universal. Aspek kultural yang melatarbelakangi kehidupan NJ justru menyempitkan makna KPM sebagai sebuah kitab yang semestinya universal, dapat dipahami oleh setiap manusia. Pendasaran ini saya ambil, hanya sebatas pada aspek aspek geografis dan kultural yang berbeda.

Estetika dan struktur tanda yang dibangun NJ dalam KPM lebih banyak memuat pengalaman (kesaksian) mistis Kejawen. Struktur estetik dan struktur tanda dalam KPM harus ditelusuri bersamaan dengan proses pembacaan terhadap historis masyarakat Jawa, dimana bangunan estetik dan struktur tanda itu dibangun dan termanifestasikan ke dalam KPM. Memahami KPM berarti telah memahami nilai estetika dan jalan religius masyarakat Jawa.

Banjarnegara – Studio SDS Fictionbooks, 12 Desember 2010

Ketika Semua Berjalan Mundur

Sungging Raga
http://korantempo.com/

Tak ada yang kita tinggalkan kalau kita berjalan mundur….

KALIMAT itu berputar-putar dalam pikiran Ruminah, semacam sugesti yang kuat. Ia mendapatkan kalimat itu dari sebuah buku puisi berjudul Pada Bantal Berasap. Di situ tertulis nama pengarangnya, Afrizal Malna. Siapa ia, Ruminah tidak tahu. Ia hanya menemukan buku itu di atas meja, sepertinya milik tamu ayahnya yang ketinggalan–atau sengaja ditinggal?

Setengah jam lalu Ruminah memang masih melihat ayahnya berbincang dengan seorang tamu laki-laki yang menurutnya cukup aneh, suaranya agak berat, sepatunya besar, kepalanya botak, dan bahasa Indonesianya sangat baku. Ayah Ruminah memang sering berdiskusi dengan tamu-tamunya tentang puisi. Ia bisa memaklumi kalau teman ayahnya hampir semua aneh, sebab ayahnya penyair, suka berteman dengan yang aneh-aneh. Misalnya, ada teman ayahnya yang suka berbicara dengan celana, Ruminah lupa namanya. Tetapi Ruminah tidak pernah merasa ayahnya aneh, atau mungkin saja ia menolak logika nyata itu, bahwa sebenarnya sang ayah itu juga aneh, bahkan mungkin yang paling aneh, hanya saja Ruminah enggan untuk mengakuinya.

Koleksi buku puisi ayahnya sangat banyak, ada perpustakaan kecil yang terletak di dekat halaman belakang. Namun Ruminah jarang sekali menengoknya, sebab ia juga tak begitu tertarik dengan puisi, ia mengunjungi perpustakaan itu hanya ketika dipanggil untuk membantu membersihkan dan merapikan buku-buku yang berserakan. Ayahnya memang begitu: kalau sudah kumat–istilah “kumat” ini datang dari ibunya–maka sang ayah akan berendam berjam-jam di perpustakaan itu, mengenakan kacamata, lantas membaca seperti melahap segala-galanya. Ruminah terkadang membaca beberapa judul buku yang dirapikannya: Hujan Bulan Juni, Menjadi Penyair Lagi, Dongeng Anjing Api, Jantung Lebah Ratu, Sejarah Lari Tergesa, Dalam Rahim Ibuku Tak Ada Anjing….

Karena membaca judul-judulnya saja sudah aneh, maka Ruminah tak pernah membuka barang selembar isi dari buku-buku itu, meski ia tahu bahwa ayahnya sangat berharap ia membukanya barang sesaat.

Namun rasa tak-penasaran Ruminah bobol juga ketika melihat sebuah buku puisi tergeletak di atas meja, sementara sang ayah sudah pergi dengan tamunya, mungkin ke tepi danau, mencari inspirasi, mungkin sudah menyatu dengan hujan.

Ruminah lantas iseng membuka salah satu halaman buku puisi itu, dan menemukan sebuah puisi berjudul “Di Halaman Belakang”, dan matanya terantuk pada kalimat “Tak ada yang kita tinggalkan kalau kita berjalan mundur.”

Ia berhenti di situ, dahinya mengernyit. “Apa benar?” gumamnya. Sejenak ia merenung. “Kalau begitu kenapa tidak ada yang mau berjalan mundur, ya?”

Entah mengapa, Ruminah mencerna kalimat itu begitu cepatnya. Ia mulai berpikir, matanya melihat benda-benda di ruang tamu: meja, sofa, guci, kaca jendela, nyamuk, lalat, semut, keramik, lampu, bayangan tubuhnya.

Ruminah hendak menciptakan tanda-tanda. Ia melihat segala sesuatu, berharap, barangkali ada yang berjalan mundur di rumah ini.

Ya. Barangkali, ada.

“NAH, pasti ayah belum membaca kalimat di puisi itu. Ayah ‘kan tidak berjalan mundur,” pikir Ruminah di malam harinya, ketika ia tak bisa tidur akibat kalimat itu. Tiba-tiba ia ingin sekali menunjukkan halaman buku puisi yang masih diingatnya itu kepada sang ayah, tetapi ayah dan ibunya sedang bertandang ke rumah tetangga, barangkali ada keperluan. Lagipula, entah di mana buku itu sekarang: baru saja ia ke ruang tamu, tetapi meja telah kosong, sang ayah pasti sudah merapikannya. Pasti akan susah sekali buku itu dicari di perpustakaan. Ia jadi bingung, lalu kembali ke kamar.

Sekarang Ruminah benar-benar yakin dan percaya dengan kalimat tersebut. Bahwa tak ada yang akan kita tinggalkan kalau kita berjalan mundur. Ruminah mengingat-ingat, memangnya apa yang sudah ia tinggalkan selama ini?

Untuk mengetahuinya, Ruminah mulai belajar untuk berjalan mundur. Ia segera bangkit dan berdiri tegak. Ia tersenyum-senyum sendiri. Di percobaan pertama, ia mencoba melangkah mundur dari jendela menuju pintu kamar. Ruminah bergerak perlahan-lahan. Agak sulit ternyata kalau menghadap ke depan dan melangkah ke belakang. Namun nyatanya ia berhasil. Ruminah berjalan mundur tanpa gangguan, hanya tangannya yang meraba-raba ke belakang, takut menabrak sesuatu, ia menjadi lebih hati-hati, sampai akhirnya tangannya menyentuh daun pintu.

Ruminah lega. Ia bisa berjalan mundur meski hanya empat meter, tetapi ia benar-benar melihat apa yang ada di dalam kamarnya, di sekelilingnya, dan segala sesuatu menjauh perlahan-lahan.

“Kalau berjalan maju, aku meninggalkan sesuatu, tetapi kalau berjalan mundur, aku tidak meninggalkan sesuatu, justru aku yang ditinggalkan.” Ia memulai kesimpulan perdananya.

Karena masih penasaran, Ruminah mencoba berjalan mundur di tempat yang lebih jauh, kali ini dari kamarnya menuju pintu depan. Ia keluar kamar. Sejenak ia melihat jalan yang tidak lurus, meja kaca, lemari dan beberapa vas bunga, dan ia harus melakukan satu belokan.

Ruminah mulai berbalik, menghadap pintu kamar, dan mulai berjalan mundur. Kebetulan juga suasana rumah sedang sepi. Ia tak perlu was-was kalau-kalau nanti dibilang gila.

Ruminah bergerak. Langkah pertamanya berhasil, dan ia baru sadar, satu langkah saja berjalan mundur, dadanya berdegup kencang, takut menabrak sesuatu.

“Jadi, kalau berjalan mundur, kita selalu waspada.” Gumam Ruminah. Ia senang, ia senang karena menemukan hal baru, benar-benar baru meski sangat sepele. Tetapi setelah beberapa langkah, badannya menyenggol sesuatu. Ia terkejut. Sebuah vas bunga! Ruminah cepat-cepat menoleh. Ternyata tidak sampai jatuh, hanya terguling di tepi lemari. Ia lantas mendirikannya kembali, dan berbalik, melanjutkan langkah mundurnya.

Beberapa puluh detik kemudian Ruminah sudah tiba di pintu depan. Ia lega, meski kali ini agak lama dan tidak begitu mulus. Tetapi baru kali ini ia berjalan mundur. Hal sederhana yang sebelumnya tak sempat ia pikirkan. Ruminah begitu girang, ia melompat-lompat beberapa kali, tertawa sendiri, lantas bergegas masuk kamar, menutup pintu, melompat ke kasur, dan tidur.

APA yang ada di pikiran Ruminah pun akhirnya terbawa ke dalam mimpi. Dan ternyata ia mengalami mimpi yang ajaib.

Dalam mimpinya, Ruminah melihat sebuah kota, di mana semua manusia berjalan mundur; bahkan tak hanya manusia, semua kendaraan juga berjalan mundur: mobil, sepeda motor, becak, gerobak sampah, bus kota, mikrolet, truk, kereta api, hingga pesawat di langit, semuanya mundur. Namun anehnya, tak satupun dari kendaraan itu bertabrakan. Seakan-akan ada mesin otomatis yang mengatur segalanya. Orang-orang pun juga tak saling membentur, mereka berjalan begitu pelan, begitu tenang. Setiap kali hendak berbelok, mereka berhenti, seperti menunggu sesuatu.

“Tidak, tidak,” gumam Ruminah. “Mereka tidak bertabrakan karena mereka saling berhati-hati.”

Ruminah mulai mencari pembenaran atas apa yang dilihatnya. Ia juga melihat ke arah matahari, yang jangan-jangan juga berjalan mundur!

“Aduh. Apakah hari-hari juga ikut mundur? Apakah waktu juga ikut mundur? Apakah semuanya takut akan meninggalkan sesuatu?” pikir Ruminah. Tiba-tiba saja naluri kepenyairan mulai tumbuh dalam dirinya, tentu saja Ruminah tak menyadarinya. Ia mulai mempertanyakan hal-hal yang mendasar: apakah orang-orang pernah mengamati sendiri jejak kaki yang ditinggalkannya? Apakah orang-orang melihat benda-benda apa yang meninggalkannya? Apakah orang-orang sudah tidak lagi rakus untuk melihat apa yang jauh di depannya, melainkan sibuk untuk melihat apa yang justru ditinggalkannya?

“Dengan berjalan mundur, seseorang bisa melihat jejak kakinya sendiri, seseorang bisa melihat seluruh benda menjauhinya, namun tak satupun yang luput dari pandangan.”

Tetapi dalam mimpinya itu ia heran, tak ada seorang pun yang dikenalnya, semua adalah orang-orang asing, kotanya pun asing.

“Ini bukan Purworejo,” batinnya. Namun hal itu tak mengurangi ketakjubannya, ia mulai menelusuri kota, mencari barangkali ada yang dikenalnya. Dan ia semakin heran.

“Seharusnya mereka tetap bertabrakan, setidaknya satu atau dua kali. Aku saja menabrak vas bunga sewaktu berjalan mundur dari kamar ke pintu depan. Orang yang berjalan maju saja masih sering bertabrakan, apalagi kereta api kalau lewat perlintasan yang tidak ada palang pintunya, suka menabrak mobil sembarangan.”

PAGI harinya, Ruminah bangkit dan melompat ke depan cermin. Setelah merapikan rambutnya yang kusut, ia segera melangkah ke pintu, membukanya. Dan ia terkejut.

Ruminah melihat ayah dan ibunya berjalan mundur. Ia menoleh ke kiri, kucing Persia peliharaannya juga ikut mundur, dan ia pun semakin heran ketika melihat ikan-ikan di akuarium juga berenang mundur dengan ekor warna-warni yang senantiasa bergerak menciptakan riak air.

Apa aku masih dalam mimpi, gumamnya. Ia segera menggigit bibirnya sendiri untuk membuktikan bahwa ini bukan mimpi, ia juga mencubit pergelangan tangannnya beberapa kali, sampai akhirnya lari ke kamar mandi, mengguyur kepalanya dengan air.

Bukan mimpi.

“Ada apa, Ruminah?”

Terdengar suara ayahnya dari arah meja makan. Ruminah segera meraih handuk, ia merasakan semuanya, gigitan di bibir, cubitan, dan guyuran air. Tetapi ia masih tidak percaya. Ia berhambur menuju ayahnya, tentu saja ia berlari maju.

“Ayah. Apa ini masih mimpi?” tanya Ruminah dengan sedikit terbata-bata.

“Hah? Mimpi?”

“Ya. Apa ayah sudah baca satu kalimat di buku puisi yang tertinggal di meja kemarin?”

“Buku puisi?”

“Betul. Buku puisi Afrizal Malna. Kenapa sekarang ayah berjalan mundur? Apa ayah sudah membaca kalimat ‘tak ada yang kita tinggalkan kalau kita berjalan mundur’? Apakah ayah takut meninggalkan sesuatu?”

Mendengar pertanyaan bertubi-tubi itu, justru ayahnya yang tak paham. Sejak kemarin lelaki itu memang sudah heran, mengapa anak gadisnya tiba-tiba berjalan maju, ke depan. Padahal semua makhluk yang bisa bergerak di dunia ini, di atas bumi ini, termasuk waktu dan hari-hari, sejak dahulu jelas berjalan mundur.

“Sudahlah, kamu ini aneh-aneh saja. Ayah mau berangkat kerja.” Lelaki itu beranjak dari meja makan, berjalan mundur ke pintu depan, mengambil sepatu.

“Tapi, Yah. Ini pasti gara-gara…”

Ruminah berlari mengejar ayahnya, tetapi belum selesai ia bicara, gadis itu terkejut bukan kepalang. Jantungnya hampir saja lepas melihat apa yang ada di hadapannya.

Kali ini, sang ayah memakai sepatu di atas kepalanya.
***

Sungging Raga lahir dan dibesarkan di Situbondo, Jawa Timur. Kadang-kadang tinggal di Yogyakarta untuk bekerja.

Sastra Singo Edan Meraung Gemontang

(Reportase, bedah “Salam Mempelai” karya Tengsoe Tjahjono)
Sabrank Suparno
http://sastra-indonesia.com/

Ada beberapa analis yang pernah mengatakan, perihal seluk-beluk kesusastraan Malang. Termasuk asumsi yang dikemukakan bahwa sastrawan Malang cenderung inklusif, tipikal, kaku dll. Asumtor itu menunjuk satu indikator yang menurut pengamatan mereka, sikap sastrawan Malang selama ini menutup diri dengan jaringan komunitas lain, egois, ber-megalomania atas kebesaran masa lalunya. Pendeknya berputar membangun kediriannya, pandangan mengenai kepribadiannya di hadapan dirinya sendiri.

Mungkin demikian kenyataannya. Sambatan serupa juga kita temukan di wilayah mana pun ketika aktivitas kesusastraan mengalami stagnan. Akan tetapi terlalu kerdil, jika sumbatan yang pada akhirnya berakibat kemampatan kesusastraan tersebut dipahami sebagai satu-satunya dikhotomi baku. Sedangkan situasi yang sebenarnya hanya kondisional, untuk merubah lebih sumringah, bukan karena pelakunya tidak mampu, melainkan tak mau.

Menilik lebih jeli perihal geliat sastra yang ada di Malang sekarang, tidaklah separah gambaran di atas. Komunitas Pelangi Sastra Malang yang dipandegani rekan Denny Mizhar, terbukti mampu meng-agen-da-kan kecipak kesusastraan yang rutin tiap bulan. Itu terhitung satu komunitas. Sedang dalam lingkup wilayah Malang, ada puluhan bahkan ratusan pegiat sastra dari berbagai jebolan kampus, baik yang bergerak di komunitas pun independent.

Bukti adanya geliat sastra di kota pendidikan ini terlihat pada tanggal 23 Januari 2011 pukul 9;00 pagi. Dimana Komunitas Pelangi Sastra mengadakan bedah kumpulan puisi “Salam Mempelai” karya Tengsoe Tjahjono. Acara yang diadakan di Aula Perpustakaan pusat Kota Malang JL. Raya Ijen 30A itu mampu menarik perhatian pengunjung perpus yang setiap hari berjubel. Maklum bertepatan hari Minggu yang di sekitar kawasan itu digelar pasar dadakan; pasar Minggu pagi.

Sepanjang tergelarnya acara tampak lebih rampak dengan iringan alunan Swara Akustik garapan dua musisi sepuh yang masih bersemangat, mBah Antok dan Pak Abi. Denting dawai kedua misisi inilah yang menghantarkan Grace Forevah membacakan larik-larik puisi guratan Tengsoe. Sastra seperti menyatu dalam jiwanya. Power suaranya menunjang, membuat Grace mampu membacakan puisi tersebut lebih hidup.

Yang tak kalah mengesankankan ialah gadis sepantaran Grace, Maria Dini anak perempuan Tengsoe. Meski tak sepiawai Grace, pengunjung seperti merasakan jalinan kemesraan bersastra antara bapak dengan anaknya. Tampak mata Tengsoe berkerling kaca ketika anaknya membacakan puisi karyanya.

Setelah diulas lebih komprehensif oleh sastrawan muda Yusri Fajar yang telah menyelesaikan kuliahnya di Jerman dan kini mengajar di FIB Univ Brawijaya, buku “Salam Mempelai” berubah menjadi secawan anggur. Tak heran jika banyak pengunjung segera meneguk sejudul puisi untuk dibaca sebagai sela acara berlangsung. Sebut saja Nanang penyair Malang dkk, Alex dari Komunitas Rebo Sore Surabaya yang sengaja nimbrung pagi itu. Pun Ibu Faradina, selaku pecinta sastra yang berdomisili di Malang ini, turut kesemsem untuk membacakan secara spontan dengan lihainya. Sedang Bonari Nabonenar juga sempat menjenguk acara yang digagas kaum muda tersebut. Nurel Javissyarqi (penyair Lamongan) membaca puisi yang berjudul “Pengantin Pagi,” dan Denny Mizhar berhasil menuntaskan pembacaan puisi terpanjang dalam buku itu dengan judul “Lia dan Rambutnya.”

Menurut Yusri Fajar, penyair seusia Tengsoe Tjahjono masih terkesan optimis membangun reruntuhan sejarah Indonesia. Terbukti dari beberapa puisinya dipenuhi nuansa akulirik-romantis yang dituangkan secara hati-hati sebagai bentuk rekaman perjalanan merantaui ke berbagai wilayah di Nusantara. Padahal setiap penyair selalu dihadapkan tiga permasalahan mendasar selama hidupnya; politik, eksistensi dan metafisik. Sedang keprihatinan Tengsoe terhadap ketimpangan sosial, digambarkan dalam puisi “Rembang Dolly” yang digurat secara stereotype yang dinilai berhasil tak membuat PSK tersinggung.

Selain Denny Mizhar, geliat sastra di Malang juga bisa kita jumpai kegetolan mBak Ratna (Cerpenis kawakan) yang hingga kini rutin menumbuhkembangkan potensi berkesenian kawula muda. Sebagai konsekwensi seniman, yang meski pun tidak wajib hukumnya, mBak Ratna pada tanggal 23 Januari jam 7 malam, sibuk melangsungkan acara rutinan yang dikenal ‘Musik Arbanat’, ramuan aransemen dari beberapa biolis muda.

Predikat Malang sebagai kota pendidikan, otomatis disertai pembludakan berbagai jenis kampus, fakultas dengan segala macam perkuliahannya yang diamberi pembelajar sejagat berduyun-duyun dari seantero Tanah Air. Meski masyarakat Malang bercorak urbanisme; wilayah potensial untuk membangun imperium kesusastraan setara kota-kota megapolitan lain di Indonesia.

Malang, dengan psikologi kota yang dihuni penduduk rata-rata berintelektualitas tinggi, keberadaan sastra cukup berarti. Walau sastra hanya setara garam, yang dipandang remeh-temeh dengan disiplin ilmu hidup lainnya, ternyata menjadi bumbu penyedap kebuntuan, kegersangan, kepenatan jiwa seluruh kaum profesional ketika mentok pada titik kejenuhan. Seringkali sms atau facebook dari para dosen, mahasiswa non sastra, ”Cak! Ajari aku bersastra. Ampang rasanya keilmuanku tanpa disertai sastra.” Menggauli sastra berarti membiasakan diri berperilaku lembut, menjaga kearifan bersikap sosial, mengasah ketajaman intuisi, merangsang kepekaan perasaan, menyelami kedalaman jiwa, mengembangkan wawasan luas, bahkan menuju spiritualitas (Budaya Tanding Emha).

Keberadaan Pelangi Sastra Malang hanyalah Gogor (anak macan) mungil yang pada saatnya tumbuh besar sebagai Singa nan lantang berkoar. Kapan? Tak butuh waktu lama. Asal para pecintanya segera merapat rukun dan guyup. Diawali kebersediaan para singa sastra untuk bertengger di pelataran kampus. Kemudian berlompatan antar ubung-ubung kampus lain. Barulah segera ancang raungan ke delapan penjuru mata angin.

*) Lahir di Jombang 24 Maret 1975. Redaktur Bulletin Lincak Sastra. Beralamat di Dowong RT/RW: 08/02. Desa Plosokerep, Sumobito, Jombang. Email: sabrank_bre@yahoo.com

Pergerakan Sastra di Malang

Denny Mizhar
http://sastra-indonesia.com/

Polemik pembacaan atas pergerakan sastra di Malang dan pengakuannya pada wilayah Jawa Timur terjadi sejak lama. Tan Tjin Siong (1989) pernah menulis dengan nada gugatan dengan judul “Peta Sastra Malang” : “Sebagai warga Jatim pecinta sastra, rasanya kurang sreg kalau selama ini hanya keberadaan atau kegiatan sastra di Surabaya yang mendapat porsi paling banyak untuk dibicarakan. Ada kesan penganak tirian terhadap daerah lain…. Nah, apa Malang tak punya peta sastra yang menarik untuk dibicarakan? Ada. Bahkan bahkan peran sastranya di Jawa Timur tak bisa diabaikan”. Apa yang dituliskan oleh Tan Tjin Siong mendapat balasan oleh Sauripan Sadi Hutomo (1994) dalam bukunya “Kronik Sastra Indonesia di Malang” bahwa gugatan oleh Tan Tjin Siong tidak berdasar jika melihat dokumentasi-dokumentasi secara mendalam apa yang dilakukan oleh generasi pendahulunya di Malang. Sauripan Sadi Hutomo membagi dua pembacaan atas sastra Malang yaitu pembacaan sastra secara Emik dan Etik. Pembacaan bersifat Etik yakni pembacaan yang dilakukan oleh orang luar Malang sedang Pembacaan Emik pembacaan yang dilakukan oleh orang Malang sendiri.

Apa yang dilakukan oleh W. Harianto (WH) dengan tulisannya di Kompas Jatim pada 23 Desember 2010 adalah pembacaan secara Etik terhadap Perpuisian Mutahir Malang. WH menyebutkan ada nama tiga penyair Mutahir Malang. WH mengatakan “Terbukti pada beberapa tahun terakhir, booming penyair itu hanya euforia dan pseudo-reality. Namun, tidak banyak yang tercatat dari Malang ketika arah perpuisian kita sebatas kontemplasi redaksi di ruang tertutup”. Menjadi pertanyaan saya adalah ruang tertutup itu ruang yang hanya bisa dinikmati penyairnya saja atau tertutup hanya di Malang? Tetapi realitasnya tidaklah benar jika hanya berada dalam ruang tertutup itu. Jika menelisik gerakan penyair-penyair Malang. pada era 2000-an hingga sekarang. Misalnya terbitnya beberapa antologi puisi secara komunitas yang meluas atau persingungan penyair-penyair Malang antar komunitas dengan daerah lain. WH juga mengatakan bahwa “Malang hanya memiliki prosais Ratna Indraswari Ibrahim”. Peryataan itu akan gugur dengan sendirinya jika membaca antologi cerpen “Pledooi: Pelangi sastra Malang dalam cerpen” yang diterbitkan oleh MOZAIK BOOK bekerjasama Dewan Kesenian Jawa Timur.

Selain itu penyebutan nama-nama penyair mutakhir oleh WH masih belum merepresentasikan penyair Malang. Masih ada beberapa nama yang harus di sebutkan dalam dimanika kepenyairan Malang. Selain Ragil Suprinto Samid, Yusri Fajar dan Denny Mizhar masih ada beberapa nama jika hendak menyebutkan nama-nama penyair mutakhir Malang di antaranya Abdul Mukid, Lodzi Hadi, Lubis Grafura, Liza Wahyu, Masdar Zaenal, Masaly, Aziz Abdul Ghofar Andi Wirambara, Faradina I, Amrullah Budari, Ria AS, Tsabit Nur Paramita, Johan W, Royan Dwi J, Hasan Caleg, dll. Nama-nama itu yang pernah mengisi buku-buku antologi puisi yang diterbitkan secara indie, antologi puisi tunggal juga bersama ataupun mempublikasikan karyanya melaui media internet.

Gerak Sastra Malang

Jika WH melakukan pembacaan secara etik maka saya akan membaca secara emik. Gesekan-gesekan penyair malang dengan pergerakannya seusai periode 90-an. Pertama dapat diamati lewat komunitas-komunitas yang dibentuk oleh penyair Malang. Ada beberapa komunitas diantaranya Forum Penyair Muda Malang, Bengkel Imajinasi, Komunitas Sastra Reboan Pustaka Rakjat, Unit Kegiatan Mahasiswa Penulis UM, Komunitas Jalaludin Rumi, Komunitas Pramoedya, Komunitas Sastra Parkiran, Lembah Ibarat, Mafia Sastra UMM, dll. Saya pikir kesepian Puisi Malang yang disitir oleh WH tidaklah terjadi. Interaksi karya dan diskusi karya terjadi dalam komunitas-komunitas tersebut. Beberapa komunitas-komunitas tersebut pernah disinggahi beberapa penyair atau sastrawan yang sudah punya nama di percaturan sastra koran ataupun mereka yang terlibat dalam dinamika sastra Indonesia. Dan mereka melakukan diskusi intens.

Bagi saya, tidak perlu risau, Malang tidak perna dibaca oleh otoritas sastra Jawa Timur. Toh HB Jasin penah menulis “sastra berbahas Indonesia tidak hanya terjadi di pusat saja (baca: jakarta) tetapi di daerah-daerah juga ada (Sauripan, 1994). Ungkapan seorang paus sastra tersebut dapat digubah menjadi sastra tidak hanya terjadi di surabaya tetapi juga ada di Malang ataupun daerah-daerah wilayah Jawa Timur. Maka tidak menjadi soal jika Malang tanpa harus dibicarakan oleh Surabaya tapi Malang bergerak kesustraannya dengan caranya sendiri.

Akan tetapi interaksi antar komunitas-komunitas sastra di Malang kira-kira setahunan ini mulai redup. Karena penyair atau sastrawan Malang kebanyakan adalah mahasiswa, setelah lulus kuliah, sedikit yang menetap di Malang. Sehingga naik turunya komunitas-komunitas sastra di Malang terjadi. Kampus tidak bisa dipisahkan dengan gerak perpuisian di Malang. Karena basis atau kantong-kantong komunitas sastra masih didonomasi oleh kampus. Dari pergerakan sastra di Malang masih menyisakan satu problem, yakni pembacaan atas karya-karya penyair Malang secara mendalam dan koprehensip. Hal tersebut bisa dimungkinkan karena kurangnya kritikus sastra di Malang (?).

*) Pegiat Pelangi Sastra Malang dan Anggota Teater Sampar Indonesia-Malang.

Lembar-lembar Gelap Seorang Pram

Andari Karina Anom
http://tempointeraktif.com/

SECARIK surat mendarat di meja panitia hadiah Magsaysay di Manila, Filipina, pada Juli 1995. Dua puluh lima sastrawan dan budayawan kenamaan Indonesia membubuhkan tanda tangan di lembaran itu. Mochtar Lubis, salah satu peneken surat itu bahkan mengembalikan hadiah Magsaysay yang pernah diterimanya sebagai tanda “berduka”.

Mereka memprotes diberikannya penghargaan sastra itu kepada Pramoedya Ananta Toer karena “peran tidak terpujinya pada masa paling gelap bagi kreativitas di zaman Demokrasi Terpimpin, ketika dia memimpin penindasan sesama seniman yang tidak sepaham dengan dia.”

Apa gerangan “peran tak terpuji” Pramoedya hingga mengalami penolakan sebegitu rupa?

Mari kita tilik pernyataan Pram dalam seminar sastra di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, April 1964-yang dimuat di harian Bintang Timur. Ia menyatakan “jika para sastrawan tak ingin ketinggalan dengan perkembangan politik, maka mereka haruslah aktif dalam perjuangan rakyat dan revolusinya”.

Pada saat itu, Pramoedya adalah pimpinan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), organisasi onderbouw Partai Komunis Indonesia dan Ketua Redaksi Harian Bintang Timur (yang di dalamnya memuat lembar kebudayaan Lentera). Di harian yang dipim-pin Pram itulah, pada 1963, Iramani-alias Letnan Kolonel Njoto, anggota biro politik Komite Sentral PKI yang juga anggota sekretariat Lekra-menulis “sudah datang waktunya untuk menghentikan segala perdebatan apakah seni itu berpolitik atau tidak karena barangsiapa berkata bahwa seni itu nonpolitik, sesungguhnya dia itu reaksioner.”

Maka terbentanglah berbagai pembungkaman hak asasi para seniman selama partai komunis itu berkuasa. Misalnya, pelarangan dan pembakaran buku yang tidak sehaluan dengan mereka.

PKI dan “anak-anaknya” termasuk Lekra mengobrak-abrik buku di perpustakaan USIS, bagian penerangan dan kebudayaan Kedutaan Besar Amerika Serikat, di Jalan Segara (kini Jalan Veteran), Jakarta Pusat. Karya-karya itu kemudian dibakar. Piringan hitam yang dikategorikan musik “ngak-ngik-ngok” (termasuk milik Koes Plus) diperlakukan serupa. Harian Bintang Timur menyatakan sedikitnya ada dua juta buku kontrarevolusi yang dibakar pada masa itu.

Lekra juga melancarkan kampanye menghabisi penerbit-penerbit independen yang dianggap berseberangan. Korbannya antara lain penerbit yang mengedarkan terjemahan Dr. Zhivago karya pengarang Rusia, Boris Pasternak, dan sejumlah penerbit buku Islam.

Kampanye pemburukan nama juga dilakukan oleh lembaga kebudayaan ini. Sejumlah seniman dan budayawan yang dianggap berseberangan diserang karya-karyanya. Misalnya Hamka, H.B. Jassin, Usmar Ismail, Sutan Takdir Alisjahbana, Idrus, dan Asrul Sani. Dari angkatan yang lebih junior, ada Wiratmo Sukito, Bokor Hutasuhut, W.S. Rendra, dan Goenawan Mohamad.

Salah satu yang mencuat adalah tulisan di lembaran kebudayaan Lentera, di surat kabar Bintang Timur pada 1962: “Aku Mendakwa Hamka, Plagiat!” Yang dimaksud adalah novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijk. Ulama besar ini tak cuma dilucuti dalam tulisan, tapi juga dilecehkan lewat karikatur yang sa-ngat vulgar. Serangan kian membabi buta. Hamka kemudian dicokok aparat lantaran difitnah berkomplot membunuh Presiden dan Menteri Agama. Tanpa diadili dan tanpa secuil pun bukti, Buya -panggilan hormat kepada Hamka-mendekam tiga tahun di penjara Sukabumi, Jawa Barat.

Mochtar Lubis juga menelan kepahitan serupa. Sastrawan penentang PKI ini sembilan tahun menatap sel penjara, di lokasi yang berbeda-beda. Harian Indonesia Raya yang dipimpinnya pun dibredel dengan semena-mena oleh pemerintah pada masa itu.

Paus sastra Indonesia Hans Bague Jassin turut “kebagian jatah”. Salah satu tudingan Pram yang dimuat di korannya adalah “buku-buku Jassin diterbitkan alat pemerintah federal”. Karya Jassin antara lain Kesusatraan Indonesia di Zaman Jepang dan Gema Tanah Air diterbitkan oleh Balai Pustaka.

Taufiq Ismail, penulis Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI, menyatakan pemaksaan ideologi seni kala itu gencar dilakukan Lekra dan PKI. “Mereka memaksakan pendekatan ideologi seni realisme sosialis yang merupakan landasan filsafat Lekra, pada kaum seniman di luar kelompok mereka,” ungkap Taufiq.

Beragam tindak “pemerkosaan” hak-hak berekspresi itu menggundahkan para seniman dan budayawan. Dua puluh orang pun berkumpul di kantor redaksi majalah Sastra, Jakarta, dan memproklamasikan Manifes Kebudayaan pada 19 Oktober 1963. Naskah Manifes yang menekankan bahwa “Kami tidak mengutamakan salah satu sektor kebudayaan di atas sektor kebudayaan yang lain” pertama kali dipublikasikan di majalah pimpinan H.B. Jassin itu.

Pemerintah kemudian melarang Manifes pada 8 Mei 1964. Tidak satu pun karya kelompok Manifes yang diterbitkan pada masa-masa itu, sehingga mereka harus bergerak di bawah tanah.

Alih-alih membela para seniman, Pramoedya justru menulis di korannya dengan judul Tahun 1965, Tahun Pembabatan Total. Karangan itu, antara lain, me-nyatakan para pendukung Manikebu disebut “mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan setan”. Sehingga, tulis Pram, “pengganyangan ter-hadapnya mau tak mau harus pula secara terorganisir-”-

Pramoedya selaku salah satu pimpinan Lekra juga tidak pernah menentang dan memprotes berbagai bentuk penindasan yang dialami para seniman itu. Seperti dikemukakan penyair W.S. Rendra, Pram dalam seminar di Yogyakarta itu malah memproklamasikan bahwa “pengganyangan terhadap para musuh revolusi harus dilakukan karena masa revolusi harus diajar untuk bisa membedakan mana kawan dan mana musuh revolusi”. Menurut Rendra juga, tulisan-tulisan di harian yang dipimpinnya juga mendukung aksi PKI dan Lekra itu.

Belakangan, pada 1994, Pramoedya membantah. Dalam wawancara dengan Hayam Wuruk-majalah mahasiswa Universitas Diponegoro, Semarang, ia mengeluhkan, “Sekarang (tuduhan-tuduhan itu) malah dipusatkan ke saya. Katanya saya melarang, menekan dan segala macem. Saya punya kekuasaan apa?” Pram menyatakan semua tindakan tercela yang dituduhkan padanya sebagai fitnah belaka.

Namun, seperti diungkapkan W.S. Rendra dalam majalah sastra Horison, Pramoedya adalah pimpinan Lekra yang kala itu pengaruhnya setaraf dengan Dewan Pimpinan Partai Golkar pada masa Orde Baru. Jadi, “Mana mungkin tidak tahu-menahu?”

Selepas dari Pulau Buru, Pramoedya juga pernah membela diri dengan menyebutkan pada waktu itu, ada kekuasaan resmi dan kekuasaan bayangan. Yang dimaksud kekuasaan bayangan adalah militer. Jadi, pelarangan dan pemberangusan itu militer yang melakukan, bukan Soekarno. Bukan pula dirinya. “Saya punya kekuasaan apa?” sergahnya.

Taufiq Ismail menyayangkan aneka bantahan Pramoedya. “Jangankan meminta maaf atas perbuatan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukannya dulu, mengakui saja tidak.” Rendra juga dengan lantang berucap, “Saya tidak sedang memfitnah bila saya berkata bahwa Pramoedya selaku pemimpin Lekra tidak menentang dan memprotes pembakaran buku-buku itu.”

Seperti juga kontroversi hadiah Magsaysay, segenap peristiwa itu mungkin hanya sekelumit kisah dalam episode hidup seorang Pramoedya.

Sastrawan besar itu kini telah terkubur di pemakaman Karet Bivak. Segenap polemik tak ikut mati bersamanya.

08 Mei 2006

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest