Rabu, 24 November 2010

Profesi yang Terlupakan

Aguk Irawan MN
http://cetak.kompas.com/

Novel spektakuler Harry Potter tidak akan bisa dinikmati jutaan penggemar novel di Indonesia bila tanpa melalui proses penerjemahan. Berita-berita internasional yang berasal dari berbagai belahan dunia bisa dinikmati pembaca dalam negeri juga tidak terlepas dari jasa penerjemah.

Bisa dibayangkan, tanpa penerjemahan buku-buku berbahasa Inggris atau kitab-kitab berbahasa Arab, masyarakat akan kesulitan mengerti isi dari suatu buku atau kitab.

Namun, tahukah Anda, siapa yang berjibaku di balik penerjemahan karya JK Rowling sehingga karya itu bisa booming dan dinikmati jutaan orang di negeri ini. Siapa pula yang berperan besar dalam penerjemahan buku berbahasa Inggris atau kitab berbahasa Arab itu?

Pertanyaan seperti ini patut diajukan sebab harus diakui apresiasi masyarakat di negeri ini cenderung melupakan jasa seorang penerjemah. Hal ini bisa dibuktikan ketika karya terjemahan booming, penerjemahnya tak ikut terserempet rezekinya. Di dapur penerbit, seorang penerjemah sering menjadi bulan- bulanan editor dan penyunting. Ironisnya, tak sedikit redaktur penerbit itu, dengan sengaja atau tidak, sering alpa mencantumkan nama penerjemah dari buku-buku karya impor yang mereka terbitkan.

Kenyataannya memang, di negeri ini, profesi sebagai ”penerjemah” masih terasa asing, bahkan cenderung tidak dipedulikan. Tak ada remaja atau anak muda yang berminat untuk menggelutinya atau merebutnya sebagai jalan hidup atau profesi. Buat orang tua, apalagi. Kerja semacam itu tidak memberi kebanggaan apalagi jaminan kesejahteraan.

Hal itu seperti ”didukung” oleh industri buku karya terjemahan yang menjamur sekarang ini, masih belum memberikan penghargaan yang cukup pantas bagi seorang penerjemah. Hal ini bisa dibuktikan dengan sangat minimnya bayaran atas jerih payah mereka. Akibatnya, banyak penerjemah di negeri ini hidup dalam keprihatinan yang sangat.

Penerjemah dalam sejarah

Sebelum Islam datang di semenanjung Arab, terlebih dahulu telah berkembang pendidikan Sassanian yang dipelopori oleh Ardeshir Papakan, misalnya, dengan mengirimkan orang-orang terpelajar ke India dan kekaisaran Romawi untuk belajar bahasa mereka. Kemudian ia memerintahkan penerjemahan karya-karya tersebut ke dalam bahasa Pahlavi.

Mereka, kaum terpelajar yang menerjemahkan karya-karya itu, difasilitasi oleh penguasa. Tak sedikit nama-nama mereka dijadikan ”simbol” kebesaran kekuasaannya sehingga tradisi penerjemahan terus terpelihara secara turun-temurun.

Lambat laun, dari kegiatan penerjemahan ini terbentuk lembaga-lembaga pendidikan baru di kota-kota penting Persia, seperti Akademi Jundi-Shapur dan Akademi Maan Beit Ardeshiri. Dari kedua akademi ini pula muncul beberapa penerjemah ulung dari bahasa Sanskerta, Pahlavi, dan Syria.

Ketika Islam datang dan menemukan kejayaannya, kejayaan itu tidak diperoleh dengan tiba-tiba. Kejayaan itu diperoleh berkat kesadaran penguasa akan pentingnya ilmu pengetahuan dan keuletan para penerjemah. Misalnya, Khalid ibn Yazid ibn Murawiya (704-708 M), seorang penguasa Umayyah dianggap sebagai orang yang mendorong para sarjana Yunani di Mesir untuk menerjemahkan buku- buku Yunani ke dalam bahasa Arab dengan imbalan yang sangat tinggi. Peristiwa ini sering disebut sebagai proses penerjemahan pertama yang terjadi dalam dunia Islam.

Harun al-Rasyid (786-809 M), salah satu penguasa Abbasiyah, mempunyai peranan aktif dalam kemajuan dunia penerjemahan. Bahkan diriwayatkan ia telah mewakafkan lebih dari separuh harta bendanya untuk kepentingan penerjemahan manuskrip-manuskrip kuno Persia ke dalam bahasa Arab.

Al-Makmun, penguasa Baghdad (786-833 M), khalifah Abbasiyah paling berpengaruh, merupakan pemrakarsa pengetahuan dan karya-karya ilmiah melebihi Harun al-Rasyid serta menjadikan pencarian dan penerjemahan manuskrip-manuskrip Yunani sebagai tujuan hidupnya. Ia secara khusus mengirim sebuah misi kepada Raja Byzantium, Leon De Armenia, demi tujuan itu.

Dorongan kerja penerjemahan pada masa kejayaan Islam (golden age) terlihat dari penghargaan penguasa kepada jasa para penerjemah. Hunain ibn Ishaq (808-877 M), misalnya, ketika diangkat dan sebagai pengawas perpustakaan Bait al-Hikmah, setiap selesai menerjemahkan buku diberi hadiah emas oleh Al-Makmun senilai dengan berat buku yang diterjemahkan. Karena itu, tak mengherankan bila Jamil Shaliba dalam bukunya, Al-Falsafah al-Arabiyyah, berkesimpulan bahwa munculnya peradaban Islam disebabkan oleh dua hal utama: penghargaan yang tinggi penguasa kepada penerjemah dan keuletan para penerjemah. Karena dua hal tersebut, pilar-pilar peradaban Islam berhasil melahirkan banyak filsuf, dokter, astronom, ahli matematika hingga hukum berkelas dunia.

Ketika Imperium Islam Bani Abbasiyah semakin lemah oleh konflik internal, dan ketika bangsa Mongol masuk untuk menghancurkan Kota Baghdad, rotasi transmisi ilmu pengetahuan dari Islam ke Barat berjalan juga dengan cara penerjemahan buku-buku. Koleksi buku berbahasa Arab di Kordoba sebagai pusat peradaban kaum Muslim di Eropa telah menjadi cahaya penerang bagi seantero jagat Eropa.

Kemudian ribuan peneliti, pengajar, dan siswa dari seluruh dunia dan terkhusus Eropa telah menjadikan Kordoba sebagai kiblat ilmu pengetahuan dan kemajuan sains. Seluruh ide awal Renaissance dan revolusi sains Eropa berawal dari Kota Kordoba itu. Terbukanya tirai kehidupan baru ini mendorong masyarakat intelektual Eropa untuk menerjemahkan kembali sisa-sisa manuskrip Arab yang berisi berbagai disiplin ilmu ke dalam bahasa Latin, Hebrew, Spanyol, Italia, Catalan dan bahasa lain pada abad ke-12 dan ke-13.

Komitmen kuat

Disadari atau tidak, ilmu pengetahuan yang kita dapatkan sejak sekolah dasar hingga sekarang ini pun tidak terlepas dari jasa seorang penerjemah.

Namun, sekali lagi, profesi penerjemah di negeri ini masih terpinggirkan, bayarannya kecil, dan hanya dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Karena itu, tak sedikit yang menjadikan profesi penerjemah sebagai profesi sampingan. Akibatnya, banyak buku terjemahan yang kualitasnya memprihatinkan.

Tidak bisa lain, jika negara ini ingin maju dalam ilmu pengetahuan dan peradaban, semua pihak harus punya komitmen kuat untuk meningkatkan penghargaan kepada profesi penerjemah. Sejarah telah membuktikan itu.

Aguk Irawan MN Pendiri Pesantren Kreatif Baitul Kilmah, Menerjemahkan dan Menulis Sejumlah Sajak, Cerpen, Esai, dan Novel, Menetap di Yogyakarta.

BERGURU PADA KETERBIUSAN MENULIS BUDI DARMA*

Sutejo
http://thereogpublishing.blogspot.com/

Tanggal 8 Desember 2007 adalah hari pelepasan seorang sastrawan besar Indonesia. Sastrawan itu sering memiliki jargon yang unik, jargon itu diantaranya adalah (i) bahwa dunia sastra adalah dunia jungkir balik, (ii) pada mulanya karya sastra adalah tema, (iii) menulis itu berpikir, (iv) menulis rangkaian dari peristiwa kebetulan, (v) menulis itu seperti naik pesawat terbang (kuatnya imajinasi), (vi) menulis sebagai identitas budaya, karena itu ia hampir menuliskan seluruh tulisannya dalam bahasa Indonesia, (vii) menulis asal menulis dan asal mengikuti mood, tanpa draft, dan tanpa apa pun (sebuah kondisi terbius), (viii) menulis adalah masalah waktu, karena itu menulis akan lancar, manakala suasana menyenangkan untuk menulis tidak terganggu-ganggu, (ix) falsafah “realitas burung” yang mengerakkan, (x) pengarang adalah proses mencari, dan karya sastra adalah rangkaian proses mencari itu, dan (xi) pengarang tidak pernah puas dengan karyanya sendiri.

Dan pada hari itu, bersama itu pula diluncurkan buku untuk memperingatinya berjudul Bahasa, Sastra dan Budi Darma (JP Press, 2007). Buku ini pun mengupas senarai pemikirannya yang tersisa (tercecer) dari Budi Darma. Belajar memaknai proses kreatif Budi Darma tentunya dengan pemikiran imajinatif dan eksploratif. Sebab sebagaimana wawancara imajinatif Budi Darma dengan Sony Karsono dalam Prosa3 (2003:149-198) yang berjudul Obsesi, Burung Ganjil, Perempuan Berkumis tampak merupakan hal terpenting dalam perjalanan proses kreatifnya.

Budi Darma sendiri adalah seorang guru besar yang tahun lalu baru purna. Lelaki yang lahir pada 25 April 1937 ini, sejak muda telah gandrung dengan tulis-menulis. Pada 1974 ia mendapat beasiswa untuk melanjutkan studi di Universitas Indiana, AS, jurusan Creative Writing. Ph.D-nya diselesaikan pada tahun 1978. Karya-karya yang lahir dari jemarinya diantaranya: Olenka (1980), Orang-Orang Bloominton (1980), Rafilus (1988), Solilokui (1993), Harmonium (1995), Nyonya Talis (1996), Kritikus Adinan (2002), Fofo dan Senggering (2006). Beberapa penghargaan telah dikoleksinya. Diantaranya adalah Olenka sebagai novel terbaik DKJ (1983), Hadiah Sastra dari Balai Pustaka (1984), Southeast Asean Award dari Pemerintah Thailand atas karyanya berjudul Orang-Orang Bloominton (1984), Anugerah Seni dari Pemerintah RI (1993), dan Freedom Institut Award (Ahmad Bakrie Award, 2005). Di samping itu, dia pernah mendapat penghargaan dari Kompas, termasuk beberapa cerpen terpilih sebagai cerpen-cerpen terbaik Kompas.

Dunia jungkir balik dalam pengertian pengalaman proses kreatif Budi Darma sesungguhnya merupakan dunia karakter yang mengalir yang alir pada para tokoh. Hal ini sebagaimana tampak kuat dalam Olenka dan Rafilus yang menunjukkan dunia jungkir balik itu. Dunia absurd yang tak terdeteksi oleh logika. Dan karena itu, logika ditabrak, filsafat diusung. Sebuah penjungkirbalikkan yang syah dalam karya.

Terkait dengan penjungkirbalikan itu, maka hal yang menariknya adalah bagaimana pentingnya tema dalam penulisan karya. Tema memang seperti sumur yang tanpa dasar, muara cerita tempat mengalir segala karakter melalui tokoh yang lahir melalui tema itu sendiri. Dengan demikian, tema seperti rumah pertama yang diancangkan, sementara tokoh dan karakter, alur dan peristiwanya, hanya merupakan penyangga cerita. Hal pengiring kemudian yang sekarang berkembang dalam pengalaman kreatif Budi Darma adalah nalar dan bahasa. Ketiga hal demikian merupakan hal penting yang saling bergandeng tangan.

Menulis itu berpikir. Berpikir artinya bernalar, bernalar artinya berbahasa secara cermat. Seperti dalam pengolahan tema yang memanfaatkan kemampuan bernalar dan berbahasa, berpikir adalah seperangkat kerja berbahasa yang elok dalam merangkai pemikiran. Karena para tokoh juga menyampaikan pemikiran, maka bercerita hakikatnya juga berpikir melalui para tokoh di dalamnya. Ujungnya, tokoh-tokoh yang diciptakan hidup dalam pikirannya sendiri (meskipun tentu diciptakan penulisanya).

Dalam konteks kehidupan berbahasa masyarakat intelektual kita seringkali terjadi kesalahan-kesalahan berpikir. Bagi Budi Darma, karena itu, pertama-tama syarat penulis ada dua hal (meminjam bahasa Prof Febiola): (a) ketajaman hati dan (b) kecerdasan berpikir. Dua hal ini tentu menjadi sebuah perpaduan pikir dan hati. Tak heran, jargon Budi Darma yang sering penulis dengar adalah menulis itu berpikir. Kecerdasan berpikir –yang dalam konteks temuan motivasi terakhir— mencakup berpikir sadar dan bawah sadar. Berpikir sadar menuntut pada kemampuan mengumpulkan informasi, membandingkan, menganalisis dan menilai. Sementara, kemampuan berpikir bawah sadar sesungguhnya lebih kompleks dan rumit. Dalam bahasa Adi W. Gunawan, kecakapan berpikir ini mencakupi: kebiasaan, emosi, memori jangka panjang, kepribadian, intuisi, kreativitas, persepsi, dan believe plus value.

Dengan kata lain, penulis sesungguhnya adalah kompleksitas berpikir yang terentang dalam tali otak kanan dan kiri. Bawah sadar dan sadar. Bahkan jika dicermati kecakapan berpikir bawah sadar lebih dominan daripada berpikir sadar. Hal ini, didasari fenomena bahwa proses kepenulisan seringkali berlangsung dalam wilayah bawah sadar. Dalam proses kreatif sering dipahami sebagai peristiwa mooding. Karena itu, barangkali dapat disimpulkan jargon Budi Darma yang mengatakan menulis itu berpikir sesungguhnya menyaran pada padang lapang keluasan cakupan berpikir yang demikian. Menulis sebuah kompleksitas berimajinasi, berempati, bermeditasi, beraksi, bernaluri, berkreasi, berkepribadian, berkeyakinan, beremosi, berkebiasaan, berpersepsi, dan seterusnya.

Sementara itu, ketajaman hati akan mengingatkan kita sebagai penulis penting memiliki: norma, moral, empati, humanitas, dan jenis kodrat “kebaikan” lainnya. Karena hati tak pernah bohong maka kesadaran penulis adalah kesadaran hati nurani. Ketajaman hati lebih dari itu mengingatkan kita akan pentingnya proses mental berpikir bawah sadar.

Hati akan menuntut rasa cinta, buah kasih, rasa sesama, rasa berlibat dalam segala bentuk. Di sini menyaran pada bagaimana menuangkan feeling dan tone penting dalam karya. Sementara, itu bagaimana ketajaman hati juga menuntun pada kemampuan mengkarakterkan tokoh dan kemas setting penting dengan membalutkannya pesan implisit. Sebuah ornamen unsur yang tertali oleh ketajaman hati. Pendek kata: karya sastra merupakan buah kelindan dari kodrat manusia sebagai homo sapiens, homo faber, dan homo ludens. Penuh aroma kognisi, aroma kerja keras, dan aroma imajinasi plus kreasi. Kemudian mengristal pada aroma humanitet yang me-ruh.

Dengan kata lain, karya sastra yang dilahirkan seorang penulis yang memiliki kemampuan berpikir dan ketajaman hati akan mengingatkan tentang “kebaikan”. Kodrat pesan implisit yang selalu dilesapkan, ditata berkelindan dalam ornamen unsur karya hingga memesona. Di sinilah, tampaknya yang menggerakkan Budi Darma dalam menilai segala tafsir dan karya dengan cara yang tak pernah “menyalahkan” tetapi selalu mengajak berenung, merefleksi diri. Sebab hakikat segala sesuatu beroposisi binner, dikotomi yang selalu menuyuguhkan dimensi makna. Tak heran, jika dalam sebuah esai menariknya yang diterbitkan Pusat Bahasa dan Remaja Rosdakarya ia mengatakan sastra sebagai “jendela yang terbuka”. Sebuah oase?

Hal lain dalam pengalaman menulis Budi Darma yang menarik adalah ternyata cerita yang dibangun sering dan banyak terinspirasi oleh peristiwa yang ditemukan secara kebetulan. Kebetulan demi kebetulan yang dirangkai, seakan kebetulan itu adalah sebuah isyarat baginya. Dengan demikian, jika kita menemukan sesuatu yang kebetulan maka menarik untuk direnungkan, direfleksikan, untuk pada akhirnya diimajinasikan ke dalam sebuah cerita. Bagaimanapun, peristiwa kebetulan hakikatnya bersifat khususi, yang tidak setiap orang dapat menemukannya (mengalami?), maka sebuah peluang kerja kreatif dapat bersandar jika diimbangi dengan pemikiran kreatif dan imajinatif. Sebuah makna metaforis dalam praksis kerja kreatif penting untuk terus ditumbuhkembangkan.

Selanjutnya, sebagaimana Budi Darma banyak bercerita tentang keinginannya terbang, maka banyak falsafah burung yang diidolakan dalam karya-karya. Derabat dan Gauhati, misalnya, mengambil tamsil burung ini sebagaimana pengalaman perjalanannya di India.
***

Sebagai seorang esais, Budi Darma sering berbagi pengalaman kreatif –baik secara langsung maupun tidak langsung–. Ada beberapa tulisan yang memuat pengalaman proses kreatifnya: (a) “Obsesi, Burung Ganjil, Perempuan Berkumis”: dialog (“imajinasi”) dengan Sony Karsono dalam Jurnal Prosa3 (2003:149-198); (b) “Memperhitungkan Masa Lalu” dalam Bukuku Kakiku (Sularto dkk, ed, 2004:67-83); (c) “Pengakuan” yang dimuat di kumpulan esai Solilokui (1998), (d) “Mulai dari Tengah” yang dimuat dalam buku Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang (Pamusuk Eneste, 1982); (e) “Prakata: Mula-mula adalah Tema” Pengantar dalam buku kumpulan cerpen Orang-Orang Bloominton (1980), dan (f) “Asal-usul Olenka” dalam novel Olenka (1983). Pada beberapa pertemuan penulis, sempat muncul juga pengakuan “tidak langsung” Budi Darma tentang proses kreatifnya. Yang semuanya penulis (maaf lupa tanggal dan tahunnya): dalam ruang-ruang kuliah ketika Budi Darma menceritakan karya-karya sastrawan semisal Fira Basuki, Sirikit Syah, dan Lan Fang. Kemudian dalam Peluncuran Kota Tanpa Kelamin karya Lan Fang di Toko Buku Toga Mas. Sebelumnya, dalam Pertemuan Sastrawan Nusantara di Surabaya ketika menjadi moderator Budi Darma. Sebelumnya, dalam pertemuan HISKI di Solo ketika UNS jadi penyelenggara. Sebelumnya, jauh sebelum penulis sarjana di IKIP Malang ketika dalam sebuah seminar Budi Darma bersama Zawawi Imron dalam seminar sastra. Terakhir dalam pelepasan Budi Darma sebagai guru besar Unesa sekaligus peringatan 70 tahun pengabdiannya dalam hidup: refleksi pembacaan atas karya Mashuri adalah refleksi tentang pengalaman kreatif di beberapa sisi.

“Pengakuan” sebagai tulisan yang dimuat dalam Solilokui berawal dari pengantar pembacaan cerpen Budi Darma di Taman Ismail Marzuki pada 10 Desember 1982, dimuat di Horison pada Mei-Juni 1982. Sebuah tulisan yang menyibak mengapa dan bagaimana Budi Darma menjadi pengarang.

Kemudian “Mulai dari Tengah” berisi pengakuan Budi Darma berkisar pada masalah yang sama: mengapa dan bagaimana mengarang. Pada beberapa pertemuan, Budi Darma mengatakan mengarang sebagai takdir. Banyak penulis sekarang yang nyaris mengikuti langkah Budi Darma ini macam Mashuri, Lan Fang, Yati Setiawan, dan Wawan Setiawan. Pada kesempatan lain, ketika bertemu dengan HU Mardiluhung, ia juga mengatakan menulis semacam takdir, karena ketika ia diminta kembali untuk menceritakan proses kreatifnya “tidak bisa”.

Mengapa takdir? Kodrat bakat, kemauan, dan kesempatan untuk menulis dalam argumen Budi Darma adalah bagian dari takdir ini. Mungkin ada orang yang memiliki bakat tetapi tidak memiliki kemauan dan kesempatan sehingga tidak mampu berkarya. Ada orang yang memiliki kemauan tetapi tidak memiliki kesempatan dan bakat sehingga tidak mampun menulis. Atau, bisa jadi ada kesempatan menulis karena tidak memiliki kemauan keras dan bakat yang mengelindan mereka tidak juga bisa berkarya. Sebuah takdir memang.

Meskipun dalam diskusi tentang proses kreatif sering kali muncul bahwa bakat bukanlah satu-satunya penentu (takdir?), tetapi akuan menarik Budi Darma adalah refleksi penting jika kita berniat membuka tabir pendora kepenulisan. Bagi kita penting pula merenungkan apa yang pernah diungkapkan Mochtar Lubis bahwa kebakatan hanyalah berandil sekitar 20 persen saja dari keberhasilan kepenulisan. Artinya, 80 persen sesungguhnya dibingkai oleh etos dan kerja keras dalam mewujudkannya. Sekaligus ini mengingatkan kita memang menulis merupakan keterampilan maka tidak ada cara lain dilatihkan seperti kala kita akan naik sepeda motor, berolahraga, berselancar, dan sebagainya.

Refleksi ketakdiran dalam kepengarangan Budi Darma dapat dipahami dalam akuan yang begini, “Tidak menulis menulis berarti berkhianat terhadap takdir. Tanpa menulis hidupnya terasa kosong, dan ia jarang menulis.” (Darma, 1984:2). Sebagai penulis Budi Darma seringkali tidak merasa bahagia sebaliknya sengsara. Sebagaimana diingatkan dalam teori refleksi, bahwa karya hakikatnya merupakan refleksi batin pengarang, sesungguhnya bermuara pada impresi pertama-tama atas realitas yang mengiringinya. Impresi Budi Darma, kemudian akan menjadi terjemah realita macam yang diingatkan dalam teori mimesis. Cerpen Pilot Bejo, misalnya, adalah transformasi imajinasi antara fakta dan fiksi atas realita Adam Air saat itu. Sebuah kodrat manusia yang hakiki memang menulis karena ayat-ayat yang dikalamkan Tuhan pertama kali mentasbihkan untuk pentingnya manusia membaca dan menulis. Sebuah perintah (takdir) manusia untuk menulis. Tetapi, sebagian kecil saja yang merasakan ketakdiran (kewajiban) ini sebagai dosa jika tidak mewujudkannya. Hardjono WS, penulis senior asal Mojokerto itu pun, pernah berpesan ketika di Ponorogo begini, “Ciri manusia itu menulis. Karena itu, jika tidak menulis bukanlah manusia!”

Sumur tanpa dasar proses kreatifnya mengingatkan kita untuk pentingnya berkarya. Ayu Sutarto bilang, menulis itu indah, berpikir itu merajut dzikir, dan berkarya itu merajut pesona. Sebuah aforisme refleksi ketakdiran yang mengesankan. Untuk inilah berkaca dari keberpikiran, kekaryaan, dan langkah menulis Budi Darma menarik untuk dibaca. Berguru pada Budi Darma. Nyantrik untuk memetik makna yang menggerakkan.

Sebelum menulis Budi Darma seringkali melakukan beberapa kegiatan. Wahyudi Siswanto dalam Budi Darma: Karya dan Dunianya (2005) mengisahkan ada empat kegiatan penting yang dilakukannya: (a) berjalan-jalan, (b) membaca, (c) mendengarkan, dan (d) memperoleh pengalaman. Kegiatan pra kepenulisan lazim ditempuh oleh para sastrawan. Sastrawan Danarto misalnya, selalu menulis pengalaman sosialnya dalam buku harian. NH Dini suka mengamati realita. Hamsad Rangkuti pun tak jauh berbeda.

Kegiatan pertama Budi Darma adalah berjalan-jalan. Penyair Beni Setia yang kini tinggal di Caruban, pernah bertutur pada penulis dia juga melakukan kegiatan seperti Budi Darma. Berjalan-jalan untuk menemukan ide. Pernah pada suatu kesempatan ia menaiki bus jurusan Surabaya, naik bus kota, sampai ia menemukan ide untuk kepenulisan. Budi Darma menyenangi kegiatan ini. Bahkan ketika di kampus, penulis sebagai mahasiswanya, sering menemukan Budi Darma berjalan ke kampus. Sapaan halus seringkali dalam bahasa kromo merupakan kekhasan “kelembutan hati”.

Novel-novel Budi Darma sering diilhami oleh kegiatan awal berjalan-jalan ini. Novel Ny Talis, Rafilus, dan Olenka. Pun cerpen-cerpennya macam Derabat, Gauhati, dan Mata yang Indah dia tulis saat berjalan-jalan ke India. Orang-Orang Bloomington adalah refleksi pengalaman perjalanannya tentang kota dan orang-orang Bloomington. “Di samping menghadapi kompleksitas pekerjaannya, Budi Darma suka berjalan-jalan. Tak peduli cuaca buruk, berjalan tiap hari… Bahkan pada saat hujan salju pun Budi Darma tetap berjalan kaki (Budi Darma, 1980:iv). Refleksi perjalanan itu tampak menonjol dalam cerpen “Bambang Subali Budiman”. Di samping itu, “Laki-Laki Tua Tanpa Nama”, “Charles Lebourne”, “Ny. Elberhart”, “Yorrick”, “Orez”, “Joshua Karabish” dan “Keluarga M” adalah hasil amatan dan refleksi-impresi dalam perjalanannya.

Beberapa kali sebenarnya, penulis sempat bertemu dengan Budi Darma sebelum menjadi “cantriknya” di lembaga formal. Di komunitas Toga Mas, misalnya, ternyata dua kali penulis temukan Budi Darma di sana. Budi Darma, seakan memberikan contoh bagaimana sebenarnya komunitas adalah “cara” mengoptimalkan potensi kepenulisan. Di ruang kelas, misalnya, Budi Darma pernah bercerita tentang Lan Fang dan Fira Basuki. Pada saat itu, hati kecil saya bertanya, “Kok begitu runtut Budi Darma menceritakan “latar pribadi”, eh, ternyata dia secara komunitas memang berlibat dengan penulis-penulis muda juga. Teman-teman lain (yang sebenarnya santrinya) banyak sekali, termasuk Mashuri, Wawan Setiawan, dan Shoim Anwar. Di sinilah, maka kepenulisan mengingatkan akan pengalaman banyak orang akan pentingnya komunitas. Sebuah ruang untuk berbagi, belajar, bergumul “dipelukan” guru kehidupan yang tak berdinding.

Hal lain, yang menonjol dari Budi Darma adalah kebiasaan membaca dna berbahasa. “Ketertiban berbahasa” adalah modal terbesar yang memesona. Dalam berbagai forum, yang saya ingat, adalah kemengaliran dalam berbahasa. Sebagian, orang menyebutnya sebagai “pendongeng ulung”. Termasuk ketika dia menceritakan cerpen Mashuri yang bertutur tentang latar dan tokoh dari kota kecil Lamongan, sungguh sama sekali tidak terprediksikan (ini diceritakan saat memberikan pengantar peyambutan (pelepasan?) Unesa atas purna tugas beliau secara formal.

Secara filosofis, kemudian, dapatlah dipahami bahwa menulis fiksi itu sesungguhnya mendongeng gaya baru. Untuk inilah, kemampuan imajinasi dan visualisasi dalam menciptakan citra pembaca menjadi kunci pentingnya. Sugesti bahasa dengan sendirinya menjadi pintu kemenarikan di samping “keruntutan penalaran” cerita yang memesona. Untuk inilah, jika Anda pengin menulis tidak ada cara lain dengan meningkatkan kemampuan berbahasa dan keruntutannya sebagai dinding tembok kepenulisan itu. Bagaimana? Tentu sebuah cermin menarik untuk kita pajang di ruang-ruang kepenulisan kita.

Berfilsafat. Pada sisi lain, sebenarnya kepenulisan Budi Darma seakan-akan mengajakarkan kita untuk terus-menerus mengais makna kefilsafatan. Logika karyanya, seakan menyadarkan akan eksistensi ketokohan yang menuntun pada puncak kesadaran. Perengkuhan makna. Untuk ini, jika kita memasuki dunia kepenulisan maka kecintaan pada filsafat akan menjadi alat lain yang menarik untuk direnungkan. Hakikat filsafat tentunya akan menyadarkan kita akan (a) kesadaran ontologis macam apa to manusia itu, siapa manusia itu, apa sebenarnya realita dan peristiwa itu dst; (b) kesadaran epistemologis macam bagaimana sesuatu bisa terjadi, kita diciptakan dalam kompleksitas proses, mekanisme kehidupan yang unik dan –dalam bahasa Budi Darma— sering terjadi secara kebetulan dst., dan (c) axiologis macam kebermaknaan, kehakikatan, kemakrifatan sesuatu terjadi.

Bersastra dengan sendirinya adalah berfilsafat, begitulah dia katakan pada sebuah ruang. Dalam kesadaran tariqah kesufian sering dikenal bahwa kehakikatan merupakan jembatan menuju kemakrifatan. Bersastra dengan sendirinya adalah semacam tariq untuk mencapai kesufian. Filosofi ini mengingatkan pengalaman berbagai negara maju yang berbudaya mereka menggauli sastra yang pertama-tama (baru menggauli filsafat) atau menggauli filsafat kemudian merengkuh dunia kesastraan. Atau, bisa jadi kedua akan lahir bersama karena memang kodrat kebineran filsafat dan sastra sesungguhnya bisa berwujud satu tetapi berdimensi dan bersisi wajah. Aristoteles adalah contoh filosof yang tidak saja menekuni filsafat tetapi juga sastra.

Pertanyaannya adalah bagaimanakah memanfaatkan kiat filosofis ini dalam kepenulisan? Hakikat kepenulisan adalah kesadaran di satu sisi dan di sisi lain adalah penghantaran komunikasi untuk membangun kesadaran itu sendiri. Karya sastra dengan sendirinya akan menjadi semacam ruang diskusi, refleksi dialogis untuk menyadarkan. Bukan khotbah. Sebab, sebagaimana disadari dalam teori kebenaran yang hakikatnya relatif, maka karya sastra akan selalu mempertanyakan. Karena karya sastra cenderung mengontekskan, meski termasuk pandangan sastra universalisme sekalipun.

Berpijak dari dunia kefilsafatan inilah, maka sesungguhnya pesan menarik lainnya dari proses kreatif Budi Darma adalah bagaimana sesungguhnya berkarya itu hakikatnya menyuguhnya “teks kebenaran” yang bersifat universal. Artinya, filosofi estetik dan kebermaknaannya bisa berlaku di mana saja dan kapan saja. Inilah, yang pada awal tahun 1984 sempat menimbulkan perdebatan unik antara sastra universal dan kontekstual yang dipelopori oleh Ariel Heriayanto dan Arief Budiman. Uniknya, kedua nama terakhir bukanlah sastrawan. Dengan begitu, kebenaran universal dalam teks sastra penting untuk tidak diperdebatkan karena dalam kontekstualitas itu ada universalitas kebenaran dan estetik. Di sinilah, barangkali, salah satu filosofi menarik dari belantara kepenulisan Budi Darma.

Termasuk cerpen Pilot Bejo sesungguhnya secara teks bersifat kontekstual tetapi secara maknawi sungguh memiliki filosofi makna yang menyadarkan akan eksistensi kehidupan bangsa yang konspiratif dan kolutif. Sebuah universalitas bangsa yang menyedihkan. Dalam teks Pilot Bejo, mengingatkan kita akan perbincangan yang dalam dua tahun terakhir yang dipicu oleh presentasi Budi Darma (baik dalam forum maupun media Jawa Pos) tentang fakta dan fiksi dalam sastra. Abdul Hadi, dalam perbincangan dengan penulis di Paramadina (di jelang pengukuhan guru besarnya 2008) menyadarkan kita bahwa hakikat teks tulis itu fiksi. Baik itu teks ilmiah maupun yang biasa kita kenal dengan karya fiksi. Bukankah pengungkapan pikiran sebenarnya fiksi itu sendiri?

Fakta dan fiksi karena itu, barangkali tidak perlu diperuncing. Hanya, dalam pengalaman Budi Darma, ternyata teks sastra yang dihasilkannya –sesungguhnya— banyak yang berawal dari fakta. Khususnya, fakta yang bersifat kebetulan. Dalam banyak akuannya, bahkan beda dalam narasi komunikasinya membedakan manakah yang fakta dan fiksi dalam komunikasinya terjadi secara tipis. Mungkin kerena kemampuan pendongengnya, atau memang, sengaja Budi Darma memformulasikannya dalam kebiasan yang indah. Bukankah abu-abu justru menggetarkan?

Sesungguhnya berbicara tentang pengalaman kepenulisan Budi Darma nyaris tidak dapt diceritakan. Karena baginya, menulis adalah takdir. Tetapi, sebagai ruang bercermin untuk memotivasi kepenulisan, tidak ada salahnya dicoba untuk “mempolakan” pengalaman itu. Tulisan pendek ini, sesungguhnya semacam sekunderisasi dalam empirisitas kreatif Budi Darma. Paling tidak, menyentakkan kita bahwa kepenulisan adalah belantara yang komprehensif, bukan parsial sebagaimana ditemukan di ruang-ruang kuliah dan sekolah kita yang cenderung memparsialkannya. Bukankah di dunia sastra semua bidang nyaris tak berdinding?

Merengkuh kepenulisan dalam pengalaman Budi Darma, satu hal yang penting adalah pentingnya kita mengidentifikasi aspek kebetulan dalam hidup. Kebetulan inilah kemudian –barangkali—bagian dari takdir itu sendiri. Takdir inspirasional di satu sisi dan di sisi lain mengingatkan akan sifat “khususi kepenulisan”. Sepakat atau tidak, pengalaman unik ini adalah pernik menarik yang dapat dijadikan pemantik kreatif para penulis lainnya di masa depan. Bagaimana dengan Anda? Menggauli sebanyak mungkin proses persalinan karya para penulis akan menuntun kita pada padang luas keunikan dunia kepenulisan itu sendiri.
***

*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos.

Sastra Indonesia, Satu Abad yang Sia-sia

Ribut Wijoto
Radar Surabaya (3/10/2010)

Bagaimanakah kondisi kesusastraan Indonesia 25 tahun ke depan? Pertanyaan ini penting dan mendesak untuk dijawab. Jawaban dapat berguna untuk menentukan visi dan dasar kreativitas kesusastraan saat ini.

Ke depan, secara alamiah, bahasa Indonesia akan terpinggirkan. Sastrawan Indonesia tidak akan lagi menulis dalam bahasa Indonesia. Sastrawan akan memilih menulis dalam bahasa Inggris. Mengapa? Beberapa gejala dapat diketengahkan.

Pada keluarga kelas menengah ke atas, saat ini, orang tua lebih suka mendidik anaknya untuk berbicara bahasa Inggris. Dalam kehidupan kesehariannya, orang tua membiasakan anaknya berbincang-bincang bukan dengan bahasa Indonesia tetapi dengan bahasa Inggris. Dalam bidang pendidikan formal pun, orang tua memilih memasukkan anaknya ke sekolah yang menggunakan bahasa Inggris sebagai pengantar. Lihat saja, dalam dua tahun terakhir, orang tua rela mengeluarkan biaya lebih besar demi memasukkan anaknya ke sekolah berstandar internasional.

Apa pengaruhnya? Jelas sekali, anak menjadi lebih pandai berbahasa Inggris daripada berbahasa Indonesia. Tidak hanya pandai, anak terkondisikan menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pertama. Sebagai bahasa ibu. Tidak hanya saat mengungkapkan pendapat, dalam bermimpi pun, anak akan berbicara dan berpikir dalam bahasa Inggris. Jika sudah begini, ke depan, tidak bisa diharapkan mereka akan mampu dan mau menulis karya sastra dalam bahasa Indonesia.

Kondisi berbeda terjadi dalam keluarga kelas menengah ke bawah. Keluarga etnis Jawa misalnya. Orang tua membiasakan anaknya berbicara dalam bahasa Indonesia. Bukan dalam bahasa Jawa. Alasannya sederhana, agar anak bisa lebih maju dibanding orang tuanya. Biasanya, orang tua berbicara sesama mereka masih dalam bahasa campuran, Jawa-Indonesia. Namun kepada anaknya, orang tua selalu menggunakan bahasa Indonesia.

Kondisi berbeda ini lambat laun akan berubah. Tidak hanya keluarga kelas menengah ke atas yang membiasakan anaknya berbicara bahasa Inggris dalam keseharian. Keluarga kelas menengah ke bawah pun akan tergerak untuk melakukan pilihan yang sama. Mengapa? Soalnya, keluarga kelas yang lebih bawah secara psikologis menganggap cara hidup kelas di atasnya sebagai lebih maju. Artinya, pilihan keluarga kelas menengah ke atas bakal menjadi tren. Menjadi sesuatu keharusan.

Secara alamiah, dalam 25 tahun ke depan, ketika anak-anak ini telah remaja bahkan dewasa, kesusastraan Indonesia tidak lagi ditulis dalam bahasa Indonesia. Kesusastraan akan ditulis dalam bahasa Inggris. Sastrawan yang masih menulis dalam bahasa Indonesai dapat digolongkan “memelihara” atau “mempertahankan” budaya bangsa. Tentu saja jumlahnya minoritas dibanding sastrawan yang menulis dalam bahasa Inggris. Sama seperti kondisi sekarang, beberapa sastrawan masih menulis dalam bahasa daerah. Semisal Jawa, Bali, atau Sunda. Jumlah mereka tidak banyak di antara melubernya sastra berbahasa Indonesia. Ke depan, sastrawan berbahasa Indonesai –tidak kurang tidak lebih- nasibnya akan sama. Marjinal.

Perpindahan bahasa dalam sastra tentu sebuah gejala yang sangat serius. Sebab bahasa adalah kendaraan sekaligus ruh dari sastra itu sendiri. Pengaruhnya bisa sangat gawat. Bisa mengarah ke positif bisa pula negatif. Oleh karenanya, pengaruh-pengaruh tersebut harus segera diantisipasi. Setidak-tidaknya pengaruhnya dikenali. Terutama pengaruh buruknya.

Yang paling menakutkan, ke depan, karya sastra berbahasa Indonesia hanya akan mendiami rak-rak museum. Sama seperti karya sastra para pujangga Jawa. Kehilangan pembacanya, penulisnya, dan kehilangan aktualitasnya.

Lihat saja, sejarah sastra Indonesia sekarang. Apakah sastra Indonesia dipahami sebagai kelanjutan dari sastra Jawa (tradisional). Tidak. Sastra Indonesia memiliki keterputusan fundamen dari sastra lama. Sastra Indonesia sekarang dipahami sebagai sastra modern hasil adopsi dari sastra dunia (Barat). Maka muncul bentuk puisi, cerpen, novel, maupun naskah drama. Kesemuanya bukanlah pencanggihan atau hasil pengembangan dari sastra Jawa. Kesemuanya muncul secara alamiah sebagai respon dari perkembangan zaman.

Begitu pula dengan sikap sastra Indonesai terhadap sastra Melayu. Walaupun bahasa Indonesia berasal dari Melayu, sastra Indonesia bukan berasal dari pencanggihan sastra Melayu. Pengaruh sastra Melayu, bisa jadi, cukup berhenti pada karya puisi Amir Hamzah. Sejak Chairil Anwar hingga Mardi Luhung, sastra Indonesia lebih suka mengembara ke khazanah sastra dunia daripada keelokan sastra Melayu. Chairil pun secara terus terang mengatakan, “kami adalah ahli waris kebudayaan dunia”.

Tampaknya, 25 tahun ke depan, sastrawan Indonesia mungkin masih membaca karya sastra berbahasa Indonesia. Tapi dengan satu syarat. Karya sastra tersebut telah diterjemahkan dalam bahasa Inggris. Sastrawan Indonesia sudah tergagap-gagap memahami karya sastra berbahasa Indonesia. Soalnya dalam keseharian, sastrawan dan masyarakatnya telah berpindah ke bahasa Inggris. Bahkan, bisa jadi, karya sastra berbahasa Indonesia hanya dianggap sebagai bagian dari kekelaman masa lalu. Ketika para sastrawan beserta masyarakatnya dinilai belum melebur ke dalam kebudayaan dunia (universal). Ketika sastrawan dianggap masih terjebak dalam hal ihwal nasionalisme. Bahasa Indonesia, bisa jadi, akan “diolok-olok” sebagai “belum beradab”.

Bila kondisi ini terjadi, sejarah sastra Indonesia bakal mengalami dua kali keterputusan. Pertama, keterputusan dari sastra tradisional (sastra berbahasa daerah). Kedua, keterputusan dari sastra nasional (sastra berbahasa Indonesia). Akibatnya, sastra Indonesia akan kembali muda. Dalam artian, sastra yang tradisinya baru tercipta tidak lebih dari 25 tahun.

Ada lagi pengaruh yang lebih mengerikan. Kinerja dan hasil keringat para sastrawan sejak Marah Rusli hingga Binhad Nurohmat akan menjadi sia-sia. Sebatas disikapi sebagai masa lalu yang kelam. Begitu pula dengan kecermelangan puisi Sapardi Djoko Damono, keliaran puisi Gunawan Mohamad, kebinalan puisi Acep Zamzam Noor, apalagi lirisitas puisi Amir Hamzah. Kesemuanya akan sia-sia. Kesemuanya tidak dianggap sebagai bagian dari kesusastraan 25 tahun ke depan, yakni kesusastraan Indonesia yang ditulis dalam bahasa Inggris.

Sastra berbahasa Indonesia kelihatannya hanya berusia satu abad. Dimulai sekitar tahun 1920-an dan berakhir sekitar tahun 2020-an. Inilah kondisi satu abad sastra Indonesia yang sia-sia.

Tidak semua memang akan sia-sia. Beberapa karya sastra berbahasa Indonesia masih mampu bertahan dari gilasan zaman. Karya sastra tahan zaman ini mungkin akan diwakili oleh prosa Pramoedya Ananta Toer. Mengapa? Karena karya Pramoedya memiliki struktur yang kuat (kompleks). Alurnya, penokohannya, latarnya, maupun tema-tema yang diunggahkan. Bahkan dalam cerpen pun, Pram membuat struktur prosa yang utuh. Memang yang disebut cerpen dalam karya Pram, sangat berbeda dengan cerpen yang marak berkembang saat ini, yakni cerpen koran. Cerpen Pram bisa sampai 30 atau 40 halaman. Padahal tren cerpen di koran, maksimal hanya 8 halaman. Maka, cerpen koran buru-buru menghentikan cerita ketika penokohan belum terbentuk. Cerpen selesai ketika cerita belum sempat membangun plot. Nasib cerpen-cerpen koran ini, tampaknya ke depan, dianggap sebagai pemblajaran anak kecil semata.

Ada satu parodi yang menggoda untuk diketengahkan. Dalam sastra Jawa, ada dikenal istilah “pujangga terakhir”, yakni Ronggowarsito. Lantas, siapakah yang layak menyandang gelar “pujangga terakhir” sastra Indonesia. Bisa jadi, jawabannya adalah Afrizal Malna. Pertimbangannya, Afrizal sematalah yang terakhir melakukan perubahan radikal terhadap kesusastraan berbahasa Indonesia. Afrizal mampu menciptakan tradisi puisi yang secara kasat mata terbedakan dengan tradisi puisi sezamannya. Sebuah penciptaan tradisi puisi seperti yang dilakukan Chairil Anwar dan Sutardji Calzoum Bahri.

Oleh sebab sudah diketahui, 25 tahun ke depan, sastra bakal ditulis dalam bahasa Inggris dan kondisi itu membuat keterputusan dengan sejarah sastra, muncul satu pertanyaan responsif yang perlu dibahas. Bagaimana mengantisipasi perubahan besar tersebut?

Pertama, perubahan ke arah sastra berbahasa Inggris tidak bisa dihindari. Penyebabnya, pelan tapi pasti, masyarakat Indonesia akan beralih dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris.

Kedua, sastrawan sekarang harus mulai belajar menulis dalam bahasa Inggris. Artinya, sekalian saja kondisi 25 tahun ke depan tersebut dihadirkan saat ini. Sastrawan tidak menulis untuk tahun sekarang. Tetapi, sastrawan menulis untuk zaman di masa depan. Toh, di Indonesia, media massa yang menerima karya sastra berbahasa Inggris sudah ada. Atau kalau memang percaya diri, karya berbahasa Inggris tersebut dikirimkan ke media massa di luar negeri.

Negara tetangga kita pun, Malaysia dan Singapura, keduanya telah memulai tradisi penulisan sastra berbahasa Inggris. Daripada semakin terlambat, tradisi sastra berbahasa Inggris harus dimulai dari sekarang.

Ketiga, harus ada usaha yang getol untuk menerjemahkan karya sastra berbahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris. Kegiatan ini tidak bisa ditunda karena senyampang para sastrawannya masih hidup. Senyampang masyarakatnya masih terbiasa berkomunikasi dalam bahasa Indonesia.

Jika sampai terlambat, jumlah orang yang ahli bahasa Indonesia keburu langka. Padahal jumlah karya sastra yang harus diterjemahkan begitu bejibun. Bayangkan saja, tiap minggu puluhan koran menayangkan puisi atau prosa baru. Tiap minggu, selalu terbit buku kumpulan puisi baru. Bila ditotal, dalam satu abad usia sastra Indonesia, karya yang diproduksi bisa sampai ratusan juta judul.

Perubahan kondisi kesusastraan Indonesia 25 tahun ke depan tentu saja tidak hanya dalam tataran bahasa. Beragam faktor lain turut memberi pengaruh. Semisal perubahan struktur masyarakat, pemikiran filsafat, temuan-temuan teknologi, perkembangan sastra di Barat. Kesemuanya perlu mendapat porsi untuk menentukan sikap menghadapi masa depan sastra Indonesia.

_______, Studio Teater Gapus, 2010

Ketika Burung Garuda Menjadi Emprit

Teater Dinasti

Rakhmat Giryadi*
http://teaterapakah.blogspot.com/

“Sepinya hati Garuda. Dijunjung tanpa jiwa.Menjadi hiasan maya. Oleh hati yang hampa.Dendam tanpa kata.Mendalam luka Garuda.Disayangi tanpa cinta. Dipuja tapi dihina”

Itulah sepenggal lagu karya Emha Ainun Nadjib, yang akan dilantunkan oleh Novia Kolopaking dan 6 pemain anak-anak untuk mengawali pertunjukan ‘Tikungan Iblis’ Teater Dinasti Yogyakarta, malam ini. Enam anak-anak itu menanyakan arti pertunjukan teater. Dengan sabar Novia menerangkan arti teater dan drama.

Saat Novia bercerita, pertunjukan teater pun dimulai. Pertunjukan itu dibuka dengan tari remo jugag (sepenggal) dan disusul barisan rampokan (bala tentara) yang bersliweran di atas panggung. Sementara itu dua saudara Khabal dan Khabil, sedang berkelahi. Namun sesaat kemudian mereka berdamai. Tetapi, perdamaian itu berlangsung sesaat, saat lengah, Khabal dibunuh Khabil dengan batu bersar. Gegerlah para malaekat di akherat.

Setelah pembunuhan itu, muncul para malaekat yang menyesal melihat kejadian itu. Sementara Iblis yang berdiri disisi lain, meledek dengan berbagai celetukan. “Malaekat kok menyesal,” celetuk Iblis.
Memang, pertunjukan yang akan dimulai tepat pukul 20.00 WIB itu bakal dipenuhi dengan celetukan-celetukan segar. Celetukan itu datang dari Iblis atau Smarabhumi (Joko Kamto) yang merasa dikambing hitamkan atas kerusakan sosial yang sedang berlangsung.

Iblis itu tidak sangar layaknya gambaran iblis selama ini. Ketika turun ke bumi ia macak layaknya turis, memakai kaca mata hitam, mencangklong kamera, dan menenteng tas koper. Iblis pulalah yang menebarkan kehebohan di bumi (Indonesia). Ia datang sebagai tamu agung, dengan membawa burung garuda sebagai hadiah kepada Prawiro (Joko Kamto).Namun betapa marahnya Prawiro, karena yang dimaksud garuda ternyata hanya burung emprit di dalam sangkar. “Ini penghinaan!” teriak Prawiro.

Konflik semakin memuncak ketika Iblis protes kepada manusia yang menuduh dirinyalah yang menyebabkan rusaknya moral masyarakat. Tetapi manusia sudah terkadung percaya dengan cerita-cerita, bahwa kejahatan manusia akibat dari bisikan Iblis. Makanya mereka hanya tertawa ketika Iblis protes.

“Sampeyan jangan guyon. Masak nama sampeyan Iblis? Mungkin sampeyan manusia yang bernama Iblis begitu,” tanya salah satu penduduk.
“Tidak sayalah Iblis. Karena Tuhan hanya menciptkan Iblis hanya satu!” seru Iblis.

Dialog-dialog di atas bakal terjadi di pentas nanti malam. Toto Rahardjo salah satu kontributor pertunjukan ini, mengungkapkan, pertunjukan Tikungan Iblis, merupakan respon kepada berbagai situasi yang sedang melanda negeri ini. Tetapi lebih utamanya, pemantasan Tikungan Iblis untuk mengajak manusia merenungkan kembali eksistensinya. “Sasaran utama kita adalah manusia. Kita sedang mengalami degradasi kemanusiaan,” kata Toto, Selasa (18/11).

Ditambahkan Toto bangsa Indonesia telah mengalami degradasi nilai-nilai secara eksistensial dan dignity (martabat) dari bangsa yang dicitrakan sebagai burung Garuda menjadi burung emprit. Tesis itu dituangkan dalam narasi yang mengisahkan perjalanan eksistensial manusia dari awal penciptaan manusia Adam hingga umat manusia berkembang biak dan membangun peradaban. “Hidup manusia hanya berkisar dari tiga kata kunci, yaitu rakus, merusak bumi, dan saling berbunuhan,” kata Toto.

“Lakon ini menginspirasi kita bahwa masih ada peluang bagi bangsa ini untuk menjadi kelas bangsa Burung Garuda yang memiliki martabat, kewibawaan, kemuliaan, dan kebesaran, bukan hanya menjadi bangsa kelas emprit yang tidak diperhitungkan bangsa-bangsa lain,” tambah Toto.

Sementara itu, berbicara proses pembuatan naskah, Toto memaparkan, proses pembuatan naskah Tikungan Iblis itu dari hasil dialog antara Emha Ainun Nadjib, Indra Tranggono, Simon Hate, Toto Rahardjo, dan Fauji Ridjal. Proses pembuatan naskah seiring dengan proses latihan yang dikomandani Jujuk Prabowo dan Fajar Suharno. “Makanya hingga saat ini naskah terus berkembang,” katanya.

Sementara itu, pertunjukan itu sendiri akan dipenuhi berbagai unsur seni. Berbagai media seni seperti, tari, musik, seni rupa, video, animasi akan mewarnai seluruh pertunjukan yang berdurasi 2,5 jam. Tidak kalah pentingnya, pertunjukan juga diperkuat oleh garapan musik Bobiet Santoso dari Kiai Kanjeng.

Pertunjukan ini menurut Novia Kolopaking dipersiapkan selama empat bulan lebih. Ketika digelar di Taman Budaya Yogyakarta, 28 Agustus lalu, Tikungan Iblis mampu memukau lebih dari 2000 penonton. “Namun di Surabaya kita melakukan perubahan. Seperti masuknya tari remo, dan juga muncul tokoh baru, Laserta,” kata istri Emha Ainun Nadjib ini.

Sementara itu Farid Syamlan ketua Bengkel Muda Surabaya (BMS) mengatakan tiket yang disediakan terjual habis, baik kelas vip (Rp 100 ribu) maupun lesehan ( Rp 50 ribu). “Antusias penonton luar biasa. Kita sudah kehabisan tiket. Bahkan ada penonton yang memesan tempat untuk ayahnya yang terkena stroke,” kata Farid.

*) lahir di Blitar, 10 April 1969. Lulusan Sarjana Pendidikan Seni Rupa IKIP Surabaya 1994. Selain bergiat di teater ia juga menulis cerpen, esai, dan puisi. Karyanya selain dibacakan diberbagai kesempatan, juga dipublikasikan di media massa seperti, Horison, Surabaya Post, Kompas (Jawa Timur), Jawa Pos, Surya, Suara Merdeka, Suara Karya, Sinar Harapan, Aksara, Majalah Budaya Gong, Karya Darma, Panjebar Semangat. Kini bekerja sebagai wartawan.

BUWUN: BAWEAN YANG KE ARAHKU*

(PULAU YANG BERGANDUL POTONGAN KUPING)
Mardi Luhung
http://sastra-indonesia.com/

I
Bawean adalah sebuah pulau yang ada di utara Gresik. Dan salah satu dari Kecamatan Gresik. Bawean, dalam pikiranku, bukan saja nun jauh di sana, tetapi juga sebagai khayalan yang terus menghantui diriku. Sebab meski bagian dari kotaku (Gresik), tapi aku tak pernah ke Bawean. Aku hanya mengenal dan membaca Bawean dari cerita-cerita yang ada.

Bawean adalah pulau perempuan, sebab para lelakinya cenderung merantau. Bawean adalah pulau misteri, sebab sampai kini banyak tempatnya yang masih tertutup oleh kabut rahasia. Dan yang lebih mencengangkan, di Bawean juga ada Pecinan, meski tak ada peninggalannya yang tersisa. Dan menurut cerita, Bawean dulunya pernah disebut Buwun. Dan seterusnya. Sampai suatu ketika, di bulan September 2007, aku dan dua temanku berangkat ke Bawean.

Keperluannya: aku dan dua temanku itu akan membuat sebuah dokumentasi video pendek dan beberapa foto untuk penerbitan buku tentang Bawean. Dan tentu saja, ini adalah saat yang cukup menggairahkan diriku. Apalagi pada saat itu, mendekati Ramadhan 1428 H. Artinya: aku dan dua temanku akan berbarengan dengan para orang Bawean yang pulang dari rantaunya.

Ternyata, ketika aku sampai di Bawean: kepala, tubuh dan perutku seperti diaduk. Betapa tidak, selama dalam perjalanan laut (Gresik-Bawean), aku naik kapal laut yang ramping. Dan aku terserang mabuk laut yang licik. Mabuk yang baru pertama kali aku alami. Mabuk yang benar-benar membuat aku kelenger dan tak berdaya. Aku muntah tapi tak bisa. Mau tak muntah, tapi isi perut seakan menyundul-nyundul.

Jadinya, saat datang itu, aku seperti menginjak sebuah pulau yang terus bergoyang. Dan terus membuatku mesti tersungkur. Sambil terus-terusan mengurut-ngurut kepala yang pening. Aku benar-benar seperti tersiksa luar-dalam. Sampai-sampai seorang temanku berkata: “Kalok kau begini, bagaimana nanti pulangnya?” Perkataan yang disambut tawa oleh temanku yang satunya.

Ha, ha, ha, memang untuk ke Bawean, tak ada cara lain kecuali harus menumpang kapal laut. Dan kapal laut itu tergantung pada jadwal yang ada. Lain itu, untuk naik pesawat udara tidak mungkin. Sebab, pembangunan bandara di Bawean masih terus diperbincangkan. Dan masih terus dicari pemecahannya. Dalam arti, rencana pembangunan itu masih tetaplah sebagai rencana.

II
Bawean dan bandara udara? Akh, mengapa tidak. Sebab, setelah aku mengitari pulau itu. Mulai dari Kecamatan Sangkapura dan berputar ke Kecamatan Tambak, memang perbincangan perjalanan ke luar negeri, seperti ke Singapura, Malaysia dan sesekali Australia dan Timur Tengah sering terdengar. Dan rasanya, bagi orang Bawean, pergi ke luar negeri itu seperti pergi ke kota sebelah.

Bahkan, ada seseorang yang berkata, jika dirinya ke Malaysia hampir dua atau tiga minggu sekali. Di samping mengurus tenaga kerja, juga melakukan bisnis kecil-kecilan. Dan aku pikir, orang-orang seperti ini, tentu membutuhkan sebuah bandara. Di samping lebih cepat. Juga tak perlu untuk menyeberang ke Surabaya atau ke Jakarta sebelum terbang ke tempat yang ditujunya.

Lalu selama mengitari itu, aku juga menemukan hal-hal yang menarik. Itu terutama berhubungan dengan nama-nama yang ada. Baik nama tempat atau benda nya. Misalnya: Komalasa, Gili, Jukung, Kelotok, Kubur Panjang, Kuduk-Kuduk, Durung, Noko, Pantai Menangis dst. Aku tak tahu, kenapa tiba-tiba denyut kepenyairanku bergelinjang setelah mendengar nama-nama itu. Tapi, karena pada waktu itu, aku hanya menjenguk. Bukan menyapa. Maka aku hanya diam saja.

Nama-nama itu pun aku simpan di otakku. Dan aku tak menulis apa pun. Aku hanya terus dan terus menikmati setiap nama yang ada. Yang aku temui sepanjang mengitari itu. Dan tentu saja, dalam menikmati itu, kadang-kadang aku jadi terhenyak. Bayangkan, di sebuah dusun di atas bukit ada sebuah gapura yang bertulis: “Selamat Datang di Buton Village,”. Atau ketika aku membaca grafiti di pintu penginapan, terbaca: Grand Funk. Sebuah nama group musik cadas dari barat tahun 70-an. Yang ternyata, dipakai untuk nama group dangdut anak-anak muda setempat.

Aku pun hanya geleng-geleng kepala. Imajinasi macam apa ini? Sebuah nama yang konon katanya punya sejarah tersendiri dicomot begitu saja. Apa ini yang disebut peminjaman, pencaplokan atau pemasangan semau gue? Akh, siapa yang mau mengurus. Yang jelas, imajinasi yang aneh itu pun semakin menjadi aneh, ketika beberapa kali aku berpapasan dengan sebuah truk. Di bak truk itu ada beberapa anak muda yang asik berjoget dan bersuka. Sebab, di bak truk itu juga, mereka membawa seperangkat salon dan pengeras suara yang besar.

III
Di Bawean, ternyata aku juga menemukan sekian cerita yang menarik. Misalnya: cerita tentang kuburan yang ukuran panjangnya tidak umum (Makam Panjang); pangeran yang mampu menjaring ikan-ikan di alun-alun (Purbonegoro); seseorang yang dapat memanggil ikan-ikan dengan kentongan (atraksi Arfai); danau yang di tengahnya ada undakannya (Kastoba); kapal-kapal Belanda yang dulu pernah hilir-mudik; orang asing yang dapat bersiul dengan rusa; istri sunan yang berkelana (Waliyah Zainab); adu sapi; sampai pada nasi yang direndam pandan (nasi hijau). Dan semua itu, benar-benar membuat aku makin terhenyak.

Jadinya, aku pun kembali ingin menulis, menulis dan menulis. Tapi apa yang mesti aku tulis? Aku tak bisa. Aku hanya bisa menikmatinya. Seperti ketika suatu malam, aku dan dua temanku itu pergi ke sebuah dusun di atas bukit. Dan dari bukit itu, bintang-bintang di langit tampak demikian gemebyar. Sebuah pemandangan yang jarang bisa aku nikmati di Gresik yang langitnya sudah penuh polusi. Dan semalaman itu, kami tak bisa apa-apa. Kecuali menikmati saja.

Dan sekembalinya. Ya, seperti biasanya, aku pun membayangkan diriku sebagai pemilik tunggal pulau Bawean. Sebuah pembayangan yang memang telah menjadi kebiasaanku sejak kecil. Dan lewat pembayangan sebagai pemilik tunggal itu, aku pun leluasa untuk terbang kemana saja. Dari telaga Kastoba pergi ke Komalasa, terus ke Pantai Menangis, naik Jukung atau Kelotok, mampir ke makam Waliyah Zainab, dan istirahat di Gili.

Dan semuanya itu bisa aku lakukan dengan enak. Bahkan, pada saat-saat tertentu (di dalam pembayangan itu), aku juga merasa seperti penguasa yang kalah. Yang dibuang ke sebuah pulau. Lalu dikubur di sebuah kuburan yang panjangnya tidak biasa. Yang sewaktu-waktu tertentu pun bangkit. Dan mencari penyebab, mengapa dulu sampai kalah.

Ya, sebuah ulang-alik imajinasi yang mirip dengan imajinsai Grand Funk tadi. Imajinasi yang langsung dicomot, dipakai, dibuang, diganti dengan seenaknya. Yang jelas, tiba-tiba dalam pikiranku, Bawean berubah menjadi pulau yang bergandul potongan kuping. Dan dari kuping itulah, aku bisa mendengar sekian nama dan sekian cerita. Dan sekian-sekian itu menjadi pupuk bagi imajinasiku. Imajinasi sebagai penguasa tunggal sebuah pulau.

IV
Nah, untunglah, waktu pulang dari Bawean, ada kapal laut yang besar. Dan aku dengan dua temanku pun naik kapal laut itu. Aku tidak mabuk. Aku bisa menikmati perjalanan pulang itu. Menikmati laut yang biru. Juga gerimis yang kadang-kadang tiba. Tapi, tanpa sepengetahuan dua temanku, pikiranku tetap melayang ke Bawean. Ke pulau yang telah kami tinggalkan. Ke pulau yang masih aku bayangkan sebagai kekuasanku.

Dan pembayangan itu pun terus melekat. Sampai aku tiba di Gresik. Sampai Ramadhan 1428 H datang dan berlalu. Sampai tiba-tiba, aku telah bisa menulis dan mengumpulkan beberapa puisi tentang Bawean. Dan anehnya: mengapa puisi-puisi yang aku kumpulkan dan aku tulis tentang Bawean itu kok jadi lain? Akh, aku terkesiap. Apa benar puisi-puisi ini bercerita tentang Durung, Komalasa, Pudakit, Kuduk-Kuduk, Kastoba, Jukung, Kelotok atau Pecinan?

Tidak! Tidak! Isi puisi itu telah mengalami perubahan yang begitu serius. Lalu apa yang salah? Atau, jangan-jangan, aku telah melakukan pencomotan nama, cerita dan imajinasi begitu saja. Seperti pencomotan nama Grand Funk di pintu penginapan. Ya, aku pikir, aku telah melakukan hal itu. Tapi apa ini salah? Entahlah. Yang jelas, aku merasa tetap sebagai penguasa tunggal Bawean.

Dalam arti, sebagai penguasa tunggal: bukan aku yang ke Bawean. Tapi Bawean yang ke aku. Dan ketika sampai ke aku, aku pun menyambutnya. Menyambut dengan segala apa yang ada di dalam diriku. Baik itu yang ada di mata, hati, otak, jantung, mulut, kaki, sampai pada yang ada di relungku. Jadinya, inilah Bawean yang telah ke arahku. Sebuah pulau yang bergandul potongan kuping. Sebuah pulau tempat aku mendengar. Sebuah pulau tempat aku menghadirkan sebuah pulau imajinasi yang lain. Sebuah pulau dengan persoalan tersendiri.

(Gresik, 2007)
*) Pengantar BUWUN, kumpulan puisi Mardi Luhung, diterbitkan PUstaka puJAngga, 2010.

Suramadu

D. Zawawi Imron
http://www.jawapos.com/

Inilah jembatan yang terpanjang di Indonesia, ”Suramadu” yang terentang antara kota Surabaya dan Pulau Madura, telah diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 10 Juni lalu. Banyak orang kagum, banyak orang gembira, dan berbagai harapan sepertinya ditumpahkan pada jembatan itu. Ada yang menyebut jembatan perekonomian, jembatan industrialisasi, dan jembatan pariwisata untuk merambah Madura. Semua itu, tentu baik, asalkan untuk kesejahteraan bersama.

Bagi saya, jembatan itu bisa juga berperan sebagai jembatan nurani, atau jembatan kasih sayang. Katakanlah jembatan budaya. Pasalnya, sampai saat ini sebagian orang Madura kalau mau pergi ke Surabaya atau ke tempat-tempat lainnya di Jawa, menggunakan istilah ”onggha” yang artinya, naik. Sedangkan kalau mau pulang ke Madura digunakan istilah ”toron”, artinya turun. Jadi, kalau ada seseorang yang bertanya kepada temannya, ”Kapan akan pulang ke Madura?”, yang diucapkan adalah ”Bila se torone ka Madura (Kapan akan turun ke Madura?)”.

Penggunaan istilah ”naik” dan ”turun” sudah berlangsung sejak puluhan tahun atau mungkin ratusan tahun itu tentu mengandung makna tersirat. Makna yang tersirat menunjukkan bahwa Madura seakan-akan di bawah Jawa dan Surabaya. Hal itu mungkin, pada zaman dulu beberapa kelebihan ada di Surabaya dan Jawa. Banyak kebutuhan hidup ada di Jawa. Orang Madura yang miskin kalau ingin hidupnya lebih sejahtera harus merantau ke Jawa. Otomatis dari ucapan ”naik” dan ”turun” itu tersirat seolah-olah Madura lebih rendah dari Surabaya atau Jawa.

Nah, jika Jembatan Suramadu sudah beroperasi dengan tertib dan lancar, jembatan itu diharap tidak sekadar menjadi jembatan fisik. Lebih dari itu menjadi jembatan kesetaraan sehingga ucapan ”pergi” dan ”pulang” tidak menggunakan istilah ”naik” dan ”turun” lagi. Barangkali memang perlu sosialisasi, mulai dari Bangkalan sampai ke ujung Timur Madura, bahwa kedua istilah yang kurang sedap didengar itu harus ditabukan dan tidak diucapkan lagi karena tidak sesuai lagi dengan semangat zaman. Dengan rasa persamaan duduk sama rendah berdiri sama tinggi, jembatan nurani dan kebersamaan itu akan membuahkan visi baru dalam memandang nasib bersama ke depan.

Setelah Jembatan Suramadu diresmikan, saya sadar bahwa jembatan yang 10 tahun yang lalu itu masih impian, sekarang telah menjadi kenyataan. Jembatan itu sudah ada, berupa jembatan raksasa yang tidak akan bisa dibatalkan atau tidak bisa diremehkan.

Ketika jembatan sudah jadi, yang diperlukan tidak lain bagaimana sikap positif untuk menyambut zaman baru bagi Madura. Zaman baru tidak bisa ditanggapi dengan ”ayo kita santai” seperti lirik sebuah lagu. Pada pasca Suramadu, aneka hal baru akan menyerbu Madura. Antara lain industrialisasi, pariwisata, dan budaya asing.

Jika itu dihadapi hanya dengan modal ”santai” oleh orang Madura, atau dengan SDM yang pas-pasan, sudah bisa dipastikan orang Madura hanya akan jadi penonton dan tidak akan mereguk madunya Suramadu. Sudah saatnya putra-putra Madura membekali diri dengan kemampuan prima, dengan ilmu dan teknologi untuk bisa berperan secara optimal. Itu artinya, perguruan tinggi yang mengarah kepada pembekalan skill sudah saatnya banyak didirikan untuk menambah yang sudah ada. Pemerintah dan tokoh-tokoh Madura harus segera berbuat untuk itu.

Di samping itu, dibutuhkan pencerahan kembali dengan perspektif agama dan budaya yang sejak dulu menjadi spirit utama orang Madura. Orang Madura tidak akan hilang, jatidiri budaya Madura bisa tergusur kalau kita melupakan Tuhan, ketakwaan, dan tatakrama yang luhur.

Jembatan raksasa itu tidak hanya menjadi kebanggaan orang Madura saja, tetapi kebanggaan seluruh bangsa Indoensia. Dalam perpsektif rohani, sudah sepantasnya kita tunduk dan bersyukur kepada Allah. Dengan syukur dan sujud kepada Allah, Jembatan Suramadu semoga menjadi rahmat yang bisa dinikmati bersama. Idealnya, jembatan itu harus diimbangi dengan jembatan rohani (kasih sayang) antarmanusia untuk kemuliaan bersama. Dalam iklim yang indah seperti itu, tak seorang pun akan merasa terhina dan terpinggirkan. Semoga! (*)

Tentang Ubud yang Eksoktik dan Keterasingan yang Unik

Hary B Kori’un
http://riaupos.com/

“Kami sangat bahagia, dari tahun ke tahun penyelenggaran festival ini semakin membaik dan diminati banyak penulis maupun pecinta sastra. Kami juga sangat senang, Ubud, juga Bali, kini telah kembali pulih, menjadi salah satu tujuan wisata dunia, setelah tragedi bom yang mengenaskan pada Oktober 2003. Kami bahagia, festival ini bisa diadakan setiap tahun dan kami terus berupaya melakukan perubahan menuju perbaikan…”

Janet De Neefe, perempuan asal Australia yang menikah dengan Ketut Suardana, pengusana kafe dan restoran di Ubud (Kabupaten Gianyar, Bali) —pemilik dua restoran besar dan ternama di sana, yakni Casa Luna dan Indus— tak bisa menyembunyikan kebahagiannya ketika memberi sambutan dalam Gala Opening Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) 2010 di Puri Ubud, Rabu, 6 Oktober 2010. Wanita asal Melbourne yang sudah hampir 20 tahun hidup di Ubud itu, adalah penggagas UWRF di bawah Yayasan Mudra Swari Saraswati, sebuah yayasan yang didirikannya bersama sang suami. Janet berharap, di tahun-tahun berikutnya, UWRF tetap menjadi salah satu festival sastra favorit, yang bisa memberi semangat para sastrawan untuk menghasilkan karya terbaiknya.

UWRF adalah salah satu festival sastra terbaik di Asia. Tak banyak sastrawan yang bisa ikut menjadi peserta di festival tersebut. Saya bahagia karena pada 2010 ini menjadi salah satu peserta undangan asal Indonesia yang dipilih tim kurator yang terdiri dari Triyanto Triwikromo (Semarang), Cok Sawitri (Bali) dan Aan Mansyur (Makassar). Saya juga bahagia karena bisa berkomunikasi dengan 100 lebih penulis dari 30 negara yang melamar untuk ikut dalam iven ini, meski dengan alat komunikasi yang sangat terbatas. Tetapi sastra, adalah alat komunikasi yang tanpa batas.

Peserta dari Indonesia yang diundang dari seleksi ratusan sastrawan yang melamar adalah Kurnia Effendi (Jakarta), Medy Loekito (Jakarta), Nusya Kuswatin (Jawa Timur), Hermawan Aksan (Bandung), Wendoko (Jakarta), Benny Arnas (Lubuklinggau), Imam Muhtarom (Surabaya), Hary B Kori’un (Pekanbaru), Iwan Darmawan (Bali), Magriza Novita Syahti (Padang), Ni Made Purnamasari (Bali), Arif Rizki (Padang), Andha S (Padang), Zelfina Wimra (Padang), Wa Ode Wulan Ratna (Jakarta) dan W Hariyanto (Surabaya). Selain kami, panitia juga mengundang Dewi Lestari, Sunaryono Basuki KS, Toenggoel Siagian, Sosiawan Leak, Debra Yatim, Noor Huda Ismail, dan beberapa penulis lainnya.

Keberadaan saya di Ubud, juga sebuah “kebetulan”. Ini berkali-kali saya tekankan kepada beberapa teman yang bertanya apakah benar saya diundang di festival yang selama ini tak pernah terpikirkan dalam angan saya ini –karena saya yakin sampai kapanpun tak akan bisa sampai ke sana. Faktor kebetulan ini memang benar adanya, karena saya tak pernah melamar (dengan mengirimkan karya berupa buku sastra yang sudah diterbitkan atau dalam bentuk cerpen, sajak, dan esai yang kemudian diseleksi para kurator). Lima bulan sebelum festival, saya diberi tahu oleh Syafruddin Azhar, senior editor Penerbit Kakilangit Kencana, bahwa nama saya lolos untuk ikut festival. Dua hari kemudian, panitia UWRF mengirimkan surat resmi melalui e-mail.

Saya harus berterima kasih kepada editor saya itu, karena novel terakhir saya yang diterbitkan penerbitnya, yakni Nyanyian Kemarau, dikirim oleh Syafruddin ke panitia UWRF bersama beberapa novel penulis lainnya. Novel yang juga “dihargai” menjadi nominator Anugerah Sagang 2010 itulah yang mengantarkan saya ke UWRF bersama tiga penulis dari Kakilangit Kencana lainnya, yakni Nusya Kuswantin dan Hermawan Aksan. Saya juga harus berterima kasih kepada Hivos yang telah membiayai keberangkatan saya dan menanggung semua kebutuhan saya selama di Ubud.
***

Ubud, yang menjadi salah satu kota utama tujuan wisata di Asia Pasifik, memang tempat favorit orang asing. Bukan hanya karena eksoktisme alamnya, mulai dari sawah terasering hingga pasar seni, juga keramahan penduduknya (yang menjadi salah satu setting film Hollywood yang kini sedang diputar di gedung-gedung bioskop di Indonesia yang diperankan oleh Julia Robert, yakni Eat Pray Love), Ubud memang sebuah tempat “yang dipersembahkan Dewata” –begitu penduduk Ubud meyakini. Ada ketenangan, aroma kembang yang relijius di semua tempat, orang-orang yang sabar di jalan yang selalu macet, hujan yang bisa datang berkali-kali dalam sehari…

“Lama-lama di sini, saya bisa meninggalkan keluarga di Jakarta untuk menetap di Ubud,” kata salah seorang teman yang tak mau namanya ditulis, yang merasa waktu seminggu menjadi sangat sebentar.

Hingga festival keenam 2009, UWRF telah mendapatkan predikat sebagai One of The World’s Great Book Festival oleh Conde Nast Travel and Leisure, Among The Top Six Literary Festival in World’s oleh Harper’s Bazzar dan The Best Art Event 2006 oleh The Beat Magazine.

UWRF pertama kali digelar tahun 2004 sebagai respon atas tragedi Bom Bali I 2003. Pasca Bom Bali itu, para turis asing banyak yang memilih pulang ke negerinya, atau tak mau dan tak bisa datang ke Bali karena travel warning yang dikeluarkan banyak negara agar tak berkunjung ke Indonesia, terutama Bali. Orang Australia dan Selandia Baru adalah turis asing terbanyak di Bali, terutama Ubud, selain Jepang, Amerika Serikat, Inggris, dan Hongkong. Ketika itu, Bali seperti menjadi pulau indah yang sepi dan lengang. Kafe-kafe, hotel, pantai atau bukit-bukit yang sebelumnya sangat ramai orang asing, tiba-tiba sepi. Ekonomi Bali yang mengandalkan sektor pariwisata, seperti mati suri.

Janet de Neefe, yang sangat mencintai Bali, sedih dengan keadaan itu. Dia kemudian mengajak teman-temannya sesama orang Australia untuk melakukan sesuatu agar orang asing mau kembali datang ke Ubud, untuk menjelaskan bahwa Bali (terutama Ubud) sangat aman bagi siapapun. Setelah berbagai pembicaraan dilakukan dengan teman-temannya, kemudian diputuskan bahwa iven UWRF menjadi pilihan. Janet kemudian merayu suaminya, Ketut Suardana, untuk meminjamkan modal penyelenggaraan awal, dan setelah itu didirikanlah Yayasan Mudra Swari Saraswati sebagai penyelenggara UWRF.

“Perjuangan Janet dan suaminya untuk menyelenggarakan iven ini sangat luar biasa hingga menjadi salah satu festival sastra terbaik di dunia hingga saat ini,” jelas Kadek Purnami, Community Development Manager UWRF.

Festival pertama berlangsung pada 11-17 Oktober 2004 dengan tema Through Darkness to Light/Habis Gelap Terbitlah Terang, yang diikuti oleh 128 penulis dari 11 negara. Kemudian yang kedua tahun 2005 dengan tema Between World’s/Antar Benua. Inilah festival yang diselenggarakan dalam suasana duka karena empat hari sebelum acara berlangsung, terjadi Bom Bali II. Namun Janet dan “pasukannya” tak patah arang. Festival tetap berlangsung diikuti 100 penulis, hanya beberapa penulis asing yang membatalkan kedatangannya. Hingga 2010 ini, UWRF sudah tujuh kali diselenggarakan, dan tahun ini dengan peserta terbanyak dari 30 negara. Tema 2010 adalah Bhineka Tunggal Ika (Harmony in Diversity), yang memberi penekanan pada pentingnya penghormatan pada keberagaman (pluralitas dan multikultur) saat dunia memasuki era tanpa batas.

“Dalam kondisi seperti ini, kearifan lokal amat penting. Kebudayaan lokal adalah kekayaan yang luar biasa, dan Indonesia memiliki ribuan budaya lokal. Saya kira, Anda harus bangga dengan itu sebagai orang Indonesia. Tidak semua negara memiliki kekayaan seperti itu,” ujar Ezra Bix, penyair asal Australia yang juga ikut berkunjung ke Pekanbaru dalam acara satelite event yang diselenggarakan UWRF.
***
YANG menarik dari festival ini adalah bagaimana penyelenggara menjadikan acara sastra, yakni panel diskusi, bisa menjadi sebuah “tontonan” yang mengundang orang untuk ikut di dalamnya dengan membeli tiket masuk yang harganya sangat tinggi. Untuk bisa mengikuti panel diskusi, seorang pengunjung festival harus membayar Rp200-500 ribu rupiah. Tentu ada beberapa iven yang diberikan gratis, seperti pertunjukan dan beberapa panel yang memang dibuat gratis.

Menjual sebuah diskusi sastra bukanlah perkara mudah. Di daerah-daerah di luar Ubud, di Pekanbaru misalnya, bahkan diberikan gratis dengan pembicara terkenal sekalipun, tak banyak orang yang mau mengikutinya. Tetapi di Ubud, hampir semua panel diskusi diserbu para pembaca sastra dari berbagai daerah di Indonesia yang sengaja hadir di sana, juga dari berbagai negara. “Ini festival sastra internasional yang sangat bergengsi, dan saya jauh-jauh datang dari Vietnam untuk bisa hadir di sini,” ujar Nguyen Van Pamh, seorang mahasiswa dari sebuah universitas di Ho Chi Mint, Vietnam, di Indus Cafe, saat sebuah panel berlangsung.

Saking mahalnya untuk ikut iven ini, banyak pecinta sastra yang “mengubah” dirinya menjadi volunteer untuk ikut ke Ubud. Kebetulan, panitia memang memerlukan ratusan volunteer, dan mereka datang dari berbagai negara, seperti Irlandia, Amerika Serikat, Australia, Vietnam, Inggris, Jerman, Prancis dan dari berbagai daerah di Indonesia. Hellen Sjuhada dan Jean Marlon Tahitoe, misalnya. Dua gadis asal Jakarta dan Bandung ini memiliki pekerjaan tetap di kotanya. Hellen adalah redaktur Majalah Femina, sedang Jean adalah seorang penyir radio di Bandung. Namun keduanya rela mengambil cuti untuk mendaftar menjadi relawan di acara ini.

“Kami tak langsung diterima, harus melamar dengan berbagai persyaratan yang ketat, dan pendaftarnya ribuan,” ujar Jeans, gadis berdarah Maluku ini. Sementara menurut Hellen yang juga masih berstatus mahasiswi di Komunikasi UI, dia mau menjadi relawan karena ingin sekaligus liputan di UWRF. “Soalnya, kalau mendaftar untuk meliput, sangat terbatas,” jelasnya.

Menurut Wayan Juniartha, Indonesiaan Program Coordinator UWRF, para penulis asing yang datang ke festival ini juga harus mengirimkan proposal dan membiayai diri sendiri karena panitia UWRF tak menyediakan fasilitas apapun dengan gratis. Dia mencontohkan, beberapa penulis asing seperti Rabih Alamanddine (Lebanon) didanai oleh Kedutaan Amerika untuk ikut ke UWRF; Ricardo M de Ungria (Filipona) mendapat didanai oleh National Commission for Culture and Arts of Philippines; Joan London (Australia) dibiayai oleh Australia Council; Sitor Situmorang (Indonesia/Prancis) didanai oleh Indonesian Heriatage Society; atau Anne-Ruth Wertheim (Belanda) yang dikirim oleh Letterenfonds and Kingdom of Netherlands. Sementara para penulis Indonesia didanai oleh Hivos, sebuah lembaga asing yang sangat konsen terhadap sastra dan budaya. Para penulis Indonesia, hampir semuanya didanai oleh Hivos.

“Tak ada penulis asing maupun Indonesia yang gratis datang ke UWRF. Kalau mereka tak didanai oleh founding, mereka biasanya dikirim oleh penerbitnya atau biaya sendiri,” jelas Juniartha yang juga wartawan The Jakarta Post itu.

Pengalaman para penulis baik dari Indonesia maupun asing, sangat beragam. Keterbatasan komunikasi (seluruh acara festival memakai Bahasa Inggris) adalah salah satunya. Namun, itu tak membatasi terjadinya dialog, karena ada penerjemah yang selalu ada jika dibutuhkan. Banyak penulis Indonesia yang menggunakan jasa penerjemah, selain beberapa yang memang fasih berbahasa Inggris.

“Saya baru sekali ini ikut sebuah acara sastra internasional. Ini adalah pengalaman sangat berharga bagi saya bisa berbagi pikiran dengan teman-teman sastrawan dari berbagai negara,” ujar Maghriza Novita Syahti, cerpenis asal Padang, yang merupakan peserta termuda dalam iven ini. Maghriza, yang dalam salah satu panel diskusi menjadi pembicara bersama Imam Muhtarom (Surabaya) dengan tema Surreal Worlds (Dunia yang Tak Nyata) dengan lugas dan tanpa takut bicara tentang latar belakang cerpen-cerpennya yang absurd. Salah satu cerpennya yang menjadi pembicaraan dalam diskusi dan peluncuran buku antologi adalah “Tiga Wanita dalam Hitam” yang diterjemahkan menjadi Three Women in Black oleh Toni Pollard. Menurut Pollard, untuk gadis berusia 20 tahun seperti Maghriza, apa yang ditulisnya sangat luar biasa.

Saya sendiri mendapat dua panel diskusi sebagai pembicara. Yang pertama bersama Kurnia Effendi dan Zelfeni Wimra pada Kamis (7/10) di Citibank Laiunge, dengan tema The Power of The Short. Ini tema yang agak “aneh” bagi saya, karena harus bercerita kekuatan karya-karya pendek seperti cerpen, sementara saya “terbiasa” menulis novel. Namun, sebenarnya, novel adalah karya yang “pendek” karena tak semua bercerita tentang keseluruha keseharian sang karakter. Saya menjelaskan bahwa salah satu kekuatan tema sastra Riau hari ini adalah tentang keterasingan masyarakat yang seolah menjadi penonton dalam proses sosial-ekonomi raksasa yang ada di tanahnya. Seorang peserta diskusi asal Jakarta, Hary Surjadi, yang juga aktivis lingkungan, sempat bertanya apakan latar realitas yang saya bawa dalam novel-novel saya, bisa mempengaruhi para pengambil keputusan. Saya jawab, bahwa tugas seorang pengarang adalah menulis, dan apa yang terjadi setelah itu adalah masalah lain, karena karya itu yang akan berbicara sendiri. Beberapa peserta asing sangat tertarik dengan sub-tema yang saya tawarkan, dan mereka berjanji akan mencari literatur tentang Riau hari ini.

Pada panel kedua bertajuk Journalists Making it Up, saya semeja dengan Nusya Kuswantin dan Ioannis Gatiounnis (penulis dan wartawan yang tinggal di Kuala Lumpur berdarah Yunani) di Indus Cafe. Ratusan peserta yang duduk di depan kami hampir semuanya bule. Pokok bahasannya adalah tentang “dunia terbelah” yang harus dilakukan oleh para wartawan yang juga menulis sastra. Kebetulan, Nusya adalah mantan wartawan Kompas dan Surya di Jatim. Nusya menjelaskan, pada dasarnya, ketika menjadi penulis sastra, seorang wartawan justru diuntungkan dengan banyaknya realitas yang sering didapatkan di lapangan. “Tetapi sebagai sebuah fiksi, karya yang ditulis juga harus ada unsur fiksi,” jelas penulis novel Lasmi, novel berlatar komunis tahun 1965 dengan setting di Jatim.

Ioannis juga demikian. Menurutnya, pekerjaan wartawan yang serius dan penulis yang lebih santai, akan memudahkan dirinya dalam mendapatkan tema-tema penting. “Tidak semua persoalan nyata yang saya dapatkan di lapangan bisa dijadikan fiksi. Fiksi tetap fiksi dengan segala aspeknya, dan jurnalistik adalah fakta yang tak bisa disamakan dengan fiksi. Namun keduanya saling membantu,” jelas penulis novel Velvet and Cinder Blocks ini.

Benarkah jurnalis mengada-ada ketika membawa persoalan nyata ke dunia fiksi? Saya dan Nusya sepakat, bahwa “mengada-ada” bukanlah kata yang tepat, karena dengan persoalan nyata tersebut, justru lebih memudahkan dalam membentuk karakter fiksi. Saya menjelaskan tentang karakter Martinus Amin dalam Nyanyian Batanghari dan Rusdi dalam Nyanyian Kemarau. Mereka adalah karakter fiksi, meski dalam plot mereka hidup di dunia “nyata” yang memang benar-benar terjadi. Kebetulan, kedua karakter itu pernah “hidup” dalam tragedi Mei 1998 yang menjatuhkan rezim Soeharto.
***

ADA ratusan panel diskusi yang tak semua bisa diikuti oleh semua penulis. Selain waktunya yang sering bersamaan, juga karena tidak semua panel bisa diikuti oleh para peserta yang nirbayar. Selain itu, tempat yang berjauhan juga menyulitkan semua peserta untuk ikut semua panel. Selain di Neka Museum, Citibank Laounge dan Indus Cafe (ketiganya di Jl Sanggingan Ubud), beberapa venue di luar Ubud juga dipakai, seperti di Denpasar, Singaraja atau Kuta.

“Inilah uniknya festival ini. Semua peserta yang ikut pasti mendapatkan waktu sebagai pembicara dalam panel diskusi, dan itu perjuangan yang tidak ringan dari kami di program acara,” ujar Wayan Juniartha dan Kadek Purnami yang sempat datang ke Pekanbaru dalam satelite event.

Dari tahun ke tahun, ujar Juniartha, peminat UWRF terus bertambah dan penyelenggara harus secara ketat melakukan seleksi. “Tapi yakinlah, peserta dari Indonesia tetap terbanyak, 15 orang, dan semua mendapatkan minimal 2 panel diskusi, mengisi workshop dan membacakan karya,” jelas Juniarta.

UWRF memang festival sastra yang unik, menarik, eksoktik, megah dan inspiratif. Kita seolah berada di alam lain, di luar keseharian sastrawan Indonesia lainnya. Ketika mengikuti Gala Opening, saya merasa menjadi sangat minoritas di Puri Ubud, sebab, dari hampir 2 ribu orang yang hadir, hampir semuanya orang asing, dan orang Indonesia yang hadir di sana bisa dihitung dengan jari. “Kita jadi minoritas di negeri sendiri,” kata Yudhi Herwibowo, novelis asal Solo.

“Tapi ini menarik, karena hampir semuanya adalah pecinta sastra. Tak banyak orang Indonesia yang mencintai dan membeli buku sastra,” sambung Imam Muhtarom.

“Sepulang dari sini, saya akan menulis novel, karena saya tak berhasil menulis novel selama ini,” ujar Benny Arnas yang baru saja menerbitkan kumpulan cerpennya, Bulan Celurit Api.

Ya, banyak hal yang didapat di sana. Tentang bagaimana menghargai kerja kebudayaan, mencintai buku sastra, antusiasme para pembaca, atau tentang bagaimana mengelola iven sastra agar dihargai masyarakat di luar sastra. Dan UWRF berhasil melakukannya, meski kelemahan tetap ada di sana-sini.***

*) Wartawan Riau Pos dan penulis novel yang kebetulan diundang ke Ubud Writers & Readers Festival 2010.

Belajarlah Sastra kepada yang Lebih Tua

AF. Tuasikal
http://m.kompas.com/

Adalah hal yang kurang tepat, bila Beni Setia tidak hadir di Forum Temu Sastra Jatim, lalu menyinggung hal tersebut sehingga asumsi yang dia tulis tidak tepat dan mengambang (kurangnya keakuratan data). Lepas dari hal tersebut di atas, Beni Setia beranggapan bahwa problem sastra di Jatim adalah kemarahan para penyair-penyair yang tidak kunjung di beri kesempatan tampil di media massa, lalu menerbitkan buku sendiri. Ini adalah anggapan dan asumsi yang salah.

Karena problem sastra di Jatim bukanlah hal tersebut, melainkan sedang terjadi krisis eksistensi. Ini semua dapat kita lihat dari para pengurus-pengurus Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT) yang menerbitkan buku karya-karya pengurus dan anggota mereka sendiri. Seperti halnya R Giryadi, Ketua Komite Teater DKJT menerbitkan buku karyanya sendiri drama pilihan 1994-2007 dengan judul Orde Mimpi. Lalu Ribut Wijoto, anggota Komite Sastra menerbitkan buku karyanya sendiri juga sebuah kumpulan esai Kondisi Postmodern Kesusastraan Indonesia.

Dana yang seharusnya digunakan untuk menerbitkan karya-karya para penyair Jatim malah digunakan untuk kalangan sendiri. Adalah suatu hal yang tidak tepat dan tidak etis.

Taufik Ismail barangkali tidak akan terkaget-kaget dengan semangat para penyair Jatim yang menerbitkan bukunya sendiri, di diskusikan dengan komunitasnya sendiri, bila tahu yang sebenarnya kondisi sastra di Jatim.

Menurut hemat saya, sastra koran (media massa) adalah sastra picisan (rendah) karena ekspresi-ekspresinya hanya sebatas hasil dari selera redaksi yang belum pasti punya daya baca sastra yang luas. Sastra yang dimuat di media massa adalah sebuah iklan eksistensi pengarang bukan iklan eksistensi karya. Karena kualitas itu dari redaksi bukan dari pengarangnya sendiri.

Seperti halnya terjadi dalam sejarah sastra tahun 50an, muncul gejala malaisse sastra atau krisis sastra yang terjadi karena rendahnya kualitas karya sastra, di mana karya-karya sastra tersebut berumur pendek (hanya termuat di media massa).

Bila kita harus berkaca, sastra dunia adalah sastra buku, dan sastra sesungguhnya adalah sastra buku. Karena dengan buku itu, kita akan tahu yang sebenarnya kadar rendah dan berkualitasnya suatu karya sastra dari pengarangnya. Seperti Robert Frost (1874-1963), Henry Wadsworth LongFellow (1807-1882), Ralph Waldo Emerson (1803-1882), Edgar Allan Poe (1809-1840), Walt Whitman (1819-1892) dan juga Victor Huggo yang besar oleh bukunya.

Kahlil Gibran

Ketika saya membaca tulisan Beni Setia, pada Kompas, 19/10/2010 saya terpukau dengan kata-katanya yang berbicara tentang Surat Asy Syuara, yang begitu luar biasa menggambarkan dan mengingatkan para penyair agar tidak liar mengumbar imajinasi hingga melampaui batas. Saya ucapkan terima kasih Mas Beni Setia, seperti rasa kagum saya pada Socrates yang saya anggap dewa.

Dan dalam hal ini, saya teringat juga ketika membaca karya-karya Kahlil Gibran yang imajinasinya sungguh luar biasa dan melampaui batas pemikiran manusia. Saya tersihir dan terpukau menganggap karya-karya Kahlil Gibran adalah nabi dan Kahlil Gibran adalah Tuhan.

Namun, ketika saya sadar kembali dan mengucap laillah ha illallah bahwa tiada Tuhan selain Allah, tumbang sudah pemikiran-pemikiran, kekaguman-kekagauman saya tentang para cerpenis, pengarang seperti Albert Camus, dan para dewa-dewa yang saya kagumi tadi. Karena dengan mengucap kalimat bahwa tidak ada Tuhan Selain Allah, saya sadari betul bahwa yang namanya imajinasi adalah milik Allah dan datang dari Allah.

Saya berpikir kembali, mengapa kaum sufi seperti Farriduddin Attar dan Jalaluddin Rumi tidak menulis puisi dengan imajinasi yang membangun imajinasi baru, yang menghidupkan karya itu, artinya menghidupkan sesuatu yang tidak ada, layaknya sutradara menghidupkan naskah drama melalui film-filmnya, dan dalang menghidupkan wayang melalui pertujukannya, yang memberi nyawa pada Arjuna, Rahwana, dan lainnya.

Karena mereka kaum sufi sungguh mengerti dan paham akan kekerdilannya di mata Tuhan, tidak ingin menjadi tuhan-tuhan kecil dalam imajinasinya yang liar terumbar melampaui batas imannya. Karya-karya mereka kaum sufi melanjutkan cerita-cerita dalam Al Quran, dan tidak membuat cerita sendiri.

Sekali lagi saya ucapkan terima kasih kepada Mas Beni Setia atas tulisannya yang menggugah ini, semoga Mas Beni Setia yang saya anggap dewa tadi bisa lebih memahami dan bisa membedakan antara Surat Asy Syuara dengan Surat Asy Syura sehingga tidak menjadi sastra kebacut.

Ahmad Farid Tuasikal Penyair Tinggal di Mojokerto

Taufiq Ismail Salah Tafsir Puisi Mawie Ananta Jonie

Asep Sambodja
http://oase.kompas.com/

Dalam buku Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI DKK (1995), Taufiq Ismail menulis, “Enam bulan menjelang Gestapu, Mawie sudah berkata ‘kunanti bumi memerah darah’. Tepat, karena dia sudah tahu sebelumnya” (lihat halaman 219).

Apa yang salah dari kalimat Taufiq Ismail itu? Pernyataan itu merupakan interpretasi terhadap puisi Mawie Ananta Jonie yang berjudul Kunanti Bumi Memerah Darah yang dimuat di harian Bintang Timur pada 21 Maret 1965. Merujuk pada jalan pikiran kalimat itu, enam bulan kemudian terjadi peristiwa G30S. Dan, Taufiq mengatakan, “Dia sudah tahu sebelumnya.”

Pernyataan “Dia sudah tahu sebelumnya” sama sekali tidak bisa dipertanggung jawabkan. Apakah benar Mawie sudah mengetahui rencana pembunuhan enam jenderal—yang disebut Dewan Jenderal oleh Letkol Untung—dan satu perwira Angkatan Darat pada tanggal 1 Oktober 1965 dini hari—sehingga Bung Karno menyebutnya sebagai Gestok; Gerakan 1 Oktober? Saya pikir Mawie tidak mengetahuinya, karena Presiden Soekarno sendiri tidak mengetahui rencana itu.

Puisi Kunanti Bumi Memerah Darah yang ditulis Mawie itu sama sekali tidak berbicara tentang pembunuhan enam jenderal dan satu perwira Angkatan Darat. Ia berbicara tentang seorang ibu satu anak dan tengah mengandung yang hidupnya nelangsa di ibukota. Penyair menulis “kunanti bumi memerah darah, kuserahkan engkau kepadanya” bisa ditafsirkan keinginan penyair agar Partai Komunis Indonesia (PKI) berjaya dan kemudian orang-orang kecil seperti ibu itu diurus oleh partai.
Untuk mengetahui pesan puisi itu, berikut ini saya kutip selengkapnya;

Kunanti Bumi Memerah Darah

bulan arit di langit
napas terkatung di Ciliwung
anak kecil menangis di pangkuan
seorang perempuan
wajahnya hanyut ke laut
sejak ia datang dari pinggiran kota
dibawa sungai kehidupan

malam ini ia petik kecapi
bersama nyanyi
Ciliwung airnya merah
walaupun merah hidup tampaknya
kunanti bumi memerah darah
kuserahkan engkau kepadanya

diciumnya si kecil dalam badungan
dinantinya si mungil dalam kandungan

tidurlah anak jangan menangis
kecapi dan nyanyi sudah berhenti
kalau kau lihat malam menipis
angina dingin datang menari

bulan arit di langit
cinta dan kasih
bergelimpangan di jalanan
mawar dan wajah
menanti bumi merah

Ciliwung mengalir
kesayangan mencair
derita dan sengsara
bertengkar sejak lama

malam ini ia petik kecapi
bersama nyanyi
Ciliwung airnya merah
walaupun merah hidup tampaknya
kunanti bumi memerah darah
kuserahkan engkau kepadanya

Jakarta, 21 Maret 1965

Kalimat atau kata mana yang menunjukkan pembantaian, sehingga Taufiq Ismail mengatakan Mawie sudah mengetahui akan adanya pembunuhan para jenderal pada 30 September 1965? Kalau hanya membaca judulnya kemudian menafsirkan sesuka hati, akibatnya fatal. Dari pernyataan Taufiq Ismail itu seolah-olah Mawie sudah mengetahui rencana busuk komandan pasukan Cakrabirawa Letkol Untung dan Kolonel Abdul Latief untuk membunuh para Dewan Jenderal.

Saya sama sekali tidak melihat kata-kata yang menyimbolkan ke arah yang disebutkan Taufiq Ismail itu. Saya pikir interpretasi singkat Taufiq Ismail dalam buku Prahara Budaya itu perlu dikoreksi agar tidak membingungkan pembaca sastra yang serius dan terutama tidak merugikan nama baik sang penyair, Mawie Ananta Jonie.

Saat ini, Mawie berada di Amsterdam dan tidak diperbolehkan kembali ke Indonesia sebagaimana sastrawan-sastrawan eksil lainnya. Saya hanya bisa berkomunikasi dengan Mawie melalui buku puisinya, Cerita untuk Nancy (2008) yang diterbitkan oleh Penerbit Ultimus Bandung dan Lembaga Sastra Pembebasan. Puisi-puisi Mawie dalam buku tersebut yang setiap baitnya dua baris dan memiliki irama memperlihatkan bahwa ia sudah terbiasa mengontrol emosinya. Bisa juga diartikan bahwa Mawie sudah memiliki pola yang tetap dalam menulis puisi. Sebagian puisi Mawie dalam buku tersebut menunjukkan puisi yang berlawan; berlawan dari jauh namun tetap memperlihatkan kesetiakawanan. Berikut ini saya kutip sebuah puisi Mawie Ananta Jonie yang mengungkap peristiwa 1965.

Gelombang Laut Itu Tak Pernah Diam

Di masa-masa gelap G30S perburuan itu masih berlangsung
pembunuhan orang kiri terjadi di kota dan di kampung

Aku terima sepucuk surat dari Lepi tertanggal Singapura
yang bercerita kekejaman dan deritanya di penjara

Jauh di negeri orang aku ikut mencari jalan pulang
surat kubuka di pinggir sungai di bawah dangau atap lalang

Apapun yang terjadi setiakawan mereka selamatkan
tidak menyerah di depan kejahatan dan kekejaman

Gelombang laut itu tak pernah diam
walau angina mati dan kelam membenam

Amsterdam, 13 April 2008

Puisi-puisi Mawie dalam Cerita untuk Nancy semuanya memiliki pola yang sama, dan sebagian besar berisi tentang penderitaan yang dialami oleh sahabat-sahabatnya yang berada di tanah air.

Citayam, 12 September 2009

Senin, 15 November 2010

Mazhab Sastra Facebookiyah

Fahrudin Nasrulloh**
http://forum-sastra-lamongan.blogspot.com/

Sarang teknologi telah pecah. Menyebar ke pedalaman renik manusia. Buku, tradisi membaca, dan perjalanan kepengarangan telah dipadatkan jadi arca di kamar facebook. Kemanakah gelombang kesusastraan dan kepengarangan kita sekarang, ketika tentakel teknologi dan gerak perubahan berada di tubir ketidakpastian?

Dunia maya terkini telah menghadirkan produk terbaru yang kita sebut “facebook”. Terkait dengan dunia penulis, tak dapat ditampik, mereka juga menggunakan teknologi tersebut yang berdaya-guna praktis, cepat, dan berbagai kepentingan apa pun bisa digentayangkan di dalamnya secara serius maupun main-main. Inilah bagian dari ekses “guncangan media”, seperti yang disinyalir Afrizal Malna, di mana percepatan bersilang-salip, muncul-tenggelam, dalam aras gigantis yang terus merangsek keseharian manusia. Di sanalah dirayakan segala keterbukaan dan ketakterbatasan itu. Beberapa penulis yang terbilang berduit, pasti memiliki laptop dan modem sendiri untuk ber-internet-an. Malah dapat pula lewat telpon genggam.

Selain facebook yang tak jarang disesaki “status” basi-basi, saya mengamati seorang teman yang nyaris 24 jam nonstop tak beranjak dari laptopnya. Facebook telah dijadikannya sebagai rumah berkarya, mengusung semua karya-karyanya ke dalamnya, mengedit ulang, dan setelah itu menayangkannya dalan “note” ataupun “status”nya. Yang terakhir itu ia gunakan untuk menjalin sapa-kenal dan sambung-rasa dengan teman baru maupun teman lama. Saling bercengkerama, mengomentari, bahkan tak jarang dari teman pendatang “asing” nylonong masuk dan terjadilah percekcokan sengit soal apa saja ihwal politik, puisi, kesenian, pilkada, gigolo di Bali, hingga lomba karikatur Nabi Muhammad. Ini cerita kecil soal seorang penyair yang merasa karya-karyanya tertampik di koran. Ada dendam sampai tak bertekad lagi mengirim. Tapi semangat menulisnya tak pernah padam.

Ia terus bergerak dari batin terdalamnya yang kemudian menjadikan dirinya serpihan daun yang terapung-apung di belantara impiannya. Coba memaknai sesuatu yang tercecer dan mengendap lama dalam tempurung kepala dan daki yang mengerak di tapak kaki. Impian-impian yang diangankan, dalam keseharian yang pedat yang tak bosan-bosan menguntitnya, membentur apa saja yang bahkan kosong tapi kuasa mementalkan. Dan di tembok lapuk itu dirinya seolah membikin bundas batok kepalanya sendiri dengan seabrek kejayaan pengarang dan pemikir masa silam. Tapi tak ia perdulikan. Cinta atas nama puisi yang bergayut dalam dirinya menjelma menjadi hiruk-pikuk was-was, sakwasangka, dan kesumat penuh nafsu tersembunyi. Mengisi apa saja yang di tangkapnya dari jalan-jalan panjang yang pernah dilewatinya. Di lorong itulah ia, melimbur diri dalam dunia maya. Ada yang menyergapnya tiba-tiba di balik layar monitor, liang mause, dan pekatnya flashdisk.

Ia terus menulis, menulis apa saja untuk menebus apa saja yang pernah melongsor dari dirinya. Mengelupaskan diri dalam “status” facebook, hingga yang menguap pengap dari mulut para penyapa harus dipelototi dan “dijempoli”. Tapi dari “entah” itu, ia setidaknya ingin dianggap “ada”. “Ada” yang baginya penting ketimbang merasa sunyi sendiri di pelosok kampungnya. Hidup semakin kompleks. Kebutuhan sehari-hari makin mengimpit. Menulis adalah jalan yang diteguhkan pengalaman panjang sehingga menjadi sejenis iman. Tiba-tiba terasa ada yang menghentak, menelikung diam-diam, dari balik dinding keserbagamangan itu. Ia seperti biksu yang linglung, yang mencari makna bahwa keraguan yang dirawat baik akan menemukan lorong cahayanya sendiri.

Tiap sebatang rokok yang tandas, keringatnya mengudara dikesiur malam dan berakhir di perut asbak yang menggunung latu dan puntung. Kini menulis bukan perkara keramat dan wingit, semua orang dapat merayakan perkembangan teknologi yang dengan begitu murahnya terhadir di depan mata. Dalam fitur-fitur facebook itulah, ia jadikan sebagai medan bertapa. Khayalan cerita pendekar-pendekaran jaman dahulu mengisi imajinasinya. Laku bersyair, baginya, seperti lelaku si pendekar kelana yang menyerap ilmu dari guru ke guru demi menjadi pendekar pilih tanding.

Suatu hari, pada Selasa, 27 April 2010, ia menulis sebuah tulisan berjudul “Para Amatir yang Pemberani”. Tulisan ini agak panjang. Tentang energi menulis dan proses mengimaninya yang harus diperjuangkan. Ia menulisnya langsung di laptopnya dengan seberkas gairah yang barangkali amat jarang didapatinya di luar momen itu. Beberapa kalimat sempat saya rangkum berikut ini:

Inilah kesederhanaan hidup. Semua boleh menulis, asal tak bertolakan dengan hati nurani. Kegunaan nalar kalbu dijalankan. Tak mengganggu pekerjaan lain, yang telah digeluti. Dari pada bengong, menangis tanpa juntrung. Ambillah selembar kertas demi kesejatian nafas. Sebaiknya kita percepat pemberangkatan ini. Sekali-kali jangan mengemis, kita bisa bikin sejarah. Sebenarnya kita punya nyawa rangkap tapi wujudnya berbeda. Kelemahan kita hanyalah keraguan. Jangan ragu hidup sekali dan mati itu pasti. Bukankah keyakinan bakal mempercepat segalanya? Peristiwa pecahnya sarang nalar hampir mendekati turunnya ilmu laduni. Kurangi tidur sedapat mungkin, membasuh muka berkali-kali. Kasih mata ini sedikit garam kalau berani. Atau incipi asam Jawa biar jika diserang kantuk membuta, bisa mengelak. Terus membaca, sebab alam kantuk sanggup menancapkan ingatan sedalam sukma. Jangan sering pakai bantal, itu mengurangi dinaya ingatan. Semakin mengalami, kian kuat menahan apa saja. Singsingkan rasa malu, sebab separuh kesalahan dihasilkan dari situ. Alangkah indah dianggap remeh. Itu malah jadi godam kita suatu hari. Lewat ini darah kebodohan menggejolak. Tanah kehadiran butuhkan pengorbanan, darah juang tumbal semangat. Yang menyerahkan nyawa demi ilmu, merdekalah pemahamannya.

Penulis yang saya sebut itu adalah Nurel Javissyarqi, penyair dan bos penerbit Pustaka Pujangga dari Lamongan. Dari catatannya di atas jelas menyiratkan percikan dari endapan catatan perjalanannya dengan taburan tips menulis, agak filsafati, adventourus, dan sedikit magis. Setelah itu, pada 16 Mei 2010, ia menulis esai yang cukup menarik dengan judul “Untuk Bayi-bayi Besar Sastra Indonesia” yang didiskusikan dalam acara Geladak Sastra yang dihelat Komunitas Lembah Pring Jombang. Sedang pembicara lain, Bandung Mawardi dari Kabut Institut Solo, yang terbilang tulisannya kerap dimuat koran, menjadi kontras dengan pemikiran dan pengalaman Nurel. Yang satu bertapa-karya di facebook, dan yang satunya adalah “pengutuk facebook” yang telah merajai koran dengan esai-esainya.

Mencermati media facebook, juga media elektronik lain, sebagai “medan lintas batas” di mana “demokratisasi sastra” seperti yang disebut-sebut Afrizal Malna bergerak dengan percepatan dan ketakterdugaan yang berseliweran menerobosi keseharian penggunanya. Dan Nurel, setelah karya-karyanya tak digubris koran, ia memasuki lelorong facebook sebagai dendam skizofrenik yang “tak bertuan”.

Dalam arti lain, media koran sebagai sosialisasi karya para penulis, tidaklah menampung semua penulis. Ada ruang sistemik-prosedural yang berlaku dengan rambu-rambu tertentu di sana. Dan pertarungan di dalamnya pada akhirnya adalah bagi pemenang dan yang diberuntungkan. Koran dengan sendirinya telah benar-benar menjadi rezim sastra dan muasal dari segala proses itu adalah kegetolan mengirim karya, selebihnya seleksi, koneksi, dan jaringan personal-emosional yang terjaga baik antara penulis dan redaktur. Sejarah kecil “sastra koran” pada awal 2000-an yang pernah ditulis oleh kritikus Katrin Bandel dalam peta kesusastraan tanah air masih tetap menghangat diperbincangkan.

Dengan menjamurnya facebook dengan segala nilai positif-negatifnya, apakah kita juga melihat ihwal yang masih tersamar bahwa lewat sanakah kesusastraan Indonesia akan menilaskan jejak di kemudian hari? Tentu saja sastra koran adalah sisi lain yang masih kokoh tak tertandingi. Tapi penulis seperti Nurel dan lainnya, juga yang muda-muda dan yang tua-tua namun tetap bergairah, menjadikan facebook sebagai perlintasan jaringan informasi kekaryaan dan event kesenian yang sebenarnya jika diamati dengan cermat sungguh luar biasa perkembangannya. Itu salah satu pengaruh positifnya. Ekses lain mungkin dapat dibayangkan: penulis jadi malas riset berkarya, ajang gosip, tebar cerca dan fitnah, dan berpotensi ambeyen-liver-insomnia. Selain itu, banyak kita jumpai pengarang yang melahirkan karya lewat facebook, seperti Yusron Aminullah, adik Emha Ainun Nadjib, dan lain-lain.

Para penulis dan impian-impiannya mengalirkan karyanya dalam arus besar teknologi dan pergeseran gigantik yang tak tertampik itu. Ini seperti ramalan Jorge Luis Borges: “Di abad mendatang, ketika orang meneliti kesusastraan abad ini, nama-nama yang dikenal sebagai para sastrawan besar bakal berbeda, para pengarang tersembunyi bakal bermunculan, para pemenang Nobel Sastra akan dilupakan. Saya berharap, saya akan dilupakan…”

Nurel dan penulis lainnya yang seperjalanan, tentu mengeram imajinasi puitik demikian dan di batin terdalam mereka terselip tekad untuk mendapatkan tempat selain di koran demi menggores sejarah masing-masing. Dan inikah sejenis tanda era kesusastraan kaum facebookiyah?

-----
**) Bergiat di Komunitas Lembah Pring Jombang
*) dimuat di buletin [sastra] Pawon, edisi30 tahunIII, 2010

Minggu, 14 November 2010

Senyum Menyibab Ilalang

Teguh Winarsho AS
http://www.infoanda.com/Republika

Senja yang indah telah lama lewat disusul gelap merayap. Gelap yang selalu mengingatkanku pada seseorang yang pergi diam-diam kala gerimis turun pada suatu malam. Gerimis yang menyerupai jarum-jarum tajam berdenting di atas genting bagai petikan gitar seorang musafir di hamparan padang luas menyuguhkan kesunyian dan kekosongan. Membuat perasaanku cabik, ngilu dan perih, seperti ada luka lama yang kembali menganga, menjemput resah segenap kenangan.

Ketika malam bergetar di tangan anak-anak pulang mengaji. Membawa obor. Mendekap kitab suci. Berceloteh riang sembari sesekali mencuri pandang di antara semak ilalang, pohon-pohon tua dan temaram cahaya bulan. Tapi, ah, betapa cepat semua itu berlalu. Betapa cepat waktu melesat. Membuat hidup menjadi terasa singkat seperti laju pesawat.

Dan malam itu, mungkin empat tahun berlalu, untuk kesekian kalinya aku mimpi bertemu seorang gadis cantik yang senang menyembunyikan senyum di balik jilbab putihnya. Berjalan malu-malu menyibak rumput ilalang seperti menahan banyak keinginan dan harapan. Betapa sudah lama aku mendambakan dirinya menjadi pendamping hidupku, membangun keluarga sakinah, melahirkan anak-anak shaleh-shalehah. Aku kemudian kerap mengingau, memanggil-manggil namanya, meski saat terjaga yang kutemui hanya kesunyian belaka. Tanganku menggapai-gapai ruang hampa. Sementara tubuhku seolah terhempas jauh ke angkasa.

Lalu, aku termenung sendiri membuka jendela menyaksikan malam: bintang, bulan dan angin yang bisu. Dan begitulah, malam kembali mengalirkan kesunyian panjang seperti lorong penjara bawah tanah. Membuat diriku perlahan-lahan hanyut dalam keasingan purba yang terasa kian jauh tak terjamah. Sejauh mata memandang hanya kegelapan dan kesunyian. Hingga dunia di mataku mendadak menjadi hitam, pekat, seperti malam yang tua dan rapuh.

Ya, di kamar itu, aku selalu dicekam mimpi-mimpi menakutkan pada seorang gadis yang sangat kudamba. Seorang gadis yang diam-diam pergi pada suatu malam menorehkan kesedihan. Terlalu banyak kesedihan di hatiku hingga aku tidak yakin apakah kesedihan perlu dinamai?

Dan, malam itu, entah untuk ke berapa kalinya, aku kembali mimpi bertemu gadis cantik itu. Ia, gadis cantik yang senang menyembunyikan senyum di balik jilbab putihnya. Berjalan malu-malu mendekap kitab suci, seperti mendekap rindu dalam hati. Tapi, ah, ia terasa begitu jauh untuk bisa kurengkuh.

"Fatimah, untuk apa kamu mesti pergi ke Jakarta?"
"Tante Uli yang menyuruhku. Katanya ada pekerjaan buatku."
"Masih belum cukupkah setiap pagi dan sore kamu mengajar anak-anak
mengaji di surau dan madrasah?"
"Aku ingin bekerja. Aku ingin tahu Jakarta."
"Tapi bagaimana dengan anak-anak? Siapa nanti yang akan mengajar mereka mengaji?"
"Aku sudah janji sama Tante Uli. Aku harus berangkat ke Jakarta. Aku tak mungkin membatalkan rencana ini."
"Apakah kamu juga tega meninggalkan diriku?"
"Aku akan selalu menulis surat untukmu."
"Surat?"
"Ya. Aku akan selalu mengabarimu. Kamu tidak perlu mencemaskan diriku. Aku akan baik-baik saja."
"Aku tidak terlalu mencemaskan dirimu. Aku cemas dengan anak-anak yang
mengaji di surau dan madrasah? Kamu tega meninggalkan mereka?"
"Suatu saat aku akan kembali untuk mereka."
"Kapan?"
"Entahlah."

Ya, ya, sejak itu hampir setiap malam aku selalu mimpi bertemu gadis cantik itu. Seorang gadis cantik bersahaja yang senang menyembunyikan senyum di balik jilbab putihnya. Apalagi ketika hari-hari terus berlalu dan berlalu menyuguhkan rentetan kesunyian di hadapanku. Aku kembali seperti memasuki lorong panjang dan kelam. Di sana aku mencium keasingan demi keasingan. Membuat aku merasa takut setiap kali malam datang. Malam yang selalu melemparkanku pada kenangan masa silam tak berkesudahan. "Kami tidak mau mengaji lagi kalau bukan ibu guru Fatimah yang mengajar!" "Ya. Kami hanya mau dengan ibu guru Fatimah?"

"Kenapa?"
"Pak guru tak sepandai ibu guru Fatimah."
"Tapi bukankah ibu guru Fatimah ada di Jakarta?"
"Makanya, kami tak mau mengaji lagi."
"Jangan begitu, mau jadi apa kalian nanti?"
"Ah, masa bodoh! Kami hanya mau diajar ibu guru Fatimah."
"Kapan lagi kalian belajar mengaji kalau tidak sekarang?"
"Tapi kami ingin ibu guru fatimah yang mengajar. Bukan pak guru!"
"Besok ibu guru Fatimah akan datang ke sini. Sekarang kita belajar mengaji lagi. Ayo!"
"Bohong! Kemarin pak guru juga bilang begitu, tapi ternyata bu guru Fatimah tidak datang. Pak guru bohong!"

Kepalaku tiba-tiba berdengung dan berputar seperti ada baling-baling kipas angin yang perlahan-lahan tumbuh. Tubuhku kemudian terhempas pada sebuah ketinggian. Melayang-layang mengarungi kekelaman malam. Bumi semakin jauh kutinggalkan. Jauh sekali.

Dan, begitulah, surau dan madrasah sepi. Anak-anak mengaji di depan layar televisi. Menghitung iklan dan lagu. Menghafal sinetron dan film yang tak bosan-bosan menawarkan kemewahan semu. Juga kekerasaan dan kebohongan. Ya, ya, kemewahan semu dan kekerasan telah menjadi serentet narasi yang tak rampung-rampung dibacakan. Terus direkam dan tumbuh berbiak subur di kepala anak-anak, seperti jamur di musim hujan.

Empat tahun berlalu. Kini aku termangu di beranda surau. Menatap malam yang kian pekat, tua dan rapuh. Di langit kulihat sebuah bintang melayang tenang, cahayanya berkerlip sebentar. Saat itulah hatiku terbetik memanggil nama seseorang. Tapi sepi. Bahkan desah angin pun tak terdengar. Lalu, kuputuskan pulang.

Keesokan hari aku kembali ke surau. Ada banyak kenangan yang luruh di sana. Tentang suara anak-anak mengaji, senja, dan seraut wajah di balik ilalang. Ya, ya, kini aku telah duduk di beranda surau menunggu senja yang sebentar lagi bakal turun mengepakkan sayap keemasannya sambil membayangkan seorang gadis cantik yang senang menyembunyikan senyum di balik kerudung putihnya, ketika tiba-tiba di hadapanku benar-benar berdiri seorang gadis cantik mengenakan kaos dan celana jeans ketat. Rambutnya dibiarkan terurai panjang, sebagian dicat merah. Mungkin aku lupa. Tapi, ah, tidak. Tidak! Senyum gadis itu masih bisa sedikit kuingat.

"Kapan kamu pulang, Fatimah?"
"Kemarin. Dua hari yang lalu."
"Syukurlah. Bagaimana kabarmu?"
"Seperti yang kamu lihat. Aku baik-baik saja." Ada senyum tipis merekah di bibir Fatimah yang merah. Tapi tiba-tiba aku seperti berhadapan dengan orang asing.
"Kudengar sekarang sudah tak ada lagi anak-anak yang mengaji di surau dan madrasah. Kenapa?"
"Sejak kamu ke Jakarta, mereka tak mau mengaji lagi."
"Tapi bukankah kamu bisa mengajar mereka?"
"Anak-anak hanya ingin kamu yang mengajar. Mereka sangat mencintaimu, Fatimah."
"Aduh, sayang sekali. Aku hanya punya waktu beberapa hari di sini. Lusa aku harus kembali ke Jakarta. Aku tak mungkin meninggalkan pekerjaanku. Oya, ini ada oleh-oleh buatmu, sarung, kopiah dan sajadah. Terimalah."
"Terimakasih, Fatimah. Berikan saja pada orang lain. Mungkin ada yang lebih membutuhkan...."
"Kalau begitu aku pulang dulu. Hari sudah mulai gelap. Bapak dan Ibu tentu cemas menungguku."
"Kapan kamu akan kembali dan menetap di kampung ini lagi, Fatimah?" "Entahlah."

Senja benar-benar telah turun bersama cahaya keemasan. Sebentar lagi malam akan tiba. Malam yang selalu menorehkan kesedihan dan keperihan. Membuat aku selalu merasa gamang dan asing. Hingga kadang aku sering tidak yakin dengan apa yang kujalani. Termasuk pertemuan dengan Fatimah barusan. Apakah semua itu masih mimpi? Tapi, ah, tidak. Tidak! Kali ini aku tidak sedang tidur dan mimpi. Samar-samar aku masih dapat melihat kelebat bayangan punggung Fatimah berjalan tergesa-gesa kian menjauh. Menjauh. Dan, hilang di tikungan jalan.

Aku ingin mengejar Fatimah. Ada sesuatu yang ingin kusampaikan padanya. Tapi sayang, sebentar lagi waktu maghrib tiba. Aku harus mengumandangkan adzan. Aku berharap Fatimah datang ke surau, setidaknya kali ini saja.

Depok, 2005

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest