M.D. Atmaja
http://www.sastra-indonesia.com/
Hari Sabtu, sebuah matahari memancar ramah di pagi hening, menerangi angin bertiup. Bola yang memancar di langit, menatap tanpa tirai pada lembaran-lembaran kain, biru dan hijau yang menjalar di jalan-jalan kota. Sinar berpendar di angkasa rasa seolah ingin menutup mata. Tak ingin memandang kota yang dipenuhi biru-hijau menjalar dalam kesombongan. Ia tidak ingin melihat sedangkan Rajanya menciptakan diri untuk melihat dunia saat siang agar manusia bisa saling memandang dalam gerak dan kerja.
Matahari di atas, jenggah melihat seribu matahari di tertancam di bumi. Ketika angin bertiup, seolah menantang langit yang telah terang benderang dan sang Penjaga Siang merangkak. Dadanya membucahkan kawah. Gejolaknya menjilat awan-awan putih berserakan untuk hangus.
Di tengah-tengahnya, Dhimas Gathuk berdiri di halaman rumah. Hari ini, dia tidak berangkat kerja. Setelah menghantarkan saudaranya dalam pengembaraan jauh, Dhimas Gathuk tidak beranjak. Dia memandangi langit biru yang luas. Menaungi kepala yang mulai terasa penuh dengan pertanyaan.
“Tidak ikut berpesta, Le?” tanya Gus Ahmad, yang terkenal di penjuru desa dengan panggilan Gus Ah, sewaktu mau berangkat ke sawah dan kebetulan jalan yang musti di lalui melewati rumah Dhimas Gathuk.
“Hahahaha… mboten, Gus. Orang murtad seperti saya ya tidak terpakai, Gus. Masih banyak orang yang loyal untuk Pendopo Matahari.”
“Lha, tapi kan kamu berada di salah satu atapnya, Le. Setidaknya ikut guyup-guyup, tidak ada salahnya.” Gus Ah berhenti sejenak untuk mengamati Dhimas Gathuk yang tersenyum kecil.
“Saya mau pergi ke Kota, Gus, tapi bukan untuk berpesta. Hanyut dalam kebisingan yang tidak saya mengerti untuk apa, tapi yah, sekedar menikmati pahit kopi. Siapa tahu bertemu seseorang yang memberikan manfaat.”
“Hati-hati di jalan, Le. Banyak kepentingan, banyak persoalan seperti yang dahulu pernah Mendiang Bapakmu lawan habis-habisan sampai Bapakmu yang habis sendiri.”
“Iya, Gus!” sahut Dhimas Gathuk yang setelah mencium punggung tangan Gus Ah, langsung melesat jauh.
Dhimas Gathuk melangkah ke utara menuju kota di mana riuhnya pesta ulang tahun yang akan dikenang sebagai umur keemasan. Seratus tahun yang gilang-gemilang dalam peringatan setelah dalam kurun waktu yang lama itu, sang matahari baru mampu bercokol dengan kuat di bumi pertiwi. Dari tanah Mataram Baru kembali ke Mataram Baru, begitu ungkap mereka yang bersenandung lagu ulang tahun yang kan segera dicatat sejarah. Pendopo Matahari menghamburkan uangnya di seratus tahun penisbatan pada Nabi.
Di sepanjang perjalanan ke Kota, setelah keluar dari wilayah desanya, Dhimas Gathuk menyaksikan lagi, tarian-tarian bendera matahari yang berdiri di atas bambu. Berkelebat dalam kepongahan. Dhimas Gathuk tertawa kecil sambil menggelengkan kepala. “Ah, kepongahan yang berdiri di atas bambu. Sebentar lagi melapuk dan akhirnya roboh juga. Ada banyak kutu di dalamnya melapukkannya sendiri dari dalam!” dan sambil terus melaju menuju warung kopi yang sudah dia rindukan.
Di jalan, gerbang kota, Dhimas Gathuk menemukan kemacetan yang sangat. Sang Penjaga Siang dengan terang membakar langit. Panasnya bukan main saat dari barat-daya dan barat-laut berjubal awan hitam berarak. Jalan di setiap sudut kota dipenuhi para pelancong yang ingin ikut bergembira dalam pesta pora ulang tahun Pendopo Matahari. Dari lampu merah ke lampu merah dipenuhi mobil-mobil berplat luar kota, bus-bus pariwisata yang di badan mereka tertempel kepongahan logo Matahari. Dhimas Gathuk menggelengkan kepala saja.
Dengan berbekal tawa lucu dan kesabarannya, Dhimas Gathuk berhasil sampai di warung kopi. Walau di jalan sempat dimaki orang yang berjalan jauh dari luar kota untuk berpesta, Dhimas Gathuk tidak perduli. Dia melaju tenang di jalannya sendiri. Sampai di warung kopi, di sana dia bertemu dengan sepasang manusia. Dua-duanya lelaki. Mereka sepasang bukan dalam hubungan cinta kasih kemesraan yang melenceng. Tapi persahabatan yang tidak mampu dihargai dengan uang sebanyak apa pun. Mereka itu yang sering Dhimas Gathuk sebut dengan nama singkat Nur Gambleh.
Nur dan Gambleh. Seorang pengikut Pendopo Bintang dan seorang lagi pengikut Pendopo Matahari. Dua orang dengan pemikiran berbeda namun bisa bersatu di jalan kehidupan masing-masing. Seorang dari mereka adalah santri dan yang seorang lagi seorang seniman rupa yang masih teramat muda.
“Ah, ketemu Nur-Gambleh!” ucap Dhimas Gathuk dalam salam kelakar yang renyah.
“Ora melu ulang tahunan, Kang?” tanya Nur sambil menyibakkan rambutnya yang brekele.
“Ora lah. Nanti hanya jadi pengotor bagi pandangan para pemuka agama besar di kalangan orang-orang matahari.”
“Sampeyan kie, Kang!” sahut Gambleh sambil tersenyum kecil.
“Gambleh ini baru sedih, tidak bisa ikut ulang tahunan!” ungkap Nur dalam tawa menggelegak.
“Ngawur, Cak Nur kie.”
“Meriah, Kang?” Dhimas Gathuk mengarahkan pandangan pada Gambleh yang memandang ke jalan di mana iring-iringan rombongan pejalan yang berpesta pora baru lewat.
“Katanya sih, meriah, Kang. Lha, kenapa njenengan tidak ikut?” ucap Gambleh pelan.
“Mataram Baru, menurut kabarnya sudah di boking lho. Di pesan untuk berpesta. Semua orang yang memiliki tanda peserta dan penggembira bisa masuk ke tempat-tempat wisata dengan gratis.” Sahut Nur.
“Ah, masih tidak meriah. Kalau nanti Dalem Gothak-gathuk buat acara, Mataram Baru akan dikontrak seluruhnya, hahahahahahaha………..”
“Orang-orang yang di Mataram Baru diungsikan, Kang?” sahut Nur
“Lha, Iya! Dalem Gothak-Gathuk..!!”
Dan mereka bertiga tertawa bersamaan.
“Ini yang mungkin mereka bilang sebagai umur keemasan, dimana seseorang membuat sebuah perkumpulan untuk menegakkan kebaikan dan memerangi kemungkaran.” Ungkap Nur dalam senyuman kecil sementara Dhimas Gathuk masih tertawa terbahak-bahak.
“Apa ini namanya pergeseran, Kang? Ini kang Gambleh yang tahu dengan bagaimana sifat-sifat nabi yang kini tengah menjadi merek dagang.” Ucap Dhimas Gathuk sambil memegangi dada yang sakit karena tawa terbahak mendorong kelencar di paru-paru keluar.
“Ah, aku tidak tahu apa-apa!”
“Bukankah nabi itu menjalani hidup dalam kesederhanaan, Kang?” sahut Nur.
Dhimas Gathuk kemudian tersenyum kecil. Ia teringat pada perjalanan bersama saudara tuanya sehabis menjalankan sembahyang maghrib. Dari sana, dia memahami kembali. Ternyata, banyak orang yang mengatasnamakan nabi namun mereka melupakan nilai tersembunyi yang ada di dalam kehidupan para nabi. Kebaikan, kesederhanaan, ketulusan, dan keikhlasan yang terkadang terlupakan begitu saja. Dhimas Gathuk menggelengkan kepala. Dia meneguk sisa kopi pahit dan melangkah keluar untuk pulang. Belajar kembali pada tanah merah yang dititipkan Mendiang Bapaknya.
Di perjalanan, awan hitam menggantung di atas kepala. Orang-orang terburu agar tidak terguyur riuhnya hujan yang akan segera turun. Namun, dalam langkah tergesa itu, hujan jatuh dengan alangkah deranya. Gemuruh langit menggelegar. Menakutkan hati Dhimas Gathuk yang berkali-kali menundukkan kepala. Hujan telah menyelimuti tanah Mataram Baru sementara dimana-mana jalanan dipenuhi para peserta pesta.
Kain hijau-biru yang tadinya berkelebat telah meringkuh di dingin air hujan. Matahari yang disematkan di sana tidak lagi cemerlang putih. Telah jadi pucat ketika dentuman langit menggelegar di atas kepala. Udara dingin ditiup dengan keras namun tidak membuat seribu matahari berkelebat. Kesemuanya meringkuk pucat. Meringkuk tanpa daya, sedangkan Dhimas Gathuk meringkuh dalam sumpah serapah yang menggelora di dalam dada.
Dia melaju perlahan-lahan. Akhirnya sampai wilayah selatan. Di sana, di daerah yang tidak tertancap bendera matahari, tanah-tanahnya kering. Tidak ada setetes air yang membasahi. Dhimas Gathuk memandang ke langit. Matahari memancar ramah seolah menyuguhkan senyum kepadanya. Dhimas Gathuk menggelengkan kepala.
Bantul – Studio SDS Fictionbooks, 13 Agustus 2010
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Selasa, 28 September 2010
Riak Telaga di Bening Mata: Perempuan
Gita Pratama
http://www.kompas.com/
Dengan langkahnya yang mantap setelah ia meninggalkan senyum tipis, ia membalikkan tubuhnya dariku. Tapi tak segera kutemukan guncang dipundaknya. Ia meninggalkan malam yang hambar begitu saja. Kemudian langkahnya semakin melebar ketika terdengar ricuhan bintang yang sedang mabuk, menirukan tangis hewan malam yang sengau di telinga. Perempuan itu telah memutuskan untuk memilih pergi dariku, ya.. perempuan bermata bening itu akan begitu saja pergi.
“Dis.. maafkan aku hanya bisa meninggalkan sekelumit kenangan, tanpa bisa memberimu mimpi berlebih,” bisikku ketika ia tak lagi mau memelukku dengan erat. Dan aku tahu apa yang sebenarnya terjadi pada perempuan itu. Walaupun sekali lagi senyumnya yang bagai tirai di pagi hari, mampu meluapkan rasa bersalah yang menganak di ujung hati.
Ranting pohon semakin kencang mengucap serapah pada angin, tak mungkin ia patah karnanya. Senyumnya pada daun yang gugur hanya ucapan selamat tinggal pada angin yang menamakannya rindu.
Begitulah perempuan itu mengumpamakan dirinya, berkali kali ia berkata “Aku tak mau ada luka menganga di antara kita. Jika kita masih menemukan rindu maka kita masih syah untuk bertemu. Dan ini resiko kita yang berdiri di padang ilalang.” Aku hanya terdiam terpaku mendengar ia berkata begitu.
Di tepian matanya, tak pernah sekalipun aku melihat danau yang berkabut. Aku selalu menemukan garis tipis yang selalu ia tarik di ujung bibirnya. Ingin sekali aku menemukan sesuatu di matanya, tapi ternyata itu hanya harapan semata. Walaupun aku telah bersiap mengosongkan dada untuk mendekapnya jika ia menangis tersedu. Senyumnya yang tak pernah usai walaupun kisah ini berawal dari masalah yang ada sejak awal aku dan dia bertemu. Itu juga yang membuatku lupa bahwa aku sangat ingin berbagi dan menemani kesedihannya. Aku menjadi laki-laki egois yang hanya ingin mereguk setiap senyumnya untuk menyejukkan batin yang sepertinya telah koyak.
Malam itupun berlalu dengan lambaiannya seperti ucapan selamat tinggal. Tapi perempuan itu tak pernah berkata begitu. Dalam hati aku membuang jauh pikiran tentang arti lambaian itu, lalu berbisik “Sayang, lain waktu semoga kita bertemu lagi!”. Ia menggeleng dengan senyum yang membuat bibirnya membentuk garis lengkung, sembari berkata sangat lirih “Tidak akan ada lain waktu, sayang..!”. Ataukah mungkin memang aku yang tak pernah mau membaca tanda, lalu menjadi buta dan berlarian mencari jalan yang lebih terang sebagai jalan menuju selamat? Aku tidak pernah benar-benar mengenal arti setiap senyumannya, seperti saat ini. Dimatanya aku juga tak pernah menemukan riak yang membuat sang senyum enggan bertamu. Aku semakin tersesat.
***
Sore itu begitu manja, tiba-tiba dingin menusuk, matahari begitu angkuh untuk tenggelam. Cahaya yang biasanya keemasan hari itu menjadi buram, entah ada pertanda apa. Tapi aku tetap bersiap menemui perempuanku. Dengan baju biru laut dan sedikit wewangian beraroma melati yang kusemprotkan di balik kerah, aku bergegas menemuinya. Perempuan yang sudah beberapa minggu kutemui di kota kecil ini. Aku sudah bersiap dengan kata-kata yang bagiku adalah kabar buruk. Jantungku berdebar berharap akan bertemu riak telaga di bening mata, hingga aku dapat leluasa mendekapnya dan merasakan isaknya.
Aku menjadi enggan melihat malam yang sebentar lagi datang. Perpisahan… ya perpisahan. Aku sedang menyiapkan sebuah perpisahan di tengah riuh nyanyian jangkrik dan kepik. Kebersamaanku dengan perempuan itu hanya sebentar, dan aku belum tahu apapun tentangnya. Walaupun sudah banyak cerita yang ia kabarkan setiap harinya. Aku begitu ingin mengenal arti setiap senyumannya itu. Tapi rupanya waktu telah habis dan ini harus disegerakan sebelum aku dan dia menjadi lebur kemudian.
Kemudian waktu menjadi batu yang terlempar disegala arah, menghujani kita dengan luka luka yang lama lama menjadi begitu sangat biasa. Dan batu menjadi waktu yang terdiam lama diujung penantian untuk kemudian lebur menjadi debu.
***
Kepalaku berputar putar dihujani kenangan tentang perempuan itu. Pertemuan tanpa duga yang telah memberikan perasaan alpha pada terjal hidup. Kesan yang ditinggalkan oleh pesona mata yang indah. Kutemukan wajah itu diantara penumpang kumal yang lusuh dimakan lelah perjalanan. Hujan tipis waktu itu sedang turun dan aku menangkap sebuah bayangan yang terpantul dibalik jendela. Warna mata bening dengan wajah yang bercahaya berpendar menyerupai pelangi, seperti lukisan abstrak yang samar diatas kanvas.
Perempuan itu menyandarkan kepalanya di kaca jendela yang basah oleh titik titik hujan. Betapa ayu wajahnya dengan bibirnya yang tipis dan matanya yang bening, sebening butir hujan yang berlarian di jendela itu. Aku membayangkan jika titik titik hujan itu adalah air matanya, pasti wajahnya akan tampak seperti senja yang sedang didatangi oleh hujan.
Perjalanan waktu begitu lambat menenggelamkan bayangan dan keinginanku untuk menyapa perempuan itu. Walau terpisah jarak hanya sejengkal tapi terasa begitu sulit rasanya untuk sekedar menyapa. Aku rekam diam-diam bayangannya dalam ingatan dan berharap suatu waktu ada jumpa yang tak pernah diduga. Enggan aku melepas tatapan mata pada senyum yang sesekali tersungging di bibir tipisnya. Apakah yang sedang dipikirkannya? Mengapa matanya begitu tampak indah? Bening, seperti telaga yang sepi di tengah belantara. Tampak begitu serasi dengan rintik hujan yang saling beradu. Berbagai pertanyaan tentang perempuan itu mencambukku dan semakin membuatku tak lagi mencumbu resah.
Perjalanan segera dimulai ketika senja dan malam beradu. Ada waktu yang setia menunggu kenangan yang akan tercatat. Sesekali waktu pula yang menyembunyikan riuh detak yang mengusir kebersamaan lalu menenggelamkannya dalam diam yang senyap
Hingga akhirnya waktu pulalah yang mempersilahkan aku menyapa dan memberi kesempatan menikmati sejuk di tepi telaga matanya. Satu persatu penumpang dalam bus itu turun tapi perempuan yang sejak tadi kuperhatikan tak juga beranjak dari tempat duduknya. Kebetulan macam apa ini yang ternyata menjadikan kami satu tujuan. Sampai akhirnya di terminal terakhir, iapun turun demikian pula aku. Lalu kami duduk di bangku ruang tunggu yang sama dan ia kemudian memberi senyum padaku, itu senyum pertama yan aku dapat tanpa harus kucuri. Tersungging tipis dan matanya semakin bersinar indah. Ya Tuhan perempuan macam apakah dia?
Ia mulai memperkenalkan diri. Dan aku membalas uluran tangannya “Lukman, ehm Adis mau ke mana?”. Padahal aku sedang mengatur ritme nafas yang mulai tak karuan. Mulutku tiba tiba kaku terbekap ragu. Tapi perempuan itu rupanya tahu apa yang sedang terjadi padaku. Lalu ia berusaha mencairkan suasana. “Perempuan ini rupanya pandai membaca” batinku. Dan akupun larut pada perbincangan kecil.
Adis, ya… nama perempuan bermata sebening telaga, yang memiliki senyum berbagai makna. Seorang perempuan pekerja keras, pengejar mimpi yang menyimpan luka dilekuk tawa ramahnya. Sedangkan aku laki laki yang sibuk berlari dari kesedihan dan menunjuk diri sebagai pengecut yang tak mau menerima kenyataan bahwa kekasihnya lebih memilih berlari mengejar mimpi.
***
Hanya beberapa hari kebersamaan yang aku lewati dengannya dan aku selalu menunggui hadirnya tawa milik Adis. Sesekali merengkuhnya dalam pelukanku agar aku dapat menghilangkan sedikit luka. Dan menjadi laki laki penikmat mata bening yang haus akan riuh kata kata yang terkadang sulit dipahami. Dalam waktu yang sangat singkat itu, tak juga kutemukan makna senyum yang selalu ia tawarkan. bahkan dikala aku bercerita tentang kisah yang buatku menyesakkan. Sedangkan dia tak pernah membiarkan dirinya membuka luka yang telah disimpan rapi dalam sebuah peti. Mungkin ini terasa begitu egois, tapi aku tak pernah tahu apa yang sedang terjadi.
Entah bagaimana perempuan berwajah syahdu itu dapat selalu menghiasi wajah dengan raut wajah manis. Tidak ada kerut, tidak ada sembab, tidak ada cerita sedih, baginya semua hanya ia katakan sebagai laku hidup. Pergantian hari terasa amat cepat, kebersamaan ini adalah sesuatu yang tak abadi. Tak pernah ada harapan atau mimpi yang dapat dijanjikan. Adis sangat paham bahwa aku dan dia tidak akan bisa selalu bersama. Tidak ada ucapan cinta atau sayang, hanya perasaan ganjil yang sangat tidak biasa. Aku merasakannya dalam kecupan kecupan kecil yang selalu berakhir dengan tarikan nafas disertai senyum khasnya. Hari tetaplah harus berganti, senja yang selalu menemani perjumpaan kamipun tetap akan bertarung dengan malam.
Perempuan itu tak pernah membahas hari esok, ia melewati hari dengan sangat biasa sedangkan aku semakin gelisah, ketakutan akan hampa akan segera menyergap. Esok atau entah kapan perpisahan menjadi bayangan yang menguntitku. Aku tersesat, masuk… semakin dalam. Entah berada dimana sekarang.
Belantara menjadi begitu gelap, tanpa petunjuk arah Ia berlarian mengibaskan gaun keperakkan yang menyilaukan. Seperti burung merak yang asyik menari, lalu menjadikannya sesat para pengembara. Lupa jalan pulang…!
***
Keberanian macam apa yang akhirnya membuatku mengatakan bahwa aku nyaman berada disampingnya. Ada merah yang berlarian dipipinya. Senyum khas itu muncul lagi tapi tak ada lonjakan emosi, semua datar saja seperti hari-hari kemarin. Adis sepertinya juga semakin menikmati kebersamaan ini, walaupun ia telah tahu semua kisah cengeng yang masih belum terselesaikan. Dan perempuan itu berkata “Aku hanya sedang menikmati waktu yang ada.”
Aku menjadi semakin khusyuk pada pertemuan-pertemuanku dengannya. Di sebuah bukit kecil menjelang senja aku dan dia selalu berbagi lelucon. Diam-diam aku merekam kenangan kecil di dalam ingatan, tapi perempuan itu malah mengingatkan “Jangan ada kenangan, prasasti, atau apapun. Kisah ini bukan untuk dikenang tapi hanya untuk dinikmati.” Aku menjadi gusar apakah mungkin aku tidak mengingat ini. Sedangkan kepalaku semakin lama terisi dengan senyuman dan kata katanya yang terkadang tak pernah aku mengerti.
Awan yang gelap menjadi begitu terang ketika bulan yang merah menerawang menjelma menjadi bayangannya. Tak ada sekejap waktupun ingin menghardik tawa riuh ditengah badai yang disebut kita.
Disaat aku mulai tenggelam dalam tawa dia malah bersikap acuh. Membuatku terjaga pada segala kemungkinan. Tapi terkadang perempuan itu juga terbang bersama angin yang membuatnya merasa ringan lalu lupa untuk turun. Dan aku harus menjadi pemberatnya untuk membawanya kembali ketujuan semula. “Tanpa kenangan hanya sekedar kisah singkat untuk dinikmati.”
***
Tiga minggu kebersamaan sangat begitu singkat buatku, aku larut dalam bayangan bahwa kisah ini akan berlanjut sampai aku dan dia kembali ke habitat semula. Dan aku membayangkan bahwa aku akan menemukan banyak kisah baru. Tapi rupanya waktu tak cukup punya kesabaran. Akhirnya waktupun yang menghancurkan keinginanku itu.
“Dis… perempuanku telah memilih kembali. Dan aku akan segera pulang.” setelah lelah mencari cara untuk menceritakan yang sebenarnya pada Adis. Akhirnya kalimat itu meluncur begitu saja. “Pulang” akhirnya kata kata ini menjadi pilihanku. Aku harus segera pulang untuk membenahi bangunan kisah yang hampir roboh. Ada rona terkejut di wajahnya tapi itu hanya sekejap. Ia cukup tahu bagaimana mengatur emosinya. Dan aku menjadi tenggelam dalam perkataanku sendiri. Aku masih menginginkan kebersamaan ini. Tapi apakah Perempuan ini bersedia? Tanyaku dalam hati. Aku peluk perempuan di depanku itu untuk memastikan bahwa dia baik baik saja dan aku juga ingin menentramkan kesedihanku sendiri.
Lalu ia melepas pelukannya dan menatap wajahku sejenak. Tatapannya begitu dingin membuatku beku di dalam matanya. Dan sekali lagi senyum yang tak pernah bisa kuartikan ia suguhkan padaku. Kali ini aku melihat riak kecil di telaga matanya, tapi entah bagaimana bisa tak ada ombak yang jatuh dipipinya. “Rupanya sudah tiba waktunya.” jawabnya hampir berbisik. Dan aku hanya mengangguk kecil entah dia tahu anggukanku atau tidak.
Lalu semua koyak ditelan badai yang mengamuk di tengah permainan nasib. Menjadi perang dengan desing peluru yang memantul ditengah tengah senyum yang ternyata semu. Menjadi karam ditelan ombak yang amuk digelitik luka di dasar laut.
Kemudian malam menjadi begitu hambar tanpa senyumnya lagi. Dan aku tak akan lagi bisa menunggu mata yang bening tergenang air mata. Pertemuan terakhir di sebuah malam dengan bulan merah dan hampir redup. Aku beranjak memunguti sisa sisa senyum yang tercecer di setiap kenangan tentangnya. Walaupun ia tak pernah menginginkan adanya kenangan ini, tapi biarlah aku menjadi pemulung nista yang lebur dimakan kata-kataku sendiri. Dan setidaknya aku bisa melihat telaga itu riuh di depanku.
Kamar-Tangsi, Sept – Okt 07
*) Perempuan kelahiran Malang, November 1983 Domisili di Surabaya. Aktif di Teater Crystal Surabaya, komunitas sastra ESOK Surabaya, komunitas Sastra Pasar Malam.. Beberapa karya dimuat di koran lokal.
http://www.kompas.com/
Dengan langkahnya yang mantap setelah ia meninggalkan senyum tipis, ia membalikkan tubuhnya dariku. Tapi tak segera kutemukan guncang dipundaknya. Ia meninggalkan malam yang hambar begitu saja. Kemudian langkahnya semakin melebar ketika terdengar ricuhan bintang yang sedang mabuk, menirukan tangis hewan malam yang sengau di telinga. Perempuan itu telah memutuskan untuk memilih pergi dariku, ya.. perempuan bermata bening itu akan begitu saja pergi.
“Dis.. maafkan aku hanya bisa meninggalkan sekelumit kenangan, tanpa bisa memberimu mimpi berlebih,” bisikku ketika ia tak lagi mau memelukku dengan erat. Dan aku tahu apa yang sebenarnya terjadi pada perempuan itu. Walaupun sekali lagi senyumnya yang bagai tirai di pagi hari, mampu meluapkan rasa bersalah yang menganak di ujung hati.
Ranting pohon semakin kencang mengucap serapah pada angin, tak mungkin ia patah karnanya. Senyumnya pada daun yang gugur hanya ucapan selamat tinggal pada angin yang menamakannya rindu.
Begitulah perempuan itu mengumpamakan dirinya, berkali kali ia berkata “Aku tak mau ada luka menganga di antara kita. Jika kita masih menemukan rindu maka kita masih syah untuk bertemu. Dan ini resiko kita yang berdiri di padang ilalang.” Aku hanya terdiam terpaku mendengar ia berkata begitu.
Di tepian matanya, tak pernah sekalipun aku melihat danau yang berkabut. Aku selalu menemukan garis tipis yang selalu ia tarik di ujung bibirnya. Ingin sekali aku menemukan sesuatu di matanya, tapi ternyata itu hanya harapan semata. Walaupun aku telah bersiap mengosongkan dada untuk mendekapnya jika ia menangis tersedu. Senyumnya yang tak pernah usai walaupun kisah ini berawal dari masalah yang ada sejak awal aku dan dia bertemu. Itu juga yang membuatku lupa bahwa aku sangat ingin berbagi dan menemani kesedihannya. Aku menjadi laki-laki egois yang hanya ingin mereguk setiap senyumnya untuk menyejukkan batin yang sepertinya telah koyak.
Malam itupun berlalu dengan lambaiannya seperti ucapan selamat tinggal. Tapi perempuan itu tak pernah berkata begitu. Dalam hati aku membuang jauh pikiran tentang arti lambaian itu, lalu berbisik “Sayang, lain waktu semoga kita bertemu lagi!”. Ia menggeleng dengan senyum yang membuat bibirnya membentuk garis lengkung, sembari berkata sangat lirih “Tidak akan ada lain waktu, sayang..!”. Ataukah mungkin memang aku yang tak pernah mau membaca tanda, lalu menjadi buta dan berlarian mencari jalan yang lebih terang sebagai jalan menuju selamat? Aku tidak pernah benar-benar mengenal arti setiap senyumannya, seperti saat ini. Dimatanya aku juga tak pernah menemukan riak yang membuat sang senyum enggan bertamu. Aku semakin tersesat.
***
Sore itu begitu manja, tiba-tiba dingin menusuk, matahari begitu angkuh untuk tenggelam. Cahaya yang biasanya keemasan hari itu menjadi buram, entah ada pertanda apa. Tapi aku tetap bersiap menemui perempuanku. Dengan baju biru laut dan sedikit wewangian beraroma melati yang kusemprotkan di balik kerah, aku bergegas menemuinya. Perempuan yang sudah beberapa minggu kutemui di kota kecil ini. Aku sudah bersiap dengan kata-kata yang bagiku adalah kabar buruk. Jantungku berdebar berharap akan bertemu riak telaga di bening mata, hingga aku dapat leluasa mendekapnya dan merasakan isaknya.
Aku menjadi enggan melihat malam yang sebentar lagi datang. Perpisahan… ya perpisahan. Aku sedang menyiapkan sebuah perpisahan di tengah riuh nyanyian jangkrik dan kepik. Kebersamaanku dengan perempuan itu hanya sebentar, dan aku belum tahu apapun tentangnya. Walaupun sudah banyak cerita yang ia kabarkan setiap harinya. Aku begitu ingin mengenal arti setiap senyumannya itu. Tapi rupanya waktu telah habis dan ini harus disegerakan sebelum aku dan dia menjadi lebur kemudian.
Kemudian waktu menjadi batu yang terlempar disegala arah, menghujani kita dengan luka luka yang lama lama menjadi begitu sangat biasa. Dan batu menjadi waktu yang terdiam lama diujung penantian untuk kemudian lebur menjadi debu.
***
Kepalaku berputar putar dihujani kenangan tentang perempuan itu. Pertemuan tanpa duga yang telah memberikan perasaan alpha pada terjal hidup. Kesan yang ditinggalkan oleh pesona mata yang indah. Kutemukan wajah itu diantara penumpang kumal yang lusuh dimakan lelah perjalanan. Hujan tipis waktu itu sedang turun dan aku menangkap sebuah bayangan yang terpantul dibalik jendela. Warna mata bening dengan wajah yang bercahaya berpendar menyerupai pelangi, seperti lukisan abstrak yang samar diatas kanvas.
Perempuan itu menyandarkan kepalanya di kaca jendela yang basah oleh titik titik hujan. Betapa ayu wajahnya dengan bibirnya yang tipis dan matanya yang bening, sebening butir hujan yang berlarian di jendela itu. Aku membayangkan jika titik titik hujan itu adalah air matanya, pasti wajahnya akan tampak seperti senja yang sedang didatangi oleh hujan.
Perjalanan waktu begitu lambat menenggelamkan bayangan dan keinginanku untuk menyapa perempuan itu. Walau terpisah jarak hanya sejengkal tapi terasa begitu sulit rasanya untuk sekedar menyapa. Aku rekam diam-diam bayangannya dalam ingatan dan berharap suatu waktu ada jumpa yang tak pernah diduga. Enggan aku melepas tatapan mata pada senyum yang sesekali tersungging di bibir tipisnya. Apakah yang sedang dipikirkannya? Mengapa matanya begitu tampak indah? Bening, seperti telaga yang sepi di tengah belantara. Tampak begitu serasi dengan rintik hujan yang saling beradu. Berbagai pertanyaan tentang perempuan itu mencambukku dan semakin membuatku tak lagi mencumbu resah.
Perjalanan segera dimulai ketika senja dan malam beradu. Ada waktu yang setia menunggu kenangan yang akan tercatat. Sesekali waktu pula yang menyembunyikan riuh detak yang mengusir kebersamaan lalu menenggelamkannya dalam diam yang senyap
Hingga akhirnya waktu pulalah yang mempersilahkan aku menyapa dan memberi kesempatan menikmati sejuk di tepi telaga matanya. Satu persatu penumpang dalam bus itu turun tapi perempuan yang sejak tadi kuperhatikan tak juga beranjak dari tempat duduknya. Kebetulan macam apa ini yang ternyata menjadikan kami satu tujuan. Sampai akhirnya di terminal terakhir, iapun turun demikian pula aku. Lalu kami duduk di bangku ruang tunggu yang sama dan ia kemudian memberi senyum padaku, itu senyum pertama yan aku dapat tanpa harus kucuri. Tersungging tipis dan matanya semakin bersinar indah. Ya Tuhan perempuan macam apakah dia?
Ia mulai memperkenalkan diri. Dan aku membalas uluran tangannya “Lukman, ehm Adis mau ke mana?”. Padahal aku sedang mengatur ritme nafas yang mulai tak karuan. Mulutku tiba tiba kaku terbekap ragu. Tapi perempuan itu rupanya tahu apa yang sedang terjadi padaku. Lalu ia berusaha mencairkan suasana. “Perempuan ini rupanya pandai membaca” batinku. Dan akupun larut pada perbincangan kecil.
Adis, ya… nama perempuan bermata sebening telaga, yang memiliki senyum berbagai makna. Seorang perempuan pekerja keras, pengejar mimpi yang menyimpan luka dilekuk tawa ramahnya. Sedangkan aku laki laki yang sibuk berlari dari kesedihan dan menunjuk diri sebagai pengecut yang tak mau menerima kenyataan bahwa kekasihnya lebih memilih berlari mengejar mimpi.
***
Hanya beberapa hari kebersamaan yang aku lewati dengannya dan aku selalu menunggui hadirnya tawa milik Adis. Sesekali merengkuhnya dalam pelukanku agar aku dapat menghilangkan sedikit luka. Dan menjadi laki laki penikmat mata bening yang haus akan riuh kata kata yang terkadang sulit dipahami. Dalam waktu yang sangat singkat itu, tak juga kutemukan makna senyum yang selalu ia tawarkan. bahkan dikala aku bercerita tentang kisah yang buatku menyesakkan. Sedangkan dia tak pernah membiarkan dirinya membuka luka yang telah disimpan rapi dalam sebuah peti. Mungkin ini terasa begitu egois, tapi aku tak pernah tahu apa yang sedang terjadi.
Entah bagaimana perempuan berwajah syahdu itu dapat selalu menghiasi wajah dengan raut wajah manis. Tidak ada kerut, tidak ada sembab, tidak ada cerita sedih, baginya semua hanya ia katakan sebagai laku hidup. Pergantian hari terasa amat cepat, kebersamaan ini adalah sesuatu yang tak abadi. Tak pernah ada harapan atau mimpi yang dapat dijanjikan. Adis sangat paham bahwa aku dan dia tidak akan bisa selalu bersama. Tidak ada ucapan cinta atau sayang, hanya perasaan ganjil yang sangat tidak biasa. Aku merasakannya dalam kecupan kecupan kecil yang selalu berakhir dengan tarikan nafas disertai senyum khasnya. Hari tetaplah harus berganti, senja yang selalu menemani perjumpaan kamipun tetap akan bertarung dengan malam.
Perempuan itu tak pernah membahas hari esok, ia melewati hari dengan sangat biasa sedangkan aku semakin gelisah, ketakutan akan hampa akan segera menyergap. Esok atau entah kapan perpisahan menjadi bayangan yang menguntitku. Aku tersesat, masuk… semakin dalam. Entah berada dimana sekarang.
Belantara menjadi begitu gelap, tanpa petunjuk arah Ia berlarian mengibaskan gaun keperakkan yang menyilaukan. Seperti burung merak yang asyik menari, lalu menjadikannya sesat para pengembara. Lupa jalan pulang…!
***
Keberanian macam apa yang akhirnya membuatku mengatakan bahwa aku nyaman berada disampingnya. Ada merah yang berlarian dipipinya. Senyum khas itu muncul lagi tapi tak ada lonjakan emosi, semua datar saja seperti hari-hari kemarin. Adis sepertinya juga semakin menikmati kebersamaan ini, walaupun ia telah tahu semua kisah cengeng yang masih belum terselesaikan. Dan perempuan itu berkata “Aku hanya sedang menikmati waktu yang ada.”
Aku menjadi semakin khusyuk pada pertemuan-pertemuanku dengannya. Di sebuah bukit kecil menjelang senja aku dan dia selalu berbagi lelucon. Diam-diam aku merekam kenangan kecil di dalam ingatan, tapi perempuan itu malah mengingatkan “Jangan ada kenangan, prasasti, atau apapun. Kisah ini bukan untuk dikenang tapi hanya untuk dinikmati.” Aku menjadi gusar apakah mungkin aku tidak mengingat ini. Sedangkan kepalaku semakin lama terisi dengan senyuman dan kata katanya yang terkadang tak pernah aku mengerti.
Awan yang gelap menjadi begitu terang ketika bulan yang merah menerawang menjelma menjadi bayangannya. Tak ada sekejap waktupun ingin menghardik tawa riuh ditengah badai yang disebut kita.
Disaat aku mulai tenggelam dalam tawa dia malah bersikap acuh. Membuatku terjaga pada segala kemungkinan. Tapi terkadang perempuan itu juga terbang bersama angin yang membuatnya merasa ringan lalu lupa untuk turun. Dan aku harus menjadi pemberatnya untuk membawanya kembali ketujuan semula. “Tanpa kenangan hanya sekedar kisah singkat untuk dinikmati.”
***
Tiga minggu kebersamaan sangat begitu singkat buatku, aku larut dalam bayangan bahwa kisah ini akan berlanjut sampai aku dan dia kembali ke habitat semula. Dan aku membayangkan bahwa aku akan menemukan banyak kisah baru. Tapi rupanya waktu tak cukup punya kesabaran. Akhirnya waktupun yang menghancurkan keinginanku itu.
“Dis… perempuanku telah memilih kembali. Dan aku akan segera pulang.” setelah lelah mencari cara untuk menceritakan yang sebenarnya pada Adis. Akhirnya kalimat itu meluncur begitu saja. “Pulang” akhirnya kata kata ini menjadi pilihanku. Aku harus segera pulang untuk membenahi bangunan kisah yang hampir roboh. Ada rona terkejut di wajahnya tapi itu hanya sekejap. Ia cukup tahu bagaimana mengatur emosinya. Dan aku menjadi tenggelam dalam perkataanku sendiri. Aku masih menginginkan kebersamaan ini. Tapi apakah Perempuan ini bersedia? Tanyaku dalam hati. Aku peluk perempuan di depanku itu untuk memastikan bahwa dia baik baik saja dan aku juga ingin menentramkan kesedihanku sendiri.
Lalu ia melepas pelukannya dan menatap wajahku sejenak. Tatapannya begitu dingin membuatku beku di dalam matanya. Dan sekali lagi senyum yang tak pernah bisa kuartikan ia suguhkan padaku. Kali ini aku melihat riak kecil di telaga matanya, tapi entah bagaimana bisa tak ada ombak yang jatuh dipipinya. “Rupanya sudah tiba waktunya.” jawabnya hampir berbisik. Dan aku hanya mengangguk kecil entah dia tahu anggukanku atau tidak.
Lalu semua koyak ditelan badai yang mengamuk di tengah permainan nasib. Menjadi perang dengan desing peluru yang memantul ditengah tengah senyum yang ternyata semu. Menjadi karam ditelan ombak yang amuk digelitik luka di dasar laut.
Kemudian malam menjadi begitu hambar tanpa senyumnya lagi. Dan aku tak akan lagi bisa menunggu mata yang bening tergenang air mata. Pertemuan terakhir di sebuah malam dengan bulan merah dan hampir redup. Aku beranjak memunguti sisa sisa senyum yang tercecer di setiap kenangan tentangnya. Walaupun ia tak pernah menginginkan adanya kenangan ini, tapi biarlah aku menjadi pemulung nista yang lebur dimakan kata-kataku sendiri. Dan setidaknya aku bisa melihat telaga itu riuh di depanku.
Kamar-Tangsi, Sept – Okt 07
*) Perempuan kelahiran Malang, November 1983 Domisili di Surabaya. Aktif di Teater Crystal Surabaya, komunitas sastra ESOK Surabaya, komunitas Sastra Pasar Malam.. Beberapa karya dimuat di koran lokal.
NYELAMA SAKAI
Amien Wangsitalaja
http://amien-wangsitalaja.blogspot.com/
Petikan sampe mulai mendenting-denting. Kanjet nyelama sakai dimulailah sudah. Dan kembali aku menyukai lagi keberadaanku di sini. Tarian itu menyambutku lagi. Dan seperti dulu, aku selalu akan menunggu dengan hati berdenyar datangnya kanjet manyam tali, karena tarian itu memiliki kekuatan tertentu untuk mengaduk-aduk rasa, seolah melemparkan tali pengikat kepadaku untuk aku selalu berada di bawah pengaruh gendamnya sehingga tak bisa keluar dari mencintai tempat ini.
Aku merasakan kenikmatan itu, kenikmatan diikat oleh sesuatu yang samar-samar tapi terasa, agaknya, sungguh-sungguh eksotik. Aku bahkan mengangankan suatu saat diriku betul-betul dilempari selendang oleh satu dari para penari itu sehingga aku bisa merasakan aroma keringatnya dari dekat. Tapi, ini bukan ronggeng, dan tentu saja karenanya di sini tak ada konsep nibakake sampur. Ah, sayang.
Jangan-jangan, aku sebetulnya memang ingin, suatu ketika, berkenalan dengan satu dari para penari itu. Kami akan duduk diam berdua sambil masing-masing mencoba meraih pesona. Atau, bercengkerama di lantai ulin. Kuharap ia akan membubuhkan buluh perindu ke gelas minumku.
Betul, rupanya aku menyukai kota ini. Kukira Samarinda hanyalah kota yang kumuh. Di banyak tempatnya terlalu berdebu, di banyak tempat yang lain terlalu banyak digenangi air yang baunya busuk menyengat. Tapi, kutatap secara samar-samar warna eksotika. Betul.
Sebagaimana aku membayangkan dapat mencicip bau keringat penari itu atau merasakan aroma napasnya yang tidak memburu, aku memang menyukai sesuatu yang eksotik. Penari itu. Kota ini. Sedang kamu, Naf? Aku sering tersiksa sendiri jika sampai sekarang aku masih saja gagal menemukan eksotika itu. Kamu.
Saat itu, enam bulan lalu, aku masih saja kesulitan mencari kemungkinan-kemungkinan eksotik yang muncul dari auramu, ketika kamu dengan ringan meniupkan kata-kata yang membuatku tersentak.
“Berpisah akan memungkinkan kita lebih mahir marajut angan dan kemungkinan-kemungkinan!”
“Naf…?!”
“Percayalah, aku mendukung sepenuhnya rasa jijikmu terhadap instansi tempatmu bekerja, lembaga riset itu.”
“Naf…?!”
Kamu selalu pintar mengalihkan persoalan. Waktu itu aku memang sedang jijik dengan kota ini. Bukan kota ini yang salah, tapi aku tiba-tiba merasa muak tinggal di dalamnya.
Aku mungkin tidak akan pernah menginjakkan kaki di kota ini jika bukan karena aku diterima bekerja di sebuah lembaga riset milik negara, yang bergerak di bidang penelitian bahasa. Aku sendiri seorang penikmat sastra dan budaya. Ketika beroleh berita akan ditempatkan di wilayah timur Borneo, hatiku terlonjak. Aku telah mendengar di wilayah itu terdapat beragam sikap dan hasil kebudayaan yang masing-masingnya didukung oleh komunitas etnis tertentu dengan eksotikanya tersendiri.
Langsung kubayangkan asyiknya tantangan untuk menyelami wilayah etnis ini. Aku akan bergumul dengan pekerjaan yang menuntut pelibatan diri yang tinggi. Ya. Kuakui, aku terobsesi dengan grounded research. Aku akan menikmati keasyikan tinggal bersama komunitas Kenyah, Tunjung, Kutai, Berusu, Benuaq, atau yang lainnya dan belajar hidup bersama mereka sambil menyerap inspirasi kultural maupun estetik untuk kemudian mencoba merumuskan apa yang bisa kutemukan dari pergaulan dengan mereka itu. Aku menyukai pedalaman dan eksotika. Selain itu, aku pastilah juga tidak akan lupa meneliti masyarakat Banjar yang banyak diam di perkotaan. Amboi.
Kekecewaan demi kekecewaan mulai menghampiriku. Bagaimanapun, aku kembali tersadarkan bahwa diriku sedang berada di sebuah lembaga milik negara, aku pegawai negara, orang bilang PNS. Dan meskipun lembaga yang kutempati ini bergerak di bidang riset dan keilmuan, tetaplah ia instansi negara. Dan instansi negara, kamu tahu, selalu saja banyak memiliki catatan reputasi moral yang tidak mengasyikkan. Aku harus mulai mengerti, seilmiah apa pun nama lembaga ini, praktik-praktik korupsi, pungli, dan manipulasi akan banyak terjadi.
“Dana untuk penelitian mandiri kalian memang dua juta empat ratus ribu rupiah, yang harus kalian tanda-tangani di kuitansi nanti. Tapi, harap kalian bisa memahami jika uang yang nanti diterima oleh kalian hanya maksimum separonya. Kantor mengambil sekian rupiah dari dana itu untuk membayar penilai proposal dan membayar konsultan. Selain itu, kantor juga akan memungut biaya pengetikan laporan….”
Padahal, aku tahu, pos pemotongan dana untuk penilaian proposal, pengonsultasian, maupun pengetikan laporan itu sama sekali tidak ada dasar hukumnya. Itu semata retorika pejabat melakukan eufemisme terhadap praktik pungli. Pada intinya, birokrasi ingin mengambil uang pungutan dan supaya tidak terkesan liar maka dibuatlah pos-pos penarikan dengan istilah yang sepintas lalu terlihat rasional. Aku sempat menanyakan ke kawan-kawan di lembaga riset sejenis di kota lain dan mereka menjawab di tempat mereka tidak ada pos pemotongan untuk biaya penilaian proposal, sementara untuk menghadirkan konsultan juga tidak diwajibkan.
“Percayalah, aku mendukung sepenuhnya rasa jijikmu terhadap instansi tempatmu bekerja, lembaga riset itu.”
“Naf…?!”
Rupanya kamu pintar membaca emosiku. Dan kamu tampak lebih dewasa hari itu, sebagaimana aku bisa merasakannya dari napasmu yang tidak memburu. Saat itu, aku sedang belajar meraba dan merasakan kemungkinan-kemungkinan eksotik yang muncul dari auramu. Tapi….
Barangkali, memang aku jijik dengan instansiku: lembaga riset, lembaga ilmiah, tapi suasananya sama sekali tidak ilmiah. Tepatnya, diksi-diksi ilmiah seringkali dipakai hanya sebagai tudung dari yang sebenarnya hanyalah semata “proyek penghabisan anggaran negara”. Peneliti murni yang bekerja untuk motivasi ilmiah justru akan banyak menderita sakit hati di sini.
“Kantor ini tidak membutuhkan orang yang pandai, tapi kantor ini membutuhkan orang yang sopan!”
Itulah statemen paling menjijikkan yang tak mungkin kulupakan. Kamu boleh tersenyum nyinyir jika statemen semacam itu keluar dari seseorang yang mengendalikan sebuah lembaga riset. Saat itu aku memang dibenci oleh atasanku karena dianggap tidak berdisiplin. Disiplin, dalam pemaknaannya yang verbalistik-lipstik, kamu tahu, adalah salah satu kata kunci yang sering dipakai oleh birokrasi Orde Baru untuk membekukan akal sehat dan mematikan apresiasi intelektual. Dan itu masih berlaku di sini.
Bagiku, sebagai peneliti aku harus banyak menggali pengetahuan dan inspirasi dari lingkungan dan masyarakat yang akan diteliti. Peneliti juga harus terlibat dengan wacana yang tengah berkembang di masyarakat. Artinya, peneliti harus menggelandang dan banyak bertandang. Peneliti harus berinteraksi dengan objek yang ditelitinya. Itulah kedisiplinan dan tanggung-jawab seorang peneliti, menurutku. Disiplin bagi seorang peneliti tentu berbeda dengan disiplin bagi pegawai administrasi.
“Ini bukan tawaran. Peraturan mengharuskan kalian untuk memenuhi 38 jam masuk kerja untuk setiap bulan. Jadi setiap pukul 7.30 pagi kalian harus ikut apel pagi dan baru pulang setelah pukul 16.00.”
Kamu juga tahu, di kantorku tidak ada buku-buku referensi kecuali buku-bukuku sendiri. Komputer juga cuma satu. Kamu jangan tertawa mengejek dulu, ini kenyataan. Kamu mungkin heran ke mana larinya uang proyek senilai sekian M itu. Jangan heran, pengadaan fasilitas komputer dan buku referensi, yang sebetulnya teramat primer bagi seorang peneliti, bukanlah yang diutamakan di sini. Begitulah, dan ini memang lembaga riset. Dan disiplin bagi peneliti di lembaga riset adalah apel pagi dengan memakai seragam rapi, duduk bengong di ruangan sampai sore (bagi yang perempuan sambil sesekali memperbaiki dandanan dan menebalkan ulang warna lipstik yang hilang), pulang, ke mal sebentar, tidur, bangun pagi-pagi, apel pagi, bengong lagi…. Sekali-kali jangan sok berdiskusi yang ilmiah, itu tidak sopan di mata atasan.
Kamu pasti marah kalau aku dibilang bukan orang yang suka kedisiplinan, karena kamu tahu sendiri, aku lebih sering cerewet mengingatkanmu untuk segera sembahyang atau segera menyelesaikan membaca sebuah novel. Yah, rasanya aku sangat sering beropini di depanmu, kedisiplinan adalah penegakan komitmen keilmuan dan pengabdian pada rakyat, penegakan nilai moral, penjunjungan hukum, penanaman kejujuran dan keadilan, bla bla bla…. Tapi, kenaifan-kenaifan memang selalu sering terjadi, Naf. Peneliti yang dianggap berdisiplin ternyata adalah peneliti yang rajin ikut apel pagi, meski ia tidak memiliki komitmen pada dunia keilmuan, meski orientasi yang ada di kepalanya hanyalah bagaimana bisa menghabiskan anggaran dana rutin atau dana proyek.
Bukankah seorang intelektual harusnya lebih mengejar peran sebagai moral oracle, orang bijak penjaga moral? Opinimu waktu itu. Aku tak membalahmu. Dan kau mengumpat bahwa banyak dari mereka yang bergerak di dunia intelektual tergelincir menjadi tak lebih dari servant of power, budak-budak kekuasaan. Nah, kau pintar, Naf. Dan kepintaranmu makin mendorongku untuk muyak dengan semua ini.
Akhirnya, aku memang mulai jengah dengan kota ini. Apalagi hubunganku denganmu selalu saja belum bisa seasyik yang kubayangkan. Aku mengangankan penari itu. Eksotika. Aku menginginkan ada yang membubuhkan buluh perindu di gelas minumku. Tapi, kamu telah dengan lancang nyelonong mencuri hatiku. Naf…
Betapa akrabnya canda kita setiap menaiki taksi kuning itu. Dan kamu selalu senang mengantarku ke lamin Pampang, menengok tarian. Betapa akrabnya diam kita setiap prosesi tarian bermula dari nyelama sakai. Aku suka penari-penari itu, tapi candamu menjebakku. Setiap pulang dari lamin kamu selalu memastikanku untuk meneruskan keakraban itu di rumahmu. Kita berdiskusi banyak hal. Dan napasmu tidak memburu. Tapi, aku sering khawatir setiap aku belajar mencari-cari warna eksotik dari inner beauty-mu. Aku mengangankan penari-penari itu. Betapa tidak asyiknya aroma kota dari bau mandimu, meski ketika berdiskusi banyak hal aku selalu bisa mencicipi asyiknya napasmu yang tidak memburu.
Kamu mengasyikkan justru ketika kamu terlalu cepat memutuskan.
“Berpisah akan memungkinkan kita lebih mahir marajut angan dan kemungkinan-kemungkinan!”
“Naf…?!”
Aku memang jengah dengan kota ini hanya karena rasa muakku setelah idealismeku sebagai peneliti dibunuh justru oleh lembaga kepenelitian tempatku bekerja di kota ini. Etika ilmiah dibunuh oleh instansi yang mengatasnamakan lembaga ilmiah. Aku memang risih bergaul dengan para pemuja “proyek” yang mencampakkan intelektualitas. Aku mungkin memang harus melupakan dulu kota ini. Tapi, apakah harus aku melupakan kecerdasan yang selalu meriah yang kuasyiki dari napasmu yang tidak memburu itu? Naf…?
Petikan sampe telah lama berhenti. Pengunjung juga sudah beranjak, sebagian keluar lamin, sebagian menuju sisi kiri lamin dan mulai menawar-nawar aksesori ataupun ramuan-ramuan a la Kenyah yang dijajakan di lantai lamin. Aku mulai beranjak. Aku sebetulnya masih ingin berlama mencuri cium aroma keringat penari-penari itu, tapi kamu sudah akan menunggu di taman di tepi sungai, sore ini. Mahakam…. Naf….
Aku juga heran, kenapa kamu hari ini tidak mau menyambutku dengan menemaniku mengulang memori ini. Menengok penari-penari. Padahal, sudah enam bulan kita tidak pernah bersama-sama melakukannya sejak aku harus memutuskan meninggalkan kota ini dan menyembunyikan alamatku di pulau seberang. Aku masih meninggalkan nomor ponselmu. Dan aku betul terlonjak ketika dua hari lalu kau menghubungi nomorku, meminta bertemu.
Mulanya aku agak ragu untuk kembali menginjak kota ini. Rasa kecewa dengan instansiku dulu, dengan ketidakintelektualan birokrasinya, masih kusimpan. Tapi, aku memang diam-diam selalu digelisahkan rindu. Kecerdasanmu. Napasmu yang tidak memburu. Dan, o, barangkali kita masih akan berbalah soal keringat penari-penari itu, juga buluh perindu.
Aku telah mencapai taman di tepian sungai ini setelah harus berganti taksi tiga kali. Seperti anak kecil, aku berlari-lari kecil menyusuri wajah-wajah yang sedang bersantai. Pastilah kamu, Naf, akan kujumpa lagi. Dan memang aku tidak sulit untuk menandaimu. Kira-kira sepuluh kaki di sebelah kiri kulihat kamu duduk menyendiri.
Aku mengumpat dalam hati karena rupanya kamu selalu saja memulai pertemuan dengan canda. Ya, pastilah kamu bercanda dengan menyembunyikan kejutan hadiah di sebalik jubahmu itu. Teramat besar rupanya volume hadiah yang akan kamu kejutkan untukku itu sehingga seolah kamu sedang mendekap sebuah bantal kecil di perutmu. Ayo, keluarkan, Naf, kutebak itu boneka penari atau….
Akan tetapi, senyummu menampakkan canda yang serius. Dan aku betul-betul terkejut.
“Naf…?!”
“Ya, penari kecilmu.”
“Naf…?!”
“Ya, tujuh bulan.”
“Naf…?!”
Aku tidak sempat membalah kenapa kamu tidak mengatakannya sejak enam bulan lalu. Aku terpaku dalam sugun. Sekali ini aku telah benar-benar bisa meraba dan merasakan kemungkinan-kemungkinan eksotik yang muncul dari auramu. Keringatmu melebihi keringat para penari itu, melebihi buluh perindu. Napasmu juga tidak memburu. Aku terjebak dalam eksotisme yang akut. Kukira aku telah begitu saja melupakan kekesalanku atas penolakanmu siang tadi untuk menemaniku menengok nyelama sakai dan mencuri bau keringat para penari.
“Aku akan mempersembahkan nyelama sakai dan manyam tali sekaligus, khas untukmu sore nanti. Kita bertemu saja di taman itu. Ingat, jangan dulu datang ke rumah. Tarian penyambutanku itu lebih nyaman kauasyiki di taman. Nanti sore, pukul lima, jangan terlambat.”
“Naf….”
Samarinda, 2005
Sumber: http://kumpulan-cerpen.blogspot.com/2005/07/nyelama-sakai.html
http://amien-wangsitalaja.blogspot.com/
Petikan sampe mulai mendenting-denting. Kanjet nyelama sakai dimulailah sudah. Dan kembali aku menyukai lagi keberadaanku di sini. Tarian itu menyambutku lagi. Dan seperti dulu, aku selalu akan menunggu dengan hati berdenyar datangnya kanjet manyam tali, karena tarian itu memiliki kekuatan tertentu untuk mengaduk-aduk rasa, seolah melemparkan tali pengikat kepadaku untuk aku selalu berada di bawah pengaruh gendamnya sehingga tak bisa keluar dari mencintai tempat ini.
Aku merasakan kenikmatan itu, kenikmatan diikat oleh sesuatu yang samar-samar tapi terasa, agaknya, sungguh-sungguh eksotik. Aku bahkan mengangankan suatu saat diriku betul-betul dilempari selendang oleh satu dari para penari itu sehingga aku bisa merasakan aroma keringatnya dari dekat. Tapi, ini bukan ronggeng, dan tentu saja karenanya di sini tak ada konsep nibakake sampur. Ah, sayang.
Jangan-jangan, aku sebetulnya memang ingin, suatu ketika, berkenalan dengan satu dari para penari itu. Kami akan duduk diam berdua sambil masing-masing mencoba meraih pesona. Atau, bercengkerama di lantai ulin. Kuharap ia akan membubuhkan buluh perindu ke gelas minumku.
Betul, rupanya aku menyukai kota ini. Kukira Samarinda hanyalah kota yang kumuh. Di banyak tempatnya terlalu berdebu, di banyak tempat yang lain terlalu banyak digenangi air yang baunya busuk menyengat. Tapi, kutatap secara samar-samar warna eksotika. Betul.
Sebagaimana aku membayangkan dapat mencicip bau keringat penari itu atau merasakan aroma napasnya yang tidak memburu, aku memang menyukai sesuatu yang eksotik. Penari itu. Kota ini. Sedang kamu, Naf? Aku sering tersiksa sendiri jika sampai sekarang aku masih saja gagal menemukan eksotika itu. Kamu.
Saat itu, enam bulan lalu, aku masih saja kesulitan mencari kemungkinan-kemungkinan eksotik yang muncul dari auramu, ketika kamu dengan ringan meniupkan kata-kata yang membuatku tersentak.
“Berpisah akan memungkinkan kita lebih mahir marajut angan dan kemungkinan-kemungkinan!”
“Naf…?!”
“Percayalah, aku mendukung sepenuhnya rasa jijikmu terhadap instansi tempatmu bekerja, lembaga riset itu.”
“Naf…?!”
Kamu selalu pintar mengalihkan persoalan. Waktu itu aku memang sedang jijik dengan kota ini. Bukan kota ini yang salah, tapi aku tiba-tiba merasa muak tinggal di dalamnya.
Aku mungkin tidak akan pernah menginjakkan kaki di kota ini jika bukan karena aku diterima bekerja di sebuah lembaga riset milik negara, yang bergerak di bidang penelitian bahasa. Aku sendiri seorang penikmat sastra dan budaya. Ketika beroleh berita akan ditempatkan di wilayah timur Borneo, hatiku terlonjak. Aku telah mendengar di wilayah itu terdapat beragam sikap dan hasil kebudayaan yang masing-masingnya didukung oleh komunitas etnis tertentu dengan eksotikanya tersendiri.
Langsung kubayangkan asyiknya tantangan untuk menyelami wilayah etnis ini. Aku akan bergumul dengan pekerjaan yang menuntut pelibatan diri yang tinggi. Ya. Kuakui, aku terobsesi dengan grounded research. Aku akan menikmati keasyikan tinggal bersama komunitas Kenyah, Tunjung, Kutai, Berusu, Benuaq, atau yang lainnya dan belajar hidup bersama mereka sambil menyerap inspirasi kultural maupun estetik untuk kemudian mencoba merumuskan apa yang bisa kutemukan dari pergaulan dengan mereka itu. Aku menyukai pedalaman dan eksotika. Selain itu, aku pastilah juga tidak akan lupa meneliti masyarakat Banjar yang banyak diam di perkotaan. Amboi.
Kekecewaan demi kekecewaan mulai menghampiriku. Bagaimanapun, aku kembali tersadarkan bahwa diriku sedang berada di sebuah lembaga milik negara, aku pegawai negara, orang bilang PNS. Dan meskipun lembaga yang kutempati ini bergerak di bidang riset dan keilmuan, tetaplah ia instansi negara. Dan instansi negara, kamu tahu, selalu saja banyak memiliki catatan reputasi moral yang tidak mengasyikkan. Aku harus mulai mengerti, seilmiah apa pun nama lembaga ini, praktik-praktik korupsi, pungli, dan manipulasi akan banyak terjadi.
“Dana untuk penelitian mandiri kalian memang dua juta empat ratus ribu rupiah, yang harus kalian tanda-tangani di kuitansi nanti. Tapi, harap kalian bisa memahami jika uang yang nanti diterima oleh kalian hanya maksimum separonya. Kantor mengambil sekian rupiah dari dana itu untuk membayar penilai proposal dan membayar konsultan. Selain itu, kantor juga akan memungut biaya pengetikan laporan….”
Padahal, aku tahu, pos pemotongan dana untuk penilaian proposal, pengonsultasian, maupun pengetikan laporan itu sama sekali tidak ada dasar hukumnya. Itu semata retorika pejabat melakukan eufemisme terhadap praktik pungli. Pada intinya, birokrasi ingin mengambil uang pungutan dan supaya tidak terkesan liar maka dibuatlah pos-pos penarikan dengan istilah yang sepintas lalu terlihat rasional. Aku sempat menanyakan ke kawan-kawan di lembaga riset sejenis di kota lain dan mereka menjawab di tempat mereka tidak ada pos pemotongan untuk biaya penilaian proposal, sementara untuk menghadirkan konsultan juga tidak diwajibkan.
“Percayalah, aku mendukung sepenuhnya rasa jijikmu terhadap instansi tempatmu bekerja, lembaga riset itu.”
“Naf…?!”
Rupanya kamu pintar membaca emosiku. Dan kamu tampak lebih dewasa hari itu, sebagaimana aku bisa merasakannya dari napasmu yang tidak memburu. Saat itu, aku sedang belajar meraba dan merasakan kemungkinan-kemungkinan eksotik yang muncul dari auramu. Tapi….
Barangkali, memang aku jijik dengan instansiku: lembaga riset, lembaga ilmiah, tapi suasananya sama sekali tidak ilmiah. Tepatnya, diksi-diksi ilmiah seringkali dipakai hanya sebagai tudung dari yang sebenarnya hanyalah semata “proyek penghabisan anggaran negara”. Peneliti murni yang bekerja untuk motivasi ilmiah justru akan banyak menderita sakit hati di sini.
“Kantor ini tidak membutuhkan orang yang pandai, tapi kantor ini membutuhkan orang yang sopan!”
Itulah statemen paling menjijikkan yang tak mungkin kulupakan. Kamu boleh tersenyum nyinyir jika statemen semacam itu keluar dari seseorang yang mengendalikan sebuah lembaga riset. Saat itu aku memang dibenci oleh atasanku karena dianggap tidak berdisiplin. Disiplin, dalam pemaknaannya yang verbalistik-lipstik, kamu tahu, adalah salah satu kata kunci yang sering dipakai oleh birokrasi Orde Baru untuk membekukan akal sehat dan mematikan apresiasi intelektual. Dan itu masih berlaku di sini.
Bagiku, sebagai peneliti aku harus banyak menggali pengetahuan dan inspirasi dari lingkungan dan masyarakat yang akan diteliti. Peneliti juga harus terlibat dengan wacana yang tengah berkembang di masyarakat. Artinya, peneliti harus menggelandang dan banyak bertandang. Peneliti harus berinteraksi dengan objek yang ditelitinya. Itulah kedisiplinan dan tanggung-jawab seorang peneliti, menurutku. Disiplin bagi seorang peneliti tentu berbeda dengan disiplin bagi pegawai administrasi.
“Ini bukan tawaran. Peraturan mengharuskan kalian untuk memenuhi 38 jam masuk kerja untuk setiap bulan. Jadi setiap pukul 7.30 pagi kalian harus ikut apel pagi dan baru pulang setelah pukul 16.00.”
Kamu juga tahu, di kantorku tidak ada buku-buku referensi kecuali buku-bukuku sendiri. Komputer juga cuma satu. Kamu jangan tertawa mengejek dulu, ini kenyataan. Kamu mungkin heran ke mana larinya uang proyek senilai sekian M itu. Jangan heran, pengadaan fasilitas komputer dan buku referensi, yang sebetulnya teramat primer bagi seorang peneliti, bukanlah yang diutamakan di sini. Begitulah, dan ini memang lembaga riset. Dan disiplin bagi peneliti di lembaga riset adalah apel pagi dengan memakai seragam rapi, duduk bengong di ruangan sampai sore (bagi yang perempuan sambil sesekali memperbaiki dandanan dan menebalkan ulang warna lipstik yang hilang), pulang, ke mal sebentar, tidur, bangun pagi-pagi, apel pagi, bengong lagi…. Sekali-kali jangan sok berdiskusi yang ilmiah, itu tidak sopan di mata atasan.
Kamu pasti marah kalau aku dibilang bukan orang yang suka kedisiplinan, karena kamu tahu sendiri, aku lebih sering cerewet mengingatkanmu untuk segera sembahyang atau segera menyelesaikan membaca sebuah novel. Yah, rasanya aku sangat sering beropini di depanmu, kedisiplinan adalah penegakan komitmen keilmuan dan pengabdian pada rakyat, penegakan nilai moral, penjunjungan hukum, penanaman kejujuran dan keadilan, bla bla bla…. Tapi, kenaifan-kenaifan memang selalu sering terjadi, Naf. Peneliti yang dianggap berdisiplin ternyata adalah peneliti yang rajin ikut apel pagi, meski ia tidak memiliki komitmen pada dunia keilmuan, meski orientasi yang ada di kepalanya hanyalah bagaimana bisa menghabiskan anggaran dana rutin atau dana proyek.
Bukankah seorang intelektual harusnya lebih mengejar peran sebagai moral oracle, orang bijak penjaga moral? Opinimu waktu itu. Aku tak membalahmu. Dan kau mengumpat bahwa banyak dari mereka yang bergerak di dunia intelektual tergelincir menjadi tak lebih dari servant of power, budak-budak kekuasaan. Nah, kau pintar, Naf. Dan kepintaranmu makin mendorongku untuk muyak dengan semua ini.
Akhirnya, aku memang mulai jengah dengan kota ini. Apalagi hubunganku denganmu selalu saja belum bisa seasyik yang kubayangkan. Aku mengangankan penari itu. Eksotika. Aku menginginkan ada yang membubuhkan buluh perindu di gelas minumku. Tapi, kamu telah dengan lancang nyelonong mencuri hatiku. Naf…
Betapa akrabnya canda kita setiap menaiki taksi kuning itu. Dan kamu selalu senang mengantarku ke lamin Pampang, menengok tarian. Betapa akrabnya diam kita setiap prosesi tarian bermula dari nyelama sakai. Aku suka penari-penari itu, tapi candamu menjebakku. Setiap pulang dari lamin kamu selalu memastikanku untuk meneruskan keakraban itu di rumahmu. Kita berdiskusi banyak hal. Dan napasmu tidak memburu. Tapi, aku sering khawatir setiap aku belajar mencari-cari warna eksotik dari inner beauty-mu. Aku mengangankan penari-penari itu. Betapa tidak asyiknya aroma kota dari bau mandimu, meski ketika berdiskusi banyak hal aku selalu bisa mencicipi asyiknya napasmu yang tidak memburu.
Kamu mengasyikkan justru ketika kamu terlalu cepat memutuskan.
“Berpisah akan memungkinkan kita lebih mahir marajut angan dan kemungkinan-kemungkinan!”
“Naf…?!”
Aku memang jengah dengan kota ini hanya karena rasa muakku setelah idealismeku sebagai peneliti dibunuh justru oleh lembaga kepenelitian tempatku bekerja di kota ini. Etika ilmiah dibunuh oleh instansi yang mengatasnamakan lembaga ilmiah. Aku memang risih bergaul dengan para pemuja “proyek” yang mencampakkan intelektualitas. Aku mungkin memang harus melupakan dulu kota ini. Tapi, apakah harus aku melupakan kecerdasan yang selalu meriah yang kuasyiki dari napasmu yang tidak memburu itu? Naf…?
Petikan sampe telah lama berhenti. Pengunjung juga sudah beranjak, sebagian keluar lamin, sebagian menuju sisi kiri lamin dan mulai menawar-nawar aksesori ataupun ramuan-ramuan a la Kenyah yang dijajakan di lantai lamin. Aku mulai beranjak. Aku sebetulnya masih ingin berlama mencuri cium aroma keringat penari-penari itu, tapi kamu sudah akan menunggu di taman di tepi sungai, sore ini. Mahakam…. Naf….
Aku juga heran, kenapa kamu hari ini tidak mau menyambutku dengan menemaniku mengulang memori ini. Menengok penari-penari. Padahal, sudah enam bulan kita tidak pernah bersama-sama melakukannya sejak aku harus memutuskan meninggalkan kota ini dan menyembunyikan alamatku di pulau seberang. Aku masih meninggalkan nomor ponselmu. Dan aku betul terlonjak ketika dua hari lalu kau menghubungi nomorku, meminta bertemu.
Mulanya aku agak ragu untuk kembali menginjak kota ini. Rasa kecewa dengan instansiku dulu, dengan ketidakintelektualan birokrasinya, masih kusimpan. Tapi, aku memang diam-diam selalu digelisahkan rindu. Kecerdasanmu. Napasmu yang tidak memburu. Dan, o, barangkali kita masih akan berbalah soal keringat penari-penari itu, juga buluh perindu.
Aku telah mencapai taman di tepian sungai ini setelah harus berganti taksi tiga kali. Seperti anak kecil, aku berlari-lari kecil menyusuri wajah-wajah yang sedang bersantai. Pastilah kamu, Naf, akan kujumpa lagi. Dan memang aku tidak sulit untuk menandaimu. Kira-kira sepuluh kaki di sebelah kiri kulihat kamu duduk menyendiri.
Aku mengumpat dalam hati karena rupanya kamu selalu saja memulai pertemuan dengan canda. Ya, pastilah kamu bercanda dengan menyembunyikan kejutan hadiah di sebalik jubahmu itu. Teramat besar rupanya volume hadiah yang akan kamu kejutkan untukku itu sehingga seolah kamu sedang mendekap sebuah bantal kecil di perutmu. Ayo, keluarkan, Naf, kutebak itu boneka penari atau….
Akan tetapi, senyummu menampakkan canda yang serius. Dan aku betul-betul terkejut.
“Naf…?!”
“Ya, penari kecilmu.”
“Naf…?!”
“Ya, tujuh bulan.”
“Naf…?!”
Aku tidak sempat membalah kenapa kamu tidak mengatakannya sejak enam bulan lalu. Aku terpaku dalam sugun. Sekali ini aku telah benar-benar bisa meraba dan merasakan kemungkinan-kemungkinan eksotik yang muncul dari auramu. Keringatmu melebihi keringat para penari itu, melebihi buluh perindu. Napasmu juga tidak memburu. Aku terjebak dalam eksotisme yang akut. Kukira aku telah begitu saja melupakan kekesalanku atas penolakanmu siang tadi untuk menemaniku menengok nyelama sakai dan mencuri bau keringat para penari.
“Aku akan mempersembahkan nyelama sakai dan manyam tali sekaligus, khas untukmu sore nanti. Kita bertemu saja di taman itu. Ingat, jangan dulu datang ke rumah. Tarian penyambutanku itu lebih nyaman kauasyiki di taman. Nanti sore, pukul lima, jangan terlambat.”
“Naf….”
Samarinda, 2005
Sumber: http://kumpulan-cerpen.blogspot.com/2005/07/nyelama-sakai.html
Senin, 27 September 2010
KADO PENGHAMPIRAN SASTRA YANG “MEMBUMI”*
Suryanto Sastroatmodjo
http://www.sastra-indonesia.com/
Lebih kurang 15 warsa silam, Pamusuk Erneste (dalam buku “pengadilan puisi” penerbit Gunung Agung Jakarta, 1986), menggambarkan bagaimana jauhnya bila jagad sastra (inklusif kepenyairan didominasi sejumlah nama, yang ingin bertahan sebagai idola, dan bukan sebagai creator), hingga publik sastra kecewa. Ia menyebut tentang Subagio Sastrowardoyo, Goenawan Mohamad dan WS. Rendra di tahun-tahun 70-an (setelah menikmati kemasyhuran hampir 25 tahun lebih, sementara kader-kadernya makin meredup masa itu), sehingga timbul sekelompok penyair muda yang merasa harus bertindak untuk mengembalikan dunia sastra di sudut penglihatan netral dan imbang, selaras dengan rising demans (tuntutan semakin meningkat).
Pendekar sastra HB Jassin menyebut; kredo sastra ialah suatu keteladanan moral, suatu empati individual yang lembut, jangan dipolitisir oleh elemen-elemen imperatif. Saya mengistilahkan camera obscure puitika apabila ingin meletakkan kaca mata tilik-selidik dalam penggarapan karya, terlebih jika kita ingin memaparkan karya-kreatif yang bersejarah dan monumental. Impresi adakalanya tanpa diacuhkan para penyair muda. Akan tetapi, postulant kecendikiaan justru berharap, agar metafor-metafor puitika mempunyai modus operandi yang adil, sejujurnya, harmonis.
Selama FKY pada era 80 ke 90an, terlebih ikhwal kebangkitan, peneguhan kredo semacam ini, betapa harus diakui, banyak nama-nama kreator terkubur, sementara sejumlah nama sempat, dan ingin selalu eksis di persada Sastra Indonesia. Sejauh inipun harus diakui, bahwa habitat-habitat sastrawan sangat majemuk, dan berbeda-beda; obsesi-obsesi pewartaan literer juga kudu diakui lebih lanjut.
Di awal tahun 1977, tatkala para penyair muda Yogyakarta, berhimpun di Gunung Jala Sutra, dan mengikrarkan “konsili puitika jala-sutra,” kami berlima; Djudjuk Sagitaria, Minadi S, Kuswahyo S. Rahardjo, Fuad Riyadi dan saya. Mengumumkan; “Tiada sastrawan mati, Tiada penyair sirna, Tiada lahan penciptaan raib, namun demikian Yogyakarta, harus sanggup membangkitkan terus-menerus, gairah produktif penciptaan nan utuh.”
Dua tahun kemudian, bersama budayawan Yoyok Hadi Wahyono, Keliek Moh. Nugroho, dalam pertemuan fajar di Bukit Ratu Boko Prambanan, terbersit lagu baru; “Sastra ialah Rumah Damai yang harus sanggup menampung krida karya mereka, yang menulis puisi laksana arus sungai mengalir, gemerincing di kaki langit. Di balik kedalaman itu, kita pun harus berani menggugat dan menuding diri sendiri, manakala kemandekan (stagnasi) tiba, dan tiada bersahabat.”
Ialah tipis dan pragmatis, bahwasannya penyair-penyair andalan 80an, seperti Otto Sucatno CR, Redi Panudju, Anton Taufan Putra, Abidah El Khaliki, Ulfathien CH dan Dorothea Rosa Herliani,—kita lihat 3 sastrawati berbasis kepenyairan Yogyakarta, dapat “mempribumikan ide-ide kegelisahan perawan” pada era pembebasan Ruh, menuju Teologi Kemerdekaan -berkumandang jauh, sedangkan kaki-kaki mereka, masih berpijak ditekad membumi, dan mengabdi tanpa pamrih.
Ialah riil, betapa potensi ekologis, emasi-patoris dan aplikatif, sudah bertambah tegar, sehingga pada penulis wanita, tidak lagi menghirau apa disebut problem gender yang kini mencuat itu. Kehidupan via literer, dan qua formaleus berkesenian yang jauh berlari, juga dalam pengembaraan gemuruh, seharusnya juga masih bisa ditatap, dan diadaptasikan pada situs-situs baru, produk-puitika mutakhir.
Graduasi kekinian toh tidak harus ditafsirkan sebagai seni mutakhir, alias gerak depan akhir jaman, sebagaimana kalau saya mengamati puisi-puisi Nurel Javissyarqi, Sri Wintala Achmad, Ahmad Syekhu, dan lantaran mereka bukan bicara tentang jaman nan tenggelam, akan tetapi tentang keberpihakan, keuqahari (a simple denotati on), komprehensi dan ritme sang kala.
Demikian pula, bila kita kaji puisi Kuswaidi Syafi’i yang sarat amsal-amsal “mempribadinya manusia” dan soliditas anak manusia. Al-hasil sebuah sikap betapa seharusnya kita bicara bijak, tentang membumikan fitrah hayati, kendati kita tidak bernaung di bawah firman-Nya (secara langsung).
Di waktu sejumlah penyair 1974 berorasi di depan patung Pak Dirman, dipimpin Ragil Suwarno Pragulopati, maka terbit amarah anggota dewan perwakilan rakyat, yang masih “demam malari;” Malapetaka Januari, pertentangan borjuisme gaya hidup dan media ekspresi, sementara pola-pola kerakyatan yang termuat dalam serangkum madah, justru cenderung formulasi proletarian.
Waktu itu penyair Fauzi Abdul Salam, melantunkan kidung “Lantunan Tiri Pejalan Sunyi,” terasa menderum; Kalaulah waktu bicara sudah terpotong fiksi bincangan peraturan di gedung musyawara / dunia acapkali pangling dengan lambaian kasih / hidup bermuara pada selokan pahit anyir / dan ndoro-ndoro tuan tanpa cawat…/. Keprihatinan anak “rakyat ternyata lebih membumi” ketimbang sejumlah impian birokrat pemda DIY (antara 70an) yang cuma bisa mengunyah-kunyah ucapan “Dirgahayu wahai para pribumi kita.”
Kololaria pada memo-memo jemawa, sering kali membuat para penyair tahun 70-80an, sering mengucapkan begini; “Bukankah para priyayi sudah lebih lama mendulang intan? / bukankah si bocah pinggir kali tinggal mencukil-cukil tinja di antara batu-batu kanal di pinggir kota?”—sebagaimana Alfauzi Sofi Salam dalam renungan malamnya menggugat; “Barangkali sudah cukup lama kita menangis, dan dibentak oleh mereka yang menista, kita sebagai Pribumi dalam kepapaan.” Setara dengan laguan kidung pembebasan, sebagaimana pengolok-olok LSM yang berpijar bersama anak-anak jalanan; puisi lebih bersinar lembut di kalbu para bocah.
Lho, apakah sebab penyair juga sudah lama menanggalkan kedukacitaan bocah pedalaman? -sehingga mereka tersesat di rimba kenestapaan?- Dalam Mempertimbangkan Tradisi, WS. Rendra (Gramedia, 1983) mengungkapkan tiga kegelisahan kreatif; pertama, bahwa bila seniman atau penyair bertarung tentang hari depan puisi yang “tahan banthing, tahan jaman” maka ia harus dapat menyeleksi ragam tradisi-tradisi lama, agar memperoleh daya saring -jernih.
Kedua, metafor-metafor puitika itu sebuah pamrih kefasihan berkarya sastra, kendati ini pun bermakna peneguhan hati nurani. Ketiga, upaya melepaskan dari tradisi manapun, untuk menjadi sang sejati yang berformat global. Sejalan itu, penyair senior Imam Budhi Santosa pernah berujar; “Kita sama-sama membutuhkan tradisi;” yakni tradisi spiritual yang tiada terhadang ruang dan waktu, tapi bertutur tentang dunia yang bijak, hidup intensif. Kita juga membutuhkan tradisi intelektualitas, dimana penyair mencoba mentranformasikan gagasan-gagasan akurat, seraya setia pada habitat awal, dalam konsep berkesenian.
Penyair Sitor Situmorang, dalam buku autobiografi “Sitor Situmorang, Panyair Danau Toba” (pustaka sinar harapan Jakarta 1981) menyebut kelahiran dua kumpulan puisinya yang monumental diperalihan tahun 50an menuju 60an, yaitu; Wajah Tak Bernama, Surat Kertas Hijau, bagi gambaran segi; pertama, penyair musti memiliki retang dunia pertemuan kembali, antara masa lampaunya mistis dan polos, dengan masa kini yang keras, atos, jemawa, nyaris tanpa kompromi. Aspek kedua, upaya mempertemukan jejak-jejak, ispired, terkadang kredo penggubahan karya puitika yang produktif, dengan menuju hari esok sulit ditebak kesadaran induktif, dan kolaboratif toh kudu dipersembah kepada publik sastra, hadir tanpa jedah, musim ke musim.
Pada tahap kekinian (dimana poros semusim lalu ialah pertaruhan emosional artistik) maka biarkanlah karya-karya menemukan identitasnya, setelah menghadapi berbagai hantaman dan gugatan. Proses evolusioner memperlihatkan situasi sastra bertajuk swa-winaya (selfdispline), kemudian widya arorraga (kerendahan hati oleh sikap arif ilmiah), niscaya bakal dibasuh suatu kesimpulan; lalan dung-tyastara (dimana bobot karya sampai kepada pemahaman adi-luhung, bagi umat manapun). -seperti halnya seorang Khalil Gibran, pun Rabindranath Tagore, yang berbicara lantang kepada dunia. Di situlah letak camera obscure puitika, menunjukkan fitrah kemuliaan, nan benar-benar membumi.
Persepsi kesusastraan bagi angkatan muda, bakal menuju pada kekeluargaan sesama, antar etnis, antar-individu, bahkan antar-kelembagaan. Saya berharap, antologi-antologi sastra, jurnal-jurnal sastra, dan buletin-buletin sekitar puisi bertajuk “Selamatkan Dunia Ini, Selamatkan Jiwa-jiwa Luhur Nusantara,” niscaya akan melegitimir puncak karya masa kini dan kelak. Kita masih harus terus berjuang. Wadah sastra yang kini menjadi alternatif, barangkali merupakan langkah awal menuju kedewasaan yang terharapkan, karena disitulah kita memuliakan gairah riel berkesenian.
Nagan Lor, 21 Yogyakarta.
MEREKA YANG MEMBICARAKAN “SARANG RUH” 1999
Sajak-sajak yang terhimpun dalam antologi ini, secara tematis cenderung menyuarakan hakikat kesejatian insan. Manusia dalam sajak-sajak itu, berupaya memenuhi panggilan kesejatiannya; subyek yang sadar, dan bertindak mengatasi dunia-realitas mengkondisikannya.
Dunia realitas bukanlah sesuatu ada dengan sendirinya, dan harus diterima menurut apa-adanya. Maka, sajak pun dapat menjadi Sarang Ruh, sebuah papan melakukan refleksi terhadap situasi itu. Sajak pun bisa dianggap sebagai aktualisasi upaya concientization bagi diri sendiri, bahwa diri sebagai subyek harus mampu menunaikan imperatif sebagai kreator bagi sejarahnya.
Proses menjadi merupakan suatu yang tidak pernah selesai. Membangun Sarang Ruh bukan sekadar proses penyesuaian, melainkan proses integrasi dalam mencapai kemanusiaan sejati, Selamat (Suminto A. Sayuti).
Saya menyukai semangat dan keberanian Nurel, sesuatu yang kelak jadi persoalan serius bagi kebanyakan pengarang. Ia telah menulis ratusan puisi, menjilidnya sendiri; dan itu bagi saya, sebuah modal sangat berharga. Saya bukan seorang penyair, meskipun saya juga tidak buta puisi. Tapi saya kira, tawaran Nurel dalam buku ini, cukup menjanjikan harapan (Joni Ariadinata).
Dari Yogyakarta memasuki milenium baru, kita diajak sajak-sajak Nurel Javissyarqi pada pertanggungan diri, sebagai pusat kendali, dari perubahan di luar perubahan sosial, agar manusia tidak kehilangan dimensi kemanusiaannya, ditengah euphoria –kebablasan. (Abdul Wachid BS).
*) Pengantar antologi puisi tunggal “Sarang Ruh” karya Nurel Javissyarqi, 1999 Yogyakarta.
http://www.sastra-indonesia.com/
Lebih kurang 15 warsa silam, Pamusuk Erneste (dalam buku “pengadilan puisi” penerbit Gunung Agung Jakarta, 1986), menggambarkan bagaimana jauhnya bila jagad sastra (inklusif kepenyairan didominasi sejumlah nama, yang ingin bertahan sebagai idola, dan bukan sebagai creator), hingga publik sastra kecewa. Ia menyebut tentang Subagio Sastrowardoyo, Goenawan Mohamad dan WS. Rendra di tahun-tahun 70-an (setelah menikmati kemasyhuran hampir 25 tahun lebih, sementara kader-kadernya makin meredup masa itu), sehingga timbul sekelompok penyair muda yang merasa harus bertindak untuk mengembalikan dunia sastra di sudut penglihatan netral dan imbang, selaras dengan rising demans (tuntutan semakin meningkat).
Pendekar sastra HB Jassin menyebut; kredo sastra ialah suatu keteladanan moral, suatu empati individual yang lembut, jangan dipolitisir oleh elemen-elemen imperatif. Saya mengistilahkan camera obscure puitika apabila ingin meletakkan kaca mata tilik-selidik dalam penggarapan karya, terlebih jika kita ingin memaparkan karya-kreatif yang bersejarah dan monumental. Impresi adakalanya tanpa diacuhkan para penyair muda. Akan tetapi, postulant kecendikiaan justru berharap, agar metafor-metafor puitika mempunyai modus operandi yang adil, sejujurnya, harmonis.
Selama FKY pada era 80 ke 90an, terlebih ikhwal kebangkitan, peneguhan kredo semacam ini, betapa harus diakui, banyak nama-nama kreator terkubur, sementara sejumlah nama sempat, dan ingin selalu eksis di persada Sastra Indonesia. Sejauh inipun harus diakui, bahwa habitat-habitat sastrawan sangat majemuk, dan berbeda-beda; obsesi-obsesi pewartaan literer juga kudu diakui lebih lanjut.
Di awal tahun 1977, tatkala para penyair muda Yogyakarta, berhimpun di Gunung Jala Sutra, dan mengikrarkan “konsili puitika jala-sutra,” kami berlima; Djudjuk Sagitaria, Minadi S, Kuswahyo S. Rahardjo, Fuad Riyadi dan saya. Mengumumkan; “Tiada sastrawan mati, Tiada penyair sirna, Tiada lahan penciptaan raib, namun demikian Yogyakarta, harus sanggup membangkitkan terus-menerus, gairah produktif penciptaan nan utuh.”
Dua tahun kemudian, bersama budayawan Yoyok Hadi Wahyono, Keliek Moh. Nugroho, dalam pertemuan fajar di Bukit Ratu Boko Prambanan, terbersit lagu baru; “Sastra ialah Rumah Damai yang harus sanggup menampung krida karya mereka, yang menulis puisi laksana arus sungai mengalir, gemerincing di kaki langit. Di balik kedalaman itu, kita pun harus berani menggugat dan menuding diri sendiri, manakala kemandekan (stagnasi) tiba, dan tiada bersahabat.”
Ialah tipis dan pragmatis, bahwasannya penyair-penyair andalan 80an, seperti Otto Sucatno CR, Redi Panudju, Anton Taufan Putra, Abidah El Khaliki, Ulfathien CH dan Dorothea Rosa Herliani,—kita lihat 3 sastrawati berbasis kepenyairan Yogyakarta, dapat “mempribumikan ide-ide kegelisahan perawan” pada era pembebasan Ruh, menuju Teologi Kemerdekaan -berkumandang jauh, sedangkan kaki-kaki mereka, masih berpijak ditekad membumi, dan mengabdi tanpa pamrih.
Ialah riil, betapa potensi ekologis, emasi-patoris dan aplikatif, sudah bertambah tegar, sehingga pada penulis wanita, tidak lagi menghirau apa disebut problem gender yang kini mencuat itu. Kehidupan via literer, dan qua formaleus berkesenian yang jauh berlari, juga dalam pengembaraan gemuruh, seharusnya juga masih bisa ditatap, dan diadaptasikan pada situs-situs baru, produk-puitika mutakhir.
Graduasi kekinian toh tidak harus ditafsirkan sebagai seni mutakhir, alias gerak depan akhir jaman, sebagaimana kalau saya mengamati puisi-puisi Nurel Javissyarqi, Sri Wintala Achmad, Ahmad Syekhu, dan lantaran mereka bukan bicara tentang jaman nan tenggelam, akan tetapi tentang keberpihakan, keuqahari (a simple denotati on), komprehensi dan ritme sang kala.
Demikian pula, bila kita kaji puisi Kuswaidi Syafi’i yang sarat amsal-amsal “mempribadinya manusia” dan soliditas anak manusia. Al-hasil sebuah sikap betapa seharusnya kita bicara bijak, tentang membumikan fitrah hayati, kendati kita tidak bernaung di bawah firman-Nya (secara langsung).
Di waktu sejumlah penyair 1974 berorasi di depan patung Pak Dirman, dipimpin Ragil Suwarno Pragulopati, maka terbit amarah anggota dewan perwakilan rakyat, yang masih “demam malari;” Malapetaka Januari, pertentangan borjuisme gaya hidup dan media ekspresi, sementara pola-pola kerakyatan yang termuat dalam serangkum madah, justru cenderung formulasi proletarian.
Waktu itu penyair Fauzi Abdul Salam, melantunkan kidung “Lantunan Tiri Pejalan Sunyi,” terasa menderum; Kalaulah waktu bicara sudah terpotong fiksi bincangan peraturan di gedung musyawara / dunia acapkali pangling dengan lambaian kasih / hidup bermuara pada selokan pahit anyir / dan ndoro-ndoro tuan tanpa cawat…/. Keprihatinan anak “rakyat ternyata lebih membumi” ketimbang sejumlah impian birokrat pemda DIY (antara 70an) yang cuma bisa mengunyah-kunyah ucapan “Dirgahayu wahai para pribumi kita.”
Kololaria pada memo-memo jemawa, sering kali membuat para penyair tahun 70-80an, sering mengucapkan begini; “Bukankah para priyayi sudah lebih lama mendulang intan? / bukankah si bocah pinggir kali tinggal mencukil-cukil tinja di antara batu-batu kanal di pinggir kota?”—sebagaimana Alfauzi Sofi Salam dalam renungan malamnya menggugat; “Barangkali sudah cukup lama kita menangis, dan dibentak oleh mereka yang menista, kita sebagai Pribumi dalam kepapaan.” Setara dengan laguan kidung pembebasan, sebagaimana pengolok-olok LSM yang berpijar bersama anak-anak jalanan; puisi lebih bersinar lembut di kalbu para bocah.
Lho, apakah sebab penyair juga sudah lama menanggalkan kedukacitaan bocah pedalaman? -sehingga mereka tersesat di rimba kenestapaan?- Dalam Mempertimbangkan Tradisi, WS. Rendra (Gramedia, 1983) mengungkapkan tiga kegelisahan kreatif; pertama, bahwa bila seniman atau penyair bertarung tentang hari depan puisi yang “tahan banthing, tahan jaman” maka ia harus dapat menyeleksi ragam tradisi-tradisi lama, agar memperoleh daya saring -jernih.
Kedua, metafor-metafor puitika itu sebuah pamrih kefasihan berkarya sastra, kendati ini pun bermakna peneguhan hati nurani. Ketiga, upaya melepaskan dari tradisi manapun, untuk menjadi sang sejati yang berformat global. Sejalan itu, penyair senior Imam Budhi Santosa pernah berujar; “Kita sama-sama membutuhkan tradisi;” yakni tradisi spiritual yang tiada terhadang ruang dan waktu, tapi bertutur tentang dunia yang bijak, hidup intensif. Kita juga membutuhkan tradisi intelektualitas, dimana penyair mencoba mentranformasikan gagasan-gagasan akurat, seraya setia pada habitat awal, dalam konsep berkesenian.
Penyair Sitor Situmorang, dalam buku autobiografi “Sitor Situmorang, Panyair Danau Toba” (pustaka sinar harapan Jakarta 1981) menyebut kelahiran dua kumpulan puisinya yang monumental diperalihan tahun 50an menuju 60an, yaitu; Wajah Tak Bernama, Surat Kertas Hijau, bagi gambaran segi; pertama, penyair musti memiliki retang dunia pertemuan kembali, antara masa lampaunya mistis dan polos, dengan masa kini yang keras, atos, jemawa, nyaris tanpa kompromi. Aspek kedua, upaya mempertemukan jejak-jejak, ispired, terkadang kredo penggubahan karya puitika yang produktif, dengan menuju hari esok sulit ditebak kesadaran induktif, dan kolaboratif toh kudu dipersembah kepada publik sastra, hadir tanpa jedah, musim ke musim.
Pada tahap kekinian (dimana poros semusim lalu ialah pertaruhan emosional artistik) maka biarkanlah karya-karya menemukan identitasnya, setelah menghadapi berbagai hantaman dan gugatan. Proses evolusioner memperlihatkan situasi sastra bertajuk swa-winaya (selfdispline), kemudian widya arorraga (kerendahan hati oleh sikap arif ilmiah), niscaya bakal dibasuh suatu kesimpulan; lalan dung-tyastara (dimana bobot karya sampai kepada pemahaman adi-luhung, bagi umat manapun). -seperti halnya seorang Khalil Gibran, pun Rabindranath Tagore, yang berbicara lantang kepada dunia. Di situlah letak camera obscure puitika, menunjukkan fitrah kemuliaan, nan benar-benar membumi.
Persepsi kesusastraan bagi angkatan muda, bakal menuju pada kekeluargaan sesama, antar etnis, antar-individu, bahkan antar-kelembagaan. Saya berharap, antologi-antologi sastra, jurnal-jurnal sastra, dan buletin-buletin sekitar puisi bertajuk “Selamatkan Dunia Ini, Selamatkan Jiwa-jiwa Luhur Nusantara,” niscaya akan melegitimir puncak karya masa kini dan kelak. Kita masih harus terus berjuang. Wadah sastra yang kini menjadi alternatif, barangkali merupakan langkah awal menuju kedewasaan yang terharapkan, karena disitulah kita memuliakan gairah riel berkesenian.
Nagan Lor, 21 Yogyakarta.
MEREKA YANG MEMBICARAKAN “SARANG RUH” 1999
Sajak-sajak yang terhimpun dalam antologi ini, secara tematis cenderung menyuarakan hakikat kesejatian insan. Manusia dalam sajak-sajak itu, berupaya memenuhi panggilan kesejatiannya; subyek yang sadar, dan bertindak mengatasi dunia-realitas mengkondisikannya.
Dunia realitas bukanlah sesuatu ada dengan sendirinya, dan harus diterima menurut apa-adanya. Maka, sajak pun dapat menjadi Sarang Ruh, sebuah papan melakukan refleksi terhadap situasi itu. Sajak pun bisa dianggap sebagai aktualisasi upaya concientization bagi diri sendiri, bahwa diri sebagai subyek harus mampu menunaikan imperatif sebagai kreator bagi sejarahnya.
Proses menjadi merupakan suatu yang tidak pernah selesai. Membangun Sarang Ruh bukan sekadar proses penyesuaian, melainkan proses integrasi dalam mencapai kemanusiaan sejati, Selamat (Suminto A. Sayuti).
Saya menyukai semangat dan keberanian Nurel, sesuatu yang kelak jadi persoalan serius bagi kebanyakan pengarang. Ia telah menulis ratusan puisi, menjilidnya sendiri; dan itu bagi saya, sebuah modal sangat berharga. Saya bukan seorang penyair, meskipun saya juga tidak buta puisi. Tapi saya kira, tawaran Nurel dalam buku ini, cukup menjanjikan harapan (Joni Ariadinata).
Dari Yogyakarta memasuki milenium baru, kita diajak sajak-sajak Nurel Javissyarqi pada pertanggungan diri, sebagai pusat kendali, dari perubahan di luar perubahan sosial, agar manusia tidak kehilangan dimensi kemanusiaannya, ditengah euphoria –kebablasan. (Abdul Wachid BS).
*) Pengantar antologi puisi tunggal “Sarang Ruh” karya Nurel Javissyarqi, 1999 Yogyakarta.
Upacara Kemerdekaan, Upaya Mengkritisi Bangsa
Denny Mizhar*
http://sastra-indonesia.com/
Jika menapak tilasi bangsa Indonesia, tak jua menemui perubahan. Kebobrokan para pengambil kebijakan sudah bukan hal asing disaksikan. Pada realitasnya bangsa ini belum menemukan titik perubahan segar sesudah reformasi 1998. Tapi malah memasuki babak kegelapan. Orde Baru memang telah tumbang, namun gaya prilakunya masih menghantui, bahkan semakin akut. Tampak pada realitas keseharian dapat dipandang melalui layar televisi pun di sekitar kita. Kesewenang-wenangan penguasa politik pula penguasa modal. Demokrasi yang diharapkan malah diam di tempat tak bergerak sama sekali.
Pada kemerdekaan bangsa Indonesia yang ke 65, semua merayakan. Dari pesta kecil-kecilan sekedar makan ucapan syukur, pula perhelatan yang besar-besaran sehingga membetot banyak biaya. Mungkin saja lupa sesaat kasus-kasus yang tak kunjung usai. Salah satunya korupsi sengaja diambangkan agar masyarakat lalai.
Seharusnya malu pada para pahlawan, yang telah perjuangkan kedaulatan bangsa ini hingga titik darah penghabisan. Penjajahan kini bukan lagi dilakukan bangsa asing dengan agresi pendudukan wilayah tetapi dengan modal, budaya, dll. Semakin runyam kita dapati penjajahan dilakukan warganya sendiri yang terwakili pemegang kuasa. Saban hari, kita dapati kebrobrokan para penguasa bangsa ini.
Pada peringatan 17 Agustus 2010 kemarin, sebagian seniman di Malang menggelar ritual guna ikut andil merayakan kemerdekaan memilih cara lain. Upacara bendera di bawah jembatan Kali Brantas, Jl. Majapahit yang dimulai pukul 11 dan dilanjutkan dengan acara inti. Yakni membuat agenda yang direncanakan tahunan: Performance Art Malang Festival 2010, kali ini tema yang diangkat ialah penyikapan atas kemerdekaan bangsa Indonesia.
***
Upacara di bawah jembatan dan di areal Kali Brantas memberi makna sendiri, bagi penyikapan kondisi bangsa ini, yang tak juga berubah lebih baik. Locus di bawah jembatan menggambarkan kemerdekaan yang dirasai belum naik ke atas. Meminjam logika biner strukturalisme Sausurian: atas x bawah. Atas menghadirkan nilai perubahan, sedang bawah tidak. Sungai mengalir mencipta pengertian agar segala permasalahan terhayut mengikuti arusnya terbawa tidak kembali sebagai harapan berbangsa terindah.
Di sini para seniman heppening art memberikan gambaran harapan lewat actingnya. Performance art pertama yaitu keterbungkaman bangsa dalam kasus korupsi yang tak kunjung usai. Adegan tersebut dilakukan aktor dengan menutup seluruh tubuhnya dengan plastis, menerbangkan pesawat-pesawatan yang terbuat dari kertas sedari atas jembatan. Lalu membawa tikus-tikus. Tikus-tikus digigit sehabis membuka balutan plastik yang menempeli badan aktor. Tetikus mati darah tercecer di plastik yang tadinya digunakan membalut tubuhnya, dan dikerek ke atas sambil aktor yang memainkan berteriak “merdeka”. Makna yang dapat tertangkap darinya adalah realitas korupsi yang tak kunjung selesai. Simbol membunuh tikus dapat diartikan, para koruptor harus segera dibasmi, ditarik ke atas hingga terjadi perubahan, guna wabah korupsi tidak membudaya sebagaimana yang melandai bangsa ini.
Berlanjut performance art yang kedua diperankan Eny Asrinawati, beradegan mencuci bendera lalu manabur bunga sambil berdoa untuk para pahlawan. Hal itu menggambarkan bangsa ini perlu dicuci, lantas berdo’a demi pahlawan bangsa agar perjuangannya dapat diteruskan. Performent art ke tiga diperankan Oktaviani Puspitasari, adegan yang diawali membagikan kertas kepada penonton untuk menuliskan harapan apa saja yang harus dihilangkan atas bangsa ini, misalkan korupsi, kebodohan, penindasan, dll. Kertas-kertas yang tertulis dibawanya ke tempat sepi, lalu aktor tersebut mengali. Masalah-masalah yang sudah tertuliskan dimasukkan ke liang yang sudah digalinya, serupa kegiatan mengubur ketika ada kawan meninggal dunia. Permasalahan yang membuat bangsa ini terpuruk harus segera dipendam. Sehabis itu diakhiri pelepasan burung yang menerbitkan pengertian; kebebasan telah didapatkan, karena seluruh musabab buruk sudah terkubur dalam.
Performance art selanjutnya, aktor mengajak pengunjung mengambili sampah yang berserakan di sekitarnya, lalu beramai-ramai membakarnya. Darinya diajak menyadari diri bahwa di sekeliling kita masih banyak soal membelit, segerahlah diselesaikan atau dibuang. Hal itu terwakili dengan adegan pembakaran tumpukan sampah. Performance art kelima, aksi dilakukan aktor memerankan: mencuci bendera dan mengibarkanya. Secara makna sama performance art di atas, akan keharusan dalam membersihkan prolem bangsa ini. Performance art terakhir dilakukan oleh Gembo, ini memberikan penegasan akan hakikat kemerdekaan yang sedang kita rayakan. Dengan adegan seorang aktor membawa kanvas lalu melukis bermedia lumpur. Yang terbaca bangsa ini masih berkubang di rimba masalah. Mungkin saja, kritik terhadap kasus lumpur Lapindo yang tak kunjung usai. Sehabis aktor melukis di kanvas dengan lumpur, ia membagikan bendera pada penonton yang bertuliskan “Sudakah Anda Merdeka?” Sebuah sindiran pada bangsa ini pun diri kita, apakah sudah mendapati kemerdekaan?
Secara utuh semua adegan performance art yang dilakukan para aktor dalam acara Performent Art Malang Festival itu, mengungkap kegelisahan bangsa Indonesia yang tidak kunjung berubah dalam lawatannya yang ke 65. Selain memberi kesadaran, akan pertanyaan di batas penyadaran, betapa pentingnya perubahan harus dilakukan. Sebuah kritik lewat performent art di hari peringatan bangsa, dapat memberi kesan tersendiri makna kemerdekaan. Walaupun secara teknis dan penguasaan ruang masih radak kedodoran. Artinya pembacaan ruang yang kurang maksimal dengan kendala di lapangan. Serta tidak adanya buklet penjembatan atas pembacaan, sehingga penonton awam bertanya-tanya apa, yang dilakukan para aktor tersebut.
Agenda yang digagas MeizHtRuatiOn PeRfORmaNcE semoga berlangsung tahunan. Sehingga Malang memiliki agenda tetap yang dapat dirujuk seniman-seniman performance art sedari daerah lain. Dan akhirnya dinamika performance art di kota Malang kian semarak.
Malang, 18 Agustus 2010
*) Pegiat Seni Teater dan Sastra tinggal di Malang.
http://sastra-indonesia.com/
Jika menapak tilasi bangsa Indonesia, tak jua menemui perubahan. Kebobrokan para pengambil kebijakan sudah bukan hal asing disaksikan. Pada realitasnya bangsa ini belum menemukan titik perubahan segar sesudah reformasi 1998. Tapi malah memasuki babak kegelapan. Orde Baru memang telah tumbang, namun gaya prilakunya masih menghantui, bahkan semakin akut. Tampak pada realitas keseharian dapat dipandang melalui layar televisi pun di sekitar kita. Kesewenang-wenangan penguasa politik pula penguasa modal. Demokrasi yang diharapkan malah diam di tempat tak bergerak sama sekali.
Pada kemerdekaan bangsa Indonesia yang ke 65, semua merayakan. Dari pesta kecil-kecilan sekedar makan ucapan syukur, pula perhelatan yang besar-besaran sehingga membetot banyak biaya. Mungkin saja lupa sesaat kasus-kasus yang tak kunjung usai. Salah satunya korupsi sengaja diambangkan agar masyarakat lalai.
Seharusnya malu pada para pahlawan, yang telah perjuangkan kedaulatan bangsa ini hingga titik darah penghabisan. Penjajahan kini bukan lagi dilakukan bangsa asing dengan agresi pendudukan wilayah tetapi dengan modal, budaya, dll. Semakin runyam kita dapati penjajahan dilakukan warganya sendiri yang terwakili pemegang kuasa. Saban hari, kita dapati kebrobrokan para penguasa bangsa ini.
Pada peringatan 17 Agustus 2010 kemarin, sebagian seniman di Malang menggelar ritual guna ikut andil merayakan kemerdekaan memilih cara lain. Upacara bendera di bawah jembatan Kali Brantas, Jl. Majapahit yang dimulai pukul 11 dan dilanjutkan dengan acara inti. Yakni membuat agenda yang direncanakan tahunan: Performance Art Malang Festival 2010, kali ini tema yang diangkat ialah penyikapan atas kemerdekaan bangsa Indonesia.
***
Upacara di bawah jembatan dan di areal Kali Brantas memberi makna sendiri, bagi penyikapan kondisi bangsa ini, yang tak juga berubah lebih baik. Locus di bawah jembatan menggambarkan kemerdekaan yang dirasai belum naik ke atas. Meminjam logika biner strukturalisme Sausurian: atas x bawah. Atas menghadirkan nilai perubahan, sedang bawah tidak. Sungai mengalir mencipta pengertian agar segala permasalahan terhayut mengikuti arusnya terbawa tidak kembali sebagai harapan berbangsa terindah.
Di sini para seniman heppening art memberikan gambaran harapan lewat actingnya. Performance art pertama yaitu keterbungkaman bangsa dalam kasus korupsi yang tak kunjung usai. Adegan tersebut dilakukan aktor dengan menutup seluruh tubuhnya dengan plastis, menerbangkan pesawat-pesawatan yang terbuat dari kertas sedari atas jembatan. Lalu membawa tikus-tikus. Tikus-tikus digigit sehabis membuka balutan plastik yang menempeli badan aktor. Tetikus mati darah tercecer di plastik yang tadinya digunakan membalut tubuhnya, dan dikerek ke atas sambil aktor yang memainkan berteriak “merdeka”. Makna yang dapat tertangkap darinya adalah realitas korupsi yang tak kunjung selesai. Simbol membunuh tikus dapat diartikan, para koruptor harus segera dibasmi, ditarik ke atas hingga terjadi perubahan, guna wabah korupsi tidak membudaya sebagaimana yang melandai bangsa ini.
Berlanjut performance art yang kedua diperankan Eny Asrinawati, beradegan mencuci bendera lalu manabur bunga sambil berdoa untuk para pahlawan. Hal itu menggambarkan bangsa ini perlu dicuci, lantas berdo’a demi pahlawan bangsa agar perjuangannya dapat diteruskan. Performent art ke tiga diperankan Oktaviani Puspitasari, adegan yang diawali membagikan kertas kepada penonton untuk menuliskan harapan apa saja yang harus dihilangkan atas bangsa ini, misalkan korupsi, kebodohan, penindasan, dll. Kertas-kertas yang tertulis dibawanya ke tempat sepi, lalu aktor tersebut mengali. Masalah-masalah yang sudah tertuliskan dimasukkan ke liang yang sudah digalinya, serupa kegiatan mengubur ketika ada kawan meninggal dunia. Permasalahan yang membuat bangsa ini terpuruk harus segera dipendam. Sehabis itu diakhiri pelepasan burung yang menerbitkan pengertian; kebebasan telah didapatkan, karena seluruh musabab buruk sudah terkubur dalam.
Performance art selanjutnya, aktor mengajak pengunjung mengambili sampah yang berserakan di sekitarnya, lalu beramai-ramai membakarnya. Darinya diajak menyadari diri bahwa di sekeliling kita masih banyak soal membelit, segerahlah diselesaikan atau dibuang. Hal itu terwakili dengan adegan pembakaran tumpukan sampah. Performance art kelima, aksi dilakukan aktor memerankan: mencuci bendera dan mengibarkanya. Secara makna sama performance art di atas, akan keharusan dalam membersihkan prolem bangsa ini. Performance art terakhir dilakukan oleh Gembo, ini memberikan penegasan akan hakikat kemerdekaan yang sedang kita rayakan. Dengan adegan seorang aktor membawa kanvas lalu melukis bermedia lumpur. Yang terbaca bangsa ini masih berkubang di rimba masalah. Mungkin saja, kritik terhadap kasus lumpur Lapindo yang tak kunjung usai. Sehabis aktor melukis di kanvas dengan lumpur, ia membagikan bendera pada penonton yang bertuliskan “Sudakah Anda Merdeka?” Sebuah sindiran pada bangsa ini pun diri kita, apakah sudah mendapati kemerdekaan?
Secara utuh semua adegan performance art yang dilakukan para aktor dalam acara Performent Art Malang Festival itu, mengungkap kegelisahan bangsa Indonesia yang tidak kunjung berubah dalam lawatannya yang ke 65. Selain memberi kesadaran, akan pertanyaan di batas penyadaran, betapa pentingnya perubahan harus dilakukan. Sebuah kritik lewat performent art di hari peringatan bangsa, dapat memberi kesan tersendiri makna kemerdekaan. Walaupun secara teknis dan penguasaan ruang masih radak kedodoran. Artinya pembacaan ruang yang kurang maksimal dengan kendala di lapangan. Serta tidak adanya buklet penjembatan atas pembacaan, sehingga penonton awam bertanya-tanya apa, yang dilakukan para aktor tersebut.
Agenda yang digagas MeizHtRuatiOn PeRfORmaNcE semoga berlangsung tahunan. Sehingga Malang memiliki agenda tetap yang dapat dirujuk seniman-seniman performance art sedari daerah lain. Dan akhirnya dinamika performance art di kota Malang kian semarak.
Malang, 18 Agustus 2010
*) Pegiat Seni Teater dan Sastra tinggal di Malang.
Gerakan Pena Kaum Sarungan
Judul Buku : Jalan Terjal Santri Menjadi Penulis
Penulis : Rizal Mumazziq Zionis, dkk.
Editor : Tsanin A. Zuhairi, S,Hi, M.Si.
Prolog : Prof. Dr. H. Nur Syam, M.Si
Penerbit : Muara Progresif, Surabaya
Cetakan : I; 2009
Tebal : vii + 224 halaman
Peresensi : Anwar Nuris*
http://www.nu.or.id/
Verba volant, scripta manent (kata-kata akan sirna, tulisan akan membuatnya abadi)
Di tengah maraknya santri pesantren saat ini yang sindrom jejaring sosial semacam Facebook sebagai media sharing dan menulis, terdapat anekdot menarik yang berkembang dikalangan mereka. Seorang santri yang tidak mau dan mampu menulis, ibarat burung bersayap satu. Burung itu hanya mampu meloncat dari satu dahan ke dahan yang lain, atau terbang pendek dari satu pohon ke pohon lain yang jaraknya sangat dekat. Santri yang tidak mau menulis hanya mampu mengaji dan mengkaji dari satu halaqah ke halaqah yang lain. Santri yang mau menulis akan mampu mengembangkan pemikiran dan ilmu mereka lebih luas, tanpa dibatasi oleh sekat apapun, terlebih di era digital seperti sekarang ini.
Mereka (santri) sepertinya tersihir oleh lembar sejarah kepenulisan para pendahulunya. Aviecena (Ibnu Sina) yang dikenal karena kepakarannya di bidang kedokteran. Buah karyanya berjudul al-Qanuun fit-Thibb menjadi rujukan beberapa fakultas kedokteran di Barat. Bahkan dengan karyanya itu, ia dinobatkan sebagai bapak kedokteran dunia. Selain itu ada Imam al-Ghazali dengan magnum opus-nya Ihya’ Ulumiddin yang konon menjadi rujukan negeri Barat dan Eropa selama lebih kurang 7 abad lamanya. Al-Khawarizmi, Omar Khayyam, Nashir Al-Din Thusi sang profesor Matematika, Ibnu Al-Haytam yang ahli Eksprimentalis, Al-Biruni sang pegiat Fisika, Ar-Razi yang menggeluti ilmu Kimia, dan masih banyak yang lainnya.
Buah pemikiran cendikiawan yang dituangkan dalam bentuk tulisan tersebut telah merubah peradaban dunia hingga seperti sekarang. Berkat buku yang di dalamnya terdapat banyak ilmu pengetahuan telah menjadikan dunia lebih berwarna. Alam tidak lagi gelap karena Thomas Alfa Edison yang telah menemukan listrik. Manusia bisa bepergian cepat sampai tujuan dengan sarana kereta api berkat mesin uap yang ditemukan James Watt. Karya-karya mereka lah yang membuat mereka dikenal. Karya yang tidak lapuk oleh waktu, karena ditulis dalam sebuah media bernama buku atau kitab, sehingga bisa dinikmati oleh generasi yang jauh di bawahnya.
Dalam konteks Indonesia, Tradisi kepenulisan juga amat kuat. Banyak cendekiawan Islam di negeri ini yang menulis buku, kitab, atau pun karya tulis yang lain. Mayoritas dari mereka dididik dan dibesarkan oleh lingkungan pesantren.
Sebagaimana kita ketahui, pesantren memiliki tradisi unik dan unggul yang jarang didapat pada lembaga lain. Dan salah satu keunikan tersebut adalah tradisinya dalam mengembangkan warisan keilmuan ulama salaf (salafus shalih). Pola gerakan yang dilakukan ulama salaf untuk memperoleh dan mentransformasikan keilmuannya tidak hanya membaca dan mengkaji, tetapi berkontemplasi dan kemudian menerjemahkan pemikirannya dalam bentuk tulisan.
Mereka (ulama salaf) mampu melahirkan dan mewariskan karya-karya tulis yang ternyata masih dipelajari oleh berbagai pondok pesantren atau sekolah sampai sekarang. Tidak sedikit pula dari karya ulama atau kiai Indonesia yang dikenal luas di berbagai belahan bumi. Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Mahfudz Al-Tirmasi, atau Syekh Yasin Al-Fadani Al-Makky adalah di antara para punggawa pesantren di Indonesia yang karyanya telah melabuhi pemikiran intelektual Islam di berbagai Negara.
Selain mereka, “santri Indonesia” yang lain juga banyak menelorkan karya-karya yang bagus dan monumental. Beberapa nama yang dapat disebut di antaranya adalah KH. Ma’shum Ali dengan al-Amtsilatut Tashrifiyah, KH. Hasyim Asy’ari dengan Adab al-Alim wa al-Muta’allim, KH Bisri Mustofa dengan Tafsir al-Ibriz dan KH. Sahal Mahfudz dengan Thariqah al-Ushul ala al-Ghayah al-Ushul. Rata-rata tulisan mereka tetap di baca saat ini bahkan menjadi referensi utama dalam setiap kajian maupun pengajian dilingkungan pesantren.
Dus, santri sebagai salah satu elemen pesantren tidak hanya ta’dzim terhadap pemikiran gurunya, tetapi juga patuh dan meniru dalam usaha mendapatkan pemikiran kreatif. Kreatifitas menulis yang dikembangkan kaum santri akan menjadi media dakwah sejati bagi umat Islam dan untuk generasi mendatang nanti. Pesantren tidak akan disebut lembaga eksklusif bila mampu melahirkan pemikiran kreatif serta ide-ide cerdas demi pengembangan dan dakwah Islam sesuai dengan visi dan misi pesantren.
Oleh karena itu, persepsi yang berkembang bahwa tradisi menulis di kalangan santri kini lengang dan seakan mati suri itu tidak benar adanya. Buku Jalan Terjal Santri menjadi Penulis ini hadir sebagai bukti bahwa kaum santri intelektual (pesantren) telah “berusaha” mengikuti gerakan pena para pendahulunya meskipun hanya sebatas tulisan pendek (opini, artikel, antologi sastra, kolom, dan lain-lain) yang tersebar di media massa maupun elektronik.
Buku ini juga sebagai antitesa terhadap anggapan mayoritas masyarakat bahwa menulis itu adalah bakat. Faktanya, menulis dapat dipelajari asal ada kemauan, keberanian, dan ketekunan berlatih. Dengan kemauan kuat, setiap orang akan mahir menulis. Membaca teori saja tidak pernah cukup. Ibarat orang belajar berenang, kalau hanya membaca teori tanpa pernah mempraktikkan, tentu dia tidak akan bisa berenang. (hal. 20-21)
Buku setebal 224 halaman ini merupakan kumpulan tulisan (curhat) tentang lika-liku penulis pemula maupun yang sudah agak tua dalam upaya mnyuratkan ide yang tersirat. Mereka yang mayoritas santri asli Jawa Timur ini sebagian besar telah menempuh Perguruan Tinggi. Mereka aktif diberbagai kajian dan aktivitas yang tak jauh dari minat mereka. Adalah Rijal Mumazziq Zionis, Noviana Herliyanti, Nur Faishal, Mohammad Suhaidi RB, Ach. Syaiful A’la, Azizah Hefni, Ahmad Muchlish Amrin, Salman Rusydi Anwar, Muhammadun AS, Ana FM, Ahmad Khotib, Fathorrahman JM, dan Hana Al-Ithriyah.
Dengan menulis mereka dapat mengatasi rasa amarah, iri, kelemahan diri, dan kebencian yang ada di hati. Menulis jelas sangat membantu mereka untuk mengatasi rasa sok tahu. Menulis dapat membuat diri lebih berhati-hati dalam memutuskan sesuatu.
Dari tulisan-tulisan mereka dalam buku ini dapat diketahui bahwa jalan terjal yang dimaksud yaitu; memelihara keinginan dan semangat yang kuat, manajemen waktu yang mapan, banyak membaca dan berfikir, optimistis, komitmen dan idealisme yang tinggi, membebaskan diri dari keterikatan rasa salah, serta mencari dan menemukan tanpa menunggu berpangku tangan.
Sebuah buku yang melelahkan hingga mata tak mau terpejam.
*) Peresensi adalah alumnus Pondok Pesantren Nasy-atul Muta’allimin Gapura Sumenep Madura, sekarang nyantri di Pondok Budaya IKON Surabaya.
Penulis : Rizal Mumazziq Zionis, dkk.
Editor : Tsanin A. Zuhairi, S,Hi, M.Si.
Prolog : Prof. Dr. H. Nur Syam, M.Si
Penerbit : Muara Progresif, Surabaya
Cetakan : I; 2009
Tebal : vii + 224 halaman
Peresensi : Anwar Nuris*
http://www.nu.or.id/
Verba volant, scripta manent (kata-kata akan sirna, tulisan akan membuatnya abadi)
Di tengah maraknya santri pesantren saat ini yang sindrom jejaring sosial semacam Facebook sebagai media sharing dan menulis, terdapat anekdot menarik yang berkembang dikalangan mereka. Seorang santri yang tidak mau dan mampu menulis, ibarat burung bersayap satu. Burung itu hanya mampu meloncat dari satu dahan ke dahan yang lain, atau terbang pendek dari satu pohon ke pohon lain yang jaraknya sangat dekat. Santri yang tidak mau menulis hanya mampu mengaji dan mengkaji dari satu halaqah ke halaqah yang lain. Santri yang mau menulis akan mampu mengembangkan pemikiran dan ilmu mereka lebih luas, tanpa dibatasi oleh sekat apapun, terlebih di era digital seperti sekarang ini.
Mereka (santri) sepertinya tersihir oleh lembar sejarah kepenulisan para pendahulunya. Aviecena (Ibnu Sina) yang dikenal karena kepakarannya di bidang kedokteran. Buah karyanya berjudul al-Qanuun fit-Thibb menjadi rujukan beberapa fakultas kedokteran di Barat. Bahkan dengan karyanya itu, ia dinobatkan sebagai bapak kedokteran dunia. Selain itu ada Imam al-Ghazali dengan magnum opus-nya Ihya’ Ulumiddin yang konon menjadi rujukan negeri Barat dan Eropa selama lebih kurang 7 abad lamanya. Al-Khawarizmi, Omar Khayyam, Nashir Al-Din Thusi sang profesor Matematika, Ibnu Al-Haytam yang ahli Eksprimentalis, Al-Biruni sang pegiat Fisika, Ar-Razi yang menggeluti ilmu Kimia, dan masih banyak yang lainnya.
Buah pemikiran cendikiawan yang dituangkan dalam bentuk tulisan tersebut telah merubah peradaban dunia hingga seperti sekarang. Berkat buku yang di dalamnya terdapat banyak ilmu pengetahuan telah menjadikan dunia lebih berwarna. Alam tidak lagi gelap karena Thomas Alfa Edison yang telah menemukan listrik. Manusia bisa bepergian cepat sampai tujuan dengan sarana kereta api berkat mesin uap yang ditemukan James Watt. Karya-karya mereka lah yang membuat mereka dikenal. Karya yang tidak lapuk oleh waktu, karena ditulis dalam sebuah media bernama buku atau kitab, sehingga bisa dinikmati oleh generasi yang jauh di bawahnya.
Dalam konteks Indonesia, Tradisi kepenulisan juga amat kuat. Banyak cendekiawan Islam di negeri ini yang menulis buku, kitab, atau pun karya tulis yang lain. Mayoritas dari mereka dididik dan dibesarkan oleh lingkungan pesantren.
Sebagaimana kita ketahui, pesantren memiliki tradisi unik dan unggul yang jarang didapat pada lembaga lain. Dan salah satu keunikan tersebut adalah tradisinya dalam mengembangkan warisan keilmuan ulama salaf (salafus shalih). Pola gerakan yang dilakukan ulama salaf untuk memperoleh dan mentransformasikan keilmuannya tidak hanya membaca dan mengkaji, tetapi berkontemplasi dan kemudian menerjemahkan pemikirannya dalam bentuk tulisan.
Mereka (ulama salaf) mampu melahirkan dan mewariskan karya-karya tulis yang ternyata masih dipelajari oleh berbagai pondok pesantren atau sekolah sampai sekarang. Tidak sedikit pula dari karya ulama atau kiai Indonesia yang dikenal luas di berbagai belahan bumi. Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Mahfudz Al-Tirmasi, atau Syekh Yasin Al-Fadani Al-Makky adalah di antara para punggawa pesantren di Indonesia yang karyanya telah melabuhi pemikiran intelektual Islam di berbagai Negara.
Selain mereka, “santri Indonesia” yang lain juga banyak menelorkan karya-karya yang bagus dan monumental. Beberapa nama yang dapat disebut di antaranya adalah KH. Ma’shum Ali dengan al-Amtsilatut Tashrifiyah, KH. Hasyim Asy’ari dengan Adab al-Alim wa al-Muta’allim, KH Bisri Mustofa dengan Tafsir al-Ibriz dan KH. Sahal Mahfudz dengan Thariqah al-Ushul ala al-Ghayah al-Ushul. Rata-rata tulisan mereka tetap di baca saat ini bahkan menjadi referensi utama dalam setiap kajian maupun pengajian dilingkungan pesantren.
Dus, santri sebagai salah satu elemen pesantren tidak hanya ta’dzim terhadap pemikiran gurunya, tetapi juga patuh dan meniru dalam usaha mendapatkan pemikiran kreatif. Kreatifitas menulis yang dikembangkan kaum santri akan menjadi media dakwah sejati bagi umat Islam dan untuk generasi mendatang nanti. Pesantren tidak akan disebut lembaga eksklusif bila mampu melahirkan pemikiran kreatif serta ide-ide cerdas demi pengembangan dan dakwah Islam sesuai dengan visi dan misi pesantren.
Oleh karena itu, persepsi yang berkembang bahwa tradisi menulis di kalangan santri kini lengang dan seakan mati suri itu tidak benar adanya. Buku Jalan Terjal Santri menjadi Penulis ini hadir sebagai bukti bahwa kaum santri intelektual (pesantren) telah “berusaha” mengikuti gerakan pena para pendahulunya meskipun hanya sebatas tulisan pendek (opini, artikel, antologi sastra, kolom, dan lain-lain) yang tersebar di media massa maupun elektronik.
Buku ini juga sebagai antitesa terhadap anggapan mayoritas masyarakat bahwa menulis itu adalah bakat. Faktanya, menulis dapat dipelajari asal ada kemauan, keberanian, dan ketekunan berlatih. Dengan kemauan kuat, setiap orang akan mahir menulis. Membaca teori saja tidak pernah cukup. Ibarat orang belajar berenang, kalau hanya membaca teori tanpa pernah mempraktikkan, tentu dia tidak akan bisa berenang. (hal. 20-21)
Buku setebal 224 halaman ini merupakan kumpulan tulisan (curhat) tentang lika-liku penulis pemula maupun yang sudah agak tua dalam upaya mnyuratkan ide yang tersirat. Mereka yang mayoritas santri asli Jawa Timur ini sebagian besar telah menempuh Perguruan Tinggi. Mereka aktif diberbagai kajian dan aktivitas yang tak jauh dari minat mereka. Adalah Rijal Mumazziq Zionis, Noviana Herliyanti, Nur Faishal, Mohammad Suhaidi RB, Ach. Syaiful A’la, Azizah Hefni, Ahmad Muchlish Amrin, Salman Rusydi Anwar, Muhammadun AS, Ana FM, Ahmad Khotib, Fathorrahman JM, dan Hana Al-Ithriyah.
Dengan menulis mereka dapat mengatasi rasa amarah, iri, kelemahan diri, dan kebencian yang ada di hati. Menulis jelas sangat membantu mereka untuk mengatasi rasa sok tahu. Menulis dapat membuat diri lebih berhati-hati dalam memutuskan sesuatu.
Dari tulisan-tulisan mereka dalam buku ini dapat diketahui bahwa jalan terjal yang dimaksud yaitu; memelihara keinginan dan semangat yang kuat, manajemen waktu yang mapan, banyak membaca dan berfikir, optimistis, komitmen dan idealisme yang tinggi, membebaskan diri dari keterikatan rasa salah, serta mencari dan menemukan tanpa menunggu berpangku tangan.
Sebuah buku yang melelahkan hingga mata tak mau terpejam.
*) Peresensi adalah alumnus Pondok Pesantren Nasy-atul Muta’allimin Gapura Sumenep Madura, sekarang nyantri di Pondok Budaya IKON Surabaya.
M A R J I
Azizah Hefni
http://www.suarakarya-online.com/
Pagi-pagi sekali, Marji sudah mandi. Pakaiannya sudah rapi. Rambutnya di belah pinggir, di beri minyak agar terlihat klemis. Ia juga sudah menyisir alisnya yang tebal, juga kumis tipisnya. Baunya pun wangi. Maklum, sabun mandi yang ia pakai tadi bukan lagi sabun bonus semen atau cat tembok, melainkan sabun merek ternama, yang biasa diiklankan di tivi.
Sebelum berangkat, Marji menengok istrinya, Karni, yang sibuk mencuci setumpuk pakaian di sumur belakang. Tampak dari belakang, punggung istrinya melengkung, dan gelungan rambutnya banyak yang terlepas. Pantat istrinya yang bergoyang-goyang saat kedua tangannya mengucek pakaian-pakaian, tampak seperti pantat badut di pasar malam. Kulit istrinya hitam, lebih hitam dari Marji (apalagi kulit lehernya!). Mungkin terlalu sering terpanggang matahari.
Marji pernah ingat kata-kata almarhum emaknya, kalau daya tahan kulit perempuan lebih sensitif dan rentan dibanding laki-laki. Kasihan Karni, batin Marji. Ia bekerja terlalu keras. Selain sebagai buruh cuci, Karni juga membantu ngemong dua anak tetangga, Mbak Tri, yang ditinggal kerja kedua orang tuanya sampai menjelang petang.
“Aku berangkat dulu, dik,”
Karni segera menoleh. Bibirnya yang cukup tebal tertarik lebar. Matanya yang sipit, namun berbulu mata lebat dan runcing, menyiratkan lelah. Ia mengangguk lembut, mengusap keningnya dengan tangan kanan, sampai tak dirasa, busa cucian menempel. “Mas, bekerjalah dengan hati senang,”
Marji tersenyuman. Tak salah ia memilih Karni sebagai pendamping hidupnya. Sekalipun, pada mulanya, banyak orang meremehkan pawakan Karni, termasuk ibunya sendiri. Karni memang memiliki lengan kekar, berkulit dan berwajah keras, serta betis yang besar, namun siapa sangka jika hatinya selembut kapas? Selama hidup dengannya, Karni tak pernah menuntut apa-apa. Sebaliknya, ia banyak membantu Marji meringankan beban hidup. Karni seorang pekerja keras.
Berbekal senyum istrinya itu, Marji berangkat penuh semangat. Kali ini, Marji tidak akan menjajakan jasa sebagai pemotong rumput keliling seperti biasanya. Marji diajak Pak Darmono, tetangganya, untuk mengecat rumah seorang kaya raya yang baru saja pindah. Pak Darmono memang sudah empat kali ini melibatkan Marji dalam pekerjaan cat-mengecat. Menurut laki-laki paruh baya itu, garapan Marji halus dan bagus.
Setelah berjalan kurang lebih dua puluh menit, Marji sampai di rumah yang akan digarapnya. Rumah itu cukup besar. Pak Darmono belum datang. Maka, Marji mendekati pagar, lalu memencet bel. Tak lama, keluarlah seorang perempuan cantik berambut panjang. Perempuan itu membuka pagar, dan mempersilahkan Marji masuk.
“Kamu Marji, ya?” Tanyanya. Marji mengangguk ramah. Perempuan itu melihat Marji dari kaki sampai kepala. Ia lantas manggut-manggut. “Sudah ada bahan-bahannya. Kemarin Pak Darmono juga sudah mengangkat andang dari rumahnya. Sekarang dia pergi ke toko bangunan, membeli cat tambahan. Jadi, kamu kerjakan dulu,”
Marji mengangguk. Ia lalu meletakkan ransel di lantai, dan mulai berganti pakaian (Pakaian kotor khusus untuk mengecat). Setelah itu, ia mulai mencampur kalsium, semen putih, dan lem. Marji mengaduknya secara perlahan. Ia akan memlamir tembok terlebih dahulu.
Di tengah-tengah ia bekerja, tiba-tiba terdengar nyanyian dari dalam kamar mandi. Pemilik rumah sedang mandi, batin Marji. Ia menyanyi dangdut. Indah betul suaranya. Sambil mengecat, kepala Marji manggut-manggut, menikmati alunan suara.
Tak berapa lama, keluarlah pemilik rumah itu dari kamar mandi (Marji bisa menebaknya, karena ada derit pintu terbuka). Tiba-tiba, perempuan itu memanggil-manggilnya. “Marji, sini!”
Mendengar namanya dipanggil, Marji bersegera masuk rumah. Namun, betapa kagetnya Marji. Perempuan yang sebetulnya belum ia kenal itu sudah berdiri dengan balutan handuk jauh di atas lutut. Rambutnya basah, begitu juga kulit pundak, lengan, dan kakinya. Tubuhnya yang sintal dan terang, terlihat segar dengan titik-titik sisa air.
“Di ruang tamu itu, banyak tembok yang terkelupas! Jangan sampai lewat!”
Marji mengangguk. Perempuan itu berbalik pergi. Cara jalannya menyita perhatian (irama pantatanya itu!). Marji lalu kembali ke halaman, mengangkat tong besar berisi bahan campuran dan segera menuju ruang tamu. Ia naiki andang dan mulai bekerja.
Setengah jam kemudian, perempuan itu keluar dari kamarnya. Ia sudah berpakaian rapi. Pakaiannya kuning terang, dengan rok mini lebih matang. Sepatunya tinggi, warnanya senada. Begitu juga dengan tasnya. Ia terlihat sangat elegan, elit dan tentu saja, cantik. Rambutnya dibiarkan terurai. Wajahnya yang proporsional (ukuran hidung, bentuk bibir, mata, kening, pipi, sampai dagu semuanya begitu indah dan pas!) dimake-up. Ia benar-benar seperti artis di tivi!
“Aku tinggal ke kantor dulu,”
Marji mengangguk dengan ramah. Perempuan itu lantas pergi ke garasi, menyalakan mesin mobil, dan meluncur dengan cepat.
Tak berapa lama, Pak Darmono datang. Ia datang dengan sebuah mobil pick up, utusan dari toko bangunan. Marji buru-buru turun dan membantu Pak Darmono mengangkut bahan-bahan mengecat dari jok belakang mobil. Setelah usai dan keduanya mulai bekerja di dalam ruangan, Marji bertanya, “Siapa pemilik rumah ini, Pak?”
“Namanya Mbak Diyah. Dia janda cerai. Dia bos di perusahaan ayam potong,”
Marji mengangguk-angguk.
“Cantik ya?” Timpal Marji kemudian. Pak Darmono hanya tersenyum.
* * *
Marji pulang pukul lima sore hari. Saat tiba di rumah, dilihatnya Karni sedang menonton tivi. Marji melihat wajah Karni. Wajah itu masih sama seperti tadi pagi. Rambutnya juga masih sama, berantakan. Dan, yang paling terasa, bau badan Karni, bau asap bercampur keringat lembab. Marji menggigit bibir.
“Kamu belum mandi, dik?”
Karni menggeleng, “Nanti malam saja, mas. Tadi, nggak sempat. Setelah nyuci, langsung nganter anak-anak Mbak Tri. Mereka ada kegiatan kerja bakti di sekolah. Jadi, pulangnya sore. Aku menunggui mereka. Sepulangnya dari sekolah, aku menyetrika pakaian. Lalu, mas datang,”
Marji tersenyum kecut.
* * *
Esok pagi, Marji, seperti biasa berangkat ke rumah Mbak Diyah untuk mengecat. Dan seperti kemarin, Pak Darmono terlambat datang.
Di rumah itu, Mbak Diyah tampak sedang santai membaca majalah dengan posisi berbaring di sofa. Kulit-kulit Mbak Diyah berlumuran cream putih, tak terkecuali wajahnya. Ia tampak seperti hantu pagi itu.
“Hari ini, Pak Darmono tidak masuk, istrinya sakit. Kamu kerjakan dapur dulu. Setelah dapur selesai, kamu plitur pintu depan, biar dari luar bisa segera terlihat bagus,”
Marji mengangguk. Marji segera menggeser andang ke dapur dan mulai bekerja.
Tak lama, Mbak Diyah berjalan dengan balutan handuknya, dan membawa keranjang kecil berisi banyak botol kosmetik. Marji melirik. Di dalam keranjang itu ada lulur, alat cukur, dan botol-botol bergambar perempuan yang mereknya tak bisa dengan cepat dibaca Marji. Mbak Diyah masuk kamar mandi, dan menutupnya. Karena letak kamar mandi bersebelahan dengan dapur dan di atas pintu kamar mandi ada ventilasi kaca, maka Marji bisa melihat apa yang ada di dalam kamar mandi. Marji melihat Mbak Diyah meletakkan keranjang, mengurai rambut, dan melepas handuknya.
Marji tiba-tiba gemetaran. Ia segera mengalihkan pandangan.
Saat suara gebyar-gebyur air terdengar, tiba-tiba saja Marji ingin melihat Mbak Diyah lagi. Marji sempat bimbang, namun kebimbangan itu sirna saat suara Mbak Diyah terdengar sangat empuk mengalun. Karena tak mampu menahan penasarannya, Marji melirik lagi. Terlihat Mbak Diyah yang sudah telanjang bulat. Tubuhnya yang tadi dilumuri cream putih, kini terlihat mengkilat setelah terkena air. Bagian tubuhnya, semuanya proposional dan indah. Ia mengguyur tubuhnya sambil bergoyang layaknya penyanyi. Sesekali mengangkat sebelah tangannya, sebelah kakinya, atau menggerak-gerakkan kepalanya. Marji tak bisa melepaskan pandangannya. Pemandangan itu begitu indah.
Bahkan, setelah Mbak Diyah keluar dari kamar mandi, Marji masih ingat tubuh Mbak Diyah yang halus seperti plastik. Saat ia memoles tembok dengan plamir, ia membanyangkan ia sedang melumuri tubuh Mbak Diyah yang sintal dengan cream putih. Saat ia mulai mengecat tembok dengan warna krem, ia membayangkan itu warna kulit Mbak Diyah yang langsat, dan Marji menggosok-gosoknya. Dan saat Mbak Diyah memintanya untuk memlitur pintu ruang tamu lebih dulu, Marji membayangkan dirinya sedang memoles kulit padat Mbak Diyah sampai mengkilat.
* * *
Dalam perjalanan pulang ke rumah, Marji masih ingat tubuh Mbak Diyah yang indah itu. Ia bergumam, betapa bodohnya suami Mbak Diyah menceraikannya.
Ketika Marji sampai di rumah, ia melihat Karni sedang me-lap kakinya dengan kain. Marji melihat kaki istrinya itu berdarah. “Lho, kenapa kakimu itu?”
“Tadi kena pecahan gelas, mas,”
Marji duduk menyebelahi Karni. Dilihatnya kaki istrinya. Telapak kakinya pecah-pecah, sepanjang betis banyak bekas-bekas luka. Ada sisa terkena knalpot, ada sisa kena sayatan pisau, ada sisa gigitan monyet. Bulu kaki Karni juga panjang. Marji tiba-tiba ingat sepasang kaki Mbak Diyah yang tak tergores sedikitpun. Kaki itu sangat putih dan mulus, seperti tembok yang tadi dicatnya. Marji merasa, kaki Karni ini lebih mirip dengan tembok rumahnya, yang sudah menguning, mengelupas, dan retak-retak.
Apalagi, seperti biasa, Karni belum mandi (Sejak kemarin, ia mandi di atas jam sembilan malam). Bau badan Karni tidak sedap. Marji melihatnya pun tak nyaman, Kulit mukanya berminyak, ia mengeluarkan banyak keringat.
“Lain kali, jangan ceroboh! lihat kulitmu itu, buruk sekali!”
Karni kaget mendengar nada bicara suaminya yang tegas, “Satu lagi, besok mandi pagi-pagi. Gosok badanmu itu dengan sabun. Yang banyak, biar kulitmu bagus!”
Marji bangkit, dan bilang, ingin mandi karena gerah. Melihat muka suaminya yang masam, Karni terbengong-bengong.
* * *
Marji kembali berangkat kerja. Ia tak sempat sarapan, karena Karni sudah hendak pergi. Hari ini, Karni harus mengantar momongannya rekreasi pukul enam pagi.
Sesampai di rumah Mbak Diyah, Marji segera menyelesaikan tugasnya. Kali ini ia mulai mengecat kamar tamu. Mbak Diyah, seperti biasa, asyik bernyanyi di kamar mandi. Tak berapa lama, Mbak Diyah keluar dari kamar mandi dengan balutan handuk. Ia menghampiri Marji dan berkata, “Marji, jangan pulang dulu sebelum aku datang dari kantor. Aku akan membayarmu hari ini. Aku akan membayarmu tiap tiga hari sekali,”
Marji mengangguk mengerti
“Aku usahakan pulang sebelum jam kerjamu habis,” Setelah mengatakan itu, ia mengerling, kemudian pergi. Tentunya, pandangan Marji tersita pada pantat Mbak Diyah yang bergoyang.
Marji terus bekerja. Hari pun beranjak sore. Marji mulai kelelahan. Tapi, bila ingat Mbak Diyah akan membayarnya hari ini, lelah itu jadi tak terasa. Dan Mbak Diyah memang tiba 5 menit sebelum jam kerja Marji habis. Ia minta Marji masuk ke kamarnya.
“Ini bayaranmu,” diulurkannya uang merah tiga lembar pada Marji.
Melihat itu, Marji terkejut, “Wah, banyak betul. Katanya tiga hari?”
“Karena, garapanmu sangat bagus,”
Sekalipun ragu, Marji akhirnya menerimanya. “Terimakasih, mbak,”
“Apa keahlianmu hanya mengecat?”
“Saya ini pekerja serabutan, mbak. Apa saja, insyaallah, bisa,”
“Kalau begitu, apa kamu bisa mijat?”
“Mijat?” Matanya terbeliak.
Mbak Diyah mengangguk. “Punggungku capek sekali. Tolong pijat aku dulu,”
Tanpa menunggu persetujuan Marji, Mbak Diyah, melepas pakaiannya, lalu merebah ke tempat tidur. Marji hanya mematung melihatnya. Kakinya gemetaran. Perempuan itu kemudian tengkurap di kasur, dan meminta Marji segera memijatnya.
Baru selangkah Marji mendekat, tiba-tiba di luar ada yang mengetuk pintu. Mbak Diyah berdecap kesal. Dengan sedikit kesal, ia meminta Marji segera membuka pintu dan melihat siapa yang datang. Saat Marji melihatnya, ternyata itu Sumilah, tetangga Marji.
“Istrimu pingsan, Ji! Tadi waktu di bis, dia sempat mengeluh badannya linu-linu! Pulang dari rekreasi, dia langsung pingsan!”
Marji terkejut dan buru-buru pulang.
* * *
Ternyata Karni kena rematik. Badan Karni juga lemas, mungkin kecapekan kerja.
“Mas, Maafkan aku ya…Gara-gara aku, mas libur kerja tiga hari ini…”
Marji tersenyum, sambil mengelus-elus pipi Karni yang kasar dan berminyak, kemudian menciumnya. ***
* Malang, 9 Mei 2009
http://www.suarakarya-online.com/
Pagi-pagi sekali, Marji sudah mandi. Pakaiannya sudah rapi. Rambutnya di belah pinggir, di beri minyak agar terlihat klemis. Ia juga sudah menyisir alisnya yang tebal, juga kumis tipisnya. Baunya pun wangi. Maklum, sabun mandi yang ia pakai tadi bukan lagi sabun bonus semen atau cat tembok, melainkan sabun merek ternama, yang biasa diiklankan di tivi.
Sebelum berangkat, Marji menengok istrinya, Karni, yang sibuk mencuci setumpuk pakaian di sumur belakang. Tampak dari belakang, punggung istrinya melengkung, dan gelungan rambutnya banyak yang terlepas. Pantat istrinya yang bergoyang-goyang saat kedua tangannya mengucek pakaian-pakaian, tampak seperti pantat badut di pasar malam. Kulit istrinya hitam, lebih hitam dari Marji (apalagi kulit lehernya!). Mungkin terlalu sering terpanggang matahari.
Marji pernah ingat kata-kata almarhum emaknya, kalau daya tahan kulit perempuan lebih sensitif dan rentan dibanding laki-laki. Kasihan Karni, batin Marji. Ia bekerja terlalu keras. Selain sebagai buruh cuci, Karni juga membantu ngemong dua anak tetangga, Mbak Tri, yang ditinggal kerja kedua orang tuanya sampai menjelang petang.
“Aku berangkat dulu, dik,”
Karni segera menoleh. Bibirnya yang cukup tebal tertarik lebar. Matanya yang sipit, namun berbulu mata lebat dan runcing, menyiratkan lelah. Ia mengangguk lembut, mengusap keningnya dengan tangan kanan, sampai tak dirasa, busa cucian menempel. “Mas, bekerjalah dengan hati senang,”
Marji tersenyuman. Tak salah ia memilih Karni sebagai pendamping hidupnya. Sekalipun, pada mulanya, banyak orang meremehkan pawakan Karni, termasuk ibunya sendiri. Karni memang memiliki lengan kekar, berkulit dan berwajah keras, serta betis yang besar, namun siapa sangka jika hatinya selembut kapas? Selama hidup dengannya, Karni tak pernah menuntut apa-apa. Sebaliknya, ia banyak membantu Marji meringankan beban hidup. Karni seorang pekerja keras.
Berbekal senyum istrinya itu, Marji berangkat penuh semangat. Kali ini, Marji tidak akan menjajakan jasa sebagai pemotong rumput keliling seperti biasanya. Marji diajak Pak Darmono, tetangganya, untuk mengecat rumah seorang kaya raya yang baru saja pindah. Pak Darmono memang sudah empat kali ini melibatkan Marji dalam pekerjaan cat-mengecat. Menurut laki-laki paruh baya itu, garapan Marji halus dan bagus.
Setelah berjalan kurang lebih dua puluh menit, Marji sampai di rumah yang akan digarapnya. Rumah itu cukup besar. Pak Darmono belum datang. Maka, Marji mendekati pagar, lalu memencet bel. Tak lama, keluarlah seorang perempuan cantik berambut panjang. Perempuan itu membuka pagar, dan mempersilahkan Marji masuk.
“Kamu Marji, ya?” Tanyanya. Marji mengangguk ramah. Perempuan itu melihat Marji dari kaki sampai kepala. Ia lantas manggut-manggut. “Sudah ada bahan-bahannya. Kemarin Pak Darmono juga sudah mengangkat andang dari rumahnya. Sekarang dia pergi ke toko bangunan, membeli cat tambahan. Jadi, kamu kerjakan dulu,”
Marji mengangguk. Ia lalu meletakkan ransel di lantai, dan mulai berganti pakaian (Pakaian kotor khusus untuk mengecat). Setelah itu, ia mulai mencampur kalsium, semen putih, dan lem. Marji mengaduknya secara perlahan. Ia akan memlamir tembok terlebih dahulu.
Di tengah-tengah ia bekerja, tiba-tiba terdengar nyanyian dari dalam kamar mandi. Pemilik rumah sedang mandi, batin Marji. Ia menyanyi dangdut. Indah betul suaranya. Sambil mengecat, kepala Marji manggut-manggut, menikmati alunan suara.
Tak berapa lama, keluarlah pemilik rumah itu dari kamar mandi (Marji bisa menebaknya, karena ada derit pintu terbuka). Tiba-tiba, perempuan itu memanggil-manggilnya. “Marji, sini!”
Mendengar namanya dipanggil, Marji bersegera masuk rumah. Namun, betapa kagetnya Marji. Perempuan yang sebetulnya belum ia kenal itu sudah berdiri dengan balutan handuk jauh di atas lutut. Rambutnya basah, begitu juga kulit pundak, lengan, dan kakinya. Tubuhnya yang sintal dan terang, terlihat segar dengan titik-titik sisa air.
“Di ruang tamu itu, banyak tembok yang terkelupas! Jangan sampai lewat!”
Marji mengangguk. Perempuan itu berbalik pergi. Cara jalannya menyita perhatian (irama pantatanya itu!). Marji lalu kembali ke halaman, mengangkat tong besar berisi bahan campuran dan segera menuju ruang tamu. Ia naiki andang dan mulai bekerja.
Setengah jam kemudian, perempuan itu keluar dari kamarnya. Ia sudah berpakaian rapi. Pakaiannya kuning terang, dengan rok mini lebih matang. Sepatunya tinggi, warnanya senada. Begitu juga dengan tasnya. Ia terlihat sangat elegan, elit dan tentu saja, cantik. Rambutnya dibiarkan terurai. Wajahnya yang proporsional (ukuran hidung, bentuk bibir, mata, kening, pipi, sampai dagu semuanya begitu indah dan pas!) dimake-up. Ia benar-benar seperti artis di tivi!
“Aku tinggal ke kantor dulu,”
Marji mengangguk dengan ramah. Perempuan itu lantas pergi ke garasi, menyalakan mesin mobil, dan meluncur dengan cepat.
Tak berapa lama, Pak Darmono datang. Ia datang dengan sebuah mobil pick up, utusan dari toko bangunan. Marji buru-buru turun dan membantu Pak Darmono mengangkut bahan-bahan mengecat dari jok belakang mobil. Setelah usai dan keduanya mulai bekerja di dalam ruangan, Marji bertanya, “Siapa pemilik rumah ini, Pak?”
“Namanya Mbak Diyah. Dia janda cerai. Dia bos di perusahaan ayam potong,”
Marji mengangguk-angguk.
“Cantik ya?” Timpal Marji kemudian. Pak Darmono hanya tersenyum.
* * *
Marji pulang pukul lima sore hari. Saat tiba di rumah, dilihatnya Karni sedang menonton tivi. Marji melihat wajah Karni. Wajah itu masih sama seperti tadi pagi. Rambutnya juga masih sama, berantakan. Dan, yang paling terasa, bau badan Karni, bau asap bercampur keringat lembab. Marji menggigit bibir.
“Kamu belum mandi, dik?”
Karni menggeleng, “Nanti malam saja, mas. Tadi, nggak sempat. Setelah nyuci, langsung nganter anak-anak Mbak Tri. Mereka ada kegiatan kerja bakti di sekolah. Jadi, pulangnya sore. Aku menunggui mereka. Sepulangnya dari sekolah, aku menyetrika pakaian. Lalu, mas datang,”
Marji tersenyum kecut.
* * *
Esok pagi, Marji, seperti biasa berangkat ke rumah Mbak Diyah untuk mengecat. Dan seperti kemarin, Pak Darmono terlambat datang.
Di rumah itu, Mbak Diyah tampak sedang santai membaca majalah dengan posisi berbaring di sofa. Kulit-kulit Mbak Diyah berlumuran cream putih, tak terkecuali wajahnya. Ia tampak seperti hantu pagi itu.
“Hari ini, Pak Darmono tidak masuk, istrinya sakit. Kamu kerjakan dapur dulu. Setelah dapur selesai, kamu plitur pintu depan, biar dari luar bisa segera terlihat bagus,”
Marji mengangguk. Marji segera menggeser andang ke dapur dan mulai bekerja.
Tak lama, Mbak Diyah berjalan dengan balutan handuknya, dan membawa keranjang kecil berisi banyak botol kosmetik. Marji melirik. Di dalam keranjang itu ada lulur, alat cukur, dan botol-botol bergambar perempuan yang mereknya tak bisa dengan cepat dibaca Marji. Mbak Diyah masuk kamar mandi, dan menutupnya. Karena letak kamar mandi bersebelahan dengan dapur dan di atas pintu kamar mandi ada ventilasi kaca, maka Marji bisa melihat apa yang ada di dalam kamar mandi. Marji melihat Mbak Diyah meletakkan keranjang, mengurai rambut, dan melepas handuknya.
Marji tiba-tiba gemetaran. Ia segera mengalihkan pandangan.
Saat suara gebyar-gebyur air terdengar, tiba-tiba saja Marji ingin melihat Mbak Diyah lagi. Marji sempat bimbang, namun kebimbangan itu sirna saat suara Mbak Diyah terdengar sangat empuk mengalun. Karena tak mampu menahan penasarannya, Marji melirik lagi. Terlihat Mbak Diyah yang sudah telanjang bulat. Tubuhnya yang tadi dilumuri cream putih, kini terlihat mengkilat setelah terkena air. Bagian tubuhnya, semuanya proposional dan indah. Ia mengguyur tubuhnya sambil bergoyang layaknya penyanyi. Sesekali mengangkat sebelah tangannya, sebelah kakinya, atau menggerak-gerakkan kepalanya. Marji tak bisa melepaskan pandangannya. Pemandangan itu begitu indah.
Bahkan, setelah Mbak Diyah keluar dari kamar mandi, Marji masih ingat tubuh Mbak Diyah yang halus seperti plastik. Saat ia memoles tembok dengan plamir, ia membanyangkan ia sedang melumuri tubuh Mbak Diyah yang sintal dengan cream putih. Saat ia mulai mengecat tembok dengan warna krem, ia membayangkan itu warna kulit Mbak Diyah yang langsat, dan Marji menggosok-gosoknya. Dan saat Mbak Diyah memintanya untuk memlitur pintu ruang tamu lebih dulu, Marji membayangkan dirinya sedang memoles kulit padat Mbak Diyah sampai mengkilat.
* * *
Dalam perjalanan pulang ke rumah, Marji masih ingat tubuh Mbak Diyah yang indah itu. Ia bergumam, betapa bodohnya suami Mbak Diyah menceraikannya.
Ketika Marji sampai di rumah, ia melihat Karni sedang me-lap kakinya dengan kain. Marji melihat kaki istrinya itu berdarah. “Lho, kenapa kakimu itu?”
“Tadi kena pecahan gelas, mas,”
Marji duduk menyebelahi Karni. Dilihatnya kaki istrinya. Telapak kakinya pecah-pecah, sepanjang betis banyak bekas-bekas luka. Ada sisa terkena knalpot, ada sisa kena sayatan pisau, ada sisa gigitan monyet. Bulu kaki Karni juga panjang. Marji tiba-tiba ingat sepasang kaki Mbak Diyah yang tak tergores sedikitpun. Kaki itu sangat putih dan mulus, seperti tembok yang tadi dicatnya. Marji merasa, kaki Karni ini lebih mirip dengan tembok rumahnya, yang sudah menguning, mengelupas, dan retak-retak.
Apalagi, seperti biasa, Karni belum mandi (Sejak kemarin, ia mandi di atas jam sembilan malam). Bau badan Karni tidak sedap. Marji melihatnya pun tak nyaman, Kulit mukanya berminyak, ia mengeluarkan banyak keringat.
“Lain kali, jangan ceroboh! lihat kulitmu itu, buruk sekali!”
Karni kaget mendengar nada bicara suaminya yang tegas, “Satu lagi, besok mandi pagi-pagi. Gosok badanmu itu dengan sabun. Yang banyak, biar kulitmu bagus!”
Marji bangkit, dan bilang, ingin mandi karena gerah. Melihat muka suaminya yang masam, Karni terbengong-bengong.
* * *
Marji kembali berangkat kerja. Ia tak sempat sarapan, karena Karni sudah hendak pergi. Hari ini, Karni harus mengantar momongannya rekreasi pukul enam pagi.
Sesampai di rumah Mbak Diyah, Marji segera menyelesaikan tugasnya. Kali ini ia mulai mengecat kamar tamu. Mbak Diyah, seperti biasa, asyik bernyanyi di kamar mandi. Tak berapa lama, Mbak Diyah keluar dari kamar mandi dengan balutan handuk. Ia menghampiri Marji dan berkata, “Marji, jangan pulang dulu sebelum aku datang dari kantor. Aku akan membayarmu hari ini. Aku akan membayarmu tiap tiga hari sekali,”
Marji mengangguk mengerti
“Aku usahakan pulang sebelum jam kerjamu habis,” Setelah mengatakan itu, ia mengerling, kemudian pergi. Tentunya, pandangan Marji tersita pada pantat Mbak Diyah yang bergoyang.
Marji terus bekerja. Hari pun beranjak sore. Marji mulai kelelahan. Tapi, bila ingat Mbak Diyah akan membayarnya hari ini, lelah itu jadi tak terasa. Dan Mbak Diyah memang tiba 5 menit sebelum jam kerja Marji habis. Ia minta Marji masuk ke kamarnya.
“Ini bayaranmu,” diulurkannya uang merah tiga lembar pada Marji.
Melihat itu, Marji terkejut, “Wah, banyak betul. Katanya tiga hari?”
“Karena, garapanmu sangat bagus,”
Sekalipun ragu, Marji akhirnya menerimanya. “Terimakasih, mbak,”
“Apa keahlianmu hanya mengecat?”
“Saya ini pekerja serabutan, mbak. Apa saja, insyaallah, bisa,”
“Kalau begitu, apa kamu bisa mijat?”
“Mijat?” Matanya terbeliak.
Mbak Diyah mengangguk. “Punggungku capek sekali. Tolong pijat aku dulu,”
Tanpa menunggu persetujuan Marji, Mbak Diyah, melepas pakaiannya, lalu merebah ke tempat tidur. Marji hanya mematung melihatnya. Kakinya gemetaran. Perempuan itu kemudian tengkurap di kasur, dan meminta Marji segera memijatnya.
Baru selangkah Marji mendekat, tiba-tiba di luar ada yang mengetuk pintu. Mbak Diyah berdecap kesal. Dengan sedikit kesal, ia meminta Marji segera membuka pintu dan melihat siapa yang datang. Saat Marji melihatnya, ternyata itu Sumilah, tetangga Marji.
“Istrimu pingsan, Ji! Tadi waktu di bis, dia sempat mengeluh badannya linu-linu! Pulang dari rekreasi, dia langsung pingsan!”
Marji terkejut dan buru-buru pulang.
* * *
Ternyata Karni kena rematik. Badan Karni juga lemas, mungkin kecapekan kerja.
“Mas, Maafkan aku ya…Gara-gara aku, mas libur kerja tiga hari ini…”
Marji tersenyum, sambil mengelus-elus pipi Karni yang kasar dan berminyak, kemudian menciumnya. ***
* Malang, 9 Mei 2009
S. YOGA DALAM LIMA TANGGA KEPUITISAN
Imamuddin SA
http://forum-sastra-lamongan.blogspot.com/
Cukup sulit dewasa ini memberikan penilaian terhadap karya sastra, lebih khususnya puisi. Memakai standart penilaian yang bagaimana untuk diterapkan pada sebuah karya sastra? Hal itu disebabkan oleh keberadaan karya sastra itu sendiri. Karya sastra kontemporer lebih bersifat bebas dari ikatan-ikatan atau aturan perpuisian. Inilah yang kiranya menjadikan seorang kritikus sastra harus memutar otak lebih serius lagi. Ujung-ujungnya hal ini akan mengarah pada satu bentuk kritik yang bersifat impresionis. Kritik yang memberikan tafsiran-tafsiran untuk mengagumkan dan untuk menimbulkan kesan yang indah kepada pembaca. Padahal secara konsep dasar, kritik sastra itu bertumpu pada pertimbangan baik-buruk sebuah karya berdasarkan nilai-nilai tertentu.
Nilai-nilai tersebut dapat bertumpu pada pengalaman jiwa seorang pengarang. Itulah yang kemudian dapat dijadikan standart penilaian karya sastra secara objektif. Sebagaimana Rachmat Djoko Pradopo, ia melakukan penerapan kritik sastra berdasarkan lima tingkat pengalaman jiwa manusia. Kelima tingkat pengalaman jiwa tersebut meliputi neveau anorganis; tingkat jiwa yang rendah dan berorientasi pada pola bunyi, irama, baris sajak, majas dan lain-lain, neveau vegetatif; tingkat seperti tumbuh-tumbuhan dan berorietasi pada suasana, neveau animal; tingkat yang dicapai seperti hewan dan berorientasi pada unsur nafsiah, neveau human; tingkat yang hanya dicapai oleh manusia dan berorientasi pada sifat luhur kemanusiaan, dan neaveau religius/filosofis; tingkat tertinggi dan berorientasi pada renungan-renungan yang mengarah pada hakekat hidup dan kehidupan. Berdasarkan fenomena itu, marilah sejenak kita mendedah puisi S Yoga yang berjudul Jaran Goyang berdasarkan pada tingkat pengalaman jiwa kemanusiaannya.
Kita mulai dari tingkat yang paling bawah, yaitu neveau anorganis. Puisi penyair kelahiran Purworejo ini kental dengan persajakan. Rimanya tertata rapi. Persajakannya sangat konsisten dan seimbang. Itu terlihat dari jumlah baris dalam tiap baitnya. Mulai bait pertama hingga terakhir, puisi ini tersusun atas tiga baris dalam tiap baitnya.
Rima yang disematkan dalam puisi Jaran Goyang begitu mendominasi keseluruhan puisi. Ditinjau dari huruf akhir dalam setiap baitnya, S Yoga tidak banyak menggunakan variasi rima. Ia cukup menggunakan rima rata dengan pola “aaa”. Vokal “u” melingkupi bait pertama, ke tiga, ke lima, dan ke enam. Bait pertama dapat dilihat dari penyematan kata bernafsu-rayu-menjebakmu. Bait ketiga ditandai dengan kata wajahmu¬-selalu-tabu. Bait kelima terlihat dari penyematan kata merayumu¬-membenciku-apiku. Bait keenam ditandai dengan kata berbulu-rohmu-malamku. Nada-nada tersebut membangun suasana yang begitu berat, mendalam, dan mengharukan dalam kepribadian. Vokal “i” mewarnai bait ke empat, ke tujuh, dan ke lima belas. Itu ditandai dengan penyematan kata diri-kubimgkai-abadi (bait ke-4), hati-mati-berseri (bait ke-7), ati-abadi-suci (bait ke-15). Bunyi huruf tersebut terasa ringan diucapakan namun ragkaian kata-katanya mengisyaratkan sesuatu yang berat. Jadi, untuk menggapai hidup yang abadi yang penuh dengan kenikmatan itu sangat mudah diucapkan namun begitu berat untuk dilakukan. Vokal “a” menghiasi bait ke tiga belas; surga-seberapa-selamanya, dan bait ke sembilan belas; dipaksa-diminta-berlaksa. Bunyi-bunyi tersebut merupakan bunyi yang datar. Ini menggambarkan suatu kewajaran. Sudah sewajarnya seorang manusia mendambakan surga dalam keabadiannya. Sudah sewajarnya manusia hidup itu ada paksaan, persembahan, serta ada perbandingan/pertimbangan-pertimbangan. Konsonan “l” mewarnai bait ke dua; kanti¬l-kinti¬l-kekal yang membangun suasana sakral yang kental dan berkait. Konsonan “n” melingkupi bait ke delapan; penyamun-kegelapan-bulan yang mengisyaratkan akan kepastian. Konsonan “ng” terlihat pada bait ke sembila; gamang-hilang-kuning menggambarkan jiwa yang tidak tenang. Konsonan “k” mewarnai bait ke sepuluh; semak-rangkak-berjarak, dan bait ke delapan belas; kemaruk-remuk-berkecamuk. Bunyi-bunyi tersebut membangun suasana perjalanan. Konsonan “t” melingkupi bait sebelas; berkabut-pucat-nikmat, bait dua belas; aurat-kudapat-kujerat, bait empat belas; luput-langsat-keramat, bait enam belas; kabut-kusut-kalut, dan bait tujuh belas; lewat-larut-kalimat. Bunyi-bunyi tersebut mencerminkan kesakralan/kefundamentalan hidup. Konsonan “r” mewarnai bait ke dua puluh; altar-diantar-samar yang mencerminkan suatu bentuk kebenaran.
Jika ditelisik dari bunyi akhir kata dalam tiap baitnya, S Yoga menggunakan dua rima, yaitu rima patah dan rima rata. Rima patah terdapat pada bait dua, lima, tujuh, delapan, sembilan, sebelas, empat belas, tujuh belas, sembilan belas, dan dua puluh. Itu terlihat dari kata-kata; kanti¬l-kinti¬l-kekal (bait dua), merayumu¬-membenciku-apiku (bait lima), hati-mati-berseri (bait tujuh), penyamun-kegelapan-bulan (bait delapan), gamang-hilang-kuning (bait sembilan), berkabut-pucat-nikmat (bait sebelas), aurat-kudapat-kujerat (bait dua belas), luput-langsat-keramat (bait empat belas), lewat-larut-kalimat (bait tujuh belas), keamruk-remuk-berkecamuk (bait delapan belas), dipaksa-diminta-berlaksa (bait sembilan belas), altar-diantar-samar (bait dua puluh). Adapun rima ratanya adalah bait sepuluh; semak-rangkak-berjarak, dan bait enam belas; kabut-kusut-kalut.
Majas metafora tampak hadir dalam puisi S Yoga ini. Ungkapan “mantraku terbang (bait 1, baris 1), apiku (bait 5, baris 3), birahi berbulu (bait 6, baris 1), bunga-bunga (bait 7, baris 1), cahaya bulan (bait 8, baris 3), anjing malam (bait 10, baris 1), semak (bait 10, baris 1), lidi lanang (bait 13, baris 1), buah pinang yang kuning langsat (bait 14), kabut (bait 16 baris 1), kabut (bait16 baris 1 dan 3), asap dapur (bait 17, baris 1), dan nyala damar di sentong (bait 17, baris 2) merupakan gambaran metaforanya. Dalam ungkapan mantraku terbang, kata mantra yang notabenenya adalah kata-kata yang berkekuatan magis (dapat dikatakan sebagai doa) disamakan dengan seekor burung atau sesuatu hal yang dapat terbang. Ia secara visual dapat melayang-layang ke angkasa. Kata apiku merupakan persamaan dari hasrat yang diliputi oleh nafsu. Kata bulu identik dengan kehangatan. Sesuatu yang memberikan kehangatan akan mencupta kedamaian. Jadi, kata birahi berbulu disamakan dengan nafsu (jiwa) yang damai/tenang. Bunga bunga disamakan dengan kehidupan yang bahagia. Pencerahan atau petunjuk tingkah laku yang benar dimetaforkan dengan ungkapan cahaya bulan. Anjing malam mengarah pada penyepadanan dengan keberingasan dan keliaran nafsu. Semak merupakan satu bentuk penyepadanan dengan citra Nabi Musa saat beraudensi dengan tuhan di Bukit Tursina yang diwujudkan dalam bentuk semak yang terbakar. Semak tersebut merupakan isyarah akan hakekat ketuhanan. Lidi lanang biasanya dipakai oleh para pawang hujan untuk menolak hujan. Pada ungkapan ini tidaklah mengarah pada penangkalan hujan, namun mengarah pada kebajikan dan kesucian sebab ungkapan itu dirangkainya dengan kata surga. Penyair bermaksud melakukan penangkalan terhadap segala bentuk keburukan yang muncul dari dalam pribadinya dengan sedikit kebajikan dan kesucian hatinya. Jadi ungkapan lidi lanang disamakan dengan penyucian diri (hati). Buah pinang yang kuning langsat berorientasi pada buah pinang yang tengah masak/matang. Dalam hal ini unrkapan tersebut disamakan dengan buah kuldi yang pernah termakan oleh Adam dan Hawa saat berada di surga. Kabut pada baris ke-1 bait 16 disamakan dengan alam atau kehidupan yang samar (gaib) sedangkan pada baris ke-3 dimetaforkan dengan Tuhan Yang Maha Gaib. Asap dapur disepadankan dengan kepribadian yang buruk/kotor. Nyala damar dimetaforkan dengan cahaya hati/petunjuk, sedangkan sentong berkonotasi pada tempat damar menyala. Dalam hal ini sentong disepadankan dengan hati itu sendiri.
Dalam tingkat neveau vegetatif tampak bermacam-macam suasana yang membangun kepribadian si “aku” yang tecermin dalam sajak ini. Suasana-suasana tersebut berorientasi pada suasana yang begitu berat, mendalam, dan mengharukan dalam pribadi pengarang (bait 3, 5, dan 6). Suasana hati yang gontai, cemas dan tidak tenang juga telukiskan (bait 1, 9, dan 18). Hal ini seoalah-olah muncul sebagai suatu kewajaran dalam realitas perjalanan hidup si “aku” dalam mencari hakekat kesejatian tuhannya (bait 3, 4, 11, dan 12). Suatu harapan juga tertuang dalam sajak ini (bait 19 dan 20).
Tingkat pengalaman jiwa yang selanjutnya adalah neveau animal. Ini berupa nafsu-nafsu hidup, tanggapan-tanggapan indraan yang konkret, dan nafsu-nafsu jasmaniah. Nafsu-nafsu hidup dan jasmaniah tergambarkan melalui ungkapan “goda dan rayu (bait 1), merayumu dan membenciku (bait 5), murka (bait 7), rindu, cemas dan gamang (bait9), hati luka dan duka (bait 18), kebahagiaan, dipaksa (bait 19). Godaan, rayuan, kebencian, amarah, kerinduan, kecemasan, sakit hati, kesedihan, kebahagiaan, paksaan merupakan gambaran dari eksistensi nafsu. Semuanya bertumpu pada nafsu. Tanggapan indraan yang konkirit tecermin dari kata-kata uba rampe (sesaji-sesaji dalam ritual mistis), bunga mawar, kenanga dan kantiil (perkengkapan yang disediakan dalam ritual memantrai sesuatu), topeng (wajah palsu), apiku (sesuatu yang bersifat menyala, berkobar, dan membakar), berbulu (sesuatu yang menimbulkan kehangatan), bunga-bunga (gambaran yang indahdan memesona), cahaya bulan (sesuatu yang bersifat menerangi), burung hantu (gambaran dari malam dan ketakutan), anjing malam (gambaran dari sesuatu yang liar dan menakutkan), pucat (wajah yang tidak segar berseri yang menandakan bahwa diri seseorang itu sakit atau ketakutan), aurat (suatu aib atau agian-bagian tubuh seseorang yang mampu merangsang nafsu sahwat), surga (tempat yang indah yang penuh dengan kenikmatan), kulsi (buah yang enyesatkan yang menjadikan Adam dan Hawa terlempar dari surga), nyala damar (sesuatu yang bersifat menerangi dalam kegelapan), dan altar (tempat suci sebagai pemujaab/persembahan kurban kepada dew-dewa).
Tingkat keempat, neveau human dalam sajak ini tampak sebagai kesadaran si “aku” bahwa segalanya akan tiada arti jika ia tidak mampu menemukan, memandang, dan menyayangi kekasihnya (bait 3 dan 4). Kesadaran juga muncul dalam bait ke-11. Ini mengisyaratkan bahwa si “aku” mengikhlaskan penderitaan sesaat sebab ia sadar bahwa ada kebahagiaan yang lebih nikmat di balik semua itu. Si “aku” juga sadar, demi petunjuk dan jalan terang menuju sang kekasih, ia mebiarkan dirinya berada dalam kegelapan dan keheningan dari hal-hal yang mampu menggoda hatinya (bait 12). Kesadaran untuk bersabar juga muncul kembali dalam pribadi si “aku”. Ia tidak akan memaksa akan kedatangan kebahagiaan melalui kehadiran kekasihnya. Ia membiarkannya datang dengan sendirinya seiring perjalanan waktu, sebab itulah yang dinamakan kewajaran hidup. Dan inilah yang akan merangkai kebahagiaan yang lebih melimpah-ruah (bait 19). Si “aku” juga sadar bahwa kasih sayang kekasihnya lebih tinggi dari kasih sayangnya. Sebab kekasihnya tidak lain adalah Tuhan Yang Maha Esa (bait 20).
Tingkat kelima adalah neveau religius/filosofi. Tingkat inilah yang tampak begitu kental dalam keutuhan puisi. Puisi ini mengarah pada perjalanan hidup si “aku” dalam melakukan hakekat kesejatian tuhan agar ia di kemudian hari berolehkan kebahagiaan dan kemuliaan. Sudah tampak jelas dari judulnya, Jaran Goyang, ini adalah mantra pengasihan untuk memikat hati seseorang. Tapi di sini beda. Judul itu berkonotasi pada yang lain. Si “aku” berusaha memikat tuhan dengan puja-puji doa dalam munajatnya. Ia mempersiapkan hal-hal dalam persembahan cinta kasih, ketulusan, dan kesucian hatinya agar tuhan berkenan cinta padanya dan selalu dekat dengannya.
mantraku terbang bersama malam bernafsu
adakah yang tak akan goyah karena goda dan rayu
telah kusiapkan uba rampe guna menjebakmu
bunga mawar, kenanga, dan kantil
agar kau selalu terpikat dan kintil
wahai kekasih berelok rupa dalam singgasana kekal (bait 1 dan 2).
Si aku menyadari bahwa segala pancaran kenikmatan yang diberikan tuhan kepadanya tidak aka berarti apa-apa apabila ia tak mampu dekat dan cinta kepada tuhannya. Ia semakin kecewa jika tuhan hanya sebatas bayangan angan dalam jiwanya saja. Ia menganggap bahwa perjalanan hidup yang telah dilaluinya haya sebatas kepura-puraan. Ia belum menemukan kesejatian hidup yang abadi.
apakah artinya cahaya wajahmu
bila tak bisa kupandang dan kusayang selalu
hanya bayangan melayang di batas angan dan tabu
bila tak kutemukan sukmamu dalam diri
hanyalah topeng hidup yang kupakai dan kubingkai
tak terwujud kesejatian hidup yang abadi (bait 3 dan 4).
Penegasan dilakukan oleh si “aku”. Ia menegaskan bahwa ia telah melakukan usaha-usaha tertentu dengan jalan menghadirkan kesucian hati dari perbuatan-perbuat nista yang menimbulkan kebencian tuhannya. Dengan hal itu, ia semakin yakin, bahwa kini tuhan telah semain dekat bersama hasratnya yang menggebu. Ia lantas mendamaikan nafsunya agar kebajikan berselimut dalam dirinya yang kemudian mampu menjadikan tuhan jatuh hati dan iba oleh doa munajatnya.
telah lama kugiring agar semua arwah merayumu
yang tak sudi kupinang karena membenciku
kini kupastikan engkau semakin dekat dengan apiku
yang selalu kunyalakan dengan birahi berbulu
agar harum tubuh menakjubkan rohmu
hingga hati luluh melihat doa malamku (bait 5 dan 6).
http://forum-sastra-lamongan.blogspot.com/
Cukup sulit dewasa ini memberikan penilaian terhadap karya sastra, lebih khususnya puisi. Memakai standart penilaian yang bagaimana untuk diterapkan pada sebuah karya sastra? Hal itu disebabkan oleh keberadaan karya sastra itu sendiri. Karya sastra kontemporer lebih bersifat bebas dari ikatan-ikatan atau aturan perpuisian. Inilah yang kiranya menjadikan seorang kritikus sastra harus memutar otak lebih serius lagi. Ujung-ujungnya hal ini akan mengarah pada satu bentuk kritik yang bersifat impresionis. Kritik yang memberikan tafsiran-tafsiran untuk mengagumkan dan untuk menimbulkan kesan yang indah kepada pembaca. Padahal secara konsep dasar, kritik sastra itu bertumpu pada pertimbangan baik-buruk sebuah karya berdasarkan nilai-nilai tertentu.
Nilai-nilai tersebut dapat bertumpu pada pengalaman jiwa seorang pengarang. Itulah yang kemudian dapat dijadikan standart penilaian karya sastra secara objektif. Sebagaimana Rachmat Djoko Pradopo, ia melakukan penerapan kritik sastra berdasarkan lima tingkat pengalaman jiwa manusia. Kelima tingkat pengalaman jiwa tersebut meliputi neveau anorganis; tingkat jiwa yang rendah dan berorientasi pada pola bunyi, irama, baris sajak, majas dan lain-lain, neveau vegetatif; tingkat seperti tumbuh-tumbuhan dan berorietasi pada suasana, neveau animal; tingkat yang dicapai seperti hewan dan berorientasi pada unsur nafsiah, neveau human; tingkat yang hanya dicapai oleh manusia dan berorientasi pada sifat luhur kemanusiaan, dan neaveau religius/filosofis; tingkat tertinggi dan berorientasi pada renungan-renungan yang mengarah pada hakekat hidup dan kehidupan. Berdasarkan fenomena itu, marilah sejenak kita mendedah puisi S Yoga yang berjudul Jaran Goyang berdasarkan pada tingkat pengalaman jiwa kemanusiaannya.
Kita mulai dari tingkat yang paling bawah, yaitu neveau anorganis. Puisi penyair kelahiran Purworejo ini kental dengan persajakan. Rimanya tertata rapi. Persajakannya sangat konsisten dan seimbang. Itu terlihat dari jumlah baris dalam tiap baitnya. Mulai bait pertama hingga terakhir, puisi ini tersusun atas tiga baris dalam tiap baitnya.
Rima yang disematkan dalam puisi Jaran Goyang begitu mendominasi keseluruhan puisi. Ditinjau dari huruf akhir dalam setiap baitnya, S Yoga tidak banyak menggunakan variasi rima. Ia cukup menggunakan rima rata dengan pola “aaa”. Vokal “u” melingkupi bait pertama, ke tiga, ke lima, dan ke enam. Bait pertama dapat dilihat dari penyematan kata bernafsu-rayu-menjebakmu. Bait ketiga ditandai dengan kata wajahmu¬-selalu-tabu. Bait kelima terlihat dari penyematan kata merayumu¬-membenciku-apiku. Bait keenam ditandai dengan kata berbulu-rohmu-malamku. Nada-nada tersebut membangun suasana yang begitu berat, mendalam, dan mengharukan dalam kepribadian. Vokal “i” mewarnai bait ke empat, ke tujuh, dan ke lima belas. Itu ditandai dengan penyematan kata diri-kubimgkai-abadi (bait ke-4), hati-mati-berseri (bait ke-7), ati-abadi-suci (bait ke-15). Bunyi huruf tersebut terasa ringan diucapakan namun ragkaian kata-katanya mengisyaratkan sesuatu yang berat. Jadi, untuk menggapai hidup yang abadi yang penuh dengan kenikmatan itu sangat mudah diucapkan namun begitu berat untuk dilakukan. Vokal “a” menghiasi bait ke tiga belas; surga-seberapa-selamanya, dan bait ke sembilan belas; dipaksa-diminta-berlaksa. Bunyi-bunyi tersebut merupakan bunyi yang datar. Ini menggambarkan suatu kewajaran. Sudah sewajarnya seorang manusia mendambakan surga dalam keabadiannya. Sudah sewajarnya manusia hidup itu ada paksaan, persembahan, serta ada perbandingan/pertimbangan-pertimbangan. Konsonan “l” mewarnai bait ke dua; kanti¬l-kinti¬l-kekal yang membangun suasana sakral yang kental dan berkait. Konsonan “n” melingkupi bait ke delapan; penyamun-kegelapan-bulan yang mengisyaratkan akan kepastian. Konsonan “ng” terlihat pada bait ke sembila; gamang-hilang-kuning menggambarkan jiwa yang tidak tenang. Konsonan “k” mewarnai bait ke sepuluh; semak-rangkak-berjarak, dan bait ke delapan belas; kemaruk-remuk-berkecamuk. Bunyi-bunyi tersebut membangun suasana perjalanan. Konsonan “t” melingkupi bait sebelas; berkabut-pucat-nikmat, bait dua belas; aurat-kudapat-kujerat, bait empat belas; luput-langsat-keramat, bait enam belas; kabut-kusut-kalut, dan bait tujuh belas; lewat-larut-kalimat. Bunyi-bunyi tersebut mencerminkan kesakralan/kefundamentalan hidup. Konsonan “r” mewarnai bait ke dua puluh; altar-diantar-samar yang mencerminkan suatu bentuk kebenaran.
Jika ditelisik dari bunyi akhir kata dalam tiap baitnya, S Yoga menggunakan dua rima, yaitu rima patah dan rima rata. Rima patah terdapat pada bait dua, lima, tujuh, delapan, sembilan, sebelas, empat belas, tujuh belas, sembilan belas, dan dua puluh. Itu terlihat dari kata-kata; kanti¬l-kinti¬l-kekal (bait dua), merayumu¬-membenciku-apiku (bait lima), hati-mati-berseri (bait tujuh), penyamun-kegelapan-bulan (bait delapan), gamang-hilang-kuning (bait sembilan), berkabut-pucat-nikmat (bait sebelas), aurat-kudapat-kujerat (bait dua belas), luput-langsat-keramat (bait empat belas), lewat-larut-kalimat (bait tujuh belas), keamruk-remuk-berkecamuk (bait delapan belas), dipaksa-diminta-berlaksa (bait sembilan belas), altar-diantar-samar (bait dua puluh). Adapun rima ratanya adalah bait sepuluh; semak-rangkak-berjarak, dan bait enam belas; kabut-kusut-kalut.
Majas metafora tampak hadir dalam puisi S Yoga ini. Ungkapan “mantraku terbang (bait 1, baris 1), apiku (bait 5, baris 3), birahi berbulu (bait 6, baris 1), bunga-bunga (bait 7, baris 1), cahaya bulan (bait 8, baris 3), anjing malam (bait 10, baris 1), semak (bait 10, baris 1), lidi lanang (bait 13, baris 1), buah pinang yang kuning langsat (bait 14), kabut (bait 16 baris 1), kabut (bait16 baris 1 dan 3), asap dapur (bait 17, baris 1), dan nyala damar di sentong (bait 17, baris 2) merupakan gambaran metaforanya. Dalam ungkapan mantraku terbang, kata mantra yang notabenenya adalah kata-kata yang berkekuatan magis (dapat dikatakan sebagai doa) disamakan dengan seekor burung atau sesuatu hal yang dapat terbang. Ia secara visual dapat melayang-layang ke angkasa. Kata apiku merupakan persamaan dari hasrat yang diliputi oleh nafsu. Kata bulu identik dengan kehangatan. Sesuatu yang memberikan kehangatan akan mencupta kedamaian. Jadi, kata birahi berbulu disamakan dengan nafsu (jiwa) yang damai/tenang. Bunga bunga disamakan dengan kehidupan yang bahagia. Pencerahan atau petunjuk tingkah laku yang benar dimetaforkan dengan ungkapan cahaya bulan. Anjing malam mengarah pada penyepadanan dengan keberingasan dan keliaran nafsu. Semak merupakan satu bentuk penyepadanan dengan citra Nabi Musa saat beraudensi dengan tuhan di Bukit Tursina yang diwujudkan dalam bentuk semak yang terbakar. Semak tersebut merupakan isyarah akan hakekat ketuhanan. Lidi lanang biasanya dipakai oleh para pawang hujan untuk menolak hujan. Pada ungkapan ini tidaklah mengarah pada penangkalan hujan, namun mengarah pada kebajikan dan kesucian sebab ungkapan itu dirangkainya dengan kata surga. Penyair bermaksud melakukan penangkalan terhadap segala bentuk keburukan yang muncul dari dalam pribadinya dengan sedikit kebajikan dan kesucian hatinya. Jadi ungkapan lidi lanang disamakan dengan penyucian diri (hati). Buah pinang yang kuning langsat berorientasi pada buah pinang yang tengah masak/matang. Dalam hal ini unrkapan tersebut disamakan dengan buah kuldi yang pernah termakan oleh Adam dan Hawa saat berada di surga. Kabut pada baris ke-1 bait 16 disamakan dengan alam atau kehidupan yang samar (gaib) sedangkan pada baris ke-3 dimetaforkan dengan Tuhan Yang Maha Gaib. Asap dapur disepadankan dengan kepribadian yang buruk/kotor. Nyala damar dimetaforkan dengan cahaya hati/petunjuk, sedangkan sentong berkonotasi pada tempat damar menyala. Dalam hal ini sentong disepadankan dengan hati itu sendiri.
Dalam tingkat neveau vegetatif tampak bermacam-macam suasana yang membangun kepribadian si “aku” yang tecermin dalam sajak ini. Suasana-suasana tersebut berorientasi pada suasana yang begitu berat, mendalam, dan mengharukan dalam pribadi pengarang (bait 3, 5, dan 6). Suasana hati yang gontai, cemas dan tidak tenang juga telukiskan (bait 1, 9, dan 18). Hal ini seoalah-olah muncul sebagai suatu kewajaran dalam realitas perjalanan hidup si “aku” dalam mencari hakekat kesejatian tuhannya (bait 3, 4, 11, dan 12). Suatu harapan juga tertuang dalam sajak ini (bait 19 dan 20).
Tingkat pengalaman jiwa yang selanjutnya adalah neveau animal. Ini berupa nafsu-nafsu hidup, tanggapan-tanggapan indraan yang konkret, dan nafsu-nafsu jasmaniah. Nafsu-nafsu hidup dan jasmaniah tergambarkan melalui ungkapan “goda dan rayu (bait 1), merayumu dan membenciku (bait 5), murka (bait 7), rindu, cemas dan gamang (bait9), hati luka dan duka (bait 18), kebahagiaan, dipaksa (bait 19). Godaan, rayuan, kebencian, amarah, kerinduan, kecemasan, sakit hati, kesedihan, kebahagiaan, paksaan merupakan gambaran dari eksistensi nafsu. Semuanya bertumpu pada nafsu. Tanggapan indraan yang konkirit tecermin dari kata-kata uba rampe (sesaji-sesaji dalam ritual mistis), bunga mawar, kenanga dan kantiil (perkengkapan yang disediakan dalam ritual memantrai sesuatu), topeng (wajah palsu), apiku (sesuatu yang bersifat menyala, berkobar, dan membakar), berbulu (sesuatu yang menimbulkan kehangatan), bunga-bunga (gambaran yang indahdan memesona), cahaya bulan (sesuatu yang bersifat menerangi), burung hantu (gambaran dari malam dan ketakutan), anjing malam (gambaran dari sesuatu yang liar dan menakutkan), pucat (wajah yang tidak segar berseri yang menandakan bahwa diri seseorang itu sakit atau ketakutan), aurat (suatu aib atau agian-bagian tubuh seseorang yang mampu merangsang nafsu sahwat), surga (tempat yang indah yang penuh dengan kenikmatan), kulsi (buah yang enyesatkan yang menjadikan Adam dan Hawa terlempar dari surga), nyala damar (sesuatu yang bersifat menerangi dalam kegelapan), dan altar (tempat suci sebagai pemujaab/persembahan kurban kepada dew-dewa).
Tingkat keempat, neveau human dalam sajak ini tampak sebagai kesadaran si “aku” bahwa segalanya akan tiada arti jika ia tidak mampu menemukan, memandang, dan menyayangi kekasihnya (bait 3 dan 4). Kesadaran juga muncul dalam bait ke-11. Ini mengisyaratkan bahwa si “aku” mengikhlaskan penderitaan sesaat sebab ia sadar bahwa ada kebahagiaan yang lebih nikmat di balik semua itu. Si “aku” juga sadar, demi petunjuk dan jalan terang menuju sang kekasih, ia mebiarkan dirinya berada dalam kegelapan dan keheningan dari hal-hal yang mampu menggoda hatinya (bait 12). Kesadaran untuk bersabar juga muncul kembali dalam pribadi si “aku”. Ia tidak akan memaksa akan kedatangan kebahagiaan melalui kehadiran kekasihnya. Ia membiarkannya datang dengan sendirinya seiring perjalanan waktu, sebab itulah yang dinamakan kewajaran hidup. Dan inilah yang akan merangkai kebahagiaan yang lebih melimpah-ruah (bait 19). Si “aku” juga sadar bahwa kasih sayang kekasihnya lebih tinggi dari kasih sayangnya. Sebab kekasihnya tidak lain adalah Tuhan Yang Maha Esa (bait 20).
Tingkat kelima adalah neveau religius/filosofi. Tingkat inilah yang tampak begitu kental dalam keutuhan puisi. Puisi ini mengarah pada perjalanan hidup si “aku” dalam melakukan hakekat kesejatian tuhan agar ia di kemudian hari berolehkan kebahagiaan dan kemuliaan. Sudah tampak jelas dari judulnya, Jaran Goyang, ini adalah mantra pengasihan untuk memikat hati seseorang. Tapi di sini beda. Judul itu berkonotasi pada yang lain. Si “aku” berusaha memikat tuhan dengan puja-puji doa dalam munajatnya. Ia mempersiapkan hal-hal dalam persembahan cinta kasih, ketulusan, dan kesucian hatinya agar tuhan berkenan cinta padanya dan selalu dekat dengannya.
mantraku terbang bersama malam bernafsu
adakah yang tak akan goyah karena goda dan rayu
telah kusiapkan uba rampe guna menjebakmu
bunga mawar, kenanga, dan kantil
agar kau selalu terpikat dan kintil
wahai kekasih berelok rupa dalam singgasana kekal (bait 1 dan 2).
Si aku menyadari bahwa segala pancaran kenikmatan yang diberikan tuhan kepadanya tidak aka berarti apa-apa apabila ia tak mampu dekat dan cinta kepada tuhannya. Ia semakin kecewa jika tuhan hanya sebatas bayangan angan dalam jiwanya saja. Ia menganggap bahwa perjalanan hidup yang telah dilaluinya haya sebatas kepura-puraan. Ia belum menemukan kesejatian hidup yang abadi.
apakah artinya cahaya wajahmu
bila tak bisa kupandang dan kusayang selalu
hanya bayangan melayang di batas angan dan tabu
bila tak kutemukan sukmamu dalam diri
hanyalah topeng hidup yang kupakai dan kubingkai
tak terwujud kesejatian hidup yang abadi (bait 3 dan 4).
Penegasan dilakukan oleh si “aku”. Ia menegaskan bahwa ia telah melakukan usaha-usaha tertentu dengan jalan menghadirkan kesucian hati dari perbuatan-perbuat nista yang menimbulkan kebencian tuhannya. Dengan hal itu, ia semakin yakin, bahwa kini tuhan telah semain dekat bersama hasratnya yang menggebu. Ia lantas mendamaikan nafsunya agar kebajikan berselimut dalam dirinya yang kemudian mampu menjadikan tuhan jatuh hati dan iba oleh doa munajatnya.
telah lama kugiring agar semua arwah merayumu
yang tak sudi kupinang karena membenciku
kini kupastikan engkau semakin dekat dengan apiku
yang selalu kunyalakan dengan birahi berbulu
agar harum tubuh menakjubkan rohmu
hingga hati luluh melihat doa malamku (bait 5 dan 6).
Mantan
M.D. Atmaja
http://www.sastra-indonesia.com/
Dhimas Gathuk menyandarkan tubuhnya di pematang sawah ketika iring-iringan mobil melaju kencang di jalan setapak yang menuju ke tengah pusat Kelurahan Luruh Indon.
“Pejabat lewat.” Ungkap Dhimas Gathuk tanpa mengangkat kepala. “Jalan kok seperti milik mereka sendiri. Wus… wus… seenaknya sendiri.”
“Halah, Dhi, kok apa-apa kamu komentari. Dan gak ada yang bener buat kamu.” Sahut Kangmas Gothak sambil membersihkan lumpur dengan aliran sungai.
“Hehehehehe.. namanya juga komentator, Kang. Pasti, seenaknya sendiri.” Ungkap Dhimas Gathuk mengangkat kepala menyaksikan Kakangnya yang tengah membungkuk dan menggosok kaki.
Hitam lumpur yang menempel lama kelamaan tersapu air sungai. Warna yang tadinya jernih menjadi keruh. Hitam itu mengalir. Lama kelamaan memudar.
“Kang,” panggil Dhimas Gathuk namun Kakangnya tidak menyahuti atau mengangkat kepala. “sepertinya enak ya jadi pejabat.”
“Sepertinya, Dhi. Wang sinawang.”
“Lha, sudah gajinya besar, jalan dipakai sendiri, Kang. Semua orang suruh minggir.”
“Hehehehehe.. aku gak tahu, Dhi.” Kangmas Gothak naik dari sungai, “Semua itu kan sudah ada jatahnya sendiri.”
“Kok mereka tidak membuat jalan sendiri, Kang. Kan ada rumah dinas. Lha, tidak sekalian minta jalan dinas?”
“Halah, aneh-aneh.”
“Kamu punya banyak kenalan pejabat, Kang. Siapa tahu nanti Kakang bisa jadi pejabat.”
“Heh,”
“Berandai, Kang.” Sahut Dhimas Gathuk, “Dulu si Pak Miko itu juga temanmu di Serikat Rakyat Demokrat to, Kang?”
“Iya. Teman seperjuangan.”
“Nah, Pak Miko kan sudah menjabat. Kok Kakang belum?”
Kangmas Gothak langsung memfokuskan diri pada adiknya. Dhimas Gathuk cukup terkenal dengan sifat isengnya. Menggosipkan pejabat. Mencari seluk beluk kesalahan. Siang ini terlihat berbeda. Kangmas Gothak menyelidik. Saudara muda yang cerewet.
“Kamu ingin aku jadi pejabat, Dhi?”
“Bukan keinginan, Kang, siapa tahu dengan Kakang Gothak menjadi pejabat, nasib orang seperti adikmu ini bisa lebih baik.”
“Aku tidak berani berjanji, Dhi. Terlalu banyak godaan. Mendingan tetap seperti ini saja. Tidak beresiko.”
“Lho, memang resiko apa, Kang?” sahut Dhimas Gathuk sambil bangkit dari tidurannya.
“Kalau aku lupa bagaimana?”
“Lupa pada apa, Kang?”
“Lupa pada perjuangan yang sekarang.”
Dhimas Gathuk kini memfokuskan diri. Mencermati Kakangnya seseksama mungkin. Lalu menggelengkan kepala.
“Sistem itu akan melumatku habis, Dhi. Bau lumpur petani teramat sulit untuk tercium. Aku takut, Dhi, kalau justru lupa.”
Dhimas Gathuk mengedipkan mata dengan cepat. Menyaksikan Kakangnya yang menerawang. Ia melihat kepedihan di mata itu. Kepedihan yang terendam di dalam kalbu dan tak terungkapkan. Mata Kakangnya sudah seperti bola kaca yang berkilauan. Pada saat itu lah, Dhimas Gathuk sedih.
“Kalau tidak mau ya sudah, Kang. Jangan jadi pejabat. Jangan lupa pada perjuanganmu.” Dhimas Gathuk mencoba menarik kata-katanya.
Kangmas Gothak menggelengkan kepala. “Lebih baik seperti ini, Dhi. Tetap bisa berjuang sekuat tenaga. Mempertaruhkan apa pun yang ada. Jangan sampai, justru hilang ingatan akan perjuangan. Karena tidak ada mantan pejuang, Dhi.”
“Iya, Kang. Aku tahu.”
“Halah, sudah, Dhi. Lebih baik kita terus bertani. Menanam untuk memanen.” Ungkap Kangmas Gothak yang kemudian bangkit untuk turun ke sawah kembali.
Dhimas Gathuk masih memandangi Kakangnya. Air yang tadi ditumpahkan, masih utuh. Ketika saudara tua itu bangkit dan menghambur ke lumpur, Dhimas Gathuk merasakan bulu romanya berdiri, “Pejuang tidak boleh lupa dengan perjuangannya, sebab tidak ada mantan pejuang!” pikir Dhimas Gathuk sambil terus mengamati Kakangnya.
Bantul – Studio SDS Fictionbooks, 28 Agustus 2010.
http://www.sastra-indonesia.com/
Dhimas Gathuk menyandarkan tubuhnya di pematang sawah ketika iring-iringan mobil melaju kencang di jalan setapak yang menuju ke tengah pusat Kelurahan Luruh Indon.
“Pejabat lewat.” Ungkap Dhimas Gathuk tanpa mengangkat kepala. “Jalan kok seperti milik mereka sendiri. Wus… wus… seenaknya sendiri.”
“Halah, Dhi, kok apa-apa kamu komentari. Dan gak ada yang bener buat kamu.” Sahut Kangmas Gothak sambil membersihkan lumpur dengan aliran sungai.
“Hehehehehe.. namanya juga komentator, Kang. Pasti, seenaknya sendiri.” Ungkap Dhimas Gathuk mengangkat kepala menyaksikan Kakangnya yang tengah membungkuk dan menggosok kaki.
Hitam lumpur yang menempel lama kelamaan tersapu air sungai. Warna yang tadinya jernih menjadi keruh. Hitam itu mengalir. Lama kelamaan memudar.
“Kang,” panggil Dhimas Gathuk namun Kakangnya tidak menyahuti atau mengangkat kepala. “sepertinya enak ya jadi pejabat.”
“Sepertinya, Dhi. Wang sinawang.”
“Lha, sudah gajinya besar, jalan dipakai sendiri, Kang. Semua orang suruh minggir.”
“Hehehehehe.. aku gak tahu, Dhi.” Kangmas Gothak naik dari sungai, “Semua itu kan sudah ada jatahnya sendiri.”
“Kok mereka tidak membuat jalan sendiri, Kang. Kan ada rumah dinas. Lha, tidak sekalian minta jalan dinas?”
“Halah, aneh-aneh.”
“Kamu punya banyak kenalan pejabat, Kang. Siapa tahu nanti Kakang bisa jadi pejabat.”
“Heh,”
“Berandai, Kang.” Sahut Dhimas Gathuk, “Dulu si Pak Miko itu juga temanmu di Serikat Rakyat Demokrat to, Kang?”
“Iya. Teman seperjuangan.”
“Nah, Pak Miko kan sudah menjabat. Kok Kakang belum?”
Kangmas Gothak langsung memfokuskan diri pada adiknya. Dhimas Gathuk cukup terkenal dengan sifat isengnya. Menggosipkan pejabat. Mencari seluk beluk kesalahan. Siang ini terlihat berbeda. Kangmas Gothak menyelidik. Saudara muda yang cerewet.
“Kamu ingin aku jadi pejabat, Dhi?”
“Bukan keinginan, Kang, siapa tahu dengan Kakang Gothak menjadi pejabat, nasib orang seperti adikmu ini bisa lebih baik.”
“Aku tidak berani berjanji, Dhi. Terlalu banyak godaan. Mendingan tetap seperti ini saja. Tidak beresiko.”
“Lho, memang resiko apa, Kang?” sahut Dhimas Gathuk sambil bangkit dari tidurannya.
“Kalau aku lupa bagaimana?”
“Lupa pada apa, Kang?”
“Lupa pada perjuangan yang sekarang.”
Dhimas Gathuk kini memfokuskan diri. Mencermati Kakangnya seseksama mungkin. Lalu menggelengkan kepala.
“Sistem itu akan melumatku habis, Dhi. Bau lumpur petani teramat sulit untuk tercium. Aku takut, Dhi, kalau justru lupa.”
Dhimas Gathuk mengedipkan mata dengan cepat. Menyaksikan Kakangnya yang menerawang. Ia melihat kepedihan di mata itu. Kepedihan yang terendam di dalam kalbu dan tak terungkapkan. Mata Kakangnya sudah seperti bola kaca yang berkilauan. Pada saat itu lah, Dhimas Gathuk sedih.
“Kalau tidak mau ya sudah, Kang. Jangan jadi pejabat. Jangan lupa pada perjuanganmu.” Dhimas Gathuk mencoba menarik kata-katanya.
Kangmas Gothak menggelengkan kepala. “Lebih baik seperti ini, Dhi. Tetap bisa berjuang sekuat tenaga. Mempertaruhkan apa pun yang ada. Jangan sampai, justru hilang ingatan akan perjuangan. Karena tidak ada mantan pejuang, Dhi.”
“Iya, Kang. Aku tahu.”
“Halah, sudah, Dhi. Lebih baik kita terus bertani. Menanam untuk memanen.” Ungkap Kangmas Gothak yang kemudian bangkit untuk turun ke sawah kembali.
Dhimas Gathuk masih memandangi Kakangnya. Air yang tadi ditumpahkan, masih utuh. Ketika saudara tua itu bangkit dan menghambur ke lumpur, Dhimas Gathuk merasakan bulu romanya berdiri, “Pejuang tidak boleh lupa dengan perjuangannya, sebab tidak ada mantan pejuang!” pikir Dhimas Gathuk sambil terus mengamati Kakangnya.
Bantul – Studio SDS Fictionbooks, 28 Agustus 2010.
Sastra Jawa Tidak Lagi Agraris
Doddy Wisnu Pribadi
http://oase.kompas.com/
Kwalitas dan kwantitas karya cerita pendek dan puisi berbahasa Jawa, “cerita cekak” dan “geguritan” sudah cukup banyak mengalami perubahan, sebagaimana tampak pada naskah yang masuk pada sayembara yang diselenggarakan Yayasan Karmel, pengelola sekolah Katolik di Jawa Timur. Hasil sayembara ini diumumkan Minggu hari (27/1) yang dihadiri sekitar 200 orang guru dan peminat sastra Jawa di Jawa Timur dan beberapa kota lain di tanah air.
Sebanyak 13 juara “cerita cekak” (cerkak) dan 13 juara “geguritan” terpilih pada sayembara yang dilaksanakan untuk memperingati HUT ke-82 Yayasan Karmel, oleh tiga juri Tengsoe Cahyono, Bonari Nabonenar dan Basuki Widodo. Hadiah berupa uang tunai Rp 1 juta untuk juara pertama, diberikan Ketua Yayasan Karmel Romo Hudijono Pr.
“Karya sastra Jawa sudah makin berani keluar dari kultur agrarisnya,” kata Dr Henricus Supriyanto, pemimpin lembaga kebudayaan Yayasan Tantular.
Basuki Widodo menegaskan, cukup banyak karya-karya sastra yang memilih tema yang amat mutakhir bagi wilayah kebudayaan Jawa saat ini, seperti tema single parent, yang isinya seputar keputusan karakter perempuan dalam “cerita cekak” itu, untuk hidup sendiri sebagai orang tua tunggal.
“Ini jelas diluar tema-tema domestik, atau hubungan keluarga besar, dan romantisme masa lalu yang seringkali muncul dalam karya-karya cerita pendek berbahasa Jawa selama ini. Tegasnya karya-karya terbaru ini tidak lagi monoton,” kata Basuki Widodo, redaktur majalah Jaya Baya, salah satu dari hanya dua media yang masih menampung dan menyediakan ruang bagi karya sastra Jawa, selain Panjebar Semangat.
Karya tersebut muncul sebagai juara pertama, Ijen Ing Omah (Sendirian di Rumah) karya Ekapati Lenda Aneta (Surabaya). Panitia memilih tiga orang juara, dan sepuluh orang juara harapan, dari 89 naskah cerkak yang masuk ke meja panitia. Naskah “geguritan” mencapai lebih dari 100 naskah yang diikutkan lomba. Juara II lomba cerkak berjudul Tamarin oleh Nunung Widyaningtyas (Tulungagung) dan juara III Kadho Desember oleh ES Sulistyarini (Blitar).
Karya “geguritan” yang mendapat juara pertama malah memotret fenomena panggung dangdut yang semarak akhir-akhir di media televisi dan di tempat hiburan umum. Pengarangnya, Sri Purnanto, guru SMA di Kecamatan Panggul, Kabupaten Trenggalek menjelaskan, dirinya hanya memotret, bukan hendak menghakimi fenomena joget dalam karyanya Panggung Kembang Jingkrak.
Bait akhir puisnya /Ing pangggung kembang jingkrak, kena ngguyu nanging ojo nguloni idu/ Ing panggung kembang jingkrak, entuk ngedan nanging ojo nyalahne zaman/ Ing panggung kembang jingkrak, nadyan mung semu melua surak (Di panggung bunga berjingkrak, boleh tertawa tapi jangan menelan ludah/ …, boleh menjadi gila, tetapi jangan mengutuk zaman/ …, sekalipun hanya semu boleh ikut bersorak.
http://oase.kompas.com/
Kwalitas dan kwantitas karya cerita pendek dan puisi berbahasa Jawa, “cerita cekak” dan “geguritan” sudah cukup banyak mengalami perubahan, sebagaimana tampak pada naskah yang masuk pada sayembara yang diselenggarakan Yayasan Karmel, pengelola sekolah Katolik di Jawa Timur. Hasil sayembara ini diumumkan Minggu hari (27/1) yang dihadiri sekitar 200 orang guru dan peminat sastra Jawa di Jawa Timur dan beberapa kota lain di tanah air.
Sebanyak 13 juara “cerita cekak” (cerkak) dan 13 juara “geguritan” terpilih pada sayembara yang dilaksanakan untuk memperingati HUT ke-82 Yayasan Karmel, oleh tiga juri Tengsoe Cahyono, Bonari Nabonenar dan Basuki Widodo. Hadiah berupa uang tunai Rp 1 juta untuk juara pertama, diberikan Ketua Yayasan Karmel Romo Hudijono Pr.
“Karya sastra Jawa sudah makin berani keluar dari kultur agrarisnya,” kata Dr Henricus Supriyanto, pemimpin lembaga kebudayaan Yayasan Tantular.
Basuki Widodo menegaskan, cukup banyak karya-karya sastra yang memilih tema yang amat mutakhir bagi wilayah kebudayaan Jawa saat ini, seperti tema single parent, yang isinya seputar keputusan karakter perempuan dalam “cerita cekak” itu, untuk hidup sendiri sebagai orang tua tunggal.
“Ini jelas diluar tema-tema domestik, atau hubungan keluarga besar, dan romantisme masa lalu yang seringkali muncul dalam karya-karya cerita pendek berbahasa Jawa selama ini. Tegasnya karya-karya terbaru ini tidak lagi monoton,” kata Basuki Widodo, redaktur majalah Jaya Baya, salah satu dari hanya dua media yang masih menampung dan menyediakan ruang bagi karya sastra Jawa, selain Panjebar Semangat.
Karya tersebut muncul sebagai juara pertama, Ijen Ing Omah (Sendirian di Rumah) karya Ekapati Lenda Aneta (Surabaya). Panitia memilih tiga orang juara, dan sepuluh orang juara harapan, dari 89 naskah cerkak yang masuk ke meja panitia. Naskah “geguritan” mencapai lebih dari 100 naskah yang diikutkan lomba. Juara II lomba cerkak berjudul Tamarin oleh Nunung Widyaningtyas (Tulungagung) dan juara III Kadho Desember oleh ES Sulistyarini (Blitar).
Karya “geguritan” yang mendapat juara pertama malah memotret fenomena panggung dangdut yang semarak akhir-akhir di media televisi dan di tempat hiburan umum. Pengarangnya, Sri Purnanto, guru SMA di Kecamatan Panggul, Kabupaten Trenggalek menjelaskan, dirinya hanya memotret, bukan hendak menghakimi fenomena joget dalam karyanya Panggung Kembang Jingkrak.
Bait akhir puisnya /Ing pangggung kembang jingkrak, kena ngguyu nanging ojo nguloni idu/ Ing panggung kembang jingkrak, entuk ngedan nanging ojo nyalahne zaman/ Ing panggung kembang jingkrak, nadyan mung semu melua surak (Di panggung bunga berjingkrak, boleh tertawa tapi jangan menelan ludah/ …, boleh menjadi gila, tetapi jangan mengutuk zaman/ …, sekalipun hanya semu boleh ikut bersorak.
Sabtu, 25 September 2010
Politik Sepak Bola
Heri Latief
http://politik.kompasiana.com/
Politik itu seperti “game” kata Henry Kissinger, apakah sport itu juga sejenis permainan yang bisa dipolitikkan?
Menonton sepak bola di akhir minggu sudah menjadi tradisi bagi orang Barat, apalagi di zaman sekarang banyak kanal televisi spesial buat acara sport, otomatis semakin maraklah dunia para pecinta sepak bola, dan tentu saja onderdil dari acara nonton bola adalah makanan kecil (chips), dan bir pasti ada untuk meramaikan suasana.
Pernah ada penelitian yang menyatakan, ada indikasi kuat di saat acara pertandingan sepak bola World Cup ternyata ada hubungannya dengan kenaikan angka kelahiran di Belanda. Hal tersebut terdeteksi dalam bentuk masa kehamilan setelah acara pertandingan bola internasional tersebut selesai.
Mungkin anda juga setuju bahwa prestasi sepak bola di Belanda terkenal namanya melalui Johan Crujff, Ajax dan Rinus Michels. Ketiga nama tersebut punya sumbangan besar dalam dunia persepakbolaan Belanda.
Johan Crujff lahir di Amsterdam, 25 april 1947, terkenal sebagai pahlawan sepak bola Belanda, yang juga pernah jadi pelatih sukses di klub Barcelona (1988-1996).
Menir Cruijff memang aslinya jagoan menggocek bola yang pada akhirnya menghasilkan gol kemenangan. Kawan dan lawan mengakuinya sebagai salah satu seniman bola di dalam dunia persepakbolaan.
Ajax adalah nama klub sepak bola terkenal dari Amsterdam, didirikan 18 maret 1900, punya stadion megah Amsterdam Arena yang atapnya bisa ditutup dan dibuka.
Musuh bebuyutannya Ajax yang paling terkenal adalah Feyenoord, didirikan 19 juli 1908, bermarkas di stadion Kuip (Rotterdam), yang suka nonton kompetisi Eropa pasti kenal nama klub sepak bola kebanggan kota Rotterdam ini.
Feyenoord diasosiasikan dengan sebutan “het is een club van arbeiders”, klub sepak bolanya kaum buruh.
Ajax fans yang punya grup inti fanatik bernama F-Side itu pernah tawuran habis-habisan melawan SCF Hooligans sebutan buat fans Feyenoord.
Kejadiannya di lapangan kosong dekat kota Beverwijk (23/03/1997), yang memakan korban jiwa dari F-Side karena kepalanya kena pentung martil, pertempuran dua musuh bebuyutan itu ada film dokumentasinya di Youtube.
Para fans sepak bola Belanda memang suka ganas gila-gilaan dalam hal melakoni perang antar klub sepak bola, padahal mereka tahu semuanya, jika terjadi pertandingan sepak bola antara tim Belanda dengan Jerman misalnya, maka geng hooligans Belanda itu tiba-tiba bersatu, bersama-sama nonton pertandingan sepak bola via televisi layar lebar di kafe-kafe di sekitar Leidseplein, bersorak sorai mendukung tim Belanda tanpa membedakan pemain yang berasal dari bukan klub pujaannya. Bersatu sesaat demi nama persatuan sepak bola Belanda.
Sepak bola juga sebagai salah satu faktor keuntungan dalam ekonomi Belanda, contohnya Ajax yang terdaftar di pasar bursa efek. Karena sepak bola identik dengan fans, maka angka penjualan segala atribut yang berhubungan dengan klub pujaan makin hari makin meningkat, belum lagi uang hasil dari penyiaran pertandingan, dan selalu muncul fans baru sebagai langganan potensial untuk membeli segala macam produk promosi dari klub gacoannya.
Sepak bola sebagai hiburan rakyat yang murah meriah, olah raga sebagai alat pemersatu dan sekaligus juga sebagai alat untuk bersaing dalam bisnis menjual hak acara pertandingan sepak bola di media televisi.
Apa ada yang ingat nama pelatih tim Belanda Rinus Michels alias “Sang Jendral” (9 februari 1928 – 3 maret 2005), yang namanya jadi legenda dalam dunia persepakbolaan dunia, di tahun 1999 menir Michels dipilih oleh FIFA sebagai pelatih terbaik di abad ke 20.
Michels adalah pelatih sepak bola tersohor dengan ilmu menyerangnya, yang dibilang “Total Football”. Ia pernah menyatakan bahwa pertandingan sepak bola adalah sejenis “perang”, para gladiator di lapangan bertugas hanya untuk menang dan menang, jargonnya mirip sejenis strategi militer dicampur lihainya kaki menggocek bola.
Dalam dunia politik kita bisa lihat juga ada istilah politik sepak bola, menggocek bola dalam kotak pinalti, mengharapkan ada yang mentekelnya, lalu terjatuh, dan lawannya dapat kartu merah dari wasit, tendangan pinalti pun sebagai kadonya, memanipulasi permainan politik dengan memakai taktik bola liar, seperti yang dipamerkan dalam dunia politik Belanda pada saat ini.
Kemarin saya lihat siaran langsung di televisi Belanda, perdebatan di parlemen mengenai kasus Sudan (Tragedi Darfur), dengan para pengeritiknya: Rita Verdonk dari partai Trots Op Nederland bersama PVV (partainya Geert Wilders) dan VVD (Liberal) menginginkan agar bantuan kemanusiaan dari pemerintah Belanda ke Sudan di stop, dengan alasan karena mentri luar negeri Belanda Eimert van Middelkoop tidak diberi visum untuk mengunjungi Darfur.
Dengan gaya taktik politik main bolanya Belanda, maka dilemparkanlah ke gelanggang sebuah bola liar yang diberi judul “stop bantuan demi kemanusiaan”, jargon yang rada aneh kedengarannya, tapi memang sekarang ini ada semangat besar dari politisi kanan untuk mengurangi bantuan dana terhadap negara dunia ketiga, dengan alasan parahnya situasi korupsi, yang pada akhirnya menindas rakyatnya dengan memakai dana bantuan dari Barat.
Usul ke 3 partai kanan tersebut dibantah oleh menteri kerjasama pembangunan Belanda Bert Koenders (PVDA), yang menyatakan bahwa ada 1,2 juta rakyat Sudan menderita jadi pengungsi akibat perang, dan dana bantuan tersebut diberikan kepada LSM yang mengurusi para pengungsi.
Sinyal dari politik Belanda hari ini makin jelas: urusan penting dalam negeri mesti segera dibenahi, karena masalah pendidikan dan kesehatan telah menjadi momok dalam persoalan politik selama hampir 25 tahun lamanya, menuai kekecewaan rakyat Belanda terhadap gaya plintat-plintut politik Den Haag. Rakyat perlu kejelasan tentang masalah krisis politik, bukan cuma disuguhi pertunjukan politik demi usaha memojokkan kehidupan kaum pendatang.
Resesi ekonomi Amerika akan terasa beberapa bulan lagi kata seorang pejabat bank sentral Belanda, tapi kepercayaan konsumen kini telah menurun tajam, semua serba mahal, dan ironisnya pengamat ekonomi menyerukan “pembekuan gaji”, rakyat diminta supaya bisa super sabar menghadapi situasi naiknya harga minyak, yang rupanya mulai menyerang cara hidup konsumerisme masyarakat Belanda.
Semboyan “stop bantuan demi kemanusiaan” nampaknya mulai dipercaya sebagai jampi-jampi penolak bala. Jika saat ini ada pemilu di Belanda, partai barunya Rita Verdonk akan mendapatkan 20 kursi.
“Akan tetapi iklim politik Belanda itu belum bisa menerima adanya sejenis Partai Islam Demokrat”, demikian kata politikus Mohamed Rabbae, bekas pelarian politik, yang lahir di Berrechid, Marokko, 8 maret 1941, berasal dari partai Groenlinks, yang berbicara atas nama fakta, bahwa kebutuhan politik kaum muslimin di Belanda belum mendapat tempat yang layak.
Bola panas soal partai islam demokrat dari Rabbae dilempar ke gelanggang politik Belanda disertai juga komentarnya:“Geert Wilders is een politieke hooligan”. Rabbae bertanya kembali soal kepercayaan terhadap ide rechtsstaat alias negara hukum.
Di abad ke 21 ini, keributan politik di Eropa, khususnya Belanda sepertinya mau dibawa kembali ke zaman perang salib, di atas panggung teater intrik politik negara kaya, para politisi bersaing atas nama kesucian moral demokrasi Barat, melawan ketidakadilan akibat perbedaan warna kulit yang juga berbeda agama?
Bola liar politik Belanda lagi ditendang kesana-kesini, memanaskan suhu dingin di musim semi, dan jangan lupa tiap akhir pekan ada acara pertandingan sepak bola di televisi, bir pun dijadikan teman dalam rangka menikmati olah raga kerakyatan tanpa melihat perbedaan warna kulit atau pun agama. Proost!
Amsterdam, 9 April 2008
http://politik.kompasiana.com/
Politik itu seperti “game” kata Henry Kissinger, apakah sport itu juga sejenis permainan yang bisa dipolitikkan?
Menonton sepak bola di akhir minggu sudah menjadi tradisi bagi orang Barat, apalagi di zaman sekarang banyak kanal televisi spesial buat acara sport, otomatis semakin maraklah dunia para pecinta sepak bola, dan tentu saja onderdil dari acara nonton bola adalah makanan kecil (chips), dan bir pasti ada untuk meramaikan suasana.
Pernah ada penelitian yang menyatakan, ada indikasi kuat di saat acara pertandingan sepak bola World Cup ternyata ada hubungannya dengan kenaikan angka kelahiran di Belanda. Hal tersebut terdeteksi dalam bentuk masa kehamilan setelah acara pertandingan bola internasional tersebut selesai.
Mungkin anda juga setuju bahwa prestasi sepak bola di Belanda terkenal namanya melalui Johan Crujff, Ajax dan Rinus Michels. Ketiga nama tersebut punya sumbangan besar dalam dunia persepakbolaan Belanda.
Johan Crujff lahir di Amsterdam, 25 april 1947, terkenal sebagai pahlawan sepak bola Belanda, yang juga pernah jadi pelatih sukses di klub Barcelona (1988-1996).
Menir Cruijff memang aslinya jagoan menggocek bola yang pada akhirnya menghasilkan gol kemenangan. Kawan dan lawan mengakuinya sebagai salah satu seniman bola di dalam dunia persepakbolaan.
Ajax adalah nama klub sepak bola terkenal dari Amsterdam, didirikan 18 maret 1900, punya stadion megah Amsterdam Arena yang atapnya bisa ditutup dan dibuka.
Musuh bebuyutannya Ajax yang paling terkenal adalah Feyenoord, didirikan 19 juli 1908, bermarkas di stadion Kuip (Rotterdam), yang suka nonton kompetisi Eropa pasti kenal nama klub sepak bola kebanggan kota Rotterdam ini.
Feyenoord diasosiasikan dengan sebutan “het is een club van arbeiders”, klub sepak bolanya kaum buruh.
Ajax fans yang punya grup inti fanatik bernama F-Side itu pernah tawuran habis-habisan melawan SCF Hooligans sebutan buat fans Feyenoord.
Kejadiannya di lapangan kosong dekat kota Beverwijk (23/03/1997), yang memakan korban jiwa dari F-Side karena kepalanya kena pentung martil, pertempuran dua musuh bebuyutan itu ada film dokumentasinya di Youtube.
Para fans sepak bola Belanda memang suka ganas gila-gilaan dalam hal melakoni perang antar klub sepak bola, padahal mereka tahu semuanya, jika terjadi pertandingan sepak bola antara tim Belanda dengan Jerman misalnya, maka geng hooligans Belanda itu tiba-tiba bersatu, bersama-sama nonton pertandingan sepak bola via televisi layar lebar di kafe-kafe di sekitar Leidseplein, bersorak sorai mendukung tim Belanda tanpa membedakan pemain yang berasal dari bukan klub pujaannya. Bersatu sesaat demi nama persatuan sepak bola Belanda.
Sepak bola juga sebagai salah satu faktor keuntungan dalam ekonomi Belanda, contohnya Ajax yang terdaftar di pasar bursa efek. Karena sepak bola identik dengan fans, maka angka penjualan segala atribut yang berhubungan dengan klub pujaan makin hari makin meningkat, belum lagi uang hasil dari penyiaran pertandingan, dan selalu muncul fans baru sebagai langganan potensial untuk membeli segala macam produk promosi dari klub gacoannya.
Sepak bola sebagai hiburan rakyat yang murah meriah, olah raga sebagai alat pemersatu dan sekaligus juga sebagai alat untuk bersaing dalam bisnis menjual hak acara pertandingan sepak bola di media televisi.
Apa ada yang ingat nama pelatih tim Belanda Rinus Michels alias “Sang Jendral” (9 februari 1928 – 3 maret 2005), yang namanya jadi legenda dalam dunia persepakbolaan dunia, di tahun 1999 menir Michels dipilih oleh FIFA sebagai pelatih terbaik di abad ke 20.
Michels adalah pelatih sepak bola tersohor dengan ilmu menyerangnya, yang dibilang “Total Football”. Ia pernah menyatakan bahwa pertandingan sepak bola adalah sejenis “perang”, para gladiator di lapangan bertugas hanya untuk menang dan menang, jargonnya mirip sejenis strategi militer dicampur lihainya kaki menggocek bola.
Dalam dunia politik kita bisa lihat juga ada istilah politik sepak bola, menggocek bola dalam kotak pinalti, mengharapkan ada yang mentekelnya, lalu terjatuh, dan lawannya dapat kartu merah dari wasit, tendangan pinalti pun sebagai kadonya, memanipulasi permainan politik dengan memakai taktik bola liar, seperti yang dipamerkan dalam dunia politik Belanda pada saat ini.
Kemarin saya lihat siaran langsung di televisi Belanda, perdebatan di parlemen mengenai kasus Sudan (Tragedi Darfur), dengan para pengeritiknya: Rita Verdonk dari partai Trots Op Nederland bersama PVV (partainya Geert Wilders) dan VVD (Liberal) menginginkan agar bantuan kemanusiaan dari pemerintah Belanda ke Sudan di stop, dengan alasan karena mentri luar negeri Belanda Eimert van Middelkoop tidak diberi visum untuk mengunjungi Darfur.
Dengan gaya taktik politik main bolanya Belanda, maka dilemparkanlah ke gelanggang sebuah bola liar yang diberi judul “stop bantuan demi kemanusiaan”, jargon yang rada aneh kedengarannya, tapi memang sekarang ini ada semangat besar dari politisi kanan untuk mengurangi bantuan dana terhadap negara dunia ketiga, dengan alasan parahnya situasi korupsi, yang pada akhirnya menindas rakyatnya dengan memakai dana bantuan dari Barat.
Usul ke 3 partai kanan tersebut dibantah oleh menteri kerjasama pembangunan Belanda Bert Koenders (PVDA), yang menyatakan bahwa ada 1,2 juta rakyat Sudan menderita jadi pengungsi akibat perang, dan dana bantuan tersebut diberikan kepada LSM yang mengurusi para pengungsi.
Sinyal dari politik Belanda hari ini makin jelas: urusan penting dalam negeri mesti segera dibenahi, karena masalah pendidikan dan kesehatan telah menjadi momok dalam persoalan politik selama hampir 25 tahun lamanya, menuai kekecewaan rakyat Belanda terhadap gaya plintat-plintut politik Den Haag. Rakyat perlu kejelasan tentang masalah krisis politik, bukan cuma disuguhi pertunjukan politik demi usaha memojokkan kehidupan kaum pendatang.
Resesi ekonomi Amerika akan terasa beberapa bulan lagi kata seorang pejabat bank sentral Belanda, tapi kepercayaan konsumen kini telah menurun tajam, semua serba mahal, dan ironisnya pengamat ekonomi menyerukan “pembekuan gaji”, rakyat diminta supaya bisa super sabar menghadapi situasi naiknya harga minyak, yang rupanya mulai menyerang cara hidup konsumerisme masyarakat Belanda.
Semboyan “stop bantuan demi kemanusiaan” nampaknya mulai dipercaya sebagai jampi-jampi penolak bala. Jika saat ini ada pemilu di Belanda, partai barunya Rita Verdonk akan mendapatkan 20 kursi.
“Akan tetapi iklim politik Belanda itu belum bisa menerima adanya sejenis Partai Islam Demokrat”, demikian kata politikus Mohamed Rabbae, bekas pelarian politik, yang lahir di Berrechid, Marokko, 8 maret 1941, berasal dari partai Groenlinks, yang berbicara atas nama fakta, bahwa kebutuhan politik kaum muslimin di Belanda belum mendapat tempat yang layak.
Bola panas soal partai islam demokrat dari Rabbae dilempar ke gelanggang politik Belanda disertai juga komentarnya:“Geert Wilders is een politieke hooligan”. Rabbae bertanya kembali soal kepercayaan terhadap ide rechtsstaat alias negara hukum.
Di abad ke 21 ini, keributan politik di Eropa, khususnya Belanda sepertinya mau dibawa kembali ke zaman perang salib, di atas panggung teater intrik politik negara kaya, para politisi bersaing atas nama kesucian moral demokrasi Barat, melawan ketidakadilan akibat perbedaan warna kulit yang juga berbeda agama?
Bola liar politik Belanda lagi ditendang kesana-kesini, memanaskan suhu dingin di musim semi, dan jangan lupa tiap akhir pekan ada acara pertandingan sepak bola di televisi, bir pun dijadikan teman dalam rangka menikmati olah raga kerakyatan tanpa melihat perbedaan warna kulit atau pun agama. Proost!
Amsterdam, 9 April 2008
Langganan:
Postingan (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Ginandjar Wiludjeng
A. Junianto
A. Kurnia
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.S Laksana
A’yat Khalili
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Razak
Abdul Rosyid
Abdul Wahab
Abdurrahman Wahid
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adam Chiefni
Ade P. Nasution
Adhitia Armitriant
Adi Prasetyo
Adrizas
AF. Tuasikal
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Baso
Ahmad Faishal
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Naufel
Ahmad Rofiq
Ahmad S. Zahari
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ainul Fiah
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Alex R. Nainggolan
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Almania Rohmah
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aminah
Aminullah HA.Noor
Amir Sutaarga
Anam Rahus
Anata Siregar
Andari Karina Anom
Andina Dwifatma
Andong Buku #3
Andre Mediansyah
Andri Awan
Anett Tapai
Anggie Melianna
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Wahyudi
Anwar Nuris
Ardi Bramantyo
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Joko Wicaksono
Arief Junianto
Ariera
Arif Bagus Prasetyo
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Asmaul Fauziyah
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Wulan Sari
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Camelia Mafaza
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Daisuke Miyoshi
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Danusantoso
Dareen Tatour
Darju Prasetya
David Kuncara
Denny Mizhar
Denza Perdana
Desi Sommalia Gustina
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewi Indah Sari
Dewi Susme
Dian Sukarno
Didik Harianto
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur
Dipo Handoko
Diyah Errita Damayanti
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddy Wisnu Pribadi
Dody Kristianto
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi SS MHum
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Wiyana
Dyah Ratna Meta Novia
Dyah Sulistyorini
Ecep Heryadi
Eddy Pranata PNP
Edeng Syamsul Ma’arif
Eep Saefulloh Fatah
EH Kartanegara
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Hendri Saiful
Eko Windarto
Elnisya Mahendra
Elva Lestary
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Sulwesi
Endo Suanda
Eppril Wulaningtyas R
Esai
Evan Ys
F. Moses
F. Rahardi
Fadlillah Malin Sutan
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Febby Fortinella Rusmoyo
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Gabriel Garcia Marquez
Galang Ari P.
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Ganug Nugroho Adi
Gerson Poyk
Ghassan Kanafani
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunoto Saparie
H.B. Jassin
Habibullah
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Hardi
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
HE. Benyamine
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Herman RN
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Nugroho
Hikmat Gumelar
HL Renjis Magalah
Hudan Nur
Hujuala Rika Ayu
Huminca Sinaga
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ira Puspitaningsih
Irfan Budiman
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Zulkarnain
Ismail Marzuki
Iva Titin Shovia
Iwan Kurniawan
Jabbar Abdullah
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D. Rahman
Jamal T. Suryanata
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
JILFest 2008
Jody Setiawan
Johan Edy Raharjo
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Juan Kromen
Julika Hasanah
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Ka’bati
Karanggeneng
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Keith Foulcher
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khoirul Inayah
Khoirul Rosyadi
Khudori Husnan
Ki Ompong Sudarsono
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
L.N. Idayanie
Laili Rahmawati
Lamongan
Lan Fang
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lucia Idayanie
Lukman A Sya
Lutfiah
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Ismail
M Thobroni
M. Afifuddin
M. Arwan Hamidi
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Luthfi Aziz
M. Nurdin
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.S. Nugroho
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahmud Syaltut Usfa
Mahmudi Arif Dahlan
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Martin Aleida
Maruli Tobing
Mas Ruscita
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni Muserang
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mia Arista
Mia El Zahra
Mikael Johani
Misbahus Surur
Misran
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
Much. Khoiri
Muh. Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun
Muhammadun AS
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mukti Sutarman Espe
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Munawir Aziz
Musfarayani
Musfi Efrizal
Nafisatul Husniah
Nandang Darana
Naskah Teater
Nelson Alwi
Ni Made Purnamasari
Nikmatus Sholikhah
Nina Herlina Lubis
Nina Susilo
Ning Elia
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel-novel berbahasa Jawa
Novelet
Nunuy Nurhayati
Nur Azizah
Nur Hamzah
Nur Kholiq
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Aini
Nurul Anam
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Okty Budiati
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso H.N.
Pagan Press
Pagelaran Musim Tandur
Palupi Panca Astuti
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Petrus Nandi
Politik
Politik Sastra
Pradana Boy ZTF
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringadi AS
Prof Dr Fabiola D. Kurnia
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Puji Tyasari
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
Purnawan Kristanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Ng. Ronggowarsito
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmat Kemat Hidayatullah
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rasanrasan Boengaketji
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Resensi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Ririe Rengganis
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rusmanadi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saiful Amin Ghofur
Saiful Anam
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman S. Yoga
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang KSII
Santi Puji Rahayu
Sapardi Djoko Damono
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Jawa Timur
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputra
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sri Weni
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugi Lanus
Sukron Ma’mun
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaf Anton Wr
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syarif Wadja Bae
Sylvianita Widyawati
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie (1961-2019)
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tia Setiadi
Tirto Suwondo
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tosa Poetra
Tri Nurdianingsih
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulul Azmiyati
Umar Fauzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Utari Tri Prestianti
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wan Anwar
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wina Bojonegoro
Wita Lestari
Wong Wing King
Wowok Hesti Prabowo
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopi Setia Umbara
Yudhi Herwibowo
Yudi Latif
Yusri Fajar
Yusuf Ariel Hakim
Yuval Noah Harari
Zacky Khairul Uman
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zed Abidien
Zehan Zareez
Zhaenal Fanani
Zubaidi Khan
Zuniest