(Surat Terbuka Buat Arif B Prasetya, W Hariyanto, Fachrudin Nasrullah, Rahmat Giryadi)
S. Jai *)
http://ahmad-sujai.blogspot.com/
HAMPIR pasti tiada suatu negeri tanpa bayang-bayang penguasa. Fatalnya hal serupa terjadi pada negeri sastra—tempat berdiam puisi, prosa atau drama. Ini yang tertangkap dari sebalik ulasan kritikus sastra Arif Bagus Prasetyo tentang “Jawa Timur Negeri Puisi,” Jawa Pos 25 Juli lalu.
Prosa berada di bawah bayang-bayang puisi. Sementara ekspresi penyair berada di sebalik kurungan keengganan dan kemiskinan berbahasa Indonesia. Dengan kata lain visi kepenyairan lebih berada di bawah ketaksadaran ketimbang kesadaran akan—dalam bahasa Gadamer—bildung, weltanchauung, sensus communis, judgement, taste.
Artinya prosa Jawa Timur dapat dikatakan sedang koma atau luluh lantak di mata kritikus yang kini tinggal di Denpasar, Bali tersebut. Akan tetapi Arif tidak sendiri mensinyalir demikian. Tengara serupa terbit beberapa hari sebelumnya, Selasa 20 Juli 2010 dalam sebuah seminar “Arah dan Perkembangan Sastra di Jawa Timur.” Penyair Tjahjono Widianto mengaku terus terang tidak punya nyali membahas prosa oleh karena takut salah. Ia hanya membahas puisi-puisi Jawa Timur meski yang bersangkutan juga menulis prosa di media nasional.
Ada beberapa sinyal yang tak asing dari peristiwa sastra mutakhir tersebut di atas. Sedemikian kukuhnya mengakar dalam darah daging sastra kita hingga sulit dideteksi yang tumbuh kembang ini tumor, kanker atau daging segar. Yakni, tak lain terkait dengan posisi prosa dan puisi di satu sisi dan posisi pengarang, penyair dan kritikus di sisi lain.
Tentu ini hubungan wilayah perkembangan yang maha luas dan perlu pengkajian mendalam. Hanya saja keunikan peristiwa di atas setidaknya bisa ditangkap karakteristik dasar di sebalik gejala sastra tersebut. Bahwa sastra, puisi, prosa sebagai satu kenyataan, kemudian sastrawan, penyair, pengarang sebagai kenyataan lain, di samping media massa, pembaca, dan kritikus sebagai kenyataan berikutnya yang memiliki karakter tertentu pula.
Kritik Arif Bagus Prasetyo yang meneguhkan Jawa Timur sebagai negeri puisi hanya mendasari diri pada sudut pandang karakteristik posisi tersebut di atas, tanpa menumbuhkan kemungkinan karakteristik lain dari ruh sastra itu sendiri—yang sudah berangtentu sebagaimana dikemukakan sang kritikus sendiri, diakui ada. Meskipun sempat disinggung pula adanya penyair yang menulis prosa seperti Mardi Luhung, Mashuri dan Beni Setia.
Secara sederhana, sebetulnya apabila kritikus yang juga kurator “Sastra Indonesia Hari Ini: Jawa Timur” itu bersedia membalik karakteristiknya dengan menganalogikan bahwa ketiga sastrawan sebagaimana dicontohkan itu “menulis prosa dan menulis puisi,” saja tentu bakal kuasa membangkitkan orang-orang visioner dan menyusuri dunia sastra dengan mata yang berbinar.
Dengan karakteristik baru semacam ini, kritik sastra bakal terimplikasi lain disamping pada dirinya sendiri selaku kritikus. Termasuk implikasi terhadap kekayaan pembacaan sastra oleh kritikus-kritikus sesudahnya. Rupanya, manakala kritik atas sastra di Jawa Timur itu berlanjut maka visi prosa dalam hal ini kepengarangan, juga ekspresi kepenyairan bakal dipersalahkan tanpa suatu kejelasan konseptual. Tanpa menyadari kekurangpatutan atas kritik sendiri, bahwa sebetulnya kesalahan konseptual atas prosa dan puisi bakal lebih berbuah aib memalukan atas dunia kritik sastra.
Boleh jadi visi dan ekspresi prosa juga puisi kita salah arah. Akan tetapi kesalahan arah prosa dan puisi kita boleh jadi disokong oleh ketidakpahaman akan subtansi sastra. Tentu saja perihal amburadulnya subtansi sastra yang bertanggungjawab dan punya andil besar adalah kritikus sastra. Rendra pada 1982 menyerukan omong kosong pada kritikus sebagai jembatan penonton atau pembaca dengan seniman.
Perlu kita ajukan kembali pertanyaan mendasar apa sebetulnya relevansi kritikus atau penyair, prosais yang kemudian sanggup merangkap sebagai kritikus membedakan antara puisi dan prosa? Lalu, apa sesungguhnya masih ada relevansinya pembedaan atas prosa dan puisi?
Sudah barang tentu pertanyaan ini bisa diperdebatkan—terlebih bila menyangkut historiografi atas prosa dan puisi. Perdebatan bakal lebih mendalam manakala terkait pula dengan—dalam bahasa Adonis—perihal personifikasi, simbol, retoris, liris dan representatif pada karya sastra. Betapa Adonis terkejut saat mengulas karya Jibran Khalil Jibran atas bentuknya yang banyak seolah-olah Jibran ingin memberikan inspirasi bahwa bentuk yang banyak juga merupakan jenis pembaruan dan jenis melampaui masa lalu.
Jibran menulis cerita pendek yang relatif panjang, drama dialogis, makalah, cerita simbolik, ungkapan padat (kata-kata bijaksana, perumpamaan), biografi, qashidah prosa dan qashidah bermatra. Kiranya, bisa dimengerti mengapa pula sastrawan besar seperti Sutardji Chalzoum Bachri, Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad memilih menjadi prosais dan orang seperti Koentowijoyo, Arifin C Noer, Iwan Simatupang juga memperkenalkan diri sebagai penyair.
Bahwa puisi sebagaimana prosa itu seperti seperti Rosario atau butir tasbih yang kebetulan dirangkai dalam satuan melingkar dan boleh berbeda ukuran. Sementara manusia, penyair, pengarang itu doa dan sembahyangnya. Personifikasi ini bukanlah ungkapan seorang kritikus yang kemudian mengkritik seakan hanya pembaca yang berdoa dengan rosario atau butir tasbih saja yang lebih sahih menikmati puisi dan prosa.
Setiap sastra meski bermula dari persoalan mitos-mitos pribadi yang terpecahkan dan berkembang jauh menjadi problem keilmuan, di dalamnya sudah barang tentu memuat puisi, juga prosa. Ada puisi dalam prosa. Ada prosa dalam puisi.
Tanah Air Sastrawan
Sastrawan punya kemampuan penguasaan bahasa lebih baik dari yang bukan sastrawan. Kendati senantiasa haus akan penjelajahan wilayah baru bahasa. Akan tetapi lebih jauh, menulis sastra adalah suatu upaya menjaga diri agar tak kehilangan hak milik sebagai manusia. Yaitu, semacam cinta yang sesungguhnya, cinta yang berpuasa, cinta yang menahan diri agar terhindar dari kesepian, kecemasan. Cinta yang bisa mendengar dan merasakan jerit tangis, luka, bahagia, sampai dasar relung yang terdalam manusia—yang sulit diterjemahkan, disingkapkan dengan kata karena kata tak sanggup menampung kandungan isinya, juga yang tak bisa menemukan titik paling subtil dalam kata.
Saat itulah sastrawan tak sulit merondai pikirannya menempatkan diri pada tirai puisi. Berkat kata dalam puisi sastrawan tidak bersusah payah menghadirkan perasaan, intuisi, imajinasi, jiwa, kesadaran bahkan ruh—hal yang sangat manusiawi sekaligus mempribadi. Bahkan sebaliknya ia telah menemukan ruh, kesadaran, jiwa, imajinasi intuisi dan perasaan setiap kata sebagaimana ia temukan dirinya dalam kata.
Ya, sastrawanlah yang membabtiskan kata itu seperti manusia juga. Dia yang tahu jutaan kata-kata, miliaran buku-buku, tahu bagaimana harus hidup, menyela dan menyusun pikiran besar. Ia pun tahu, perlu kerendahatian untuk berjanji sebagai sastrawan memperlakukan kata seperti halnya terhadap manusia. Betapa ia tak akan tinggal diam saat menjumpai kenyataan seperti sekarang: Kata sudah demikian kejam menjadi pembunuh berdarah dingin yang menghabisi manusia, seluruh semesta, membantai sesama kata dan bahkan membunuh dirinya. Akibatnya, kematian terjadi dimana-mana. Kecuali bagi siapa saja yang bersih dan jujur.
Sastrawanlah yang tahu bentuk yang tepat ekspresi sastranya mana yang sanggup memboyong segala kemungkinan kata karena tabiat kata yang sudah ditentukan padanya—kurang ajar, purba, tidak saja seperti anak yang lahir yatim piatu tanpa bapak dan ibu, tetapi juga sombong dan tak mengakui manusia. Ia hanya tahu manusia, pengarang, penyair itu ada. Tapi dia hidup di dunianya sendiri yang sama sekali asing dan barangkali punya kitab sendiri, nabi-nabi sendiri.
Karena inilah takdir kata. Seperti manusia, ia tak sanggup mengajar kesempurnaan kendati Tuhan telah menciptakannya sebagai makhluk yang paling sempurna. Secara fisik ia bisa cacat bisa pula sehat jasmani, atau berbadan perkasa. Bukankah lebih mulia bila kita memanusiakan mereka seperti kenyataan sesungguhnya? Laiknya manusia utuh sebagaimana wakil pencipta di bumi ini?
Kadang-kadang ruh sastra itu tak peduli benar dirinya bermakna atau tidak. Sastrawan hanyalah diberi hak untuk mengajukan pertanyaan, bujuk rayu, kebijakan filosofis, dalam bentuk seindah mungkin, sedahsyat mungkin agar seolah kelak mendapat jawaban pasti atas segala tanya dan mengakhiri kegelisahannya.
Walhasil, sastrawan, penyair, pengarang, orang biasa semakin sulit dibedakan. Namun sangat mudah untuk membedakan antara puisi dan penyair, pengarang dan prosa. Bahwa puisi bukanlah apa-apa. Puisi hanya ditulis oleh penyair karena takdirnya. Demikian pula prosa.
Artinya, menjadi semakin sia-sia ketika mencoba menarik pemaknaan puisi, prosa yang bagus dan penyair, pengarang yang luar biasa. Barangkali sebangun dengan ungkapan TS Eliot, kesusastraan diukur dengan kriteria estetis, sedang kebesaran karya sastra diukur dengan kriteria di luar estetika.
Bahwa satu kalimat terakhir ini tak lain merupakan usaha untuk menjawab spirit prosa. Penulis artikel ini sendiri termasuk ragu dan berpendapat hampir seluruh puisi-puisi yang ada jangan-jangan itulah sebetulnya spirit prosa. Atau setidaknya puisi-puisi yang sukses luar biasa menggiring pembaca untuk menjadi sesuatu yang lain: prosa. Lalu dimana puisi? Bahkan tidak sedikit puisi-puisi yang menjungkirbalikkan korbannya—utamanya mahasiswa sastra, sastrawan, calon penyair, ahli sastra yaitu ketika tanpa sadar dirinya sebetulnya sedang dibaca oleh yang berpura-pura sebagai puisi. Pilih mana yang benar: membaca atau dibaca?
Lebih dari itu penulis artikel ini percaya bahwa mengarang adalah menipu diri sendiri demi untuk meraih kegelisahan hidup kepengarangan selanjutnya. Kedengarannya memang naïf dan gila: tampil gagah hidup miskin, di tengah kemiskinan di lautan kata, samudera bahasa di negeri ini, yang fatalnya juga masih hidup susah karena serba terjerat kemiskinan, juga terlilit utang. Inilah kejujuran untuk menipu diri sendiri. []
*) Penulis adalah pengarang.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Kamis, 19 Agustus 2010
Tentang Penyair dan Penyakit Puisi
Fahrudin Nasrulloh*
http://forumsastrajombang.blogspot.com/
Apa hebatnya puisi sehingga tak lelah-lelah terus dituliskan? Penyair-penyair muda terus bermunculan. Yang lawas-lawas kian mengukuhkan kepenyairannya. Sedang yang lain adalah mereka yang telah kehilangan gairahnya, karena tuntutan hidup yang riil lebih mencambuk ketimbang mengurusi puisi. Memang, gairah pada puisi, pada belantara teks, pada kembara pengalaman puitik, pengalaman di kedalaman bahasa, merupakan kerahasiaan tersendiri atas segala proses itu. “The text you write must prove to me that it desires me. This proof exists: it is writing,” Begitu ungkap Barthes dalam The Pleasure of the Text. Ada semacam desakan besar di sana, yakni melahirkan corak puisi sendiri, menempanya bertahun-tahun, seperti Empu Gandring, dengan segala cinta, dengan segala yang bakal menghilang, dan yang tak mungkin direngkuh kembali.
Dua Penyair dalam kumpulan sajak Gobang Semarang (KataKita: Depok, 2009) berada pada perbatasan di “awang-awang” itu. Perbatasan, di mana “jeda” untuk mengada tak selamanya kuasa menemukan “tanda”. Puisi seperti makhluk asing yang mengandung daya tersendiri tapi juga sebagai penyakit: penyakit kala puisi jadi tindakan yang terus menerus ditulis, kata Afrizal Malna. Ia selalu bermasalah dengan bahasa dan kekacaun dirinya. “Aku berpikir, maka aku berantakan,” katanya. Dalam konteks luarnya, bukan berarti setiap penyair berantakan seperti Afrizal.
Daya hidup dari puisi, secara bawah sadar, menjadi kekuatan lelaku penyair, sehingga apapun penyakit itu, akan larut di dalamnya. Larut sekaligus menguatkan. Kian mengokohkan kepercayaan akan yang sekedar “puisi” itu. Seperti laku sholat yang diyakini muslim yang taat, kekuatan religius tak dapat ditembus oleh apa pun selain Allah. Dan “tanda” dari kekuatan puisi dan kenyataan yang teralami maupun “jeda” saat disergap segala penyakitnya: di situlah jalan Beno Siang Pamungkas dan Timur Sinar Suprabana beriktiair meyakini puisi mereka. Pada puisi Timur, bebayang dan tilas kenangan juga panorama cinta dengan nuansa melankolik yang memerih dapat kita nikmati misalnya pada puisi “langgam kembang kemesraan” yang diperuntukkan buat istrinya: sajak-sajak/ minta tempat berpijak/ kuberi di hati/ tak kenal sepi/ tiada yang tak terperi/ : di Istri/ di Seluruh jarak dengan mati/ ……
Tampak pula kerja kreatif tiada putusnya pada puisi-puisi Beno, yang tersirat dalam puisi “Gobang” misalnya. Ia tak ingin tersilap dalam “keterpanaan yang bebal” akan masa lalu, akan puisi-puisi Tardji, Sapardi, dan Zawawi. Rasa gagal memahaminya, atau terbetik serapah berontak pada mereka, sehingga dengan gobangnya seolah-olah Beno mlotot menantang: …./ sebilah gobang memandangku dan bertanya/ tardji, mana kapakmu/ sapardi, mana pisaumu/ zawawi, mana celuritmu….
Menggobang dalam tangkapan saya bisa bermakna sebagai perlawanan kecil. Walau sepelemparan kerikil. Untuk diri, atau pada luar diri. Bisa jadi bukan untuk hal-hal yang bersifat sentimentil. Seperti menampik kegelisahan Edmond Jabès pada segala yang telah dituliskannya, “little by little words will finishme”.
Dua penyair ini memiliki corak puisi yang liris, naratif, dan melankolis. Dalam kerangka ungkapan yang gampang dipahami dan terang, dengan kedalaman makna tersendiri dan balutan metafora yang ritmis. Seperti nyanyian, kadang pekikan, yang melambungkan ke padalaman kenangan ihwal diri, cinta, negeri yang tenggelam, tafsir cerita kota dan kelokan mitosnya, pengingkaran, pun kenestapaan. Apakah penyair memiliki sejenis “iman kepenyairan” masing-masing dalam memperjuangkan apa yang kita sebut sebagai atas nama kebenaran yang dicerapnya, dihayatinya? Iman di sana tersembunyi di batin, seperti asap gaib, deru ombak, atau cuma kentut demi sebuah jalan pencarian. Meski ia tak bisa secara mutlak “menggenggam” kebenaran itu. Ia hanya mendekati dengan semacam “kecintaan” akan kebenaran. Dalam situasi demikian, penyair telah melompat menembus ketidaktahuan.
Jika dicermati lebih intens, apa kiranya landasan pemikiran puitik yang disorong Beno dengan tematik “gobang”-nya itu sebagai pilihan estetiknya, terkait isi, dan peristiwa puisi yang dibangunnya? Ataukah kata “gobang” cuma comotan sekenanya untuk judul buku? Jika tidak, tentu ada hakl lain yang dapat disusuri pembaca, misalnya kenapa kata “gobang” tidak tersemat di keseluruhan puisi Beno? Ini pertanyaan yang agak dangkal, tapi perlu dijabarkan. Karena proses kreatif ini penting dituliskan. Sebenarnya, ada beberapa puisi Beno yang mengangkat fenomena “facebook”: ini menarik. Jika kita berpikir futuris, bagaimana posisi puisi (secara umum sastra) dan penyairnya di balik selebrasi guncangan teknologi yang demikian gigantik itu. Semua orang jadi mesin, entah demi apa-siapa. Mungkin puisi atau kesenian yang lebih luas juga kian tak menjadi bagian penting bagi kehidupan masyarakat dalam percepatan-percepatan zaman dan perubahan. Dunia maya bak mesin raksasa yang tidur dalam tubuh manusia. Penyair kini makin sulit melahirkan puisi, kecuali puisi “emosi semata” yang sekali jadi seperti bebek-bebek bertelur yang tak perlu bertanya kenapa ia bertelur dan untuk apa telur itu. Banyak yang terjebak di sana. Dan ironisnya, mereka tak tahu atau tak mau tahu. Semua boleh-boleh saja pingin jadi penyair, mengerami penyakitnya dan kembaranya sendiri.
Dan semangat yang tidak kenal menyerah pada sosok Beno dan Timur, semoga tak akan terkecoh dan luntur di tengah segala ketidakpastian di negeri ini, termasuk tetek-bengek di seputar puisi dan diri. Sebab “kapak” Tardji sudah berlalu. “Pisau” Sapardi tak lagi menusuk orang sepi dalam hujan bulan juni. Pun celurit Zawawi tidak ada lagi di warung kopi.
—–
*Fahrudin Nasrulloh, bergiat di Komunitas Lembah Pring Jombang
** Disampaikan dalam Halte Sastra,
Bedah buku kumpulan puisi Gobang Semarang karya Beno Siang Pamungkas
dan Timur Sinar Suprabana, terbitan Kata Kita, di Eks Museum Mpu
Tantular Surabaya, Sabtu, 12 Juni 2010, jam19.30 -22.00 wib.
http://forumsastrajombang.blogspot.com/
Apa hebatnya puisi sehingga tak lelah-lelah terus dituliskan? Penyair-penyair muda terus bermunculan. Yang lawas-lawas kian mengukuhkan kepenyairannya. Sedang yang lain adalah mereka yang telah kehilangan gairahnya, karena tuntutan hidup yang riil lebih mencambuk ketimbang mengurusi puisi. Memang, gairah pada puisi, pada belantara teks, pada kembara pengalaman puitik, pengalaman di kedalaman bahasa, merupakan kerahasiaan tersendiri atas segala proses itu. “The text you write must prove to me that it desires me. This proof exists: it is writing,” Begitu ungkap Barthes dalam The Pleasure of the Text. Ada semacam desakan besar di sana, yakni melahirkan corak puisi sendiri, menempanya bertahun-tahun, seperti Empu Gandring, dengan segala cinta, dengan segala yang bakal menghilang, dan yang tak mungkin direngkuh kembali.
Dua Penyair dalam kumpulan sajak Gobang Semarang (KataKita: Depok, 2009) berada pada perbatasan di “awang-awang” itu. Perbatasan, di mana “jeda” untuk mengada tak selamanya kuasa menemukan “tanda”. Puisi seperti makhluk asing yang mengandung daya tersendiri tapi juga sebagai penyakit: penyakit kala puisi jadi tindakan yang terus menerus ditulis, kata Afrizal Malna. Ia selalu bermasalah dengan bahasa dan kekacaun dirinya. “Aku berpikir, maka aku berantakan,” katanya. Dalam konteks luarnya, bukan berarti setiap penyair berantakan seperti Afrizal.
Daya hidup dari puisi, secara bawah sadar, menjadi kekuatan lelaku penyair, sehingga apapun penyakit itu, akan larut di dalamnya. Larut sekaligus menguatkan. Kian mengokohkan kepercayaan akan yang sekedar “puisi” itu. Seperti laku sholat yang diyakini muslim yang taat, kekuatan religius tak dapat ditembus oleh apa pun selain Allah. Dan “tanda” dari kekuatan puisi dan kenyataan yang teralami maupun “jeda” saat disergap segala penyakitnya: di situlah jalan Beno Siang Pamungkas dan Timur Sinar Suprabana beriktiair meyakini puisi mereka. Pada puisi Timur, bebayang dan tilas kenangan juga panorama cinta dengan nuansa melankolik yang memerih dapat kita nikmati misalnya pada puisi “langgam kembang kemesraan” yang diperuntukkan buat istrinya: sajak-sajak/ minta tempat berpijak/ kuberi di hati/ tak kenal sepi/ tiada yang tak terperi/ : di Istri/ di Seluruh jarak dengan mati/ ……
Tampak pula kerja kreatif tiada putusnya pada puisi-puisi Beno, yang tersirat dalam puisi “Gobang” misalnya. Ia tak ingin tersilap dalam “keterpanaan yang bebal” akan masa lalu, akan puisi-puisi Tardji, Sapardi, dan Zawawi. Rasa gagal memahaminya, atau terbetik serapah berontak pada mereka, sehingga dengan gobangnya seolah-olah Beno mlotot menantang: …./ sebilah gobang memandangku dan bertanya/ tardji, mana kapakmu/ sapardi, mana pisaumu/ zawawi, mana celuritmu….
Menggobang dalam tangkapan saya bisa bermakna sebagai perlawanan kecil. Walau sepelemparan kerikil. Untuk diri, atau pada luar diri. Bisa jadi bukan untuk hal-hal yang bersifat sentimentil. Seperti menampik kegelisahan Edmond Jabès pada segala yang telah dituliskannya, “little by little words will finishme”.
Dua penyair ini memiliki corak puisi yang liris, naratif, dan melankolis. Dalam kerangka ungkapan yang gampang dipahami dan terang, dengan kedalaman makna tersendiri dan balutan metafora yang ritmis. Seperti nyanyian, kadang pekikan, yang melambungkan ke padalaman kenangan ihwal diri, cinta, negeri yang tenggelam, tafsir cerita kota dan kelokan mitosnya, pengingkaran, pun kenestapaan. Apakah penyair memiliki sejenis “iman kepenyairan” masing-masing dalam memperjuangkan apa yang kita sebut sebagai atas nama kebenaran yang dicerapnya, dihayatinya? Iman di sana tersembunyi di batin, seperti asap gaib, deru ombak, atau cuma kentut demi sebuah jalan pencarian. Meski ia tak bisa secara mutlak “menggenggam” kebenaran itu. Ia hanya mendekati dengan semacam “kecintaan” akan kebenaran. Dalam situasi demikian, penyair telah melompat menembus ketidaktahuan.
Jika dicermati lebih intens, apa kiranya landasan pemikiran puitik yang disorong Beno dengan tematik “gobang”-nya itu sebagai pilihan estetiknya, terkait isi, dan peristiwa puisi yang dibangunnya? Ataukah kata “gobang” cuma comotan sekenanya untuk judul buku? Jika tidak, tentu ada hakl lain yang dapat disusuri pembaca, misalnya kenapa kata “gobang” tidak tersemat di keseluruhan puisi Beno? Ini pertanyaan yang agak dangkal, tapi perlu dijabarkan. Karena proses kreatif ini penting dituliskan. Sebenarnya, ada beberapa puisi Beno yang mengangkat fenomena “facebook”: ini menarik. Jika kita berpikir futuris, bagaimana posisi puisi (secara umum sastra) dan penyairnya di balik selebrasi guncangan teknologi yang demikian gigantik itu. Semua orang jadi mesin, entah demi apa-siapa. Mungkin puisi atau kesenian yang lebih luas juga kian tak menjadi bagian penting bagi kehidupan masyarakat dalam percepatan-percepatan zaman dan perubahan. Dunia maya bak mesin raksasa yang tidur dalam tubuh manusia. Penyair kini makin sulit melahirkan puisi, kecuali puisi “emosi semata” yang sekali jadi seperti bebek-bebek bertelur yang tak perlu bertanya kenapa ia bertelur dan untuk apa telur itu. Banyak yang terjebak di sana. Dan ironisnya, mereka tak tahu atau tak mau tahu. Semua boleh-boleh saja pingin jadi penyair, mengerami penyakitnya dan kembaranya sendiri.
Dan semangat yang tidak kenal menyerah pada sosok Beno dan Timur, semoga tak akan terkecoh dan luntur di tengah segala ketidakpastian di negeri ini, termasuk tetek-bengek di seputar puisi dan diri. Sebab “kapak” Tardji sudah berlalu. “Pisau” Sapardi tak lagi menusuk orang sepi dalam hujan bulan juni. Pun celurit Zawawi tidak ada lagi di warung kopi.
—–
*Fahrudin Nasrulloh, bergiat di Komunitas Lembah Pring Jombang
** Disampaikan dalam Halte Sastra,
Bedah buku kumpulan puisi Gobang Semarang karya Beno Siang Pamungkas
dan Timur Sinar Suprabana, terbitan Kata Kita, di Eks Museum Mpu
Tantular Surabaya, Sabtu, 12 Juni 2010, jam19.30 -22.00 wib.
Terpenjaranya Sang Guru
M.D. Atmaja
http://www.sastra-indonesia.com/
Waktu berlari dengan cepat ketika manusia merangkak di dalam kegelapan di dalam ketakutannya. Mahluk berjalan tegak, melesat dengan dua tangan dan dua kaki terlipat. Bersembunyi dari kerlip bintang. Menyelidik malam ketika mahluk sejenisnya tertidur. Dia ini, seperti bukan manusia. Dia merambat, menapaki huruf demi huruf dan menafsirkannya seperti ketika para leluhur menatap semesta alam yang bergelayut dalam irama. Dia lah lelaki dengan bekal rasa yang tersemat di dada terus menjajaki setiap jejak-jejak kehidupan.
Perjalanan yang menelusup sampai pada usia yang renta terus dijalani dalam keyakinan yang tidak pernah memudar. Dia lelaki, yang pernah menjadi buronan di negaranya sendiri atas penolakan penuggalan negara. Di perbatasan perjalanannya itu, dia masih saja bersenandung lagu indah akan langit-langit surga bagi setiap laskar sang Raja Semesta Alam. Kidung yang telah bertahun-tahun dia nyanyikan, kini membawanya untuk berjalan ke tiang gantungan. Setelah bertahun dibungkus pekatnya mendung gelap dari ledakan-ledakan misteri, dia pun melangkah sendiri. Kepalanya tetap tegak memandang tiang gantungan. Matanya berbinar terang menyangsikan pisau-pisau hukum manusia, yang entah bagaimana timbangan keadilannya.
Kabar telah bergulir, dari Tanah Barat Jawa yang hening membawa sang manusia pada kewajibannya sendiri. Kabar itu melesat, jauh ke Timur dimana seorang lelaki pengembara sedang tertidur di bawah pohon Semboja yang ada di belakang rumahnya. Lelaki pengembara dari Mataram Baru itu seketika terbangun, mendapati telepon selulernya terus berdering. Membutuhkan jawaban. Seketika, ketika mata telah terbuka, telepon di depannya telah mati kembali. Di sana ada banyak panggilan tak terjawab. Serta sebuah pesan singkat teruntuknya: Kang, Bapak ditangkap tadi di Tanah Barat Jawa.
Sang lelaki pengembara pun memandangi layar handphone dengan tatapan tidak percaya. Dua bola mata ditiraikan air bening yang terus meleleh. Dua tangannya gemetar menahan kepalan tangan. Jiwanya bergelora, lalu dalam auman panjang seperti serigala buas di tengah malam. Lolongan panjang yang dipenuhi pilu dan kemarahan sampai seorang lelaki kecil dan kurus berlari menyongsong sambil menyeret sebilah pedang panjang.
“Kang, ada apa, Kang?” pedang panjang tergeletak di tanah di samping lelaki pengembara yang meraung di tengah malam, “Kakang Gothak, ada apa?”
Tidak ada jawaban. Hanya gelengan kepala dan tangis pilu yang menyayat. Lalu, Gothak pun langsung memeluk lelaki di depannya yang juga adalah adiknya sendiri.
“Bapak telah difitnah, Dhi!” ucap Gothak sambil menangis, “Bapak ditangkap!”
Gathuk tidak mengatakan apa pun. Hanya membalas pelukan saudara tuanya. Ia mengusap punggung kemudian menepuknya perlahan-lahan. “Ini ujian, Kang.” Ucap Gathuk.
“Ini tidak benar, Dhi. Bapak seorang penyebar ilmu. Dia ahli dakwah. Dia guru bagi bangsa ini. Bapak bukan teroris.” Ucap Gothak dalam kemarahan yang memuncak.
“Polisi punya analisa sendiri, Kang.” Sahut Gathuk dalam senyuman kecil mencoba untuk menenangkan saudara tuanya.
“Tidak ada yang lebih mengenal Bapak dari murid-muridnya sendiri. Mereka hanya menebak-nebak. Menyangkut-sangkutkan sesuatu yang tidak ada hubungannya.”
Dhimas Gathuk menarik nafas panjang. Dia masih mendekap Kakangnya yang menangis. “Aku memang tidak pernah mengenal Bapak seperti Kakang Gothak mengenal beliau. Bagaimana pun juga, setiap orang memiliki penilaian mereka sendiri, Kang. Beliau memang seorang guru bangsa. Pendidik bagi jiwa orang yang mengikuti. Orang yang berada di dalam garis akan mengatakan kalau Beliau bukan teroris, bukan penjahat. Lalu, bagaimana dengan yang berada di luar garis, Kang?”
“Ini sudah tidak benar, Dhi!” Kangmas Gothak menegaskan sambil melepaskan diri dari pelukan adiknya. Dia meraih pedang yang tergeletak di atas tanah, “Bapak pernah dipenjara atas kesalahan yang tidak pernah Beliau lakukan. Mendekam di pengabnya penjara selama 26 bulan atas fitnah yang dituduhkan. Tahun 2002 telah menjadi saksi abadi, kalau selama ini Bapak telah diincar untuk dibumi-hanguskan.”
“Jangan mendakwa seperti itu, Kang!”
“Aku tidak mendakwa!” sahut Gothak sambil mengangkat pedang panjang dan mengacungkannya ke udara. “Hukum negara ini telah memfitnah seorang guru. Mengincar seorang ulama agar meringkuk dan membusuk dalam kejahatan yang dilipahkan!” Gothak sudah terberangus oleh amarah yang bercampur dengan kesedihan.
“Lha, terus kalau Kakang Gothak mengatakan itu, apa Kakang memiliki bukti? Bukan sebatas fitnah untuk membela fitnah yang dilontarkan?”
Kangmas Gothak memandangi adiknya yang tetap tenang walau di matanya terpancar amarah.
“Kami berdakwah demi tegaknya agama Allah!” ungkap Kangmas Gothak.
“Dengan membunuh orang lain?”
“Kami tidak pernah membunuh. Kami pendakwah, menyebarkan kebaikan dan perjuangan atas agama yang kita sama-sama yakini, Dhi!”
“Atas dasar apa, Kang?”
“Kobarkanlah semangat para Mukmin untuk berperang*!” sahut Kangmas Gothak dengan pandangan tajam. “Kemungkaran dan jalan-jalan setan harus dihancurkan, Dhi!”
“Lalu, memerangi negaranya sendiri?” sahut Dhimas Gathuk dengan pertanyaan sinis.
“Negara ini telah menantang Allah, Tuhan Semesta Alam. Rakyatnya disengsarakan dengan kebijakan hukum yang tidak berperikemanusiaan. Berperikemanusiaan saja tidak, Dhi, apalagi berperiketuhanan?”
“Kang,”
“Lumpur di Sidoarjo sampai hari ini masih menyisakan tangis. Perang petani dengan PTPN VII di tanah Ulayat. Kemiskinan yang menusuk sampai seorang ibu membakar diri dan anaknya hanya karena hutang dua puluh ribu, Dhi.” Kangmas Gothak memotong adiknya yang kini menundukkan kepala. “Negara macam apa ini? Kemungkaran terlembagakan. Kemungkaran yang menjadi negara. Ini jalan setan. Jihad adalah wajib bagi setiap muslim. Memusuhi kemungkaranan.”
Kangmas Gothak mengatur nafasnya. Pandangannya berubah ramah setelah tajam menusuk relung hati. “Begitulah, Adikku, Dhimas Gathuk, Bapak mengajarkannya kepada Kakangmu dan yang lainnya. Beliau, seorang guru. Namun hukum di negara ini membawa leburan kaca untuk mengalir di dalam darah. Membawa seorang guru bagi sanubari rakyatnya ke dalam pengabnya jeruji penghinaan.”
Dhimas Gathuk hanya menundukkan kepala. Dia meresapi kata-kata saudara tua yang berlari menjadi pengembara mencari kebenaran atas perjalanan kehidupan. “Setiap mukmin harus berani berperang!” ucap Dhimas Gathuk di dalam hati, “Memerangi kemungkaran, memerangi jalan-jalan setan!”
Bantul – Studio SDS Fictionbooks, 14 Agustus 2010
*) Al-Anfal: 65
http://www.sastra-indonesia.com/
Waktu berlari dengan cepat ketika manusia merangkak di dalam kegelapan di dalam ketakutannya. Mahluk berjalan tegak, melesat dengan dua tangan dan dua kaki terlipat. Bersembunyi dari kerlip bintang. Menyelidik malam ketika mahluk sejenisnya tertidur. Dia ini, seperti bukan manusia. Dia merambat, menapaki huruf demi huruf dan menafsirkannya seperti ketika para leluhur menatap semesta alam yang bergelayut dalam irama. Dia lah lelaki dengan bekal rasa yang tersemat di dada terus menjajaki setiap jejak-jejak kehidupan.
Perjalanan yang menelusup sampai pada usia yang renta terus dijalani dalam keyakinan yang tidak pernah memudar. Dia lelaki, yang pernah menjadi buronan di negaranya sendiri atas penolakan penuggalan negara. Di perbatasan perjalanannya itu, dia masih saja bersenandung lagu indah akan langit-langit surga bagi setiap laskar sang Raja Semesta Alam. Kidung yang telah bertahun-tahun dia nyanyikan, kini membawanya untuk berjalan ke tiang gantungan. Setelah bertahun dibungkus pekatnya mendung gelap dari ledakan-ledakan misteri, dia pun melangkah sendiri. Kepalanya tetap tegak memandang tiang gantungan. Matanya berbinar terang menyangsikan pisau-pisau hukum manusia, yang entah bagaimana timbangan keadilannya.
Kabar telah bergulir, dari Tanah Barat Jawa yang hening membawa sang manusia pada kewajibannya sendiri. Kabar itu melesat, jauh ke Timur dimana seorang lelaki pengembara sedang tertidur di bawah pohon Semboja yang ada di belakang rumahnya. Lelaki pengembara dari Mataram Baru itu seketika terbangun, mendapati telepon selulernya terus berdering. Membutuhkan jawaban. Seketika, ketika mata telah terbuka, telepon di depannya telah mati kembali. Di sana ada banyak panggilan tak terjawab. Serta sebuah pesan singkat teruntuknya: Kang, Bapak ditangkap tadi di Tanah Barat Jawa.
Sang lelaki pengembara pun memandangi layar handphone dengan tatapan tidak percaya. Dua bola mata ditiraikan air bening yang terus meleleh. Dua tangannya gemetar menahan kepalan tangan. Jiwanya bergelora, lalu dalam auman panjang seperti serigala buas di tengah malam. Lolongan panjang yang dipenuhi pilu dan kemarahan sampai seorang lelaki kecil dan kurus berlari menyongsong sambil menyeret sebilah pedang panjang.
“Kang, ada apa, Kang?” pedang panjang tergeletak di tanah di samping lelaki pengembara yang meraung di tengah malam, “Kakang Gothak, ada apa?”
Tidak ada jawaban. Hanya gelengan kepala dan tangis pilu yang menyayat. Lalu, Gothak pun langsung memeluk lelaki di depannya yang juga adalah adiknya sendiri.
“Bapak telah difitnah, Dhi!” ucap Gothak sambil menangis, “Bapak ditangkap!”
Gathuk tidak mengatakan apa pun. Hanya membalas pelukan saudara tuanya. Ia mengusap punggung kemudian menepuknya perlahan-lahan. “Ini ujian, Kang.” Ucap Gathuk.
“Ini tidak benar, Dhi. Bapak seorang penyebar ilmu. Dia ahli dakwah. Dia guru bagi bangsa ini. Bapak bukan teroris.” Ucap Gothak dalam kemarahan yang memuncak.
“Polisi punya analisa sendiri, Kang.” Sahut Gathuk dalam senyuman kecil mencoba untuk menenangkan saudara tuanya.
“Tidak ada yang lebih mengenal Bapak dari murid-muridnya sendiri. Mereka hanya menebak-nebak. Menyangkut-sangkutkan sesuatu yang tidak ada hubungannya.”
Dhimas Gathuk menarik nafas panjang. Dia masih mendekap Kakangnya yang menangis. “Aku memang tidak pernah mengenal Bapak seperti Kakang Gothak mengenal beliau. Bagaimana pun juga, setiap orang memiliki penilaian mereka sendiri, Kang. Beliau memang seorang guru bangsa. Pendidik bagi jiwa orang yang mengikuti. Orang yang berada di dalam garis akan mengatakan kalau Beliau bukan teroris, bukan penjahat. Lalu, bagaimana dengan yang berada di luar garis, Kang?”
“Ini sudah tidak benar, Dhi!” Kangmas Gothak menegaskan sambil melepaskan diri dari pelukan adiknya. Dia meraih pedang yang tergeletak di atas tanah, “Bapak pernah dipenjara atas kesalahan yang tidak pernah Beliau lakukan. Mendekam di pengabnya penjara selama 26 bulan atas fitnah yang dituduhkan. Tahun 2002 telah menjadi saksi abadi, kalau selama ini Bapak telah diincar untuk dibumi-hanguskan.”
“Jangan mendakwa seperti itu, Kang!”
“Aku tidak mendakwa!” sahut Gothak sambil mengangkat pedang panjang dan mengacungkannya ke udara. “Hukum negara ini telah memfitnah seorang guru. Mengincar seorang ulama agar meringkuk dan membusuk dalam kejahatan yang dilipahkan!” Gothak sudah terberangus oleh amarah yang bercampur dengan kesedihan.
“Lha, terus kalau Kakang Gothak mengatakan itu, apa Kakang memiliki bukti? Bukan sebatas fitnah untuk membela fitnah yang dilontarkan?”
Kangmas Gothak memandangi adiknya yang tetap tenang walau di matanya terpancar amarah.
“Kami berdakwah demi tegaknya agama Allah!” ungkap Kangmas Gothak.
“Dengan membunuh orang lain?”
“Kami tidak pernah membunuh. Kami pendakwah, menyebarkan kebaikan dan perjuangan atas agama yang kita sama-sama yakini, Dhi!”
“Atas dasar apa, Kang?”
“Kobarkanlah semangat para Mukmin untuk berperang*!” sahut Kangmas Gothak dengan pandangan tajam. “Kemungkaran dan jalan-jalan setan harus dihancurkan, Dhi!”
“Lalu, memerangi negaranya sendiri?” sahut Dhimas Gathuk dengan pertanyaan sinis.
“Negara ini telah menantang Allah, Tuhan Semesta Alam. Rakyatnya disengsarakan dengan kebijakan hukum yang tidak berperikemanusiaan. Berperikemanusiaan saja tidak, Dhi, apalagi berperiketuhanan?”
“Kang,”
“Lumpur di Sidoarjo sampai hari ini masih menyisakan tangis. Perang petani dengan PTPN VII di tanah Ulayat. Kemiskinan yang menusuk sampai seorang ibu membakar diri dan anaknya hanya karena hutang dua puluh ribu, Dhi.” Kangmas Gothak memotong adiknya yang kini menundukkan kepala. “Negara macam apa ini? Kemungkaran terlembagakan. Kemungkaran yang menjadi negara. Ini jalan setan. Jihad adalah wajib bagi setiap muslim. Memusuhi kemungkaranan.”
Kangmas Gothak mengatur nafasnya. Pandangannya berubah ramah setelah tajam menusuk relung hati. “Begitulah, Adikku, Dhimas Gathuk, Bapak mengajarkannya kepada Kakangmu dan yang lainnya. Beliau, seorang guru. Namun hukum di negara ini membawa leburan kaca untuk mengalir di dalam darah. Membawa seorang guru bagi sanubari rakyatnya ke dalam pengabnya jeruji penghinaan.”
Dhimas Gathuk hanya menundukkan kepala. Dia meresapi kata-kata saudara tua yang berlari menjadi pengembara mencari kebenaran atas perjalanan kehidupan. “Setiap mukmin harus berani berperang!” ucap Dhimas Gathuk di dalam hati, “Memerangi kemungkaran, memerangi jalan-jalan setan!”
Bantul – Studio SDS Fictionbooks, 14 Agustus 2010
*) Al-Anfal: 65
ZIARAH MANDAR, ZIARAH SASTRA, ZIARAH NUSANTARA
Sabrank Suparno
http://forumsastrajombang.blogspot.com/
Apa yang melebar dari sekedar acara remeh bedah buku? Tanggal 14 Juli 2010 lusa, komunitas Geladak Sastra meneruskan estafet agenda sastranya yang ke-4 : membedah Kumpulan Cerpen Zirah Mandar karya Bustan Basir Maras : cerpenis kelahiran Mandar Sulawesi Barat : propinsi termuda di Indonesia. Enam belas kumpulan cerpen itu dibedah 3 aktor penggiat sastra : Abdul Malik (pengelola Balai Belajar Bersama Banyumili, Mojokerto), Nasrul Ilaihi (Cak Nas) pemerhati budaya dari Dinas Porbupora Jombang dan sastrawati Surabaya Gita Pratama. Masing-masing pembedah mengudal penyerapan makna yang amat sublim terhadap buku Ziarah Mandar.
Cak Nas membagi penilaian kumpulan cerpen ini menjadi 2 peta. Pertama, cerpen Paglao, Perahu-Perahu Berlayar ke Barat, Pak Sholeh, Mbah Sung, Ziarah Mandar, tergolong cerpen beralur datar dan lurus. Suspensi yang dibangun penulis tidak setinggi, bahkan setajam gunung Semeru disbanding gunung Anjasmara. Pada cerpen ini bentuk tidak menjadi esensi, tetapi melepaskan perenungan yang membuat pembacanya seolah mendapat PR tersendiri. Kedua : pada pilihan cerpen Kartu Pos dari Australia, Goresan Noktah Hitam, Lelaki Kamar Mandi, Menanti Keretamu Tiba, Sekedar Menunda Kematia, dan Surat dari Ayah dikemas penulis dengan plot dinamis. Suspensi yang dibangun terasa menggetarkan buhul dan persendian.
Yang menarik dalam cerpen kategori ke 2 di atas, penulis memilih tehnik dengan anding cerita menggantung. Sehingga rasa penasaran membubung dan mengimajinasikan seribu tanya. Dalam cerpen Kartu Pos dari Australia misalnya; Bustan Basir Maras seperti menunutkan keprihatinannya terhadap peristiwa heroik yang menggemparkan Pradisclub di Legian Kuta Bali tanggal 12 September 2002 lalu. Sepenggal kisah tragis yang menewaskan 104 nyawa dan 92 yang diantaranya berwarganegaraan Australia itu direkam Bustan dalam cerpen kartu Pos dari Australia. Ide-ide keprihatinan Bustan seolah menyetarai serentetan shoting sebuah stasiun televisi yang menampilkan Emha Ainun Najib dalam acara ‘refleksi’, dimana durasi komentar Emha Ainun Najib yang tak sampai 5 menit itu, mampu meredahkan kegaduhan politik waktu itu dan sekaligus mampu meluruskan cara berfikir Balians dalam menyikapi intrik politik masa presiden Abdurrahman Wahid waktu itu. Penghargaan salut atas kepiawaian Emha di ungkapkan Rohaniawan Hindu Bali Made Gunung dalam berbagai ceramah di televisi lokal Bali. Disinilah kecerdikan Bustan Basir Maras. Meski empatinya tidak persis meniru Emha, tetapi melalui Kartu Pos dari Australia cukup menjadi medania atas refleksi social yang terjadi.
Penggeledahan lebih komprehensif juga dilakukan Abdul Malik. Penilaian yang dilakukan Cak Malik dari 16 cerpen dalam buku Ziarah Mandar, 5 diantaranya kental dengan budaya lokal Mandar, yakni dalam cerpen Paglao, Perahu-Perahu Berlayar ke Barat, Ziarah Mandar, Damarcinna, dan Tammalarance. Dalam 5 cerpen ini, Bustan lebih memerankan dirinya secara verbal sebagai sosok pejalan jauh yang syarat dengan kegeraman rindu terhadap kampung halaman. Seolah ada yang tak tercatat di langit dan kitab suci, yakni “Rindu Kampung Halaman”. Abdul Malik menjajarkan Bustan Basir Maras dengan deretan penulis Milan Kundera, Julio Costazor, Octavio Paz, Gunter Grass, Carlos Fuentes, Eugene Lonesco yang melatari geliga nostalgia sebagai ‘sumur inspirasi’ tulisannya dari rasa rindu kampung halaman.
Bustan Basir Maras sendiri saat ditanya oleh rekan Inwiardi (penulis Jombang yang hadir) tentang kemungkinannya digalih lebih jauh penyilangan kebudayaan antara Jombang dengan Mandar, lelaki kelahiran Sulawesi Barat itu menjawab : optimismenya penyilangan itu bisa terjadi, sebab selama ini sudah ada kantung-kantung komunitas sastra dan kebudayaan yang sudah dijalin oleh Emha Ainun Najib, Halim HD, dan tokoh lain di pedalaman Cammana, Mandar dan wilayah-wilayah sekitar.
Bedah buku Ziarah Mandar itu di komunitas Geladak Sastra merupakan serentetan serial Bustan keberbagai wilayah di Indonesia : Sumenep, Pamekasan, Surabaya, Jombang dan sedang mempersiapkan dengan jaringan komunitas di Jakarta dan Mandar. Sebab jajaran pemkab Mandar sendiri sudah meminta agar buku itu segera dibedah di kampung halamannya.
Gita Pratama, penyair dari komunitas Esok, Serawung Surabaya ini didapuk sebagai pembicara terakhir, Gita menitik pusatkan bedahannya pada cuplikan “maka ketahuilah kini kekasih, jika aku terus mengadu dan selalu rindu, maka itulah kedekatanku denganmu, tetapi jika terasa kau dekat dan aku malas menyapamu, dan tidak rindu lagi, maka sesungguhnya aku telah jauh darimu. Bermil-mil. Bermusim-musim hingga sejauh gurun-gurun sahara” (Perahu-Perahu Berlayar ke Barat). Perlawanan batin penulis dituangkan dengan kalimat majemuk berlawanan ; jika aku terus mengau dan selalu rindu//jika terAsa kau dekat dan aku malas menyapamu. Disatu sisi, penulis harus bertahan diperantauan, disisi lain penulis prihatin dengan budaya lokal Mandar yang terus tergerus kapitalisme global yang mulai mengeksplorasi tanah kelahirannya, dengan dalih mengangkat bangkai pesawat Lion Air yang raib beberapa tahun lalu.Sebagaimana kegelisahan perantau Jombang yang prihatin dengan proyek perehapan lokasi pemakaman Gus Dur di Ponpes Tebu Ireng yang akan mengganti suasana klasik artistik dan tektur bangunannya dengan eksterior moderen.
http://forumsastrajombang.blogspot.com/
Apa yang melebar dari sekedar acara remeh bedah buku? Tanggal 14 Juli 2010 lusa, komunitas Geladak Sastra meneruskan estafet agenda sastranya yang ke-4 : membedah Kumpulan Cerpen Zirah Mandar karya Bustan Basir Maras : cerpenis kelahiran Mandar Sulawesi Barat : propinsi termuda di Indonesia. Enam belas kumpulan cerpen itu dibedah 3 aktor penggiat sastra : Abdul Malik (pengelola Balai Belajar Bersama Banyumili, Mojokerto), Nasrul Ilaihi (Cak Nas) pemerhati budaya dari Dinas Porbupora Jombang dan sastrawati Surabaya Gita Pratama. Masing-masing pembedah mengudal penyerapan makna yang amat sublim terhadap buku Ziarah Mandar.
Cak Nas membagi penilaian kumpulan cerpen ini menjadi 2 peta. Pertama, cerpen Paglao, Perahu-Perahu Berlayar ke Barat, Pak Sholeh, Mbah Sung, Ziarah Mandar, tergolong cerpen beralur datar dan lurus. Suspensi yang dibangun penulis tidak setinggi, bahkan setajam gunung Semeru disbanding gunung Anjasmara. Pada cerpen ini bentuk tidak menjadi esensi, tetapi melepaskan perenungan yang membuat pembacanya seolah mendapat PR tersendiri. Kedua : pada pilihan cerpen Kartu Pos dari Australia, Goresan Noktah Hitam, Lelaki Kamar Mandi, Menanti Keretamu Tiba, Sekedar Menunda Kematia, dan Surat dari Ayah dikemas penulis dengan plot dinamis. Suspensi yang dibangun terasa menggetarkan buhul dan persendian.
Yang menarik dalam cerpen kategori ke 2 di atas, penulis memilih tehnik dengan anding cerita menggantung. Sehingga rasa penasaran membubung dan mengimajinasikan seribu tanya. Dalam cerpen Kartu Pos dari Australia misalnya; Bustan Basir Maras seperti menunutkan keprihatinannya terhadap peristiwa heroik yang menggemparkan Pradisclub di Legian Kuta Bali tanggal 12 September 2002 lalu. Sepenggal kisah tragis yang menewaskan 104 nyawa dan 92 yang diantaranya berwarganegaraan Australia itu direkam Bustan dalam cerpen kartu Pos dari Australia. Ide-ide keprihatinan Bustan seolah menyetarai serentetan shoting sebuah stasiun televisi yang menampilkan Emha Ainun Najib dalam acara ‘refleksi’, dimana durasi komentar Emha Ainun Najib yang tak sampai 5 menit itu, mampu meredahkan kegaduhan politik waktu itu dan sekaligus mampu meluruskan cara berfikir Balians dalam menyikapi intrik politik masa presiden Abdurrahman Wahid waktu itu. Penghargaan salut atas kepiawaian Emha di ungkapkan Rohaniawan Hindu Bali Made Gunung dalam berbagai ceramah di televisi lokal Bali. Disinilah kecerdikan Bustan Basir Maras. Meski empatinya tidak persis meniru Emha, tetapi melalui Kartu Pos dari Australia cukup menjadi medania atas refleksi social yang terjadi.
Penggeledahan lebih komprehensif juga dilakukan Abdul Malik. Penilaian yang dilakukan Cak Malik dari 16 cerpen dalam buku Ziarah Mandar, 5 diantaranya kental dengan budaya lokal Mandar, yakni dalam cerpen Paglao, Perahu-Perahu Berlayar ke Barat, Ziarah Mandar, Damarcinna, dan Tammalarance. Dalam 5 cerpen ini, Bustan lebih memerankan dirinya secara verbal sebagai sosok pejalan jauh yang syarat dengan kegeraman rindu terhadap kampung halaman. Seolah ada yang tak tercatat di langit dan kitab suci, yakni “Rindu Kampung Halaman”. Abdul Malik menjajarkan Bustan Basir Maras dengan deretan penulis Milan Kundera, Julio Costazor, Octavio Paz, Gunter Grass, Carlos Fuentes, Eugene Lonesco yang melatari geliga nostalgia sebagai ‘sumur inspirasi’ tulisannya dari rasa rindu kampung halaman.
Bustan Basir Maras sendiri saat ditanya oleh rekan Inwiardi (penulis Jombang yang hadir) tentang kemungkinannya digalih lebih jauh penyilangan kebudayaan antara Jombang dengan Mandar, lelaki kelahiran Sulawesi Barat itu menjawab : optimismenya penyilangan itu bisa terjadi, sebab selama ini sudah ada kantung-kantung komunitas sastra dan kebudayaan yang sudah dijalin oleh Emha Ainun Najib, Halim HD, dan tokoh lain di pedalaman Cammana, Mandar dan wilayah-wilayah sekitar.
Bedah buku Ziarah Mandar itu di komunitas Geladak Sastra merupakan serentetan serial Bustan keberbagai wilayah di Indonesia : Sumenep, Pamekasan, Surabaya, Jombang dan sedang mempersiapkan dengan jaringan komunitas di Jakarta dan Mandar. Sebab jajaran pemkab Mandar sendiri sudah meminta agar buku itu segera dibedah di kampung halamannya.
Gita Pratama, penyair dari komunitas Esok, Serawung Surabaya ini didapuk sebagai pembicara terakhir, Gita menitik pusatkan bedahannya pada cuplikan “maka ketahuilah kini kekasih, jika aku terus mengadu dan selalu rindu, maka itulah kedekatanku denganmu, tetapi jika terasa kau dekat dan aku malas menyapamu, dan tidak rindu lagi, maka sesungguhnya aku telah jauh darimu. Bermil-mil. Bermusim-musim hingga sejauh gurun-gurun sahara” (Perahu-Perahu Berlayar ke Barat). Perlawanan batin penulis dituangkan dengan kalimat majemuk berlawanan ; jika aku terus mengau dan selalu rindu//jika terAsa kau dekat dan aku malas menyapamu. Disatu sisi, penulis harus bertahan diperantauan, disisi lain penulis prihatin dengan budaya lokal Mandar yang terus tergerus kapitalisme global yang mulai mengeksplorasi tanah kelahirannya, dengan dalih mengangkat bangkai pesawat Lion Air yang raib beberapa tahun lalu.Sebagaimana kegelisahan perantau Jombang yang prihatin dengan proyek perehapan lokasi pemakaman Gus Dur di Ponpes Tebu Ireng yang akan mengganti suasana klasik artistik dan tektur bangunannya dengan eksterior moderen.
Langganan:
Postingan (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Ginandjar Wiludjeng
A. Junianto
A. Kurnia
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.S Laksana
A’yat Khalili
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Razak
Abdul Rosyid
Abdul Wahab
Abdurrahman Wahid
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adam Chiefni
Ade P. Nasution
Adhitia Armitriant
Adi Prasetyo
Adrizas
AF. Tuasikal
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Baso
Ahmad Faishal
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Naufel
Ahmad Rofiq
Ahmad S. Zahari
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ainul Fiah
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Alex R. Nainggolan
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Almania Rohmah
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aminah
Aminullah HA.Noor
Amir Sutaarga
Anam Rahus
Anata Siregar
Andari Karina Anom
Andina Dwifatma
Andong Buku #3
Andre Mediansyah
Andri Awan
Anett Tapai
Anggie Melianna
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Wahyudi
Anwar Nuris
Ardi Bramantyo
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Joko Wicaksono
Arief Junianto
Ariera
Arif Bagus Prasetyo
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Asmaul Fauziyah
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Wulan Sari
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Camelia Mafaza
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Daisuke Miyoshi
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Danusantoso
Dareen Tatour
Darju Prasetya
David Kuncara
Denny Mizhar
Denza Perdana
Desi Sommalia Gustina
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewi Indah Sari
Dewi Susme
Dian Sukarno
Didik Harianto
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur
Dipo Handoko
Diyah Errita Damayanti
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddy Wisnu Pribadi
Dody Kristianto
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi SS MHum
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Wiyana
Dyah Ratna Meta Novia
Dyah Sulistyorini
Ecep Heryadi
Eddy Pranata PNP
Edeng Syamsul Ma’arif
Eep Saefulloh Fatah
EH Kartanegara
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Hendri Saiful
Eko Windarto
Elnisya Mahendra
Elva Lestary
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Sulwesi
Endo Suanda
Eppril Wulaningtyas R
Esai
Evan Ys
F. Moses
F. Rahardi
Fadlillah Malin Sutan
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Febby Fortinella Rusmoyo
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Gabriel Garcia Marquez
Galang Ari P.
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Ganug Nugroho Adi
Gerson Poyk
Ghassan Kanafani
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunoto Saparie
H.B. Jassin
Habibullah
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Hardi
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
HE. Benyamine
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Herman RN
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Nugroho
Hikmat Gumelar
HL Renjis Magalah
Hudan Nur
Hujuala Rika Ayu
Huminca Sinaga
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ira Puspitaningsih
Irfan Budiman
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Zulkarnain
Ismail Marzuki
Iva Titin Shovia
Iwan Kurniawan
Jabbar Abdullah
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D. Rahman
Jamal T. Suryanata
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
JILFest 2008
Jody Setiawan
Johan Edy Raharjo
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Juan Kromen
Julika Hasanah
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Ka’bati
Karanggeneng
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Keith Foulcher
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khoirul Inayah
Khoirul Rosyadi
Khudori Husnan
Ki Ompong Sudarsono
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
L.N. Idayanie
Laili Rahmawati
Lamongan
Lan Fang
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lucia Idayanie
Lukman A Sya
Lutfiah
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Ismail
M Thobroni
M. Afifuddin
M. Arwan Hamidi
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Luthfi Aziz
M. Nurdin
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.S. Nugroho
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahmud Syaltut Usfa
Mahmudi Arif Dahlan
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Martin Aleida
Maruli Tobing
Mas Ruscita
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni Muserang
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mia Arista
Mia El Zahra
Mikael Johani
Misbahus Surur
Misran
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
Much. Khoiri
Muh. Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun
Muhammadun AS
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mukti Sutarman Espe
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Munawir Aziz
Musfarayani
Musfi Efrizal
Nafisatul Husniah
Nandang Darana
Naskah Teater
Nelson Alwi
Ni Made Purnamasari
Nikmatus Sholikhah
Nina Herlina Lubis
Nina Susilo
Ning Elia
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel-novel berbahasa Jawa
Novelet
Nunuy Nurhayati
Nur Azizah
Nur Hamzah
Nur Kholiq
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Aini
Nurul Anam
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Okty Budiati
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso H.N.
Pagan Press
Pagelaran Musim Tandur
Palupi Panca Astuti
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Petrus Nandi
Politik
Politik Sastra
Pradana Boy ZTF
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringadi AS
Prof Dr Fabiola D. Kurnia
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Puji Tyasari
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
Purnawan Kristanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Ng. Ronggowarsito
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmat Kemat Hidayatullah
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rasanrasan Boengaketji
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Resensi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Ririe Rengganis
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rusmanadi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saiful Amin Ghofur
Saiful Anam
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman S. Yoga
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang KSII
Santi Puji Rahayu
Sapardi Djoko Damono
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Jawa Timur
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputra
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sri Weni
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugi Lanus
Sukron Ma’mun
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaf Anton Wr
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syarif Wadja Bae
Sylvianita Widyawati
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie (1961-2019)
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tia Setiadi
Tirto Suwondo
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tosa Poetra
Tri Nurdianingsih
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulul Azmiyati
Umar Fauzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Utari Tri Prestianti
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wan Anwar
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wina Bojonegoro
Wita Lestari
Wong Wing King
Wowok Hesti Prabowo
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopi Setia Umbara
Yudhi Herwibowo
Yudi Latif
Yusri Fajar
Yusuf Ariel Hakim
Yuval Noah Harari
Zacky Khairul Uman
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zed Abidien
Zehan Zareez
Zhaenal Fanani
Zubaidi Khan
Zuniest