Lina Kelana
http://www.sastra-indonesia.com/
Aku, wanita yang tercacah peran. Sempurna belatinya mencabik dan mengoyak dagingku hingga tertinggal perih di ulu. Sendi sendi tulangku mulai keropos dan menguap. Memamah ngilu di denyut yang hanya bersisa degup tanpa jantung. Aroma anyir semerbak membumbung mengumumkan lambung lambung kosong yang kerontang. Menandai udara, panasnya mulai menyapa bersama hadirnya mentari setinggi kepala. Ketika senja bergegas mengganti siang, ngilu di lukaku menjadi lumer. Kemudian menghampa seperti hilangnya senyummu di balik kelambu. Sejak kusingkap musim yang lalu, sejak itulah kau letak bibirmu di ujung kisah. Tak bergerak, meski tawa telah menggodanya. Mengapa sengaja kau hanyutkan rindu itu di tempias sedihmu?
Kau, wanita bercadar yang membawa sepiring goyangan lalat di atas dentingan waktu. Mencumbui bumbu bumbu zaman yang tak lekang olehnya. Sinis kau saji di lipatan desau angin. Membawa keruh ke telaga sunyi agar bertapa dalam candu rindu. Dengan pasti kau lenggangkan cerita, kau lapisi dengan polesan madu, dan tak lupa kau susupkan empedu di dalam nanar matamu. Kau sembunyikan dia dalam ketiak kamarmu. Sungguh, kau biadab telah tumbangkan tahta. Melipatku dalam sela sela gigimu dan memintaku memandangi lidahmu yang mesra bercumbu dengan ludahmu. Sementara dia, kekasih jemariku, terkapar tak berdaya menunggu panggilan shubuh yang mengantarkan esok tak berdulang. sungguh, dia kan mati dalam unyahmu, Lelaki.
Aku dan kau, adalah wanita yang menjelma menjadi dia, seorang lelaki itu. Yang sekujur tubuhnya tergerus purnama. Setiap sesat ia sendukan dengan serumpun alasan klasik tanpa melebur kenicsayaan. Aku dan kau adalah lelaki itu. lelaki yang membiarkan keranda menggotong napas napasnya, mengikatnya kemudian menaburkannya di bebatuan padang pasir yang cadas. Kita adalah lelaki itu, yang dengan bangga mengacungkan telunjuk untuk memanah matahari, mencongkel matanya dan kemudian menguburnya dalam perut bumi.
Aku, kau, dan lelaki itu senantiasa berteriak menghujat para jibril yang menunaikan tugas malamnya. Sementara di siangnya kita sering mendengkur memaki rerumputan yang bergoyang mencari angin. Aku, kau, dan lelaki itu bukan sesiapa untuk menyebut nama dengan anyaman aku, kau, dan lelaki itu sendiri. Aku, kau, dan lelaki itu hanya seujung rumput yang berlari memanggil dingin untuk bekukan kata.
Babat, 10 Juni 2010
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Jumat, 25 Juni 2010
Kamis, 24 Juni 2010
Puisi dan Anak-anak Sejarah Zainal Arifin Thoha
Pengantar Antologi Puisi “Mazhab Kutub” terbitan PuJa (PUstaka puJAngga) 2010
Fahrudin Nasrulloh*
http://www.sastra-indonesia.com/
Suatu hari, sekisar pertengahan tahun 2007, saya berjumpa dengan Gus Zainal Arifin Thoha di Pesantren Tebuireng, Jombang. Hari itu diadakan pertemuan alumni. Beberapa teman dan kiai yang saya kenal juga tampak hadir. Salah satunya adalah penyair dari Jeruk Macan, Mojokerto, Kiai Khamim Khohari. Pondok semakin ramai. Dari pintu gerbang terlihat orang-orang hilir-mudik. Kebetulan saja saya menyambangi perpustakaan Wahid Hasyim. Mas Tamrin, penjaga perpus, memberitahu saya bahwa di ruangan tingkat atas barat makam pondok dilangsungkan semacam diskusi di mana salah pembicaranya adalah Gus Zainal. Saya pun menghikmati diskusi itu.
Usai diskusi, kami ngobrol-ngobrol bersama beberapa sejawat. Ia bercerita banyak hal. Tentang perkembangan dunia menulis dan penerbitan di Jogja. Tentang anak-anak asuhnya di Pesantren Mahasiswa Hasyim Asy’ari yang ia dirikan dan kegiatan apa saja yang bergeliat di sana. Tak luput ia menunjukkan karya terbitannya: Aku Menulis, Maka Aku Ada. Buku ini menarik, setidaknya mampu menggebuk gairah penulis pemula. ”Ikatlah ilmu dengan menuliskannya,” saya teringat maqolah ini dari Sayidina Ali. Dan itulah kiranya yang dihisap penuh-seluruh oleh Gus Zainal. Lalu kami turun. Saya berjalan keluar menuju gerbang pondok. Tampak dua pemuda krempeng berwajah kusut menggelar jualan buku dengan beralaskan koran. Aroma ketiak gembel Jogja terasa. Lima kardus bertumpuk di sisi kanan-kiri mereka. Puluhan buku-buku itu rata-rata terbitan penerbit Jogja. Ada belasan judul dari penerbitan Gus Zainal. Sosok ini terbilang unik: kiai muda, punya pesantren, sastrawan, bos penerbit, dan tak jarang menjadi rujukan spiritual sejumlah penulis yang merasa rapuh hidupnya.
Sejak beberapa bulan sebelumnya, saya telah mendengar Pondok Mahasiswa Hasyim Asy’ari asuhan Gus Zainal itu. Sempat sekian kali saya mengunjungi kontrakannya bersama Aziz Sukarno. Lalu bertandang ke Mas Joni, dan darinya saya mendengar banyak hal tentang kiprah Gus Zainal dan pesantrennya. Ada Amrin, Alfian, Bernando, yang saat itu sempat saya kenal dan menjumpai tulisan-tulisannya di beberapa media. Mereka tampak getol berkarya dan mendiskusikan ihwal sastra dan pergaulan antar penulis. Semua punya mimpi. Harapan. Gemuruh untuk menggali potendi diri sebaik mungkin. Sangat jarang ada kiai yang juga penyair seperti Gus Zainal menyerahkan sebagian hajat hidupnya demi anak-anak muda yang rata-rata tujuan mereka mondok di sini adalah untuk belajar menulis, selebihnya ada yang berkuliah, bekerja serabutan, ngawulo, dan macam-macam itu kayaknya sebagai ritual kecil semata. Misalnya Alfian, saya mengenalnya hanya beberapa bulan, ketika ia sering dolan dan ngobrol-ngobrol di kontrakan kami, di penerbit Sadasiva (almarhum), di jalan Permadi, Tamsis. Terkadang ia jalan dari Krapyak malam-malam ke Tamsis. Lama-lama saya kasihan juga, saya bilang padanya bawalah pit onthel saya jika mau. Ia gembira mendengarnya. Dan beberapa bulan kemudian saat terjadi gempa Jogja 2006, saya tak lagi tahu kabarnya, juga dengan kawan-kawan lain di Komunitas Kutub hingga detik-detik terakhir kala Gus Zainal berpulang.
Ada hutang rasanya, yang tak bisa dibayar dan tak tergantikan, bagi mereka murid-muridnya, atau siapa pun yang mengenalnya, akan kebaikan Gus Zainal. Meski saya tidak punya ikatan apa-apa. Tapi saya merasakan itu. Berkarya, tak malas membaca, telaten ngaji dari yang dhahir sampai yang bathin, menyerap ajaran tasawuf dari beberapa guru yang didatangkan, mengongkosi kebutuhan sehari-hari dari menulis, dan Gus Zainal hanya menyediakan pondokan tanpa pungutan, bahkan rumah yang ditempati bersama keluarganya pun masih mengontrak saat itu: dan bagi saya, hal demikian merupakan ”amal kebudayaan” yang akan mendapatkan balasan tersendiri dari Allah dan kelak murid-muridnya diharapkan mampu menjadi penulis-penulis yang berbakat. Barangkali bagi Gus Zainal, ”Pesantren tanpa menghasilkan penulis: ibarat sarang ilmu tanpa laku, sejarah tanpa jejak, atau rumah kosong yang hendak roboh.”
Saya hanya berusaha menilasi jejak ingatan saya itu, dan betapa lamat-lamatnya rekaman itu, saya menyambut antusias rampai puisi Mazhab Kutub yang memuat 14 penyair jebolan dari anak-anak sejarah Gus Zainal ini. Mereka adalah: Matroni El-Moezany, Ahmad Muchlish Amrin, Jufri Zaituna, Mahwi Air Tawar, Ahmad Maltuf Syamsury, Alfian Harfi, Muhammad Ali Faqih, Imam S Arizal, Selendang Sulaiman, Ala Roa, Muhammad Alif Mahmudi, AF Denar Deniar, Bernando J.Sudjibto, dan Salman Rusydie Anwar. Terkait judul antologi, saya agak terusik tanya, kenapa kumpulan ini dinamai kumpulam puisi Mazhab Kutub? Barangkali ”kandang menulis” milik Gus Zainal ini diniatkan sebagai kawah yang munclak-munclak bagi penulis-penulis muda yang gagal, seperti sitiran pada puisi ”Percakapan” karya Salman. Mungkin juga tidak. Tapi bukankah juga pemberontakan yang bertubi-tubi gagal atas diri kepenyairan dan ke-nggletekan sehari-hari merupakan proses panjang yang tak bertuan. Apa itu ”kegagahan dalam kemiskinan” seperti yang diomongkan Rendra? Sekedar untuk membela para penyair yang kebanyakan hidupnya menggelandang? Mungkin tidak ada muluk-muluk yang tersembunyi di dalamnya, pun cita-cita di sana. Cita-cita hanya milik orang-orang malas dan penurut, dan pembangkangan atas apa pun dalam proses kreatif serta ketumpulan-ketumpulan di dalamnya adalah suatu keniscayaan. Keniscayaan sebagai kegelisahan berkarya yang jika itu mati, matilah jati dirinya. Ini negeri, yang juga disesaki penyair-penyair bak di panggung ludruk raksasa, penuh dagelan, sok serius, kebanci-bancian, besar kepala, hipokrit, naif, dan penuh adegan perang main-mainan. Tapi di benak masing-masing juga terselip segala ketawa juga gosip dan gerundelan yang menguar dengan sendirinya atas nama puisi yang cuma tak lebih dongeng keabadian atau pelarian atau pencarian yang adalah omong kosong tapi tak kapok terus dimaknai.
Teman-teman Kutub boleh bikin anekdot sendiri dari merek yang bisa menjengkelkan maupun mengerdilkan. Boleh yang serius boleh yang asal-asalan. Tapi puisi mungkin hanyalah dongeng, dan mereka ini telah membuka pintu ”dunia dongeng” itu dengan tolabul ilmi di ”sekolah rakyat”-nya Gus Zainal. Sekolah rakyat dari pletikan kemanusiaan Gus Zainal yang bagi Emha sekolah rakyat yang demikian itu fungsinya, “ikut berproses, diproses dan memproses kehidupan: tak perlu dilebihkan atau dimatikan. Ia mungkin bersahaja, tapi tetap sesuatu. Ia misteri, bukan karena ‘kekaburan’nya, tapi justru karena ia bukan sekadar kata, ia suatu gerak kehidupan.” (“Sastra Dewa, Sastra Macan, Sastra Tank”, dalam majalah Tempo, 28 Agustus 1982).
Saya kadang berpikir, membikin puisi itu mudah, dengan bekal gairah yang direjang di air yang dididihkan, dengan katakanlah enteng-entengan membaca 50 kumpulan puisi penyair kesohor, dan bla-bla-bla, atau lantaran ditusuk cinta yang tak ketahuan juntrungnya: jadilah puisi, untuk selanjutnya si puisi akan menentukan nasibnya sendiri. Memang lebih kompleks membuat cerpen, esai, atau novel, yang membutuhkan pola berpikir terstruktur, sistemik dalam arti kedisiplinan tertentu yang dilatih secara intensif, perlu strategi teks, pembacaan ”dekat” dan pembacaan ”jauh”, intertekstualitas, dan tuntutan gagasan-gagasan baru agar si karya tidak terjebak pada kopi-paste, pengulangan-pengulangan, dan plagiat. Semua penulis bertarung dan dituntut jeli dalam memilah dan membikin analisis macam itu.
Penyair menghidupi puisi demi puisi itu sendiri. Dan penyair tak perlu menganggap penting apakah dirinya dihidupi atau tersungkur sebab puisi. Di sanalah penyair senantiasa diguyah tanya apalah yang berharga dari menulis puisi dan menulis puisi. Seperti tanpa sadar, segala yang disetiai di dalamnya menjelma ikhtiar meringkus diri untuk tujuan yang semua penyair harapkan demi menggodok proses kreatif itu hingga ke puncak. Bertahan, untuk seorang diri, untuk memilih jalan puisinya sendiri di balik sejarah panjang kesusastraan Indonesia. Seperti lukisan puisi berikut:
jalan-jalan setapak
menjadi jejak dan peta untuk keberangkatan seterusnya
aku kerap tersesat di sini, di pundak puisiku sendiri
(puisi “Malam Ketakutanku”, Bernando J.Sudjibto)
Penggalan puisi Bernando ini menyiratkan jalan panjang itu yang seolah diombang-ambingkan petualangan dalam meyakini puisi sebagai pilihan hidup. Barangkali di negeri inilah yang paling banyak melahirkan penulis puisi. Timbunan angka yang luar biasa kiranya dan itu menjadi pertanyaan besar bagi kita. Apakah mereka begitu menganggap penting memperjuangkan puisi di masa yang tidak berkepastian ini? Sungguh sebuah pilihan yang tak diminati banyak orang. Dan kini semua penyair, jika ingin dianggap dan dikenal, mau tak mau harus bertarung di media massa. Atau menerbitkan karyanya sendiri dengan berkorban menjual sapi atau apalah caranya. Demokratisasi sastra, misalnya wacana sastra koran, telah menjadi bagian sejarah kesusastraan kita yang tidak bisa lagi ditampik keberadaannya. Arus mengalir di sana. Anda bagaimana? Anda siapa dan berada di mana?
Maka, sejenak, lupakan yang tidak jelas, dan sekarang patutlah kita menyambut baik terbitnya kumpulan puisi Mazhab Kutub ini. Gaya puisi yang termuat di dalamnya memiliki daya ungkap masing-masing. Rata-rata bernuansa liris, sebagian deskriptif, dan ada pula yang kontemplatif dan romantis. Ada yang mengolah lokalitas, namun masih dalam upaya pencarian untuk menemukan kekuatan karakter kelokalitasannya. Bagi saya, individualitas dalam berkarya juga penting. Agar terhindar dari keseragaman tematik maupun pilihan estetik. Dan sebagai upaya rekam-jejak, beberapa puisi di kumpulan ini menyiratkan lanskap orang-orang Kutub, sebagai contoh pada beberapa penggalan puisi Muhammad Ali Faqih:
Perantau Di Jalur Bantul-Sleman
– untuk anak-anak kutub
mereka datang dari seberang yang jauh
dengan seribu bayang-bayang tentang kota tua
mereka datang dari masa silam
berbekal peluh dan impian
jalan ini senantiasa menjadi saksi
betapa hidup terasa asing
hari-hari mengalir begitu saja
bantul-sleman telah jadi halaman
atau catatan perjalanan
yang semoga tak hanya kekal dalam ingatan
Judul kumpulan puisi Mazhab Kutub ini tampak “keren” dan “wah” seperti ingin menggeber mencuatkan diri dalam percaturan perpuisian tanah air masa depan. Menyorong mazhab sendiri, gerombolan sendiri. Seakan-akan menyimpan semboyan dari pepatah suku Indian: “Berharaplah musuhmu bertambah kuat!” Lalu dengan siapa mereka mau berlawan bertanding mengacungkan parang dan senapan? Ah, lelucon apalagi ini. Mungkin saya salah-kaprah menyorotnya. Siapa nyana lelucon bisa menusuk mendobrak apa saja, bahwa kaum muda penyair masa kini sudah saatnnya membikin sejarah sendiri dan tidak terlimbur mengelap-elap kebesaran karya-karya masa lalu namun tetap menyelami renik-intinya. Mereka ini bisa saja memiliki “daya-dinaya” (istilah Nurel Javissyarqi) untuk melakukan sebuah “gerakan militan yang progresif” sebagaimana kaum muda-mudi Lekra dan kebaruan dalam berkarya.
Semoga sangkaan konyol saya ini hanyalah cas-cis-cus, bukan impen-impen Gus Zainal.
Salam.
Tabik!
—–
*Fahrudin Nasrulloh, bergiat di Komunitas Lembah Pring Jombang.
Fahrudin Nasrulloh*
http://www.sastra-indonesia.com/
Suatu hari, sekisar pertengahan tahun 2007, saya berjumpa dengan Gus Zainal Arifin Thoha di Pesantren Tebuireng, Jombang. Hari itu diadakan pertemuan alumni. Beberapa teman dan kiai yang saya kenal juga tampak hadir. Salah satunya adalah penyair dari Jeruk Macan, Mojokerto, Kiai Khamim Khohari. Pondok semakin ramai. Dari pintu gerbang terlihat orang-orang hilir-mudik. Kebetulan saja saya menyambangi perpustakaan Wahid Hasyim. Mas Tamrin, penjaga perpus, memberitahu saya bahwa di ruangan tingkat atas barat makam pondok dilangsungkan semacam diskusi di mana salah pembicaranya adalah Gus Zainal. Saya pun menghikmati diskusi itu.
Usai diskusi, kami ngobrol-ngobrol bersama beberapa sejawat. Ia bercerita banyak hal. Tentang perkembangan dunia menulis dan penerbitan di Jogja. Tentang anak-anak asuhnya di Pesantren Mahasiswa Hasyim Asy’ari yang ia dirikan dan kegiatan apa saja yang bergeliat di sana. Tak luput ia menunjukkan karya terbitannya: Aku Menulis, Maka Aku Ada. Buku ini menarik, setidaknya mampu menggebuk gairah penulis pemula. ”Ikatlah ilmu dengan menuliskannya,” saya teringat maqolah ini dari Sayidina Ali. Dan itulah kiranya yang dihisap penuh-seluruh oleh Gus Zainal. Lalu kami turun. Saya berjalan keluar menuju gerbang pondok. Tampak dua pemuda krempeng berwajah kusut menggelar jualan buku dengan beralaskan koran. Aroma ketiak gembel Jogja terasa. Lima kardus bertumpuk di sisi kanan-kiri mereka. Puluhan buku-buku itu rata-rata terbitan penerbit Jogja. Ada belasan judul dari penerbitan Gus Zainal. Sosok ini terbilang unik: kiai muda, punya pesantren, sastrawan, bos penerbit, dan tak jarang menjadi rujukan spiritual sejumlah penulis yang merasa rapuh hidupnya.
Sejak beberapa bulan sebelumnya, saya telah mendengar Pondok Mahasiswa Hasyim Asy’ari asuhan Gus Zainal itu. Sempat sekian kali saya mengunjungi kontrakannya bersama Aziz Sukarno. Lalu bertandang ke Mas Joni, dan darinya saya mendengar banyak hal tentang kiprah Gus Zainal dan pesantrennya. Ada Amrin, Alfian, Bernando, yang saat itu sempat saya kenal dan menjumpai tulisan-tulisannya di beberapa media. Mereka tampak getol berkarya dan mendiskusikan ihwal sastra dan pergaulan antar penulis. Semua punya mimpi. Harapan. Gemuruh untuk menggali potendi diri sebaik mungkin. Sangat jarang ada kiai yang juga penyair seperti Gus Zainal menyerahkan sebagian hajat hidupnya demi anak-anak muda yang rata-rata tujuan mereka mondok di sini adalah untuk belajar menulis, selebihnya ada yang berkuliah, bekerja serabutan, ngawulo, dan macam-macam itu kayaknya sebagai ritual kecil semata. Misalnya Alfian, saya mengenalnya hanya beberapa bulan, ketika ia sering dolan dan ngobrol-ngobrol di kontrakan kami, di penerbit Sadasiva (almarhum), di jalan Permadi, Tamsis. Terkadang ia jalan dari Krapyak malam-malam ke Tamsis. Lama-lama saya kasihan juga, saya bilang padanya bawalah pit onthel saya jika mau. Ia gembira mendengarnya. Dan beberapa bulan kemudian saat terjadi gempa Jogja 2006, saya tak lagi tahu kabarnya, juga dengan kawan-kawan lain di Komunitas Kutub hingga detik-detik terakhir kala Gus Zainal berpulang.
Ada hutang rasanya, yang tak bisa dibayar dan tak tergantikan, bagi mereka murid-muridnya, atau siapa pun yang mengenalnya, akan kebaikan Gus Zainal. Meski saya tidak punya ikatan apa-apa. Tapi saya merasakan itu. Berkarya, tak malas membaca, telaten ngaji dari yang dhahir sampai yang bathin, menyerap ajaran tasawuf dari beberapa guru yang didatangkan, mengongkosi kebutuhan sehari-hari dari menulis, dan Gus Zainal hanya menyediakan pondokan tanpa pungutan, bahkan rumah yang ditempati bersama keluarganya pun masih mengontrak saat itu: dan bagi saya, hal demikian merupakan ”amal kebudayaan” yang akan mendapatkan balasan tersendiri dari Allah dan kelak murid-muridnya diharapkan mampu menjadi penulis-penulis yang berbakat. Barangkali bagi Gus Zainal, ”Pesantren tanpa menghasilkan penulis: ibarat sarang ilmu tanpa laku, sejarah tanpa jejak, atau rumah kosong yang hendak roboh.”
Saya hanya berusaha menilasi jejak ingatan saya itu, dan betapa lamat-lamatnya rekaman itu, saya menyambut antusias rampai puisi Mazhab Kutub yang memuat 14 penyair jebolan dari anak-anak sejarah Gus Zainal ini. Mereka adalah: Matroni El-Moezany, Ahmad Muchlish Amrin, Jufri Zaituna, Mahwi Air Tawar, Ahmad Maltuf Syamsury, Alfian Harfi, Muhammad Ali Faqih, Imam S Arizal, Selendang Sulaiman, Ala Roa, Muhammad Alif Mahmudi, AF Denar Deniar, Bernando J.Sudjibto, dan Salman Rusydie Anwar. Terkait judul antologi, saya agak terusik tanya, kenapa kumpulan ini dinamai kumpulam puisi Mazhab Kutub? Barangkali ”kandang menulis” milik Gus Zainal ini diniatkan sebagai kawah yang munclak-munclak bagi penulis-penulis muda yang gagal, seperti sitiran pada puisi ”Percakapan” karya Salman. Mungkin juga tidak. Tapi bukankah juga pemberontakan yang bertubi-tubi gagal atas diri kepenyairan dan ke-nggletekan sehari-hari merupakan proses panjang yang tak bertuan. Apa itu ”kegagahan dalam kemiskinan” seperti yang diomongkan Rendra? Sekedar untuk membela para penyair yang kebanyakan hidupnya menggelandang? Mungkin tidak ada muluk-muluk yang tersembunyi di dalamnya, pun cita-cita di sana. Cita-cita hanya milik orang-orang malas dan penurut, dan pembangkangan atas apa pun dalam proses kreatif serta ketumpulan-ketumpulan di dalamnya adalah suatu keniscayaan. Keniscayaan sebagai kegelisahan berkarya yang jika itu mati, matilah jati dirinya. Ini negeri, yang juga disesaki penyair-penyair bak di panggung ludruk raksasa, penuh dagelan, sok serius, kebanci-bancian, besar kepala, hipokrit, naif, dan penuh adegan perang main-mainan. Tapi di benak masing-masing juga terselip segala ketawa juga gosip dan gerundelan yang menguar dengan sendirinya atas nama puisi yang cuma tak lebih dongeng keabadian atau pelarian atau pencarian yang adalah omong kosong tapi tak kapok terus dimaknai.
Teman-teman Kutub boleh bikin anekdot sendiri dari merek yang bisa menjengkelkan maupun mengerdilkan. Boleh yang serius boleh yang asal-asalan. Tapi puisi mungkin hanyalah dongeng, dan mereka ini telah membuka pintu ”dunia dongeng” itu dengan tolabul ilmi di ”sekolah rakyat”-nya Gus Zainal. Sekolah rakyat dari pletikan kemanusiaan Gus Zainal yang bagi Emha sekolah rakyat yang demikian itu fungsinya, “ikut berproses, diproses dan memproses kehidupan: tak perlu dilebihkan atau dimatikan. Ia mungkin bersahaja, tapi tetap sesuatu. Ia misteri, bukan karena ‘kekaburan’nya, tapi justru karena ia bukan sekadar kata, ia suatu gerak kehidupan.” (“Sastra Dewa, Sastra Macan, Sastra Tank”, dalam majalah Tempo, 28 Agustus 1982).
Saya kadang berpikir, membikin puisi itu mudah, dengan bekal gairah yang direjang di air yang dididihkan, dengan katakanlah enteng-entengan membaca 50 kumpulan puisi penyair kesohor, dan bla-bla-bla, atau lantaran ditusuk cinta yang tak ketahuan juntrungnya: jadilah puisi, untuk selanjutnya si puisi akan menentukan nasibnya sendiri. Memang lebih kompleks membuat cerpen, esai, atau novel, yang membutuhkan pola berpikir terstruktur, sistemik dalam arti kedisiplinan tertentu yang dilatih secara intensif, perlu strategi teks, pembacaan ”dekat” dan pembacaan ”jauh”, intertekstualitas, dan tuntutan gagasan-gagasan baru agar si karya tidak terjebak pada kopi-paste, pengulangan-pengulangan, dan plagiat. Semua penulis bertarung dan dituntut jeli dalam memilah dan membikin analisis macam itu.
Penyair menghidupi puisi demi puisi itu sendiri. Dan penyair tak perlu menganggap penting apakah dirinya dihidupi atau tersungkur sebab puisi. Di sanalah penyair senantiasa diguyah tanya apalah yang berharga dari menulis puisi dan menulis puisi. Seperti tanpa sadar, segala yang disetiai di dalamnya menjelma ikhtiar meringkus diri untuk tujuan yang semua penyair harapkan demi menggodok proses kreatif itu hingga ke puncak. Bertahan, untuk seorang diri, untuk memilih jalan puisinya sendiri di balik sejarah panjang kesusastraan Indonesia. Seperti lukisan puisi berikut:
jalan-jalan setapak
menjadi jejak dan peta untuk keberangkatan seterusnya
aku kerap tersesat di sini, di pundak puisiku sendiri
(puisi “Malam Ketakutanku”, Bernando J.Sudjibto)
Penggalan puisi Bernando ini menyiratkan jalan panjang itu yang seolah diombang-ambingkan petualangan dalam meyakini puisi sebagai pilihan hidup. Barangkali di negeri inilah yang paling banyak melahirkan penulis puisi. Timbunan angka yang luar biasa kiranya dan itu menjadi pertanyaan besar bagi kita. Apakah mereka begitu menganggap penting memperjuangkan puisi di masa yang tidak berkepastian ini? Sungguh sebuah pilihan yang tak diminati banyak orang. Dan kini semua penyair, jika ingin dianggap dan dikenal, mau tak mau harus bertarung di media massa. Atau menerbitkan karyanya sendiri dengan berkorban menjual sapi atau apalah caranya. Demokratisasi sastra, misalnya wacana sastra koran, telah menjadi bagian sejarah kesusastraan kita yang tidak bisa lagi ditampik keberadaannya. Arus mengalir di sana. Anda bagaimana? Anda siapa dan berada di mana?
Maka, sejenak, lupakan yang tidak jelas, dan sekarang patutlah kita menyambut baik terbitnya kumpulan puisi Mazhab Kutub ini. Gaya puisi yang termuat di dalamnya memiliki daya ungkap masing-masing. Rata-rata bernuansa liris, sebagian deskriptif, dan ada pula yang kontemplatif dan romantis. Ada yang mengolah lokalitas, namun masih dalam upaya pencarian untuk menemukan kekuatan karakter kelokalitasannya. Bagi saya, individualitas dalam berkarya juga penting. Agar terhindar dari keseragaman tematik maupun pilihan estetik. Dan sebagai upaya rekam-jejak, beberapa puisi di kumpulan ini menyiratkan lanskap orang-orang Kutub, sebagai contoh pada beberapa penggalan puisi Muhammad Ali Faqih:
Perantau Di Jalur Bantul-Sleman
– untuk anak-anak kutub
mereka datang dari seberang yang jauh
dengan seribu bayang-bayang tentang kota tua
mereka datang dari masa silam
berbekal peluh dan impian
jalan ini senantiasa menjadi saksi
betapa hidup terasa asing
hari-hari mengalir begitu saja
bantul-sleman telah jadi halaman
atau catatan perjalanan
yang semoga tak hanya kekal dalam ingatan
Judul kumpulan puisi Mazhab Kutub ini tampak “keren” dan “wah” seperti ingin menggeber mencuatkan diri dalam percaturan perpuisian tanah air masa depan. Menyorong mazhab sendiri, gerombolan sendiri. Seakan-akan menyimpan semboyan dari pepatah suku Indian: “Berharaplah musuhmu bertambah kuat!” Lalu dengan siapa mereka mau berlawan bertanding mengacungkan parang dan senapan? Ah, lelucon apalagi ini. Mungkin saya salah-kaprah menyorotnya. Siapa nyana lelucon bisa menusuk mendobrak apa saja, bahwa kaum muda penyair masa kini sudah saatnnya membikin sejarah sendiri dan tidak terlimbur mengelap-elap kebesaran karya-karya masa lalu namun tetap menyelami renik-intinya. Mereka ini bisa saja memiliki “daya-dinaya” (istilah Nurel Javissyarqi) untuk melakukan sebuah “gerakan militan yang progresif” sebagaimana kaum muda-mudi Lekra dan kebaruan dalam berkarya.
Semoga sangkaan konyol saya ini hanyalah cas-cis-cus, bukan impen-impen Gus Zainal.
Salam.
Tabik!
—–
*Fahrudin Nasrulloh, bergiat di Komunitas Lembah Pring Jombang.
Gerak Kepribadian Diri dalam Kumala Pusaka Kasih
Denny Mizhar
http://www.sastra-indonesia.com/
Pergerakan sastra di Lamongan cukuplah dinamis. Hal tersebut dapat kita lihat pada agenda-agenda sastra di Lamongan, walaupun menurut pengamatan saya masih belum masif. Tidak hanya agenda sastra, tetapi penerbitan buku menjadi media pembacaan atas dinamisnya sastra di Lamongan. Ada penerbit Pustaka Pujangga, Pustaka Ilalang, LA Rose. Baru-baru saja penerbit Pustaka Pujangga, Penerbit yang digawangi oleh penyair Nurel Javissyarqi menerbitkan buku-buku baru. Kebanyakan buku yang diterbitkan adalah buku sastra. Salah satunya adalah Novel Kumala Pusaka Kasih Karya A. Rodhi Murtadho, penulis yang karyanya sudah banyak terjilid dalam buku-buku kumpulan sastra.
Sehabis membaca Novel Kumala Pusaka Kasih tersebut ada beberapa hal yang mengelitik buat saya. Di antaranya alur cerita. Hal tersebut serupa yang diungkap oleh Bambang Kempling sastrawan Lamongan dalam komentarnya di caver belakang buku: “Imajinasi yang kuat bahkan terkadang nyasar ke dalam dunia jungkir balik dengan metafor-metafor yang dapat menjadikan pembaca terperangah….”. Dari kejutan-kejutan yang di hadirkan oleh penulis yang membuat alurnya berbolak-balik. Hal tersebut membuat rasa penasaran menguat. Bagaimana nasib para tokoh dalam kisah novel tersebut.
Selain alur cerita yang menjadi menarik dan dapat dijadikan kajian secara psikologis adalah nasib tokoh-tokoh dalam novel tersebut. Novel ini menceritakan bagaimana kepribadian yang bermuasal dari masa lalu hinggap dalam perjalanan masa-masa ke depan tokoh-tokohnya. Untuk memulai mengungkapnya hasil dari pembacaan, baiknya saya tulisankan puisi yang berjudul “Anak” karya Kahlil Gibran dalam bukunya Sang Nabi:
ANAK
Anak-mu bukan milikmu.
Mereka putera-puteri Sang Hidup
yang rindu pada diri sendiri.
Lewat engkau mereka lahir,
namun tidak dari engkau
Mereka ada padamu, tetapi bukan hakmu.
Berikan mereka kasih sayangmu,
tetapi jangan sodorkan bentuk pikiranmu,
sebab pada mereka ada alam pikiran tersendiri.
Patut kau berikan rumah untuk raganya,
tetapi tidak untuk jiwanya.
Sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan,
yang tiada dapat kaukunjungi, sekalipun dalam impian.
Kau boleh berusaha menyerupai mereka,
namun jangan membuat mereka menyerupaimu.
Sebab kehidupan tidak pernah berjalan mundur,
pun tidak tenggelam di masa lampau.
Kau busur,
dan anak-anakmulah anak panah yang meluncur.
Sang Pemanah maha tahu sasaran bidikan keabadian,
Dia merentangmu dengan kekuasaanNya,
hingga anak panah itu melesat, jauh serta cepat.
Meliuklah dengan sukacita dalam rentangan tangan Sang Pemanah
Sebab Dia mengasihi anak panah yang melesat laksana kilat,
sebagaimana pula dikasihiNya busur yang mantap.
Puisi di atas mengantarkan saya atas pemahaman dari masalah-masalah yang timbul dari konflik-konflik para tokoh. Bahwa ternyata masa kanak adalah masa yang menentukan bagaimana anak tersebut memiliki kepribadian diri di masa depanya. Dalam Novel Kumala Pusaka Kasih, mengisahkan seorang anak yang lahir dari keluarga harmonis pada awalnya tetapi selanjutnya menjadi berantakan. Ketika keharmonisan seorang Bapak dan Ibu tak dirasakannya lagi. Bapak selingkuh dengan sekertarisnya di perusahaan yang dipimpin. Ibu pun tak mau kalah membalas dengan perselingkuhan juga. Namanya anak kecil di ajak ke mana saja sama orang tuanya pasti akan menurut. Yang diinginkan adalah senang dan dapat mainan. Kumajas nama anak itu. Dengan segala ingatan masa lalu yang mempengaruhi kepribadiaannya. Hingga dia bertemu Eliza lalu bersetubuh dengannya. Tetapi tidak hanya bercinta dengan Eliza, Kumajas juga berhubungan badan dengan Hendry teman sekerjanya. Eliza ternyata punya masa lalu yang tidak indah. ketika kecil dia mendapat julukan nonok artinya kemaluan perempuan. Eliza ditinggal oleh bapaknya, sebab itu dia seakan tidak bisa memunculkan rasa hormat pada laki-laki. Dia ingin seperti Ibunya ketika melihat ibunya bercinta sama bapaknya ketika Bapaknya masih ada. Dan Eliza melihat Ibunya mengalahkan Bapaknya hingga tak berdaya.
Tak ubahnya Hendry juga memiliki masa kanak yang aneh. Dia mengidap kleptomani. Yakni mencuri untuk kesenangan meskipun barang yang dicurinya tidak ada guna bagi dirinya. Kedua orang tua Hendry membawa ke psikiater hingga dukun tapi tak ada kesembuhan. Malah paranormal yang hendak menyembuhkan memberikan nasehat, hanya orang tuanya sendiri yang mampu menyembuhkan penyakitnya
.
Masa kecil memberi bekas luka ketika hari telah beranjak dewasa. Saya melihat pada dialog Kumajas pada Ibunya “Lantas, aku meniru siapa? aku berasal dari kalian, kehidupan pertamaku dan mengukirkanku dengan jiwa kalian” (hal 25). Pembrontakan Kumajas adalah bentuk dari pengakuannya bahwa yang menjadikan dirinya begitu adalah masa kanaknya dan yang mengajarkan dirinya tidak bermoral dalah orang tuanya.
Nah, dari situ saya dapat menarik kesimpulan tentang teorinya Sigmund Freud tentang masa-masa dalam pertumbuhan yang berpengaruh dalam kepribadian seseorang. Hal senada juga diungkapkan oleh Supaat I. Lathief penulis buku sastra “Eksistensialisme-Mistisisme Religius” dalam komentarnya atas novel tersebut bahwa novel Kumala Pusaka Kasih berusaha membongkar abnormalitas sex dan kehidupan pribadi kumajas dengan teori Sigmund Freud.
Sebuah karya sastra memang realitas yang hidup. Dihidupi tokoh-tokoh yang bersuara dalam ceritanya. Bisa jadi hal tersebut adalah cermin kondisi yang diamati ataupun dialami penulis. Maka, teks sastra pun dapat dijadikan kajian untuk melihat fenomena-fenomena yang terjadi dalam arus budaya yang terjadi melingkupi penulis. Bisa jadi juga hasil dari perenungan-perenungan penulis yang memunculkan ide dan gagasan-gagasan baru serta memberi petunjuk bagi pembacanya atau bagi ilmuwan sastra ataupun non sastra. Karena ilmu itu holistik tidak parsial. seperti halnya Novel ini, bentuknya sastra yang merangkai fenomena psikologis.
Novel Kumala Pusaka Kasih yang di tulis oleh A. Rodhi Murtadho menarik untuk dibaca dan dijadikan pengayaan kajian psikologi serta maramaikan gerak sastra Indonesia khusunya novel.
Judul: Kumala Pusaka Kasih
Penulis: A. Rodhi Murtadho
Cetakan: I, Februari 2010
Hal : 12 X 19 cm 196 Hlm
Penerbit : PUstaka puJAngga
http://www.sastra-indonesia.com/
Pergerakan sastra di Lamongan cukuplah dinamis. Hal tersebut dapat kita lihat pada agenda-agenda sastra di Lamongan, walaupun menurut pengamatan saya masih belum masif. Tidak hanya agenda sastra, tetapi penerbitan buku menjadi media pembacaan atas dinamisnya sastra di Lamongan. Ada penerbit Pustaka Pujangga, Pustaka Ilalang, LA Rose. Baru-baru saja penerbit Pustaka Pujangga, Penerbit yang digawangi oleh penyair Nurel Javissyarqi menerbitkan buku-buku baru. Kebanyakan buku yang diterbitkan adalah buku sastra. Salah satunya adalah Novel Kumala Pusaka Kasih Karya A. Rodhi Murtadho, penulis yang karyanya sudah banyak terjilid dalam buku-buku kumpulan sastra.
Sehabis membaca Novel Kumala Pusaka Kasih tersebut ada beberapa hal yang mengelitik buat saya. Di antaranya alur cerita. Hal tersebut serupa yang diungkap oleh Bambang Kempling sastrawan Lamongan dalam komentarnya di caver belakang buku: “Imajinasi yang kuat bahkan terkadang nyasar ke dalam dunia jungkir balik dengan metafor-metafor yang dapat menjadikan pembaca terperangah….”. Dari kejutan-kejutan yang di hadirkan oleh penulis yang membuat alurnya berbolak-balik. Hal tersebut membuat rasa penasaran menguat. Bagaimana nasib para tokoh dalam kisah novel tersebut.
Selain alur cerita yang menjadi menarik dan dapat dijadikan kajian secara psikologis adalah nasib tokoh-tokoh dalam novel tersebut. Novel ini menceritakan bagaimana kepribadian yang bermuasal dari masa lalu hinggap dalam perjalanan masa-masa ke depan tokoh-tokohnya. Untuk memulai mengungkapnya hasil dari pembacaan, baiknya saya tulisankan puisi yang berjudul “Anak” karya Kahlil Gibran dalam bukunya Sang Nabi:
ANAK
Anak-mu bukan milikmu.
Mereka putera-puteri Sang Hidup
yang rindu pada diri sendiri.
Lewat engkau mereka lahir,
namun tidak dari engkau
Mereka ada padamu, tetapi bukan hakmu.
Berikan mereka kasih sayangmu,
tetapi jangan sodorkan bentuk pikiranmu,
sebab pada mereka ada alam pikiran tersendiri.
Patut kau berikan rumah untuk raganya,
tetapi tidak untuk jiwanya.
Sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan,
yang tiada dapat kaukunjungi, sekalipun dalam impian.
Kau boleh berusaha menyerupai mereka,
namun jangan membuat mereka menyerupaimu.
Sebab kehidupan tidak pernah berjalan mundur,
pun tidak tenggelam di masa lampau.
Kau busur,
dan anak-anakmulah anak panah yang meluncur.
Sang Pemanah maha tahu sasaran bidikan keabadian,
Dia merentangmu dengan kekuasaanNya,
hingga anak panah itu melesat, jauh serta cepat.
Meliuklah dengan sukacita dalam rentangan tangan Sang Pemanah
Sebab Dia mengasihi anak panah yang melesat laksana kilat,
sebagaimana pula dikasihiNya busur yang mantap.
Puisi di atas mengantarkan saya atas pemahaman dari masalah-masalah yang timbul dari konflik-konflik para tokoh. Bahwa ternyata masa kanak adalah masa yang menentukan bagaimana anak tersebut memiliki kepribadian diri di masa depanya. Dalam Novel Kumala Pusaka Kasih, mengisahkan seorang anak yang lahir dari keluarga harmonis pada awalnya tetapi selanjutnya menjadi berantakan. Ketika keharmonisan seorang Bapak dan Ibu tak dirasakannya lagi. Bapak selingkuh dengan sekertarisnya di perusahaan yang dipimpin. Ibu pun tak mau kalah membalas dengan perselingkuhan juga. Namanya anak kecil di ajak ke mana saja sama orang tuanya pasti akan menurut. Yang diinginkan adalah senang dan dapat mainan. Kumajas nama anak itu. Dengan segala ingatan masa lalu yang mempengaruhi kepribadiaannya. Hingga dia bertemu Eliza lalu bersetubuh dengannya. Tetapi tidak hanya bercinta dengan Eliza, Kumajas juga berhubungan badan dengan Hendry teman sekerjanya. Eliza ternyata punya masa lalu yang tidak indah. ketika kecil dia mendapat julukan nonok artinya kemaluan perempuan. Eliza ditinggal oleh bapaknya, sebab itu dia seakan tidak bisa memunculkan rasa hormat pada laki-laki. Dia ingin seperti Ibunya ketika melihat ibunya bercinta sama bapaknya ketika Bapaknya masih ada. Dan Eliza melihat Ibunya mengalahkan Bapaknya hingga tak berdaya.
Tak ubahnya Hendry juga memiliki masa kanak yang aneh. Dia mengidap kleptomani. Yakni mencuri untuk kesenangan meskipun barang yang dicurinya tidak ada guna bagi dirinya. Kedua orang tua Hendry membawa ke psikiater hingga dukun tapi tak ada kesembuhan. Malah paranormal yang hendak menyembuhkan memberikan nasehat, hanya orang tuanya sendiri yang mampu menyembuhkan penyakitnya
.
Masa kecil memberi bekas luka ketika hari telah beranjak dewasa. Saya melihat pada dialog Kumajas pada Ibunya “Lantas, aku meniru siapa? aku berasal dari kalian, kehidupan pertamaku dan mengukirkanku dengan jiwa kalian” (hal 25). Pembrontakan Kumajas adalah bentuk dari pengakuannya bahwa yang menjadikan dirinya begitu adalah masa kanaknya dan yang mengajarkan dirinya tidak bermoral dalah orang tuanya.
Nah, dari situ saya dapat menarik kesimpulan tentang teorinya Sigmund Freud tentang masa-masa dalam pertumbuhan yang berpengaruh dalam kepribadian seseorang. Hal senada juga diungkapkan oleh Supaat I. Lathief penulis buku sastra “Eksistensialisme-Mistisisme Religius” dalam komentarnya atas novel tersebut bahwa novel Kumala Pusaka Kasih berusaha membongkar abnormalitas sex dan kehidupan pribadi kumajas dengan teori Sigmund Freud.
Sebuah karya sastra memang realitas yang hidup. Dihidupi tokoh-tokoh yang bersuara dalam ceritanya. Bisa jadi hal tersebut adalah cermin kondisi yang diamati ataupun dialami penulis. Maka, teks sastra pun dapat dijadikan kajian untuk melihat fenomena-fenomena yang terjadi dalam arus budaya yang terjadi melingkupi penulis. Bisa jadi juga hasil dari perenungan-perenungan penulis yang memunculkan ide dan gagasan-gagasan baru serta memberi petunjuk bagi pembacanya atau bagi ilmuwan sastra ataupun non sastra. Karena ilmu itu holistik tidak parsial. seperti halnya Novel ini, bentuknya sastra yang merangkai fenomena psikologis.
Novel Kumala Pusaka Kasih yang di tulis oleh A. Rodhi Murtadho menarik untuk dibaca dan dijadikan pengayaan kajian psikologi serta maramaikan gerak sastra Indonesia khusunya novel.
Judul: Kumala Pusaka Kasih
Penulis: A. Rodhi Murtadho
Cetakan: I, Februari 2010
Hal : 12 X 19 cm 196 Hlm
Penerbit : PUstaka puJAngga
TARIAN LANGKAH KECIL
M.D. Atmaja
http://www.sastra-indonesia.com/
Sore, ketika matahari telah mulai menjadi ramah, Lelaki Pendosa melangkah memburu di jalan-jalan padat Kota Tua yang menyimpan jasat para raja-raja. Setelah menggali ke dalam diri, dia menemukan selingkar putih yang memutih dengan satu mata jernih di tengahnya. Sang Lelaki Pendosa memacu langkahnya yang semakin gemetar ketika langit menurunkan jarum-jarum air mata.
“Melambatlah untukku!” bisik si Lelaki Pendosa pada langkah waktu yang berada di depannya, “Aku memohon!” lanjutnya setelah perjalanan waktu tidak juga melambat.
Tiba-tiba saja, si Lelaki Pendosa memacu langkahnya. Semakin cepat untuk mengejar waktu yang berjalan biasa. Namun tidak juga ia mampu untuk mendahului, sampai akhirnya si Lelaki Pendosa pun kini ganti memburu matahari yang akan segera menghilang di balik bumi. Di ufuk barat sana, langit sudah bersemburat merah, dan Lelaki Pendosa terus menerobos kegelapan yang semakin padat membungkus.
Sementara itu, di atas perut si Lelaki Pendosa, melingkar cincin sebuah daging yang halus dengan bulu lembut dan warna alas yang putih kekuningan. Perut yang menahan dentuman lambung yang semakin terasa perih, cincin itu melingkar erat, mendekapnya memberikan kehangatan. Itu lah, lengan si Perempuan Pendoa, yang terseret ketika sang Lelaki Pendosa yang berjalan jauh mengejar matahari yang pulang, mengejar keabadian.
“Aku tahu, Engkau ingin mengujiku!” ucap sang Lelaki Pendosa dalam gumaman, si Perempuan Pendoa melingkarkan tangannya semakin erat, “Dan Engkau pasti juga tahu, aku tidak akan terpatahkan! Tidak akan pernah terpatahkan!” lanjut si Lelaki Pendosa bersamaan dengan senyumannya yang semakin lebar.
“Kumandang Adzan telah selesai, Mas!” ungkap Perempuan Pendoa dari belakang, terdengar seperti bisikan lembut yang mendebarkan.
Tanpa ada perintah, lelaki yang tergesa memburu waktu membelokkan arahnya ke sebuah surau kecil di tepian pantai. Gemuruh ombak Pantai Selatan, mendeburkan pecahan ombak yang menjadikan udara semakin dingin. Di sana mereka berdoa dan kembali kembali melanjutkan perjalanan, menerobos kegelapan malam. Mereka hanya berdua saja. Tidak ada siapa pun di sana, hanya samar-samar, tasbih pohon-pohon pandan bersahutan dengan tasbih ribuan pasir yang terus mengalun dalam deburan ombak yang terus bertasbih. Mengingat atas perjalanan.
Perempuan Pendoa melangkah ringan, mengikuti kekasihnya, si Lelaki Pendosa, mereka berjalan menyongsong kegelapan, menyongsong ombak, menyongsong kesenyapan, sampai bertemu empat tiang dan mereka berdiri di tenganya sebagai satu tiang yang menjadi pusatnya. “Seperti ini kah empat saudara dan satu pusat itu?” gemerisik alam yang menyaksikan keduanya. Lelaki Pendosa, memasukkan tubuh si Perempuan Pendoa ke dalam dirinya. Mereka lalu melangkah kecil di dalam tarian yang tidak biasa.
“Aku ini lelaki yang tidak tahu, bagaimana musti mencari keindahan agar engkau bahagia. Aku tidak mampu untuk menyusur setiap jalan dan mempersembahkan keindahan itu untukmu!” ungkap si Lelaki Pendosa dalam gerak lambat yang berirama sementara Perempuan Pendoa semakin masuk ke dalam.
“Tidak perlu seperti itu!” ungkap Perempuan Pendoa pelan.
“Tapi, aku mencoba mencari ke dalam diri, di sana ada apa untuk kupersembahkan padamu.” Lelaki Pendosa melepaskan genggaman dan menatap kekasihnya sambil berdiri dengan dua lututnya, si Perempuan Pendoa terduduk di depannya, “Aku tidak tahu, apakah ini akan berharga buatmu. Tidak seberapa, tapi ini adalah ketulusanku akan cintaku padamu!” ungkap si Lelaki Pendosa memberikan selingkar cincin bermata satu, “Ini lah maharku untuk menikahi jiwamu!”
Perempuan Pendoa tersenyum lalu menghambur ke dalam pelukan Lelaki Pendosa. “Jiwaku menari, jiwaku bernyanyi tentang cinta purba yang bergejolak di dalam dada, cinta yang teruntukmu, kekasihku!” ungkap si Lelaki Pendosa pelan dan Perempuan Pendoa mempererat pelukannya, tanpa kata-kata.
Setelah itu, mereka pun menari di bawah cahaya bulan yang semakin terang, dengan iringan debur ombak yang mengalun syahdu, di atas pasir yang merapat karena kehangatan cinta mereka berdua. Kesucian cinta antara Lelaki Pendosa dan Perempuan Pendoa, yang bertemu dalam misterinya yang tersendiri: Takdir!
http://www.sastra-indonesia.com/
Sore, ketika matahari telah mulai menjadi ramah, Lelaki Pendosa melangkah memburu di jalan-jalan padat Kota Tua yang menyimpan jasat para raja-raja. Setelah menggali ke dalam diri, dia menemukan selingkar putih yang memutih dengan satu mata jernih di tengahnya. Sang Lelaki Pendosa memacu langkahnya yang semakin gemetar ketika langit menurunkan jarum-jarum air mata.
“Melambatlah untukku!” bisik si Lelaki Pendosa pada langkah waktu yang berada di depannya, “Aku memohon!” lanjutnya setelah perjalanan waktu tidak juga melambat.
Tiba-tiba saja, si Lelaki Pendosa memacu langkahnya. Semakin cepat untuk mengejar waktu yang berjalan biasa. Namun tidak juga ia mampu untuk mendahului, sampai akhirnya si Lelaki Pendosa pun kini ganti memburu matahari yang akan segera menghilang di balik bumi. Di ufuk barat sana, langit sudah bersemburat merah, dan Lelaki Pendosa terus menerobos kegelapan yang semakin padat membungkus.
Sementara itu, di atas perut si Lelaki Pendosa, melingkar cincin sebuah daging yang halus dengan bulu lembut dan warna alas yang putih kekuningan. Perut yang menahan dentuman lambung yang semakin terasa perih, cincin itu melingkar erat, mendekapnya memberikan kehangatan. Itu lah, lengan si Perempuan Pendoa, yang terseret ketika sang Lelaki Pendosa yang berjalan jauh mengejar matahari yang pulang, mengejar keabadian.
“Aku tahu, Engkau ingin mengujiku!” ucap sang Lelaki Pendosa dalam gumaman, si Perempuan Pendoa melingkarkan tangannya semakin erat, “Dan Engkau pasti juga tahu, aku tidak akan terpatahkan! Tidak akan pernah terpatahkan!” lanjut si Lelaki Pendosa bersamaan dengan senyumannya yang semakin lebar.
“Kumandang Adzan telah selesai, Mas!” ungkap Perempuan Pendoa dari belakang, terdengar seperti bisikan lembut yang mendebarkan.
Tanpa ada perintah, lelaki yang tergesa memburu waktu membelokkan arahnya ke sebuah surau kecil di tepian pantai. Gemuruh ombak Pantai Selatan, mendeburkan pecahan ombak yang menjadikan udara semakin dingin. Di sana mereka berdoa dan kembali kembali melanjutkan perjalanan, menerobos kegelapan malam. Mereka hanya berdua saja. Tidak ada siapa pun di sana, hanya samar-samar, tasbih pohon-pohon pandan bersahutan dengan tasbih ribuan pasir yang terus mengalun dalam deburan ombak yang terus bertasbih. Mengingat atas perjalanan.
Perempuan Pendoa melangkah ringan, mengikuti kekasihnya, si Lelaki Pendosa, mereka berjalan menyongsong kegelapan, menyongsong ombak, menyongsong kesenyapan, sampai bertemu empat tiang dan mereka berdiri di tenganya sebagai satu tiang yang menjadi pusatnya. “Seperti ini kah empat saudara dan satu pusat itu?” gemerisik alam yang menyaksikan keduanya. Lelaki Pendosa, memasukkan tubuh si Perempuan Pendoa ke dalam dirinya. Mereka lalu melangkah kecil di dalam tarian yang tidak biasa.
“Aku ini lelaki yang tidak tahu, bagaimana musti mencari keindahan agar engkau bahagia. Aku tidak mampu untuk menyusur setiap jalan dan mempersembahkan keindahan itu untukmu!” ungkap si Lelaki Pendosa dalam gerak lambat yang berirama sementara Perempuan Pendoa semakin masuk ke dalam.
“Tidak perlu seperti itu!” ungkap Perempuan Pendoa pelan.
“Tapi, aku mencoba mencari ke dalam diri, di sana ada apa untuk kupersembahkan padamu.” Lelaki Pendosa melepaskan genggaman dan menatap kekasihnya sambil berdiri dengan dua lututnya, si Perempuan Pendoa terduduk di depannya, “Aku tidak tahu, apakah ini akan berharga buatmu. Tidak seberapa, tapi ini adalah ketulusanku akan cintaku padamu!” ungkap si Lelaki Pendosa memberikan selingkar cincin bermata satu, “Ini lah maharku untuk menikahi jiwamu!”
Perempuan Pendoa tersenyum lalu menghambur ke dalam pelukan Lelaki Pendosa. “Jiwaku menari, jiwaku bernyanyi tentang cinta purba yang bergejolak di dalam dada, cinta yang teruntukmu, kekasihku!” ungkap si Lelaki Pendosa pelan dan Perempuan Pendoa mempererat pelukannya, tanpa kata-kata.
Setelah itu, mereka pun menari di bawah cahaya bulan yang semakin terang, dengan iringan debur ombak yang mengalun syahdu, di atas pasir yang merapat karena kehangatan cinta mereka berdua. Kesucian cinta antara Lelaki Pendosa dan Perempuan Pendoa, yang bertemu dalam misterinya yang tersendiri: Takdir!
Senin, 14 Juni 2010
Soe Hok-gie, Inspirator Kaum Muda
Judul Buku : SOE HOK-GIE…Sekali Lagi, Buku Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya
Penulis : Rudy Badil, dkk
Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Cetakan : Pertama, Desember 2009
Tebal : xl + 512 Halaman
Harga : Rp. 50.000
Peresensi : A Qorib Hidayatullah
http://indonimut.blogspot.com/
Meski Soe Hok-gie mangkat di usia muda (27), banyak teladan perjuangannya yang perlu kita warisi. Hok-gie pemuda energik jebolan Fakultas Sastra Universitas Indonesia (kini Fakultas Ilmu Budaya UI) yang kritis atas kebijakan-kebijakan politik rezim Orde Lama.
Di tengah kecintaannya mendaki gunung, Hok gie meninggal pada 16 Desember 1969 di gunung Semeru Jawa Timur. Mula-mula, ia bersama 7 orang temannya dari Jakarta hendak mencicipi eksotisme Gunung Semeru. Tak ayal, 2 orang (Soe Hok-gie dan Idhan Dhanvantari Lubis) dari rombongan tersebut meninggal disebabkan hipotermia dan kekurangan oksigen di ketinggian 3.400 meter di puncak Mahameru.
Hok-gie merupakan ikon pelopor pergerakan mahasiswa. Di tahun 60-an, Hok-gie ditengarai kritis terhadap rezim Orde Lama lewat tulisannya. Hok-gie selain demonstran jalanan, ia juga kolomnis di beberapa media. Tulisan dijadikan Hok-gie sebagai senjata kritik terhadap rezim penguasa waktu itu. Suatu ketika, Hok-gie mengirim surat kepada Benedict Anderson, “Saya merasa semua yang saya tulis dalam artikel-artikel saya adalah sejumput petasan. Dan saya ingin mengisi semuanya dengan bom!.”
Buku ini mengungkap kembali perjuangan-perjuangan Hok-gie yang tampak luar biasa. Di bab-bab awal tulisan yang terangkum di buku ini memaparkan kegemaran Hok-gie mendaki gunung. Kawan-kawan Hok-gie (Rudy Badil, Herman O Lantang, Luki Sutrisno Bekti, Nessy Luntungan R, dan lain-lain) membuka ingatan kembali mengenang antusiasme Hok-gie pada alam 40 tahun silam.
Kecintaan Hok-gie pada keindahan alam pegunungan bukan tanpa alasan. Hok-gie mendaki gunung sebab ia ingin mendapat ketenangan di tengah carut marut politik dan menguatnya kediktatoran Orde Lama.
Sikap kritis Hok-gie dipraktikkan secara konkret. Ia memisahkan sosok Soekarno sebagai pribadi dan Soekarno sebagai Kepala Negara. Dia tak menyembunyikan rasa simpatinya terhadap Bung Karno yang dikucilkan pasca makzul dari kekuasaannya. Sikap itu, Hok-gie tegaskan dalam berbagai pernyataan atau artikel yang dimuat Kompas, Sinar Harapan, atau Mingguan Mahasiswa Indonesia (hlm. xxvi).
Di bab-bab akhir buku setebal 512 halaman ini membeberkan kekritisan Hok-gie yang menyala-nyala. Hok-gie adalah mahasiswa yang mengusung nilai-nilai idealisme murni. Ia penganut paham humanis universal dalam pergerakannya. Sebagai moralis, Hok-gie tak mau akrab dan mengabdi di bawah kekuasaan Orde Lama. Kendati pun ada kawan-kawan seangkatannya yang memilih jadi anggota DPR, Hok-gie malah membuat jarak dengan mereka.
Selain cinta alam, Hok-gie gemar diskusi. Di kampus, Hok-gie menggawangi diskusi-diskusi kritis tentang politik, sosial, sejarah, dan sastra. Tradisi membaca Hok-gie sangatlah kuat. Al-hasil, ia kerapkali dijuluki oleh teman-temannya sebagai perpustakaan berjalan.
Membaca buku ini menghantarkan pada kompleksitas diri Hok-gie. Hok-gie tak hanya lihai berdemonstrasi, ia juga merayakan pesta dan cintanya. Sungguh Hok-gie inspirator bagi kaum muda.
Penulis : Rudy Badil, dkk
Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Cetakan : Pertama, Desember 2009
Tebal : xl + 512 Halaman
Harga : Rp. 50.000
Peresensi : A Qorib Hidayatullah
http://indonimut.blogspot.com/
Meski Soe Hok-gie mangkat di usia muda (27), banyak teladan perjuangannya yang perlu kita warisi. Hok-gie pemuda energik jebolan Fakultas Sastra Universitas Indonesia (kini Fakultas Ilmu Budaya UI) yang kritis atas kebijakan-kebijakan politik rezim Orde Lama.
Di tengah kecintaannya mendaki gunung, Hok gie meninggal pada 16 Desember 1969 di gunung Semeru Jawa Timur. Mula-mula, ia bersama 7 orang temannya dari Jakarta hendak mencicipi eksotisme Gunung Semeru. Tak ayal, 2 orang (Soe Hok-gie dan Idhan Dhanvantari Lubis) dari rombongan tersebut meninggal disebabkan hipotermia dan kekurangan oksigen di ketinggian 3.400 meter di puncak Mahameru.
Hok-gie merupakan ikon pelopor pergerakan mahasiswa. Di tahun 60-an, Hok-gie ditengarai kritis terhadap rezim Orde Lama lewat tulisannya. Hok-gie selain demonstran jalanan, ia juga kolomnis di beberapa media. Tulisan dijadikan Hok-gie sebagai senjata kritik terhadap rezim penguasa waktu itu. Suatu ketika, Hok-gie mengirim surat kepada Benedict Anderson, “Saya merasa semua yang saya tulis dalam artikel-artikel saya adalah sejumput petasan. Dan saya ingin mengisi semuanya dengan bom!.”
Buku ini mengungkap kembali perjuangan-perjuangan Hok-gie yang tampak luar biasa. Di bab-bab awal tulisan yang terangkum di buku ini memaparkan kegemaran Hok-gie mendaki gunung. Kawan-kawan Hok-gie (Rudy Badil, Herman O Lantang, Luki Sutrisno Bekti, Nessy Luntungan R, dan lain-lain) membuka ingatan kembali mengenang antusiasme Hok-gie pada alam 40 tahun silam.
Kecintaan Hok-gie pada keindahan alam pegunungan bukan tanpa alasan. Hok-gie mendaki gunung sebab ia ingin mendapat ketenangan di tengah carut marut politik dan menguatnya kediktatoran Orde Lama.
Sikap kritis Hok-gie dipraktikkan secara konkret. Ia memisahkan sosok Soekarno sebagai pribadi dan Soekarno sebagai Kepala Negara. Dia tak menyembunyikan rasa simpatinya terhadap Bung Karno yang dikucilkan pasca makzul dari kekuasaannya. Sikap itu, Hok-gie tegaskan dalam berbagai pernyataan atau artikel yang dimuat Kompas, Sinar Harapan, atau Mingguan Mahasiswa Indonesia (hlm. xxvi).
Di bab-bab akhir buku setebal 512 halaman ini membeberkan kekritisan Hok-gie yang menyala-nyala. Hok-gie adalah mahasiswa yang mengusung nilai-nilai idealisme murni. Ia penganut paham humanis universal dalam pergerakannya. Sebagai moralis, Hok-gie tak mau akrab dan mengabdi di bawah kekuasaan Orde Lama. Kendati pun ada kawan-kawan seangkatannya yang memilih jadi anggota DPR, Hok-gie malah membuat jarak dengan mereka.
Selain cinta alam, Hok-gie gemar diskusi. Di kampus, Hok-gie menggawangi diskusi-diskusi kritis tentang politik, sosial, sejarah, dan sastra. Tradisi membaca Hok-gie sangatlah kuat. Al-hasil, ia kerapkali dijuluki oleh teman-temannya sebagai perpustakaan berjalan.
Membaca buku ini menghantarkan pada kompleksitas diri Hok-gie. Hok-gie tak hanya lihai berdemonstrasi, ia juga merayakan pesta dan cintanya. Sungguh Hok-gie inspirator bagi kaum muda.
Perjalanan 70 Tahun Sapardi Djoko Damono
Nurdin Kalim
http://www.tempointeraktif.com/
Sapardi Djoko Damono – lahir di Solo, Jawa Tengah, 20 Maret 1940 – adalah salah seorang penyair terbaik yang dimiliki Indonesia. Dengan karir yang panjang sebagai penyair, penerjemah, redaktur, dan pengajar sastra, Sapardi telah melahirkan banyak karya, murid, maupun peniru, yang tersebar di pelbagai penjuru.
Sajak-sajaknya, yang sederhana dan jernih namun menyimpan kedalaman tak terduga, telah menjadi suara tersendiri dan memberi corak baru dalam khasanah puisi Indonesia.
Sebagai sastrawan Sapardi Djoko Damono telah berjalan jauh. Berikut kisah perjalanan sang sastrawan:
Sejak di sekolah dasar, Sapardi sudah suka membaca karya sastra, termasuk sajak-sajak penyair nasional dan dunia. Dari sinilah minatnya kepada puisi muncul. Apalagi, setelah bersama keluarganya pindah dari tengah kota yang ramai ke pinggiran kota Solo yang sepi, ia punya banyak waktu luang karena tak memiliki teman. Sejak kelas II SMA itulah ia mulai menulis puisi – padahal ia harus belajar keras karena sedang menghadapi ujian kenaikan kelas.
“Saya masih ingat betul, bagaimana saya harus menyembunyikan puisi yang saya buat di bawah buku, bila ayah datang dan melihat saya belajar,” ujar si sulung dua bersaudara ini. Walau masih pemula, Sapardi mengirimkan puisi-puisinya ke majalah sastra. Karya pertamanya dimuat di Post Minggu, Semarang, Desember 1957. Selanjutnya puisi-puisinya menghiasi media Ibu Kota, termasuk majalah Mimbar Indonesia pimpinan H.B. Jassin, sang “paus” sastra Indonesia.
Cucu abdi dalem Keraton Surakarta, yang gemar membuat wayang kulit, ini belakangan menjadi salah-satu penyair terkemuka Indonesia. Melalui kumpulan puisinya, Sihir Hujan, yang memuat 51 sajak, Sapardi menerima anugerah “Puisi Putra II” dari Gabungan Persatuan Penulis Nasional (Gapena) Malaysia, 1983. Wardiningsih—bekas adik kelasnya di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, yang dinikahi pada pada 1965—ikut dalam penerimaan hadiah itu, walau sebelumnya ia tak pernah mau diajak menghadiri acara sastra karena memang tak suka sastra.
Beruntung Sapardi masuk Jurusan Sastra Barat UGM. “Karena, dengan penguasaan bahasa itu, saya langsung bisa menikmati dan berhubungan dengan sastra asing,” katanya. Kegiatannya di seputar kesenian, teater mahasiswa, musik, mengisi acara sastra RRI, cukup mendukung proses kreatifnya. “Saat itu saya juga sering keliling daerah untuk bermain sandiwara,” ujarnya.
Sapardi pernah bergabung dengan beberapa grup teater, antara lain, Bengkel Teater pimpinan Rendra. Bahkan, untuk membiayai pementasan, ia pernah menggadaikan sepedanya. Ia pun masih sempat menerjemahkan sajak-sajak Yunani, Cina, Rusia. Karena itu, “Saya tidak ada waktu untuk hal yang aneh-aneh.”
Begitu lulus UGM pada 1964, ia mengajar di IKIP Malang cabang Madiun, Jawa Timur, selama empat tahun, dilanjutkan di Universitas Diponegoro Semarang, Jawa Tengah, juga empat tahun. Sejak 1974, Sapardi mengajar di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Sebagai dosen yang sastrawan, Sapardi merasa lebih santai, misalnya, sering mengenakan celana jins. “Saya selalu pakai sepatu sandal kalau mengajar,” katanya. Kalau telat menghadiri rapat, “Orang-orang jadi memaklumi karena mereka anggap sastrawan identik dengan ketidakteraturan,” ujarnya, tertawa.
Baginya menulis puisi itu seperti orang melukis. Seperti coretan demi coretan bagi pelukis, ia menyusun kata demi kata sampai susunan huruf atau kata itu menjadi bermakna. Selanjutnya, Sapardi menyerahkan kepada pembaca untuk memaknai sendiri. “Saya membuat puisi itu bukan untuk menyampaikan suatu pesan atau apa pun,” kata penyair yang salah satu sajaknya, Berjalan Ke Barat Waktu Pagi Hari dimuat dalam antologi puisi dunia.
Penyair yang pernah kuliah di Universitas Hawaii, Honolulu, Amerika Serikat ini sudah menjelajah ke pelbagai negara untuk mengikuti festival puisi. “Benua yang belum pernah saya kunjungi hanya Afrika,” tuturnya. Ia melihat, pembacaan puisi di banyak negara belum sepopuler di Indonesia. “Waktu pementasan festival puisi di Tokyo, yang menonton tidak lebih dari 30 orang,” katanya.
Sapardi juga menulis buku ilmiah. Di antaranya Sosiologi Sastra, Sebuah Pengantar Ringkas (1978), Novel Indonesia Sebelum Perang (1979, dan Sastra Indonesia Modern: Beberapa Catatan (1983).
Di waktu luang, ia mendengarkan musik. Koleksinya cukup lengkap: dari jazz sampai dangdut. Olahraganya senam ringan, yang penting baginya dapat mengeluarkan keringat. “Kalau orang seperti saya ini kan sudah tidak perlu lagi olahraga yang membentuk otot,” ujarnya.
(Nurdin Kalim/PDAT)
Karya-Karya Sapardi Djoko Damono:
Kumpulan Puisi/Prosa:
Duka-Mu Abadi, Bandung (1969)
Lelaki Tua dan Laut (1973; terjemahan karya Ernest Hemingway)
Mata Pisau (1974)
Sepilihan Sajak George Seferis (1975; terjemahan karya George Seferis)
Puisi Klasik Cina (1976; terjemahan)
Lirik Klasik Parsi (1977; terjemahan)
Dongeng-dongeng Asia untuk Anak-anak (1982, Pustaka Jaya)
Perahu Kertas (1983)
Sihir Hujan (1984; mendapat penghargaan Puisi Putera II di Malaysia)
Water Color Poems (1986; translated by J.H. McGlynn)
Suddenly the night: the poetry of Sapardi Djoko Damono (1988; translated by J.H. McGlynn)
Afrika yang Resah (1988; terjemahan)
Mendorong Jack Kuntikunti: Sepilihan Sajak dari Australia (1991; antologi sajak Australia, dikerjakan bersama R:F: Brissenden dan David Broks)
Hujan Bulan Juni (1994)
Black Magic Rain (translated by Harry G. Aveling)
Arloji (1998)
Ayat-ayat Api (2000)
Pengarang Telah Mati (2001; kumpulan cerpen)
Mata Jendela (2002)
Ada Berita Apa hari ini, Den Sastro? (2002)
Membunuh Orang Gila” (2003; kumpulan cerpen)
Nona Koelit Koetjing: Antologi cerita pendek Indonesia periode awal (1870an - 1910an)” (2005; salah seorang penyusun)
Mantra Orang Jawa (2005; puitisasi mantera tradisional Jawa dalam bahasa Indonesia)
Kolam (2009; kumpulan puisi)
Sapardi juga menerjemahkan beberapa karya Kahlil Gibran dan Jalaluddin Rumi ke dalam bahasa Indonesia.
Musikalisasi Puisi
Musikalisasi puisi karya Sapardi dimulai pada 1987, saat beberapa mahasiswanya membantu program Pusat Bahasa membuat musikalisasi puisi karya beberapa penyair Indonesia. Tujuannya , untuk mengapresiasikan sastra kepada siswa SLTA.
Saat itulah tercipta musikalisasi Aku Ingin oleh Ags. Arya Dipayana dan Hujan Bulan Juni oleh H. Umar Muslim. Dalam perjalanannya, Aku Ingin diaransemen ulang oleh Dwiki Dharmawan dan menjadi bagian dari soundtrack film Cinta dalam Sepotong Roti (1991), dibawakan oleh Ratna Octaviani.
Setelah itu lahirlah album Hujan Bulan Juni (1990), yang seluruhnya merupakan musikalisasi dari sajak-sajak Sapardi Djoko Damono. Duet Reda Gaudiamo – Ari Malibu dan sejumlah penyanyi lain yang memiankannya. Album Hujan Dalam Komposisi menyusul dirilis pada 1996.
Karena banyaknya permintaan, pada 2006 dirilis Album Gadis Kecil. Album itu diprakarsai oleh duet Dua Ibu, yang terdiri dari Reda Gaudiamo dan Tatyana. Setahun kemudian dirilis album musikalisasi puisi Becoming Dew oleh duet Reda – Ari Malibu.
Pada Tahun Baru 2008, pianis Ananda Sukarlan menggelar konser kantata Ars Amatoria, yang berisi interpretasinya atas puisi-puisi Sapardi serta karya beberapa penyair lain.
Buku
Sastra Lisan Indonesia (1983), ditulis bersama Subagio Sastrowardoyo dan A. Kasim Achmad. Seri Bunga Rampai Sastra ASEAN.
Puisi Indonesia Sebelum Kemerdekaan
Dimensi Mistik dalam Islam (1986), terjemahan karya Annemarie Schimmel “Mystical Dimension of Islam”, salah seorang penulis.
Jejak Realisme dalam Sastra Indonesia (2004), salah seorang penulis.
Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas (1978).
Politik ideologi dan sastra hibrida (1999).
Pegangan Penelitian Sastra Bandingan (2005).
Babad Tanah Jawi (2005; penyunting bersama Sonya Sondakh, terjemahan bahasa Indonesia dari versi bahasa Jawa karya Yasadipura, Balai Pustaka 1939).
(Nurdin Kalim/Pelbagai Sumber)
http://www.tempointeraktif.com/
Sapardi Djoko Damono – lahir di Solo, Jawa Tengah, 20 Maret 1940 – adalah salah seorang penyair terbaik yang dimiliki Indonesia. Dengan karir yang panjang sebagai penyair, penerjemah, redaktur, dan pengajar sastra, Sapardi telah melahirkan banyak karya, murid, maupun peniru, yang tersebar di pelbagai penjuru.
Sajak-sajaknya, yang sederhana dan jernih namun menyimpan kedalaman tak terduga, telah menjadi suara tersendiri dan memberi corak baru dalam khasanah puisi Indonesia.
Sebagai sastrawan Sapardi Djoko Damono telah berjalan jauh. Berikut kisah perjalanan sang sastrawan:
Sejak di sekolah dasar, Sapardi sudah suka membaca karya sastra, termasuk sajak-sajak penyair nasional dan dunia. Dari sinilah minatnya kepada puisi muncul. Apalagi, setelah bersama keluarganya pindah dari tengah kota yang ramai ke pinggiran kota Solo yang sepi, ia punya banyak waktu luang karena tak memiliki teman. Sejak kelas II SMA itulah ia mulai menulis puisi – padahal ia harus belajar keras karena sedang menghadapi ujian kenaikan kelas.
“Saya masih ingat betul, bagaimana saya harus menyembunyikan puisi yang saya buat di bawah buku, bila ayah datang dan melihat saya belajar,” ujar si sulung dua bersaudara ini. Walau masih pemula, Sapardi mengirimkan puisi-puisinya ke majalah sastra. Karya pertamanya dimuat di Post Minggu, Semarang, Desember 1957. Selanjutnya puisi-puisinya menghiasi media Ibu Kota, termasuk majalah Mimbar Indonesia pimpinan H.B. Jassin, sang “paus” sastra Indonesia.
Cucu abdi dalem Keraton Surakarta, yang gemar membuat wayang kulit, ini belakangan menjadi salah-satu penyair terkemuka Indonesia. Melalui kumpulan puisinya, Sihir Hujan, yang memuat 51 sajak, Sapardi menerima anugerah “Puisi Putra II” dari Gabungan Persatuan Penulis Nasional (Gapena) Malaysia, 1983. Wardiningsih—bekas adik kelasnya di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, yang dinikahi pada pada 1965—ikut dalam penerimaan hadiah itu, walau sebelumnya ia tak pernah mau diajak menghadiri acara sastra karena memang tak suka sastra.
Beruntung Sapardi masuk Jurusan Sastra Barat UGM. “Karena, dengan penguasaan bahasa itu, saya langsung bisa menikmati dan berhubungan dengan sastra asing,” katanya. Kegiatannya di seputar kesenian, teater mahasiswa, musik, mengisi acara sastra RRI, cukup mendukung proses kreatifnya. “Saat itu saya juga sering keliling daerah untuk bermain sandiwara,” ujarnya.
Sapardi pernah bergabung dengan beberapa grup teater, antara lain, Bengkel Teater pimpinan Rendra. Bahkan, untuk membiayai pementasan, ia pernah menggadaikan sepedanya. Ia pun masih sempat menerjemahkan sajak-sajak Yunani, Cina, Rusia. Karena itu, “Saya tidak ada waktu untuk hal yang aneh-aneh.”
Begitu lulus UGM pada 1964, ia mengajar di IKIP Malang cabang Madiun, Jawa Timur, selama empat tahun, dilanjutkan di Universitas Diponegoro Semarang, Jawa Tengah, juga empat tahun. Sejak 1974, Sapardi mengajar di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Sebagai dosen yang sastrawan, Sapardi merasa lebih santai, misalnya, sering mengenakan celana jins. “Saya selalu pakai sepatu sandal kalau mengajar,” katanya. Kalau telat menghadiri rapat, “Orang-orang jadi memaklumi karena mereka anggap sastrawan identik dengan ketidakteraturan,” ujarnya, tertawa.
Baginya menulis puisi itu seperti orang melukis. Seperti coretan demi coretan bagi pelukis, ia menyusun kata demi kata sampai susunan huruf atau kata itu menjadi bermakna. Selanjutnya, Sapardi menyerahkan kepada pembaca untuk memaknai sendiri. “Saya membuat puisi itu bukan untuk menyampaikan suatu pesan atau apa pun,” kata penyair yang salah satu sajaknya, Berjalan Ke Barat Waktu Pagi Hari dimuat dalam antologi puisi dunia.
Penyair yang pernah kuliah di Universitas Hawaii, Honolulu, Amerika Serikat ini sudah menjelajah ke pelbagai negara untuk mengikuti festival puisi. “Benua yang belum pernah saya kunjungi hanya Afrika,” tuturnya. Ia melihat, pembacaan puisi di banyak negara belum sepopuler di Indonesia. “Waktu pementasan festival puisi di Tokyo, yang menonton tidak lebih dari 30 orang,” katanya.
Sapardi juga menulis buku ilmiah. Di antaranya Sosiologi Sastra, Sebuah Pengantar Ringkas (1978), Novel Indonesia Sebelum Perang (1979, dan Sastra Indonesia Modern: Beberapa Catatan (1983).
Di waktu luang, ia mendengarkan musik. Koleksinya cukup lengkap: dari jazz sampai dangdut. Olahraganya senam ringan, yang penting baginya dapat mengeluarkan keringat. “Kalau orang seperti saya ini kan sudah tidak perlu lagi olahraga yang membentuk otot,” ujarnya.
(Nurdin Kalim/PDAT)
Karya-Karya Sapardi Djoko Damono:
Kumpulan Puisi/Prosa:
Duka-Mu Abadi, Bandung (1969)
Lelaki Tua dan Laut (1973; terjemahan karya Ernest Hemingway)
Mata Pisau (1974)
Sepilihan Sajak George Seferis (1975; terjemahan karya George Seferis)
Puisi Klasik Cina (1976; terjemahan)
Lirik Klasik Parsi (1977; terjemahan)
Dongeng-dongeng Asia untuk Anak-anak (1982, Pustaka Jaya)
Perahu Kertas (1983)
Sihir Hujan (1984; mendapat penghargaan Puisi Putera II di Malaysia)
Water Color Poems (1986; translated by J.H. McGlynn)
Suddenly the night: the poetry of Sapardi Djoko Damono (1988; translated by J.H. McGlynn)
Afrika yang Resah (1988; terjemahan)
Mendorong Jack Kuntikunti: Sepilihan Sajak dari Australia (1991; antologi sajak Australia, dikerjakan bersama R:F: Brissenden dan David Broks)
Hujan Bulan Juni (1994)
Black Magic Rain (translated by Harry G. Aveling)
Arloji (1998)
Ayat-ayat Api (2000)
Pengarang Telah Mati (2001; kumpulan cerpen)
Mata Jendela (2002)
Ada Berita Apa hari ini, Den Sastro? (2002)
Membunuh Orang Gila” (2003; kumpulan cerpen)
Nona Koelit Koetjing: Antologi cerita pendek Indonesia periode awal (1870an - 1910an)” (2005; salah seorang penyusun)
Mantra Orang Jawa (2005; puitisasi mantera tradisional Jawa dalam bahasa Indonesia)
Kolam (2009; kumpulan puisi)
Sapardi juga menerjemahkan beberapa karya Kahlil Gibran dan Jalaluddin Rumi ke dalam bahasa Indonesia.
Musikalisasi Puisi
Musikalisasi puisi karya Sapardi dimulai pada 1987, saat beberapa mahasiswanya membantu program Pusat Bahasa membuat musikalisasi puisi karya beberapa penyair Indonesia. Tujuannya , untuk mengapresiasikan sastra kepada siswa SLTA.
Saat itulah tercipta musikalisasi Aku Ingin oleh Ags. Arya Dipayana dan Hujan Bulan Juni oleh H. Umar Muslim. Dalam perjalanannya, Aku Ingin diaransemen ulang oleh Dwiki Dharmawan dan menjadi bagian dari soundtrack film Cinta dalam Sepotong Roti (1991), dibawakan oleh Ratna Octaviani.
Setelah itu lahirlah album Hujan Bulan Juni (1990), yang seluruhnya merupakan musikalisasi dari sajak-sajak Sapardi Djoko Damono. Duet Reda Gaudiamo – Ari Malibu dan sejumlah penyanyi lain yang memiankannya. Album Hujan Dalam Komposisi menyusul dirilis pada 1996.
Karena banyaknya permintaan, pada 2006 dirilis Album Gadis Kecil. Album itu diprakarsai oleh duet Dua Ibu, yang terdiri dari Reda Gaudiamo dan Tatyana. Setahun kemudian dirilis album musikalisasi puisi Becoming Dew oleh duet Reda – Ari Malibu.
Pada Tahun Baru 2008, pianis Ananda Sukarlan menggelar konser kantata Ars Amatoria, yang berisi interpretasinya atas puisi-puisi Sapardi serta karya beberapa penyair lain.
Buku
Sastra Lisan Indonesia (1983), ditulis bersama Subagio Sastrowardoyo dan A. Kasim Achmad. Seri Bunga Rampai Sastra ASEAN.
Puisi Indonesia Sebelum Kemerdekaan
Dimensi Mistik dalam Islam (1986), terjemahan karya Annemarie Schimmel “Mystical Dimension of Islam”, salah seorang penulis.
Jejak Realisme dalam Sastra Indonesia (2004), salah seorang penulis.
Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas (1978).
Politik ideologi dan sastra hibrida (1999).
Pegangan Penelitian Sastra Bandingan (2005).
Babad Tanah Jawi (2005; penyunting bersama Sonya Sondakh, terjemahan bahasa Indonesia dari versi bahasa Jawa karya Yasadipura, Balai Pustaka 1939).
(Nurdin Kalim/Pelbagai Sumber)
Bangkit dari Bencana Bersama Kebudayaan
Triyanto Triwikromo
http://www.suaramerdeka.com/
Bencana -sepanjang 2006- agaknya menjadi hantu yang menebarkan rasa takut kepada siapa pun di negeri ini. Pada 27 Mei, misalnya, gempa berkekuatan 5,9 skala Richter telah membuat berbagai tempat di Jawa Tengah dan Yogyakarta luluh lantak.
Rumah-rumah dan gedung-gedung perkantoran roboh. Penduduk kalang kabut. Sebagian meninggal. Sebagian bertahan meneruskan kehidupan dalam kesedihan.
Air mata belum mengering, pada 28 Mei, lumpur panas disertai gas beracun menyembur di dekat sumur gas milik PT Lapindo Brantas Inc di Desa Renokenongo, Porong, Sidoarjo. Lumpur menggenangi permukiman penduduk, sawah, ladang, kawasan industri, dan jalan tol. Diduga hal ini terjadi karena Lapindo abai memasang selubung bor (casing) yang harusnya dipasang pada kedalaman 8.500 kaki atau sekitar 2.590 meter, di bawah permukaan tanah. Casing ini berfungsi untuk mengantisipasi potensi kemenghilangan sirkulasi lumpur dan tendangan balik yang memuntahkan lumpur ke atas.
Bukan hanya itu. Pada 20 November angin ribut menghajar Desa Kauman Kecamatan Kemusu, Boyolali. Ada yang terluka, 14 rumah dan sekolah roboh, serta 327 rumah rusak ringan. Malah pada hari sama di Kecamatan Sumberlawang, Sragen, 4 rumah roboh. Sebelumnya, mulai Januari, angin ribut juga menumbangkan berbagai sendi kehidupan di Jawa Tengah.
Tentu di luar itu kerusuhan di Poso sejak 9 Januari saat bom meledak di depan pintu gerbang Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) Sion Poso hingga 29 September ketika ratusan orang menyerang Markas Polsek Pamona Timur, serta 16 Oktober saat pejabat Ketua Majelis Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) Pendeta Irianto Kongkoli tewas, terus saja melukai rasa keamanan dan ketenteraman warga.
Bencana Lain
Itu hanya sedikit contoh dari bencana-bencana yang bersifat fisik. Menurut pendapat Sutanto, budayawan dari Mendut, Magelang, bencana lain yang kita alami lebih dahsyat lagi.
Ada bencana moral -semisal kasus Yahya Zaini dan Maria Eva, Aa Gym, Lidya Pratiwi, atau Alda- yang belum terpecahkan penyelesaiannya. Ada bencana sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan yang racunnya telah menebar sebagai virus. Ada juga penghinaan terhadap perempuan dan keperempuanan yang tak kunjung henti.
”Yang tampil ke permukaan hanya sekelumit. Yang tersembunyi dan menimbulkan persoalan lebih dahsyat justru belum kita pahami daya ledaknya,” jelas komposer yang bakal tampil sebagai pembicara dalam Asia Pasific Festival and Conference Februari mendatang itu.
Hal senada juga diungkapkan oleh Butet Kartaredjasa. Menurut pendapat komedian asal Yogyakarta itu, serangan gaya hidup konsumtif dan kapitalisme global yang melanda kehidupan masyarakat janganlah sekali-kali tidak dianggap sebagai bencana. ”Bencana semacam itu -yang kini antara lain mewujud dalam pendirian berbagai mal di Yogyakarta- akan mengubah gaya hidup masyarakat. Bahkan kian banyak televisi yang menebarkan tayangan yang mendangkalkan kemanusiaan, saya kira merupakan bencana yang sulit dihentikan juga,” kata dia.
Karena itu, Sutanto mengingatkan, hendaknya ada cara baru memandang bencana. ”Ketiadaan kata untuk menerjemahkan tsunami, misalnya, itu membuktikan betapa kita tidak dididik untuk memahami dan mengatasi bencana secara benar,” jelas seniman nyentrik yang bakal mempresentasikan makalah bertajuk ”The Wild Dream of Mountain Community Art” di Selandia Baru itu.
Bencana, dengan demikian, bukanlah sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dari kebudayaan. Bencana tak pernah bisa otonom dari kebudayaan. Begitu juga sebaliknya. Butet menandaskan, ”Bencana tidak bisa menafikan kebudayaan atau kesenian. Ia justru melahirkan ekspresi komunal baru, mengubah orientasi berkebudayaan, sehingga orang tidak melulu berpaku peye atau payu. Bencana justru membuat seniman mengelaborasi musibah menjadi kebudayaan.”
Tindakan Konkret
Lalu tindakan-tindakan kebudayan apa saja yang dilakukan para budayawan ketika menghadapi bencana yang dahsyat? Ada tindakan-tindakan yang masih menggunakan jalan kesenian sebagai cara untuk mengatasi bencana. Dalang Slamet Gundono, misalnya, bersama penyair Sosiawan Leak dan penari Mugiyono mengadakan pementasan di Jakarta. Hasil pementasan itu -juga beras dan tenda- mereka sumbangkan kepada korban gempa. ”Itu hanya berjalan tiga sampai empat minggu. Setelah itu, kami kembali ke jalan seni masing-masing.”
Gundono, misalnya, kemudian membuat wayang air, yakni wayang yang mengeksplorasi segala yang berkaitan dengan air. ”Ini semacam seni yang bersandar pada pergaulan manusia dengan lingkungan. Dalam situasi bencana semacam ini -saat orang kesulitan mendapatkan air sehat- seniman harus tak lagi asyik-masyuk hanya dengan estetika,” kata dalang yang mendukung kesuksesan film Opera Jawa karya sutradara Garin Nugroho itu.
Bukan hanya itu. Tindakan-tindakan estetis Gundana ternyata juga disertai dengan berbagai upaya konkret untuk menyelamatkan lingkungan dan wong cilik. ”Saya sedang berusaha mengajak siapa pun untuk membangun sumur resapan untuk wong cilik. Ini sebuah situasi yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Pada 2007 seniman atau budayawan harus lebih peduli pada publik. Estetika sebaiknya menghidupkan kehidupan. Jangan jauh-jauh dari derita masyarakat.”
Tindakan sama juga dilakukan oleh Butet, pemusik Djaduk, perupa Agus Suwage, atau Teater Garasi. Mereka -dengan cara masing-masing- selain memberikan bantuan kepada para korban gempa, juga kian menghidupkan kesenian dan kebudayaan sebagai cara pandang mengatasi bencana fisik maupun psikis yang tak henti-henti mendera bangsa ini. ”Hasil pentas-pentas amal yang telah saya lakukan bersama teman-teman telah digunakan untuk membangun semangat berkesenian yang lumpuh akibat segala fasilitas dihancurkan oleh gempa. Pak Dalang Timbul bisa mendapatkan gong perunggu kembali, seniman lain bisa mendapat fasilitas yang lain. Penyelamatan semacam ini juga tak kalah penting daripada penyelamatam fisik terhadap orang-orang yang dihantam bencana,” kata Butet.
Melangkah Lagi
Kini satu demi satu bencana dapat dilalui. Kehidupan harus terus berjalan. Bekal apa yang harus dijinjing untuk menghadapi warna kehidupan 2007 yang belum bisa ditebak gelap terangnya? ”Kita agaknya harus mengadakan ruwatan budaya yang melibatkan wong cilik. Ruwatan itu sebaiknya bisa digunakan bangsa ini sebagai penghiburan, penyadaran diri, dan pengeling-eling. Ruwatan itu harus meyakinkan kita betapa kebangkitan dari keterpurukan tak bisa ditawar-tawar lagi,” ajak novelis dari Banyumas, Ahmad Tohari.
Langkah lain ditawarkan oleh kiai-sastrawan nyentrik dari Rembang, KH Ahmad Mustofa Bisri. Kata dia, ”Kita sebaiknya melakukan tobat nasional. Semua melakukan introspeksi, mencari kesalahan-kesalahan sendiri, lalu berusaha memperbaiki dan berjanji tidak mengulangi. Kesalahan-kesalahan bersama diperbaiki bersama. Ini semua harus dilakukan dengan mendekat dan memohon kepada Sang Penguasa Tunggal.”
Selain itu, tandas Bisri, jangan lagi menggunakan politik (pada zaman Orde Lama) dan ekonomi (pada zaman Orde Baru) sebagai panglima untuk mengatasi berbagai persoalan yang mendera bangsa. ”Mengapa tidak mencoba budaya sebagai panglima?”
Ya, dengan bersandar pada ”kepemimpinan” kebudayaan, bangsa ini akan bisa segera bebas dari keterpurukan. Hanya, Sutanto, mengingatkan, ”Jika kita tetap tak mau belajar apa-apa dari bencana, apa pun tindakan kita hanya akan menjadi kekacauan baru. Sayang, saya melihat kita memang tidak belajar apa-apa dari bencana.”
Tidak adakah jalan keluar? ”Selamatkan kebudayaan berpikir. Jangan mau dijejali hal-hal yang mendangkalkan pikiran dan menghilangkan tindakan-tindakan besar kemanusiaan. Itu solusinya,” kata Sutanto menutup perbincangan.
http://www.suaramerdeka.com/
Bencana -sepanjang 2006- agaknya menjadi hantu yang menebarkan rasa takut kepada siapa pun di negeri ini. Pada 27 Mei, misalnya, gempa berkekuatan 5,9 skala Richter telah membuat berbagai tempat di Jawa Tengah dan Yogyakarta luluh lantak.
Rumah-rumah dan gedung-gedung perkantoran roboh. Penduduk kalang kabut. Sebagian meninggal. Sebagian bertahan meneruskan kehidupan dalam kesedihan.
Air mata belum mengering, pada 28 Mei, lumpur panas disertai gas beracun menyembur di dekat sumur gas milik PT Lapindo Brantas Inc di Desa Renokenongo, Porong, Sidoarjo. Lumpur menggenangi permukiman penduduk, sawah, ladang, kawasan industri, dan jalan tol. Diduga hal ini terjadi karena Lapindo abai memasang selubung bor (casing) yang harusnya dipasang pada kedalaman 8.500 kaki atau sekitar 2.590 meter, di bawah permukaan tanah. Casing ini berfungsi untuk mengantisipasi potensi kemenghilangan sirkulasi lumpur dan tendangan balik yang memuntahkan lumpur ke atas.
Bukan hanya itu. Pada 20 November angin ribut menghajar Desa Kauman Kecamatan Kemusu, Boyolali. Ada yang terluka, 14 rumah dan sekolah roboh, serta 327 rumah rusak ringan. Malah pada hari sama di Kecamatan Sumberlawang, Sragen, 4 rumah roboh. Sebelumnya, mulai Januari, angin ribut juga menumbangkan berbagai sendi kehidupan di Jawa Tengah.
Tentu di luar itu kerusuhan di Poso sejak 9 Januari saat bom meledak di depan pintu gerbang Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) Sion Poso hingga 29 September ketika ratusan orang menyerang Markas Polsek Pamona Timur, serta 16 Oktober saat pejabat Ketua Majelis Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) Pendeta Irianto Kongkoli tewas, terus saja melukai rasa keamanan dan ketenteraman warga.
Bencana Lain
Itu hanya sedikit contoh dari bencana-bencana yang bersifat fisik. Menurut pendapat Sutanto, budayawan dari Mendut, Magelang, bencana lain yang kita alami lebih dahsyat lagi.
Ada bencana moral -semisal kasus Yahya Zaini dan Maria Eva, Aa Gym, Lidya Pratiwi, atau Alda- yang belum terpecahkan penyelesaiannya. Ada bencana sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan yang racunnya telah menebar sebagai virus. Ada juga penghinaan terhadap perempuan dan keperempuanan yang tak kunjung henti.
”Yang tampil ke permukaan hanya sekelumit. Yang tersembunyi dan menimbulkan persoalan lebih dahsyat justru belum kita pahami daya ledaknya,” jelas komposer yang bakal tampil sebagai pembicara dalam Asia Pasific Festival and Conference Februari mendatang itu.
Hal senada juga diungkapkan oleh Butet Kartaredjasa. Menurut pendapat komedian asal Yogyakarta itu, serangan gaya hidup konsumtif dan kapitalisme global yang melanda kehidupan masyarakat janganlah sekali-kali tidak dianggap sebagai bencana. ”Bencana semacam itu -yang kini antara lain mewujud dalam pendirian berbagai mal di Yogyakarta- akan mengubah gaya hidup masyarakat. Bahkan kian banyak televisi yang menebarkan tayangan yang mendangkalkan kemanusiaan, saya kira merupakan bencana yang sulit dihentikan juga,” kata dia.
Karena itu, Sutanto mengingatkan, hendaknya ada cara baru memandang bencana. ”Ketiadaan kata untuk menerjemahkan tsunami, misalnya, itu membuktikan betapa kita tidak dididik untuk memahami dan mengatasi bencana secara benar,” jelas seniman nyentrik yang bakal mempresentasikan makalah bertajuk ”The Wild Dream of Mountain Community Art” di Selandia Baru itu.
Bencana, dengan demikian, bukanlah sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dari kebudayaan. Bencana tak pernah bisa otonom dari kebudayaan. Begitu juga sebaliknya. Butet menandaskan, ”Bencana tidak bisa menafikan kebudayaan atau kesenian. Ia justru melahirkan ekspresi komunal baru, mengubah orientasi berkebudayaan, sehingga orang tidak melulu berpaku peye atau payu. Bencana justru membuat seniman mengelaborasi musibah menjadi kebudayaan.”
Tindakan Konkret
Lalu tindakan-tindakan kebudayan apa saja yang dilakukan para budayawan ketika menghadapi bencana yang dahsyat? Ada tindakan-tindakan yang masih menggunakan jalan kesenian sebagai cara untuk mengatasi bencana. Dalang Slamet Gundono, misalnya, bersama penyair Sosiawan Leak dan penari Mugiyono mengadakan pementasan di Jakarta. Hasil pementasan itu -juga beras dan tenda- mereka sumbangkan kepada korban gempa. ”Itu hanya berjalan tiga sampai empat minggu. Setelah itu, kami kembali ke jalan seni masing-masing.”
Gundono, misalnya, kemudian membuat wayang air, yakni wayang yang mengeksplorasi segala yang berkaitan dengan air. ”Ini semacam seni yang bersandar pada pergaulan manusia dengan lingkungan. Dalam situasi bencana semacam ini -saat orang kesulitan mendapatkan air sehat- seniman harus tak lagi asyik-masyuk hanya dengan estetika,” kata dalang yang mendukung kesuksesan film Opera Jawa karya sutradara Garin Nugroho itu.
Bukan hanya itu. Tindakan-tindakan estetis Gundana ternyata juga disertai dengan berbagai upaya konkret untuk menyelamatkan lingkungan dan wong cilik. ”Saya sedang berusaha mengajak siapa pun untuk membangun sumur resapan untuk wong cilik. Ini sebuah situasi yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Pada 2007 seniman atau budayawan harus lebih peduli pada publik. Estetika sebaiknya menghidupkan kehidupan. Jangan jauh-jauh dari derita masyarakat.”
Tindakan sama juga dilakukan oleh Butet, pemusik Djaduk, perupa Agus Suwage, atau Teater Garasi. Mereka -dengan cara masing-masing- selain memberikan bantuan kepada para korban gempa, juga kian menghidupkan kesenian dan kebudayaan sebagai cara pandang mengatasi bencana fisik maupun psikis yang tak henti-henti mendera bangsa ini. ”Hasil pentas-pentas amal yang telah saya lakukan bersama teman-teman telah digunakan untuk membangun semangat berkesenian yang lumpuh akibat segala fasilitas dihancurkan oleh gempa. Pak Dalang Timbul bisa mendapatkan gong perunggu kembali, seniman lain bisa mendapat fasilitas yang lain. Penyelamatan semacam ini juga tak kalah penting daripada penyelamatam fisik terhadap orang-orang yang dihantam bencana,” kata Butet.
Melangkah Lagi
Kini satu demi satu bencana dapat dilalui. Kehidupan harus terus berjalan. Bekal apa yang harus dijinjing untuk menghadapi warna kehidupan 2007 yang belum bisa ditebak gelap terangnya? ”Kita agaknya harus mengadakan ruwatan budaya yang melibatkan wong cilik. Ruwatan itu sebaiknya bisa digunakan bangsa ini sebagai penghiburan, penyadaran diri, dan pengeling-eling. Ruwatan itu harus meyakinkan kita betapa kebangkitan dari keterpurukan tak bisa ditawar-tawar lagi,” ajak novelis dari Banyumas, Ahmad Tohari.
Langkah lain ditawarkan oleh kiai-sastrawan nyentrik dari Rembang, KH Ahmad Mustofa Bisri. Kata dia, ”Kita sebaiknya melakukan tobat nasional. Semua melakukan introspeksi, mencari kesalahan-kesalahan sendiri, lalu berusaha memperbaiki dan berjanji tidak mengulangi. Kesalahan-kesalahan bersama diperbaiki bersama. Ini semua harus dilakukan dengan mendekat dan memohon kepada Sang Penguasa Tunggal.”
Selain itu, tandas Bisri, jangan lagi menggunakan politik (pada zaman Orde Lama) dan ekonomi (pada zaman Orde Baru) sebagai panglima untuk mengatasi berbagai persoalan yang mendera bangsa. ”Mengapa tidak mencoba budaya sebagai panglima?”
Ya, dengan bersandar pada ”kepemimpinan” kebudayaan, bangsa ini akan bisa segera bebas dari keterpurukan. Hanya, Sutanto, mengingatkan, ”Jika kita tetap tak mau belajar apa-apa dari bencana, apa pun tindakan kita hanya akan menjadi kekacauan baru. Sayang, saya melihat kita memang tidak belajar apa-apa dari bencana.”
Tidak adakah jalan keluar? ”Selamatkan kebudayaan berpikir. Jangan mau dijejali hal-hal yang mendangkalkan pikiran dan menghilangkan tindakan-tindakan besar kemanusiaan. Itu solusinya,” kata Sutanto menutup perbincangan.
Sejarah yang Dibebaskan
Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX
Penyusun:E. Ulrich Kratz
Penyunting:Pax Benedanto
Penerbit:Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2000
Peresensi :Radhar Panca Dahana
http://majalah.tempointeraktif.com/
Hal yang paling menarik dari buku ini tentu bukan tebalnya yang lebih dari 1.000 halaman, atau ketekunan penyusunnya yang telah lebih dari tiga dekade menggumuli sastra Indonesia dan sastra Melayu pada umumnya, tetapi pada keberanian sang penyusun menampilkan 97 artikel pilihan (tepatnya 98, jika ditambah artikel pengantar dari penyusunnya sendiri) dari tahun 1928 hingga 1997, atas nama “Sejarah Sastra Indonesia”. Keberanian ini setidaknya terlihat pada absennya penjelasan dari penyusunnya tentang arti “sejarah”. Inilah sebuah istilah yang ternyata begitu menimbulkan polemik dan penuh risiko jebakan menyesatkan, bahkan untuk mereka yang kita sebut sejarawan.
Dalam sastra, kata “sejarah” banyak dibincangkan dengan tekanan (yang terus direproduksi hingga hari ini) pada soal asal-muasal “sastra Indonesia”, dominasi politik pada historiografi sastra, peran sastrawan, atau soal periodisasi.
Sementara itu, dalam pengantarnya, yang justru menjadi salah satu artikel paling menarik dalam “menggugat” apa yang kita sebut “sastra Indonesia”, Kratz mendasari pemilihannya pada artikel-artikel “yang bergelut dengan soal perumusan kriteria dan sifat-sifat sastra Indonesia” (xvi). Ini adalah sebuah pilihan yang luas dan terbuka, yang bagi penyusunnya tak memiliki ambisi menyodorkan “sejarah alternatif”, tapi jelas menawarkan arti sejarah pergulatan intelektual para pelakunya.
Betapapun upaya Kratz membuka arti sejarah sastra, tampaknya ia belum berhasil meloloskan diri dari asumsi dasar kita tentang “sejarah sastra”, yang justru paling digugat. Pilihan dua artikel pertamanya, misalnya Poetoesan Congres Pemoeda Indonesia dan Sumpah Indonesia Raya, menyodorkan pertimbangan bahwa sastra Indonesia tumbuh dan diawali oleh peristiwa dan pemahaman politik. Begitu pun pilihan artikel ketiga, tentang Peranan Balai Pustaka, yang dijelaskan Nur St. Iskandar berawal dari Politik Etis dan kebijakan bahasa pemerintahan kolonial yang sangat ketat, memberi pemahaman betapa perkembangan sastra Indonesia berikutnya dipengaruhi dan ditentukan oleh politisasi acuan dan standar-standar artisitik.
Pemahaman ini secara tak langsung menjelaskan kerisauan utama sang penyusun akan begitu bakunya “kayu ukur nilai sastra”, juga tentang klise-klise seputar hubungan seni dan masyarakat, serta posisi sastra sebagai pemersatu kebudayaan nasional. Bahkan, sejak awalnya, semua soal sastra (di) Indonesia, dalam setiap mainstream-nya, secara taken for granted berada dalam lingkaran diskursus politik.
Hal inilah yang menciptakan alasan kedua bagi keberanian Kratz menempatkan sejarah sastra dalam diskursus intelektual yang sejak mula sejarahnya disesaki oleh praduga-praduga dialektis antara modernisme dan tradisionalisme, Barat dan Timur, subordinat dan superordinat, atau pusat dan daerah. Karenanya, sejarah semacam ini tak kan mampu meloloskan diri dari elitisme intelektual dalam setiap dimensinya. Sebagai risiko, kecenderungan-kecenderungan dan ekspresi-ekspresi literer non-Melayu dan yang minor atau “picisan” menjadi luput dalam diskursus semacam ini.
Kita mengetahui benar, beberapa pengarang dan kritikus keturunan Tionghoa atau Indo (secara genetis atau kultural), macam Lie Kim Hok, Breton de Nijs, atau Tjalie Robinson, membuat catatan-catatan cukup penting dalam riwayat sastra di kepulauan ini. Catatan penting itu juga terlihat pada esai dan pembelaan para pengarang picisan atau sastra pop, dari Matu Mona hingga Motingge Busye, dari D. Sudraji hingga Marianne Katoppo. Belum lagi menghitung esai-esai para pengarang berbahasa etnis lain, seperti Jawa, Sunda, Bali, Batak, dan lainnya, yang riwayatnya membujur jauh melewati batas sejarah politik dan nasionalisme bahasa Melayu.
Hal ketiga yang kita puji atas keberanian Kratz menyusun Sejarah Sastra Indonesia Abad XX adalah luputnya esai-esai pendek Chairil Anwar, Dami N. Toda, Remy Silado, atau beberapa esai berharga di antara kemeriahan sastra tahun 1980 dan 1990-an, yang tak dapat diwakili hanya oleh—sekali lagi—masalah klasik yang politis dari “pernyataan” Mochtar Lubis, Asrul Sani, dan Putu Wijaya yang membahas Pramudya dan hadiah Magsaysay.
Dalam upaya memandang sejarah sastra Indonesia dari diskursus intelektualnya, ia tetap tak terbebaskan dari penjara praduga politik. Artinya, sejarah itu, kalaupun ia harus disusun, mendesak untuk dibebaskan pada segala kemungkinan literer yang pernah ada. Tentu saja itu tidak dilakukan melalui pilihan-pilihan subyektif dalam sebuah buku yang begitu tebal dan dokumentatif.
Penyusun:E. Ulrich Kratz
Penyunting:Pax Benedanto
Penerbit:Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2000
Peresensi :Radhar Panca Dahana
http://majalah.tempointeraktif.com/
Hal yang paling menarik dari buku ini tentu bukan tebalnya yang lebih dari 1.000 halaman, atau ketekunan penyusunnya yang telah lebih dari tiga dekade menggumuli sastra Indonesia dan sastra Melayu pada umumnya, tetapi pada keberanian sang penyusun menampilkan 97 artikel pilihan (tepatnya 98, jika ditambah artikel pengantar dari penyusunnya sendiri) dari tahun 1928 hingga 1997, atas nama “Sejarah Sastra Indonesia”. Keberanian ini setidaknya terlihat pada absennya penjelasan dari penyusunnya tentang arti “sejarah”. Inilah sebuah istilah yang ternyata begitu menimbulkan polemik dan penuh risiko jebakan menyesatkan, bahkan untuk mereka yang kita sebut sejarawan.
Dalam sastra, kata “sejarah” banyak dibincangkan dengan tekanan (yang terus direproduksi hingga hari ini) pada soal asal-muasal “sastra Indonesia”, dominasi politik pada historiografi sastra, peran sastrawan, atau soal periodisasi.
Sementara itu, dalam pengantarnya, yang justru menjadi salah satu artikel paling menarik dalam “menggugat” apa yang kita sebut “sastra Indonesia”, Kratz mendasari pemilihannya pada artikel-artikel “yang bergelut dengan soal perumusan kriteria dan sifat-sifat sastra Indonesia” (xvi). Ini adalah sebuah pilihan yang luas dan terbuka, yang bagi penyusunnya tak memiliki ambisi menyodorkan “sejarah alternatif”, tapi jelas menawarkan arti sejarah pergulatan intelektual para pelakunya.
Betapapun upaya Kratz membuka arti sejarah sastra, tampaknya ia belum berhasil meloloskan diri dari asumsi dasar kita tentang “sejarah sastra”, yang justru paling digugat. Pilihan dua artikel pertamanya, misalnya Poetoesan Congres Pemoeda Indonesia dan Sumpah Indonesia Raya, menyodorkan pertimbangan bahwa sastra Indonesia tumbuh dan diawali oleh peristiwa dan pemahaman politik. Begitu pun pilihan artikel ketiga, tentang Peranan Balai Pustaka, yang dijelaskan Nur St. Iskandar berawal dari Politik Etis dan kebijakan bahasa pemerintahan kolonial yang sangat ketat, memberi pemahaman betapa perkembangan sastra Indonesia berikutnya dipengaruhi dan ditentukan oleh politisasi acuan dan standar-standar artisitik.
Pemahaman ini secara tak langsung menjelaskan kerisauan utama sang penyusun akan begitu bakunya “kayu ukur nilai sastra”, juga tentang klise-klise seputar hubungan seni dan masyarakat, serta posisi sastra sebagai pemersatu kebudayaan nasional. Bahkan, sejak awalnya, semua soal sastra (di) Indonesia, dalam setiap mainstream-nya, secara taken for granted berada dalam lingkaran diskursus politik.
Hal inilah yang menciptakan alasan kedua bagi keberanian Kratz menempatkan sejarah sastra dalam diskursus intelektual yang sejak mula sejarahnya disesaki oleh praduga-praduga dialektis antara modernisme dan tradisionalisme, Barat dan Timur, subordinat dan superordinat, atau pusat dan daerah. Karenanya, sejarah semacam ini tak kan mampu meloloskan diri dari elitisme intelektual dalam setiap dimensinya. Sebagai risiko, kecenderungan-kecenderungan dan ekspresi-ekspresi literer non-Melayu dan yang minor atau “picisan” menjadi luput dalam diskursus semacam ini.
Kita mengetahui benar, beberapa pengarang dan kritikus keturunan Tionghoa atau Indo (secara genetis atau kultural), macam Lie Kim Hok, Breton de Nijs, atau Tjalie Robinson, membuat catatan-catatan cukup penting dalam riwayat sastra di kepulauan ini. Catatan penting itu juga terlihat pada esai dan pembelaan para pengarang picisan atau sastra pop, dari Matu Mona hingga Motingge Busye, dari D. Sudraji hingga Marianne Katoppo. Belum lagi menghitung esai-esai para pengarang berbahasa etnis lain, seperti Jawa, Sunda, Bali, Batak, dan lainnya, yang riwayatnya membujur jauh melewati batas sejarah politik dan nasionalisme bahasa Melayu.
Hal ketiga yang kita puji atas keberanian Kratz menyusun Sejarah Sastra Indonesia Abad XX adalah luputnya esai-esai pendek Chairil Anwar, Dami N. Toda, Remy Silado, atau beberapa esai berharga di antara kemeriahan sastra tahun 1980 dan 1990-an, yang tak dapat diwakili hanya oleh—sekali lagi—masalah klasik yang politis dari “pernyataan” Mochtar Lubis, Asrul Sani, dan Putu Wijaya yang membahas Pramudya dan hadiah Magsaysay.
Dalam upaya memandang sejarah sastra Indonesia dari diskursus intelektualnya, ia tetap tak terbebaskan dari penjara praduga politik. Artinya, sejarah itu, kalaupun ia harus disusun, mendesak untuk dibebaskan pada segala kemungkinan literer yang pernah ada. Tentu saja itu tidak dilakukan melalui pilihan-pilihan subyektif dalam sebuah buku yang begitu tebal dan dokumentatif.
RONTAAN TANAH IBU
Sabrank Suparno
http://www.sastra-indonesia.com/
*** Surat surat luapan keluh
Ayah..Bunda..kalian tau gak! Sekarang aku bagaimana?, dan ada di mana? Dalam kembara rantauku, jauuuh sekali. Mengelanai ruang-ruang hampa. Ahirnya aku sampai di suatu tempat yang tak bernama. Tempat ini sunyi, pengap, pekat, sesak, berdinding plasma yang buntu, tak bercerca, tak berjendela. Berjuta tahun aku disini sendirian. Sepi..Ayah..aku takut.! Kian hari kian mencekam Bunda..!
Tak hanya tak bernama Ayah..tapi juga tak berwarna Bunda..! Seluruh hamparan tampak sringkah, kuning kemerah-merahan. Dan jika dipandangi terus, risauku kian geram, galauku numpuk berjubel berbebal-bebal. Judegku tak kunjung berujung. Ruangan ini kadar udaranya, nol koma sekian persen saja. Sesak, sengal. Nafasku sejengkal-jengkal. Hanya sebintik air dari titik nisbi uap yang mencair.
Ini bukan negeri Stepa atau Sabana, yang masih tumbuhkan kaktus dan lumut. Segala sesuatu ada disini, cuma tak bisa dijamah. Anak-anak sejawatku memang berkeliaran Ayah, tapi kami tak bisa sepermainan Bunda..! Anak-anak disini mengerti bertegur sapa, tapi tak punya bahasa. Andai bisa beroral fisik, masih asyik, tapi aku hanya bergumam monolog lirih dengan telanan lidah.
Ayah, Bunda, kalian mau tau gak? Ruang disini hanya dipenuhi kabut. Wulau tidak begitu tebal namun juga tidak terlalu tipis. Tiada siang, tiada malam. Gerak hanya tercerap ke satu arah. Dan pada ahirnya berfokus di satu titik muara. Mungkin Bunda bertanya! “Anakku, kalau tidak ada gerak, tidak ada suara, lantas dengan apa kamu mengerti perintah? Sesuatu telah dihunjamkan kepadaku, menancap dalam ke palung diri. Selaksa jemparing lusurkan busur.
Tepat. Selalu tepat dititik koordinat. Ahh, tapi tak mungkin, kenapa juga Bunda harus bertanya. Bukankah Ayah- Bunda sudah singgahi tempat ini sejak berjuta tahu lalu. Dan akan kembali ketempat ini untuk berjuta tahun lagi.
Ayah..! Ini penjara abad..Yaah. bukan hanya aku yang terkurung. Imaji yang telah kurangkai untuk mainan juga terkerangkeng. Meskipun tak susut, juga tak muai.
Seribu tahun sudah aku beranjak. Selama itu pula aku menumpuk seribu tanya. Apakah kalian masih mengenali wajahku? Tidakkah kalian lupa? Aku resah Ayah..Aku kawatir Bunda! Seribu tahun sudah aku tinggalkan kampung halaman. Kadang sampai letih juga rasananya.
***.Surat Letupan damba.
Antara iya dan tidak, sesungguhnya aku sudah diperkenankan pulang menjenguk kalian berdua. Aku retakkan dinding waktu dengan tenaga cinta. Aku memasuki atmosfer. Aku mengunjungi bumi, bermandian kilatan benderang matahari. Berbasuh kilauan bulan purnama. Saat udara pongah, aku diterpa angin dengan silirnya. Saat lidahku keluh, kualamatkan mimikku sekedar bergumam mencandai awan-awan berarak. Saat rabun rimang mataku, kubelalakkan di hijau dedaunan dan pucuk padi. Saat bising dengarku, aku plongkan di derunya ombak yang berdeburan. Saat gerah badanku, aku berbalur sketsa mega yang tergelar di sepanjang kaki cakrawala.
Ayah.. aku adalah garis-garis cinta yang berserakan. Garis yang di sadap dari perasan cahaya. Di awal kepulanganku, kan ku”sungkemi”lanskap putihmu yang kosong. Gubahlah aku menjadi jelma yang merona. Bubuhkan serbuk lembut tubuhku sebagai racun bisa busurmu. Semat dan rangkai busur itu di “jemparing cintamu”. Incar tepat di dada Ibundaku. Melesat dan tancap, sampai Ibunda terkapar. Aku mengerti lelahmu Ayah. Tak gampang memang membidik Ibu. Ingat! Ibu adalah wanita. Wanita yang selalu bersolek di depan kaca. Berpupur bedak Shinta, lipstick Juliet, baju Cinderella, dan pada ahirnya berparas Hawa. Mereka selalu berumus bahwa wanita berbanding sederajat dengan satu gen ovarium yang takberkembang. Saat Ibu sekarat , tangannya terus mendekap luka. Luka mengangah yang selalu dirawatnya dengan helaian kain putihnya.
Aku membawa hutang-hutang yang menumpuk di angkasa. Ajari aku melunasinya. Aku memanggili kalian tiap malam ketaman cinta,tuk mananam bunga penuh makna yang paginya bermekaran di halama rumah. Bebijian subur di lahan gembur. Aku tak ingin tumbuh sekeras aku memecah batu. Ayah ..aku tak perlu bunda seribu, cukup satu saja namun serasa seribu.
Aku kangen pada hujan yang menggelendengku ke tengah lapang. Sekedar berbasah kuyup, likatan lumpur sekujur badan. Diam-diam aku merancang tangis, maksa kalian membopongku. Aku belum tertawa sebelum kalian mendekat, aku baluri lumpur sesudahnya. Ha..ha..ha..kita bermain hujan bersama. Lumpur dan hujan adalah debu untuk bertayamum pengganti wudlu.
Antar tidurku diayunan ninabobo kisah percintaan kalian. Apa kehebatan Bunda, hingga Ayah merengkuh Bunda, padahal ada milyatan wanita. Setelah jauh lelap dan pulas, aku mengigau-ngigau minta boneka India. Esok kusapa pagi dengan tangisan. Kubuang.Kulelehkan. Kuhabiskan berpuluh-puluh tetes jatah airmata hidupku, agar jika berpacaran kelak,aku tak lagi kebagian linangan. Sesekali aku selahi hari dengan tangisan, aku takut dengan luka dan kecacatan. Cacat yang berakibat ulah Ayah- Bunda yang tak bisa saling menerima kekurangan.
Namai aku Bre`.Lahir dari rahim mulia, yang dibuai benih cinta penuh kasih. Kedahsyatan cinta kalian menghantarku goncangkan dunia.
Bunda.. air susumu bagaikan putauw, yang kutenggak tiap tiap aku ingin manja. Sembari aku merekam lagumu, yang kuputar ulang nanti didepan sejarah. Ahhh..Bunda, aku besarkan sel-sel kromosom tubuhku dengan cairnya cinta kasihmu. Ku kebalkan kependekaranku dengan putih sucinya ketulusanmu. Tak hanya manja, akupun bergenit mesrah. Aku tidak nakal Bunda, kalau aku sibukkanmu dengan hangat kencingku, agar bunda mengerti,setiap orang tua itu muara kekencingan masalah.
Ayah-Bunda. Terlampau jauh aku mengulum angan. Meski fatamorga serasa jatiku telah menjelma. Sementara aku tetap disini. Ditempat tak bernama, ada, namun tak nyata. Entah berapa hari, bulan, dan tahun lagi yang aku semai dengan ahiran hampa.
Ayah-Bundaku. Disini aku terus menjerit, meraung- raung lengking, meratap-ratap, menunggu kalian segera menjemput, bebaskan aku.
Tapi kalian malah sibuk bersolek tampang demi ambisi. Kalian terus berkilah demi gemuruhnya dunia. Kalian bersumpal telinga dari lengkingan ratapku. Entah berapa musim lagi tegamu mengelantangku dirantau ini. Apalah arti kalian tanpa hadirku. Waktuku jangan kalian curi.
Segeralah Ayah! Cari, taksir, tembak, cintai, pacari, pinang, nikahi Ibunda tanpa syarat apapun. Sebab syarat hanyalah buatku cacat.
Segeralah Bunda! Gaet Ayah dengan cantikmu, walau engkau tak jelita. Lantarmu pada Ayah, lantarku jua. Sedangkan baktimu adalah geriangku.
Kejam kejamnya kejam adalah Ibunda yang tak segera menyusuiku. Borgol kerangkengku akan berlepasan saat gending ditabuh dihari pelaminan kalian. Dan…sesudahnya..aku pasti datang.
Namai aku Bre`! lahir dari rahim wanita mulia, ditaburi benih cinta penuh kasih.
*****
*) Petani, Pencetak bata, Cerpenis, kolomnis, Pemerhati budhaya. Aktif di komunitas Padhang mBulan dan penulis Jombang, bergiat di Lincak sastra dowong. Tergabung bersama sasterawan muda Jawa Timur. Beralamat di Dowong, Ds. Plosokerep. Kec. Sumobito. Kab. Jombang Jawa Timur
Hp:081-359-913-627
http://www.sastra-indonesia.com/
*** Surat surat luapan keluh
Ayah..Bunda..kalian tau gak! Sekarang aku bagaimana?, dan ada di mana? Dalam kembara rantauku, jauuuh sekali. Mengelanai ruang-ruang hampa. Ahirnya aku sampai di suatu tempat yang tak bernama. Tempat ini sunyi, pengap, pekat, sesak, berdinding plasma yang buntu, tak bercerca, tak berjendela. Berjuta tahun aku disini sendirian. Sepi..Ayah..aku takut.! Kian hari kian mencekam Bunda..!
Tak hanya tak bernama Ayah..tapi juga tak berwarna Bunda..! Seluruh hamparan tampak sringkah, kuning kemerah-merahan. Dan jika dipandangi terus, risauku kian geram, galauku numpuk berjubel berbebal-bebal. Judegku tak kunjung berujung. Ruangan ini kadar udaranya, nol koma sekian persen saja. Sesak, sengal. Nafasku sejengkal-jengkal. Hanya sebintik air dari titik nisbi uap yang mencair.
Ini bukan negeri Stepa atau Sabana, yang masih tumbuhkan kaktus dan lumut. Segala sesuatu ada disini, cuma tak bisa dijamah. Anak-anak sejawatku memang berkeliaran Ayah, tapi kami tak bisa sepermainan Bunda..! Anak-anak disini mengerti bertegur sapa, tapi tak punya bahasa. Andai bisa beroral fisik, masih asyik, tapi aku hanya bergumam monolog lirih dengan telanan lidah.
Ayah, Bunda, kalian mau tau gak? Ruang disini hanya dipenuhi kabut. Wulau tidak begitu tebal namun juga tidak terlalu tipis. Tiada siang, tiada malam. Gerak hanya tercerap ke satu arah. Dan pada ahirnya berfokus di satu titik muara. Mungkin Bunda bertanya! “Anakku, kalau tidak ada gerak, tidak ada suara, lantas dengan apa kamu mengerti perintah? Sesuatu telah dihunjamkan kepadaku, menancap dalam ke palung diri. Selaksa jemparing lusurkan busur.
Tepat. Selalu tepat dititik koordinat. Ahh, tapi tak mungkin, kenapa juga Bunda harus bertanya. Bukankah Ayah- Bunda sudah singgahi tempat ini sejak berjuta tahu lalu. Dan akan kembali ketempat ini untuk berjuta tahun lagi.
Ayah..! Ini penjara abad..Yaah. bukan hanya aku yang terkurung. Imaji yang telah kurangkai untuk mainan juga terkerangkeng. Meskipun tak susut, juga tak muai.
Seribu tahun sudah aku beranjak. Selama itu pula aku menumpuk seribu tanya. Apakah kalian masih mengenali wajahku? Tidakkah kalian lupa? Aku resah Ayah..Aku kawatir Bunda! Seribu tahun sudah aku tinggalkan kampung halaman. Kadang sampai letih juga rasananya.
***.Surat Letupan damba.
Antara iya dan tidak, sesungguhnya aku sudah diperkenankan pulang menjenguk kalian berdua. Aku retakkan dinding waktu dengan tenaga cinta. Aku memasuki atmosfer. Aku mengunjungi bumi, bermandian kilatan benderang matahari. Berbasuh kilauan bulan purnama. Saat udara pongah, aku diterpa angin dengan silirnya. Saat lidahku keluh, kualamatkan mimikku sekedar bergumam mencandai awan-awan berarak. Saat rabun rimang mataku, kubelalakkan di hijau dedaunan dan pucuk padi. Saat bising dengarku, aku plongkan di derunya ombak yang berdeburan. Saat gerah badanku, aku berbalur sketsa mega yang tergelar di sepanjang kaki cakrawala.
Ayah.. aku adalah garis-garis cinta yang berserakan. Garis yang di sadap dari perasan cahaya. Di awal kepulanganku, kan ku”sungkemi”lanskap putihmu yang kosong. Gubahlah aku menjadi jelma yang merona. Bubuhkan serbuk lembut tubuhku sebagai racun bisa busurmu. Semat dan rangkai busur itu di “jemparing cintamu”. Incar tepat di dada Ibundaku. Melesat dan tancap, sampai Ibunda terkapar. Aku mengerti lelahmu Ayah. Tak gampang memang membidik Ibu. Ingat! Ibu adalah wanita. Wanita yang selalu bersolek di depan kaca. Berpupur bedak Shinta, lipstick Juliet, baju Cinderella, dan pada ahirnya berparas Hawa. Mereka selalu berumus bahwa wanita berbanding sederajat dengan satu gen ovarium yang takberkembang. Saat Ibu sekarat , tangannya terus mendekap luka. Luka mengangah yang selalu dirawatnya dengan helaian kain putihnya.
Aku membawa hutang-hutang yang menumpuk di angkasa. Ajari aku melunasinya. Aku memanggili kalian tiap malam ketaman cinta,tuk mananam bunga penuh makna yang paginya bermekaran di halama rumah. Bebijian subur di lahan gembur. Aku tak ingin tumbuh sekeras aku memecah batu. Ayah ..aku tak perlu bunda seribu, cukup satu saja namun serasa seribu.
Aku kangen pada hujan yang menggelendengku ke tengah lapang. Sekedar berbasah kuyup, likatan lumpur sekujur badan. Diam-diam aku merancang tangis, maksa kalian membopongku. Aku belum tertawa sebelum kalian mendekat, aku baluri lumpur sesudahnya. Ha..ha..ha..kita bermain hujan bersama. Lumpur dan hujan adalah debu untuk bertayamum pengganti wudlu.
Antar tidurku diayunan ninabobo kisah percintaan kalian. Apa kehebatan Bunda, hingga Ayah merengkuh Bunda, padahal ada milyatan wanita. Setelah jauh lelap dan pulas, aku mengigau-ngigau minta boneka India. Esok kusapa pagi dengan tangisan. Kubuang.Kulelehkan. Kuhabiskan berpuluh-puluh tetes jatah airmata hidupku, agar jika berpacaran kelak,aku tak lagi kebagian linangan. Sesekali aku selahi hari dengan tangisan, aku takut dengan luka dan kecacatan. Cacat yang berakibat ulah Ayah- Bunda yang tak bisa saling menerima kekurangan.
Namai aku Bre`.Lahir dari rahim mulia, yang dibuai benih cinta penuh kasih. Kedahsyatan cinta kalian menghantarku goncangkan dunia.
Bunda.. air susumu bagaikan putauw, yang kutenggak tiap tiap aku ingin manja. Sembari aku merekam lagumu, yang kuputar ulang nanti didepan sejarah. Ahhh..Bunda, aku besarkan sel-sel kromosom tubuhku dengan cairnya cinta kasihmu. Ku kebalkan kependekaranku dengan putih sucinya ketulusanmu. Tak hanya manja, akupun bergenit mesrah. Aku tidak nakal Bunda, kalau aku sibukkanmu dengan hangat kencingku, agar bunda mengerti,setiap orang tua itu muara kekencingan masalah.
Ayah-Bunda. Terlampau jauh aku mengulum angan. Meski fatamorga serasa jatiku telah menjelma. Sementara aku tetap disini. Ditempat tak bernama, ada, namun tak nyata. Entah berapa hari, bulan, dan tahun lagi yang aku semai dengan ahiran hampa.
Ayah-Bundaku. Disini aku terus menjerit, meraung- raung lengking, meratap-ratap, menunggu kalian segera menjemput, bebaskan aku.
Tapi kalian malah sibuk bersolek tampang demi ambisi. Kalian terus berkilah demi gemuruhnya dunia. Kalian bersumpal telinga dari lengkingan ratapku. Entah berapa musim lagi tegamu mengelantangku dirantau ini. Apalah arti kalian tanpa hadirku. Waktuku jangan kalian curi.
Segeralah Ayah! Cari, taksir, tembak, cintai, pacari, pinang, nikahi Ibunda tanpa syarat apapun. Sebab syarat hanyalah buatku cacat.
Segeralah Bunda! Gaet Ayah dengan cantikmu, walau engkau tak jelita. Lantarmu pada Ayah, lantarku jua. Sedangkan baktimu adalah geriangku.
Kejam kejamnya kejam adalah Ibunda yang tak segera menyusuiku. Borgol kerangkengku akan berlepasan saat gending ditabuh dihari pelaminan kalian. Dan…sesudahnya..aku pasti datang.
Namai aku Bre`! lahir dari rahim wanita mulia, ditaburi benih cinta penuh kasih.
*****
*) Petani, Pencetak bata, Cerpenis, kolomnis, Pemerhati budhaya. Aktif di komunitas Padhang mBulan dan penulis Jombang, bergiat di Lincak sastra dowong. Tergabung bersama sasterawan muda Jawa Timur. Beralamat di Dowong, Ds. Plosokerep. Kec. Sumobito. Kab. Jombang Jawa Timur
Hp:081-359-913-627
Minggu, 06 Juni 2010
Pengusaha Tikus
Haris del Hakim
http://www.sastra-indonesia.com/
Seekor tikus berlarian di antara tubuh Donggos dan keluarganya yang sedang terlelap. Kemudian puluhan dan ratusan yang lain mengikutinya. Bunyi cericitnya menggeritik telinga. Donggos membuka mata, mengangkat kepala, melirik kedua anak dan istrinya yang masih tertidur pulas, kemudian berbaring lagi.
Donggos bangun paling pagi. Hanya dia yang tahu bagaimana cara mengundang dan memilih tikus yang paling gemuk untuk ditangkap. Begitu setiap hari. Kalau salah seorang dari anak atau istrinya bangun terlebih dulu darinya, ia akan menggoyang atau mencubit tubuh lelaki berusia empatpuluhan itu. Tikus-tikus itu memang sudah akrab dengan anak dan istri Donggos, tapi mereka tidak mau ditangkap oleh selain Donggos. Bahkan, mereka tidak mau dilihat orang lain bila sedang ditangkap Donggos.
Donggos berdecak. Puluhan tikus mendekat dan berkerumun di sekelilingnya. Pada saat itu tidak boleh seorang pun menyaksikan. Pernah suatu ketika istrinya memergoki, akibatnya selama tiga hari tikus-tikus itu tidak mau dipanggil lagi oleh Donggos.
Pagi harinya semua anggota keluarga bangun seperti biasa. Istri Donggos sibuk di dapur, kedua anaknya bersiap-siap sekolah, dan ia sendiri menguliti tikus yang baru ditangkapnya; setiap hari Donggos menangkap lebih dari seratus ekor tikus untuk memenuhi kebutuhan pelanggan tetap pembeli daging tikusnya, yaitu penjual mie ayam dan pembuat bakso.
Kedua anak Donggos sudah berpakaian rapi. Si Sulung berlari ke arah ibunya yang sedang menanak nasi lalu bergayut di pinggang perempuan yang ramping itu. “Bu, aku mau digoreng saja tikusnya,” katanya dengan manja. Si Bungsu yang hendak langsung berangkat kembali lagi dan berlari ke dapur. Ia mendongakkan kepala ke wajah ibunya yang cantik. “Bu, bagianku disop saja.” Istri Donggos tidak memberikan jawaban dan masih meracik bumbu untuk sayur. “Ya, Bu?” tanya kedua anaknya hampir bersamaan.
Perempuan bertubuh ramping dengan wajah cantik, dulu ia pernah dinobatkan sebagai remaja tercantik tingkat kabupaten, menjawab dengan nada lembut. “Tanyakan pada bapakmu, apakah ada lebihan?”
Dua anak berseragam sekolah itu berlari ke ayahnya yang sedang duduk berjongkok di atas meja setinggi pinggang lelaki dewasa. Laki-laki yang hanya mengenakan kaos singlet, sehingga memperlihatkan pundaknya yang kekar, tidak memperhatikan kedatangan keduanya. Matanya tidak lepas dari tangan kanannya yang sedang memegang pisau dan tangan kiri yang mencengkeram badan tikus yang tinggal separuh. Sementara di samping kirinya teronggok puluhan tubuh tikus yang baru dikuliti. Dagingnya merah merona dengan ekor dan kepala yang saling bersilang tindih. Di samping kanan teronggok irisan daging tikus. Sedangkan di depannya terkumpul ekor dan kepala tikus yang telah diambil dagingnya.
“Bapak, apakah ada lebihan? Aku ingin sop,” tanya si Bungsu.
“Aku ingin goreng tikus,” tambah yang Sulung.
Donggos tidak berkata apa-apa. Ia melepaskan tikus di cengkeraman tangan kirinya, memilih tikus yang terkuliti di samping kirinya, mencengkiwing bagian ekornya, dan mengulurkannya pada si Bungsu. Tikus gemuk itu bergelantung di tangan Donggos. Matanya yang hitam masih terbuka. Keempat kakinya yang sengaja tidak dikuliti terlihat seperti congolan cakar dari perut yang terbelah. Si Bungsu itu tertawa kesenangan. Tangan kecilnya menyambar pemberian ayahnya, memegang bagian perutnya, dan membawanya berlari ke dapur. Kemudian Donggos mencengkiwing seekor lagi dan mengulurkannya pada si Sulung. Bocah itu kegirangan, “Besar sekali, Ayah?!”
Donggos tersenyum dan membiarkan anaknya pergi. Ia kembali meneruskan pekerjaannya setelah menoleh ke bak hitam besar di bawah meja. Ia mendengus. Di dalam bak itu masih ada puluhan tikus yang belum diapa-apakan. Ia menjawab lirih ketika kedua anaknya berpamitan, “Ayah, kami berangkat ke sekolah.” Ia telah cukup diwakili oleh istrinya yang berpesan kepada anaknya. “Hati-hati dan belajar yang rajin.”
Istri Donggos segera ke belakang setelah selesai di dapur. Donggos memberikan pisau kepada perempuan cantik itu. Ia sendiri mengambil pisau lain di dalam rumah, kembali ke meja kerjanya, menggeret bak besar berisi tikus yang belum diapa-apakan, dan duduk dengan satu kaki jongkok di atas meja. Sedangkan istrinya duduk di kursi sambil mengiris-iris badan tikus. Donggos membungkukkan badan, mengambil seekor wirok, mencantolkannya dengan menusukkan lehernya ke kawat yang dibentuk menyerupai mata kail, setelah itu tangan kanannya meraih pisau dan mulai mengulitinya mulai dari kepala. Ia mengerati kulit di bawah leher, di atas kaki, dan di atas ekornya terlebih dulu. Tangannya bekerja sangat cepat sehingga dalam lima menit saja ia telah berhasil menguliti seekor. Ia lemparkan tikus terkuliti itu ke hadapan istrinya. Kemudian ia bungkukkan badannya dan mengambil tikus di dalam bak hitam besar.
Setiap hari Donggos harus menghasilkan sepuluh kilo daging tikus yang sudah dipotong-potong sebelum pukul 08.00, sepuluh kilo lagi pukul 09.00, dan tigapuluh kilo saat siang hari. Ia tidak perlu susah mengantarkannya, sebab para pelanggannya akan datang sendiri.
“Mas,” kata istrinya. “Pak Renggo panen besar. Sawahnya di desa sebelah menghasilkan padi sepuluh ton.”
“Syukurlah!” jawab Donggos pendek.
“Kemarin istrinya mengatakan kalau akan dibelikan kalung dan gelang. Begitu juga dengan anak-anaknya,” tambah istrinya tanpa menoleh sedikit pun.
“Bohong! Kembali modal saja dia sudah untung.” Donggos membentak.
“Istrinya sendiri yang bilang begitu,” kata istri Donggos meyakinkan.
“Jangan percaya. Dia tidak tahu berapa modal mulai tanam sampai panen. Pak Renggo setiap hari mengeluh di warung. Harga pupuk makin tinggi, biaya air tidak sedikit, upah pekerja juga sangat mahal, sedangkan harga padi tidak bisa bersaing.” Donggos orang yang tidak banyak bicara bila tidak memahami persoalan dengan terperinci, tetapi sedapat mungkin ia mempertahankan pengetahuan yang dikuasainya. Karena itu, ia dikenal sebagai orang keras kepala.
Ia diam sejenak, melemparkan tikus yang telah dikuliti, membungkuk, mengambil seekor tikus besar, dan mencantolkannya di kawat. Kemudian ia melanjutkan bicaranya. “Siapa pun yang panen, kita yang paling beruntung. Tikus-tikus kita gemuk dan pekerjaan bertambah ringan.”
Istri Donggos tidak menimpali ungkapan suaminya itu. Ia mendengar bunyi klakson sepeda motor dari halaman rumah dan bergegas keluar. Tidak lama kemudian ia kembali.
“Pak Warsono,” kata istrinya sambil duduk di kursi dan melanjutkan pekerjaannya.
Donggos menghentikan pekerjaannya. Ia mencuci tangan, melewati ruang tengah, dan ke ruang tamu. Ia memutar kincir di atas meja belajar anaknya. Bunyi gemerincing terdengar seirama putaran kincir. Suara itu cukup mengganggu gendang telinga. Dan Donggos selalu membunyikannya bila ada tamu di rumahnya. Kawanan tikus akan berlarian ke liangnya begitu mendengar bunyi yang memekakkan telinganya. Dengan begitu, Donggos tidak perlu kuatir bila tikusnya akan menyerobot pembicaraan mereka. Meskipun semua orang tahu bila ia memelihara tikus, ia tidak mau mempermalukan dirinya sendiri dengan mempertontonkan binatang piaraannya kepada semua orang. Ia telah mengatur rumahnya sedemikian rapi; sebuah bungker besar, lantai ruang tengah yang selalu dibersihkan oleh air, ruang tamu yang dikelilingi kabel alarm sehingga bila terinjak tikus akan mengeluarkan dering panjang dan mengusir mereka seketika, tidak lupa ac ruangan yang mengeluarkan aroma wangi. Donggos mempelajari semua tehnik mengembangkan tikus itu dari para pemelihara tikus yang terkenal.
Warsono pulang setengah jam kemudian. Donggos ke belakang dan melanjutkan pekerjaannya. Ia hanya melirik istrinya yang sedang memasukkan irisan daging tikus ke dalam plastik dan menimbangnya. Ia melongok ke bak besar dan dibuat tergesa-gesa, karena sadar sebentar lagi seorang pelanggan akan datang mengambil bagiannya.
“Ada perlu apa, Pak Warsono?” tanya istrinya.
“Urusan pajak,” jawab Donggos sambil menguliti tikus. “Dia katakan kita adalah pengusaha tikus yang sukses dan harus membayar pajak usaha.”
“Apakah ada peraturan tentang usaha tikus?”
“Tidak ada. Tapi, Pak Warsono bilang sama-sama tahu saja.”
“Apa maksudnya?”
“Tidak tahu. Dia mengatakan uang kas, uang administratif, atau uang apa tadi. Aku tidak tahu urusan Pak Warsono.”
Donggos tidak berkedip mengelupasi lapisan kulit berwarna coklat kehitaman dari badan yang kemerahan itu. Ia menarik kulit itu hati-hati, kuatir sobek, dan berkali-kali memutar badan tikus yang baru seperempat bagian tanpa kulit. Ia menggunakan pisau saat kulit itu terlalu rekat dengan daging kemudian perlahan-lahan dibesetnya.
“Pak Warsono juga cerita. Di desa kita akan dibangun gudang beras untuk pegawai negeri sekabupaten. Ini kabar bagus. Usaha kita pasti berkembang pesat. Tikus-tikus kita semakin cepat beranak dan gemuk-gemuk. Bagaimana kalau salah satu adik atau keponakanmu bekerja di sini?” tanya Donggos. Ia sudah menguliti seekor tikus.
“Mengapa harus keluargaku?” tanya istri Donggos yang mulai memotong daging tikus kembali. Ia terlebih dulu memotong bagian kepala, keempat kakinya, kemudian memutuskan ekornya. Setelah itu ia membelah perut tikus tanpa kepala, tanpa kaki, dan tanpa ekor itu. Ia mengeluarkan ususnya dan melemparkannya ke pot bekas cat yang diletakkan di samping kaki kirinya.
“Keluargaku sudah pergi ke luar negeri semua,” jawab Donggos. “Mereka tentu menjaga harga diri berdagang tikus kecil-kecilan seperti kita. Lima tahun lagi, saat kita sudah mampu membangun pabrik sarden tikus, baru kita memerlukan mereka.”
Perempuan cantik itu berkata lirih. “Ya, nanti aku telpon mereka. Mudah-mudahan ada yang mau.”
Seperti hari-hari sebelumnya, sekitar pukul 08.00, 09.00, dan 12.00, ada seseorang yang mengambil jatahnya. Donggos berpesan agar mereka menambah jumlah pesanannya, sebab ia akan meningkatkan produksinya dan meyakinkan mereka bahwa besok tikusnya lebih gemuk dari yang mereka bawa selama ini.
Sore hari adalah waktu yang menyenangkan bagi Donggos dan keluarganya. Ia sudah selesai bekerja. Anak-anaknya sudah pulang dari sekolah. Istrinya juga sudah tidak mengerjakan apa-apa. Mereka biasa menghabiskan sore dengan jalan-jalan bersama keluarga keliling desa atau di depan televisi menonton acara hiburan anak-anak. Kali ini mereka menghabiskan sore di rumah saja. Donggos duduk di kursi panjang bersama istrinya, sementara kedua anaknya duduk di lantai yang dialasi kasur tipis berwarna biru. Selama itu tikus-tikus berkeliaran di sekeliling tubuh keduanya. Rupanya mereka sudah bangun dan keluar dari liangnya. Seekor yang besar menabrak kaki si Bungsu. Anak kecil itu menarik kakinya. Matanya belum lepas dari kaca televisi. Satu lagi menabrak pantat si sulung yang ditanggapi dengan bergeser sedikit. Hampir menjelang senja tikus-tikus semakin banyak. Hampir semua lantai dari keramik itu berwarna hitam kecoklatan. Baunya pun menyengat di hidung.
Ketika layar televisi menampilkan iklan, si Bungsu naik ke kursi di antara ayah dan ibunya. Ia berdiri sambil menunjuk salah seekor tikus paling besar seukuran kucing. “Pak, tangkap yang itu. Tentu dagingnya sangat lezat.”
“Mana?” tanya Donggos melongok ke arah yang ditunjuk anaknya.
Donggos melihat si Bungsu yang kecewa tikusnya menyelinap ke balik almari. Ia menghiburnya. Mata anaknya terus mencari-cari barangkali tikus itu akan kembali lagi. Mata kecil itu berbinar-binar dan hendak mengucapkan sesuatu ketika si Sulung berteriak, “Aku yang itu, Ayah.”
“Ya,” jawab Donggos sambil mengusap rambut si Bungsu.
November-maret 2006
http://www.sastra-indonesia.com/
Seekor tikus berlarian di antara tubuh Donggos dan keluarganya yang sedang terlelap. Kemudian puluhan dan ratusan yang lain mengikutinya. Bunyi cericitnya menggeritik telinga. Donggos membuka mata, mengangkat kepala, melirik kedua anak dan istrinya yang masih tertidur pulas, kemudian berbaring lagi.
Donggos bangun paling pagi. Hanya dia yang tahu bagaimana cara mengundang dan memilih tikus yang paling gemuk untuk ditangkap. Begitu setiap hari. Kalau salah seorang dari anak atau istrinya bangun terlebih dulu darinya, ia akan menggoyang atau mencubit tubuh lelaki berusia empatpuluhan itu. Tikus-tikus itu memang sudah akrab dengan anak dan istri Donggos, tapi mereka tidak mau ditangkap oleh selain Donggos. Bahkan, mereka tidak mau dilihat orang lain bila sedang ditangkap Donggos.
Donggos berdecak. Puluhan tikus mendekat dan berkerumun di sekelilingnya. Pada saat itu tidak boleh seorang pun menyaksikan. Pernah suatu ketika istrinya memergoki, akibatnya selama tiga hari tikus-tikus itu tidak mau dipanggil lagi oleh Donggos.
Pagi harinya semua anggota keluarga bangun seperti biasa. Istri Donggos sibuk di dapur, kedua anaknya bersiap-siap sekolah, dan ia sendiri menguliti tikus yang baru ditangkapnya; setiap hari Donggos menangkap lebih dari seratus ekor tikus untuk memenuhi kebutuhan pelanggan tetap pembeli daging tikusnya, yaitu penjual mie ayam dan pembuat bakso.
Kedua anak Donggos sudah berpakaian rapi. Si Sulung berlari ke arah ibunya yang sedang menanak nasi lalu bergayut di pinggang perempuan yang ramping itu. “Bu, aku mau digoreng saja tikusnya,” katanya dengan manja. Si Bungsu yang hendak langsung berangkat kembali lagi dan berlari ke dapur. Ia mendongakkan kepala ke wajah ibunya yang cantik. “Bu, bagianku disop saja.” Istri Donggos tidak memberikan jawaban dan masih meracik bumbu untuk sayur. “Ya, Bu?” tanya kedua anaknya hampir bersamaan.
Perempuan bertubuh ramping dengan wajah cantik, dulu ia pernah dinobatkan sebagai remaja tercantik tingkat kabupaten, menjawab dengan nada lembut. “Tanyakan pada bapakmu, apakah ada lebihan?”
Dua anak berseragam sekolah itu berlari ke ayahnya yang sedang duduk berjongkok di atas meja setinggi pinggang lelaki dewasa. Laki-laki yang hanya mengenakan kaos singlet, sehingga memperlihatkan pundaknya yang kekar, tidak memperhatikan kedatangan keduanya. Matanya tidak lepas dari tangan kanannya yang sedang memegang pisau dan tangan kiri yang mencengkeram badan tikus yang tinggal separuh. Sementara di samping kirinya teronggok puluhan tubuh tikus yang baru dikuliti. Dagingnya merah merona dengan ekor dan kepala yang saling bersilang tindih. Di samping kanan teronggok irisan daging tikus. Sedangkan di depannya terkumpul ekor dan kepala tikus yang telah diambil dagingnya.
“Bapak, apakah ada lebihan? Aku ingin sop,” tanya si Bungsu.
“Aku ingin goreng tikus,” tambah yang Sulung.
Donggos tidak berkata apa-apa. Ia melepaskan tikus di cengkeraman tangan kirinya, memilih tikus yang terkuliti di samping kirinya, mencengkiwing bagian ekornya, dan mengulurkannya pada si Bungsu. Tikus gemuk itu bergelantung di tangan Donggos. Matanya yang hitam masih terbuka. Keempat kakinya yang sengaja tidak dikuliti terlihat seperti congolan cakar dari perut yang terbelah. Si Bungsu itu tertawa kesenangan. Tangan kecilnya menyambar pemberian ayahnya, memegang bagian perutnya, dan membawanya berlari ke dapur. Kemudian Donggos mencengkiwing seekor lagi dan mengulurkannya pada si Sulung. Bocah itu kegirangan, “Besar sekali, Ayah?!”
Donggos tersenyum dan membiarkan anaknya pergi. Ia kembali meneruskan pekerjaannya setelah menoleh ke bak hitam besar di bawah meja. Ia mendengus. Di dalam bak itu masih ada puluhan tikus yang belum diapa-apakan. Ia menjawab lirih ketika kedua anaknya berpamitan, “Ayah, kami berangkat ke sekolah.” Ia telah cukup diwakili oleh istrinya yang berpesan kepada anaknya. “Hati-hati dan belajar yang rajin.”
Istri Donggos segera ke belakang setelah selesai di dapur. Donggos memberikan pisau kepada perempuan cantik itu. Ia sendiri mengambil pisau lain di dalam rumah, kembali ke meja kerjanya, menggeret bak besar berisi tikus yang belum diapa-apakan, dan duduk dengan satu kaki jongkok di atas meja. Sedangkan istrinya duduk di kursi sambil mengiris-iris badan tikus. Donggos membungkukkan badan, mengambil seekor wirok, mencantolkannya dengan menusukkan lehernya ke kawat yang dibentuk menyerupai mata kail, setelah itu tangan kanannya meraih pisau dan mulai mengulitinya mulai dari kepala. Ia mengerati kulit di bawah leher, di atas kaki, dan di atas ekornya terlebih dulu. Tangannya bekerja sangat cepat sehingga dalam lima menit saja ia telah berhasil menguliti seekor. Ia lemparkan tikus terkuliti itu ke hadapan istrinya. Kemudian ia bungkukkan badannya dan mengambil tikus di dalam bak hitam besar.
Setiap hari Donggos harus menghasilkan sepuluh kilo daging tikus yang sudah dipotong-potong sebelum pukul 08.00, sepuluh kilo lagi pukul 09.00, dan tigapuluh kilo saat siang hari. Ia tidak perlu susah mengantarkannya, sebab para pelanggannya akan datang sendiri.
“Mas,” kata istrinya. “Pak Renggo panen besar. Sawahnya di desa sebelah menghasilkan padi sepuluh ton.”
“Syukurlah!” jawab Donggos pendek.
“Kemarin istrinya mengatakan kalau akan dibelikan kalung dan gelang. Begitu juga dengan anak-anaknya,” tambah istrinya tanpa menoleh sedikit pun.
“Bohong! Kembali modal saja dia sudah untung.” Donggos membentak.
“Istrinya sendiri yang bilang begitu,” kata istri Donggos meyakinkan.
“Jangan percaya. Dia tidak tahu berapa modal mulai tanam sampai panen. Pak Renggo setiap hari mengeluh di warung. Harga pupuk makin tinggi, biaya air tidak sedikit, upah pekerja juga sangat mahal, sedangkan harga padi tidak bisa bersaing.” Donggos orang yang tidak banyak bicara bila tidak memahami persoalan dengan terperinci, tetapi sedapat mungkin ia mempertahankan pengetahuan yang dikuasainya. Karena itu, ia dikenal sebagai orang keras kepala.
Ia diam sejenak, melemparkan tikus yang telah dikuliti, membungkuk, mengambil seekor tikus besar, dan mencantolkannya di kawat. Kemudian ia melanjutkan bicaranya. “Siapa pun yang panen, kita yang paling beruntung. Tikus-tikus kita gemuk dan pekerjaan bertambah ringan.”
Istri Donggos tidak menimpali ungkapan suaminya itu. Ia mendengar bunyi klakson sepeda motor dari halaman rumah dan bergegas keluar. Tidak lama kemudian ia kembali.
“Pak Warsono,” kata istrinya sambil duduk di kursi dan melanjutkan pekerjaannya.
Donggos menghentikan pekerjaannya. Ia mencuci tangan, melewati ruang tengah, dan ke ruang tamu. Ia memutar kincir di atas meja belajar anaknya. Bunyi gemerincing terdengar seirama putaran kincir. Suara itu cukup mengganggu gendang telinga. Dan Donggos selalu membunyikannya bila ada tamu di rumahnya. Kawanan tikus akan berlarian ke liangnya begitu mendengar bunyi yang memekakkan telinganya. Dengan begitu, Donggos tidak perlu kuatir bila tikusnya akan menyerobot pembicaraan mereka. Meskipun semua orang tahu bila ia memelihara tikus, ia tidak mau mempermalukan dirinya sendiri dengan mempertontonkan binatang piaraannya kepada semua orang. Ia telah mengatur rumahnya sedemikian rapi; sebuah bungker besar, lantai ruang tengah yang selalu dibersihkan oleh air, ruang tamu yang dikelilingi kabel alarm sehingga bila terinjak tikus akan mengeluarkan dering panjang dan mengusir mereka seketika, tidak lupa ac ruangan yang mengeluarkan aroma wangi. Donggos mempelajari semua tehnik mengembangkan tikus itu dari para pemelihara tikus yang terkenal.
Warsono pulang setengah jam kemudian. Donggos ke belakang dan melanjutkan pekerjaannya. Ia hanya melirik istrinya yang sedang memasukkan irisan daging tikus ke dalam plastik dan menimbangnya. Ia melongok ke bak besar dan dibuat tergesa-gesa, karena sadar sebentar lagi seorang pelanggan akan datang mengambil bagiannya.
“Ada perlu apa, Pak Warsono?” tanya istrinya.
“Urusan pajak,” jawab Donggos sambil menguliti tikus. “Dia katakan kita adalah pengusaha tikus yang sukses dan harus membayar pajak usaha.”
“Apakah ada peraturan tentang usaha tikus?”
“Tidak ada. Tapi, Pak Warsono bilang sama-sama tahu saja.”
“Apa maksudnya?”
“Tidak tahu. Dia mengatakan uang kas, uang administratif, atau uang apa tadi. Aku tidak tahu urusan Pak Warsono.”
Donggos tidak berkedip mengelupasi lapisan kulit berwarna coklat kehitaman dari badan yang kemerahan itu. Ia menarik kulit itu hati-hati, kuatir sobek, dan berkali-kali memutar badan tikus yang baru seperempat bagian tanpa kulit. Ia menggunakan pisau saat kulit itu terlalu rekat dengan daging kemudian perlahan-lahan dibesetnya.
“Pak Warsono juga cerita. Di desa kita akan dibangun gudang beras untuk pegawai negeri sekabupaten. Ini kabar bagus. Usaha kita pasti berkembang pesat. Tikus-tikus kita semakin cepat beranak dan gemuk-gemuk. Bagaimana kalau salah satu adik atau keponakanmu bekerja di sini?” tanya Donggos. Ia sudah menguliti seekor tikus.
“Mengapa harus keluargaku?” tanya istri Donggos yang mulai memotong daging tikus kembali. Ia terlebih dulu memotong bagian kepala, keempat kakinya, kemudian memutuskan ekornya. Setelah itu ia membelah perut tikus tanpa kepala, tanpa kaki, dan tanpa ekor itu. Ia mengeluarkan ususnya dan melemparkannya ke pot bekas cat yang diletakkan di samping kaki kirinya.
“Keluargaku sudah pergi ke luar negeri semua,” jawab Donggos. “Mereka tentu menjaga harga diri berdagang tikus kecil-kecilan seperti kita. Lima tahun lagi, saat kita sudah mampu membangun pabrik sarden tikus, baru kita memerlukan mereka.”
Perempuan cantik itu berkata lirih. “Ya, nanti aku telpon mereka. Mudah-mudahan ada yang mau.”
Seperti hari-hari sebelumnya, sekitar pukul 08.00, 09.00, dan 12.00, ada seseorang yang mengambil jatahnya. Donggos berpesan agar mereka menambah jumlah pesanannya, sebab ia akan meningkatkan produksinya dan meyakinkan mereka bahwa besok tikusnya lebih gemuk dari yang mereka bawa selama ini.
Sore hari adalah waktu yang menyenangkan bagi Donggos dan keluarganya. Ia sudah selesai bekerja. Anak-anaknya sudah pulang dari sekolah. Istrinya juga sudah tidak mengerjakan apa-apa. Mereka biasa menghabiskan sore dengan jalan-jalan bersama keluarga keliling desa atau di depan televisi menonton acara hiburan anak-anak. Kali ini mereka menghabiskan sore di rumah saja. Donggos duduk di kursi panjang bersama istrinya, sementara kedua anaknya duduk di lantai yang dialasi kasur tipis berwarna biru. Selama itu tikus-tikus berkeliaran di sekeliling tubuh keduanya. Rupanya mereka sudah bangun dan keluar dari liangnya. Seekor yang besar menabrak kaki si Bungsu. Anak kecil itu menarik kakinya. Matanya belum lepas dari kaca televisi. Satu lagi menabrak pantat si sulung yang ditanggapi dengan bergeser sedikit. Hampir menjelang senja tikus-tikus semakin banyak. Hampir semua lantai dari keramik itu berwarna hitam kecoklatan. Baunya pun menyengat di hidung.
Ketika layar televisi menampilkan iklan, si Bungsu naik ke kursi di antara ayah dan ibunya. Ia berdiri sambil menunjuk salah seekor tikus paling besar seukuran kucing. “Pak, tangkap yang itu. Tentu dagingnya sangat lezat.”
“Mana?” tanya Donggos melongok ke arah yang ditunjuk anaknya.
Donggos melihat si Bungsu yang kecewa tikusnya menyelinap ke balik almari. Ia menghiburnya. Mata anaknya terus mencari-cari barangkali tikus itu akan kembali lagi. Mata kecil itu berbinar-binar dan hendak mengucapkan sesuatu ketika si Sulung berteriak, “Aku yang itu, Ayah.”
“Ya,” jawab Donggos sambil mengusap rambut si Bungsu.
November-maret 2006
Tukang Cuci
Mardi Luhung
http://koran.kompas.com/
Perkenalkan. Namaku Tukang Cuci. Pekerjaanku tukang cuci. Hidupku tukang cuci. Dan sebagai tukang cuci, aku mencuci semua yang perlu untuk dicuci. Biar bersih. Biar cling. Tak ada daki. Tak ada kotoran. Dan tak membuat bagi yang memakainya menjadi malu. Lalu membenamkan mukanya ke dalam bak kamar mandi. Mencoba mengusir rasa malunya itu.
Tapi, tunggu, tunggu dulu. Meski aku tukang cuci, aku bukan sembarang mencuci. Aku hanya mencuci pakaian istriku. Istriku yang kini telah menjelma ikan paus yang gemuk. Yang punya mata tajam. Yang saking tajamnya mampu melihat barang-barang renik. Meski dalam kegelapan. Kegelapan yang aku gunakan bercinta dengannya.
”Mas, Mas, apa yang terselip di telingamu itu?”
Begitu katanya saat asyik- asyiknya bercinta. Dan dia meraba telingaku. Terkejut. Sebab, dia menemukan sumpal kecil. Sumpal kecil yang menutup pendengaranku. Akh, dia marah. Matanya yang tajam makin menajam. Dan bruk! Dia membanting aku. Lalu, seperti anak kecil, dia pun menangis tak karuan.
”Mas, Mas, sudah benci pada suaraku, ya? Gila, gila, gila!”
Dan dengan sebat, dia pun membuka lemari pakaian. Dia keluarkan semua pakaiannya. Juga boneka-boneka kecilnya. Lalu menginjak-injaknya. Dalam pandanganku, saat menginjak-injak itu, dia bukan seperti orang marah. Tapi, orang menari-nari. Ya, ya, bayangkan, apa aku tak ketawa, ketika melihat ikan paus yang gemuk menari-nari? Ha, ha, ha, hampir saja aku mencibirnya. Tapi, cepat aku tahan. Aku tak mau berhantam dengan dia malam-malam.
Dan paginya, seluruh pakaian istriku berserakan. Kotor. Lecu dan mengenaskan. Sedangkan istriku, seperti biasa, cuma tidur di atasnya. Telentang. Dan giginya menggerentam. Seperti catutan yang mengkriuk. Dan diam-diam, seperti biasa, aku punguti pakaian-pakaian yang berserakan itu. Dan kembali lagi menjalani hidupku sebagai tukang cuci. Tukang cuci.
”Apa ada yang lebih ganjil dari gajah yang memakai kaus?” Jawabnya: Tak ada! Itu teka-teki gendeng. Segendeng ukuran kaus istriku ini. Dan lihat! Gede sekali ukurannya, bukan? Apa dobel L? Apa tripel L? Apa kuartet L? My God. Barangkali tak akan terukur. Maka tak perlulah untuk dijawab. Yang jelas, kini aku harus mencucinya. Mencuci dengan bersih.
”Mas, Mas, ini kaus kesayanganku. Terutama sulaman kembang merahnya. Jangan rusak, ya?”
Memang, sejak remaja istriku paling suka kembang merah. Dan kesukaannya ini sering membuat aku gelagapan. Bayangkan, semua barang yang ada di rumah (entah milikku atau miliknya) mesti ada kembang merahnya. Walau ukurannya kecil dan tersembunyi. Jadinya, jangan heran jika diam-diam aku membenci kembang merah itu. Masak di kaus singletku ada kembang merahnya. Di kerah bajuku ada. Dan, dan di celana dalamku pun ada.
Letaknya persis di depan. Jadinya, kalau aku berkaca lucu sekali. Celana dalam laki-laki kok ada kembang merahnya? Huh, jika begini aku benar-benar kelihatan konyol. Dan celakanya, aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku tak berkutik. Aku hanya dapat meredam marah. Dan takut untuk berkaca dalam kondisi setengah telanjang. Padahal, sejak kecil, aku paling suka memperhatikan lekuk-lekuk tubuhku.
”Mas, Mas, kembang merah itu lambang cinta?”
Cinta? Wau, aneh juga pikiran istriku ini. Kembang merah kok lambang cinta? Apa tak ada lambang lain? Kompor kek? Sepatu kek? Atau duit? Ya, aku lebih setuju jika duit adalah lambang cinta. Sebab, apa sih di dunia yang tak bisa dibeli duit? Semua bisa dibeli! Bahkan, apa saja yang dulunya lebih penting dari duit, kini mesti bertekuk-lutut. Klepek-klepek di depan duit. Klepek-klepek seperti ikan kena oli atau kena sampah.
Oya, ngomong-ngomong tentang sampah; karena banyaknya kembang merah di rumahku, aku merasa itu seperti sampah. Sampah kembang merah. Yang menyumbat saluran got. Lalu, membuat kampung jadi banjir. Dan orang-orang kebingungan. Cuma bisa nangkring di genting. Sambil membayangkan: ”Akh, seandainya punya duit, kami akan membeli rumah di gunung. Biar jauh dari banjir?” Ha, betul kan? Apa aku bilang. Duit itu sangat penting. Dan layak dijadikan sebagai lambang cinta. Termasuk, cinta untuk membeli rumah yang jauh dari banjir dan hidup yang nangkring di genting.
Selanjutnya, aku akan mencuci rok bawahan istriku. Seperti ukuran kausnya yang tak terukur, ukuran rok bawahannya pun begitu. Bahkan, ini adalah ukuran yang tak semua toko membuatnya. Sebab, di samping membutuhkan kain yang panjang. Juga tak semua perempuan gemuk mau membeli rok bawahan hasil toko. Mereka takut membuka kekurangan dirinya di depan pelayan toko.
Tapi, hal di atas tidak terjadi pada istriku. Dengan kepercayaan yang tinggi, dia tetap membeli rok bawahan di toko. Dan meski semua ukuran yang besar dia coba, hasilnya tetap saja. Jarang yang pas. Apakah itu kurang besar pinggangnya. Sempit pahanya. Atau, jika ada, maka kebetulan tak ada gambar kembang merahnya. Jadinya, ketika saat belanja tiba, aku sering malas mengantarnya.
”Mas, mulai malu jalan sama aku, ya? Mas, mau mencari daun muda, ya? Jika begitu, kembalikan aku ke orangtuaku!”
Aduh, aku mau ngomong apa lagi. Mengembalikan ke orangtuanya? Ini soal yang juga makin gila. Sebab, orangtua istriku saat ini mengalami musibah. Rumahnya telah tergenang lumpur panas. Yang keluar dari pengeboran minyak yang gagal. Jadinya, orangtua istriku pun kini hidup di penampungan. Dan tiap hari hanya berencana untuk unjuk rasa. Agar pengeboran minyak yang gagal itu mau mengganti rumah mereka yang tergenang.
Rumah yang dibeli secara nyicil. Nyicil 15 tahun. Dan saat ini, baru berjalan tujuh tahun. Kasihan. Kasihan sekali orangtua istriku. Badan mereka kurus drastis. Dan di mata mereka, selalu terbayang kekesalan. Wah, aku tak tahu, bagaimana tambah susahnya jika istriku yang gemuk itu mesti kembali lagi ke mereka. Jangan-jangan akan tambah kesal. Dan tambah mengutuki keadaan yang tak jelas ini.
”Sudahlah. Ayo, kita berangkat!” selaku pada istriku. Selaan yang aku pikir sangat penting daripada dia kembali ke orangtuanya yang ada di penampungan. Dan istriku ketawa. Memang, meski kini telah menjelma ikan paus yang gemuk, tapi ketawanya tetap manis. Dan ketawa itulah yang dari dulu sampai kini membuat aku jatuh hati padanya. Ketawa yang lebih indah daripada matahari sore.
Lain itu, yang perlu juga aku tambahkan, aku paling tidak suka ketika mencuci rok bawahan istriku ini. Sebab, di samping berat, juga menggunakan bahan yang tebal dan kasar. Dan jika diucek seperti menyentak. Dan bahan yang tebal dan kasar ini sangat tak pantas untuk dipakai perempuan. Hanya pantas digunakan para serdadu. Para serdadu yang menenteng senjata api itu.
Para serdadu, yang belakangan pernah salah menembak. Apakah itu menembak keluarganya. Teman seregunya. Atau orang-orang kampung yang bisanya cuma berladang jagung. Ah, mengapa bisa terjadi seperti ini? Padahal, jika jujur, serdadu kan tugasnya melindungi. Melindungi yang lemah. Dan yang selalu dikalahkan. Tapi, mengapa kini terjadi seperti itu? Seperti tidak memiliki kelurusan pekerti?
Barangkali, apa yang sedang terjadi perlu segera dibicarakan. Dicari sisi masalahnya. Dan jika sudah ketemu, bawalah ke rumahku. Aku bersedia mencucinya sampai bersih. Mencuci dengan namaku. Dengan hidupku. Ya, ya, akulah si tukang cuci. Dan aku mesti mencuci. Khususnya mencuci rok bawahan istriku yang berbahan tebal dan kasar ini. Seperti tebal dan kasarnya seragam para serdadu. Yang belakangan pernah salah menembak.
Dan, aduh, inilah kutang istriku yang aku cuci. Warnanya kuning. Ada gambar kembang merah. Kembang merah kecil-kecil. Yang dari kejauhan, seperti rantai mungil. Dan sebagai kutang orang gemuk, buntalan di kedua sisinya seperti bukan buntalan biasa. Malah seperti sepasang bola basket yang menggantung. Bola basket yang seukuran dua kali lipat dari ukuran yang biasa.
Dan untuk barang yang satu ini istriku memang mencintainya. Bahkan, saking cintanya, dia tak bosan membelinya. Mengumpulkan di lemari. Dan dipajang seperti memajang di gantungan-gantungan toko. Gila. Memang gila. Tapi, apa mau dikata, itulah salah satu hobi istriku. Hobi yang disebutnya: ”Tanda keindahan tubuh perempuan….” Ha, ha, ha, bagaimana mungkin perempuan gemuk begitu percaya jika punya buah dada yang indah.
Tapi, biarlah jika itu maunya. Aku tak peduli. Yang aku pedulikan adalah ketika mencuci itu kutang, pikiranku melayang. Dan hinggap pada peristiwa yang pernah menghebohkan. Peristiwa tentang sebuah film. Film perselingkuhan dari seorang pemuka rakyat dengan seorang artis belia. Artis belia, yang belakangan mulai hilang dari sorotan media massa.
Dalam film yang berdurasi lima menit itu, si artis belia berdiri di pantai. Mengibar-ngibarkan kutangnya yang berwarna kuning. Dari kejauhan, si pemuka rakyat mendekat. Lalu keduanya berangkulan. Dan kutang si artis belia terlempar ke pasir. Film selesai. Dan kehebohan pun terjadi. Sebab, ternyata, film itu telah beredar dari ponsel ke ponsel. Dan keluarga si pemuka rakyat pun jadi bulan-bulanan gosip.
Akh, anehnya, ternyata model kutang si artis belia itu tiba-tiba jadi terkenal. Banyak kutang keluaran baru yang mengambil contoh modelnya. Dan aku tak tahu, apakah ini model yang baik atau sebaliknya? Yang jelas, istriku pun membeli model kutang itu. Dan setiap aku mencucinya, aku selalu teringat pada film itu. ”Kok bisanya perselingkuhan semacam itu terjadi? Dan kok bisanya rakyat memukakan orang seperti itu? Dan juga dihibur artis belia seperti itu?”
Ya, aku terus saja mencuci kutang kuning istriku ini. Kutang yang besar. Kutang yang jika dapat berbicara akan berbicara seperti ini: ”Aku dibentuk dari keindahan. Semestinya aku tersembunyi. Dan semestinya juga aku hanya terbuka bagi yang memang layak untuk membuka. Tapi, apa mau dikata, roda terus berputar. Yang di atas kini di bawah. Dan yang rapat pun kini tak rapat lagi. Tak ada tempat bersembunyi.”
Dan sampailah aku mencuci pada cucian yang mendebarkan. Yaitu celana dalam! Ahai, celana dalam istriku benar-benar luar biasa. Dan terus terang saja aku malu untuk bercerita. Masak rahasia pribadi dibuka-buka? Dan masak juga aku mesti mengelupasi topeng di muka ini? Topeng hitam. Putih. Ungu. Dan topeng-topeng yang selalu aku rapatkan agar tak menjadi kasak-kusuk yang busuk? Sekali lagi, aku benar-benar malu dan tak mau.
Tapi, meski begitu, dari ukurannya yang luar biasa ini, tentu ada saja yang punya pikiran yang bukan-bukan. Yang inilah. Yang itulah.
”Mas, Mas, jika telah selesai, tolong dijemur di depan rumah. Jangan kena sinar matahari!”
Aduh, kembali istriku berteriak dari dalam rumah. Dan di dalam rumah, seperti biasa, sehabis marah, istriku tak mau bangkit dari ranjangnya. Dia hanya tidur-tiduran sambil bermain dengan boneka-boneka kecilnya. Boneka-boneka yang hampir semuanya berupa binatang laut. Ada ikan. Ada cumi-cumi. Ada kura-kura. Dan semuanya itu diajaknya berbicara. Berteka-teki. Dan bernyanyi.
”Ayo, apa yang jika malam jalannya miring? Kura-kura bodoh sekali, ya? Yang agak pintar itu memang kepiting!”
Ha, ha, ha, siapa yang tidak ketawa melihat itu semua. Melihat perempuan gemuk asyik berceloteh di ranjangnya. Ranjang yang morat-marit. Ranjang yang kini seperti lautan luas tempat dia berkuasa dan bersemayam. Ya, ya, memang, jika sudah begini, istriku memang benar-benar menjelma ikan paus. Si ratu lautan yang gemuk. Si ratu lautan yang selalu dapat memerintah apa dan siapa pun. Termasuk juga memerintah aku. Suaminya. Si tukang cuci. Yang juga dipanggil tukang cuci. Sebab bernama Tukang Cuci. ”Mas, Mas, jika sudah beres kemarilah, temui aku!”
Akh, kembali istriku berteriak. Dan kembali itu pula, sebelum aku menemuinya, aku memasang sumpal kecil di telingaku. Sumpal kecil yang dibencinya itu. Sumpal kecil yang selalu aku sapa begini: ”Sumpal kecil, sumpal kecil, tetaplah berada di telingaku. Sebab, aku membutuhkanmu bukan untuk menutupi suara istriku. Tetapi, agar aku selalu terhindar dari suara-suara. Suara-suara yang tak bosan-bosan mendesakku agar aku segera berhenti dari kerja cuci-mencuci!”
Gresik, 2009
http://koran.kompas.com/
Perkenalkan. Namaku Tukang Cuci. Pekerjaanku tukang cuci. Hidupku tukang cuci. Dan sebagai tukang cuci, aku mencuci semua yang perlu untuk dicuci. Biar bersih. Biar cling. Tak ada daki. Tak ada kotoran. Dan tak membuat bagi yang memakainya menjadi malu. Lalu membenamkan mukanya ke dalam bak kamar mandi. Mencoba mengusir rasa malunya itu.
Tapi, tunggu, tunggu dulu. Meski aku tukang cuci, aku bukan sembarang mencuci. Aku hanya mencuci pakaian istriku. Istriku yang kini telah menjelma ikan paus yang gemuk. Yang punya mata tajam. Yang saking tajamnya mampu melihat barang-barang renik. Meski dalam kegelapan. Kegelapan yang aku gunakan bercinta dengannya.
”Mas, Mas, apa yang terselip di telingamu itu?”
Begitu katanya saat asyik- asyiknya bercinta. Dan dia meraba telingaku. Terkejut. Sebab, dia menemukan sumpal kecil. Sumpal kecil yang menutup pendengaranku. Akh, dia marah. Matanya yang tajam makin menajam. Dan bruk! Dia membanting aku. Lalu, seperti anak kecil, dia pun menangis tak karuan.
”Mas, Mas, sudah benci pada suaraku, ya? Gila, gila, gila!”
Dan dengan sebat, dia pun membuka lemari pakaian. Dia keluarkan semua pakaiannya. Juga boneka-boneka kecilnya. Lalu menginjak-injaknya. Dalam pandanganku, saat menginjak-injak itu, dia bukan seperti orang marah. Tapi, orang menari-nari. Ya, ya, bayangkan, apa aku tak ketawa, ketika melihat ikan paus yang gemuk menari-nari? Ha, ha, ha, hampir saja aku mencibirnya. Tapi, cepat aku tahan. Aku tak mau berhantam dengan dia malam-malam.
Dan paginya, seluruh pakaian istriku berserakan. Kotor. Lecu dan mengenaskan. Sedangkan istriku, seperti biasa, cuma tidur di atasnya. Telentang. Dan giginya menggerentam. Seperti catutan yang mengkriuk. Dan diam-diam, seperti biasa, aku punguti pakaian-pakaian yang berserakan itu. Dan kembali lagi menjalani hidupku sebagai tukang cuci. Tukang cuci.
”Apa ada yang lebih ganjil dari gajah yang memakai kaus?” Jawabnya: Tak ada! Itu teka-teki gendeng. Segendeng ukuran kaus istriku ini. Dan lihat! Gede sekali ukurannya, bukan? Apa dobel L? Apa tripel L? Apa kuartet L? My God. Barangkali tak akan terukur. Maka tak perlulah untuk dijawab. Yang jelas, kini aku harus mencucinya. Mencuci dengan bersih.
”Mas, Mas, ini kaus kesayanganku. Terutama sulaman kembang merahnya. Jangan rusak, ya?”
Memang, sejak remaja istriku paling suka kembang merah. Dan kesukaannya ini sering membuat aku gelagapan. Bayangkan, semua barang yang ada di rumah (entah milikku atau miliknya) mesti ada kembang merahnya. Walau ukurannya kecil dan tersembunyi. Jadinya, jangan heran jika diam-diam aku membenci kembang merah itu. Masak di kaus singletku ada kembang merahnya. Di kerah bajuku ada. Dan, dan di celana dalamku pun ada.
Letaknya persis di depan. Jadinya, kalau aku berkaca lucu sekali. Celana dalam laki-laki kok ada kembang merahnya? Huh, jika begini aku benar-benar kelihatan konyol. Dan celakanya, aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku tak berkutik. Aku hanya dapat meredam marah. Dan takut untuk berkaca dalam kondisi setengah telanjang. Padahal, sejak kecil, aku paling suka memperhatikan lekuk-lekuk tubuhku.
”Mas, Mas, kembang merah itu lambang cinta?”
Cinta? Wau, aneh juga pikiran istriku ini. Kembang merah kok lambang cinta? Apa tak ada lambang lain? Kompor kek? Sepatu kek? Atau duit? Ya, aku lebih setuju jika duit adalah lambang cinta. Sebab, apa sih di dunia yang tak bisa dibeli duit? Semua bisa dibeli! Bahkan, apa saja yang dulunya lebih penting dari duit, kini mesti bertekuk-lutut. Klepek-klepek di depan duit. Klepek-klepek seperti ikan kena oli atau kena sampah.
Oya, ngomong-ngomong tentang sampah; karena banyaknya kembang merah di rumahku, aku merasa itu seperti sampah. Sampah kembang merah. Yang menyumbat saluran got. Lalu, membuat kampung jadi banjir. Dan orang-orang kebingungan. Cuma bisa nangkring di genting. Sambil membayangkan: ”Akh, seandainya punya duit, kami akan membeli rumah di gunung. Biar jauh dari banjir?” Ha, betul kan? Apa aku bilang. Duit itu sangat penting. Dan layak dijadikan sebagai lambang cinta. Termasuk, cinta untuk membeli rumah yang jauh dari banjir dan hidup yang nangkring di genting.
Selanjutnya, aku akan mencuci rok bawahan istriku. Seperti ukuran kausnya yang tak terukur, ukuran rok bawahannya pun begitu. Bahkan, ini adalah ukuran yang tak semua toko membuatnya. Sebab, di samping membutuhkan kain yang panjang. Juga tak semua perempuan gemuk mau membeli rok bawahan hasil toko. Mereka takut membuka kekurangan dirinya di depan pelayan toko.
Tapi, hal di atas tidak terjadi pada istriku. Dengan kepercayaan yang tinggi, dia tetap membeli rok bawahan di toko. Dan meski semua ukuran yang besar dia coba, hasilnya tetap saja. Jarang yang pas. Apakah itu kurang besar pinggangnya. Sempit pahanya. Atau, jika ada, maka kebetulan tak ada gambar kembang merahnya. Jadinya, ketika saat belanja tiba, aku sering malas mengantarnya.
”Mas, mulai malu jalan sama aku, ya? Mas, mau mencari daun muda, ya? Jika begitu, kembalikan aku ke orangtuaku!”
Aduh, aku mau ngomong apa lagi. Mengembalikan ke orangtuanya? Ini soal yang juga makin gila. Sebab, orangtua istriku saat ini mengalami musibah. Rumahnya telah tergenang lumpur panas. Yang keluar dari pengeboran minyak yang gagal. Jadinya, orangtua istriku pun kini hidup di penampungan. Dan tiap hari hanya berencana untuk unjuk rasa. Agar pengeboran minyak yang gagal itu mau mengganti rumah mereka yang tergenang.
Rumah yang dibeli secara nyicil. Nyicil 15 tahun. Dan saat ini, baru berjalan tujuh tahun. Kasihan. Kasihan sekali orangtua istriku. Badan mereka kurus drastis. Dan di mata mereka, selalu terbayang kekesalan. Wah, aku tak tahu, bagaimana tambah susahnya jika istriku yang gemuk itu mesti kembali lagi ke mereka. Jangan-jangan akan tambah kesal. Dan tambah mengutuki keadaan yang tak jelas ini.
”Sudahlah. Ayo, kita berangkat!” selaku pada istriku. Selaan yang aku pikir sangat penting daripada dia kembali ke orangtuanya yang ada di penampungan. Dan istriku ketawa. Memang, meski kini telah menjelma ikan paus yang gemuk, tapi ketawanya tetap manis. Dan ketawa itulah yang dari dulu sampai kini membuat aku jatuh hati padanya. Ketawa yang lebih indah daripada matahari sore.
Lain itu, yang perlu juga aku tambahkan, aku paling tidak suka ketika mencuci rok bawahan istriku ini. Sebab, di samping berat, juga menggunakan bahan yang tebal dan kasar. Dan jika diucek seperti menyentak. Dan bahan yang tebal dan kasar ini sangat tak pantas untuk dipakai perempuan. Hanya pantas digunakan para serdadu. Para serdadu yang menenteng senjata api itu.
Para serdadu, yang belakangan pernah salah menembak. Apakah itu menembak keluarganya. Teman seregunya. Atau orang-orang kampung yang bisanya cuma berladang jagung. Ah, mengapa bisa terjadi seperti ini? Padahal, jika jujur, serdadu kan tugasnya melindungi. Melindungi yang lemah. Dan yang selalu dikalahkan. Tapi, mengapa kini terjadi seperti itu? Seperti tidak memiliki kelurusan pekerti?
Barangkali, apa yang sedang terjadi perlu segera dibicarakan. Dicari sisi masalahnya. Dan jika sudah ketemu, bawalah ke rumahku. Aku bersedia mencucinya sampai bersih. Mencuci dengan namaku. Dengan hidupku. Ya, ya, akulah si tukang cuci. Dan aku mesti mencuci. Khususnya mencuci rok bawahan istriku yang berbahan tebal dan kasar ini. Seperti tebal dan kasarnya seragam para serdadu. Yang belakangan pernah salah menembak.
Dan, aduh, inilah kutang istriku yang aku cuci. Warnanya kuning. Ada gambar kembang merah. Kembang merah kecil-kecil. Yang dari kejauhan, seperti rantai mungil. Dan sebagai kutang orang gemuk, buntalan di kedua sisinya seperti bukan buntalan biasa. Malah seperti sepasang bola basket yang menggantung. Bola basket yang seukuran dua kali lipat dari ukuran yang biasa.
Dan untuk barang yang satu ini istriku memang mencintainya. Bahkan, saking cintanya, dia tak bosan membelinya. Mengumpulkan di lemari. Dan dipajang seperti memajang di gantungan-gantungan toko. Gila. Memang gila. Tapi, apa mau dikata, itulah salah satu hobi istriku. Hobi yang disebutnya: ”Tanda keindahan tubuh perempuan….” Ha, ha, ha, bagaimana mungkin perempuan gemuk begitu percaya jika punya buah dada yang indah.
Tapi, biarlah jika itu maunya. Aku tak peduli. Yang aku pedulikan adalah ketika mencuci itu kutang, pikiranku melayang. Dan hinggap pada peristiwa yang pernah menghebohkan. Peristiwa tentang sebuah film. Film perselingkuhan dari seorang pemuka rakyat dengan seorang artis belia. Artis belia, yang belakangan mulai hilang dari sorotan media massa.
Dalam film yang berdurasi lima menit itu, si artis belia berdiri di pantai. Mengibar-ngibarkan kutangnya yang berwarna kuning. Dari kejauhan, si pemuka rakyat mendekat. Lalu keduanya berangkulan. Dan kutang si artis belia terlempar ke pasir. Film selesai. Dan kehebohan pun terjadi. Sebab, ternyata, film itu telah beredar dari ponsel ke ponsel. Dan keluarga si pemuka rakyat pun jadi bulan-bulanan gosip.
Akh, anehnya, ternyata model kutang si artis belia itu tiba-tiba jadi terkenal. Banyak kutang keluaran baru yang mengambil contoh modelnya. Dan aku tak tahu, apakah ini model yang baik atau sebaliknya? Yang jelas, istriku pun membeli model kutang itu. Dan setiap aku mencucinya, aku selalu teringat pada film itu. ”Kok bisanya perselingkuhan semacam itu terjadi? Dan kok bisanya rakyat memukakan orang seperti itu? Dan juga dihibur artis belia seperti itu?”
Ya, aku terus saja mencuci kutang kuning istriku ini. Kutang yang besar. Kutang yang jika dapat berbicara akan berbicara seperti ini: ”Aku dibentuk dari keindahan. Semestinya aku tersembunyi. Dan semestinya juga aku hanya terbuka bagi yang memang layak untuk membuka. Tapi, apa mau dikata, roda terus berputar. Yang di atas kini di bawah. Dan yang rapat pun kini tak rapat lagi. Tak ada tempat bersembunyi.”
Dan sampailah aku mencuci pada cucian yang mendebarkan. Yaitu celana dalam! Ahai, celana dalam istriku benar-benar luar biasa. Dan terus terang saja aku malu untuk bercerita. Masak rahasia pribadi dibuka-buka? Dan masak juga aku mesti mengelupasi topeng di muka ini? Topeng hitam. Putih. Ungu. Dan topeng-topeng yang selalu aku rapatkan agar tak menjadi kasak-kusuk yang busuk? Sekali lagi, aku benar-benar malu dan tak mau.
Tapi, meski begitu, dari ukurannya yang luar biasa ini, tentu ada saja yang punya pikiran yang bukan-bukan. Yang inilah. Yang itulah.
”Mas, Mas, jika telah selesai, tolong dijemur di depan rumah. Jangan kena sinar matahari!”
Aduh, kembali istriku berteriak dari dalam rumah. Dan di dalam rumah, seperti biasa, sehabis marah, istriku tak mau bangkit dari ranjangnya. Dia hanya tidur-tiduran sambil bermain dengan boneka-boneka kecilnya. Boneka-boneka yang hampir semuanya berupa binatang laut. Ada ikan. Ada cumi-cumi. Ada kura-kura. Dan semuanya itu diajaknya berbicara. Berteka-teki. Dan bernyanyi.
”Ayo, apa yang jika malam jalannya miring? Kura-kura bodoh sekali, ya? Yang agak pintar itu memang kepiting!”
Ha, ha, ha, siapa yang tidak ketawa melihat itu semua. Melihat perempuan gemuk asyik berceloteh di ranjangnya. Ranjang yang morat-marit. Ranjang yang kini seperti lautan luas tempat dia berkuasa dan bersemayam. Ya, ya, memang, jika sudah begini, istriku memang benar-benar menjelma ikan paus. Si ratu lautan yang gemuk. Si ratu lautan yang selalu dapat memerintah apa dan siapa pun. Termasuk juga memerintah aku. Suaminya. Si tukang cuci. Yang juga dipanggil tukang cuci. Sebab bernama Tukang Cuci. ”Mas, Mas, jika sudah beres kemarilah, temui aku!”
Akh, kembali istriku berteriak. Dan kembali itu pula, sebelum aku menemuinya, aku memasang sumpal kecil di telingaku. Sumpal kecil yang dibencinya itu. Sumpal kecil yang selalu aku sapa begini: ”Sumpal kecil, sumpal kecil, tetaplah berada di telingaku. Sebab, aku membutuhkanmu bukan untuk menutupi suara istriku. Tetapi, agar aku selalu terhindar dari suara-suara. Suara-suara yang tak bosan-bosan mendesakku agar aku segera berhenti dari kerja cuci-mencuci!”
Gresik, 2009
Melodrama dan Tragedi: Kawan Bergelut
Judul Buku : Serimpi: Sebuah Dedikasi untuk Perempuan
Penulis : Rohana Handaningrum
Penerbit : Jaring Pena
Cetakan : Pertama, Januari 2010
Tebal : 138 halaman
Peresensi : S. Jai
http://www.surabayapost.co.id/
Perjuangan keras manusia demi pengutuhan diri dalam sejarah umat manusia tak kunjung usai. Usaha ini tergambar jelas dari pergulatan sikap romantisme dalam dirinya, sekukuh romantisme itu sendiri. Keduanya saling mendaku dalam menempatkan antara sesuatu dunia yang diidealkan dan harapan akan memboyong cinta yang harmonis dengan Tuhannya.
Pendeknya, di satu sisi berkawan dengan pikirannya, di sisi lain bergelut dengan keindahan mimpi dan perasaannya yang mendalam.
Inilah yang hingga dewasa ini masih pula diperdebatkan apakah keduanya bisa berdamai dalam satu kenyataan (realisme) ataukah saling dipertentangkan (hiperrealisme). Pandangan kritis tersebut, nampaknya juga berdampak pada estetika dunia fiksi, tak terkecuali prosa, meskipun dengan kerendahan hati prosa senantiasa sanggup menampung keduanya—realisme, lukisan khayal, bahkan mimpi. Kendati pada sisi lain kerendahatian fiksi juga mengambil resiko kesanggupan untuk menampung apapun: melodrama sekaligus tragedi yang berdiam atau melintas pada diri tokoh-tokohnya.
Mengutipi kamus sederhana Simpliology-nya Mark Joyner, melodrama sebagai situasi yang tidak bisa dihindari, terlepas dari usaha terbaik sang korban peristiwa dan tragedi sebagai lakon yang menggambarkan berbagai peristiwa malang akibat kelemahan karakter seseorang. Pada melodrama, ada takdir yang menempatkan dirinya dalam situasi hitam atau putih. Sementara tragedi lebih menyingkap kesanggupan untuk mengampu pada keyakinan yang hidup dan tumbuh dalam dirinya. Semacam konflik dalam diri akibat tragika antara nasib dan kebebasan, antara “hukuman” dan hasrat jiwa.
Titik temu dari silang sengkarut itu ada pada kualitas karakter tokoh-tokoh secara psikologis—meski sudah barang tentu sonder lepas dari aspek sosiologis. Ada tiga demensi yang terbentuk karenanya, yang dalam bahasa Giddens disebut motivasi tak sadar (unconciuous motives), kesadaran praktis (practical consciousness) dan kesadaran diskursif (discursive counsciousness). Pada dunia fiksi, ketiga-tiganya tentu bisa berkecamuk dalam satu dunia, meski tentu ada yang mendominasi.
Membaca sebagaian besar cerita-cerita dalam kumpulan cerpen Serimpi, karya Rohana Handaningrum bergerak dalam pergumulan itu. Ada dominasi tampilan kesadaran diskursif yang mengacu kepada kapasitas penulis baik antar teks maupun melalui tokoh-tokohnya untuk merefleksikan secara rinci serta eksplisit dibanding dua kesadaran yang lain. Utamanya, kesadaran itu tampak jelas pada penggunaan “teks lain.” Hal ini mengingatkan gaya penyampaian novel laris The Name of The Rose-nya Umberto Eco. Seakan-akan ada intertektualitas di setiap satu cerita. Teks lain yang mendahului setiap cerita jelas dimaksudkan sebagai suatu dunia yang diidealkan, sementara cerita itu sendiri adalah dunia yang lain.
Pada Serimpi nampak sekali masalah psikologi yang tidak pernah tuntas di dunia keilmuan, ternyata telah sanggup dilampaui dalam dunia fiksi—cerita pendek. Bahkan sebaliknya penulis punya keberanian untuk menyoal, menggugat, atau setidaknya mempertanyakan. Keberanian yang berbekal kepekaan dan kecerdasan untuk tidak hanya menerima “dunia” apa adanya. Mungkin dalam pengertian sastra bukan kecerdasan yang sungguh-sungguh ada pada Rohana. Melainkan kejujuran. Kejujuran serta kerendahan hati bahwa ia memang berbakat untuk mempersoalkan, mempertanyakan, menggugat kehidupan yang melintas padanya.
Dimatanya, bahkan dengan kacamata psikologi, terlalu banyak yang disaksikan dunia ini omong kosong, ketidakseimbangan, atau lebih tepatnya potongan-potongan yang tidak utuh, karena dalam ilmu psikologi pun nyata-nyata otak terlampau mendominasi. Karena itu, Rohana mempertimbangkan sungguh selain penguasaan ilmu psikologi yang cukup matang, ia sangat perlu menghadirkan hati—kepekaan rasa kemanusiaan dan ketuhanan yang dalam bahasa saya sebetulnya keberanian untuk menciptakan ketegangan antara yang imanensi dan transendensi.
Karena itu, ia cukup tahu ketika memasuki wilayah ini merupakan wilayah kunci sekalipun tidak secara eksplisit memihak kepada yang benar atau yang salah, yang hitam atau yang putih. Hati punya ukurannya sendiri, juga tentang kebenaran. Bahkan hatipun punya nalarnya sendiri. Yang menarik sebelum cerita-ceritanya “menusuk hati” penulis memang sedang berjuang untuk tidak sunguh-sungguh memilih dikotomi benar-salah, hitam-putih. Ia sadar tak sudi terjebak nalarnya sendiri yang dalam keseluruhan cerpennya membuktikan ketakharmonisan, ketakadanya pengutuhan kualitas hidup. Di otaknya ia terus bergolak bahwa pikiran orang lain telah sedemikian masif menggergaji bagian-bagian tubuh (perempuan).
Dengan sadar dan ketaksadarannya yang tinggi cerita-ceritanya ditulis atas spirit mengutuhkan rasa kemanusiaan itu. Sebagai seorang yang paham psikolog, apalagi jebolan jurusan psikologi, tentu Rohana telah menyentuh wilayah apa yang disebut Gustav Jung bahwa setiap benda padat memiliki sisi-bayangnya sendiri. Bagian bayang dari pikiran adalah bagian esensial dari bentuknya. Mengingkari bayangannya sendiri berarti kehilangan kepadatan, menjadi semacam hantu.
Dari sinilah kemudian, ia berpendapat pengakuan atas sisi gelap manusia ini sangat penting kalau kita ingin mencapai kepenuhan integritas diri dan bertindak secara lebih realitis. Penulis pun tak lupa mempertanyakan siapa sebetulnya yang menciptakan sisi gelap dan terang kenyataan hidup di semesta ini? Sebagai dunia fiksi, cerpen-cerpen Rohana memang tak menjawab pasti pertanyaan itu. Barangkali cerpen-cerpennya dimaksudkan menyelipkan jawaban atas pertanyaan itu dalam bentuk pesan. Akan tetapi pesanpun dalam dunia fiksi tidak terlampau penting. Justru yang terpenting dalam fiksi adalah kesan dan cerpen-cerpen Rohana cukup berkesan.
Dari sisi mempertimbangkan estetika seperti itu, kirinya Rohana sangat mungkin terhitung pengarang muda yang berbakat. Bukan tidak mungkin kelak di kemudian hari bila ia sanggup mengasah bakat dan kepekaannya, Rohana bisa meledakkan segenap daya kepangarangannya lebih matang. Pertanyaan-pertanyaan yang terkandung dalam karyanya (semacam filsafat dalam sastra—meskipun sastra tak menyampaikan ajaran filsafat) tentu bakal lebih esensial. Dalam hal ini sudah tentu wilayah yang dimaksud adalah imajinasi, persepsi, intuisi, interpretasi atas kehidupan dipilihnya menjadi lebih kaya. Sebagai pembaca, terkesan bahwa cerita-cerita Rohana sangatlah inspiratif dan cukup menggugah dari keempat hal tersebut.
Pada cerpen Masokhis misalnya, ia menterjemahkan dan mengajukan penafsiran cinta dengan rasa sakit. Lalu, gadis yang dicap anak haram yang perawan menguji keperjakaan lelaki yang sepuluh tahun lebih tua darinya dalam Parabhen. Cerpen Larasati tak jatuh sentimentil, meski tentang kesulitan tokoh untuk jatuh cinta karena sedang mengalami bisu tuli. Dari sisi teknik penceritaan paling unggul pada Skandal dengan kejutan yang luar biasa mengarah pada berbau mistis atau surealis.
Pada cerpen Sepenggal Aku, ada nuansa yang sangat biografis. Namun dalam fiksi tidak menjadi soal apakah itu biografis atau bukan. Cerpen ini sangat kaya dengan kemungkinan lukisan dan persepsi sosial. Sementara cerpen Serimpi boleh dikata paling kuat mencerminkan pandangan dunia pengarang dalam hal masalah sosial—utamanya masalah kemiskinan yang menjadi background dari hampir keseluruhan cerpen Rohana. Pertanyaan yang tak mudah dijawab dengan analisa yang miskin adalah mengapa Rohana memilih segenap daya kepangarangannya dalam buku ini, mengarahkan mata penanya pada orang-orang miskin?
Kiranya inilah pertanyaan yang menggoda dan tak kalah menariknya yang menjadi bagian paradigma estetika Rohana Handaningrum.
Penulis : Rohana Handaningrum
Penerbit : Jaring Pena
Cetakan : Pertama, Januari 2010
Tebal : 138 halaman
Peresensi : S. Jai
http://www.surabayapost.co.id/
Perjuangan keras manusia demi pengutuhan diri dalam sejarah umat manusia tak kunjung usai. Usaha ini tergambar jelas dari pergulatan sikap romantisme dalam dirinya, sekukuh romantisme itu sendiri. Keduanya saling mendaku dalam menempatkan antara sesuatu dunia yang diidealkan dan harapan akan memboyong cinta yang harmonis dengan Tuhannya.
Pendeknya, di satu sisi berkawan dengan pikirannya, di sisi lain bergelut dengan keindahan mimpi dan perasaannya yang mendalam.
Inilah yang hingga dewasa ini masih pula diperdebatkan apakah keduanya bisa berdamai dalam satu kenyataan (realisme) ataukah saling dipertentangkan (hiperrealisme). Pandangan kritis tersebut, nampaknya juga berdampak pada estetika dunia fiksi, tak terkecuali prosa, meskipun dengan kerendahan hati prosa senantiasa sanggup menampung keduanya—realisme, lukisan khayal, bahkan mimpi. Kendati pada sisi lain kerendahatian fiksi juga mengambil resiko kesanggupan untuk menampung apapun: melodrama sekaligus tragedi yang berdiam atau melintas pada diri tokoh-tokohnya.
Mengutipi kamus sederhana Simpliology-nya Mark Joyner, melodrama sebagai situasi yang tidak bisa dihindari, terlepas dari usaha terbaik sang korban peristiwa dan tragedi sebagai lakon yang menggambarkan berbagai peristiwa malang akibat kelemahan karakter seseorang. Pada melodrama, ada takdir yang menempatkan dirinya dalam situasi hitam atau putih. Sementara tragedi lebih menyingkap kesanggupan untuk mengampu pada keyakinan yang hidup dan tumbuh dalam dirinya. Semacam konflik dalam diri akibat tragika antara nasib dan kebebasan, antara “hukuman” dan hasrat jiwa.
Titik temu dari silang sengkarut itu ada pada kualitas karakter tokoh-tokoh secara psikologis—meski sudah barang tentu sonder lepas dari aspek sosiologis. Ada tiga demensi yang terbentuk karenanya, yang dalam bahasa Giddens disebut motivasi tak sadar (unconciuous motives), kesadaran praktis (practical consciousness) dan kesadaran diskursif (discursive counsciousness). Pada dunia fiksi, ketiga-tiganya tentu bisa berkecamuk dalam satu dunia, meski tentu ada yang mendominasi.
Membaca sebagaian besar cerita-cerita dalam kumpulan cerpen Serimpi, karya Rohana Handaningrum bergerak dalam pergumulan itu. Ada dominasi tampilan kesadaran diskursif yang mengacu kepada kapasitas penulis baik antar teks maupun melalui tokoh-tokohnya untuk merefleksikan secara rinci serta eksplisit dibanding dua kesadaran yang lain. Utamanya, kesadaran itu tampak jelas pada penggunaan “teks lain.” Hal ini mengingatkan gaya penyampaian novel laris The Name of The Rose-nya Umberto Eco. Seakan-akan ada intertektualitas di setiap satu cerita. Teks lain yang mendahului setiap cerita jelas dimaksudkan sebagai suatu dunia yang diidealkan, sementara cerita itu sendiri adalah dunia yang lain.
Pada Serimpi nampak sekali masalah psikologi yang tidak pernah tuntas di dunia keilmuan, ternyata telah sanggup dilampaui dalam dunia fiksi—cerita pendek. Bahkan sebaliknya penulis punya keberanian untuk menyoal, menggugat, atau setidaknya mempertanyakan. Keberanian yang berbekal kepekaan dan kecerdasan untuk tidak hanya menerima “dunia” apa adanya. Mungkin dalam pengertian sastra bukan kecerdasan yang sungguh-sungguh ada pada Rohana. Melainkan kejujuran. Kejujuran serta kerendahan hati bahwa ia memang berbakat untuk mempersoalkan, mempertanyakan, menggugat kehidupan yang melintas padanya.
Dimatanya, bahkan dengan kacamata psikologi, terlalu banyak yang disaksikan dunia ini omong kosong, ketidakseimbangan, atau lebih tepatnya potongan-potongan yang tidak utuh, karena dalam ilmu psikologi pun nyata-nyata otak terlampau mendominasi. Karena itu, Rohana mempertimbangkan sungguh selain penguasaan ilmu psikologi yang cukup matang, ia sangat perlu menghadirkan hati—kepekaan rasa kemanusiaan dan ketuhanan yang dalam bahasa saya sebetulnya keberanian untuk menciptakan ketegangan antara yang imanensi dan transendensi.
Karena itu, ia cukup tahu ketika memasuki wilayah ini merupakan wilayah kunci sekalipun tidak secara eksplisit memihak kepada yang benar atau yang salah, yang hitam atau yang putih. Hati punya ukurannya sendiri, juga tentang kebenaran. Bahkan hatipun punya nalarnya sendiri. Yang menarik sebelum cerita-ceritanya “menusuk hati” penulis memang sedang berjuang untuk tidak sunguh-sungguh memilih dikotomi benar-salah, hitam-putih. Ia sadar tak sudi terjebak nalarnya sendiri yang dalam keseluruhan cerpennya membuktikan ketakharmonisan, ketakadanya pengutuhan kualitas hidup. Di otaknya ia terus bergolak bahwa pikiran orang lain telah sedemikian masif menggergaji bagian-bagian tubuh (perempuan).
Dengan sadar dan ketaksadarannya yang tinggi cerita-ceritanya ditulis atas spirit mengutuhkan rasa kemanusiaan itu. Sebagai seorang yang paham psikolog, apalagi jebolan jurusan psikologi, tentu Rohana telah menyentuh wilayah apa yang disebut Gustav Jung bahwa setiap benda padat memiliki sisi-bayangnya sendiri. Bagian bayang dari pikiran adalah bagian esensial dari bentuknya. Mengingkari bayangannya sendiri berarti kehilangan kepadatan, menjadi semacam hantu.
Dari sinilah kemudian, ia berpendapat pengakuan atas sisi gelap manusia ini sangat penting kalau kita ingin mencapai kepenuhan integritas diri dan bertindak secara lebih realitis. Penulis pun tak lupa mempertanyakan siapa sebetulnya yang menciptakan sisi gelap dan terang kenyataan hidup di semesta ini? Sebagai dunia fiksi, cerpen-cerpen Rohana memang tak menjawab pasti pertanyaan itu. Barangkali cerpen-cerpennya dimaksudkan menyelipkan jawaban atas pertanyaan itu dalam bentuk pesan. Akan tetapi pesanpun dalam dunia fiksi tidak terlampau penting. Justru yang terpenting dalam fiksi adalah kesan dan cerpen-cerpen Rohana cukup berkesan.
Dari sisi mempertimbangkan estetika seperti itu, kirinya Rohana sangat mungkin terhitung pengarang muda yang berbakat. Bukan tidak mungkin kelak di kemudian hari bila ia sanggup mengasah bakat dan kepekaannya, Rohana bisa meledakkan segenap daya kepangarangannya lebih matang. Pertanyaan-pertanyaan yang terkandung dalam karyanya (semacam filsafat dalam sastra—meskipun sastra tak menyampaikan ajaran filsafat) tentu bakal lebih esensial. Dalam hal ini sudah tentu wilayah yang dimaksud adalah imajinasi, persepsi, intuisi, interpretasi atas kehidupan dipilihnya menjadi lebih kaya. Sebagai pembaca, terkesan bahwa cerita-cerita Rohana sangatlah inspiratif dan cukup menggugah dari keempat hal tersebut.
Pada cerpen Masokhis misalnya, ia menterjemahkan dan mengajukan penafsiran cinta dengan rasa sakit. Lalu, gadis yang dicap anak haram yang perawan menguji keperjakaan lelaki yang sepuluh tahun lebih tua darinya dalam Parabhen. Cerpen Larasati tak jatuh sentimentil, meski tentang kesulitan tokoh untuk jatuh cinta karena sedang mengalami bisu tuli. Dari sisi teknik penceritaan paling unggul pada Skandal dengan kejutan yang luar biasa mengarah pada berbau mistis atau surealis.
Pada cerpen Sepenggal Aku, ada nuansa yang sangat biografis. Namun dalam fiksi tidak menjadi soal apakah itu biografis atau bukan. Cerpen ini sangat kaya dengan kemungkinan lukisan dan persepsi sosial. Sementara cerpen Serimpi boleh dikata paling kuat mencerminkan pandangan dunia pengarang dalam hal masalah sosial—utamanya masalah kemiskinan yang menjadi background dari hampir keseluruhan cerpen Rohana. Pertanyaan yang tak mudah dijawab dengan analisa yang miskin adalah mengapa Rohana memilih segenap daya kepangarangannya dalam buku ini, mengarahkan mata penanya pada orang-orang miskin?
Kiranya inilah pertanyaan yang menggoda dan tak kalah menariknya yang menjadi bagian paradigma estetika Rohana Handaningrum.
Penyair dan Alquran dalam Rekaman Sejarah
Aguk Irawan MN*
http://www.infoanda.com/Republika
Penyair-penyair itu diikuti orang-orang yang sesat. Tidakkah kau lihat mereka menenggelamkan diri dalam sembarang lembah khayalan dan kata. Dan mereka sering mengujarkan apa yang tak mereka kerjakan. Kecuali mereka yang beriman, beramal baik, banyak mengingat dan menyebut Allah dan melakukan pembelaan ketika didzalimi. (QS As-Syu’ara, 24-27)
Di dalam literatur kesusastraan Arab, sebagaimana direkam oleh Syauqi Dlaif dalam buku Tarikh al-Adab al-Arabi (Kairo: Dar al-Maarif, 1968), dijelaskan ahwa Alquran diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, tidak saja membawa petunjuk yang benar, tapi juga sebagai ‘penyaing’ keulungan sastra Jahily.
Keulungan sastra Jahily saat itu memang tak diragukan lagi oleh banyak pengamat kebudayaan. Manuskrip-manukskrip kuno (sastra Jahily), membuktikan hal itu. Tetapi, pada zaman itu jangan ditanya bagaimana etika dan moral masyarakatnya. Ibnu Qutaibah dalam buku Asy-Syi’ir wa as-Asyu’ara (Beirut: Dar ats-Tsaqafah, 1969) menceritakan dengan detail prilaku (kebiasaan) masyarakat Jahily (penyair Jahily) yang amarol dan amat asusila.
Pertanyaannya, kenapa sastra yang konon sebagai penyangga suatu peradaban seperti tak berguna? Tentu, karena Islam percaya, hanya karya sastra yang beretika (baca: bermoral), dan yang mengajak dalam kebaikan, serta menjauhi segala kefasadanlah yang bisa membawa kehidupan masyarakat menjadi lebih baik, yang mampu menyangga peradaban.
Sejarawan Muslim at-Tahawani menceritakan, sejarah turunnya surat As-Syu’ara (para penyair) dilatarbelakangi kenyataan bahwa di sekeliling Nabi adalah para penyair, seperti Ka’ab bin Zuhair, Labib bin Rabi’ah, Imri’ al-Qois, Abu Mihjan ats-Tsaqafi, Abu ath-Thamhan al-Qaini, Dhabi bin al-Harist al-Barjami, Suhaim Abdul Bani al-Hashas, an-Najasy al-Haritsi, dan Syabil bin-Waraqa.
Ketika turun ayat, “Dan para penyair diikuti oleh orang-orang yang sesat,” lantas Hasan bin Tsabit dan Ibnu Rawahah, yang dikenal sebagai penyair Muslim, cepat-cepat menghadap Nabi SAW, dan berkata, “Wahai Rasulallah, ayat tersebut telah turun, dan engkau sungguh mengetahui bahwa kami ini adalah penyair.”
Nabi kemudian bersabda, “Sesungguhnya orang mukmin berjuang melalui pedang dan lidah (tinta)-nya.” At-Tahawani kemudian mengutip pendapat al-Baidhawi dalam menafsirkan ayat tersebut. Menurutnya, memang sebagian besar penyair saat itu hanya mengungkapkan khayalan-khayalan yang jauh dari kebenaran, dan sebagain besar dari mereka itu telah mengumbar syahwatnya melalui kata-kata berkaitan dengan cinta dan pencabulan, cumbu rayu, menyebut sifat perempuan dan bentuk tubuhnya dengan telanjang, laksana mereka melihat onta di hadapannya, janji dusta, dan bangga dengan sesuatu yang tidak benar, juga hinaan kepada sesamanya.
Kemudian, dia menjelaskan Firman Allah selanjutnya, “Kecuali orang-orang yang beriman”, sebagai pengecualian penyair mukmin yang baik, yang sering mengingat Allah, dan dorongan untuk memegang pada norma atau etika, seperti menjaga kemaluan, penyeruan untuk beribadah kepada Allah, bersilaturahim dan semacamnya (At-Tahawani, Kasyaf Isthilahat al-Funun, Juz II, hlm 744-755).
Dari penjelasan tersebut dapat menyimpulkan, untuk menopang peradaban suatu bangsa, kita tidak bisa berharap pada karya-karya sastra yang hanya mengandung nilai-nilai rendahan? Dan, sejarah sastra Jahily telah membuktikan kegagalannya. Pada QS As-Syu’ara ayat 24-27, sebelum penunjukan (klaim) bahwa penyair-penyair itu diikuti orang-orang yang sesat, ayat sebelumnya memberitahukan kepada kita, kepada siapa syetan itu akan turun? Sebagai jawaban, ayat berikutnya menjawab, bahwa syetan akan turun kepada pendusta dan kepada penyair.
Dalam Alquran, sebutan penyair dinyatakan secara bersama-sama dengan beberapa sebutan seperti orang gila, penyihir, dukun dan juga dengan sebutan syetan. Alquran, menyebutkan kata penyair secara khusus dan sangat terang sebanyak 10 kali, dan dengan bentuk derivasinya (sinonimnya) sekitar 60 kali (lihat, Mu’jam Alfadz al-Qur’an Karim, cet II, Juz 1, Kairo: Haiah al-Masry al-Amma, 1970, hal 575-577). Dan, secara istimewa, bahkan menyebut satu surahnya, dengan nama As-Syu’ara (para penyair).
Karena Alquran telah menyebut penyair secara bersamaan dengan sebutan penyihir, dukun dan sebutan orang gila, maka pertanyaan selanjutnya adalah, apakah Islam melarang umatnya membuat puisi? Jumhur ulama telah sepakat mengatakan, bahwa perbuatan sihir (belajar sihir) dan semacamnya adalah haram, sebab ia mengarah pada sesuatu yang dilarang (persekutuan dengan syetan). Atas dasar ini, ditegaskan bahwa Alquran bukan hasil dari sihir (perdukunan), bukan pula karya syetan, bukan pula karya puisi.
Allah berfirman, “Alquran bukanlah perkataan seorang penyair, sedikit sekali mereka yang beriman, juga bukan ucapan dukun, sedikit sekali mereka menyadari.” (Qs Al-Haqqah: 41-42). Jadi, nabi bukan seorang penyihir juga bukan seorang penyair. Nabi adalah penerima kalamullah (Alquran).
Kalau begitu, kenapa Alquran telah menyebut penyair secara bersamaan dengan sebutan penyihir, dukun dan sebutan orang gila? Ada cukup banyak alasan. Salah satunya, berpuisi adalah tindakan yang hampir sama dengan perbuatan sihir. Atau dalam bahasa lain, berpuisi memang bentuk sihir dalam bahasa.
Imam Malik bin Anas, dalam Al-Muwatha (Kairo, Kitab al-Kalam, 1951 hlm 609-610) mengutip hadis Nabi, “Sesungguhnya dalam pemakaian bahasa terkandung sihir.” Hadis ini turun, menurutnya, ketika sahabat Nabi dibuat berdecak kagum dengan kedatangan dua orang laki-laki dari Timur kemudian berpidato dengan retorika yang bagus, disertai dengan pembacaan puisi yang amat memukau.
Atas dasar itulah, ketika ditanya sahabat, apakah Nabi pernah berpuisi, Aisyah menjawab bahwa puisi adalah bentuk omongan yang ia benci (Ath-Thabari, Jami’ al-Bayan, Juz IX, hlm 224).
Tetapi, riwayat lain menyebutkan, betapa Nabi sangat apresiatif terhadap para penyair, sebagaimana yang dilakukan kepada Hasan bin Tsabit. Al-Mubarad adalah salah seorang sahabat sering meriwayatkan sikap apresiasi Nabi kepada penyair. Menurutnya, Rasullah sering menatap penyair dengan wajah tersenyum dan bersabda, “Padamu semoga Allah memberi kemantapan hati.” Hal ini dilakukan Nabi tatkala mendengar kasidahnya Ibnu Rawahah (Muhammad bin Sulam al-Jumahi, Thabaqat Fuhul asy-Syu’ara, hlm 188).
Ada cukup banyak riwayat yang menyebutkan sikap Nabi terhadap penyair, baik yang negatif maupun yang positif. Beliau senang mendengar puisi tertentu dari penyair tertentu dan benci dengan puisi tertentu dari penyair tertentu. Sikap Nabi jelas, tentu didasarkan pada isi (teks) puisi, dan tidak peduli siapapun yang membacakannya.
Dengan demikian, ketika Alquran diturunkan kepada para penyair Jahily, di dalamnya ada fungsi baru dalam kesusastraan. Alquran (dengan sikap Nabi) tidak menginginkan puisi hanya dipakai sebagai alat untuk menghayal ke lembah-lembah tanpa maksud kebaikan, atau hanya untuk mengumbar nafsu dan sejenisnya. Karenanya, Alquran hanya membenarkan puisi yang sejalan dengan kebaikan. Dan ini membuktikan bahwa Alquran telah melemahkan posisi perdukunan (sihir), akan tetapi tidak melemahkan posisi penyair dengan puisinya.
Sikap para penyair Jahily kemudian terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, mereka mempertahankan nilai-nilai yang dominan, nilai lama yang diakui oleh Islam, dan nilai baru yang dibawa (terkandung) dalam Islam. Kedua, mereka memberontak dan menyimpang dari nilai-nilai tersebut. Karena menganggap bahwa berpuisi adalah pengalaman subyektif yang tak bisa diatur oleh norma atau agama.
Tetapi, dalam sejarah tercatat, bahwa Nabi beserta para khalifahnya kemudian terus mendorong para penyair agar terus berpuisi — dilakukan setelah mengetahui penyair Labid bin Rabi’ah melakukan aksi mogok menjadi penyair setelah turunnya QS As-Syu’ara — asal mereka masih berpegang pada pendirian yang pertama, yakni mempertahankan nilai-nilai lama yang dibenarkan oleh Islam dan nilai-nilai baru yang dibawa oleh ajaran Islam. Sekarang tergantung pada kita, mau meilih jalan yang mana: jalan yang dianjurkan Nabi atau jalan penyair Jahily yang amoral itu?
*) Peneliti, alumnus Al-Azhar.
http://www.infoanda.com/Republika
Penyair-penyair itu diikuti orang-orang yang sesat. Tidakkah kau lihat mereka menenggelamkan diri dalam sembarang lembah khayalan dan kata. Dan mereka sering mengujarkan apa yang tak mereka kerjakan. Kecuali mereka yang beriman, beramal baik, banyak mengingat dan menyebut Allah dan melakukan pembelaan ketika didzalimi. (QS As-Syu’ara, 24-27)
Di dalam literatur kesusastraan Arab, sebagaimana direkam oleh Syauqi Dlaif dalam buku Tarikh al-Adab al-Arabi (Kairo: Dar al-Maarif, 1968), dijelaskan ahwa Alquran diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, tidak saja membawa petunjuk yang benar, tapi juga sebagai ‘penyaing’ keulungan sastra Jahily.
Keulungan sastra Jahily saat itu memang tak diragukan lagi oleh banyak pengamat kebudayaan. Manuskrip-manukskrip kuno (sastra Jahily), membuktikan hal itu. Tetapi, pada zaman itu jangan ditanya bagaimana etika dan moral masyarakatnya. Ibnu Qutaibah dalam buku Asy-Syi’ir wa as-Asyu’ara (Beirut: Dar ats-Tsaqafah, 1969) menceritakan dengan detail prilaku (kebiasaan) masyarakat Jahily (penyair Jahily) yang amarol dan amat asusila.
Pertanyaannya, kenapa sastra yang konon sebagai penyangga suatu peradaban seperti tak berguna? Tentu, karena Islam percaya, hanya karya sastra yang beretika (baca: bermoral), dan yang mengajak dalam kebaikan, serta menjauhi segala kefasadanlah yang bisa membawa kehidupan masyarakat menjadi lebih baik, yang mampu menyangga peradaban.
Sejarawan Muslim at-Tahawani menceritakan, sejarah turunnya surat As-Syu’ara (para penyair) dilatarbelakangi kenyataan bahwa di sekeliling Nabi adalah para penyair, seperti Ka’ab bin Zuhair, Labib bin Rabi’ah, Imri’ al-Qois, Abu Mihjan ats-Tsaqafi, Abu ath-Thamhan al-Qaini, Dhabi bin al-Harist al-Barjami, Suhaim Abdul Bani al-Hashas, an-Najasy al-Haritsi, dan Syabil bin-Waraqa.
Ketika turun ayat, “Dan para penyair diikuti oleh orang-orang yang sesat,” lantas Hasan bin Tsabit dan Ibnu Rawahah, yang dikenal sebagai penyair Muslim, cepat-cepat menghadap Nabi SAW, dan berkata, “Wahai Rasulallah, ayat tersebut telah turun, dan engkau sungguh mengetahui bahwa kami ini adalah penyair.”
Nabi kemudian bersabda, “Sesungguhnya orang mukmin berjuang melalui pedang dan lidah (tinta)-nya.” At-Tahawani kemudian mengutip pendapat al-Baidhawi dalam menafsirkan ayat tersebut. Menurutnya, memang sebagian besar penyair saat itu hanya mengungkapkan khayalan-khayalan yang jauh dari kebenaran, dan sebagain besar dari mereka itu telah mengumbar syahwatnya melalui kata-kata berkaitan dengan cinta dan pencabulan, cumbu rayu, menyebut sifat perempuan dan bentuk tubuhnya dengan telanjang, laksana mereka melihat onta di hadapannya, janji dusta, dan bangga dengan sesuatu yang tidak benar, juga hinaan kepada sesamanya.
Kemudian, dia menjelaskan Firman Allah selanjutnya, “Kecuali orang-orang yang beriman”, sebagai pengecualian penyair mukmin yang baik, yang sering mengingat Allah, dan dorongan untuk memegang pada norma atau etika, seperti menjaga kemaluan, penyeruan untuk beribadah kepada Allah, bersilaturahim dan semacamnya (At-Tahawani, Kasyaf Isthilahat al-Funun, Juz II, hlm 744-755).
Dari penjelasan tersebut dapat menyimpulkan, untuk menopang peradaban suatu bangsa, kita tidak bisa berharap pada karya-karya sastra yang hanya mengandung nilai-nilai rendahan? Dan, sejarah sastra Jahily telah membuktikan kegagalannya. Pada QS As-Syu’ara ayat 24-27, sebelum penunjukan (klaim) bahwa penyair-penyair itu diikuti orang-orang yang sesat, ayat sebelumnya memberitahukan kepada kita, kepada siapa syetan itu akan turun? Sebagai jawaban, ayat berikutnya menjawab, bahwa syetan akan turun kepada pendusta dan kepada penyair.
Dalam Alquran, sebutan penyair dinyatakan secara bersama-sama dengan beberapa sebutan seperti orang gila, penyihir, dukun dan juga dengan sebutan syetan. Alquran, menyebutkan kata penyair secara khusus dan sangat terang sebanyak 10 kali, dan dengan bentuk derivasinya (sinonimnya) sekitar 60 kali (lihat, Mu’jam Alfadz al-Qur’an Karim, cet II, Juz 1, Kairo: Haiah al-Masry al-Amma, 1970, hal 575-577). Dan, secara istimewa, bahkan menyebut satu surahnya, dengan nama As-Syu’ara (para penyair).
Karena Alquran telah menyebut penyair secara bersamaan dengan sebutan penyihir, dukun dan sebutan orang gila, maka pertanyaan selanjutnya adalah, apakah Islam melarang umatnya membuat puisi? Jumhur ulama telah sepakat mengatakan, bahwa perbuatan sihir (belajar sihir) dan semacamnya adalah haram, sebab ia mengarah pada sesuatu yang dilarang (persekutuan dengan syetan). Atas dasar ini, ditegaskan bahwa Alquran bukan hasil dari sihir (perdukunan), bukan pula karya syetan, bukan pula karya puisi.
Allah berfirman, “Alquran bukanlah perkataan seorang penyair, sedikit sekali mereka yang beriman, juga bukan ucapan dukun, sedikit sekali mereka menyadari.” (Qs Al-Haqqah: 41-42). Jadi, nabi bukan seorang penyihir juga bukan seorang penyair. Nabi adalah penerima kalamullah (Alquran).
Kalau begitu, kenapa Alquran telah menyebut penyair secara bersamaan dengan sebutan penyihir, dukun dan sebutan orang gila? Ada cukup banyak alasan. Salah satunya, berpuisi adalah tindakan yang hampir sama dengan perbuatan sihir. Atau dalam bahasa lain, berpuisi memang bentuk sihir dalam bahasa.
Imam Malik bin Anas, dalam Al-Muwatha (Kairo, Kitab al-Kalam, 1951 hlm 609-610) mengutip hadis Nabi, “Sesungguhnya dalam pemakaian bahasa terkandung sihir.” Hadis ini turun, menurutnya, ketika sahabat Nabi dibuat berdecak kagum dengan kedatangan dua orang laki-laki dari Timur kemudian berpidato dengan retorika yang bagus, disertai dengan pembacaan puisi yang amat memukau.
Atas dasar itulah, ketika ditanya sahabat, apakah Nabi pernah berpuisi, Aisyah menjawab bahwa puisi adalah bentuk omongan yang ia benci (Ath-Thabari, Jami’ al-Bayan, Juz IX, hlm 224).
Tetapi, riwayat lain menyebutkan, betapa Nabi sangat apresiatif terhadap para penyair, sebagaimana yang dilakukan kepada Hasan bin Tsabit. Al-Mubarad adalah salah seorang sahabat sering meriwayatkan sikap apresiasi Nabi kepada penyair. Menurutnya, Rasullah sering menatap penyair dengan wajah tersenyum dan bersabda, “Padamu semoga Allah memberi kemantapan hati.” Hal ini dilakukan Nabi tatkala mendengar kasidahnya Ibnu Rawahah (Muhammad bin Sulam al-Jumahi, Thabaqat Fuhul asy-Syu’ara, hlm 188).
Ada cukup banyak riwayat yang menyebutkan sikap Nabi terhadap penyair, baik yang negatif maupun yang positif. Beliau senang mendengar puisi tertentu dari penyair tertentu dan benci dengan puisi tertentu dari penyair tertentu. Sikap Nabi jelas, tentu didasarkan pada isi (teks) puisi, dan tidak peduli siapapun yang membacakannya.
Dengan demikian, ketika Alquran diturunkan kepada para penyair Jahily, di dalamnya ada fungsi baru dalam kesusastraan. Alquran (dengan sikap Nabi) tidak menginginkan puisi hanya dipakai sebagai alat untuk menghayal ke lembah-lembah tanpa maksud kebaikan, atau hanya untuk mengumbar nafsu dan sejenisnya. Karenanya, Alquran hanya membenarkan puisi yang sejalan dengan kebaikan. Dan ini membuktikan bahwa Alquran telah melemahkan posisi perdukunan (sihir), akan tetapi tidak melemahkan posisi penyair dengan puisinya.
Sikap para penyair Jahily kemudian terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, mereka mempertahankan nilai-nilai yang dominan, nilai lama yang diakui oleh Islam, dan nilai baru yang dibawa (terkandung) dalam Islam. Kedua, mereka memberontak dan menyimpang dari nilai-nilai tersebut. Karena menganggap bahwa berpuisi adalah pengalaman subyektif yang tak bisa diatur oleh norma atau agama.
Tetapi, dalam sejarah tercatat, bahwa Nabi beserta para khalifahnya kemudian terus mendorong para penyair agar terus berpuisi — dilakukan setelah mengetahui penyair Labid bin Rabi’ah melakukan aksi mogok menjadi penyair setelah turunnya QS As-Syu’ara — asal mereka masih berpegang pada pendirian yang pertama, yakni mempertahankan nilai-nilai lama yang dibenarkan oleh Islam dan nilai-nilai baru yang dibawa oleh ajaran Islam. Sekarang tergantung pada kita, mau meilih jalan yang mana: jalan yang dianjurkan Nabi atau jalan penyair Jahily yang amoral itu?
*) Peneliti, alumnus Al-Azhar.
MENGENANG KEJAYAAN TEATER MODERN JATIM
Ahmad Faishal*
http://terpelanting.wordpress.com/
Telah satu abad lebih masyarakat Jatim telah mengenal teater modern. Akan tetapi, masyarakat Jatim juga para kreator teater-nya gagal mempertahankan tradisi teater modern yang telah dibangun sejak tahun 1891 oleh August Maheiu dengan nama Komedi Stamboel dan kemudian dilanjutkan dengan Dardanella pada tahun 1926.
Dardanella semula bernama The Malay Opera yang diprakarsai oleh Willy Klimanoff, anak pemain sirkus terkemuka A. Klimanoff kelahiran Rusia. Willy Klimanoff hijrah ke Indonesia sepeninggalan ayahnya. Dengan penguasaan teknik akrobatik Willy Klimanoff mendapat pekerjaan di Komedi Stamboel, kemudian mengganti namanya dengan A. Pedro.
Dalam bentuk pertunjukan atau infra strukturnya, A. Pedro banyak melakukan perombakan secara revolusioner sebagaimana sistem pertunjukan yang telah terkonsep oleh Komedi Stamboel dalam tradisi lakon dan tonilnya. Pedro melakukan perombakan radikal tradisi komedi bangsawan pendahulunya. Jika dalam Komedi Stamboel diantara pergantian adegan diisi atau diselingi dengan tarian-tarian dan lelucon untuk kepentingan hiburan, maka A. Pedro menghilangkan nuansa-nuansa lelucon dan tarian. Dardanella lebih menfokuskan pada bentuk pertunjukan drama murni. Dardanella mementingkan esensi dramatik, kekuatan cerita dan permainan aktor-aktornya, meskipun selingan tarian tetap ada namun masih berada dalam satu keutuhan pementasan, dengan lain kata, tari-tarian menjadi bagian dari alur cerita dan adegan.
Pengaruh Dardanella terhadap perkembangan teater modern Indonesia sangat besar. Seiring dengan kemajuan dardanella banyak bermunculan teater-teater lain yang diprakarsai oleh bekas sri panggung dan anggota dardanella sendiri. Seperti Bolero, Orion yang didirikan Miss ribort, dan Tjahaya Timoer yang didirikan Andjar Asmara. Andjar Asmara sewaktu menjadi anggota Dardanella menjabat sebagai tangan kanan A. Pedro. Andjar Asmara juga melakukan perombakan dalam sistem managerial dan sistem modernisasi dalam teknik tata panggung. Bahkan dampak dari kemajuan Dardanella sampai ke Jakarta, dengan didirikannya “teater Maya” yang diketuai oleh Usmar Ismail pada tanggal 27 Mei 1944.
Munculnya teater-teater kecil tersebut sebagai antitesis dari keberhasilan Dardanella dan juga sebagai proses eksperimental terhadap tema dan bentuk pementasan yang konvensional.
TUNTUTAN SEJARAH
Komedi Stamboel dan Dardanella yang lahir di Jawa Timur yakni Surabaya dan Sidoarjo merupakan pelopor gerakan pementasan teater modern di Indonesia, bahkan secara tidak langsung memberikan dampak yang begitu besar terhadap teater di tanahair nantinya.
Semangat modernitas yang dibangun oleh Dardanella terlihat dalam setiap pertunjukannnya telah memakai scrip atau naskah, pengadaan properti, kostum, make-up, juga melakukan pementasan yang utuh, artinya, teater Dardanella menghilangkan konvensi-konvensi lelucon dan tarian-tarian yang memberikan kesenangan lebih pada penonton. Dardanella melalui A. Pedro dan Andjar Asmara telah melakukan sistem manajerial pertunjukan secara profesional yang merupakan supra struktural dari suartu pertunjukan. Hal ini yang merupakan ciri dari teater modern dengan semangat realisme.
Realisme yang dimaksud ialah melihat peristiwa sehari-hari yang dialami setiap saat (ilusi kenyataan), sebuah pementasan bukan bukanlah sekedar menyajikan cerita, tetapi ada pesonanya, yakni yang seakan-akan bersungguh-sungguh, suatu permainan yang menimbulkan rangsangan pikiran bahwa yang terjadi di panggung bisa pula terjadi pada penonton.
Konsepsi estetika realisme yakni semangat impresionis. Tidak tidak menggubris lagi pesan-pesan sejarah, kitab suci, tetapi langsung memberikan kesan tentang persoalan-persoalan pokok-nya. Konsepsi realisme ingin menohok konsepsi romantisisme yang cenderung menjadikan kehidupan seperti mimpi. Dalam hal ini peentasan Dardanella tidak lagi menampilkan epos-ramayana yang merupakan model pementasan tradisional, akan tetapi Dardanella lebih banyak memainkan naskah-naskah yang sedang terjadi pada masyarakat sekitar. Misalnya dengan mementaskan naskah Nyai Dasima dan Kalibrantasi.
Dardanella dengan demikian sadar akan posisi dan konteks sosial dalam masyarakatnya, Dardanella mengapresiasi material dan mengekspresikan kultur lokal dengan perspektif modern.
Sedangkan pada dekade dewasa ini, kreator dan pekerja seni teater Jatim telah gagal mewarisi dan mempertahankan tradisi teater modern yang telah dibangun Komedi Stamboel dan Dardanella. Kegagalan pekerja teater Jatim lebih pada sikap kritis, mentalitas, spirit dan intelektualitas. Artinya, pekerja teater Jatim bersifat sebagai pekerja bukannya seseorang atau kelompok yang memiliki daya pikir kritis terhadap fenomena kultural, kepekaan terhadap konteks sosial dibelakang teks realitas.
Dalam beberapa pertunjukan terakhir teater-teater Jatim di Surabaya, pekerja teater Jatim mengesampingkan problematik perspektif kritis massa. Pertunjukan teater Jatim hanya bersifat momentum, temporal dan gegabah mencermati fenomena sosialnya. Dalam hal ini, pekerja teater Jatim khusunya Surabaya tidak mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan mental masyarakatnya. Sebagaimana kita ketahui bahwa Surabaya merupakan kota ‘metropolis’ dimana kriminalitas, kekerasan, urban, ketimpangan sosial, tata kota, pendidikan, perdagangan dsb, adalah suatu problematik yang sering kali dijumpai. Dengan lain kata, pertunjukan-pertunjukan yang ditampilkan pekerja teater Jatim kurang kritis mengklarifikasi problematik. Eksperimentasi dan eksplorasi yang dilakukan para pekerja teater Jatim lebih pada bentuk belaka, tidak menyentuh esensi dan fenomena masyarakatnya atau dengan lain kata minimnya proses kontenplatif, bukannya bermewah-mewah dengan bentuk pertunjukan, baik secara infra stuktural maupun supra strukturalnya, namun minim ide dan gagasan serta gagal menyampaikan dan mengkomunikasikan kegelisahan kultural Jatimnya.
Fenomena yang tak kalah memalukan pekerja teater Jatim ialah, para kritikus teater Indonesia, seperti Jim Lim, Zaini KM, Umar Kayam, Putu Wijaya, Nano Riantiarno, Rendra, Afrizal Malna, Bagdi Sumanto, Hanindawan, Nursahid, Sapardi Djoko Damono, Gunawan moehammad dll dalam beberapa tulisan, pembabagan, referensi-referensi dan data tentang teater modern Indonesia, Surabaya dan Jatim pada umumnya tidak pernah dicatat keberadaannya. Entah karena secara kualitas teater Jatim tidas layak, atau memang di Jatim tidak ada kritikus teater yang berkualitas sehingga dapat mengangkat nama teater Jatim. Secara logika sederhana, seharusnya teater modern Indonesia maju dan terus berkembang di Jatim, dimana pewarisan tradisi teater modern pertama kali diletakkan, bukannya di Solo, Bandung, Yogyakarta dan Jakarta.
Mari kita pikirkan bersama-sama.
Surabaya 2004.
Nursahid (ed)., “Interkulturalisme (dalam) Teater”, Yogyakarta: Yayasan untuk Indonesia, 2000.
Daftar Bacaan:
1. Boen. S. Oemarjati., “Bentuk Lakon Dalam Sastra Indonesia”, Jakarta: Gunung Agung, 1971.
2. Dukut Imam Widodo., “Soerabaia Tempo Doeloe, buku I” , Surabaya: Dinas Pariwisata, 2002.
3. Greg soetomo., “Krisi Seni Krisis Kesadaran”, Yogyakarta: kanisius, 2003.
4. Nursahid (ed)., “Interkulturalisme (dalam) Teater”, Yogyakarta: Yayasan untuk Indonesia, 2000.
*) Dilahirkan di Bangkalan 7 mei 1981. Mahasiswa Sejarah Fakultas Sastra Universitas Airlangga. Alumni PP. Nurul Jadid Paiton, Probolinggo dan PP. Darul Ulum Banjar, Galis, Bangkalan Madura. Mantan ketua Teater Gapus dan UKM teater Unair, Aktif di Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar ( FS3LP ) Surabaya . Menulis puisi, cerpen, novel dan esei. Karya-karyanya termuat di Surabaya post, Surabaya News, Jawa Pos, Surya, Suara Indonesia, The Jakarta Post, Kompas, Kompas Jatim, Lampung Pos, majalah sastra Aksara, Puisinya terkumpul dalam antologi Menguak Tanah Kering (Gapus, 2000), Permuhonan Hijau ( FSS, 2003) Puisi Tak Pernah Pergi ( Bentara Kompas, 2003) dan antologi Puisi tunggal Saronen Makrifat (2004), Novel pertamanya “ Keroncong Cinta” memenjadi pemenang unggulan Sayembara Novel Remaja 2005 Grasindo- Ranesi. Sekarang bertempat tinggal di Jl. Donokerto 1 / 26 -A Surabaya.
http://terpelanting.wordpress.com/
Telah satu abad lebih masyarakat Jatim telah mengenal teater modern. Akan tetapi, masyarakat Jatim juga para kreator teater-nya gagal mempertahankan tradisi teater modern yang telah dibangun sejak tahun 1891 oleh August Maheiu dengan nama Komedi Stamboel dan kemudian dilanjutkan dengan Dardanella pada tahun 1926.
Dardanella semula bernama The Malay Opera yang diprakarsai oleh Willy Klimanoff, anak pemain sirkus terkemuka A. Klimanoff kelahiran Rusia. Willy Klimanoff hijrah ke Indonesia sepeninggalan ayahnya. Dengan penguasaan teknik akrobatik Willy Klimanoff mendapat pekerjaan di Komedi Stamboel, kemudian mengganti namanya dengan A. Pedro.
Dalam bentuk pertunjukan atau infra strukturnya, A. Pedro banyak melakukan perombakan secara revolusioner sebagaimana sistem pertunjukan yang telah terkonsep oleh Komedi Stamboel dalam tradisi lakon dan tonilnya. Pedro melakukan perombakan radikal tradisi komedi bangsawan pendahulunya. Jika dalam Komedi Stamboel diantara pergantian adegan diisi atau diselingi dengan tarian-tarian dan lelucon untuk kepentingan hiburan, maka A. Pedro menghilangkan nuansa-nuansa lelucon dan tarian. Dardanella lebih menfokuskan pada bentuk pertunjukan drama murni. Dardanella mementingkan esensi dramatik, kekuatan cerita dan permainan aktor-aktornya, meskipun selingan tarian tetap ada namun masih berada dalam satu keutuhan pementasan, dengan lain kata, tari-tarian menjadi bagian dari alur cerita dan adegan.
Pengaruh Dardanella terhadap perkembangan teater modern Indonesia sangat besar. Seiring dengan kemajuan dardanella banyak bermunculan teater-teater lain yang diprakarsai oleh bekas sri panggung dan anggota dardanella sendiri. Seperti Bolero, Orion yang didirikan Miss ribort, dan Tjahaya Timoer yang didirikan Andjar Asmara. Andjar Asmara sewaktu menjadi anggota Dardanella menjabat sebagai tangan kanan A. Pedro. Andjar Asmara juga melakukan perombakan dalam sistem managerial dan sistem modernisasi dalam teknik tata panggung. Bahkan dampak dari kemajuan Dardanella sampai ke Jakarta, dengan didirikannya “teater Maya” yang diketuai oleh Usmar Ismail pada tanggal 27 Mei 1944.
Munculnya teater-teater kecil tersebut sebagai antitesis dari keberhasilan Dardanella dan juga sebagai proses eksperimental terhadap tema dan bentuk pementasan yang konvensional.
TUNTUTAN SEJARAH
Komedi Stamboel dan Dardanella yang lahir di Jawa Timur yakni Surabaya dan Sidoarjo merupakan pelopor gerakan pementasan teater modern di Indonesia, bahkan secara tidak langsung memberikan dampak yang begitu besar terhadap teater di tanahair nantinya.
Semangat modernitas yang dibangun oleh Dardanella terlihat dalam setiap pertunjukannnya telah memakai scrip atau naskah, pengadaan properti, kostum, make-up, juga melakukan pementasan yang utuh, artinya, teater Dardanella menghilangkan konvensi-konvensi lelucon dan tarian-tarian yang memberikan kesenangan lebih pada penonton. Dardanella melalui A. Pedro dan Andjar Asmara telah melakukan sistem manajerial pertunjukan secara profesional yang merupakan supra struktural dari suartu pertunjukan. Hal ini yang merupakan ciri dari teater modern dengan semangat realisme.
Realisme yang dimaksud ialah melihat peristiwa sehari-hari yang dialami setiap saat (ilusi kenyataan), sebuah pementasan bukan bukanlah sekedar menyajikan cerita, tetapi ada pesonanya, yakni yang seakan-akan bersungguh-sungguh, suatu permainan yang menimbulkan rangsangan pikiran bahwa yang terjadi di panggung bisa pula terjadi pada penonton.
Konsepsi estetika realisme yakni semangat impresionis. Tidak tidak menggubris lagi pesan-pesan sejarah, kitab suci, tetapi langsung memberikan kesan tentang persoalan-persoalan pokok-nya. Konsepsi realisme ingin menohok konsepsi romantisisme yang cenderung menjadikan kehidupan seperti mimpi. Dalam hal ini peentasan Dardanella tidak lagi menampilkan epos-ramayana yang merupakan model pementasan tradisional, akan tetapi Dardanella lebih banyak memainkan naskah-naskah yang sedang terjadi pada masyarakat sekitar. Misalnya dengan mementaskan naskah Nyai Dasima dan Kalibrantasi.
Dardanella dengan demikian sadar akan posisi dan konteks sosial dalam masyarakatnya, Dardanella mengapresiasi material dan mengekspresikan kultur lokal dengan perspektif modern.
Sedangkan pada dekade dewasa ini, kreator dan pekerja seni teater Jatim telah gagal mewarisi dan mempertahankan tradisi teater modern yang telah dibangun Komedi Stamboel dan Dardanella. Kegagalan pekerja teater Jatim lebih pada sikap kritis, mentalitas, spirit dan intelektualitas. Artinya, pekerja teater Jatim bersifat sebagai pekerja bukannya seseorang atau kelompok yang memiliki daya pikir kritis terhadap fenomena kultural, kepekaan terhadap konteks sosial dibelakang teks realitas.
Dalam beberapa pertunjukan terakhir teater-teater Jatim di Surabaya, pekerja teater Jatim mengesampingkan problematik perspektif kritis massa. Pertunjukan teater Jatim hanya bersifat momentum, temporal dan gegabah mencermati fenomena sosialnya. Dalam hal ini, pekerja teater Jatim khusunya Surabaya tidak mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan mental masyarakatnya. Sebagaimana kita ketahui bahwa Surabaya merupakan kota ‘metropolis’ dimana kriminalitas, kekerasan, urban, ketimpangan sosial, tata kota, pendidikan, perdagangan dsb, adalah suatu problematik yang sering kali dijumpai. Dengan lain kata, pertunjukan-pertunjukan yang ditampilkan pekerja teater Jatim kurang kritis mengklarifikasi problematik. Eksperimentasi dan eksplorasi yang dilakukan para pekerja teater Jatim lebih pada bentuk belaka, tidak menyentuh esensi dan fenomena masyarakatnya atau dengan lain kata minimnya proses kontenplatif, bukannya bermewah-mewah dengan bentuk pertunjukan, baik secara infra stuktural maupun supra strukturalnya, namun minim ide dan gagasan serta gagal menyampaikan dan mengkomunikasikan kegelisahan kultural Jatimnya.
Fenomena yang tak kalah memalukan pekerja teater Jatim ialah, para kritikus teater Indonesia, seperti Jim Lim, Zaini KM, Umar Kayam, Putu Wijaya, Nano Riantiarno, Rendra, Afrizal Malna, Bagdi Sumanto, Hanindawan, Nursahid, Sapardi Djoko Damono, Gunawan moehammad dll dalam beberapa tulisan, pembabagan, referensi-referensi dan data tentang teater modern Indonesia, Surabaya dan Jatim pada umumnya tidak pernah dicatat keberadaannya. Entah karena secara kualitas teater Jatim tidas layak, atau memang di Jatim tidak ada kritikus teater yang berkualitas sehingga dapat mengangkat nama teater Jatim. Secara logika sederhana, seharusnya teater modern Indonesia maju dan terus berkembang di Jatim, dimana pewarisan tradisi teater modern pertama kali diletakkan, bukannya di Solo, Bandung, Yogyakarta dan Jakarta.
Mari kita pikirkan bersama-sama.
Surabaya 2004.
Nursahid (ed)., “Interkulturalisme (dalam) Teater”, Yogyakarta: Yayasan untuk Indonesia, 2000.
Daftar Bacaan:
1. Boen. S. Oemarjati., “Bentuk Lakon Dalam Sastra Indonesia”, Jakarta: Gunung Agung, 1971.
2. Dukut Imam Widodo., “Soerabaia Tempo Doeloe, buku I” , Surabaya: Dinas Pariwisata, 2002.
3. Greg soetomo., “Krisi Seni Krisis Kesadaran”, Yogyakarta: kanisius, 2003.
4. Nursahid (ed)., “Interkulturalisme (dalam) Teater”, Yogyakarta: Yayasan untuk Indonesia, 2000.
*) Dilahirkan di Bangkalan 7 mei 1981. Mahasiswa Sejarah Fakultas Sastra Universitas Airlangga. Alumni PP. Nurul Jadid Paiton, Probolinggo dan PP. Darul Ulum Banjar, Galis, Bangkalan Madura. Mantan ketua Teater Gapus dan UKM teater Unair, Aktif di Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar ( FS3LP ) Surabaya . Menulis puisi, cerpen, novel dan esei. Karya-karyanya termuat di Surabaya post, Surabaya News, Jawa Pos, Surya, Suara Indonesia, The Jakarta Post, Kompas, Kompas Jatim, Lampung Pos, majalah sastra Aksara, Puisinya terkumpul dalam antologi Menguak Tanah Kering (Gapus, 2000), Permuhonan Hijau ( FSS, 2003) Puisi Tak Pernah Pergi ( Bentara Kompas, 2003) dan antologi Puisi tunggal Saronen Makrifat (2004), Novel pertamanya “ Keroncong Cinta” memenjadi pemenang unggulan Sayembara Novel Remaja 2005 Grasindo- Ranesi. Sekarang bertempat tinggal di Jl. Donokerto 1 / 26 -A Surabaya.
Langganan:
Postingan (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Ginandjar Wiludjeng
A. Junianto
A. Kurnia
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.S Laksana
A’yat Khalili
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Razak
Abdul Rosyid
Abdul Wahab
Abdurrahman Wahid
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adam Chiefni
Ade P. Nasution
Adhitia Armitriant
Adi Prasetyo
Adrizas
AF. Tuasikal
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Baso
Ahmad Faishal
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Naufel
Ahmad Rofiq
Ahmad S. Zahari
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ainul Fiah
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Alex R. Nainggolan
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Almania Rohmah
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aminah
Aminullah HA.Noor
Amir Sutaarga
Anam Rahus
Anata Siregar
Andari Karina Anom
Andina Dwifatma
Andong Buku #3
Andre Mediansyah
Andri Awan
Anett Tapai
Anggie Melianna
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Wahyudi
Anwar Nuris
Ardi Bramantyo
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Joko Wicaksono
Arief Junianto
Ariera
Arif Bagus Prasetyo
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Asmaul Fauziyah
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Wulan Sari
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Camelia Mafaza
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Daisuke Miyoshi
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Danusantoso
Dareen Tatour
Darju Prasetya
David Kuncara
Denny Mizhar
Denza Perdana
Desi Sommalia Gustina
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewi Indah Sari
Dewi Susme
Dian Sukarno
Didik Harianto
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur
Dipo Handoko
Diyah Errita Damayanti
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddy Wisnu Pribadi
Dody Kristianto
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi SS MHum
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Wiyana
Dyah Ratna Meta Novia
Dyah Sulistyorini
Ecep Heryadi
Eddy Pranata PNP
Edeng Syamsul Ma’arif
Eep Saefulloh Fatah
EH Kartanegara
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Hendri Saiful
Eko Windarto
Elnisya Mahendra
Elva Lestary
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Sulwesi
Endo Suanda
Eppril Wulaningtyas R
Esai
Evan Ys
F. Moses
F. Rahardi
Fadlillah Malin Sutan
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Febby Fortinella Rusmoyo
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Gabriel Garcia Marquez
Galang Ari P.
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Ganug Nugroho Adi
Gerson Poyk
Ghassan Kanafani
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunoto Saparie
H.B. Jassin
Habibullah
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Hardi
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
HE. Benyamine
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Herman RN
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Nugroho
Hikmat Gumelar
HL Renjis Magalah
Hudan Nur
Hujuala Rika Ayu
Huminca Sinaga
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ira Puspitaningsih
Irfan Budiman
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Zulkarnain
Ismail Marzuki
Iva Titin Shovia
Iwan Kurniawan
Jabbar Abdullah
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D. Rahman
Jamal T. Suryanata
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
JILFest 2008
Jody Setiawan
Johan Edy Raharjo
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Juan Kromen
Julika Hasanah
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Ka’bati
Karanggeneng
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Keith Foulcher
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khoirul Inayah
Khoirul Rosyadi
Khudori Husnan
Ki Ompong Sudarsono
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
L.N. Idayanie
Laili Rahmawati
Lamongan
Lan Fang
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lucia Idayanie
Lukman A Sya
Lutfiah
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Ismail
M Thobroni
M. Afifuddin
M. Arwan Hamidi
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Luthfi Aziz
M. Nurdin
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.S. Nugroho
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahmud Syaltut Usfa
Mahmudi Arif Dahlan
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Martin Aleida
Maruli Tobing
Mas Ruscita
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni Muserang
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mia Arista
Mia El Zahra
Mikael Johani
Misbahus Surur
Misran
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
Much. Khoiri
Muh. Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun
Muhammadun AS
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mukti Sutarman Espe
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Munawir Aziz
Musfarayani
Musfi Efrizal
Nafisatul Husniah
Nandang Darana
Naskah Teater
Nelson Alwi
Ni Made Purnamasari
Nikmatus Sholikhah
Nina Herlina Lubis
Nina Susilo
Ning Elia
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel-novel berbahasa Jawa
Novelet
Nunuy Nurhayati
Nur Azizah
Nur Hamzah
Nur Kholiq
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Aini
Nurul Anam
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Okty Budiati
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso H.N.
Pagan Press
Pagelaran Musim Tandur
Palupi Panca Astuti
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Petrus Nandi
Politik
Politik Sastra
Pradana Boy ZTF
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringadi AS
Prof Dr Fabiola D. Kurnia
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Puji Tyasari
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
Purnawan Kristanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Ng. Ronggowarsito
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmat Kemat Hidayatullah
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rasanrasan Boengaketji
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Resensi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Ririe Rengganis
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rusmanadi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saiful Amin Ghofur
Saiful Anam
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman S. Yoga
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang KSII
Santi Puji Rahayu
Sapardi Djoko Damono
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Jawa Timur
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputra
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sri Weni
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugi Lanus
Sukron Ma’mun
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaf Anton Wr
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syarif Wadja Bae
Sylvianita Widyawati
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie (1961-2019)
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tia Setiadi
Tirto Suwondo
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tosa Poetra
Tri Nurdianingsih
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulul Azmiyati
Umar Fauzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Utari Tri Prestianti
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wan Anwar
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wina Bojonegoro
Wita Lestari
Wong Wing King
Wowok Hesti Prabowo
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopi Setia Umbara
Yudhi Herwibowo
Yudi Latif
Yusri Fajar
Yusuf Ariel Hakim
Yuval Noah Harari
Zacky Khairul Uman
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zed Abidien
Zehan Zareez
Zhaenal Fanani
Zubaidi Khan
Zuniest