Judul Buku Novel : Delusi
Pengarang : Supaat I. Lathief
Prolog : Maman S Mahayana
Epilog : Herry Lamongan
Penerbit : PUstaka puJAngga, Lamongan, Januari 2010
Tebal Buku : 224 hlm; 12 x 19 cm
Peresensi : Imamuddin SA
http://www.sastra-indonesia.com/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Jumat, 26 Februari 2010
Kamis, 25 Februari 2010
Bertukar Pikiran tentang Cinta
Judul: Di Kereta, Kita Selingkuh
Penulis: Budi Maryono
Penerbit: Gigih Pustaka Mandiri
Tebal: 175 halaman
Cetakan: II, Juni 2009
Peresensi: Andina Dwifatma*
http://suaramerdeka.com/
BAGAIMANAKAH kiranya sebuah kisah cinta mesti terjalin? Apakah berawal dari pertemuan, sedikit rayuan, membina hubungan, lantas berakhir dengan pernikahan? Bagi Budi Maryono, persoalan tidaklah sesederhana itu. Di tangannya, kisah cinta bukanlah dongeng yang selalu berakhir bahagia. Bahkan bisa saja tidak usah dan tidak perlu berakhir.
Itu dia tunjukkan dengan jelas lewat Di Kereta, Kita Selingkuh. Ini kumpulan cerpen ketiga Budi setelah Siluet Bulan Luka dan Tamu-tamu Allah.
Dalam buku ini, Budi memotret kisah-kisah cinta yang bisa kita pisahkan menjadi dua bagian. Pertama, kisah cinta orang-orang yang (seolah-olah) tidak berhak untuk jatuh cinta. Kedua, kisah cinta orang-orang yang tidak mengerti bentuk cinta seperti apa yang sebenarnya mereka cari.
Siapakah orang-orang yang (seolah-olah) tidak berhak untuk jatuh cinta? Dalam cakrawala imajinasi Budi Maryono, banyak macamnya: mereka yang sudah berkeluarga (“Bulan Ratih”, “Binar Mata Dinar”, “Di Kereta, Kita Selingkuh”, “Sepasang Cappuccino”), kaum homoseksual (“Kau Tikam Aku Persis di Jantung”), juga waria (“Sekuntum Mawar”).
Ketidakbolehan untuk jatuh cinta itu, kita mafhum, datang dari norma. Seseorang yang sudah menikah tidak layak jatuh cinta lagi, sama dengan laki-laki yang seharusnya mencintai perempuan, bukan sesama jenisnya sendiri. Sementara sosok waria, tanpa perlu jatuh cinta pun, sudah selalu dipinggirkan.
Budi Maryono mempertanyakan kehadiran norma-norma tersebut. Apakah kecenderungan norma untuk membelenggu perasaan manusia dapat dikatakan adil? Efektifkah kerja norma? Bagaimana manusia menyesuaikan diri dengan norma yang melingkupinya?
Kontemplasi Budi mengenai hal itu banyak diwujudkan dalam dialog. Menariknya, dialog itu tidak harus manusia dengan manusia. Ada kalanya tokoh manusia berdialog dengan Daun (dengan “D” besar dalam “Matahari Indri”) atau dengan Sekuntum Mawar (juga dengan “S” dan “M” besar dalam cerpen “Sekuntum Mawar”).
Di sinilah letak elaborasi diskursus cinta yang ditawarkan Budi: bahwa ia tidak hanya bisa didiskusikan antarmanusia. Huruf-huruf besar yang diletakkannya di awal nama daun dan mawar adalah bentuk personifikasi. Jika cinta dirasakan oleh setiap makhluk hidup, maka tumbuh-tumbuhan bisa saja jadi partner manusia untuk bertukar pikiran tentang cinta.
Yang menarik untuk diamati adalah bahwa melalui cerpen-cerpennya yang selalu dialogis itu, Budi tidak sedang berusaha mencari kesimpulan tertentu tentang cinta. Dia tidak mengambil sikap bahwa cinta seharusnya begini atau begitu. Itu dapat kita baca pada “Bulan Ratih” dan “Sepasang Cappuccino”.
Dua cerpen tersebut sama-sama berkisah tentang orang yang sudah berkeluarga, tapi ketiban cinta lagi. Tokoh pria (yang kebetulan penyair) dalam cerita pertama memutuskan untuk kabur di detik terakhir karena ingat anak dan istri, sedangkan karakter suami pada cerita kedua menyerah pasrah begitu saja dalam pelukan pacar lama yang ternyata masih enak juga. Dua akhir cerita yang berbeda, menggambarkan dua pandangan moral yang berbeda, dan barangkali saja merefleksikan keabu-abuan penulisnya dalam memandang pertanyaan mahaklasik: apakah cinta monogamis itu mungkin?
Sayangnya, kecenderungan Budi untuk menempatkan sudut pandangnya dalam area abu-abu dan karenanya membuat diskursus cinta jadi tidak membosankan, sedikit goyah ketika bicara cinta kaum homoseksual dan waria. “Kau Tikam Aku Persis di Jantung”, meskipun judulnya berhasil memukau saya karena luar biasa licin, tetap mengandung “stereotipe” bahwa jalinan cinta antarsesama jenis selalu melibatkan kekerasan fisik yang tak tanggung-tanggung. Sementara kisah cinta waria dengan seorang pria tampan yang ternyata hanya main-main dalam “Sekuntum Mawar”, bukankah sudah sering kita dengar?
Golongan kedua, orang-orang yang tidak mengerti bentuk cinta seperti apa yang sebenarnya mereka cari, mendapat porsi cukup besar dalam buku ini. Menjadi menarik karena Budi menyuguhkan kebingungan dan kebimbangan tokoh-tokohnya dalam balutan pertanyaan paling hakiki dalam sejarah eksistensi manusia: siapa saya?
Salah satu cerita yang memukau adalah “Ros Tak Pulang Lagi”. Ini cerita tentang seseorang yang ragu akan orientasi seksualnya. Dia rindu Tuhan, tapi ragu apakah dirinya pantas menginjakkan kaki di rumah ibadah. Dia kemudian memproyeksikan rasa rindu dan bimbangnya itu lewat dialog dengan dirinya sendiri semasa kecil: “Aku tak mau teman-teman berteriak, ‘Banci ngaji, banci ngaji!’ sambil memeletkan lidah...” (halaman 125).
Sangat terasa keberhasilan Budi dalam meramu cinta, rindu, dan kebingungan yang menimpa karakter rekaannya. Bayangan masa lalu memanggil-manggil tokoh Ros untuk beribadah, memompa adrenalinnya sehingga dia cukup berani untuk melangkahkan kaki ke langgar (meski bingung mau pakai sarung atau mukena), tapi pertanyaan tentang identitas diri lantas merubuhkan semua kepercayaan dirinya. Di luar akhir cerita Ros bunuh diri, cerpen itu adalah salah satu cerita terbaik dalam buku ini.
Benang merah keseluruhan cerpen ada pada pertanyaan tentang komitmen. Ketika seorang suami jatuh cinta pada istri orang, apakah ia sedang mengkhianati komitmen pernikahan? Ketika seorang lelaki ingin menjadi perempuan, apakah ia sedang mengkhianati komitmen penciptaannya dengan Tuhan? Pada titik inilah kata “selingkuh”, satu-satunya kata yang tercetak kapital pada sampul buku, memperoleh relevansi paling dalam.
*) Andina Dwifatma, penikmat sastra.
Penulis: Budi Maryono
Penerbit: Gigih Pustaka Mandiri
Tebal: 175 halaman
Cetakan: II, Juni 2009
Peresensi: Andina Dwifatma*
http://suaramerdeka.com/
BAGAIMANAKAH kiranya sebuah kisah cinta mesti terjalin? Apakah berawal dari pertemuan, sedikit rayuan, membina hubungan, lantas berakhir dengan pernikahan? Bagi Budi Maryono, persoalan tidaklah sesederhana itu. Di tangannya, kisah cinta bukanlah dongeng yang selalu berakhir bahagia. Bahkan bisa saja tidak usah dan tidak perlu berakhir.
Itu dia tunjukkan dengan jelas lewat Di Kereta, Kita Selingkuh. Ini kumpulan cerpen ketiga Budi setelah Siluet Bulan Luka dan Tamu-tamu Allah.
Dalam buku ini, Budi memotret kisah-kisah cinta yang bisa kita pisahkan menjadi dua bagian. Pertama, kisah cinta orang-orang yang (seolah-olah) tidak berhak untuk jatuh cinta. Kedua, kisah cinta orang-orang yang tidak mengerti bentuk cinta seperti apa yang sebenarnya mereka cari.
Siapakah orang-orang yang (seolah-olah) tidak berhak untuk jatuh cinta? Dalam cakrawala imajinasi Budi Maryono, banyak macamnya: mereka yang sudah berkeluarga (“Bulan Ratih”, “Binar Mata Dinar”, “Di Kereta, Kita Selingkuh”, “Sepasang Cappuccino”), kaum homoseksual (“Kau Tikam Aku Persis di Jantung”), juga waria (“Sekuntum Mawar”).
Ketidakbolehan untuk jatuh cinta itu, kita mafhum, datang dari norma. Seseorang yang sudah menikah tidak layak jatuh cinta lagi, sama dengan laki-laki yang seharusnya mencintai perempuan, bukan sesama jenisnya sendiri. Sementara sosok waria, tanpa perlu jatuh cinta pun, sudah selalu dipinggirkan.
Budi Maryono mempertanyakan kehadiran norma-norma tersebut. Apakah kecenderungan norma untuk membelenggu perasaan manusia dapat dikatakan adil? Efektifkah kerja norma? Bagaimana manusia menyesuaikan diri dengan norma yang melingkupinya?
Kontemplasi Budi mengenai hal itu banyak diwujudkan dalam dialog. Menariknya, dialog itu tidak harus manusia dengan manusia. Ada kalanya tokoh manusia berdialog dengan Daun (dengan “D” besar dalam “Matahari Indri”) atau dengan Sekuntum Mawar (juga dengan “S” dan “M” besar dalam cerpen “Sekuntum Mawar”).
Di sinilah letak elaborasi diskursus cinta yang ditawarkan Budi: bahwa ia tidak hanya bisa didiskusikan antarmanusia. Huruf-huruf besar yang diletakkannya di awal nama daun dan mawar adalah bentuk personifikasi. Jika cinta dirasakan oleh setiap makhluk hidup, maka tumbuh-tumbuhan bisa saja jadi partner manusia untuk bertukar pikiran tentang cinta.
Yang menarik untuk diamati adalah bahwa melalui cerpen-cerpennya yang selalu dialogis itu, Budi tidak sedang berusaha mencari kesimpulan tertentu tentang cinta. Dia tidak mengambil sikap bahwa cinta seharusnya begini atau begitu. Itu dapat kita baca pada “Bulan Ratih” dan “Sepasang Cappuccino”.
Dua cerpen tersebut sama-sama berkisah tentang orang yang sudah berkeluarga, tapi ketiban cinta lagi. Tokoh pria (yang kebetulan penyair) dalam cerita pertama memutuskan untuk kabur di detik terakhir karena ingat anak dan istri, sedangkan karakter suami pada cerita kedua menyerah pasrah begitu saja dalam pelukan pacar lama yang ternyata masih enak juga. Dua akhir cerita yang berbeda, menggambarkan dua pandangan moral yang berbeda, dan barangkali saja merefleksikan keabu-abuan penulisnya dalam memandang pertanyaan mahaklasik: apakah cinta monogamis itu mungkin?
Sayangnya, kecenderungan Budi untuk menempatkan sudut pandangnya dalam area abu-abu dan karenanya membuat diskursus cinta jadi tidak membosankan, sedikit goyah ketika bicara cinta kaum homoseksual dan waria. “Kau Tikam Aku Persis di Jantung”, meskipun judulnya berhasil memukau saya karena luar biasa licin, tetap mengandung “stereotipe” bahwa jalinan cinta antarsesama jenis selalu melibatkan kekerasan fisik yang tak tanggung-tanggung. Sementara kisah cinta waria dengan seorang pria tampan yang ternyata hanya main-main dalam “Sekuntum Mawar”, bukankah sudah sering kita dengar?
Golongan kedua, orang-orang yang tidak mengerti bentuk cinta seperti apa yang sebenarnya mereka cari, mendapat porsi cukup besar dalam buku ini. Menjadi menarik karena Budi menyuguhkan kebingungan dan kebimbangan tokoh-tokohnya dalam balutan pertanyaan paling hakiki dalam sejarah eksistensi manusia: siapa saya?
Salah satu cerita yang memukau adalah “Ros Tak Pulang Lagi”. Ini cerita tentang seseorang yang ragu akan orientasi seksualnya. Dia rindu Tuhan, tapi ragu apakah dirinya pantas menginjakkan kaki di rumah ibadah. Dia kemudian memproyeksikan rasa rindu dan bimbangnya itu lewat dialog dengan dirinya sendiri semasa kecil: “Aku tak mau teman-teman berteriak, ‘Banci ngaji, banci ngaji!’ sambil memeletkan lidah...” (halaman 125).
Sangat terasa keberhasilan Budi dalam meramu cinta, rindu, dan kebingungan yang menimpa karakter rekaannya. Bayangan masa lalu memanggil-manggil tokoh Ros untuk beribadah, memompa adrenalinnya sehingga dia cukup berani untuk melangkahkan kaki ke langgar (meski bingung mau pakai sarung atau mukena), tapi pertanyaan tentang identitas diri lantas merubuhkan semua kepercayaan dirinya. Di luar akhir cerita Ros bunuh diri, cerpen itu adalah salah satu cerita terbaik dalam buku ini.
Benang merah keseluruhan cerpen ada pada pertanyaan tentang komitmen. Ketika seorang suami jatuh cinta pada istri orang, apakah ia sedang mengkhianati komitmen pernikahan? Ketika seorang lelaki ingin menjadi perempuan, apakah ia sedang mengkhianati komitmen penciptaannya dengan Tuhan? Pada titik inilah kata “selingkuh”, satu-satunya kata yang tercetak kapital pada sampul buku, memperoleh relevansi paling dalam.
*) Andina Dwifatma, penikmat sastra.
Tips Segar Menulis Cerpen
Munawir Aziz
http://suaramerdeka.com/
Pernah merasakan kemandekan imajinasi atau sulit menghadirkan ide cemerlang ketika menulis? Atau, tak pede dengan cerita yang kita tulis? Penulis pemula merasakan ini sebagai ujian dalam proses panjang menjadi pengarang profesional. Terkadang, serombongan kristal imajinasi teradang tembok tebal. Banjir ide dari kanal imajinasi terbendung kemiskinan kata, kedangkalan bahasa, dan hambatan-hambatan teknis lain. Itulah beberapa hal yang sering dikeluhkan penulis muda.
Penulis pemula sering merasa down ketika menginjak duri kecil di tengah belantara kata dan bahasa. Selalu ada beragam masalah yang menghambat karya lahir, akan tetapi, akan selalu ada cara untuk berkelit dari hambatan, untuk menyelesaikan tulisan. Persoalan ini jarang disadari oleh penulis pemula, karena mental pejuang belum terbentuk secara utuh.
Dalam konteks tersebut, buku Cara Keren Menulis Cerpen tulisan Budi Maryono sangat layak ditawarkan. Ini buku motivasi menulis yang pas buat remaja, dengan bahasa jernih dan mudah dipahami.
Buku kumpulan tips keren menulis yang lahir dari tangan dan imajinasi cerpenis multitalenta ini terasa beda dengan buku motivasi menulis lain. Misalnya buku Mengarang Itu Gampang, karya Arswendo Atmowiloto, mengulas proses menulis dalam bahasa umum, dengan pisau analisis atas teori dan peristiwa secara cepat. Banyak pembaca setelah membaca buku Arswendo, balik bertanya, Wah, biar pun diasah Arswendo dengan bahasa memukau, menulis tetap susah juga!
Namun, buku Cara Keren Menulis Cerpen ini diulas dengan bahasa anak muda, yang gaul, segar, dan komunikatif. Buku ini merupakan kumpulan kolom ulasan dan tanya jawab perihal menulis cerpen, yang ada di rubrik Remaja Suara Merdeka Edisi Minggu. Tak heran, buku ini dimaksudkan untuk menjawab kegelisahan anak muda yang ingin serius menulis. Tentu, seperti metode dialog Plato, tulisan yang berpendar di sekujur buku ini, muncul dengan jurus menjawab, menjelaskan, berbagi pengalaman, tanpa kesan menggurui. Ulasan-ulasan seputar teknis menulis pun terulas jelas. Inilah yang menjadikan buku ini terasa istimewa.
Apalagi, ulasan Budi Maryono mengenai problem di sekitar proses kreatif menulis terasa dekat dengan keseharian kita. Hingga, tak disadari, pembaca akan manggut-manggut, menelusuri rimba kata dalam buku ini. Selain itu, Budi Maryono juga menempel ungkapan-ungkapan baru yang menarik, misalnya Certug (Cerita ora tutug-tidak sampai selesai), penulis pemula-pengakhir, dan rimbun kata lain, yang unik tanpa menyalahi kaidah kebahasaan.
Dalam bagian Bisa-bisa Malah Ngoleksi Certug, ada pertanyaan dari pembaca SM, Masih soal mandek saat nulis nih, Om (Daktur). Cerpen belum selesai, mandek. Trus, aku tinggal, siapa tahu besok atau lusa bisa aku lanjutin. Eh, yang muncul malah ide lain, kutulis, dan lupalah pada cerpen yang pertama. Atas pertanyaan itu, sigap Budi Maryono menjawab, Salah satu tips mengatasi kemandekan emang tinggalkan cerita itu dan sambangi kembali ketika udah siap nulis lagi. Cara ini biasanya manjur, terutama kalau fokus ke satu cerita. Artinya, kita nggak nulis cerita atau apapun yang lain (hal. 12). Argumentasi yang disampaikan langsung ke pusat sasaran, segar dengan bahasa komunikatif, sedikit humor, dan dilengkapi frasa gaul khas remaja.
Pengalaman sebagai cerpenis, redaktur serta puluhan tahun berenang di lautan bahasa menjadikan Budi Maryono seakan punya seribu jurus untuk menangkis hambatan nyata dalam kreativitas dunia cerita. Kepiawaian itu terbaca pada Mengasah Mata Pengarang. Penulis buku ini menceritakan bahwa mata pengarang harus beda dengan mata orang biasa. Mata pengarang harus jeli menangkap tragedi, mengabadikan emosi, dan merekam esensi. Simpati dan empati pengarang yang terasah tajam akan menjadikan ide, imajinasi, dan olah rupa-kata, tak pernah berhenti untuk terus tumbuh.
Simpati atau empati itulah yang menjadikan mata pengarang kita kian tajam. Dengan simpati atau empati, kita bisa melihat sesuatu di balik apa saja yang kasat mata. Dengan simpati atau empati, kita mudah turut merasakan, mengalami apa yang orang lain rasakan. Dengan simpati atau empati, kita bahkan bisa ngebayangin apa yang telah atau akan diomongin seseorang (hal. 31).
Yang jelas, buku ini menebar harapan akan kemunculan penulis-penulis baru. Walaupun banyak mengulas cerpen, namun tips-tips yang ada dapat dipakai untuk menulis apa pun. Saya kira, karya ini hadir karena desakan tanggung-jawab sosial Budi Maryono untuk menyebarkan gagasan dan memotivasi semua orang yang ingin tekun di dunia kata dan bahasa. Hanya saja, sepercik kekurangan yang ada, buku tak mencantumkan sumber tulisan secara lengkap, serta riwayat proses kreatif sang penulis.
Meski demikian, hal itu tak mengurangi aspek motivasional yang segar dan riang dalam buku ini.
*)Penikmat dan kolektor buku, tinggal di Pati.
http://suaramerdeka.com/
Pernah merasakan kemandekan imajinasi atau sulit menghadirkan ide cemerlang ketika menulis? Atau, tak pede dengan cerita yang kita tulis? Penulis pemula merasakan ini sebagai ujian dalam proses panjang menjadi pengarang profesional. Terkadang, serombongan kristal imajinasi teradang tembok tebal. Banjir ide dari kanal imajinasi terbendung kemiskinan kata, kedangkalan bahasa, dan hambatan-hambatan teknis lain. Itulah beberapa hal yang sering dikeluhkan penulis muda.
Penulis pemula sering merasa down ketika menginjak duri kecil di tengah belantara kata dan bahasa. Selalu ada beragam masalah yang menghambat karya lahir, akan tetapi, akan selalu ada cara untuk berkelit dari hambatan, untuk menyelesaikan tulisan. Persoalan ini jarang disadari oleh penulis pemula, karena mental pejuang belum terbentuk secara utuh.
Dalam konteks tersebut, buku Cara Keren Menulis Cerpen tulisan Budi Maryono sangat layak ditawarkan. Ini buku motivasi menulis yang pas buat remaja, dengan bahasa jernih dan mudah dipahami.
Buku kumpulan tips keren menulis yang lahir dari tangan dan imajinasi cerpenis multitalenta ini terasa beda dengan buku motivasi menulis lain. Misalnya buku Mengarang Itu Gampang, karya Arswendo Atmowiloto, mengulas proses menulis dalam bahasa umum, dengan pisau analisis atas teori dan peristiwa secara cepat. Banyak pembaca setelah membaca buku Arswendo, balik bertanya, Wah, biar pun diasah Arswendo dengan bahasa memukau, menulis tetap susah juga!
Namun, buku Cara Keren Menulis Cerpen ini diulas dengan bahasa anak muda, yang gaul, segar, dan komunikatif. Buku ini merupakan kumpulan kolom ulasan dan tanya jawab perihal menulis cerpen, yang ada di rubrik Remaja Suara Merdeka Edisi Minggu. Tak heran, buku ini dimaksudkan untuk menjawab kegelisahan anak muda yang ingin serius menulis. Tentu, seperti metode dialog Plato, tulisan yang berpendar di sekujur buku ini, muncul dengan jurus menjawab, menjelaskan, berbagi pengalaman, tanpa kesan menggurui. Ulasan-ulasan seputar teknis menulis pun terulas jelas. Inilah yang menjadikan buku ini terasa istimewa.
Apalagi, ulasan Budi Maryono mengenai problem di sekitar proses kreatif menulis terasa dekat dengan keseharian kita. Hingga, tak disadari, pembaca akan manggut-manggut, menelusuri rimba kata dalam buku ini. Selain itu, Budi Maryono juga menempel ungkapan-ungkapan baru yang menarik, misalnya Certug (Cerita ora tutug-tidak sampai selesai), penulis pemula-pengakhir, dan rimbun kata lain, yang unik tanpa menyalahi kaidah kebahasaan.
Dalam bagian Bisa-bisa Malah Ngoleksi Certug, ada pertanyaan dari pembaca SM, Masih soal mandek saat nulis nih, Om (Daktur). Cerpen belum selesai, mandek. Trus, aku tinggal, siapa tahu besok atau lusa bisa aku lanjutin. Eh, yang muncul malah ide lain, kutulis, dan lupalah pada cerpen yang pertama. Atas pertanyaan itu, sigap Budi Maryono menjawab, Salah satu tips mengatasi kemandekan emang tinggalkan cerita itu dan sambangi kembali ketika udah siap nulis lagi. Cara ini biasanya manjur, terutama kalau fokus ke satu cerita. Artinya, kita nggak nulis cerita atau apapun yang lain (hal. 12). Argumentasi yang disampaikan langsung ke pusat sasaran, segar dengan bahasa komunikatif, sedikit humor, dan dilengkapi frasa gaul khas remaja.
Pengalaman sebagai cerpenis, redaktur serta puluhan tahun berenang di lautan bahasa menjadikan Budi Maryono seakan punya seribu jurus untuk menangkis hambatan nyata dalam kreativitas dunia cerita. Kepiawaian itu terbaca pada Mengasah Mata Pengarang. Penulis buku ini menceritakan bahwa mata pengarang harus beda dengan mata orang biasa. Mata pengarang harus jeli menangkap tragedi, mengabadikan emosi, dan merekam esensi. Simpati dan empati pengarang yang terasah tajam akan menjadikan ide, imajinasi, dan olah rupa-kata, tak pernah berhenti untuk terus tumbuh.
Simpati atau empati itulah yang menjadikan mata pengarang kita kian tajam. Dengan simpati atau empati, kita bisa melihat sesuatu di balik apa saja yang kasat mata. Dengan simpati atau empati, kita mudah turut merasakan, mengalami apa yang orang lain rasakan. Dengan simpati atau empati, kita bahkan bisa ngebayangin apa yang telah atau akan diomongin seseorang (hal. 31).
Yang jelas, buku ini menebar harapan akan kemunculan penulis-penulis baru. Walaupun banyak mengulas cerpen, namun tips-tips yang ada dapat dipakai untuk menulis apa pun. Saya kira, karya ini hadir karena desakan tanggung-jawab sosial Budi Maryono untuk menyebarkan gagasan dan memotivasi semua orang yang ingin tekun di dunia kata dan bahasa. Hanya saja, sepercik kekurangan yang ada, buku tak mencantumkan sumber tulisan secara lengkap, serta riwayat proses kreatif sang penulis.
Meski demikian, hal itu tak mengurangi aspek motivasional yang segar dan riang dalam buku ini.
*)Penikmat dan kolektor buku, tinggal di Pati.
Rabu, 24 Februari 2010
Kritik Sastra dan Alienasi Kaum Akademisi
Fahrudin Nasrulloh*
http://www.surabayapost.co.id/
Seperti apakah perkembangan sastra mutakhir Jawa Timur? Pertanyaan ini tidak gampang dijawab dalam satu penyoalan tapi justru dari sanalah kita bisa terus berupaya menggalinya dari berbagai perspektif. Perkembangan sastra di Indonesia boleh dikatakan sangat kuat dan menggembirakan. Munculnya berbagai jenis-bentuk dan genre sastra dalam dekade terakhir ini memperkaya khasanah sastra kita; melalui beragam perspektif dari hasil riset mereka di dalam kehidupan dan perkembangan persoalan di wilayah perkotaan yang memunculkan karya-karya yang dapat diandalkan dan mampu mengisi perbendaharaan rohani. Secara khusus misalnya, munculnya para penulis perempuan yang menguakkan diri mereka ke dalam masyarakat melalui novel, cerpen, dan puisi yang nampak seiring dengan tema-teman feminisme yang juga disorot dengan berbagai perspektif lain.
Begitu pula dengan para penulis lainnya yang berusaha untuk lebih memperkaya sastra melalui sejarah lokal melahirkan karya-karya yang bukan hanya dalam perspektif sastra saja, tapi bisa juga sebagai kontribusi di dalam perkembangan pemikiran sosial, antropologi, etnografi, keagamaan, dan lain-lain. Yang menarik, kini kita temukan suatu cara kerja dari kalangan penulis yang dengan intensif melakukan riset dan studi perbandingan melalui penelitian dari perspektif sosiologis, antropologi, etnografi, nilai-nilai religius, politik, etos kerja ekonomi. Semuanya itu dijadikan sebagai bahan dalam penciptaan karya.
Marilah kita ambil contoh puisi karya Mardi Luhung, salah satu penyair Jawa Timur yang kini sangat menonjol bukan hanya di wilayahnya saja, namun juga berpengaruh dalam kehidupan sastra di Indonesia. Puisi yang dihasilkan dari pengamatan yang intensif terhadap berbagai cerita lokal, legenda, mitos, fabel, dan celoteh humor warga serta cara pandang hidup dalam kehidupan seks dan sejarah leluhur keluarga menjadi bagian dari proses penciptaan penyair yang berdomisili di Gresik ini. Sama halnya dengan Nurel Javissyarqi, penyair Lamongan, melalui proses perjalanannya dalam studi keagamaan selama 8 tahun dan proses pencarian dasar-dasar pemikiran lokal yang dipadukan dengan keyakinannya serta sejumlah arus pemikiran global dari para pemikir pos moderen hingga membentuk keunikan dan kelebihan tersendiri pada puisi-puisinya.
Pada wilayah Novel, Mashuri yang dengan tekun dan nampak kuat menciptakan suatu kerangka dan muatan lokal membuat banyak kalangan pengamat sastra di Jakarta terperangah. Sementara itu Zoya Herawati yang kini sedang menyelesaikan suatu novel yang paling tebal di wilayah Jatim dan Indonesia, sekitar 7-8 ratus halaman, merupakan hasil penelitian sepanjang 10 tahun di Madura. Novel dengan latar belakang sejarah sosial pada tahun 1960-an dan ditarik hingga kini, serta ulang-alik pada masa lampau secara terus-menerus, membuktikan, bukan hanya secara teknik, kepiawaian Zoya. Tapi juga memberikan perspektif dan membongkar posisi kaum perempuan akibat sistem politik yang tidak adil.
Itulah kilasan singkat sebagai ilustrasi dari perkembangan mutakhir sastra di Jawa Timur, yang sesungguhnya masih terdapat bukan hanya satu atau dua namun belasan atau bahkan puluhan penulis yang bisa dihandalkan. Jawa Timur sangat mungkin bisa menjadi simpul sejarah sastra seperti juga sastra Jawa lama yang pada abad ke-16 sangat kuat mempengaruhi perkembangan di wilayah Jawa Tengah (baca: Mataram), seperti yang pernah didedahkan oleh de Graaf.
Namun, perkembangan sastra Jawa Timur yang menggembirakan itu, tidaklah didukung oleh atmosfir tradisi kritik yang baik. Misalnya kita bertanya-tanya, siapakah kalangan kampus atau akademisi yang menulis kritik sastra mutakhir di Jawa Timur? Kita dapat menoleh dan mempertanyakan hal ini pada kalangan akademisi, selain kita sudah bosan disesaki akan data jumlah peminat jurusan sastra Indonesia yang setiap tahunnya meluluskan ratusan orang yang rata-rata tidak jelas orientasi spiritnya. Sementara itu kita juga menyaksikan peningkatan strata pendidikan para pengajar yang kini rata-rata magister dan tak sedikit yang meraih doktor. Lalu, untuk apakah jenjang pendidikan yang tampak tinggi dan wah itu dan berada dalam posisi sebagai akademisi jika mereka tidak melecut diri untuk menggali dan mengembangkan khasanah sastra mutakhir? Adakah mereka menganggap sastra mutakhir Jawa Timur tak layak untuk dikupas dan dijadikan bahan studi yang sebenarnya melimpah itu?
Yang menyedihkan adalah dari kalangan akademisi kita, pada sisi lain mereka tidak juga melakukan penelusuran pada masa silam, tiadanya kupasan sastra di masa lampau, dan oleh sebab itu sastra mutakhir tak pula tersentuh. Ironi lainnya, justru kalangan penulis sangat intensif melakukan penelitian kembali dalam proses penciptaan karyanya. Jadi, apa sesungguhnya tugas akademisi, selain mengajar, bukankah melakukan penelitian? Ataukah mereka mengalami sejenis disorientasi atau aborsi intelektual? Bila memang demikian, boleh jadi para akademisi telah terkubang dalam kondisi alienasi, dan tak berbeda seperti kebanyakan pegawai negeri!
*) Penggiat Komunitas Lembah Pring Jombang.
http://www.surabayapost.co.id/
Seperti apakah perkembangan sastra mutakhir Jawa Timur? Pertanyaan ini tidak gampang dijawab dalam satu penyoalan tapi justru dari sanalah kita bisa terus berupaya menggalinya dari berbagai perspektif. Perkembangan sastra di Indonesia boleh dikatakan sangat kuat dan menggembirakan. Munculnya berbagai jenis-bentuk dan genre sastra dalam dekade terakhir ini memperkaya khasanah sastra kita; melalui beragam perspektif dari hasil riset mereka di dalam kehidupan dan perkembangan persoalan di wilayah perkotaan yang memunculkan karya-karya yang dapat diandalkan dan mampu mengisi perbendaharaan rohani. Secara khusus misalnya, munculnya para penulis perempuan yang menguakkan diri mereka ke dalam masyarakat melalui novel, cerpen, dan puisi yang nampak seiring dengan tema-teman feminisme yang juga disorot dengan berbagai perspektif lain.
Begitu pula dengan para penulis lainnya yang berusaha untuk lebih memperkaya sastra melalui sejarah lokal melahirkan karya-karya yang bukan hanya dalam perspektif sastra saja, tapi bisa juga sebagai kontribusi di dalam perkembangan pemikiran sosial, antropologi, etnografi, keagamaan, dan lain-lain. Yang menarik, kini kita temukan suatu cara kerja dari kalangan penulis yang dengan intensif melakukan riset dan studi perbandingan melalui penelitian dari perspektif sosiologis, antropologi, etnografi, nilai-nilai religius, politik, etos kerja ekonomi. Semuanya itu dijadikan sebagai bahan dalam penciptaan karya.
Marilah kita ambil contoh puisi karya Mardi Luhung, salah satu penyair Jawa Timur yang kini sangat menonjol bukan hanya di wilayahnya saja, namun juga berpengaruh dalam kehidupan sastra di Indonesia. Puisi yang dihasilkan dari pengamatan yang intensif terhadap berbagai cerita lokal, legenda, mitos, fabel, dan celoteh humor warga serta cara pandang hidup dalam kehidupan seks dan sejarah leluhur keluarga menjadi bagian dari proses penciptaan penyair yang berdomisili di Gresik ini. Sama halnya dengan Nurel Javissyarqi, penyair Lamongan, melalui proses perjalanannya dalam studi keagamaan selama 8 tahun dan proses pencarian dasar-dasar pemikiran lokal yang dipadukan dengan keyakinannya serta sejumlah arus pemikiran global dari para pemikir pos moderen hingga membentuk keunikan dan kelebihan tersendiri pada puisi-puisinya.
Pada wilayah Novel, Mashuri yang dengan tekun dan nampak kuat menciptakan suatu kerangka dan muatan lokal membuat banyak kalangan pengamat sastra di Jakarta terperangah. Sementara itu Zoya Herawati yang kini sedang menyelesaikan suatu novel yang paling tebal di wilayah Jatim dan Indonesia, sekitar 7-8 ratus halaman, merupakan hasil penelitian sepanjang 10 tahun di Madura. Novel dengan latar belakang sejarah sosial pada tahun 1960-an dan ditarik hingga kini, serta ulang-alik pada masa lampau secara terus-menerus, membuktikan, bukan hanya secara teknik, kepiawaian Zoya. Tapi juga memberikan perspektif dan membongkar posisi kaum perempuan akibat sistem politik yang tidak adil.
Itulah kilasan singkat sebagai ilustrasi dari perkembangan mutakhir sastra di Jawa Timur, yang sesungguhnya masih terdapat bukan hanya satu atau dua namun belasan atau bahkan puluhan penulis yang bisa dihandalkan. Jawa Timur sangat mungkin bisa menjadi simpul sejarah sastra seperti juga sastra Jawa lama yang pada abad ke-16 sangat kuat mempengaruhi perkembangan di wilayah Jawa Tengah (baca: Mataram), seperti yang pernah didedahkan oleh de Graaf.
Namun, perkembangan sastra Jawa Timur yang menggembirakan itu, tidaklah didukung oleh atmosfir tradisi kritik yang baik. Misalnya kita bertanya-tanya, siapakah kalangan kampus atau akademisi yang menulis kritik sastra mutakhir di Jawa Timur? Kita dapat menoleh dan mempertanyakan hal ini pada kalangan akademisi, selain kita sudah bosan disesaki akan data jumlah peminat jurusan sastra Indonesia yang setiap tahunnya meluluskan ratusan orang yang rata-rata tidak jelas orientasi spiritnya. Sementara itu kita juga menyaksikan peningkatan strata pendidikan para pengajar yang kini rata-rata magister dan tak sedikit yang meraih doktor. Lalu, untuk apakah jenjang pendidikan yang tampak tinggi dan wah itu dan berada dalam posisi sebagai akademisi jika mereka tidak melecut diri untuk menggali dan mengembangkan khasanah sastra mutakhir? Adakah mereka menganggap sastra mutakhir Jawa Timur tak layak untuk dikupas dan dijadikan bahan studi yang sebenarnya melimpah itu?
Yang menyedihkan adalah dari kalangan akademisi kita, pada sisi lain mereka tidak juga melakukan penelusuran pada masa silam, tiadanya kupasan sastra di masa lampau, dan oleh sebab itu sastra mutakhir tak pula tersentuh. Ironi lainnya, justru kalangan penulis sangat intensif melakukan penelitian kembali dalam proses penciptaan karyanya. Jadi, apa sesungguhnya tugas akademisi, selain mengajar, bukankah melakukan penelitian? Ataukah mereka mengalami sejenis disorientasi atau aborsi intelektual? Bila memang demikian, boleh jadi para akademisi telah terkubang dalam kondisi alienasi, dan tak berbeda seperti kebanyakan pegawai negeri!
*) Penggiat Komunitas Lembah Pring Jombang.
Langganan:
Postingan (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Ginandjar Wiludjeng
A. Junianto
A. Kurnia
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.S Laksana
A’yat Khalili
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Razak
Abdul Rosyid
Abdul Wahab
Abdurrahman Wahid
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adam Chiefni
Ade P. Nasution
Adhitia Armitriant
Adi Prasetyo
Adrizas
AF. Tuasikal
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Baso
Ahmad Faishal
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Naufel
Ahmad Rofiq
Ahmad S. Zahari
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ainul Fiah
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Alex R. Nainggolan
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Almania Rohmah
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aminah
Aminullah HA.Noor
Amir Sutaarga
Anam Rahus
Anata Siregar
Andari Karina Anom
Andina Dwifatma
Andong Buku #3
Andre Mediansyah
Andri Awan
Anett Tapai
Anggie Melianna
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Wahyudi
Anwar Nuris
Ardi Bramantyo
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Joko Wicaksono
Arief Junianto
Ariera
Arif Bagus Prasetyo
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Asmaul Fauziyah
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Wulan Sari
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Camelia Mafaza
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Daisuke Miyoshi
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Danusantoso
Dareen Tatour
Darju Prasetya
David Kuncara
Denny Mizhar
Denza Perdana
Desi Sommalia Gustina
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewi Indah Sari
Dewi Susme
Dian Sukarno
Didik Harianto
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur
Dipo Handoko
Diyah Errita Damayanti
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddy Wisnu Pribadi
Dody Kristianto
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi SS MHum
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Wiyana
Dyah Ratna Meta Novia
Dyah Sulistyorini
Ecep Heryadi
Eddy Pranata PNP
Edeng Syamsul Ma’arif
Eep Saefulloh Fatah
EH Kartanegara
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Hendri Saiful
Eko Windarto
Elnisya Mahendra
Elva Lestary
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Sulwesi
Endo Suanda
Eppril Wulaningtyas R
Esai
Evan Ys
F. Moses
F. Rahardi
Fadlillah Malin Sutan
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Febby Fortinella Rusmoyo
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Gabriel Garcia Marquez
Galang Ari P.
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Ganug Nugroho Adi
Gerson Poyk
Ghassan Kanafani
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunoto Saparie
H.B. Jassin
Habibullah
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Hardi
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
HE. Benyamine
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Herman RN
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Nugroho
Hikmat Gumelar
HL Renjis Magalah
Hudan Nur
Hujuala Rika Ayu
Huminca Sinaga
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ira Puspitaningsih
Irfan Budiman
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Zulkarnain
Ismail Marzuki
Iva Titin Shovia
Iwan Kurniawan
Jabbar Abdullah
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D. Rahman
Jamal T. Suryanata
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
JILFest 2008
Jody Setiawan
Johan Edy Raharjo
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Juan Kromen
Julika Hasanah
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Ka’bati
Karanggeneng
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Keith Foulcher
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khoirul Inayah
Khoirul Rosyadi
Khudori Husnan
Ki Ompong Sudarsono
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
L.N. Idayanie
Laili Rahmawati
Lamongan
Lan Fang
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lucia Idayanie
Lukman A Sya
Lutfiah
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Ismail
M Thobroni
M. Afifuddin
M. Arwan Hamidi
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Luthfi Aziz
M. Nurdin
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.S. Nugroho
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahmud Syaltut Usfa
Mahmudi Arif Dahlan
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Martin Aleida
Maruli Tobing
Mas Ruscita
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni Muserang
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mia Arista
Mia El Zahra
Mikael Johani
Misbahus Surur
Misran
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
Much. Khoiri
Muh. Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun
Muhammadun AS
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mukti Sutarman Espe
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Munawir Aziz
Musfarayani
Musfi Efrizal
Nafisatul Husniah
Nandang Darana
Naskah Teater
Nelson Alwi
Ni Made Purnamasari
Nikmatus Sholikhah
Nina Herlina Lubis
Nina Susilo
Ning Elia
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel-novel berbahasa Jawa
Novelet
Nunuy Nurhayati
Nur Azizah
Nur Hamzah
Nur Kholiq
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Aini
Nurul Anam
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Okty Budiati
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso H.N.
Pagan Press
Pagelaran Musim Tandur
Palupi Panca Astuti
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Petrus Nandi
Politik
Politik Sastra
Pradana Boy ZTF
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringadi AS
Prof Dr Fabiola D. Kurnia
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Puji Tyasari
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
Purnawan Kristanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Ng. Ronggowarsito
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmat Kemat Hidayatullah
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rasanrasan Boengaketji
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Resensi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Ririe Rengganis
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rusmanadi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saiful Amin Ghofur
Saiful Anam
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman S. Yoga
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang KSII
Santi Puji Rahayu
Sapardi Djoko Damono
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Jawa Timur
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputra
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sri Weni
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugi Lanus
Sukron Ma’mun
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaf Anton Wr
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syarif Wadja Bae
Sylvianita Widyawati
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie (1961-2019)
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tia Setiadi
Tirto Suwondo
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tosa Poetra
Tri Nurdianingsih
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulul Azmiyati
Umar Fauzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Utari Tri Prestianti
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wan Anwar
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wina Bojonegoro
Wita Lestari
Wong Wing King
Wowok Hesti Prabowo
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopi Setia Umbara
Yudhi Herwibowo
Yudi Latif
Yusri Fajar
Yusuf Ariel Hakim
Yuval Noah Harari
Zacky Khairul Uman
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zed Abidien
Zehan Zareez
Zhaenal Fanani
Zubaidi Khan
Zuniest