Jumat, 18 September 2009

Wong Jawa

Bandung Mawardi*
http://www.jawapos.com/

“Siapa saja yang ingin menjadi wong Jawa harus membaca dan menulis.” Kalimat dengan pesan imperatif ini disampaikan secara kalem oleh Suparto Brata dalam diskusi Wong Jawa Ilang Jawane di Solo pada 14 Juni 2008. Laku membaca dan menulis diklaim Suparto sebagai pengalaman jadi wong Jawa. Ungkapan relasional tentang wong Jawa dengan tradisi membaca dan menulis memang cukup mencengangkan pada hari ini, ketika sekian orang sibuk mencari definisi, memerkarakan identitas hibrida atau tafsir klise tentang takdir kekuasaan Jawa.

Apakah ciri substantif orang Jawa adalah membaca dan menulis? Pertanyaan ini muncul oleh pengakuan Suparto sebagai pengarang mumpuni dengan puluhan buku sastra dalam bahasa Indonesia dan Jawa. Afirmasi sebagai wong Jawa terselamatkan dan menjadi produktif ketika orang mau menekuni tradisi membaca dan menulis. Kebenaran memang terkandung dalam ungkapan kalem itu jika publik mau membuka kembali lembaran-lembaran kepustakaan Jawa dari zaman kakawin, babad, serat, kidung, sampai adopsi dan eksplorasi terhadap struktur tulisan modern dari peradaban Timur dan Barat.
***

Peran dan kerja keras P.J. Zoetmulder pantas dijadikan sebagai bukti kesuntukan pujangga Jawa untuk mencatatkan konstruksi wong Jawa dalam arus zaman. Penulisan teks-teks sastra dan sejarah membuat pelacakan terhadap deskripsi dan analisis tentang wong Jawa memiliki jejak dan tanda. Laku para pujangga merepresentasikan nubuat untuk generasi lanjutan mengenai kodrat menemukan biografi historis dan kultural dalam konteks Jawa. Pembacaan terhadap teks-teks lawas tentu jadi mekanisme untuk menghidupkan memori kolektif dengan impresi dan implikasi.

Buku Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang (1983) merupakan buku babon untuk penelusuran teks-teks Jawa dalam dialektika zaman. Zoetmulder telaten mengurusi naskah-naskah Jawa kuno untuk ikhtiar merekonstruksi jagat kultural dan estetika Jawa melalui bahasa tulisan. Naskah tertua diperkirakan muncul pada abad IX dalam bentuk kakawin tentang epos Ramayana. Naskah-naskah kuno menjadi “monumen bahasa” untuk dinikmati dengan laku membaca dan menulis. Monumen bahasa lalu terwariskan dalam tingkat keawetan yang mungkin melebihi candi, rumah, gapura, atau prasasti.

Zoetmulder menghadirkan kepada pembaca daftar panjang tentang laku kreatif pujangga-pujangga Jawa untuk mengungkapkan ide-ide religiusitas, estetika, etika, politik, dan kultural. Pilihan terhadap bahasa tulis membuktikan bahwa tradisi aksara sejak lama hidup dan disemaikan di Jawa sebagai bentuk konsekuensi menggerakkan peradaban. Pengekalan jejak historis dan nubuat dalam naskah adalah pertaruhan diri untuk menjadi manusia. Menulis merepresentasikan kesadaran dan strategi kultural untuk pengukuhan eksistensi dan pengajuan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan zaman.

Publik perlu membuka kembali khazanah Jawa dalam naskah Ramayana, Arjunawiwaha, Gatotkacasraya, Samardahana, Bhomantaka, Arjunawijaya, Sutasoma, Negarakretagama, Lubdhaka, dan lain-lain. Naskah-naskah kuno itu mengandung informasi fiksionalitas dan fakta mengenai lakon manusia dalam dialektika zaman. Kehadiran naskah tentu membuat ingatan atas sejarah atau identitas biografi kultural menemukan titik sambung pembayangan terhadap asal usul dalam keterpengaruhan peradaban-peradaban besar di tanah Jawa.

Pengaruh peradaban India tampak kentara dalam naskah-naskah Jawa kuno. Perjumpaan peradaban membuat konstruksi identitas tak permanen, tapi inklusif untuk perubahan. Laku para pujangga membuktikan, ada karakter elegan untuk menjalani lakon kultural dalam tegangan otentisitas dan akulturalisme. Jejak panjang pengaruh India terus terasakan sampai hari ini. Pembacaan atas naskah-naskah Jawa kuno tentu mengesankan bahwa ada kemungkinan kerepotan menguraikan ambiguitas wong Jawa dan kerumitan dalam pewarisan identitas kultural Jawa.
***

Orang Jawa hari ini justru dihadapkan pada pilihan tema-tema besar dan kuasa teks dari pelbagai sumber Timur dan Barat. Teks ikut menentukan kehadiran wong Jawa dan proses kehilangan kejawaan melalui negasi dan afirmasi dari progresivitas peradaban global. Pemahaman identitas lokal menjelma sebagai tema pinggiran dan lekas terhapuskan oleh konsensus tentang manusia kosmopolitan. Pengesahan kerepotan merumuskan identitas manusia hari ini kentara ditentukan oleh kuasa teks, permainan tafsir, dan operasionalisasi ideologi teks melalui ranah politik, ekonomi, teknologi, atau seni.

Perkara identitas orang Jawa pada hari ini mengandung dilema dan ambiguitas dalam batas tegangan tradisionalitas dan modernitas. Pengajuan jawab melalui jejak dan tanda tradisi kelisanan tentu tidak menjadi rumusan utuh. Kesadaran atas tradisi pustaka adalah penggenapan untuk membaca ulang dan merumuskan diri kembali sesuai dengan takdir zaman. Kesadaran pustaka justru melemah karena kelengahan dalam menghadapi mode zaman. Fase tulisan seperti diloncati dengan kultur audiovisual untuk penguatan tradisi kelisanan. Barangkali godaan besar ini mengakibatkan wacana wong Jawa ilang Jawane kehilangan jejak referensial melalui teks kultural.

Dokumentasi pustaka sebagai sumber pengetahuan menjadi keniscayaan untuk tak sekadar menerima kodrat normatif. Suparto mengistilahkan sebagai kodrat weruh lan krungu (melihat dan mendengar). Menulis adalah strategi ampuh untuk sadar pengetahuan. Kesadaran ini dibuktikan oleh kerja keras para pujangga Jawa meski dalam fragmen zaman ini kerap terlupakan atau sekadar dijadikan album nostalgia lama tanpa pesan kontekstual. Pesimisme atas peran kepustakaan dalam pewacanaan identitas kultural Jawa perlu diklarifikasi dengan kehadiran data dan tafsir mutakhir.
***

Ikhtiar menghidupkan kerja literer pujangga Jawa pernah dibuktikan oleh Poerbatjaraka dan Tardjan Hadidjaja dalam buku Kepustakaan Jawa (1952). Buku ini menghadirkan sinopsis atas teks-teks literer Jawa lama dan ulasan pendek. Peran buku ini signifikan untuk pengekalan dan pewacanaan atas tradisi aksara dalam peradaban Jawa. Ensiklopedia naskah Jawa membuktikan, tingkat peradaban dan karakteristik orang Jawa terhadap eksplorasi lakon hidup dalam aksara. Tradisi itu mengalami tragedi ketika zaman berubah dalam kecepatan tinggi dan dijalankan dengan hukum dominasi. Kepustakaan Jawa lalu jadi bab kecil di antara bab-bab besar jagat teks kontemporer.

Ungkapan wong Jawa ilang Jawane mungkin menemukan pembenaran ketika tradisi membaca dan menulis memang diabaikan dan hilang. Kesadaran akan aksara ini mengalami titik kritis ketika kebijakan politik kebudayaan dari negara tidak memberikan akses dan merestui tradisi membaca-menulis. Pemanjaan kultural dalam ideologi konsumsi justru melemahkan kepemilikan identitas kultural Jawa. Menulis bisa jadi subversi untuk tak kalah atau terkooptasi oleh kuasa zaman. Barangkali, untuk menjadi wong Jawa, diperlukan syarat kunci dalam laku membaca dan menulis. Begitukah? (*)

*) Peneliti Kabut Institut Solo.

Gus Mus: Semua Penyair Guruku

Ami Herman
http://www.suarakarya-online.com/

Kiai yang juga dikenal sebagai budayawan, pelukis, dan penyair, KH Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus, mengaku terus terang bahwa semua penyair yang ada di negeri ini, terutama sekali penyair yang usianya di atasnya, adalah teman sekaligus gurunya.

“Saya menganggapnya demikian karena dalam banyak kesempatan, saya tidak sekadar curhat dengan mereka, tetapi juga belajar, terutama dalam proses kreatif kepenyairan. Jujur, puisi-puisi yang saya buat untuk menerjemahkan tentang suatu kenyataan, kezaliman, keangkaramurkaan, kebatilan, dan cinta kepada Allah, mereka kok bisa pas membahasakannya dalam bait-bait yang pendek tapi komunikatif, sedangkan saya belum. Itu yang membuat saya banyak belajar kepada penyair-penyair yang sudah matang memandang kehidupan,” ujar Gus Mus.

Pengakuan Gus Mus itu diungkapkan ketika menjadi pembicara dalam acara peluncuran kumpulan sajak Sihir Cinta karya Timur Sinar Suprabana di DPRD Jawa Tengah, Semarang, Senin lalu, yang kebetulan dihadiri sejumlah cendekiawan, wartawan, belasan penyair termasuk Sitok Srengenge. Namun, beberapa wartawan yang telah mengenal sosok Gus Mus menilai, penuturan sang kiai bahwa semua penyair adalah gurunya merupakan bentuk dari sikapnya yang selalu merendah. “Soalnya, puisi-puisi Gus Mus yang banyak beredar di berbagai penerbitan nasional malah sering disebut para penyair senior sebagai puisi sufi. Kecintaan Gus Mus terhadap kesederhanaan dan kebersahajaan sudah menjadi gaya hidupnya sejak lama. Jadi, kami nggak heran lagi kalau mendengar pernyataan Gus Mus yang merendah itu. Yang pasti, puisi-puisi dan cerpen-cerpen Gus Mus sangat khas,” tutur beberapa penyair di Semarang.

Karya sastra Gus Mus bisa khas antara lain karena tidak mengikuti satu gaya kepenyairan dari orang tertentu. Kenyataan itu pula yang kerap menyulitkan orang lain untuk mencari-cari kesamaan gaya kepenyairan penulis Kumpulan Puisi Balsem ini dengan penyair lainnya. “Namun, kalau mau meneliti baris per baris puisi saya, mungkin di setiap baris ada gaya Timur Sinar Suprabana, Sitok Srengenge, atau Beno (Siang Pamungkas). Inilah Indonesia, tidak ada yang tahu,” katanya disambut tawa hadirin.

Gaya banyak penyair yang ada dalam puisinya itulah yang, menurut pengasuh Pondok Pesantren Raudlatuth Thalibin, Rembang ini, menjadi kehebatan dirinya dalam menciptakan puisi. Kini Gus Mus sering bolak-balik Rembang-Jakarta untuk mengisi rekaman acara menjelang Ramadhan di sebuah stasiun televisi swasta di Jakarta.

Kamis, 17 September 2009

Cak Nur: Cendekiawan-Aktivis

Abdul Razak
http://www.jurnalnasional.com/

Nurcholish Madjid adalah ikon pemikiran pembaruan dan gerakan Islam di Indonesia. Cak Nur, panggilan populernya, bukan hanya seorang cendekiawan yang berdiam di menara gading intelektualitas. Namun dia juga adalah seorang aktivis pergerakan, bahkan politikus.

Politik praktis merupakan jalan hidup yang mendominasi perjalanan hidup Cak Nur. Dia lahir di tengah-tengah keluarga Masyumi. Ayahnya, KH Abdul Madjid, dikenal salah seorang tokoh partai politik Islam terbesar di era Orde Lama itu.

Politik praktis mulai ditekuni Nurcholish saat menjadi mahasiswa, pertengahan tahun 1960-an. Ia terpilih sebagai Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ciputat, tempat dia menimba ilmu di Fakultas Sastra dan Kebudayaan Islam Institut Agama Islam Negeri Syarief Hidayatullah, Jakarta. Anak Jombang, Jawa Timur yang lahir 17 Maret 1939 ini bahkan menduduki jabatan Ketua Umum Pengurus Besar HMI dua periode berturut-turut, 1966-1969 dan 1969-1971. Meski begitu, sebetulnya politik sudah ada dalam pikiran santri Pondok Pesantren Darussalam, Gontor, Ponorogo, Jawa Timur itu sejak Pemilu 1955.

Ketika masih berstatus mahasiswa, Cak Nur tampil sebagai seorang intelektual muda. Dirinya banyak bicara soal demokrasi, pluralisme, dan humanisme.

Gagasan dan pemikiran pria yang sempat menjabat Presiden Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara ini memukau banyak orang. Oleh orang-orang Masyumi dia digelari “Natsir muda”. Pemikiran Nurcholish yang paling menggegerkan, terutama para aktivis gerakan Islam, adalah saat dirinya melontarkan pernyataan politik “Islam yes, partai Islam no”. Sebuah pemikiran politik yang face to face langsung dengan mainstream semangat politik persatuan Islam yang menguat kala itu.

Meski begitu, pada Pemilu 1977, ketika para aktivis mahasiswa cenderung memilih Golkar sebagai kendaraan politik, Cak Nur satu-satunya tokoh yang meminta agar mahasiswa tidak memilih Golkar. Dia memilih kampanye bersama Partai Persatuan Pembangunan, partai Orde Baru yang terbentuk dari fusi partai-partai Islam peninggalan era Orde Lama.

Setelah Cak Nur kuliah di Universitas Chicago, Illinois, Amerika Serikat, untuk meraih gelar doktor dalam bidang filsafat, awal 1990-an, dirinya mulai tampil sebagai cendekiawan-intelektual yang lebih memenara gading. Cak Nur banyak berkecimpung di ranah akademik, dan meninggalkan hingar bingar dunia politik praktis.

Ia kembali memasuki ranah politik praktis jelang berakhirnya Orde Baru. Pada Mei 1998, terlihat besarnya pengaruh Cak Nur. Saat itu Nurcholish berbicara langsung kepada Soeharto, memintanya mundur. Dan, berakhirlah kekuasaan Orde Baru yang telah mengakar selama 35 tahun. Puncaknya, dia sempat tampil sebagai salah seorang kandidat presiden pada Pemilu 2004. Namun, itu berakhir antiklimaks, karena akhirnya ia mengundurkan diri dari proses pencalonan melalui Konvensi Partai Golkar.

Abdul Hadi WM: Malaysia Remehkan Indonesia

Abdul Hadi WM (Wawancara)
http://suaramerdeka.com/

KASUS model asal Indonesia Manohara Odelia Pinot dan Raja Kelantan Tengku Muhammad Fakhry serta konflik Ambalat memanaskan lagi hubungan diplomatik dan budaya antara Malaysia dan Indonesia. Sejak sama-sama berdiri tahun 40-an, hubungan bilateral selalu pasang surut. Ada kalanya panas, ada kalanya mesra. Untuk mengetahui kenapa pasang-surut itu terjadi, berikut wawancara dengan Prof Dr Abdul Hadi MW, pengajar Universitas Paramadina yang tahun 1991-1997 menjadi penulis tamu dan pengajar di Universiti Sains Malaysia.

Hubungan Malaysia-Indonesia memanas lagi sampai-sampai Wapres Jusuf Kalla menyatakan kita siap berperang. Menurut pandangan Anda, apa sebab relasi Indonesia-Malaysia begitu rapuh?

Ya jelas masalah politik dan ekonomi. Harap diingat, kolonialisme yang memisahkan negara-negara di Asia Tenggara. Pada masa kolonial itu, komposisi kependudukan Malaysia adalah China, Melayu, dan India. Usaha kolonial untuk memisahkan ras-ras itu tampaknya berhasil.

Tentu ada kelompok rasial yang tidak senang Malaysia dekat dengan Indonesia karena secara kultural, etnik dan agama memang satu rumpun. Mereka bermain dalam percaturan politik dalam negeri di Malaysia yang kemudian berdampak pada hubungan dengan Indonesia. Biasa, mental kolonial itu menganggap bahwa hal-hal yang berkaitan dengan budaya tradisional Asia lebih rendah.

Dulu percaturan politik dan ekonomi Indonesia lebih diperhitungkan di kawasan Asia, tapi belakangan Malaysia menggungguli. Apa superioritas ekonomi Malaysia sekarang yang membuat mereka cenderung memandang rendah Indonesia?

Dilihat dari segi ekonomi, mereka memang merasa lebih unggul dan berhasil. Tentu mereka akan memperlakukan negara-negara di sekitarnya, termasuk Indonesia yang belum berhasil membangun ekonominya itu sebagai bagian dari ekspansi ekonomi mereka.

Penggerak ekonomi di sana tidak hanya dari rumpun Melayu. Jangan lupa, pengusaha di sana banyak yang terdidik secara Barat. Dan tidak bisa disalahkan ada segi rasialnya juga. Apalagi Singapura. Ini harus diakui oleh mereka sendiri.

Adakah pemimpin yang tampil di negara itu turut berperan memperkeruh hubungan kedua negara?
Pemimpin-pemimpin Malaysia, dari Mahathir hingga sekarang itu kan orang-orang Melayu didikan Barat yang dekat dengan pemikiran kolonial yang menganggap Batat atau Inggris itu contoh segala-galanya. Dari segi kultur, orang-orang Melayu merasa memimpin dunia Melayu. Kemelayuan itu kan ada dua, di Indonesia dan Malaysia. Di Indonesia tidak terbangun karena kesalahan pemerintahan. Kaum intelektual Indonesia, kalau berbicara tentang Melayu, rujukannya selalu Malaysia. Kita lupa bahwa di Indonesia juga ada Melayu.

Kalau orang berbicara Islam, kan selalu berpikir, oo.. Islam yang di Jawa. Kita lupa bahwa Islam yang di Melayu ini yang menjadi perekat dengan Melayu di Indonesia.

Belakangan ini banyak karya budaya Indonesia yang diklaim oleh Malaysia. Dari batik, reog, sampai saman dari Aceh mereka promosikan sebagai budaya Melayu.

Itu setengahnya tidak salah. Banyak orang Malaysia yang keturunan Jawa dan Aceh. Sejak lama mereka punya batik Melayu, batik Kelantan. Tapi orang Indonesia tidak mau menegaskan ada batik Jawa, ada batik Pekalongan, ada batik Madura. Lalu dalam kajian-kajian tentang seni, batik itu pengaruh China pada budaya Jawa. Pengaruh Islam-nya mana, pengaruh Persi-nya di mana, tidak ditegaskan.

Kita di Indonesia dididik hindusentris. Ada islamophobia di dalam penelitian ilmiah di Indonesia. Nah, Islam-nya itu yang diklaim oleh Malaysia. Dalam sastra Melayu kan pengaruh Islam sangat kuat. Di Indonesia itu tidak dipelajari, tapi di sana, karena merasa orang Melayu, mereka mempelajari dan mengembangkannya.

Kerajaan Melayu kan terdiri atas Samudera Pasai, Malaka, dan Aceh Darussalam. Dari tiga kerajaan itu, satu ada di Malaysia (Malaka), dan satu di Indonesia. Sejarawan kita menganggap perkembangan kebudayaan Melayu selalu dimulai dari Malaka. Makanan empuk bagi mereka. Lupa bahwa Samudera Pasai lebih dulu dari Malaka. Dan Aceh itu selalu dianggap Aceh saja, padahal Aceh Darussalam itu sumber peradaban Melayu. Persepsi sejarah ini mereka manfaatkan bahwa pusat kebudayaan Melayu itu Malaka. Jadi Indonesia itu hanya periferal Kerajaan Malaka.

Itu sudah ada sejak zaman Inggris dan Belanda, dan masuk ke dalam pemikiran kaum intelektual dan negarawan Indonesia. Pelopor sastra Melayu modern itu selalu dikatakan Abdullah bin Abdulkadir Munzi di Malaysia. Padahal di sini ada Raja Ali Haji. Ada Hamzah Fansuri di Aceh yang lebih dulu. Tapi kita tidak mau mengangkat.

Kecenderungan orang Malaysia memandang rendah Indonesia sepertinya mulai menguat saat kita mengirimkan TKI ke sana. Anda juga melihatnya demikian?

Jelas. Keunggulan ekonomi itu memang sesuatu yang penting. Sejak awal 70-an, pemerintah kita belum berhasil membangun ekonomi dengan baik. Akibatnya, Malaysia selalu menganggap rendah Indonesia.

Mereka itu kan orang-orang yang memiliki kompleks inferioritas terhadap orang Indonesia dalam pencapaian intelektual. Dan setelah maju secara ekonomi, mereka ingin membalas, merasa lebih unggul, dan menganggap orang Indonesia yang bekerja di sana lebih rendah.

Pada tahun 70-an, orang Indonesia dibawa ke Malaysia untuk mengatasi ketimpangan populasi Melayu dengan etnis China. Tapi hubungan dengan perusahaan-perusahaan, baik milik ras Melayu maupun China yang semula mesra kemudian berbalik menjadi hubungan perbudakan.

Ada hal menarik. Di satu sisi, mereka merasa lebih unggul, tapi di sisi lain tidak. Bahkan musik dan sinetron Indonesia, begitu meraja di Malaysia. Mereka berkiblat ke kita.

Ya. Tapi itu bisa menyebabkan kecemburuan para seniman di sana. Dan lagi, yang secara umum kita ketahui kan hanya di bidang musik dan film. Sebetulnya, bukan hanya di bidang itu. Di bidang sastra, ilmu pengetahuan, pemikiran keagamaan, mereka juga berorientasi ke sini.

Sayangnya, kita memperlakukan pemikiran kita setengah hati. Pemikiran pada pemikir Islam di Indonesia seperti Hamka atau M Natsir dipelajari di perguruan tinggi di Malaysia. Buku-buku Pramoedya, Ahdiat Kartamiharja, Hamka, dijadikan teks wajib di sana.

Mereka ingin lebih setara dengan seniman-seniman Indonesia. Tapi tidak berhasil juga. Secara tradisi, Indonesia memang jauh lebih unggul. Tapi usaha mereka untuk memperkenalkan karya tentang kemelayuan ke dunia internasional, sangat tinggi, dibiayai pemerintah. Kesusastraan Malaysia itu diperkenalkan ke mana-mana. Tapi lihat, bagaimana pemerintah memperlakukan sastrawan kita. Temasuk kajian kita tentang budaya Melayu.

Apa yang bisa kita lakukan untuk menumbuhkan kembali hubungan antara kedua negara yang lebih harmonis?

Upaya yang terbaik, pemerintah mesti bertindak tegas dan cepat terhadap, pertama, kalau berhubungan dengan pelanggaran wilayah, seperti kasus Ambalat dan Sipadan-Ligitan. Cepat panggil Dubes Malaysia di sini.

Yang kedua, pemerintah harus menangani setiap kasus perlakuan terhadap TKI di sana. Saya lihat Dubes RI di Malaysia itu tidak pernah membantu sejak dulu sampai kasus Manohara sekarang. Lepas tangan saja, sepertinya kita itu tunduk.

Yang ketiga, dalam hukum internasional, kita harus aktif mendata pulau-pulau yang kita miliki dan memberikan batas wilayah. Jangan lupa, mereka membangun angkatan laut dan angkatan udara yang kuat. Sementara angkatan bersenjata kita semakin lemah. Kita terlalu mengandalkan pertahanan rakyat. Zaman Soeharto masih efektif, karena rakyat masih punya patriotisme. Tapi sekarang, saat tingkat kemiskinan demikian tinggi, tidak ada pertahanan rakyat.

Di tingkat Asia Tenggara, Indonesia harus punya pusat kebudayaan di Malaysia, Filipina, dan sebagainya. Martabat kita ada di situ. China, misalnya, punya tokoh-tokoh besar di bidang intelektual, kesenian, segala macam. Indonesia, bangsa yang begini besar ini, punya filsuf tidak, punya sastrawan tidak, punya ilmuwan tidak, punya nabi juga tidak. Indonesia menjadi bangsa yang rapuh karena pencitraan semacam itu tidak dibangun. Padahal, kita punya tokoh-tokoh besar yang dikagumi di Malaysia dan Asia Tenggara.

Sekarang di Facebook muncul slogan ”Malaysia Trully Indonesia”. Apa komentar Anda?

Ya bagaimana.. Di Malaysia itu, museumnya tidak terlalu bagus. Isinya banyak benda dari Indonesia. Tapi itu diaku sebagai museum terbesar di Asia Tenggara. Padahal, benda-benda Islam-nya dari Sumatera, Jawa. Ya seperti Museum Malaka yang memamerkan peninggalan sejarah Hang Tuah, Hang Lekir, Hang Jebat, dan sebagainya.

Tapi mereka memiliki kelebihan di bidang ekonomi dan politik, mereka angkat di situ. Sedangkan kakak tua ini (Indonesia), miskin secara ekonomi, jadi seperti raksasa yang lumpuh.

Barangkali harus menunggu ekonomi kita lebih kuat?

Ya, tapi ekonomi dan kebudayaan itu kan dua sisi dari mata uang yang sama. Kadangkala ekonomi yang makmur memengaruhi perkembangan kebudayaan, kalau ada kesadaran tentang kebudayaan. Kalau tidak, ya akan begini saja, terus-nenerus berpikir kebendaan. Tapi ada kalanya kebudayaan yang membangkitkan ekonomi.

Selain ekonomi yang lebih mapan, promosi budaya dan wisata Malaysia di luar negeri gencar sekali. Bukankah itu membuat klaim mereka terhadap produk-produk kebudayaan Melayu makin menyudutkan Indonesia?

Ini juga menyangkut infrastruktur pengetahuan kita. Dalam dunia pariwisata, misalnya, Indonesia selama ini berorientasi ke zaman Hindu. Yang bisa dijual ya cuma Bali, Prambanan, Borobudur. Lupa bahwa setelah zaman Hindu ada zaman Islam. Ada juga zaman Kristen berkembang seperti di Ambon, Batak, Manado.

Profil: ABDUL Hadi Wiji Muthari, Lahir di Madura 24 Juni 1946.
Dia memperoleh pendidikan di Fakultas Sastra dan Kebudayaan serta Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada. Gelar PhD dia peroleh dari Pusat Pengajian Ilmu Kemanusiaan, Universiti Sains Malaysia. Selain mempelajari kesusastraan Melayu/Indonesia dan falsafah Barat, dia juga mempelajari kebudayaan dan kesusastraan Timur. Sebagai penyair, dia telah menhadiri berbagai pertemuan sastrawan internasional. Puisi dan esai-esainya telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Bukunya antara lain Riwayat, Laut Belum Pasang, Potret Panjang Pengunjung Pantai Sanur, Cermin, Meditasi, Tergantung Pada Angin, Anak Laut Anak Angin, Pembawa Matahari dan Madura, dan Luang Prabhang.(/)

Amir Hamzah dan Jalan Terjal Menuju Tuhan

Grathia Pitaloka
http://www.jurnalnasional.com/

ADA banyak cara menuju Tuhan. Salah satunya seperti yang dilakukan Amir Hamzah melalui sajak-sajaknya. Dalam bait liris Amir berkeluh kesah tentang kerinduannya pada Sang Pencipta. Setelah Amir meninggal dunia, hampir tidak ada penyair Indonesia lain yang begitu bergetar rasa rindunya kepada Zat yang Mahagaib itu.

Amir terlahir sebagai seorang aristokrat Melayu. Ia merupakan anggota keluarga Sultan Langkat, bagian kelas feodal yang saat itu dipandang hormat oleh masyarakat. Semenjak kecil Amir sudah akrab dengan sastra melayu. Konon nama yang ia sandang merupakan bentuk kekaguman sang ayah, Tengku Muhammad Adil terhadap Hikayat Amir Hamzah.

Sejak kecil Amir dibesarkan dalam lingkungan agama Islam yang taat. Selain bersekolah di Langkatsche School (HIS), sekolah dengan tenaga pengajar orang-orang Belanda, ia juga belajar mengaji di Maktab Putih. Setiap sore tiba, Amir dan teman-temannya melangkah ke rumah besar bekas istana Sultan Musa itu untuk belajar kitab suci.

Paduan ajaran Barat dan ilmu agama yang dipelajari membentuk suatu reaksi kegelisahan di kepala Amir. Kegelisahan itu semakin menggebu ketika ia menjejakan kaki ke tanah Jawa untuk melanjutkan pendidikan di Aglemeene Middelbare School (AMS) jurusan Sastra Timur di Solo.

Rasa rindu itu semakin meluap dan butuh saluran pelampiasan. Maka bak remaja yang tengah jatuh cinta, Amir pun mulai mengungkapkan kerinduannya lewat sajak. Namun bukan lewat sajak yang merayu Tuhan dengan menempatkannya sebagai kekuasaan, melainkan sesuatu yang digandrungi. Jalan yang tidak akan dipilih oleh mereka yang memaknai Tuhan dengan teratur, steril dan tidak gaduh.

Horatius, penulis puisi liris terkemuka di Roma abad ke-7 sebelum Masehi, pernah berseru untuk berani menggunakan pengertian sendiri. Sapere aude!. Baginya kemandirian merupakan pilar utama. Puisi yang hanya mengulang kaji akan mati sebelum sampai. Dan ratusan tahun setelah masa Horatius, Amir tampil sebagai penyair yang tak luruh dengan pengertian masal. Ia muncul sebagai bagian dari modernitas, manusia dari masa tatkala kemandirian dinyatakan sebagai tanda pencerahan.

Tengok saja sajaknya yang satu ini: Hatiku yang terus hendak mengembara ini membawa daku ke tempat yang dikutuk oleh segala kitab suci di dunia, tapi engkau, hatiku, berkitab sendiri, tiada sudi mendengarkan kitab lain.

Pasti orang jarang menduga jika sajak “tak biasa” itu lahir dari tangan seorang laki-laki berparas alim dengan kopeah yang selalu melekat dikepala. Laki-laki bernama Amir Hamzah. Kegelisahan yang mengalir dalam darahnya memacu untuk terus hendak mengembara. Gairahnya begitu binal, bandel, dan berontak. Tak gamang memasuki tempat terkutuk. Tak sudi mendengarkan segala kitab suci.

Dalam sajak-sajaknya, Amir melukiskan hubungannya dengan Tuhan sebagai “bertukar tangkap dengan lepas”. Sebuah akidah, serumus hukum, paling banter hanya bisa menuntutnya untuk jinak. Tapi bukankah penyair yang paling rapi sekalipun selalu punya saat-saat yang majenun.

“Engkau ganas// Engkau cemburu…// Mangsa aku dalam cakarmu// bertukar tangkap dengan lepas.” Begitulah cara Amir menggambarkan keagungan Tuhan. Penggambaran yang terkadang membuat orang yang tidak mengenalnya menjadi salah tafsir.

Dengan caranya sendiri Amir menggambarkan Tuhan sebagai satu wujud yang keindahan tak terperi, satu kenyataan yang kedalamannya tak terbatasi.Metafora, perumpamaan, teladan, dan dongeng-dongeng, bukan sekadar bumbu, melainkan sebuah jalan menuju Tuhan.

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest