Jumat, 27 Maret 2009

Ketika Penyair Mencari Ruang

Palupi Panca Astuti
http://cetak.kompas.com/

Hidup sebagai penyair bukanlah profesi menarik atau menjadi pilihan bagi sebagian besar masyarakat di Indonesia. Sulitnya menerbitkan buku-buku khusus berisi puisi atau syair-syair sastra di industri perbukuan Tanah Air menjadi salah satu sebab eksistensi penyair sukar mengakar di masyarakat.

Minat pasar yang minim terhadap karya-karya sejenis menjadi alasan klasik penerbit dalam negeri untuk tidak mencetak secara khusus buku-buku puisi. Akibatnya, ruang berekspresi menjadi terbatas. Panggung pertunjukan pun menganaktirikan pentas-pentas pembacaan puisi dan lebih mengutamakan konser musik atau pergelaran seni lainnya.

Maka, alternatif ruang untuk memanifestasikan kemahiran menggelitik kata-kata dalam bentuk sajak atau deklamasi oleh para pujangga pun semakin sempit. Pencarian ruang alternatif ini kemudian menemukan tempatnya ketika teknologi informasi dan komunikasi semakin berkembang di periode tahun 2000-an.

Dan, blog adalah ruang alternatif itu. Blog adalah situs web pribadi yang dapat dimiliki setiap orang dengan mengakses internet. Blog menjadi media personal setiap orang yang menulis dan ingin tulisannya tersebut tersebar luas. Kemampuan internet dengan blog-nya telah menghilangkan dinding dan jarak antarpenulis di dunia maya. Bahkan, ruang bebas ini mampu menghapus aturan sepihak yang biasa ditetapkan penerbit buku, seperti pembatasan jumlah kata, pengeditan yang tidak sesuai, hingga sudut pandang berbeda yang ingin ditonjolkan antara penerbit dan pengarang.

Blog kini tak hanya dilirik oleh mereka yang sekadar ingin menuliskan perasaan sehari-hari seperti fungsi buku harian, bukan hanya untuk menginformasikan hal-hal yang bersifat pengetahuan. Tetapi blog juga adalah ruang ekspresi para novelis, esais, maupun penyair yang ingin karya-karyanya dikenal kalangan masyarakat luas. Blog sekaligus menjadi jembatan komunikasi antarsastrawan maupun pembaca.

Jurnalistik

Hal itulah yang menjadi dasar bagi Mashuri, penyair asal Jawa Timur, untuk membuat blog berisi karya-karya pribadi pria yang juga menggeluti dunia jurnalistik ini. ”Blog pribadi yang saya buat terutama bertujuan sebagai media komunikasi di komunitas sastra, khususnya komunitas sastra Jawa Timur. Alasannya, saat ini semakin sedikit waktu kami miliki untuk sekadar bertemu atau berdiskusi,” katanya.

Mashuri yang memiliki beberapa blog namun hanya mampu memelihara satu saja menambahkan, blog bagi penyair muda seperti dirinya bermanfaat sebagai ruang alternatif berekspresi. Terlebih, saat ini penerbitan karya sastra dalam bentuk cetak bagi pengarang yang belum dikenal sangat sulit. Maka, blog adalah wadah paling tepat untuk menampilkan kreasi-kreasi mereka. ”Sayangnya, akses internet masih menjadi sesuatu yang langka di masyarakat,” sesal pria pemilik blog mashurii.blogspot.com ini.

Sementara F Aziz Manna merasakan sulitnya bertemu dengan teman-teman sesama penulis atau penyair sejak mereka memiliki kegiatan atau pekerjaan rutin lain. Kegiatan berdiskusi dan berbagi pengalaman seputar perkembangan dunia sastra menjadi aktivitas yang semakin jarang dilakukan. ”Padahal, dari diskusi dan sharing itu kami biasanya mendapat ide untuk menulis atau berkarya,” jelas pegiat sastra yang kini bekerja di salah satu surat kabar di Surabaya ini.

Jika frekuensi berdiskusi, yang dikatakan Aziz sebagai ajang ”mencela” karya sesama, semakin berkurang, dikhawatirkan semangat berkreasi pun semakin menurun. Maka, ketika teknologi memudahkan cara berkomunikasi melalui media blog, kekhawatiran itu pun diminimalisasi. ”Blog adalah sarana komunikasi yang paling pas buat kami di komunitas sastra yang masih membutuhkan diskusi, meski di dunia maya,” lanjut Aziz. Pertemuan secara fisik memang kadang masih dilakukan Aziz maupun Mashuri dan teman-teman, tetapi sangat jarang.

Kesamaan tujuan menjadi indikator adanya kebutuhan yang sama ketika para penyair memutuskan untuk membuat blog. Dalam hal ini kebutuhan untuk selalu berhubungan, berkomunikasi, berdiskusi, berimajinasi bersama, hingga mungkin ”gila” bersama. Tak jarang karya-karya sastra hebat lahir dari kegiatan ngalor- ngidul bersama ini. Dan, ketika kondisi dan perkembangan hidup memaksa mereka untuk jarang bertemu muka, membuat blog adalah jalan keluarnya. Pertemuan ide menjadi fokus terpenting ketimbang pertemuan fisik. ”Kami butuh ruang untuk mengomunikasikan sekaligus mengekspresikan karya-karya kami. Dan blog adalah ruang yang tepat,” ujarnya lagi.

Ruang alternatif yang ditemukan penyair melalui blog telah memberikan kesempatan cukup luas bagi mereka untuk terus berkarya sambil membagi hasil kerja kreatif itu ke seluruh peminat sastra di pelosok negeri. Lalu, apakah langkah itu akan semakin menghambat perluasan produk kesusastraan mereka melalui wadah konvensional berupa buku cetak maupun pentas-pentas panggung sastra? Baik Mashuri maupun Aziz tidak meyakini hal itu akan terjadi.

Membantu penulis

Bagi Indra Tjahyadi, penyair muda yang juga pengajar di Fakultas Sastra dan Filsafat Universitas Panca Marga, Probolinggo, blog justru sangat membantu para penulis untuk menerbitkan karya-karya mereka secara bebas. ”Blog tidak mengenal ketentuan-ketentuan khusus yang biasa diberlakukan para penerbit buku atau surat kabar kepada penulis yang ingin karyanya dipublikasikan. Apa pun yang ingin kita tulis, blog memberi ruang itu tanpa batas,” ujarnya.

Namun, Indra justru menyayangkan opini masyarakat secara umum yang berpendapat bahwa penulis maupun pe- nyair yang memprasastikan karyanya melalui blog bukanlah sastrawan yang sesungguhnya. Cara publikasi karya sastra melalui media cetak, baik buku, koran, maupun majalah, tetap menjadi ukuran utama seseorang dianggap sastrawan atau bukan. ”Menurut saya, pandangan itu tidak cocok di masa teknologi informasi dan komunikasi seperti sekarang,” lanjut Indra.

Dan, itulah arti blog buat para penyair. Menurut mereka, setiap wadah tetap memiliki kekurangan dan kelebihan. ”Blog memang menjamin akses yang lebih luas, namun sistem filter yang dimilikinya sangat rapuh, bahkan cenderung tidak ada,” kata Aziz.

Sementara Indra Tjahyadi justru menyukai kebebasan yang ditawarkan blog. Sedangkan Mashuri memilih untuk tidak menuangkan seluruh karya di blog-nya.

Bagaimanapun, blog merupakan tawaran menarik bagi siapa pun yang gemar menulis dan ingin mengembangkan dirinya di sebuah ruang yang maha luas namun tetap berbatas, bukan begitu?

Jumat, 20 Maret 2009

Tanah Perempuan

Indrian Koto
http://www.suaramerdeka.com/


AKU tidak akan bertanya padamu apa artinya menunggu. Di tanahmu, orang-orang merayakan keberangkatan seperti mempercakapkan kematian. Lebih sederhana lagi, seperti membicarakan hujan yang jatuh tadi malam, membanjiri kebun atau sawah siapa. Dan kepulangan, kadang begitu ganjil di telinga.

Tanahmu, sepenuhnya milik perempuan. Milik ibu dan para dara. Laki-laki memilih pergi sebagai lambang lain yang tak perlu kuceritakan. Mereka merasa terhormat menjadi orang dagang, anak rantau. Mereka memilih tanah jauh sebagai halaman barunya. Mereka terlempar di pelabuhan, di tempat parkir, menjadi tukang becak, atau menghilang ke negeri seberang sebagai buruh kasar yang setiap waktu berhadapan dengan rongrongan orang-orang berseragam —tak hanya pada waktu malam, tetapi di setiap simpang jalan pun.

Kepergian mereka akan disusul dengan kepulangan yang sebentar. Pada hari-hari baik, mereka berkumpul, menggumamkan banyak cerita-cerita indah, melengkapi ritual pada hari raya. Ini cukup membuat orang-orang paham dan mendengar sedikit kisahnya. Tentang boat yang terbalik, mereka yang terdampar di pulau kosong hingga mencapai tanah harapan. Cerita akan berlanjut dengan bagian yang hampir sama, tetapi tentu dengan debar yang berbeda, tentang bagaimana mereka bisa menghindar dari kejaran polis, bersembunyi di tempat kerja, mengumpulkan uang seringgit demi seringgit. Selebihnya adalah keberhasilan demi keberhasilan. Kedatangan mereka yang seperti juru warta, mengabarkan tanah lain itu cukuplah membuat para lelaki remaja mempertimbangkan lagi niatnya, bertahan di rumah atau menyusul jejak mereka. Cerita-cerita tentang pelabuhan ramai, lampu-lampu yang berpijar sepanjang jalan, jalan-jalan lebar dan gampangnya meraup uang cukuplah membuat mereka tak bisa memejamkan mata.

Mereka selalu datang pada hari baik, bulan baik dan bergegas pergi setelahnya. Tidakkah sudah cukup bukti bagi mereka yang bertahan di kampung halaman? Motor-motor mereka mengaum di penjuru kampung, saling berkunjung ke kampung lain, pakaian mereka bersih, sedikit wangi, dompet tebal dan siap mentraktir siapa saja. Para dara dan perawan bergayut di bahu mereka, dibonceng sepanjang sore dan malam. Siapa pula yang ingin? Siapa yang tak merasa bangga dengan itu semua?

Dan kau Maria, siapakah sebenarnya yang sedang kautunggu kini —pada hari baik bulan baik ini? Siapakah yang menjanjikan?

”Semuanya sudah diatur, aku hanya melakukan apa yang menjadi tugasku. Ada atau tidak ada yang datang aku akan tetap menunggu. Itulah takdirku.”

Apa aku perlu menceritakan padamu lagi tentang perempuan yang menunggui lelakinya hingga berubah menjadi sebatang kelapa pada akhir penantiannya? Kau tentu masih ingat cerita itu, perempuan yang ditanggung sakit tak habis-habis. Sepertimu, dia menunggu laki-lakinya di sebuah pulau jauh. Sendirian. Hanya berkawan kesedihan dan air mata.

Aku ingat dulu, kau menunjuk hamparan pulau-pulau yang terbentang di sepanjang pesisir kita. Sore yang indah tentu saja, ketika kita beristirahat di bawah keteduhan pohon kelapa.

”Apakah di sana? Di sana atau di sana?” tanyamu sambil menunjuk hamparan pulau yang tampak kecil dari pesisir, tempat kita duduk.

Berjejer dari utara hingga selatan.

”Bukan, bukan Pulau Kiabak, bukan Pulau Babi, Bukan Pulau Awuah, Pulau Panyu atau Pulau Kasiak. Pulau jauh, yang tak terlihat dari pinggir ombak ini, ” kataku dulu.

Dan kini kalimat itu kuucapkan lagi padamu. Sebagaimana amsal, dia menunggu di pulau entah, sebaiknya kita percaya itu saja. Tentu bukan Mentawai, Pulau Rupat rantau yang dituju lelakinya. Kita lagi-lagi kalah dengan amsal, dia menyeberang ke pulau jauh, pulau yang tak tercatat di dalam peta. Bertahun-tahun dia menunggu laki-lakinya. Ia tak mendapat kabar apa pun, tak ada perahu yang ditambatkan, tak ada seseorang yang menjelang. Mungkin laki-lakinya telah berumah di pulau barunya, tetapi mungkin juga telah berumah di balik ombak. Bukanlah laut dalam tak akan mampu kita selam rahasia di dalamnya?

Dan dia, pada akhir usianya meminta pada yang kuasa, semoga dijadikan sesuatu yang berguna, agar lelakinya kelak tahu —jika pun dia pulang— ia perempuan yang setia. Maka, lihatlah, tidak ada yang tidak bermanfaat dari sebatang pohon nyiur bukan? Dari akar, batang sampai pucuknya. Kau akan lihat di batok setiap kelapa, wajahnya menjelma. Wajah perempuan yang setia dan tabah.

Dan kau tahu apa yang kusuka dari dongeng itu? Dia tidak pernah putus asa, dia tidak mesti menceburkan diri ke laut lepas, dia tidak mesti melompat ke dalam api. Tetapi, apakah nasib perempuan memang selalu sama? Menunggu dan tak luput dari cobaan?

Apakah pada akhir waktu juga kau akan menjelma menjadi sesuatu yang kelak juga dikenang banyak orang?

”Aku tak ingin dikenang. Aku hanya mengikuti takdirku. Takdir seorang perempuan.”

Ahai, siapakah sesungguhnya yang kau nanti, Maria?

Laki-laki manakah yang membuatmu begitu betah?

”Tak ada yang menjanjikan, tapi bukankah takdir perempuan hanyalah menunggu? Dulu memang ada yang akan datang, ada yang menjanjikan, sebagaimana kau tahu. Tapi demi tuhan, aku tak sedang menunggu dia, kini. Meskipun dia datang menjemputku, tapi aku merasa tak pernah ke mana-mana. Aku tahu dia nyaris bosan menjemput dan menjelangku.”

Baiklah, baik. Aku merasa paham apa yang kaupikirkan. Aku mulai membaca jalan pikiranmu. Sebenarnya berapa banyak waktu di tanah ini disediakan untuk perempuan untuk berdiri di ambang pintu untuk menunggu?

”Segalanya sudah diatur. Aku hanya menjalankan.”

Aha, kau ingat cerita tentang Batu Pencari Kutu? Batu yang terletak di Gunung Rajo (Raja) yang terdapat di pantai belakang pasar kecamatan? Dulu kita sempat ke sana, mencari-cari di mana gerangan batu itu tersembunyi. ”Jauh di balik ombak. Jika disengaja mencarinya, ia —batu itu— tak akan pernah nampak.” Begitu kita dengar omongan orang-orang ketika kita nyaris putus asa dan menghabiskan separo waktu kita di sana, memutari karang-karang yang menjulang, menyibak celah lorong karang, memastikan di mana gerangan letak Batu Pencari Kutu itu.

”Ceritakan, ceritakan muasalnya padaku,” katamu, setelah kita lelah dan bersandar di celah karang yang menjorok, melindungi kita dari matahari sore yang garang dan tempias laut yang nakal.

”Bukankah sudah seringkali?” kutatap matamu yang bening.

”Tapi aku ingin mendengar sekali lagi. Sekali lagi,” pintamu setengah merengek.

Dan kini, di depanmu kembali kuceritakan soal perempuan yang menunggu itu (ah, mengapa selalu perempuan? Mengapa selalu menunggu?). Mereka sekelompok perempuan yang menghabiskan sisa sore di bibir pantai, di antara karang dan lamun ombak. Sepanjang sore mereka duduk di sana, menunggu lelakinya kembali dari laut jauh. Ketika sore jatuh, laki-laki mereka tak jua pulang, tak ada kapal layar yang bersauh di muara, tak ada layar yang diturunkan, tak ada pendayung membelah laut, tak ada laki-laki hitam kekar, laki-laki beraroma garam menghampiri mereka. Sepanjang sore, sampai matahari padam di laut jauh, mereka berkerumunan di situ, berbagi cerita tentang laki-laki mereka. Laki-laki mereka yang berlayar di laut jauh, mungkin kali ini kapal mereka memang menuju Mentawai, Pulau Rupat, Siberut atau menelikung menuju Nias? Bukankah tidak ada yang boleh diketahui perempuan tentang pulau-pulau asing dan pelayaran di laut lepas?

Cerita-cerita yang sama, dengan hambar yang sama ketika lekakinya —sebagian tentu suami mereka— pergi. Dengan wajah bersemu, sebagian bertutur tentang percumbuan terakhir mereka malam itu, membuat ranjang dan rumah kayu mereka berderit, para perawan dengan wajah tak kalah tersipu menceritakan ciuman terakhir lelakinya di bawah pohon ketapang, dibalik pokok kelapa atau di balik sesemak kecil di pinggir pantai —mungkin juga di curam karang?

Berbagi dan menanti hanya itu yang selalu mereka lakukan, kini. Kapal kayu itu berangkat menantang ombak dan badai laut. Disusul kapal-kapal lainnya. Dan sejak itu —entah bagimana mulanya— sepanjang petang, Gunung Rajo dipenuhi para perempuan. Berkerumunan dan saling bertukar cerita. Sebagaian mereka datang dan pergi, mungkin saja lelakinya sudah benar-benar pulang, atau mungkin batas menanti dirasa sudah mesti diganti.

Tapi mereka, setengah lusin perempuan itu masih terus berkerumunan di situ. Mereka bersepakat akan selalu menanti —setidaknya— kabar laki-laki mereka. Menghabiskan waktu dengan saling mencari kutu, berderet di antara karang, yang jika dilihat dari laut terlihat semacam sususan tangga untuk naik rumah. Begitulah, sampai seseorang mengeluarkan kutuk —ah, mengapa berkah hanya untuk laki-laki saja— mengatakan mereka perempuan pemalas dan melulu mencari kutu. Laki-laki itu orang tua dari salah seorang perempuan yang menunggu. Sang ayah ingin menikahkan sang dara dengan laki-laki lain. Tapi sang dara bertahan menunggu laki-lakinya pulang. Sejak itu, entahlah, entah karena sumpah atau kesabaran mereka sudah melewati waktunya, mereka menjelma menjadi batu. Bersusun di atas karang, sampai hari ini.

”Kita tak bisa melihatnya. Ia tenggelam di celah karang dan air pasang. Laut dulu tak sebesar sekarang,” kataku menutup cerita waktu itu, semacam penghibur hati gundahmu.

Kau gemetar, meraih tanganku. Pun, aku, sama gemetarnya.

Sebelum senja menjelang kita buru-buru pulang. Berpisah di ujung kampung.

”Kita akan menjadi batu jika orang tuaku tahu,” katamu.

Malam itu kau dihukum karena telah pergi denganku. Seseorang telah membocorkan rahasia kita pada orang tuamu. Sebab, kau telah dijodohkan dengan seseorang yang merantau setahun lalu.

Sesungguhnya kau tak akan menjadi batu. Tak akan menjelma apa pun di ujung penantianmu. Kau menyimpan rapat rahasiamu, hingga tak ada celah bagi siapa pun untuk masuk mengetahuinya. Tetapi aku paham betul kesedihanmu, Maria. Aku tahu laki-laki yang kau tunggu itu. Aku, laki-laki masa remajamu inilah yang sedang kaunanti. Laki-laki yang kini duduk di hadapanmu setelah bertahun-tahun pergi.

Aku meninggalkanmu ketika itu, tanpa janji apa-apa. Kini pun, aku tak bisa berjanji apa-apa padamu, Maria. Hidup kita adalah lipatan-lipatan kisah yang berjudul sama, menunggu dan menunggu. Sejak aku memilih tanah lain sebagai rantau baru, aku tak akan menapak pintu siapa lagi di tanah ini. Pun di rantau nanti.

Padang-Yogyakarta, 2007

Kamis, 19 Maret 2009

Bila Nirwan Seorang Penyair

Ribut Wijoto
http://www.sinarharapan.co.id/

Meski sama-sama wilayah kreatif, mungkin inilah takdirnya, penciptaan kritik sastra dan penciptaan puisi memiliki signifikansi keterbedaan. Keduanya menuntut ketekunan ataupun disiplin proses kreatif tersendiri.

Sejarah sastra Indonesia mencatatkan, banyak sastrawan yang sukses menulis kritik sastra. Kita memiliki Subagio Sastrowardoyo, Budi Darma, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Linus Suryadi AG. Kesemuanya adalah sastrawan mapan yang telah menulis kritik-kritik cemerlang. Fakta lain yang tak bisa dipungkiri, banyak kritikus kita yang ternyata gagal mencipta puisi cemerlang.

Tahun 1930-an, tidak ada yang meragukan kapasitas kritik Sutan Takdir Alisjahbana. Pemaparannya dalam seri Kesusastraan Baru yang disiarkan majalah Pujangga Baru seolah menampar tradisi puisi Melayu Lama. Sebaliknya, puisi Takdir tampak tenggelam ditelan gagasan-gagasan puisinya. Lihatlah kumpulan puisi Tebaran Mega. Puisi-puisi yang nyaris layu sebelum berkembang. Lebih parah lagi, puisi-puisi dalam kumpulan Lagu Pemacu Ombak. Itu seperti orang kaya berteriak-teriak minta jatah BLT (bantuan langsung tunai). Antara penampilan dan ucapan tidak nyambung. Gagasan Takdir tentang orisinalitas dan personalitas puitik justru lebih bisa dikonkretkan oleh Chairil Anwar.

Lantas siapa yang meragukan kemampuan Dami Ndandu Toda dalam menulis kritik-kritik sastra. Buku Hamba-hamba Kebudayaan merupakan bukti tak terbantah. Belum sah seorang penulis esai sastra di Indonesia jika belum membaca buku tersebut. Sebuah buku yang berhasil memberi paradigma logis atas perilaku aneh Sutardji Calzoum Bachri dalam berpuisi. Absurditas novel Iwan Simatupang pun bisa dijelaskan oleh Dami N Toda. Tapi sayang, puisi-puisi Dami tidak secemerlang kritik sastranya. Lihatlah kumpulan puisinya, Buru Abadi (2005). Di situ, puisi seperti mengemban kekangan konsep yang teramat ketat. Terlalu dibebani estetika. Bahkan, di situ, improvisasi seakan direncanakan.

Nasib buruk kritikus yang menulis puisi juga dialami oleh Rachmad Djoko Pradopo. Amat mengherankan, seorang tokoh pengkajian puisi sekaliber dia ternyata menghasilkan kumpulan puisi Aubade (1999). Puisi-puisi yang lebih pantas diciptakan oleh mahasiswa sastra semester pertama.

Konon, HB Jassin pun menulis puisi. Hanya saja, sampai akhir hayatnya, dia belum hendak menyiarkan hasil ciptaannya. Apakah dia menyimpan rapat puisi untuk menjaga reputasi kepausannya? Kita tidak tahu pasti.

Kini, masyarakat sastra Indonesia dicengangkan oleh kehadiran buku puisi Jantung Lebah Ratu dari Nirwan Dewanto. Hampir semua orang tahu, Nirwan adalah seorang lulusan geologi yang meyakini mampu mengedit puisi para penyair Tanah Air. Diedit agar memiliki daya jelajah tinggi, agar lebih tertib, puitis, metaforis. Dan selebihnya, puisi menjadi lebih seragam.

Apakah puisi-puisi Nirwan akan senasib dengan para pendahulunya? Seperti deretan para kritikus sastra yang gagal mencipta puisi gemilang. Jawabannya perlu ditunda dulu. Lebih baik mengutip sebagian puisi berjudul “Semangka” dari Nirwan Dewanto: Seperti kantung hijau berisi darah, berhenti percaya kepada tanah. Seperti bawal betina tak bersarung, menggelincir ke ujung tanjung. Seperti periuk penuh kuah ari, penat sudah oleh bara api. Seperti kandungan delapan bulan, siap tersedak ke batang jantan.

Puisi Nirwan tersebut sebenarnya berkisah tentang barang sederhana, semangka. Namun di tangan Nirwan, sesuatu yang sederhana itu menjadi rumit. Menjadi susah. Mengapa? Karena memang Nirwan tidak membahasakan dengan cara sederhana. Nirwan seakan mempersulit keadaan. Apakah Nirwan beranggapan bahwa “puisi yang istimewa” adalah “puisi yang rumit”. Bisa jadi, sebab, semangka dalam puisi Nirwan lebih tampak sebagai konsep tentang semangka daripada semangka itu sendiri. Sulit dibayangkan, semangka Nirwan adalah semangka petani yang tergeletak di tengah sawah. Atau setidaknya, semangka yang biasa didapati di supermarket.

Padahal, sejarah tradisi puisi Indonesia mencatatkan, kegemilangan puisi diperoleh berkat kesederhanaan dalam berpuitik. Bahasa Chairil Anwar sederhana, bahasa Subagio Sastrowardoyo sederhana. Pun bahasa dalam puisi Amir Hamzah, Rendra, Sapardi, Goenawan Mohamad, Oka Rusmini, apalagi Joko Pinurbo.

Kesederhanaan puisi Sapardi adalah kesederhanaan yang mendalam. Membaca puisi Sapardi seakan dihadapkan pada lapis-lapis makna (baca: tingkatan semiotik). Misalnya pada puisi “Kebun Binatang”. Lapis pertama adalah pembacaan biasa, bersifat informatif. Tanpa berusaha mencari maknanya, pembaca sudah bisa menikmati peristiwa ilustratif. Tentang pasangan muda yang datang ke kebun binatang dan bertemu dengan ular besar. Lapis kedua adalah pembacaan untuk mencari makna mendalam. Pembaca menafsirkan hubungan simbol (juga metaforis) antara ular dan wanita. Ternyata ada mitologi yang menghubungkan keduanya. Pembacaan ketiga adalah pembacaan komparatif. Bagaimana pola estetik puisi Sapardi dibandingkan dengan puisi para penyair lain yang sezaman. Bagaimana kontribusi puisi Sapardi dalam tradisi puisi di Indonesia.

Pola pembacaan yang sama bisa diterapkan dalam puisi Subagio Sastrowardoyo. Tapi pada puisi Nirwan, pembaca sudah tertahan pada lapis pertama. Itu terjadi karena puisi Nirwan terlalu rumit.

Konsep. Yah, puisi-puisi Nirwan terlalu “gagah dalam konsep”, namun kurang “rendah hati” dalam dunia keseharian. Puisi Nirwan terburu-buru ingin menjangkau semiotik lapis kedua, tapi lupa membangun semiotik lapis pertama. Problem tersebut seakan mengulang kegagapan semiotik dari puisi produksi Sutan Takdir Alisjahbana, Dami Ndandu Toda, dan Rachmad Djoko Pradopo. Puisi-puisi yang tidak menghadirkan kejernihan lanskap (panorama) dan kesederhanaan imaji (citraan).

Padahal, tidak hanya pada puisi “Semangka”, pada beberapa puisi yang lain, Nirwan juga bersandar pada benda-benda atau fenomena yang ada di keseharian. Lihat saja judul-judulnya: Kunang-Kunang, Cumi-Cumi, Gerabah, Gong, Apel, Harimau, Ular, Akuarium, Ubur-Ubur, Lonceng Gereja, Putri Malu, Tukang Kebun, Burung Merak, Kopi, Garam, Bubu, Bayonet, Selendang Sutra, Lembu Jantan, Burung Hantu, dan Keledai. Semua yang bersifat sehari-hari tersebut menjadi rumit di tangan Nirwan. Pasalnya, Nirwan lebih bergerak di wilayah lambang (simbol) daripada wilayah citraan (metafor).

Kasus yang sama sebenarnya terjadi pada puisi Mardi Luhung dan Afrizal Malna. Namun, meski terkesan rumit, puisi dua penyair tersebut amat komunikatif. Pola sintaktiknya lancar. Membaca puisi Afrizal dan Mardi seakan diajak ngobrol oleh penyairnya. Walau lingkungan teks yang dibangun berat, aspek lisannya amat kuat. Semisal puisi “Tarian Cintaku di Balik Ombak” dari Mardi: Kutarikan tarian cintaku di balik ombang. Igalkan gelang-gelang, kaki, paha, bokong, pusar, susu setuntas-tuntasnya. Kutarikan tarian cintaku di balik ombak. Merayumu, mencumbumu, dan kita pun bersutubuh sehabis-habisnya, setandas-tandasnya.

Puisi Goenawan Mohamad (GM) sebenarnya juga rumit dan penuh persilangan intelektualitas. Namun seperti halnya puisi Acep Zamzam Noor, GM membalutnya dengan permainan citraan yang matang. Meski susah dicerna, puisinya enak dinikmati. Di situ ada maksimalisasi citra bunyi, gerak, warna, permainan ruang, dan kecanggihan rima. Tujuannya sederhana, ya itulah, agar puisi enak dinikmati.

Nirwan sebetulnya telah cukup akomodatif dengan menggunakan beragam pola sastra lama. Terutama pantun dan gurindam. Tapi, pemakaian sastra lama tersebut tetap tidak menolong untuk menjernihkan puisi. Mengapa? Karena, logika puisi Nirwan tak selaras dengan logika puisi lama.

Semua puisi lama berpijak pada tradisi lisan. Aku lirik terlibat aktif dalam seluruh teks. Tubuh teks juga memiliki lagu. Ketika dibacakan, puisi lama mirip dengan nyanyian. Sementara itu, puisi Nirwan berpijak pada tradisi tulis. Aku lirik seperti mengambil jarak dari teks. Walau telah ada rima di tiap akhir baris, efeknya tidak menciptakan lagu. Justru memunculkan kejanggalan. Tidak lugas. Seperti seorang lelaki yang memakai daster. Tidak pada tempatnya.

Lain halnya dengan pemakaian pola pantun pada puisi “Lagu Gadis Itali” dari Sitor Situmorang. Sitor berhasil memadukan pola pantun dengan kesederhanaan ilustratif. Meski latar tempatnya di Italia, puisi tersebut serasa akrab bagi pembaca Indonesia.

Beragam perbandingan ini sebenarnya bermuara pada satu hal klise, mencari esensi puisi. Tidak bisa tidak, puisi adalah pergumulan antara kesederhanaan dan kompleksitas. Pertautan kejujuran dengan manipulasi makna. Puisi menghadirkan keluguan manusia sekaligus memamerkan kecerdasannya. Oktavio Paz (penyair yang diidolakan Nirwan) ketika menuliskan puisi “Kisah Dua Taman”, tidak menggunakan bahasa ilmiah atau bahasa yang susah dimengerti. Dia memaparkan argumentasi dan narasi dengan cara amat sederhana. Penuh citraan yang mudah dicerna pancaindra manusia. Hasilnya memang amat manusiawi. Di balik kesederhanaan itu, Paz mengabarkan kebaruan pemikiran: konvergensi. Pemikiran yang bersandar dari kitaran tradisi Amerika Latin dan tradisi India.

Nirwan tampaknya tidak menyadari klise (yang lebih tepat adalah klasik) ini. Dia berlari jauh pada pemikiran-pemikiran. Melupakan kesederhanaan bahwa penyair mengerutkan dahi dan menguras keringat dingin agar mampu mencipta bahasa sederhana. Bersahaja. Bandingkan dengan Amir Hamzah. Peziarah tradisi Melayu ini mengkaji banyak kitab demi mencari pola pembahasaan yang mudah dicerna. Tidak memerlukan banyak referensi.

Kerumitan puisi Nirwan diperparah dengan berjubelnya kosakata arkais. Kata-kata yang telah dilupakan masyarakat pemakainya. Lihat kutipan puisi “Ubur-Ubur” ini: Ia mata-mata, hanya terpindai di antara nisan batukarang dan gaun ganggang. Ia surai singa di belanga Cina, terpilin oleh pecahan cermin. Pemakaian kosakata arkais ini membuat teks puisi terpisah dengan konteks keseharian.

Begitulah, menulis puisi tidak gampang. Tidak setiap orang yang menguasai teori puisi (baca: kritikus sastra) mampu menulis puisi secara lugas, sebab, puisi membutuhkan kerendah-hatian. Seperti perempuan, tidak setiap gejolak diksi bisa dikontrol. Tidak bisa seenaknya memaksakan konsep puitik pada tubuh ringkih puisi. Jika pemaksaan tetap dijalankan, puisi berubah jadi konseptual, layaknya matematika. Puisi kehilangan kesehariannya, kebersahajaannya, dan kehilangan kemanusiaannya.

Surabaya, 2008

KA(E)PUJANGGAANNYA PAHLAWAN DIPONEGORO

Nurel Javissyarqi*
http://forum-sastra-lamongan.blogspot.com/

Sebelum jauh merambah pada karya Beliau. Terus terang saya terusik dengan ejaan Diponegoro menjadi Dipanegara. Kenapa Bojonegoro tidak dirubah menjelma Bajanegara? Dst. Bagi saya tetap menggunakan logat aslinya (:jawa) yakni Diponegoro, disamping mengukuhkan literatur yang terakhir ada. Berangkat dari asal dialek, daya pamornya dapat disadap lebih mantab, saat mengejawantahkan suatu kalimah, apalagi kerja bersastra.

Di tanah Jawa, sebutan Pangeran yang kesohorannya melebihi raja-raja kecil ialah Pangeran Diponegoro. Padahal jauh di benaknya tiada membanggakan titel itu, ia lebih nyaman sebagai rakyat biasa, lebih berasa mengunyah asin garam kehidupan jelata. Tak ada pantulan lain, selain kesadaran berontak-lah hal tersebut terbit, menyunggi matahari bencah Dwipa kala itu.

Saat membaca roman sejarah karangan J.H. Tarumetor TS. yang bertitel “Aku Pangeran Dipanegara” penerbit Gunung Agung Djakarta 1966. Saya merasakan betapa sengit pergolakan kemerdekaan, yang berkumandang terang mewujudkan idealitas kebebasan, dari kungkungan rezim penjajahan, yang sewenang-wenang mengadu-domba darah biru, darah merah bumiputra. Adalah berdasar niat suci, perlawanan terus dikibarkan, bergerilya menculik musuh dengan panah api, sekali waktu berhadap muka meriam dengan tombak, keris dan bambu runcing.

Tiap-tiap laluan parit, tebing curam, kaki bukit, semak belukar, hutan rimba, batu licin derasnya air sungai, padang amis darah rumput, merupakan referensi dalam meningkatkan mutu pemberontakan dikemudian hari. Maka ingatan senantiasa harus terawat, terbasuh kucuran kesadaran, semisal kelembutan air bersanggup menelusup ke serat-serat batu, mendenting melobangi bebatuan pada goa perenungan. Niscaya tubuh kebangsaan berteriak lantang, manakala kaki-kaki rumput terinjak sepatu besi, kuda-kuda birahi yang kesurupan serupa kompeni. Jika berkaca pada cermin masa kini, nasib tanah pertiwi terserang virus-virus korupsi.

Ontowiryo (bahasa Indonesia usil menulisnya dengan Antawirya, nama kecil Pangeran Diponegoro), ia terlahir pada tanggal 11 November 1785 di Yogyakarta, dan wafat pada tanggal 8 Januari 1855 di benteng Rotterdam kota Makasar. Sebagaimana catatan Muhammad Yamin dalam bukunya yang berjudul, Sedjarah Peperangan “Dipanegara” Pahlawan Kemerdekaan Indonesia, penerbit Jajasan Pembangunan Djakarta 1952, tjtakan ketiga. Jika menengok literatur YB. Sudarmanto, terbitan Grasindo 1996 yang berjudul “Jejak-Jejak Pahlawan dari Sultan Agung hingga Syekh Yusuf,” membubuhi puisi Chairil Anwar yang berlabel “Diponegoro”: Di depan sekali tuan menanti/ Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali/ Pedang di kanan, keris di kiri/ Berselempang semangat yang tak bisa mati/

Di bawah ini saya tunjuntukkan Pangeran Diponegoro sebagai Pujangga Indonesia, sebelum santri Tegalsari R. Ng. Ronggowarsito. Bermaksud menguri-uri ruhaniah pertiwi atas tumbal para pemudanya, guna jejiwa mengikuti kegigihannya. Menempa mental agar tak berkarat dimakan usia, tidak busuk dalam buih kecewa. Andai kedangkalan gurit sekadar kenangan, masih bersimpan semangat pengguratnya. Apalagi tetembangan yang dihasilkan dari jiwa-jiwa paripurna kepahlawanan; tidak tunduk harta benda, pangkat jabatan maupun gadis-gadis berambut pirang.

Demikian simaklah...

Sun amedar surasaneng ati
atembang pamijos
pan kinarjo anglipur brangtane
aneng kita Menado duk kardi
tan ana kaeksi.

Mapan katah kang keraseng galih
ing tingkah kadudon
pan mengkana ing tijas pangestine
kaja paran polahingsun iki
jen tan ana ugi
apura Ijang Agung.

Lara wirang pan wus sun lakoni
nging panuhuningong
ingkang kari dan kang dingin kabeh
kaluarga ngestokken jekti
mring Agama Nabi
oleh pitulung.

Ketika membaca bahasa asalnya, tubuh penyaksi gemetaran; bulu-bulu berdiri seolah jejarum di jemari tangan perawan, menyuntik seluruh jasad yang memendam masa silam. Sejarah dihasilkan kerja kesungguan, tak ada basa-basi tersimpan, seluruhnya meruang-waktu kejadian lampau. Perjuangan suci mengukuhkan lelangkah menjadi panutan dikemudian hari. Bahasa bukan sekadar penyampai, di dalamnya ada dinaya, sukma yang terekam membetot jatah dipertarungkan ruang-waktu pembaca. Maka usah sekali-kali menganggap remeh sikap pembacaan, agar tak terhempas gelombang kelupaan sebelum sampai tujuan.

Di bawa ini salinan maknawi karya beliau:

Hamba curahkan perasaan kalbu yang fitri
mengarang syair menghibur duka-nestapa
menyusun karangan di kota Manado
ketika tak kelihatan pandangan mata
selain daripada Tuhan Yang Maha Esa.

Banyaklah yang terasa dalam hati
berbuat kelakuan yang salah arah
sampai timbul jantung berfikiran:
apakah jadinya hamba hina ini,
sekiranya tingkah perbuatan itu
tidak diturunkan ampun,
oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.

Pedih-pilu, hina bencana dirasa
tetapi memohonkan sungguh,
supaya kehilafan dahulu dan kemudian
diturunkan pengampunan dari Tuhan,
kepada keluarga dan sanak saudara
yang dengan ikhlas sepenuh sungguh
menuruti ajaran Nabi pembawa sabda.

Demikian Tembang Midjil yang disusun Pangeran Diponegoro di kota Manado, sebagai Muqaddimah “Babad Diponegoro,” yang dirampungkannya di kota Makasar. Babad tersebut berisikan sejarah leluhur, tareh runtuhnya kerajaan Majapahit hingga detik-detik akhir Beliau. Perjuangan tangan-tangan baja, kaki-kaki gajah, amis darah segar, keringat berdebu, harta-nyawa melayang-layang selama lima tahun terus-menerus melawan penjajahan, dari tanggal 20 Juli 1825 sampai 28 Maret 1830. Dan seperempat abad Beliau meringkuk di benteng tawanan, mendekam terisolasi di tanah asing pembungan. Dimana kurun waktu menyimpan peristiwa, tempo suatu kenangan menjelma harmoni tetembangan, kejayaan hati bergetar dalam perjuangan.

Ontowiryo atau Pangeran Diponegoro, diberi gelar rakyaknya dengan sebutan; “Sultan Abdulhamid Herutjokro Amirul Mukminin Syaidina Panatagama Khalifatulloh Tanah Djawa.” Bersama Sentot Prawirodirdjo serta Kiai Modjo, membakar medan peperangangan di lingkup tanah tengah dwipa; Selarong, Dekso, Pleret, Lengkong, kaki Gunung Merapi, Bantul, Kedjiwan, Gawok, Bagelen, Banyumas, Pekalongan, Ledok, Semarang, Rembang, Bojonegoro, Madiun, Pengasih, Banyumeneg, Kedu, dan seluruh ruh bumi Nusantara berbangkit atas hembusan badai pemberontakannya.

Adalah tak diragukan lagi, tubuh-tubuh yang terpendam tanah pertiwi sebagai daulat kesatuan, bagi hakikat paku bumi, gunung-gunung tertancap, agar tak buyar makna ke-Indonesia-an. Dimana tiap-tiap pergolakan terangkat, embun pagi kabarkan peristiwa makna puitik, lahir dari pergumulan ruh abthin matahari. Dan sisanya tersimpan dalam resapan daun-daun sejarah. Niscaya pancaran hati, atas pantulan tekad memperjuangkan tanah sepenuh jiwa, tulus setia menghadap Ridho-Nya.

*) Pengelana asal Lamongan, Jatim, 19 Maret 2009, kamis legi Rabiul Awal 1430 H.

Rabu, 11 Maret 2009

Sajak-Sajak Eddy Pranata PNP

http://nasional.kompas.com/
SERPIHAN CAHAYA, LAUT DAN BUKIT

dari angin basah dalam teluk berjubah kabut
serpihan cahaya dari permukaan laut dan gundukan bukit
menjelma tubuh ringkihmu, menyeretku ke tanggul dermaga
"malam ini aku dijemput maut," bisikmu, dingin
lama aku tatap mata malaikat dalam pekat matamu
hingga daun-daun senja luruh
kami bergandeng tangan menyisir pantai
mendaki bukit menuruni lembah
mengendap di sudut-sudut kota
dengan napas tersengal kembali ke pelabuhan
lama berdiskusi tentang maut
di bibir dermaga
di ujung malam sebuah sampan merapat
di atasnya keranda gemerlap
"aku harus pergi," bisikmu, lebih dingin
ia melompat ke atas sampan
angin basah membawanya pergi
membelah teluk menuju laut jauh
serpihan cahaya berpendar di ujung dermaga.

Cilacap, 8 Desember 2008.



AKU MELIHAT DIRIKU
TELAH MENJADI ZOMBI

aku melihat diriku telah menjadi zombi
berdiri tegak di pintu pelabuhan tanjung intan
lalu melayang dari satu palka ke lain palka
kapal yang sandar, kapal rapuh dan tua
tempat sembunyikan segala tangis dendam
dari derunya ombak
pagi pun pecah
di dada yang gelisah, aku melihat buruh dan
kuli pabrik memeras keringat
aku juga melihat banyak pegawai instansi ngrumpi
sepanjang hari
aku muntah-muntah
kepalaku berat lalu gelap
pekat
lalu aku kembali melihat diriku
telah menjadi zombi entah di dusun mana, melayang
memasuki surau-surau yang selalu sepi
menemui bapak-bapak mengasuh bayi
karena sang istri jadi pramuwisma di luar negeri
perutku mual
aku muntah-muntah
nafasku musnah
akhirnya aku kembali menjadi zombi
melayang
melayang
ke negeri nun jauh...

Cilacap, Desember 2008.



SEORANG LELAKI DENGAN
SEKERANJANG CAHAYA

lelaki itu masuk ke rumahku menjelang subuh
tubuh kurus wajah pias tangannya menjinjing
sekeranjang cahaya, “terimalah ini untukmu, saudaraku,”
desisnya gemetar seraya mengulurkan keranjangnya
“bung, siapa?” tanyaku, menyambut keranjangnya
“saudara dekatmu.”
“saudara?”
“saya adalah kembaranmu.”
tiba-tiba tubuhku berkeringat, aku tidak punya saudara kembar
“bukalah mulutmu!” pintanya, setengah menghardik
tiba-tiba rahang mulutku menganga
lelaki di hadapanku mengecil, mengecil menjelma seberkas cahaya
lalu seberkas cahaya itu melesat masuk ke dalam mulutku
rahangku mengatup. dadaku terasa sedingin es.

Cilacap, 08 Januari 2009.



“TUAN” DALAM MUSHALLA

perawakannya kurus pakaiannya hitam-hitam
suaranya seperti hakim di meja hijau
tetangga kami memanggilnya: “tuan”
“tuan” selalu bermalam di mushalla dan di pagi buta
sebelum pergi entah ke mana “tuan” menyapu
dan mengepel keramik mushalla, dan “tuan”
senantiasa datang menjelang petang
ditabuhnya bedug, namun hanya satu-empat jemaah
yang datang. dan suatu malam yang basah “tuan”
memanggilku dan mengalungkan sorban ke leherku
“saya akan pergi jauh dan tak kembali lagi,
rawat ini mushalla yang gigil sunyi,”
: benar, sejak malam itulah kami tak lagi melihat “tuan”.

Cilacap, 08 Januari 2009.



BIYUNG DAN ENAM ANAKNYA
YANG MENYEBAR DI LAMPU MERAH

biyung bertubuh kurus berwajah pias-tirus
dengan daster lusuh pudar berdiri gemetar
berpegangan tonggak besi lampu merah-kuning-hijau
di tengah kota pelabuhan yang bau amisnya tercium
sepanjang siang-malam
dan ketika lampu merah menyala
matahari pecah di udara
enam anak si biyung menyebar menjalar
menjulurkan tangan ke setiap pengendara
mobil dan motor yang berhenti
begitulah berhari-hari, lalu di mana si lelaki
pasangan biyung tadi, beginilah berhari-hari
tanya ini menggelembung dalam hati
tapi, o, lihatlah biyung itu luruh terjungkal
lalu tertelentang tak sadarkan diri
beberapa saat saja kemudian tak bernapas lagi
enam anak-anak itu menggotong si biyung
mengaraknya sepanjang jalan kota
mencari si ayah yang entah di mana….

Cilacap, 09 Januari 2009.



LELAKI TUKANG BECAK DAN WANITA
YANG TAK MAU MENUTUP VAGINANYA

lelaki yang tak pernah bisa tersenyum apalagi tertawa
memarkir becaknya di mulut gang kecil
kota perlintasan yang lampu merah-kuning-hijaunya
selalu mati dan bila embun mulai mengering
dari selatan pasar seorang wanita kerempeng
berambut lurus sepinggang hanya mengenakan
kaos hitam lusuh bertuliskan: kenthir!
yang tak pernah mau menutup vaginanya berjalan
sempoyongan seraya mengumbar senyum
beberapa saat berhenti di hadapan lelaki tukang becak itu
menatap tajam mata lelaki tukang becak itu lalu kembali
menyeret langkah menyisir tepi kanan jalan arah ke utara
sudah lebih beratus-ratus hari, tapi siapa mau peduli?
tukang becak itu mengepalkan tangannya; “tunggu esok pagi!”
embun mulai mengering. dari arah selatan pasar muncul
seorang wanita yang tak mau menutup vaginanya
berjalan sempoyongan seraya menangis tersedu
lelaki tukang becak itu langsung meringkusnya
menaikannya ke atas becak dan mengayuh kencang
arah ke luar kota
: anda tidak akan pernah lagi bisa melihat mereka.

Wangon, 09 Januari 2009.



SEORANG PEMULUNG YANG LAMA
MENATAP GAMBAR-GAMBAR
CALON WAKIL RAKYAT

debu perempatan jalan mengepul liar
diterbangkan kendaraan lalu-lalang
seorang pemulung yang lama menatap
gambar-gambar calon wakil rakyat
terheran-heran serba tak paham
“setiap sudut kota ini telah sesak oleh
gambar-gambar calon wakil rakyat
dengan berbagai gaya dan slogannya”
pemulung itu menelan pahit ludahnya
“wakil rakyat yang mana?” tanya bodohnya
ia tidak mengerti kampanye apalagi demokrasi
hingga lewat tengah malam pemulung itu masih
menatap gambar-gambar calon wakil rakyat
dan setelah berulang kali menguap
dengan sembunyi-sembunyi diturunkannya
semua gambar-gambar itu, digulungnya
lalu dengan gerobaknya dibawa ke selatan
ke arah pantai yang amis-sunyi.

Cilacap, 11 Januari 2009.



PEREMPUAN PENCEMBURU

perempuan yang matanya sebening telaga di puncak gunung
namun bisa berkobar seperti api menyala. di kamar tua
selalu menyangsikan kelambu biru robek di setiap sudutnya
: adakah perempuan lain pernah singgah?
jarum jam dinding berdetak mundur saat malam berguling
dan bau parfum aneh tercium dari tubuh lelaki di sampingnya
ah. perempuan pencemburu menyisir rambut. airmata gugur
tangannya gemetar memegang belati
namun hatinya serupa pecah. leleh. dipeluknya lelaki yang
tengah lelap dengan segunung rasa sesal.

Cilacap, 11 Januari 2009.



KETIKA GERIMIS PAGI PECAH

seekor prenjak mengetuk-ngetukkan paruh di kaca jendela
menelisik ruangtamu berselimut debu, ada bercak darah
di lantai tanah. lalu ke mana sang penghuni rumah?
kata-kata berlompatan gelisah ketika gerimis pagi pecah
tubuhmu luruh resah, tak hirau pada sejarah
seekor prenjak yang menenggak bercah darah
yang mengalir dari lembaran sajak yang tak pernah
sudah...o, penghuni rumah telah menjelma serpian remah
ketika gerimis pagi pecah, masuklah
taklukkan kata-kata yang berlompatan gelisah
sebelum prenjak terbang ke negeri entah.

Cilacap, Desember 2008.



NGILUKU

jerit elang bertalu membelah awan, alangkah ngilu
ngiluku ngilu nyayat surau yang nyaris roboh
siang-malam orang-orang berzikir di depan televisi
di hadapan cermin tak mau menatap wajah sendiri
dan di ladang-ladang persemaian tunas-tunas tumbuh
tapi daun-daun gugur sebelum menguning...

Cilacap, Desember 2008.



RUMAH RIMBA

rumah rimba seperti apa?
hanya jalan setapak ke arahnya
di balik bukit karang menjulang
ilalang, perdu berduri, bebatuan cadas
dan mawar hutan tumbuh di setiap ruang
lalu mahluk apa penghuninya;
tentulah aku, si manusia rimba
yang setiap pagi harus menempuh
berpuluh kilometer menuju dermaga
hanya untuk bercerita kepada laut
"tak ada lagi pohon-pohon besar
tak ada lagi mata air mengalir…"
lalu sore hari aku mesti kembali ke rumah rimba
dengan hati kosong
aku bercanda dengan burung prenjak
aku bergelut dengan ular
aku tidur bersama ribuan kupu-kupu
tapi dalam mimpi yang paling menyebalkan
aku hangus terbakar bersama rumah rimbaku
dan kini tinggal abu dan puing berserakan
dalam hutan anganmu.

Cilacap, 07012009.



MENYAKSIKAN DUNIA YANG LAIN

dalam wewangian kembang setaman dan kemenyan dalam kamar hitam
keris dipajang berjajar tombak dan pedang, sang nujum bersila bergetar
paku, jarum, boneka kayu berlompatan dari tubuh uzur tak berdaya…
ayam hitam dan bebek putih menjadi saksi
hari ini serasa berlari ke lorong yang begitu jauh
hati kosong. aroma menyengat
mengerikan. duh, betapa menyakitkan suasana seperti ini
paku, jarum, boneka kayu berlompatan dari tubuh uzur tak berdaya…

Cilacap, 25 Maret 2006



IN MEMORIAM SINDEN KAYEM

dua hari lalu aku melihat malaikat duduk bersila
dalam slang infus yang merangsek mulut dan hidung sinden kayem
yang tergeletak serupa sampah
dalam bangsal mawar 6

kemarin malam kami yasinan di rumah sinden kayem
aku melihat malaikat melintas di atas kembang mawar
dalam mangkok berisi air bening yang kami kepung
aku terpana

pagi tadi aku mendengar suara ki kastubi seperti
pekik malaikat lewat pengeras suara mushalla
mengabarkan: sinden kayem sudah tiada...

aku terpana
benar, kang rasim dan tiga orang tetanggaku
menggotong keranda ke rumah sinden kayem

siang hari setelah sinden kayem terkubur
aku melihat malaikat menancapkan kain putih
di atas gundukan tanah kubur
bertuliskan: innalillahi wa inna illaihi rojiun
aku terpana, aku seperti mendengar rintih sinden kayem
"di kampung ini sinden telah menjadi sampah!"

sesudah magrib kami kembali yasinan
di rumah sinden kayem
aku melihat malaikat duduk di sampingku dan berbisik
"suara emasnya sekarang tinggal kenangan..."
aku diam mengangguk.

Cirebah, Selasa Pahing 30 Desember 2008.



TIDUR YANG TAK PERNAH BERMIMPI

dipan kayu rapuh menyangga tubuhmu
wajahmu menguning dalam hari yang patah
dan jeratan tali berduri menusuk-nusuk otakmu
dan rintih anak istri retak dalam dada
bagai biduk keropos yang lama terdampar
kau terkulai dalam tidur yang tak pernah
bermimpi...

Cilacap, Januari 2009.



JASAD DALAM KEPALAKU

dalam sunyi
dalam diam
jasadmu terjungkal
dalam kepalaku
mengais cahaya
menerjuni sungai yang curam
tempat aku membasuh luka
dalam zikir
zikir yang gerimis
serulingmukah melengking-lengking
mengiris telingaku
telinga yang penuh onak duri
dan jiwa menganga
menjadi debu
dalam sujud
aku berderai di sajadah
serupa jantung terbelah
menggigil di bawah kubah
dalam sunyi
dalam kepalaku
serupa laut
bergemuruh...

Cilacap, Desember 2008.



PERKAWINAN ABSURD

hari yang aneh
gerimis ritmis
tiada mantra
tiada isyarat
seperti anak panah yang melesat di ladang perburuan
menembus semak belukar
menancap sunyi
maut berdiri di ujung jalan setapak yang menikung
tiada mantra
tiada isyarat
sepasang anak manusia berpeluk gamang
dalam perkawinan absurd; pisang punggel*)
runtuh di kaki subuh
kabut menipis
tiada mantra pada
hari yang aneh
tiada isyarat
hati yang gelisah
tiada kembang dan kemenyan
maut pun berdiri di ujung gang
gerimis ritmis
o. ki wangsa telah mendedah nama hari dan pasaran
ahad manis berpilin senin kliwon
dalam perkawinan absurd;
mempelai lelaki terkulai
mempelai wanita menjerit
perih!

Cilacap, Desember 2008.

Catatan: Pisang punggel*) : sebuah istilah yang dipakai sebagian masyarakat Banyumas dalam perjodohan, di mana hari lahir dan pasaran kedua mempelai setelah dijumlah mendapat nilai tertentu yang meramalkan bakal terjadi hal-hal yang membahayakan, bahkan bisa sampai pada kematian.

Sajak-Sajak Danusantoso

http://batampos.co.id/
Kita Seakan Tempat

Ini malam, kita anugrahkan jahitan jahitan rombeng perasaan kepada pelukis
pelukis senyum di pementasan perangkap perangkap ruang yang selalu lajang pada jalang.
Mungkin kita sudah dirajam sedemikian kejam sampai pahitnya malam jadi gagap
sejejak arah yang tak pernah basah. Sedang kata telanjang sudah kita sandang

Padang amuk adalah air mata seladang tabuhan dzikir yang kita hadirkan
dengan kikir beranak pinak busuknya kutuk bisu naluri.
Pada bibir ada liur bertegak tubuh berkarib candu. Hujan denyut asam karang
Dan kita merasa serupa sajak bernasib malang. Orang orang berinstalasiarakan arakan cinta di bintang terang. Binal rembulan tak berwujud kabur

Kita seakan tempat. Sampai jauh kelelawar menggelincirkan hakekat
atau kiamat nanti membakar sempat menjauhkan kembali kita punya tempat.

Ini malam, kita alamatkan kabar kabar mesra menghadapi rimba
rimba jejak sekarang ranjang setanah rumah di segala waktu tentang
pecahan trotoar yang ganjil dan ngilu saluran air. Ke pulau lengang
di negara warna yang tak sempat terkejar. Agama sepanjang panjang birahi

Nyanyian dermaga menubuh mengkhayati sahutan yang terlalu subuh menggeliatkan abu abu serapah jalan mengkarib sumpah menggusar kesah.
Membudayakan wajah di kanvas yang tinggal sebatang. Cakrawala
rimbunan melati, siluet kuburan mati, di bawah beringin kita sebut rindu rumput rumput pada hujan berabstraksi diri kita sendiri



Tiga Lelaki Indah
(Untuk: Survyana)

Tiga lelaki dalam sebuah ruangan berisi
seorang wanita yang sedang ditelanjangi dadanya dan beberapanya
tidak berhubungan dengan munajat munajat sang panutan.
Teman, ini kau kenapa dalam larutan kental.

Tiga lelaki dalam. Sebuah ruangan berisi hatinya dan kentalnya jilatan hati.
Wanita seorang. Sendiri menghadiri sebuah ruangan berisi tiga lelaki.
Tak ada makian atau tawa. Tiga lelaki. Dicerca kendali
(dan eksoktisnya hamparan padi di malam hari)

Tiga lelaki dalam sebuah ruangan. Berisi
tinta kopi. Diletakkan di mulutmu dan dia. Sebuah sepi



Suatu Simpang
(Untuk seseorang)

Suatu malam yang mungkin sudah mati. Isi perasaan yang kebanyakan sudah pergi.
Lalu suatu kepercayaan dimana perempuan adalah sajak indah.

Sebegitu rupa seseorang memutar-mutar cinta.
Hingga malam makin mati.
Kabut sepi.

Kemudian aku bangun di siang. Kopi kental sajikan masa lalu.
Engkau berdiri.
Sendiri.
Menggumam rembulan.
Melangkah di seribu ciuman.

Di suatu simpang, seseorang mengajak membicarakan rumah.
Di suatu simpang seseorang. Sajak dedaunan. Aku.



Fragmen

Jika malam sudah terlanjur datang dengan mendung, mari sediakan payung,
agar nanti ranjang senyummu tetap indah tanpa rasa jengkel pada hujan.
Jika malam sudah terlanjur datang dengan kantuk, mari mendambakan lagu, agar nanti sajak perasaanku tetap suci tanpa rasa benci pada basi basi mimpi.

Jika masih kita damba ranjang di saat hina makin menguasa.
Malam.
Segenap daya melelah.
Tinggal perihal gelap dan miris pada gigil udara.
Kenapa begitu jauh ranjang dambaan?
Hingga doa hanya menyisakan kutuk.

Jika masih kita damba malam yang kadang penuh serapah.
Resah.
Kontemplasi ragu.
Menyiapkan ziarah ke arah kiblat yang makin entah.
Kenapa kita damba malam?
Arah vagina?

Jika masih kita damba apa.
Penuh bara.
Iyakah?
Suara tulis yang tak mau menipis.
Terus menerus. Terus menerus. Terus menerus.



Raya

Waktu itu raya engkau kecap.
Di alam sendiri saja, biar kusapih ini ruang.

Waktu itu raya engkau cari.
Suasana mantra tubuh kutuk berpanjang panjang detak darah

Waktu itu raya engkau cukup.
Jelang ancam getarmu itu seorang raya, mengunci sepinya wangi

Waktu itu raya engkau lintas.
Legam panas ruasmu itu sepanjang raya, paling jauhnya perjalanan

Waktu itu raya engkau anggap.
Landas singgah Temani tatap raya, hakekat tampak.
Terbang mata dan senyum ke arah malam.
Dan bintang kekal berkemudian
Selamatkan raya, mungkin cinta sudah berserapah dengan sumpah

Waktu itu, raya, engkau berkisah di sajak tanah sajak dasar
Waktu itu, raya, engkau berkisah pada rasa kamar bahasa
Waktu itu, raya, engkau berkisah seperti bisik seperti lirih
Waktu itu, raya, engkau berkisah untuk permukaan yang kisah

Kami Bongkar Rumah Kami

Imam Muhtarom
http://entertainmen.suaramerdeka.com/

KAMI turunkan genteng sepanjang siang yang terik setelah jendela, pintu, beserta jeruji-jeruji kami lepaskan dari tembok rumah yang dibangun kakek-nenek kami 90 tahun yang lalu. Kami memutuskan untuk membongkar rumah warisan itu dan menggantinya dengan yang baru. Kami akan mengubahnya dengan gaya "spanyol" yang lagi mewabah di daerah kami. Rumah dengan satu pintu di bagian depan, kaca hitam tanpa kerai kaca di sebelah kiri, dan dinding sebelah kanan akan dilekatkan keramik mengilat dengan bagian atasnya terdapat angin-angin dari kaca hitam. Di serambi akan kami pancangkan dua tiang dari beton berhias ukiran khas Jepara dan lantainya tentu dengan keramik mengilat. Rumah itu tidak membesar tetapi memanjang ke belakang dengan satu kamar utama di samping ruang tamu dan dua kamar tidur bersebelahan dengan ruang peristirahatan keluarga. Kami bayangkan tersedia satu televisi berukuran 21 inci dan satu perangkat lengkap elektronik untuk mendengarkan musik. Di bagian belakang akan dibangun sebuah dapur model terbaru dengan lemari kayu terpasang menempel di tembok dan di bagian bawah lemari itu dipasang plester tertutup keramik seukuran telapak tangan berwarna putih. Sementara di samping dapur, tepat di kanannya, akan dipisahkan oleh tembok sebagai sebuah ruangan garasi. Di sebelahnya akan ada sebuah kamar mandi dengan lantai keramik berukuran kecil berwarna biru dan satu bola lampu berkekuatan 70 watt. Dan kami akan mengecat tembok bersemen tersebut dengan cat putih buatan pabrik dan bukan dari kapur. Menutupinya dengan genteng bercat merah yang kalau tertimpa cahaya matahari akan memantulkan kilatan-kilatan yang menyilaukan. Mungkin rumah kami ini nantinya menyerupai makhluk baru dan siapa pun yang pernah datang ke rumah kami pasti akan tercengang dan apabila memasukinya akan merasakan seperti berada di sebuah pesawat luar angkasa dengan antena televisi menjulang ke atas seakan ingin menusuk langit.

Kami tiga bersaudara telah sepakat mengganti rumah itu bukan semata mengikuti gaya terakhir bentuk rumah di daerah kami, tetapi kami sengaja untuk menghilangkan segala peninggalan kakek-nenek kami. Jauh-jauh hari telah kami undang penebang bergergaji mesin untuk memangkas sepuluh batang pohon kelapa yang barangkali usianya lebih tua dari kami. Popon-pohon itu tinggi sekitar 75 meter dan kala tertiup angin akan meliuk-liuk seakan memanggil cerita-cerita yang kami dengar dari bapak-ibu kami, saudara-saudara ibu kami, dan tetangga-tetangga kami. Dan kami juga melihat album foto keluarga tentang rumah itu kala tahun 1967. Kami selalu merasa tidak pernah berada di tahun 2006 ketika mengingat dan membuka album keluarga itu. Ada bayangan hitam yang selalu membuat kami ingin membakar rumah beserta tanah sekitar satu hektar itu. Membakarnya dan menggantikannya dengan sebuah gedung bertingkat 70 lantai. Tapi itu mustahil. Kami hanya biasa menggantinya dengan rumah bergaya "spanyol" dan memangkas semua pohon kelapa di halaman dan menggantikannya dengan sebuah taman dan di situ berdiri sepuluh pohon cemara. Pohon dengan daun-daun bergerigi dan lancip yang akan mengingatkan kami bahwa kami hidup pada tahun 2006 dan bukan berada di tahun 1967.

Memang kakek-nenek kami tidak langsung membangun rumah yang sedang kami bongkar ini dengan tembok seperti yang terlihat sekarang, tetapi bertahap. Pertama kalinya dibangun dengan menjejakkan kayu yang ditebang dari hutan entah di mana dan menutupinya dengan anyaman bambu, memberinya daun pintu dari kayu jati dan jendela dengan terali dari kayu yang dipasak dan diatapi genteng yang dibeli dari tetangga desa. Setiap pasak dari kayu yang dijejakkan, diberi landasan batu kali yang diambil dari Sungai Ewuh di sebelah timur rumah. Pertama kali membangun rumah itu sekitar tahun 1930-an sebelum Jepang masuk dengan senjata berbayonet dan merampok padi-padi dan memaksa orang-orang makan dari ubi kayu dan sayur hati pohon pisang. Kami tidak tahu bagaimana rasa makanan seperti itu. Tapi menurut bapak kala itu makanan seperti itu nikmat sekali.

Tahap kedua rumah itu dibangun pada tahun 1957. Ibu pernah bercerita pemugaran rumah tersebut atas usul kakek kami sebelum dua tahun kemudian meninggal yang menurut ibu terserang sesak nafas. Rumah itu dibedah bagian tengahnya dan menguatkan pondasi dari batu kali dengan beton campuran pasir sungai, pasir batu merah, dan kapur putih. Lantas di atasnya batu-bata disusun membujur dan bukan melintang sebagaimana tembok sekarang. Tembok rumah kakek-nenek kami tersebut tebal dan tampak sangat kuat. Daun pintu dan jendelanya terbuat dari kayu jati yang sudah sangat tua dan ketebalannya 5 cm. Sementara bagian depan dibiarkan tetap berdinding anyaman bambu dan bagian dinding depannya tersusun dari bilahan-bilahan kayu jati. Rumah nenek kami tidak membujur ke belakang melainkan berbentuk serupa huruf L dengan bagian bangunan depan sebagai kakinya.

Rumah itu besar dan, sebagaimana terlihat sekarang, satu-satunya yang terbesar di antara rumah-rumah yang ada. Rumah tembok dengan warna putih dari batu kapur yang setiap tahunnya selalu dikapur, tepatnya hari raya lebaran. Setiap dikapur mendadak rumah itu tampak bangun dari tidur panjangnya, berganti dengan pakaian baru, dan siap menyambut siapa saja. Seolah hanya pada hari raya rumah kami bergembira dan menghadapi apa pun dengan kesukaan ria tersendiri yang tidak akan ditemukan kecuali pada hari raya itu. Kadang di depannya akan dipasang daun kelapa yang masih muda berjuntaian seolah tangan yang melambai-lambai kepada setiap orang yang lewat. Mungkin berkata, "Hei kemarilah. Aku bahagia kau datang. Aku sedang tidak ada masalah hari ini."

Demikian juga penghuninya. Pada hari raya itu semuanya, kami beserta bapak ibu kami, adalah manusia baru. Kami saling melihat di antara kami seolah kami adalah orang baru dan tidak teringat apa yang terjadi kemarin, kemarin, dan kemarinnya. Kami memakai baju baru meskipun tidak yang terbagus yang dijual di daerah kami. Sandal baru. Celana baru. Dan makanan-makanan baru berwarna-warni. Sering kami, ketika tidak hari raya, selalu berharap setiap bangun dari tidur adalah makanan yang baru tersedia, tersenyum-senyum, dan tidak bertemu orang-orang terkutuk yang selalu datang dengan wajah muram dan seolah hendak memakan kami seketika itu juga.

Ya, sewaktu kami berusia sekitar dua belas tahun rumah kami sering didatangi orang-orang yang meneror kami sekalipun mereka adalah keluarga dari ibu. Sebab mereka datang dengan begitu saja dan meminta pada ibu apa saja dan harus tersedia pada hari itu. Jika tidak, ibu kami akan dibentak-bentak dan jika tidak diberi juga apa yang diminta ibu kami akan digampar seolah ibu kami bukan manusia. Kami tak tahu apa yang dibenak orang itu. Orang itu biasa kami sebut Pak Min jika kami dengan terpaksa bertemu dengannya di depan rumah atau di jalan sebagai tanda hormat di mata orang-orang yang ada di sekitar kami: bahwa kami masih menghormati saudara ibu. Atau, sebenarnya ketakutan akan digampar juga?

Sebelum nenek kami meninggal, nenek kamilah yang menjadi sasaran. Kerap kali nenek dibentak-bentak oleh Pak Min dan entah karena takut terus-menerus dibentak anak laki-lakinya atau karena alasan lain nenek biasanya mengambil uang simpanannya atau perhiasannya dan begitu saja mengulurkannya pada si anak. Setelah itu, si anak, tanpa satu kata pun, beranjak dari tempatnya duduk dan langsung berjalan menuju sepeda di halaman dan mengayuhnya entah ke mana. Nenek kami lihat hanya menghela nafas dan berusaha tersenyum pada kami seraya mengajak kami ke luar rumah membersihkan rumput-rumput yang mulai tumbuh di seantero halaman depan. Nenek selama membersihkan rumput-rumput tak satu kali pun bersuara dan hanya tangannya yang cekatan dan kuat mencerabut cengkeraman akar-akar rumput di tanah halaman rumah. Kemudian mengumpulkannya di sebelah barat rumah dan membakarnya bersama-sama dengan daun pisang dan rambutan yang sudah mengering. Di mata kami selama pembakaran rumput nenek sangat khidmat seolah nenek sedang membakar kemarahannya sendiri atas perilaku anak lelakinya.

Tapi di dalam hati kami tidak menyebutnya Pak Min tetapi sang Pembelih. Sang Pembelih karena ia algojo orang-orang di daerah kami ketika prahara 1965. Menurut saudara Ibu, pada suatu malam sang Pembelih itu didatangi beberapa orang yang menggunakan penutup kepala hitam dan hanya dua biji matanya yang tampak serta sekujur badannya tertutup oleh pakaian hitam. Tak tahu bagaimana jalan pikirannya, sang Pembelih itu dengan senang hati ikut mereka. Sang Pembelih itu turun dari rumah dan berjalan di kegelapan malam dan menuju ke jalan menuju ke utara. Ibunya, nenek kami, menangis sewaktu sang Pembelih itu ikut sekalipun nenek kami telah berusaha mencegahnya. Ia tergulung-gulung di lantai disaksikan keempat anak perempuannya yang masih kecil-kecil menggigil di sudut rumah. Kakek kami saat itu telah mati dan nenek kami menjadi bulan-bulanan anak-anak lelakinya, terutama sang Pembelih.

Begitulah dalam bulan-bulan di paruh kedua tahun 1960-an sang Pembelih merajalela. Banyak orang yang dibunuh oleh sang Pembelih. Nenek kami mendengar kabar perilaku anaknya hanya tercenung dan sulit sekali diajak bicara. Nenek kami menjadi jarang di rumah dan suka sekali ke luar rumah malam-malam entah ke mana. Kadang dua hari tidak pulang dan pulang dengan baju lusuh dan bau tak sedap menguap dari badannya. Setiap ibu kami atau saudara perempuan lainnya mengatakan kebutuhan dapur telah habis, nenek akan diam atau berteriak, "Kalau ingin makan cari sendiri, kalau tidak mati saja sekalian!" Maka, ibu kami yang masih kecil bersama ketiga saudara perempuannya mencari kebutuhan dapur dengan cara pergi ke pinggiran Sungai Ewuh untuk mencari cabai dan sayur-sayuran yang tumbuh dengan sendirinya sebab sawah telah terbengkelai. Kalau tidak mencukupi sebab seharian tidak mendapatkan apa yang mereka butuhkan, biasanya mereka meminta kepada tetangga-tetangga sebelah. Sementara kedua saudaranya laki-laki semakin jarang pulang dan jika pulang hanya sekejap dan itu pun akan membawa barang-barang untuk digadai atau dijual semenjak nenek kami sulit sekali diajak bicara dengan enak tanpa ledakan-ledakan amarah. Ibu kami akhirnya putus dari sekolah menengah pertama karena sepeda yang dipakainya untuk mencapai sekolah selama dua jam perjalanan dibawa kabur dan tidak pernah kembali. Ibu kami hanya bisa menangis.

Ya, Ibu hanya bisa menangis. Menangis sebagaimana ia dipukul oleh sang Pembelih itu. Kami hanya diam dan diam-diam semenjak kami masih kecil hati kami mengeras kepada sang Pembelih itu. Sang Pembelih yang memang tak lagi menyembelih tetapi sang Pembelih itu tidak tahan ketika sangat lama tidak mendengarkan suara-saura sayatan sebagaimana ia dengar terus-menerus pada prahara 1965-an. Suara sayatan akibat parangnya itu telah meresap ke sanubarinya dan tertanam dalam dan bahkan berumah di sana. Setiap kali suara sayatan yang setiap malam terdengar di tahun-tahun paruh kedua tahun 1960-an itu berkelebat di tahun 1980-an maka sang Pembelih itu kelimpungan. Ia akan membanting apa pun sampai suara-suara itu meredam sayatan yang menggejolak dalam sanubarinya. Kalau membanting tidak cukup meredam suara sayatan itu, ia akan datang menemui istri atau anak-anaknya, dan kalau tidak ada maka ia akan ke tempat saudaranya, terutama saudara perempuannya. Dan sang Pembelih itu akan suka sekali mendengar suara saudaranya mengerang kesakitan.

Ah, dada kami seperti hendak memecah. Tapi Ibu kami mengatakan pada kami untuk tidak melakukan apa pun pada sang Pembelih itu atas semua yang telah dilakukannya kepadanya. Ibu mengatakan bahwa kami harus memberhentikan serangkaian dendam itu dan mengakhirinya, syukur kalau bisa memotongnya. Kami tak tahu apa yang sesungguhnya berada di dalam benak Ibu kami ketika Ibu kami mengatakan pada kami ketika ia membujur di ruang tengah rumah dengan wajah memandang jauh ke atas. Senja baru menyemburat ke langit. Burung-burung terbang di angkasa. Daun-daun pohon kelapa tampak kekuningan di pucuk-pucuknya. Nafas Ibu tersengal sebentar kemudian diam selamanya.

Pada saat itu Ibu adalah orang terakhir yang hidup di antara saudara-saudaranya yang lain. Ibu tidak memberikan apa-apa kepada kami kecuali harapannya kepada kami untuk hidup berdamai. Ya, kami bisa memaafkan kepada keluarga sang Pembelih yang membuat Ibu kami tersiksa sepanjang hidupnya. Kami hanya tak tahan apabila kenangan rumah itu menguat dan mulai mengganggu mimpi-mimpi kami lalu merambat di antara pikiran-pikiran kami seperti percikan api di musim kemarau. Kami bukan takut pada bayangan-bayangan itu, tetapi kami takut kami tidak bisa mengendalikan tindakan kami ketika dalam kami muncul bayangan sang Pembelih. Mungkin kami diam atau mungkin kami mengambil apa pun dan mengayunkannya kepada siapa pun yang berada di dekat kami.

Kami tak mau bayangan-bayangan itu muncul lagi dan kami telah sepakat di antara saudara kami untuk membongkar rumah kami yang usianya hampir seratus tahun itu dan menggantinya dengan rumah baru bergaya "spanyol". Kami tak tahu apa yang terjadi pada pikiran-pikiran kami setelah rumah baru tersebut selesai dibangun. Mungkin kami akan kehilangan semua masa lampau kami sebab semua perangkat rumah baru kami nanti tak satupun berasal dari warisan kakek-nenek kami dan bapak-Ibu kami. Kami akan membeli semua peralatan rumah dan menatanya dengan cara terbaru sehingga akan terbentuk suasana yang tak pernah kami rasakan sebelumnya dan tak pernah orang pikirkan. Kami akan berada di sebuah situs baru dan kami akan membuat masa lampau-masa lampau yang baru lagi.

2006

Selasa, 10 Maret 2009

ABSTRAKSI PENCARIAN TUBUH BAHASA

Nurel Javissyarqi*
http://forum-sastra-lamongan.blogspot.com/

“Sesungguhnya sebagian dari perkataan fasih itu ada sesuatu yang mempesonakan laksana sihir, dan sesungguhnya sebagian dari syair terdapat hikmah.” (Sabda Rasulullah Saw).

Saat mengupas suatu karya, kita melintasi sepanjang jalan penalaran di sampang perhitungan jiwa perasaan. Layaknya pelaut menemukan pantai demi melayarkan kemuliaan kehendak.

Berusahalah bijak bagi suatu bibit, andaipun rumput. Sebab banyak rumput yang berbunga masih dianggap sama. Padahal rumput itu bunga yang malu atas sanjungan. Tapi jika suatu pohon tidak dikenal, atau keanehan menghipnotis, yang diluncurkan dari langit inspirasi. Bagaimana?

Kata Picasso; “Saya tidak pernah mencari tetapi menemukan.” Memang tidak pernah mencari walau bagaimana, namun dengan terus melangkah, tentu menguasai karakter yang ada. Maka temukanlah baju, tapi jangan terlalu longgar atau sempit. Yang sempit tak enak dilihatnya, yang longgar menimbullah bencana.

Ketika membaca sejarah, kita mendapati siratan para penulis yang teruji jamannya; karya-karyanya begitu jelas tentang ukuran, tempaan nafas-nafasnya. Tiada keangkuhan, walau jiwanya berkobar menyala-nyala, inilah perhitungkan kesesuaian.

Maka kemerosotan jika tak lebih tajam, bukalah tangisan yang terbasuh ayat-ayat kesadaran jiwa. Kembara meneguhkan keyakinan malam, menegaskan siang, ketabahan kemarau, ingatan hujan, serta segala yang meresap sebagai sikap berkarya.

Disini bukan mengada, tapi menggali kemungkinan yang tertanda, lantas menemukan keniscayaan. Lewat tarikan ruh filsafat, tuhan merevolusi bangsa-bangsa, mengaduk relung kemanusiaan.

Kenapa sebagian mengharamkannya, padahal kasih-sayang-Nya melingkupi murka-Nya. Siapa beribadah tanpa menggali potensinya, seperti membaca resep tanpa membeli obatnya. Nasibnya sebagai bahan bacaan, diberhalakan tanpa kemungkinan cinta.

Padahal waktu memberi ruang, segalanya terlihat lapang. Inilah daya rangsang menangkap pesan tubuh, indra yang tak membelenggu, menjelaskan karakter diri bersama lingkungan logis-Ilahiyah.

Mungkinkah sekali celupan tinta, menembus sejarah melahirkan keagungan sekali urai? Gemetarlah sebelum tahap kesadaran diri, segelombangan pingsan dihadapi.

Andai suatu tulisan itu gagasan pencerahan, alangkah indah mengoreksi balik kelembutan bathin kejernihan akli. Sebab dalam diri manusia, ada gairah mensucikan jiwa saat-saat menghadirkan karya.

Jika dikucilkan jagad, seyogyanya tekun mengolah bencah hingga mendapati kesuburannya. Usah gagap pergaulan pada jalan-jalan nalar keseimbangan.

Dan bersiaplah mengorek borok yang bersemayam, kelemahan itu layang kendaraan; escalator tidak sama dengan tangga kayu, namun jangan buang keringat percuma.

Jangkaulah kerinduan seperti cemburu menembusi kegembiraan, dengan menyelidik kejiwaan waktu-tepat mengoreksi masa-masa sepadan. Maka penegasan, penajaman yang dilakukan akan menambah bobot karya.

Dengan melihat tanda, menggunakan kunci membuka kamar pribadi, lalu bercermin di tengah jaman. Bagaimana mengayunkan sikap, menimbang volume dalam melantunkan tembang, mengharapkan kelestarian bagi bekal pulang.

Seyogyanya selaras teguran, membuka alamat kelupaan, menyalakan obor menerangi kekanak-kanakan atau kekenesan. Jadilah zaitun yang menyalakan kebijakan, walau amat payah menjaganya seperti kondisi berjalan di atas tali. Setidaknya gigih bertahan. Dan merunduknya padi, masihkah dikira rumput?

Kita tahu tegarnya matahari, tapi ada saat tenggelamnya digantikan rembulan. Kita bukan siang-malam, tapi keindahan senja dan fajar; tanda-tanda terpegang, simbul tertancapkan. Marilah melempar jala...

Ikan-ikan melawan arus, gurih dagingnya. Ia tidak berenang di sisi kanan atau kiri, namun di tengah arus sungai. Memang ada saat sulit tak bisa menghindari, lalu memendamkan tubuh dalam lumpur pertahanan.

Atau terbangnya seekor burung dengan menyamping, bila angin kencang menghadang. Dengan tetap berusaha sampai pada yang dituju kembangkan, titik keinginan.

*) Jum’at, 27 Agustus 2004, 09. Lamongan.

Kamis, 05 Maret 2009

Solilokui Hidup Serampangan

A Qorib Hidayatullah
http://indonimut.blogspot.com/

Bukan sebuah kebetulan bila Ponari —dukun cilik asal Jombang— berkat batu ajaib yang ia temukan, konon, mampu mengobati beragam penyakit. Dan konon pula Ponari adalah bocah yang gemar bermain di musim hujan, hingga petir menyambarnya sekaligus mengganjar Ponari dengan batu ajaib. Kini, masyarakat pun dibikin geger berduyun-duyun menyambangi rumah Ponari.

Ponari mendadak menjadi sang fenomenal. Media cetak maupun elektronik berebut melansir ketenaran sang dukun cilik itu. Yang menarik dari fenomena Ponarisme adalah ekspektasi masyarakat jamak ditengarai terancam solilokui (amal kesepian hidup yang berlarat) hingga berebut berobat kepada Ponari dengan biaya murah demi kesembuhan penyakitnya.

Saat ini masyarakat kita bisa dikata bergaya hidup serampangan. Rasionalitas telah menjadi mitos. Rasio masyarakat terjebak mempercayai bahwa batu ajaib Ponari bila dicelupkan ke air bisa bikin sembuh segala penyakit. Rasio medis lambat laun terkubur dalam-dalam, dan dianggap sudah tak ampuh lagi. Batu ajaib Ponari itulah yang malah oleh masyarakat dianggap ampuh bikin sembuh. Batu ajaib yang benar-benar ajaib. Tanpa diagnosa terhadap pasien, batu ajaib tersebut bisa menyembuhkan beragam penyakit.

Kegelisahan masyarakat yang demikian itu bukanlah tanpa muasal. Kendati masyarakat dalam hal penyakit melabuhkan kesembuhannya perantaraan Ponari, itu semata-mata tersebab kualitas pelayanan kesehatan pemerintah yang ditengarai lemah. Sehingga masyarakat pun lebih gesit memilih cara sembuh dengan berobat alternatif. Obat alternatif itulah yang dipilih masyarakat guna menjawab kecarut-marutan pemerintah di bidang kesehatan.

Apalagi, tahun-tahun ini Indonesia mengalami goncangan dua bencana dahsyat: pemanasan global dan krisis finansial, selain musim penghujan yang banyak mengirim penyakit/musibah baru bagi masyarakat. Tak ayal, masyarakat merasa komplit didera solilokui yang terus-menerus. Ditambah dengan daerah-daerah-daerah di Indonesia yang memang telah jadi langganan dikirimi banjir. Dari sini, apa benar tesis Sindhunata yang mengatakan, “Apokalipsme Hidup Harian?.”

Dalam Apokalipsme Hidup Harian, Romo Sindhu menarasikan keniscayaan kemelaratan dan kesedihan dalam hidup, hingga al-hasil kita hanya menjadi penunggu dari suatu kehancuran. Sehingga manusia kudu belajar kesahajaan dan kesederhanaan hidup untuk menangkis serangan apokalipsme atau solilokui. Dus, di tengah gempuran kuat dan amukan hebat zaman itu, hanyalah puing-puing kebersemangatan yang tak bisa hancur luluh lantak diterpa badai apokalipsme. Ya, hanya semangat yang tak bisa tergantikan.

Bagaimana pun, Ponari adalah fenomena jeda hidup yang patut disyukuri sekaligus ditertawai. Tatkala air telah dicelupkan batu ajaib Ponari, lalu diteliti di salah satu laboratorium Universitas Airlangga Surabaya, terbukti air tersebut mengandung kristal, berbeda dengan sample air biasa. Bukankah ini kemukjizatan?

Minggu, 01 Maret 2009

NH DINI, PERJALANAN KARYA YANG TIADA HENTI

Agnes Rita Sulistyawaty
http://www2.kompas.com/

Meskipun tidak ada tanggal 29 Februari-yang merupakan tanggal kelahiran sastrawan Nh Dini-di tahun 2006 ini, peringatan kelahiran penulis Pada Sebuah Kapal itu tetap berlangsung meriah, Rabu (1/3) malam, di Bentara Budaya Yogyakarta.

Tak kurang dari budayawan Bakdi Soemanto, penyair Joko Pinurbo, dan musisi Sapto Raharjo turut andil dan mengapresiasikan karya Nh Dini sesuai jalur seni pilihan mereka. Sastrawan Sapardi Djoko Damono juga hadir pada acara yang digelar Gramedia Penerbit Utama dan Toko Buku Gramedia itu.

"Novel dan cerita pendek Mbak Dini memberi kesan dan merangsang tanggapan lebih tentang perempuan. Yang dimaksudkan di sini bukan perempuan yang tertindas laki-laki dan memberontak, seperti yang sekarang sedang ngetren, tetapi tentang hati perempuan," tutur Bakdi dalam sambutannya.

Bukti yang paling mudah tentang eksistensi karya Nh Dini terlihat dari sejumlah buku yang sudah dicetak ulang berkali-kali. Pada Sebuah Kapal (1972), misalnya, kini telah dicetak ulang ke-12 kalinya, dan Namaku Hiroko (1977) yang kedelapan kali.

Di tengah sinetron di televisi, yang sering menghadirkan perempuan dengan mata melotot, tangan menuding, dan mulut yang melontarkan umpatan, Bakdi melihat karya-karya Nh Dini masih tetap mendapatkan tempat di masyarakat. "Tren" yang diciptakan Nh Dini jelas bukan tren sesaat yang mudah hilang dengan munculnya tren baru.

Semangat Nh Dini untuk mencipta karya sampai pada usia yang menginjak angka 70 ini memberikan kesan bagi penyair Joko Pinurbo. Sayangnya, puisi Joko yang dibuat khusus untuk Nh Dini belum rampung malam itu.

"Maklum, saya baru 'ditodong' Gramedia, dua hari lalu. Ternyata dalam waktu dua hari dua malam puisi itu belum selesai," ucap Joko yang akhirnya membawakan dua puisi koleksinya yang berjudul Surat Malam untuk Anakku dan Ibuku. Kedua puisi itu, menurut Joko, menemukan kembali maknanya pada 70 tahun Nh Dini.

Adapun Sapto Raharjo menampilkan karya baru yang masih belum diberinya judul. Karya yang menampilkan gabungan sejumlah suara, seperti suara pesawat, kereta api, dan bunyi tuts mesin ketik itu memang dibuat khusus untuk sastrawan kelahiran Semarang.

Bagaimanakah arti usia 70 tahun bagi Nh Dini? Sastrawan yang bernama panjang Nurhayati Srihardini itu bersyukur atas usianya saat ini. Tetapi, ia sendiri enggan berusia terlalu panjang.

"Yen usia panjang kuwi sakti kaya Hanoman (tokoh wayang), ora opo-opo. Ning, aku kan ora sakti," tutur Dini.

Ketidaksaktian yang dimaksud Dini tentu bukan dalam urusan menulis novel atau cerita pendek (cerpen). Ketidaksaktian itu lebih mengarah pada sejumlah kesulitan yang berkaitan dengan masalah kesehatan dan pilihan tempat tinggal.

Desember 2005 ia baru saja menjalani operasi lutut kaki kanan karena tulang rawannya "habis". Akibatnya ia harus mengonsumsi suplemen untuk pemulihan kondisinya.

Selain itu, Dini juga berharap menemukan tempat tinggal yang tenang sehingga ia bisa menulis dengan tenang. Saat ini Dini masih tinggal seorang diri di Graha Wredha Mulya A-2, Dusun Sendowo, Desa Sinduadi, Mlati, Sleman, Yogyakarta.

Pilihannya untuk tinggal di kawasan lansia itu disebabkan ia kerepotan mendapatkan pekerja rumah tangga (PRT) yang tepat. Beberapa kali ketika masih di Semarang sejumlah PRT hanya bertahan beberapa minggu saja, dan kemudian mereka pergi dan tidak kembali lagi. Selain itu, jika Dini tinggal di rumah pribadi, ia harus punya persediaan uang untuk perbaikan rumah, seperti jika atap bocor atau pintu rusak.

Di bidang menulis, ia merasa semakin yakin dengan gaya menulisnya, yang disebut sebagai gaya konvensional itu. "Saya sudah mantap," ujarnya. Gaya konvensional yang diakuinya sudah dipilih sejak pertama kali menulis itu akan tetap dipertahankannya dalam menyelesaikan seri kenangan, serta sebuah novel sosial berlatar belakang kejadian Kedungombo.

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest