Kamis, 30 Oktober 2008

KRITIK SEORANG DARA PADA LELAKI ISENG

Maman S Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

“Rumah Dara” adalah cerpen pertama Titis Basino yang dimuat majalah Sastra, No. 12, Th. II, 1962. Sebagai cerpen seorang pemula yang ditulis Titis dalam usia 23 tahun ketika ia menjadi mahasiswa FSUI, tentu saja cerpen ini tergolong mengejutkan. Bahasanya mengalir tenang, potret sosial yang diangkatnya barangkali mewakili kondisi anak dara seusia itu pada zamannya, dan emosi yang dihembuskan si tokoh aku, terkesan begitu arif dan matang. Sepertinya, tokoh aku dalam cerpen itu laksana seorang dewasa yang melihat teman-teman sebayanya berbuat sesuatu yang tak pantas menurut norma.

Secara tematis, cerpen ini mesti diakui, tidaklah terlalu istimewa. Sebuah problem sosial yang sangat mungkin bisa terjadi tidak hanya di kota-kota besar di mana pun, tetapi juga di pedesaan ketika masuk pengaruh luar. Oleh karena itu, tema cerpen ini sesungguhnya universal. Bagaimanapun, peristiwa semacam ini, mungkin pula terjadi kapan saja. Dalam hal ini, ketika seseorang memasuki wilayah usia transisi antara remaja dan dewasa, bisa saja ia tiba-tiba merasa sudah sangat dewasa dan bergaul dengan orang-orang yang jauh lebih dewasa. Maka, berbagai kemungkinan buruk pun dapat saja terjadi. Jadi, Titis pada masa itu sudah dapat mencermati bagaimana perubahan sikap, perilaku, dan kultur, mulai melanda kalangan anak dara masa itu atau perubahan itu terjadi pada seseorang ketika ia memasuki usia-usia transisi.

Dalam hal pelukisan latar tempat, tampak benar penulisnya masih mengesankan kegagapan. Namun, ketika ia mengangkat karakter tokoh-tokohnya, baik teman-teman di pondokannya, maupun para lelaki hidung belang yang baru dikenalnya, Titis berhasil mengungkapkan sebuah potret sosial. Dan keberhasilan itu justru dilakukan melalui penggambaran yang terkesan begitu bersahaja; lugu dan sederhana. Perhatikan kutipan berikut ini:

Kamarku di depan. Aku bisa melihat keluar masuknya teman-teman tiap malam Minggu kalau aku mau; tapi itu merupakan barang yang aku haramkan. Memang hatiku selalu mengajak menengok siapa gerangan teman ke luar mereka malam ini. Dan sekali dua kali keinginan ini tak bisa aku tahan kalau sudah aku dengar betapa sibuk dan riuhnya mereka di depan pintu. Laki-laki itu ingin bicara terus dan temanku selalu ingin lekas-lekas masuk. Dan laki-laki itu biasanya masih berbicara setelah duduk dalam mobilnya.

Kalau saat-saat seperti itu aku tengok, pasti aku melihat film tanpa bayar dan tanpa layar ….

Cermati cara bertutur tokoh aku. Ia seperti bercerita tanpa pretensi, tanpa beban. Tetapi di balik itu, ada sesuatu yang disembunyikan. Pernyataan, “Laki-laki itu ingin bicara terus dan temanku selalu ingin lekas-lekas masuk…. laki-laki itu biasanya masih berbicara setelah duduk dalam mobilnya,” sesungguhnya memberi gambaran psikologis yang cukup mendalam mengenai rasa penasaran si lelaki iseng dan rasa kesal si anak dara, teman tokoh aku. Dan seperti lazimnya di banyak asrama wanita, peristiwa seperti itu, bukanlah hal yang luar biasa lagi.

Demikian pula pernyataan: “Kalau saat-saat seperti itu aku tengok, pasti aku melihat film tanpa bayar dan tanpa layar ….” menunjukkan kearifan Titis Basino yang tidak mau mengatakan adegan “film tanpa bayar dan tanpa layar” secara eksplisit. Meski begitu, kita tahu bahwa itu dimaksudkan sebagai adegan berciuman atau sejenisnya. Jadi, pilihan kata, kalimat dan ungkapan dalam cerpen ini memperlihatkan kecerdasan pengarangnya untuk menjaga agar cara bertuturnya tidak jatuh pada pernyataan-pernyataan yang eksplisit dan vulgar.

Ketika si tokoh aku menimbang-nimbang beberapa temannya yang hendak dipilih menjadi pemimpin rumah pondokan, deskripsi mengenai teman-temannya (Jus, Norma, dan Marselia), juga sepertinya tanpa maksud apa-apa. Padahal, deskripsi itu justru menjadi salah satu bagian penting dalam kerangka membangun tema yang hendak disampaikan. Marselia yang dianggap saleh, misalnya, ternyata menyimpan sisi gelap di belakangnya. Dan si tokoh aku menyampaikannya, juga dengan cara implisit.

Pagi-pagi aku bangun oleh ketukan pintu depan. Dan setengah tidur aku buka pintu. Berdirilah di depanku Marsel dengan bajunya yang hanya bertali kecil di pundaknya.

….

– Aku kira kau sudah siap ke gereja pagi ini. Kiranya pulang juga belum. Aku menyindir tanpa melihat reaksi apa yang ada di mukanya. Marsel diam tidak menyahut. Kediaman tiap pencuri yang ketahuan.

Adakah hal yang aneh dalam kutipan di atas? Perhatikan gambaran baju Marsel yang disampaikan tokoh aku: “… bajunya yang hanya bertali kecil di pundaknya” dapat saja sebenarnya dikatakan: bagian dadanya setengah telanjang atau bajunya setengah terbuka, tanpa bra. Lalu, apa yang terjadi jika seorang dara dengan pakaian yang seperti itu, baru pulang pagi hari? Pasti ada sesuatu yang tak beres, satu penyimpangan norma yang tak perlu disampaikan secara eksplisit. Dan Marsel sendiri mengakui perbuatannya tanpa harus mengatakannya: “Marsel diam tidak menyahut. Kediaman tiap pencuri yang ketahuan.”

Mengapa mesti menggunakan ungkapan: “Kediaman tiap pencuri yang ketahuan” dan bukan “pencuri yang tertangkap basah”? Mengapa pula dianalogikan dengan pencuri? Jelas di sini Titis berusaha menghindar bentuk klise. Selain itu, makna ungkapan “pencuri yang tertangkap basah” cenderung mengesankan sebagai suatu pekerjaan atau perbuatan profesional. Sementara, ungkapan “pencuri yang ketahuan” lebih bermakna mencuri sebagai keisengan, sekadar coba-coba atau dilakukan seorang amatiran. Kembali soal pilihan kata menjadikan cerpen ini terasa matang.

Tiga nama tokoh (Jus, Norma, dan Marsel) yang disampaikan tokoh aku, boleh jadi merupakan representasi anak-anak dara yang lepas kendali. Jus yang semula dianggap sering marah dan kurang bergaul, justru yang kemudian menceburkan tokoh aku pada lingkungan pergaulan lelaki hidung belang. Norma yang terlalu sering ke luar malam, belakangan malah menjadi orang pertama yang menyadari adanya ketidakberesan dalam pergaulan anak-anak dara di rumah pondokan itu.

***

Kepiawaian Titis tidak hanya pada penggambaran karakter tokoh-tokoh wanita yang memang telah menjadi bagian dari dirinya selaku wanita, tetapi juga pada penggambaran tokoh lelaki. Bagaimana keadaan pesta para lelaki iseng, cara menggombalnya, dan sekaligus taktik menjerat buruannya. Semua disajikan secara cukup meyakinkan. Perhatikan kutipan berikut ini:

Begitulah malam itu aku ada di situ. Di antara orang-orang yang bukan lingkung-anku. Semua tampangnya bulat dan gemuk. Pipinya seperti memakan sesuatu. Tertawanya amat memuakkan.

Aku ingat pesta di sekolah. Semua kelihatan muda dan segar. Sedang yang ada saat itu semua muram dan mesum. Katanya pesta, tapi orang-orangnya hanya minum bir dan merokok. Sambil sebentar-sebentar tertawa antara mereka. ….

Ada kontras yang hendak diangkat di sana: pesta yang bukan lingkungannya dengan pesta di sekolah. Semua tampangnya bulat dan gemuk, semua muram dan mesum, hanya minum bir dan merokok, dan sebentar-sebentar tertawa “ dengan keadaan pesta di sekolah yang semua kelihatan muda dan segar. Tentu pesta di dalam sekolah tidak ada orang minum bir dan merokok. Gambaran orang-orang dengan sosok: bulat-gemuk, muram-mesum, yang ditingkahi bir-rokok, dan tertawa merupakan prototipe para lelaki iseng yang kelebihan uang dan di rumah tak bahagia. Bir-rokok dan tertawa itu juga merupakan bagian penting yang selalu menjadi semacam aksesoris para lelaki semacam itu.

Kontras itu tidak hanya antara pesta anak-anak sekolah dan pesta para lelaki iseng, tetapi juga wajah dan perilaku mereka. Muram dan mesum dengan tertawa menunjukkan betapa para lelaki iseng itu penuh diliputi kemunafikan, kamuflase dari keadaan jiwanya yang tak beres. Dengan deskripsi seperti itu, makin jelas bagaimana anak-anak dara itu mencoba-coba menjadi orang dewasa dan bergaul dengan para lelaki yang sudah sangat matang dalam persoalan yang berkaitan dengan hubungan jantina. Jadi, kembali, cerpen yang tampaknya sederhana ini, sesungguhnya menyimpan problem sosial yang serius.

Gambaran tersebut didukung pula oleh cara lelaki itu menggombal dan menjerat mangsa buruannya. Bahwa tokoh aku kemudian pulang diantar oleh salah seorang lelaki itu dan ia merasa telah ditolong lelaki baik-baik, menunjukkan kemahiran menggombal dan menjerat lelaki itu dan sekaligus juga memperlihatkan keluguan si tokoh aku. Belakangan diketahui bahwa lelaki yang dianggap sebagai orang baik-baik itu, ternyata tunangan Norma, temannya. Dan Norma sendiri menyadari kelakuannya yang kacau.

Di akhir cerita, Norma bermaksud pindah pondokan. Ketika lelaki itu datang dan mengetahui bahwa Norma tak ada di situ, lelaki itu malah mengajak tokoh aku dengan memperlihatkan setumpuk uang. “Aku ternganga. Dia tertawa terkekeh-kekeh dan aku tinggalkan dia menyelesaikan tertawanya.” Sebuah pesan terselubung berhasil disampaikan pengarang. Meninggalkan lelaki itu menyelesaikan tertawanya memperlihatkan sebuah garis demarkasi; dua dunia yang berbeda; tokoh aku punya sikap yang tak tergoda uang, dan si lelaki itu dibiarkan menyelesaikan kamuflasenya.

***

Sebagai sebuah cerpen seorang pemula, karya ini secara jelas memperlihatkan potensi pengarang dalam menyajikan fakta sosial. Kritiknya yang halus dan pesan-pesan moralnya yang terselubung telah menempatkan cerpen ini tidak jatuh pada cerita populer –apalagi sebagai karya propaganda, yang mengharamkan ketaksaaan (ambiguitas) dan mengharuskan pesan disampaikan secara eksplisit.

Menempatkan cerpen ini di dalam konteks kepengarangan Titis Basino, sangat wajar jika sejumlah pengamat sastra menyebut Titis sebagai pengarang yang cerdas, bahasanya lancar dan segar, jujur dalam mengungkapkan perasaan wanita dan berani menelanjangi kebusukan lelaki. Dan semua itu, sudah tampak dalam cerpen pertamanya ini.

(Maman S. Mahayana, Pengajar FSUI, Depok).

Selasa, 28 Oktober 2008

Balada-Balada, Suryanto Sastroatmodjo

BALADA WURAGIL BUGIL

I
Salam sejahtera bagi Yang Esa!
Salam sejahtera bagi Yang Tunggal
Aku berbenam antara sembur cahaya suminar
Aku mengacu bumi bulat tanpa seteru

Kembali pundakmu di hincit nyinyir
Walau relungmu berbuku-buku
Tapi santunan jauh dari kehendak kutub!

II
Maka porak-porandalah barisan bergenderang
tatkala senyap-serangan memilih landung
dalamnafas tualang. Dalam bibit-bibit sakit

Kegusaran merobek desa-desa sejuk
dan kemiskinan ada di pelupuk
entahkan rela tanpa bismillah, kawan
Wuragil Bugil melatah di palangan Cinta

III
Aku merasuki dentum-dentum perant dunia
kendati jaman yang rengkah belum terundur
dari proklamasi bapa-biyung. Tercabut syaraf lembutnya

Deram-derum airterjun di pesawangan
tengok Wuragil Bugil bersiram
Meraup bayu, menguncur lelehan getir
persis abad berlalu kembali terpapar!

IV
Esok pekan jadilah perjalanan kereta senja
kita bakal memungkasi fatwa musim. Berkah mukmin
ditawarkan oleh Wuragil Bugil, si senantiasa jujur
melempangkan aksara hidup sebagai keterbukaan angan

Maka akan lebih sempurnalah pertarungan
pabila lampah para santri di watas danau
kemudian sigap mengunci. Biarkan lukadiri
Bisa jadi, apa yang terniat jadi rahmat
hanya Kyai mendaratkan sesuluh
seperti Wuragil Bugil pernah tertampar jajal!



BALADA TUAK TEMPELAK

I
Haleluya! Sempana buat si penjaja dosa
kini kulihattrotoir kotaku layu
percak-percak sehabis hujan tengah-hari
lumpur memenuhi lratan. Haleluya,ya Walikota

II
Gerimis telah menitis di punggung serunting
kala ketergesaan diharung gagasan
Ada pada kitiran buih, dan angin cenderung murka
Sesudah buah gori terakhir jatuh berdembam
membuyar sarang kucing-kucing liar di kaki pohon

III
Bikin tempelak selagi usia berdekap
atau padka kepingin mengucup embun
Dan di sana: bulan kesiangan jadi pigura
atas dataran huma dilekati rumpun buluh
dan di atas paya-paya, berdiri aku, Tuak Sejati

IV
Busa yang merumuh waktu makan siang
nampaknya sudah mengucapkan ‘Spada!’
Pada Tuan, sang percaya. Pak Tuan, sang pembual
nanti menagih singgahnya bapa tersayang

V
Dan alangkah awet jepitan rambutmu, adik
sebentar kulihat rambutku rontok sehelai-sehelai
Di ulang usia elahiran, di tubuh makin keropos
di kala anak-anakku berangkat dewasa dan bengal
Aku ingat akan Tuak Tempelak di gerimis pegunungan
aroma kulitmu, ciuman bibirmu hangat

VI
Misalkan pelabuhan wangi telah tertutup
kita tentunya menghitung rontok dan gemeletuk
Karena toh pengaruh gaib dari lelaki jantan
cuma sekedar memasak kata berenda pupus
Nyaris lenyap selubung lohor

VII
Gugurlah sudah ramalan tetua-tetua
yang barusan membiar jemaat kecewa. Ada dendam
lolos begitu saja, sementara bangkitmu gemuruh
Maka selagi bohong jadi sepatah jolong
membinar wajah yang keriput dan ompong.




BALADA LOLONG SANG SONA

1
Itulah dia: tinggalan Dang Perkasa Bumi
namun alangkah jauh dan pepat
Seraya memulihkan bentuk tubuh
lalu menjawab tanya: Siapa Bunda Maria?

2
Demikian kelopak matamu, dinda
melepuh oleh biar-sangkal nan dangkal
Sedangkan harap dan tiarap jadi satu
membungkus telapuk telapak lapuk
Tanda kita tambah tua tanpa terasa

3
Iman tak bisa dirembug gamblang
walau kepalsuan bakal direjam kutuk
Lewat Alkitab segalanya diaduk
lewat Alkitab segalanya dicaduk

4
Bangunkan dari akar bersumber tirta
pabila nyata nalar hanyut dipelimbahan
Aku pun pekerja teramat lamban. Terkeping liring
serta membalut beban bisul dengan perban kuning
Kini mengomel tentang benteng Paris tumbang

5
Belungkur melingkari tubuh telanjang
Izinkan kami menggayut perjalinan terimakasih
Walau masih terang pelita di zaman akhir, yakinlah
bukan musti menggoreng pernyataan shahih
yang perna kubabat sendiri. Ya, alangkah hanyir!

6
Sang Sona-pengembara dari lumpur ke lumpur
bertaring antara tinja dan dekil ruang-nista
Namun pabila tuan tatap matanya, Gusti
Sang Sona nan tabah dan hati resik
takkan pernah tumbang selepas diterkam lawan

7
Serta-merta aku menuding dada sendiri
waktu berbual-nakal, berebut tulang, terbanting papa
Agaknya di kaki Sang Sona, malah tanpa lolog panjang
kendati kalbu yang bolong sudah sejak dulu melolong-gonggong.

Minggu, 26 Oktober 2008

Sedikit Perihal Estetik

S. Jai
http://ahmad-sujai.blogspot.com/

MULA-MULA adalah kata. Jagad tersusun dari kata. Demikian menurut penyair Subagio Sastrowardoyo.

Namun saya percaya dan menyakini bahwa nenek moyang segala ilmu, juga tentu saja kata adalah mitos. Bahkan jauh sebelum kata-kata diperas, diperah sampai apuh beban artinya, mitos telah lebih dulu menyingkap makna sampai akarnya yang purba.

Saya percaya dan menyakini amanah pengarang itu terletak pada kemuliaannya untuk mengingatkan bahwa menghidupkan kata pada karya itu semulia kreasi Tuhan meniupkan ruh hidup manusia di semesta ini. Seperti laiknya kepada partikel atau gelombang abstrak selaput jagad.

Jadi kata itu seperti manusia juga. Seperti juga manusia, ia tahu bagaimana harus hidup, bercinta dan menyusun pikiran besar melunasi hasratnya pada alam cita. Tentu saja laiknya pengalaman batin, hasrat yang demikian sangatlah subjektif. Bagai sajak dalam aku lirik.

Saya meneropong sedekat mungkin manusia dengan sudut pandang aku dengan bahasa mereka sendiri. Saya hanya menghormati sebagaimana saya angkat topi pada kejujuran dan kemurnian kata.

Tentang cinta, saya menyakini cinta yang berpuasa, cinta yang menahan diri agar terhindar dari kesepian, kecemasan apalagi kehilangan hak milik saya sebagai individu yang kreatif. Cinta yang sulit diterjemahkan, disingkapkan dengan kata-kata karena kata tak sanggup menampung kandungan isinya. Tapi juga cinta yang tak bisa menemukan titik paling subtil dalam kata.

Justru saya menangkap bayang keindahan cinta itu dari salah satu versi mitos Cerita Panji—sebentuk foklor, cerita rakyat yang dihargai murah karena dinilai tidak bermutu dan rendah. Saya menuliskannya dalam sebentuk kisah atau hikayat menjadi karya yang tidak perlu diragukan lagi mutunya. Tentu saja tanpa harus meninggalkan watak aslinya, nuansa tradisi tutur di dalamnya.[]

Kamis, 23 Oktober 2008

INTRIK PENYAIR DAN KARYANYA

(Ini hasil perasaan saja, andai saya seorang penyair. Dan jika benar istilah perasaan itu, awal daripada ilmu pengetahuan).
Nurel Javissyarqi*

Apa yang kalian impikan pada tinggi kepenyairan? (Goethe).
Puisi ialah masa-masa mati. Terhenti atas kekakuan dirinya yang telah terselubung kelenturan. Ia tidak bisa bergerak terlampau jauh, ketika “kata-kata” sudah mewakili kehadirannya. Maka penciptaan puisi, sejenis latihan bunuh diri berkali-kali.

Siapa yang mati di sana? Penciptanya, dipermalukan kejujurannya. Meski berselimutkan kerahasiaan, tetaplah ada keinginan untuk diketahui, difahami. Mungkin ini sisi lain kebinalan puisi sebelum mati, sedurung di kubur dalam keranda kata-kata.

Saya tidak hendak menghakimi. Ini realitas keindahan terbatas di muka bumi, sebuah musim bunga terhilangkan lewat gugurnya dedaunan atas musim berubah. Matahari yang kita nikmati, menciptakan hayalan, yang keinginannya terus bertambah dari dorongan naluri, dari kedalaman maksud jiwa.

Tapi siapa yang sanggup memetik kecantikan langitan? Mereguk kemolekan dasar imaji, demi ditampilkan ke muka kesadaran? Apalagi melewati nalar-nalar umum puisi? Hanya terbatas orang dan menjadi bunga bagkai, jikalau konstruksi yang mengitari teknik tidak sampai membuai, jika benar-benar ilham tampak murni.

Maka keindahan, mau tidak mau kudu rela terpenggal di tengah jalan. Jika tidak ingin langut tanpa tragedi. Ada saatnya kayungyung menemui juntrung, masa-masa persetubuhan jiwa ke dalam kebakuaan tertentu. Yang ada sisi-sisi menggorok, kalau berharap lebih nikmat, terus berkurang dari keinginan bertambah. Sebab kesadaran dalam puisi sangatlah terbatas, taklah mungkin melalui pandang sambillalu.

Puisi tidak jauh lahirnya mitos, demi kemunculan aliran filsafat. Dan kejiwaan para penemu, menyuplai faham-faham psikologi. Di sini, puisi tentu berbeda jauh pengertian dari ayat-ayat suci yang dibawa malaikat Jibril kepada para nabi dari Yang Asih. Namun ada saja yang menyebut semacam wahyu, padahal bisa pula dari beberapa angan terdahulu, yang belum sampai ke puncak keyakinan.

Atau puisi terlahir dari sela-sela kenangan silam dan kini menemui muara. Jika telah tertancap sebilah pedang pena. Garis-garis pada kertas bermuatan renungan. Yang tampak di permukaan, kadang berserak tanpa harmoni yang jelas. Ini sama pengertiannya tidak memahami situasi diri, di sekitar nasib yang terus melayarkan sampan usia kemenjadian.

Keindahan puncak, di mana keuniversalan dunia mengakui. Mereka terperangah kecantikan pucuk Himalaya, ketampanan Candi Borobudur, atau kesejukan lembah bunga. Keindahan itu masuk dalam bayang-bayang ingatan atau terekam. Lalu kata-kata penceritaannya menjadi rumusan, sebagai logika daripada paras keelokan tersebut.

Demikian ngeri rasa tercengang, pun peperangan serta bencana alam. Membekas dalam diri sebagai timbangan menilai langgam-langgam hayat, dari getaran rasa yang termiliki. Oleh sebab itu, para penyair merawat perasaannya. Guna sampai pada getaran puncak daripada keindahan.

Ada penyair yang mengumpulkan puing-puing nama benda. Ada pula yang melukis deretan peristiwa lama, atau jangkauan hayal ke muka. Pun bunyi-bunyian alam, deburan ombak, jeritan, tangis, suara serangga. Kesatuan itu terkumpul, dan masuk terekam dalam ingatan. Para insan menimbang suara-suara itu dengan rasa, kata-kata dengan rasa, hitungan dengan perasaan. Sebelum dunia logika menawarkan dirinya, sebagai jembatan utama suatu karya.

Penilaian itu, takdir yang terus mengikuti jaman, bersama kerepotannya. Juga suasana kekosongan, termasuk jalan menuju penilaian lain. Seperangkat kebertemuan menjelma takdir lain atas pandangan tertentu, yang merasuk bergetar pada jiwa-jiwa penyaksi.

Puisi, sering luput dari tangkapan jika mengambilnya tidak dengan kesamaan. Peneriman, persetujuan, pun penolakan, mampu memberi jawaban. Tentunya atas ketepatan masa yang dituliskan takdir pertemuan, seperti kalimat “Manusia berhendak, tuhan yang menentukan.” Begitulah yang terjadi atas terkumpulnya kata-kata.

Berangkat dari endapan masa-masa yang tidak terkira atas terjadinya. Meski hal lain sangat mendukung, sebagaimana rindu, cemburu atau kasih damai pada lubuk sanubari. Ada saatnya ketergebuhan itu berhenti oleh lelah yang belum waktunya tiba. Atas jegalan masa-masa yang tidak mendukung kehadirannya sebagai hasil kerja. Dan keikhlasan melahirkan kembali, serupa gelombang laut ke pantai. Penerimaan karang atas buih busa yang menggenangkan masa menenggelamkan kesaksian. Juga serasa surut dan susut penilaian tubuh alamiah, saat-saat lelah istirah.

Puisi ialah himpunan kata-kata yang sangat berbeda jauh kalau menilik sisi tercetuskan gagasan. Jikalau ditimbang melewati masa pelaksanaannya. Ada endapan lama, mimpi lampau yang mengunduh tepat-waktu, serupa harapan yang tersampaikan. Kangen terjawab kelahiran tanpa operasi, atau rindu bertemu realitas cakrawala. Langit biru, awan menyisir, jalan-jalan dilalui, sungguh menapak.

Adapun penggarapan puisi yang berolah lama, sebab ketat daya saringnya. Meski tidak bisa dihakimi, tercetus lama belum tentu baik, atau sebaliknya. Sebab kerja yang sungguh, belum tentu diterima dengan kesungguhan. Terkadang keisengan di mata jiwa lain, malah menimbulkan takdir sesungguhnya. Inilah salahsatu problem, yang senantiasa mengintrik jiwa.

Semua perkumpulan ragu dan sungguh, terjawab sudah kesetiaan pelaku. Merawat cita-cita, sejak kanak sampai tidur tidak enak, tidak tersangka kantuk memberat. Ketenangan terjaga, kelebihan kehati-hatian, diet mencerna timbangan, bisa memberi solusi, tidak terjungkal jika ada saat-saat tidak nyaman. Duduk menyendiri atau kebersamaan ganjil. Dan keakraban mendesak maju, menghadirkan waktu ketaktepatan menjadi kejelasan. Lantas isyarat segera terungkap, atas kerja serius menyungguhi ruh.

Ben Okri pernah berkata; “Dunia tempat si penyair hidup tidak harus selalu puitis. Di tangannya, dunia ini sungguh menantang. Hanya dengan semangat penciptaan dan pencarianlah, dunia yang keras terubah menjadi nyanyian dan metafor baru.” Yang nantinya akan menghasilkan apa yang dikatakan, Paul Eluerd; “Seorang penyair adalah orang yang mampu mengilhami lebih banyak daripada orang yang diilhaminya.”

Maka sepatutnya sering mendengungkan rasa bersyukur, menghirup denyutan semesta, ingatan serta masa lalu, dalam genggaman kuasa-Nya. Fikiran bisa mempatenkan prodak, namun hatilah yang menentukan langgeng atau lepas sasaran. Olehnya, seorang penyair dituntut mencintai hal-hal yang tidak mengenak. Jikalau berharap perolehan lebih, sebab bukan di sekitar saja yang berguna.

Ternyata, yang selama ini tidak terkirakan, esok meminta jatah direnungkan dan lebih. Ini dinamakan jalan-jalan kepastian yang tidak terpetik jauh dibenak. Suatu rana yang dikembangkan kalbu-kalbu pencipta situasi di dalam kondisi kejiwaannya. Di tempat lain, Oktavio Paz berujar; “Pengaruh tersebut juga merupakan sebuah penciptaan, bukannya imitasi, melainkan okulasi yang menghasilkan sebuah tanaman baru, lebih kuat dan majemuk dibanding induk aslinya.”

Tetapi bukan berarti saya menganjurkan memejamkan mata, dalam menentukan jalan-jalan itu akan sampai atau mentok pada dataran ketakmampuan. Melewati jalan kedua bisa merasakan, memejamkan mata, dan memandang realitas berkesungguhan kerja. Dengan keduanya, malam dan siang, senja dan fajar selalu mengembang dalam jiwa. Kita rawat kestabilan kondisi, hawa saat-saat datangnya sembuh. Tidak berlebih atau sehat yang melenakan unsur-unsur lain.

Tao Teh Ching pernah berucap; “Karena tidak memiliki kehendak pribadi, maka ia bisa menyempurnakan pribadinya.” Namun bukan berarti lantas takut terjebak kedirian, lalu melemparkan kalimat puisi seperti melesatkan panah tanpa sasaran. Kondisilah yang mengharuskan Arjuna maju ke medan tempur. Dari kumpulan masa keharusan, bukan menunggu diterjemahkan sebagai situasi.

Setelah membaca perjalanan, terketahui bagaimana sampai di sini atau belum, kita tahu jawabannya. Itulah keseimbangan pandang yang selalu menjaga diri, agar tidak dalam kegilaan atau konstruksi yang merecoki kefahaman lembut puisi. Maka, merawat kasih sayang berimbang, bukanlah menyulitkan, jika melatih keinginan serta keadaan diri. Kesulitannya terasa, jika memasuki rayuan di jalan-jalan lena, atau keterlaluan culas memandang sebelah mata. Namun tentunya menyadari, kanan dan kiri bukanlah jalan sesungguhnya, tetapi pinggiran yang bisa mempelesetkan ke jurang.

Ketika terjatuh, sulit memulai kembali. Maka rawatlah kesetiaan, agar bertemu keseimbangan tanpa cemburu berlebih. Dan kepercayaan atau pun perubahan, atas genggaman-Nya, penilaian-penilaian terus berputar pada poros-Nya. Ia penggenggam ingatan manusia, pencuri harta kelupaan, atas keterbatasan kefahaman menerka, di dalam menyinaui hayat.

Rasa bersyukur menghantarkan kepada pembaca, bagi tercinta merindu temuan. Pun kuasa pemahaman ada pada pembaca. Runtut atau bejatnya kalimat atas konstruksi sulaman, kemenjadian yang jadi-jadian, pun yang kelewat serius. Tetaplah yang memenangkan permainan, pemahaman membaca dinding-dinding kata dari tampakan tubuh puisi.

Apalagi susunan yang dimasukkan perlambang, perlu digali lebih, bercangkul berbeda dengan kebaikan pemahaman. Tidak luput dari polarisasi yang dibangun penulis, atau pembaca perlu mengundang nalar penulis, demi diperbandingkan sejauh mana kerangka yang terbangun itu atas realitas sejarahnya.

Saya tidak banyak menerangkan makna yang terkandung dalam bidang kalimat. Dengan itu, kefahaman bisa meliar, memperoleh dari sekadar penggalan pengertian. Apa yang terhidang bukanlah rambu-rambu. Dari pembacalah aturan dimulai, sedang yang tertawarkan, sekadar cerminan kemungkinan lain. Andai ada kesamaan yang muncul, tentu kegelisahannya serupa meresapi keberadaan hayat. Menjadi pejalan kaki sunyi bukan membaca kalimat, tetapi meresapinya tanpa suara. Yang masuk ke telinga bathin, unsur lain yang terterka, semisal hendak mempersunting nyanyian bathin sendiri.

Ruang berbicara kepada saya dan waktu menyediakan nafas-nafas kata dalam setiap perjamuan. Saya tidak hendak menyapa panjang lebar. Kita bisa dimana tempat dengan keseiramaan, jika menjangkau penerimaan sebagai getaran rasa. Dan rindu pertemuan sinyal itu, kefahaman yang runtut di kuncup setia, cungkup keabadian atau nilai universal jiwa-jiwa. Harapannya, apa yang terhaturkan dapat menembusi pemahaman, meski tidak dalam satu lingkaran meja. Walau kadar penciumannya berbeda, pun kecenderungan lidah tidak serupa. Namun masih ada keyakinan, kesamaan itu tentunya ada, seperti iman akan hari depan yang lebih gemilang.

Di saat-saat memahami, terketahui sisi-sisi kosong segera terisi. Lembar-lembar ketebalan lelapisan pengalaman, bukan dari membaca saja, melewati ingatan kenangan, perjuangan menempuh hayat bertambah makna. Pandangan bukanlah semata kudu digurui, sebelum kepada maksudnya. Atau mengandaikan gugusan pengertian akan sampai kepadanya, kostruksi itu seluruhnya milik pembaca.

Bisa dibilang, ini sekadar pemancing jawab bagi pendapat. Sebab masing-masing memiliki, meski orang lain seolah mengerti lebih. Kecerdasan pencipta, tidak berarti mengerti psikologi pembaca secara keseluruhan, tetapi sekadar pengantar ada sisi-sisi kesamaan yang kudu dipertajam. Atau dihindari untuk pengolahan lebih mantab dengan kepribadian mandiri, sebagai bentuk-bentuk puisi yang kuat.

Wilayah penyair itu kata, seperti kita memandangi warna dunia. Tanpa membawa rentetan pengalaman, seolah yang terbaca itu sia-sia. Olehnya, sambungan pengalaman dari sesama ialah suatu usaha kebertemuan muara. Walau sudut pandangnya berlainan, meski mata air serta alirannya ke tempat yang tidak sama. Yang kita miliki hanyalah milik kita, meski telah ditulis mereka. Tetapi kita tidak akan memiliki apa-apa, jikalau tidak mendapatkan gesekan sesama. Sebab keraguan, kecemasan, juga keyakinan, merupakan tahap yang harus menemui kejelasan hakiki.

Cahaya terang itu tidak akan diketemukan, kalau sekadar membaca diri sendiri. Bagaimana pun cerdasnya seseorang, ia bergantung yang lain. Pun khusyuknya merenungkan makna hayati, toh perlu angin sapaan, yang tampil sebagai sarana dialog, yang nantinya membuahkan berkah. Atau nilai tambah yang berupa harapan kemerdekaan, menjunjung tinggi harkat kemanusiaan.

Usia suatu karya itu kemurahan kefahaman, kesehatannya menjadi melodi dan gairah. Sedangkan nada-nada naik-turunnya mengikuti gerakan takdir nyawa-nyawa pertemuan. Maka pantaslah puisi itu pecahan waktu yang pernah terlaksana. Juga bisa berasal dari pecahan masalah, yang menghadirkan kemangfaatan hayat di dalam penghayatan.

Apa yang terkupas di atas, bukan menyeluruh menyoal puisi dan penyairnya. Saya menggunakan beragam kacamata, agar masuk ke segenap keilmuan yang lain. Olehnya, terimalah kekenesannya sebagai bumbu, agar yang terhidang di benak, semakin sampai kekentalannya. Sebab buah permainan, bukan berapakali bertanding. Tetapi berapa baik mencetak gol cantik, meski sangat sederhana, atau primitif sekalipun. Maka kedatangannya, menyisir seberapa jauh lekukan fenomena, agar lebih terangsang dari sekadar wacana.

Perlu juga memecahkan tanggul-tanggul realita, demi menemukan relitas baru, sebab penampakan itu belum tentu sampai. Sebab kehakikian itu pada kompenen rasa yang terasai, seperti menemukan pahit atau manisnya. Camus sempat menuliskan, bahwa; “Semakin besar seorang seniman memberontak melawan realitas dunia, semakin besar bobot realitas untuk mengimbangi pemberontakan itu. Namun bobot itu tidak pernah dapat melumpuhkan kebutuhan soliter seniman.”

Yang selalu dahaga waktu, tidak puas baju kebesaran, jiwanya dituntut curiga kepada pakaian gembel yang menarik belas kasihan. Maka kesepakatan tercapai, bisa menerima segala hal dengan kesatuan tujuan. Sebagai pembaca, demi memperoleh wawasan lebih, serta rasan-rasan diri, agar yang masuk dan keluar, selalu pada bingkai kemungkinan. Yakni alat timbangan hidup, karena ramainya pembeli di pasar kebudayaan, daripada sastra pada lintasan keilmuan lain.

Puisi, dalam bentuknya yang baku, telah mengangkangi dunia hingga berabad-abad, sampai kita seolah tak berani keluar dari sarangnya, meski telah banyak mengeluarkan teknik baru, strategi anyar. Tetapi ketakutan tidak dianggap puisi khususnya, masih hadir di benak para penyair. Ini perbudakan sungguh ganas, lagi memalukan. Betapa jauhnya penyair lari dari dirinya, bayang-bayang itu tetap ia bawa. Sungguh menggelitik, apalagi terjadi pada titik kulminasi peradaban sekarang. Padahal bayang-bayang itu seharusnya sudah tidak tampak.

Saya membongkar identitas tersebut, agar tahu sejauh mana anatomi puisi dari tubuh penyair. Lebih jauh Albert Camus, meyakinkan; “Jika seni berkeras untuk menjadi suatu kemewahan, ia juga akan menjadi suatu kebohongan.” Kemewahan, tidak jauh dari tatanan; modernitas, primitif, posmo, motif ukiran, batik, pahat dan sejenisnya. Seharusnya, hasil cipta yang dimotori kata-kata, lebih jauh keluar dari pakem tersebut. Jika tidak ingin terperangkap dalam lingkaran yang disebut dinamai.

Namun mungkinkah kereta api bisa berjalan di luar relnya? Di sisi lain, tragedi itu perlu, pengorbanan wajib, dan bencana alam itu ada. Ini yang dinamakan kereta api yang keluar dari relnya. Kejadian ini seperti keberangkatan tukang bikin kue. Yang berani menginovasi prodaknya dengan tidak takut kalau-kalau tidak disebut kue. Inilah yang menghadirkan karya tandingan, bukan sekadar mengikut sejarah.

Maka persiapan perlu, ancang-ancang harus, kuda-kuda diadakan sebelum menempelkan tapal di kaki kuda. Dan keberanian mencipta, dari kilatan cahaya inspirasi itu akan terasa lebih, tidak sekadar kedalaman bahasa. Kita sering dan sudah lama dikelabuhi bentuk-bentuk baru, yang senyatanya itu-itu saja. Keseluruhan tulisan ini mungkin salahsatu jawaban, bahwa Kitab Para Malaikat sejatinya bukan “puisi.” Karena ada yang mengatakan itu puisi, barulah sebagai jawaban di masa sekarang. Padahal di sana, telah terjadi tragedi matinya suatu “puisi.”

Sekali lagi, “bunuh diri itu perlu,” kalau ingin mengetahui sejauh mana keberanian dinilai bobrok, atau tidak berguna di depan publik setelah kematian. Saat itu tidak ada pembela sama sekali, kalau bukan kedirian karya tersebut yang mandiri tanpa pamrih. Tidakkah keperawanan jiwa lebih dicari? Dan bukankah karya-karya yang seronok, yang mudah dikunyah, tidak lagi mengundang “penasaran?”

Karya sastra memungkinkan menggali kerahasian dirinya, untuk selalu mereka mencari, kedalaman murni mataair hayati. Sebab itu, pandangan subyek kita senantiasa hadir, kalau eksis di mana saja. “Kamu bisa tidak menyukai saya, tetapi pengaruhku takkan terbantah,” itulah perumpamaan sikap Nietzsche. Kesadaran itu sejenis anak yang kecil bermain. Apakah orang tua percaya? ia mendapati begitu banyak temuan? Ketika anak muda bekerja. Apa orang tua yakin seratus persen, bahwa ia bakal sukses besar? Ketika orang gagal membanting tulang. Apakah mereka percaya, bahwa ia lebih sukses daripada pemerhati yang sesaat?

Buah kemenangan tidak luput dari jerih payah keyakinan serta kesungguhan bekerja, meski ruang-waktunya mereka bantah. Sudah cukup cemooh sebagai penggerak yang menghadirnya seolah tiba-tiba. Namun tidakkah ketika insan menempa kesangsian dirinya dengan berulang, akan menemukan keniscayaan? Kebulatan seluruh antara ragu dan kenyataan. Keadaannya bersatu, dalam integritas dirinya sebagai tempaan -kematangan.

Saat nalar dan perasaan bertambah, menciptakan formula keseimbangan jiwa. Maka pemungkiran, pengundatan dan kesangsian terhilangkan bunyinya. Terhadap itu semua, penjelajahan kedirian menjadi kilatan-kilatan kesadaran. Yang menampar setiap muka, memecut sapi pongah untuk menggaru sawah, menyuburkan tanah dengan langkah-langkah. Inilah jalan yang bernama kemakmuran jiwa.

Pada prolog; Faust-nya Goethe, ada larikan berbunyi begini; “Hati yang teguh menjadi tampak jauh, dan apa yang hilang bagiku menjadi nyata.” Kalau memaknai dua potong kalimat itu, seakan tidak bertemu dalam satu bidang yang sama menuju kesepakatan berjumpa. Tetapi, jika menelisik ke dalam inti tubuh permasalahannya.

Apa yang terhidang, “hati yang teguh menjadi nampak jauh.” Ialah bukan keputusasaan yang terus dihentikan langkahnya. Namun usaha sejauh-jauhnya mendekati realitas kerja demi mendapati temuan, yang mulanya tiada manfaat keculi lelah. Ini semacam kunjungan kasih kepada tercinta. Dan apa yang tersampaikan di tengah jalan, merupakan perolehan yang berharga, untuk waktu serta tempat yang berbeda.

Ketika “apa yang hilang bagiku menjadi nyata,” merupakan bulir-bulir intan, tambang emas kenangan yang hadir dalam kebakuan bentuk membatu, menstupa. Sebab bagaimana pun awalnya pengalaman dari keraguan, diakhirnya tentu kepastian. Bertemunya manfaat di saat-saat tepat, atas tabungan memori silam, bacaan yang lalu atau peyelidikan masa lampau.

Lalu hadirlah capaian Plato dalam bukunya yang bertitel Republik; “Genggamlah kebenaran sebagai satu kesatuan, dan dalam cara yang benar, maka engkau tidak akan menemui kesulitan memahami berbagai ucapan sebelumnya, dan semuanya tidak lagi tampak aneh bagimu.”

Dari sini, kita dikehendaki melahap hidangan itu bukan menurut ukuran kelembekan lambung masing-masing. Tetapi bagaimana berbagi dengan yang lain, agar bisa merasakan bersama, meski kadar resapannya berbeda, setidaknya gula tetap manis. Untuk sampai tahap ini, harus sadar kata-kata Machiavelli, bahwa; “Kemampuan insan dikenalikan lewat dua cara, pertama kemampuan memilih lokasi untuk membangun kota, kedua ialah kemampuan mengorganisasikan hukum.”

Kalau tubuh ibarat negara, maka kemampuan memilih lokasi untuk membangun kota, kemampuan menyelidiki hal-hal yang kita sanggup mengangkatnya. Sehingga apa yang tampil bukan suatu hasil kegagapan, namun telah terpendam sejak lama dalam keakraban kerja. Jikalau tampil dalam suatu karya, kilatan itu tersampaikan bukan potret semata, tetapi gambaran dari ahli tukang foto yang professional, yang menyentuh ketajaman detail. Ini dibawah kendali daripada kemampuan mengorganisasikan hukum.

Hukum disini, aturan-aturan di dalam diri yang tersepakati sebagai kacamata standar terhadap suatu karya. Sehingga tanggup jawab itu ada, dan perlu adanya lelatihan keras, sampai hasilnya melewati persyaratan secara ketat. Tidak asal seruduk aman lantas bablas, maka pertimbangan estetik, etika, nada suara, nafas kata, gaya bahasa atau tampilan bentuk muka. Serta yang teridam menjadi kebenaran yang tampil dengan pertimbangan paripurna. Tidak menggencet sisi-sisi lain atau melakukan pembunuhan terhadap gagasan kecil, meski itu seolah-olah perlu.

Apa yang tersampaikan di atas, seperti tarian dramitisasi pemikiran menyoal judul, tetapi bukan sewarna permainan dadu yang dilakukan Kurawa dan Puntadewa. Yang demi hak milik negara atau di sini gagasan, dan demi kecantikannya Dewi Drupadi. Menuju penaklukan kerajaan Amarta, masuk wilayah Astina. Tetapi, “bila cinta dan penalaran saling berpelukan, akan terciptalah sebuah dunia baru,” Iqbal.

Ini yang terharapkan, bukan berasal dari emosional sesaat ego, namun perasaan yang berkendara kesadaran, kepada ruang yang dibangun. Temuan dunia baru, tidak berdasarkan agresi, integrasi atas ancaman. Tetapi kesadaran membangun kebaikan bersama. Bukan meninggikan identitas kepenyairan dengan mengesampingkan yang lain.

Pada puncaknya, pemaknaan dihasilkan renung kemanusiaan. Yang terus berjalin demi pemahaman lebih bening, bukan gelembung air yang pecah kala tersentuh. Ibaratkan karya terbaik itu pandangan elang laut, yang sanggup menembus gerakan ikan dari jarak cukup jauh. Buah intuisi, daya sugesti yang telah terlatih.

Atau gerak penciptaan itu dari kumpulan getaran, sinyal yang menyambung kabel saat hendak mencipta dari beberapa kemungkinan lalu. Selihai menangkap bola, setelah mengamati ke mana titik sasaran, seperti ungkapan Nietzsche, “Perasaan mula-mula tidak memiliki obyek yang didefinisikan dengan jelas. Obyek itu dibentuk belakangan. Atmosfir suasana hati musikal tertentu mendahului, dan ide puitis datang sesudahnya.”

Mungkin itulah insting penjaga gawang jaman. Tentunya tidak mau kecolongan, lalai merekam sedapatnya, saat terjadi perasaan bertemu. Sebab itu, pengulangan bukanlah sesuatu yang muspro, jika memiliki tekanan titik temu yang dimaksud. Bukan sekadar perpanjangan tangan atau rantai kapal yang nganggur tidak terpakai oleh usang.

Maka jadilah pemain yang tidak bosan-bosannya berlatih, meski belum tahu kapan bertanding. Sudahkah permainan dimulai? Ini demi menjaga daya gairah. Tidak semuanya berasal dari gerakan luar, tetapi membongkar kesatuan diri untuk menjadi momentum yang diterjemah. Sebagai pelaku yang tidak terbatas masa-masa, usia juga bidang kajian.

Cobalah simak apa yang dikatakan Sartre, saat mengantari bukunya Franth Fanon; “Selagi dia menunggu kemenangan nyata, atau bahkan tidak mengharapkan sama sekali, dia meletihkan musuh-musuhnya sampai mereka muak terhadapnya.” Perasaan muak itu muka lain dari kebosaan, putusasa, kepengecutan, juga hal-hal yang menandakan lemahnya mental. Yang bukan dihasilkan dari gairah murni memperbaikan kualitas diri.

Tapi tampakan manisan semata, gagah-gagahan di podium, bursa karya agar dibilang mentereng. Sungguh ini lepas satu-persatu, tidak terasa dilucuti, terbius daya rayu tepuk tanda. Sedangkan bermain tanpa beban itu, anak kecil yang lupa kalau punggungnya tersengat matahari, saat layang-layangnya merasai grafitasi, serta hembusan bayu nurani. Bocah itu penuh daya pikat, tanpa meninggalkan fikiran-fikiran nakal.
—–

13 Maret 2006, Senin Wage.
*) Pengelana dari desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan, JaTim.

JAKARTA INTERNATIONAL LITERARY FESTIVAL (JILFest) 2008

Sumber, http://www.jilfest.org/

Jakarta sebagai ibukota negara, pusat pemerintahan, kota internasional, dan berbagai predikat lainnya — yang melekat pada reputasi dan nama baik Jakarta yang merepresentasikan citra Indonesia — memiliki arti penting tidak hanya bagi warga Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia, tetapi juga bagi masyarakat dunia. Artinya, posisi Jakarta sangat strategis bagi usaha mengangkat keharuman Indonesia serta menjalin kerja sama sosial budaya untuk memperkenalkan Indonesia dalam pentas dunia. Jakarta — yang juga dapat dimaknai sebagai miniatur Indonesia — dapat digunakan sebagai pintu masuk bagi masyarakat dunia untuk mengenal berbagai kebudayaan etnik yang tersebar di wilayah Indonesia. Oleh karena itu, penting artinya mendatangkan masyarakat dunia ke Indonesia melalui Jakarta. Dalam kaitan itu penulis (sastrawan) sesungguhnya alat yang efektif untuk memperkenalkan dan mempublikasikan Jakarta ke masyarakat manca negara. Dalam hal itulah program Jakarta International Literary Festival (JILFest) 2008 dapat berdampak luas tidak hanya untuk kepentingan Jakarta tetapi juga untuk kepentingan Indonesia secara keseluruhan. Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan sebuah program acara yang memungkinkan harapan ideal itu dapat tercapai.

Nama Kegiatan

Kegiatan ini bernama Jakarta International Literary Festival (JILFest) 2008.

Tujuan Kegiatan

* Mengangkat citra Jakarta sebagai kota wisata budaya di mata masyarakat Internasional.
* Memperkenalkan keanekaragaman kultur etnik yang tersebar di wilayah Nusantara, dengan Jakarta sebagai pintu masuknya.
* Mengangkat citra Jakarta dan citra Indonesia secara keseluruhan sebagai salah satu tujuan wisata Internasional.
* Menjalin kerja sama antar penulis Internasional.
* Membuka kemungkinan kerja sama antar-sastrawan Indonesia dan sastrawan Internasional.
* Memperkanalkan sastra Indonesia beserta karya-karyanya ke masyarakat sastra Internasional.
* Memperkenalkan lebih dekat Jakarta sebagai kota budaya dengan berbagai kekayaan hasil cipta budayanya kepada masyarakat dunia melalui peranan penulis dari mancanegara.
* Mempromosikan Jakarta sebagai tempat yang menarik untuk latar penulisan karya-karya sastra dan produksi seni lainnya.

Bentuk Kegiatan

Pertemuan sastrawan internasional, seminar sastra internasional, lomba penulisan cerpen dan puisi berlatar Jakarta, pertunjukan seni, penerbitan buku, bazaar buku sastra, serta wisata budaya.

Pertemuan Sastrawan Internasional

Pertemuan sastrawan internasional ini akan menjadi ajang silaturahmi sekaligus musyawarah untuk mencari bentuk-bentuk kerja sama baru di bidang sastra guna meningkatkan kehidupan sastra serta peran sastrawan dan karyanya di forum-forum sastra internasional.

Seminar Internasional

Tema seminar ini adalah Peran Jakarta dalam Kehidupan Sastra Duni. Menampilkan pembicara dan peserta aktif (undangan) dari dalam dan luar negeri. Nama-nama pembicara yang dijadwalkan tampil adalah DR. Katrin Bandel (Jerman), DR. Ernst Ulrich Kratz (Inggris), DR. Maria Emrl (Portugal), DR. Henry Chamberlouis (Prancis), DR. Evgeniia Sergeevna Kukushkina (Rusia), Prof. DR. Harry Aveling (Amerika Serikat, Australia), Orhan Pamuk (Pememang Nobel Sastra, Turki), Prof. DR. Koh Young Hun (Korea), DR. Mikihiro Moriyama (Jepang), DR. Moh. Saleh Yafaar (Malaysia), Jamal Tukimin, MA (Singapura), dan Prof. DR. Budi Darma (Indonesia). Rincian topik seminar beserta pembicaranya terlampir. Nama-nama peserta aktif yang akan diundang juga terlampir.

Lomba:

* Lomba menulis cerpen berlatar Jakarta.
* Peserta lomba warga negara Indonesia dan warga negara asing, namun ditulis dalam bahasa Indonesia.
* Pemenang lomba akan diundang untuk mengikuti JILFest 2008 di Jakarta.
* Karya-kaya hasil lomba akan diterbitkan dan diluncurkan serta didiskusikan di dalam JILFest 2008 di Jakarta.
* Para pemenang dan buku hasil lomba akan dibawa keliling ke negara-negara pemenang dan nominator untuk didiskudikan dan dipentaskan.

Penerbitan buku:

* Buku yang bersisi makalah Seminar JILFest 2008.
* Buku Antologi Cerpen dan Puisi karya Peserta JILFest 2008.
* Buku Antologi Cerpen karya Pemenang Lomba Menulis Cerpen JILFest 2008.
* Peluncuran buku dilaksanakan pada acara pembukaan JILFest 2008.
* Buku akan dibahas di tengah-tengah seminar JILFest 2008.
* Buku dan pemenangnya akan dibawa keliling ke negara-negara pemenang dan nominator untuk didiskusikan dan dipentaskan.
* Diupayakan, buku-buku tersebut akan diterbitkan dalam edisi bahasa Inggris.

Bazaar buku sastra:

Bazaar buku dilaksanakan selama acara berlangsung, 11-14 Desember 2008, di kawasan Kota Tua, dengan melibatkan para penerbit buku sastra di Indonesia.

Pementasan:

Pembacaan puisi, pembacaan dan pementasan cerpen, musikalisasi puisi yang melibatkan semua sastrawan internasional, serta pertunjukan seni Betawi. Rincian menu acara pertunjukan terlampir.

Wisata Budaya:

Peserta undangan akan dibawa ke Situ Babakan, Pasar Seni Ancol, dan obyek-obyek wisata budaya lain di Jakarta. Peserta akan diminta untuk menuliskan pengalaman dan kesan masing-masing dalam mengikuti JILFest 2008 dan Wisata Budaya untuk dipublikasikan di media massa di negara masing-masing.

Jumlah Peserta

Acara JILFest 2008 ditargetkan akan diikuti sedikitnya 150 orang peserta (di luar pembicara) – sastrawan, penyair, cerpenis, eseis, novelis, wartawan, penerbit, pengajar, dan aktifis sastra – dari sekitar 30 negara di dunia.

Waktu dan Tempat Pelaksanaan:

Waktu: Kamis-Minggu, 11-14 Desember 2008.
Tempat: Kawasan Kota Tua, Jakarta.

Susunan Acara:

Susunan acara terlampir.

Panitia Pelaksana:

Kegiatan JILFest 2008 diselenggarakan oleh Komunitas Sastra Indonesia (KSI) dan Komunitas Cerpen Indonesia (KCI), bekerja sama dengan Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Provinsi DKI Jakarta.

Susunan Panitia Pelaksana:

Susunan Panitia Pelaksana JILFest 2008 adalah wakil-wakil dari Komunitas Sastra Indonesia (KSI), Komunitas Cerpenis Indonesia (KCI), serta Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Provinsi DKI Jakarta.

Sekretariat Panitia:

Gedung Nyi Ageng Serang, Lt. 6,
Jl. HR Rasuna Said, Jakarta Selatan
Phone/fax: (62-21) 5263231.
Web site: www.jilfest.org. Email: jilfest2008@yahoo.com.
Contact Person: 0818992479 (Yusuf), 0818807503 (Ima), 081315382098 (Ahmadun), 081586487530 (Maman)

Jakarta, September 2008
PANITIA PELAKSANA
JILFest 2008

Sajak-Sajak Liza Wahyuninto

Narasi Rindu

Tertunduk membungkuk kau memandangku
Beranikan diri kerlingkan indah dua bola
Tempat mengalir samudera

Aku terangguk dengar lima tanya berlalu
Walau tak berharap ada jawab terutara

Usah menunduk, sayang
Aku bukan dewa kaupun manusia
Tegaklah laksana alif
Biarkan ku menjadi hamzah di mahkotamu

Berlalu diri dalam tegap
Tanpa ada dawai mengalun
Pertemuan selalu sekejap
Selebihnya drama narasi rindu tak berkesudahan

May Ziadah tiada pernah bersua Gibran
Ia takut kelak kan jadi beban
Pertemuan terbaik adalah pertemuan mata
Karena di dalamnya tak ada dusta

Tahukah kau apa yang terjadi
Bila Rumi temukan Tabriz
Saat itu matahari mati dan rembulan padam

Tapi sudahlah,
Itu dongeng purba bagi pecinta
Laila sihir Qais jadi gila (majnun)
Rama pertaruhkan nyawa demi Shinta
Cleopatra bungkukkan lutut raja

Dan takluklah Nil ke tangannya
Kecantikan abadi ada di hati
Karnyalah mereka rela berkorban

Tanyakan pada hatimu
Sudahkah ada yang berkorban untukmu?

Tak mawar tak berduri

Malang, 18-19 Juli 2008



Aku Cinta

Aku takut merangkainya
Tinta inipun tak pantas menuliskannya

Aku pengecut
Bukan salahku jika kelak ia beralih mata

Lalu, pada siapa harus aku wakilkan
Bahwa aku cinta
Ia…

Tak ada mawar tak berduri

Malang, 21 Juli 2008

Rabu, 22 Oktober 2008

SEKOLAH MENULIS PADA GOLA GONG

Sutejo

Gola Gong adalah salah seorang pendiri dan pengajar Kelas Menulis Rumah Dunia (KMRD) yang telah begitu banyak melahirkan penulis muda berbakat di tanah air (dan ini merupakan bagian mimpi besar hidup saya). Penting diketahui, tahun kedua sudah menerbitkan kumpulan cerpen Kaca Mata Sidik (Senayan Abadi, 2004), Qizin La Aziva melahirkan novel Gerimis Terakhir (DAR! Mizan, 2004) dan Ibnu Adam Aviciena dengan karyanya berjudul Mana Bidadari Untukku (Beranda Hikmah, 2004).Tahun kelima, karya tulis mereka beterbaran di majalah dan koran lokal Jakarta. Tiga antologi cerpen dari penulis angkatan pertama sampai kelima dipajang di rak-rak toko buku: Padi Memerah (MU3, 2005), Harga Sebuah Hati (Akur, 2005), Masih Ada Cinta di Senja Itu (Senayan Abadi, 2005). Tahun 2005 itu, kedua siswanya, Qizink La Aziva dan Ade Jahran merintis sebagai wartawan lokal Jakarta (lihat Gola Gong, Menemukan Ide, MataBaca edisi September 2005:36-37).

Ada banyak hal menarik yang dapat dipelajari dari pengalaman mengajar dan proses kreatif Gola Gong. Pada hal, sejak awal jelas ia mengatakan bahwa dia tidak memiliki gen kepenulisan (ayah guru olah raga dan ibunya besar dari keluarga petani). Tapi Gola memiliki semangat yang menggebu-gebu untuk menjadi pengarang (dan ini, sekali lagi, merupakan bagian motivasi hidup saya). Bagaimana dengan Anda? Keinginan menggebu, melahirkan usaha, usaha menerbitkan etos, etos melahirkan hasil dan karya, karya menerbitkan nama. Inilah hal pertama yang paling menonjol dapat dipetik dari pengalaman proses perjalanan kepenulisan Gola Gong.

Kedua, pada pengalaman pembelajaran menulis di KMRD itu ia selalu mengenalkan dunia jurnalistik pada muridnya selama satu bulan dan pada bulan kedua dikenalkan rumus 5W+1H, yang dalam pengalaman Gola dapat pula diterapkan dalam mengarang. Hal itu diberikan selama satu bulan. Ada beberapa pertanyaan penggali yang dikemukakan Gola (a) apakah Anda pernah bepergian jauh, dan (b) sukakah Anda membaca? Begitulah, pertanyaan mendasar yang selalu ditanyakan. Hal ini merupakan bahan dasar seseorang akan memasuki dunia menulis (fiksi).

Ketiga, dalam memotivasi penulis muda Gola selalu menyarankan begini (a) janganlah duduk di depan komputer dengan kepala kosong karena hanya membuang waktu saja, (b) ketika hendak menulis siapkan dulu semua: bahan, sinopsis, detailnya: alur cerita, tokoh, konflik, latar, dan karakter para tokoh, dan (c) seseorang ketika menulis sudah memasuki tahap produksi. Apa yang diproduksi? Itulah hakikatnya yang disiapkan pada dua hal sebelumnya (a dan b). Namun jika kita belajar dari penulis mapan macam Budi Darma, atau penulis mutkahir macam Dinar Rahayu dan Nukila Amal, praktis persiapan teknis demikian tidak terjadi. Sebab, bagi penulis ini menulis adalah sebuah proses yang mengalir. Bagaimana? Nggak usah bingung, itulah nanti yang akan Anda alami ketika sudah leading menjadi penulis. Saat demikianlah, yang disebut dengan mooding.

Lalu apa lagi yang dapat diambil? Buatlah buku harian. Ini penting, karena dengan buku harian ini kita berlatih dan mengolah kata. Dalam pengalaman Danarto, hal itu tidak saja melatih, tetapi juga sebagai bank inspirasi yang menarik.

Keempat, membudayakan membaca. Dalam bahasa analogis Ismail Marahimin, membaca seperti memberikan berbagai-bagai “tenaga dalam” dalam menulis. Di sinilah Gola Gong berkesimpulan, membaca adalah sarana utama menuju kepiawaian menulis. Alfons Taryadi mengilustrasikan dua keterampilan ini sebagai “dua keasyikan yang saling terkait” (baca Membaca & Menulis, MataBaca April 2003:11-12). Hal itu diungkapkan ketika melaporkan pengakuan empat perempuan penulis masing-masing Djenar Maesa Ayu, Fira Basuki, Dewi Lestari, dan Violetta Simatupang di TB Gramedia Matraman.

Kelima, kesulitan mengawali tulisan dapat diatasi dengan etos keras dan semangat belajar yang tiada henti. Gola Gong, secara tersirat dapat dipahami bahwa kesulitan pengawalan tulisan akan dapat teratasi dengan belajar keras, dengan membaca, dan dengan mencermati karya-karya orang lain. Jika kita tak pernah membaca, mungkin ini merupakan kesalahan terbesar, karena membaca ibarat pintu segala “temuan” berbagai kemungkinan yang menggerakkan “tenaga dalam” (pinjam bahasa Ismail Marahimin). Dalam teori psikologis, membaca memang dapat mempengaruhi alam bawah sadar yang berpengaruh penting terhadap terbentuknya kepribadian kita.

Keenam, dapat diawali dari mana saja. Ibarat kita bepergian ke pantai, dan di sana kita temukan aneka hal: keindahan pantai, keragaman pengunjung, ombak besar, perahu, nelayan, pasir, batu, ataupun. Kita dapat mengawali dari mana saja. Dari perahu, misalnya, dapat memancing imaji yang sangat panjang: (a) bukankah perahu simbol perjalanan, (b) perahu simbol kehidupan itu sendiri, (c) perahu metafor perempuan, (d) perahu lukisan beratnya perjalanan hidup yang penuh gelombang, dan (e) bukankah ada peribahasa yang mengatakan bahwa perkawinan itu seperti mengarungi bahtera di lautan.

Ketujuh, pentingnya mengoptimalkan pengalaman jurnalistik. Goenawan Mohammad, Seno Gumira Adjidarma, Oka Rusmini, Arswendo Atmowiloto, Bre Redana, Veven Sp Wardhana, Ayu Utami adalah sedikit nama yang berbasis jurnalistik kemudian sukses menjadi penulis. Bahkan Albert Camus, pemenang nobel bidang sastra 1957 adalah seorang penulis besar yang sukses pula sebagai kolumnis di Combat.

Kedelapan, manfaat berobservasi dalam bepergian. Hal ini dapat dimanfaatkan sebagai model mendeskripsikan, mengilustrasikan, dan melibatkan emosi dalam berbagai persoalan yang ditemukan. Banyak penulis yang memanfaatkan pengalaman ini. Beni Setia, penyair Caruban asal Bandung, pernah bercerita kalau ia tidak mempunyai ide menyempatkan bepergian ke Surabaya, naik bus kota, sampai menemukan ide yang dapat dikembangkan menjadi sebuah tulisan.

Akhirnya, dengan membaca dapat dimanfaatkan pula sebagai bentuk observasi yang lain. Dengan banyak membaca laporan perjalanan orang, misalnya, akan menginspirasikan akan makna bepergian dengan membaca sebagai observasi. Laporan-laporan feature media cetak macam feature perjalanan, feature berita, feature human interest, feature wisata, dan feature sejarah merupakan sarana jurnalistik yang dapat dioptimalkan. Nah, nggak usah bepergian sendiri, lewat membaca ragam feature ini sama artinya kita telah berselancar ke samudera perjalanan dengan ketajaman observasi dan imajinasi.

Kesimpulannya, apa yang terpenting dapat disarikan dari pengalaman Gola Gong? Ternyata, (a) menulis itu dapat diajar-binakan, (b) menulis butuh etos, dan (c) bakat bukanlah ukuran. Dengan begitu mengeluh adalah hal yang perlu dibuang jauh. Menulis adalah sebuah gerak menapak, bukan laku tuntun yang menggantungkan pada kekuatan lain. Tapi sebuah ghirah abadi bersumber pada inner motivation seseorang. Nyala api yang senantiasa akan menghidupkan dan mencerahkan gerak imajinasi dan pikir calon-calon penulis. Silakah melangkah! Bersekolahlah pada pengalaman Kelas Menulis Rumah Dunia ini.***

*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos

Selasa, 21 Oktober 2008

Psikotik dan Penyair Psikotik

Muhammad Aris
Jawa Pos, 15 Juni 2008
Tanggapan untuk K.Y. Karnanta

Masih perlukah sebuah workshop penulisan sastra? Pertanyaan K.Y. Karnanta (JP, 25 Mei 2008) tersebut merupakan klaim yang gegabah. Klaim yang tak ubahnya sebuah kekesalan, rasa sakit hati, melihat sesuatu dari satu sisi saja. Karnanta kurang begitu memahami apa yang dinamakan dengan workshop.

Sejak dulu, workshop penulisan sudah ada. Perbedaan dari workshop saat ini hanya soal ruang. Pada era 70-an, Umbu Landu Paranggi di Jogjakarta mempunyai kelompok workshop yang terkenal dengan Persada Study Klub. Kelompok workshop tersebut melahirkan sastrawan-sastrawan berbobot seperti Emha Ainun Nadjib, Linus Suryadi A.G., Ashadi Siregar, dan banyak lagi.

Umbu dalam kelompok tersebut melakukan workshop secara langsung dan intens. Umbu menjadi seorang ''guru'' dan kemudian dikenal dengan gelar ''Presiden Penyair Malioboro''. Sebab, komunitas para penyair itu biasa mangkal di emperan Jalan Malioboro.

Era 80-an di Batu, yang saat itu masih bagian dari Malang, terdapat komunitas bernama HP3N dengan pelopor Putu Arya Tirtawirya. HP3N bergerak secara intens melakukan workshop internal. Proses penulisan, bagaimana strategi menembus media, adalah beberapa materi workshop yang digarap. Hasilnya, nama-nama sastrawan bermutu pun diakui. Misalnya, Heri Lamongan, Aming Aminuddin, Diah Hadaning, Wahyu Prasetyo, Tan Tjing Siong, dan banyak lagi.

Era 90-an di Surabaya, Komunitas Luar Pagar yang melahirkan genre puisi gelap pun demikian. Secara intens, komunitas Luar Pagar mengadakan workshop secara langsung dan terbuka. Tiap hari, setiap anggota seperti wajib berkarya, baik puisi maupun cerpen. Perbedaan dari kelompok yang digulirkan Umbu, di komunitas Luar Pagar tidak ada yang menjadi ''guru''. Semua anggota komunitas berhak bersuara, bahkan cenderung menghakimi karya dari sesama anggota. Lahirlah nama-nama Indra Tjahyadi, Imam Muhtarom, dan lain-lain.

Era 2000-an, workshop penulisan berganti lagi. Era itu ditandai gencarnya karya cyber sastra. Karya yang lebih terbuka untuk diapresiasi atau dihakimi. Karya sastra dengan berbagai genre berkelibat di alam maya. Semua berhak menulis. Semua berhak menjadi sastrawan. Meski terjadi perdebatan tentang karya sastra di media cyber, ternyata juga melahirkan sastrawan-sastrawan yang tak kalah berkualitas dari media cetak (baca: surat kabar atau majalah).

Beberapa contoh uraian tentang workshop itulah yang tidak dipahami Karnanta. Dia hanya memahami bahwa workshop adalah kegiatan seremonial resmi. Workshop hanya ada di ruang-ruang ber-AC dengan mikrofon dan slide. Workshop hanya diadakan jika bertepatan dengan momen-momen tertentu atau tertata dengan agenda yang jelas.

Workshop adalah pembelajaran. Pembelajaran adalah sebuah proses. Dalam proses pembelajaran tidak ada yang salah. Pembelajar atau yang sedang belajar berhak dan boleh berlaku menjadi narsistik, bersahaja, atau bahkan rendah diri. Karnanta sekali lagi kehilangan pemahaman tentang hal itu. Dia bersikap naif, seolah-olah workshop penulisan, khususnya seni sastra, adalah kerja tanpa hasil, sia-sia, hanya karena jengah dengan sekian workshop ''resmi'' yang selama ini amat minim dikenalnya.

Psikotik dan penyair tentu berbeda. Untuk psikotik, meski bisa berkarya atau menulis sejenis puisi, tidak dengan serta-merta tulisan yang dibuat psikotik tersebut bisa disebut puisi. Puisi dengan media kata-katanya bergerak pada tataran kesadaran akan bahasa. Pikiran, meskipun ditekan sedemikian rupa sampai batas ambang atau yang sering disebut sebagai alam bawah sadar, tetap saja mengendalikan tulisan.

Di sinilah peran media bahasa yang tidak bisa dikesampingkan. Dan hal itu tidak dimiliki psikotik. Kesadaran akan bahasa perlu diragukan. Kemunculan kata-kata dari goresan tangannya cenderung tidak beraturan, tanpa konsep, dan ngawur.

Berbeda dari penyair psikotik. Kesadaran bahasa, konseptual penulisan oleh penyair psikotik telah dikuasai dan tidak terlepas. Kerja menuju alam bawah sadar, entah dengan pengaruh alkohol, obat-obatan, atau sejenisnya, disadari betul guna menekan kesadaran pikiran. Kata-kata yang kemudian muncul bukan sekadar kata-kata mana suka, tapi hasil trance terhadap penggalian alam-alam mimpi dan/atau alam bawah sadarnya. Hal itu bisa ditengarai pada kaum penyair surealis semacam Mallarme, Rimbaut, dan sebagainya.

Ketika pemahaman terhadap hal itu salah kaprah, yang terjadi seolah-olah seorang psikotik bisa dengan mudah kita sebut penyair, seperti yang diungkapkan Karnanta yang dengan rela mau belajar padanya. Padahal, dalam uraiannya, dia sempat berujar, psikotik adalah orang gendheng. Dan klaim itu dijadikan acuan yang menggelikan Karnanta sebagai upaya penolakan workshop sebagai media pembelajaran.

Kalaupun Karnanta bergerak dari workshop ''resmi'', semacam seminar yang diadakan di ruang-ruang tertentu, asumsi dia tidak beralasan. Dia hanya melihat beberapa workshop yang baginya amat merugikan. Padahal, hal tersebut hanya karena faktor pemahamannya yang terlalu dini serta terburu-buru.(*)

*) penyair Luar Pagar Surabaya

LORONG GELAP YANG MENGASYIKKAN

Maman S Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Hamparan semangat menggelegak. Manakala ia tak dapat ditahan dan pecah, seketika itu pula ekspresinya muncrat berhamburan, bercipratan, menerabas apa pun. Lalu hinggap di berbagai tempat yang dijawilnya sesuka hati. Mungkin sama sekali ia tak bermaksud melakukan tegur-sapa, say hello, atau bahkan juga gugatan. Ia sekadar hendak merepresentasikan gumpalan kegelisahan yang lama bersemayam dan mengeram dalam kerajaan gagasannya. Boleh jadi ia lahir atas kesadaran, bahwa gagasan yang sekian lama dipenjara, bakal berakibat buruk pada denyar pikiran dan denyut batinnya. Mungkin juga ada kesadaran lain, bahwa tuhan tidak melarang makhluknya berkisah tentang apa pun. Bukankah tidak ada undang-undangnya yang menyatakan bahwa tuhan kelak akan menghukum manusia yang mengumbar imajinasinya bergentayangan ke berbagai wilayah imajinasi yang lain? Bahkan, sebaliknya, tuhan menempatkan manusia sebagai makhluk yang berada lebih tinggi derajatnya dari makhluk lain, justru lantaran faktor imajinasi itu.

Dalam konteks itu, Nurel Javissyarqi dalam antologi puisinya, Kitab Para Malaikat seperti merepresentasikan kesadarannya tentang wilayah imajinasi. Cermati saja segenap larik yang dibangunnya dalam antologi puisinya ini. Ia begitu deras menghamburkan gelegak semangatnya. Ia laksana sengaja menikmati betul kebebasannya berekspresi. Maka, yang dapat kita tangkap dari larik-larik puisinya itu adalah kebebasan menguak serangkaian perkara (: tema) sesuka—semau nalarnya mengatakan itu. Ia bagai tak peduli konvensi. Yang dilakukannya adalah pembebasan imajinasi dari kerangkeng yang dianggapnya membelenggu. Maka, berhamburanlah model reduplikasi yang terasa lebih segar. Selain itu, muncul keriuhan atas sejumlah gagasan yang melompat-lompat, nemplok di sana-sini, dan bergentayangan ke belahan dunia lain yang tak terbayangkan. Itulah gerakan pembebasan imajinatif, kebebasan berpikir, kebebasan berekspresi yang sudah punya sejarahnya sendiri yang begitu panjang dan melelahkan.
***

Masih ingatkah Socrates yang memilih minum racun ketimbang mengkhianati keyakinannya berekspresi? Plato, Aristoteles dan sederet panjang pemikir masa lalu adalah manusia yang telah menyemarakkan sejarah panjang kebebasan berpikir, berekspresi, berimajinasi. Dari sanalah kebudayaan dan peradaban manusia menggelinding deras tak terbendung. Ingat pula Giordano Bruno yang dibakar hidup-hidup lantaran perjuangannya mengusung kebebasan berpikir. Galileo Galelei, Rene Descartes, Copernicus, dan sejumlah nama lain dalam deretan pemikir Barat adalah tokoh-tokoh yang bergerak dalam perjuangan pemikiran. Dari sanalah kemudian ilmu pengetahuan berkembang semarak hingga manusia mempunyai kemampuan mengejawantahkan jati dirinya secara paripurna. Hingga kini nama-nama itu terus bergentayangan, meskipun sejumlah tokoh lain, macam Ferdinand de Saussure, Roland Barthes, Derrida, hingga para penganjur postmodernisme –poststrukturalisme— telah bertengger kokoh menggantikannya.

Dalam dunia Timur, deretan nama-nama itu tidak kalah panjangnya. Ibn Thufail, Ibn Arabi, Ibn Sina, Al-Hallaj, Al Ghazali, Muhammad Iqbal sampai ke belahan bumi kita –Hamzah Fansuri dan Syekh Siti Jenar— adalah tokoh-tokoh yang langsung atau tidak, telah ikut mengubah dan menanamkan tonggak pemikirannya dalam kebudayaan—peradaban dan kesusastraan Indonesia. Jadi, keliaran dan kehendak mengusung kebebasan kreasi sungguh bukan hal yang baru. Persoalannya tinggal, apakah ia hendak menghancurkan paradigma lama –menurut gagasan Thomas Khun—dan memancangkan paradigma baru atau sekadar melakukan pemberontakan.

Dalam dunia sastra, siklus empiris atau lingkaran paradigma itu dihembuskan dalam konsep ketegangan antara konvensi dan inovasi. Tarik-menarik antara konvensi dan inovasi sesungguhnya bersumber pada kehendak mengekspresikan kebebasan kreasi, melakukan eksplorasi kreatif, dan mengeksploitasi berbagai kemungkinan estetik. Dalam hal ini, licentia poetica didasarkan pada semangat menawarkan bentuk baru, kreativitas baru, dan memojokkan konvensi sebelumnya menjadi sesuatu yang dipandang sudah out of date, usang, kadaluwarsa. Maka, yang muncul kemudian adalah kebaruan yang dalam karya sastra (teks) diselusupkan pada sejumlah unsur intrinsiknya, meski dengan tidak menutup rapat-rapat pada aspek ekstrinsikalitasnya. Itulah dunia sastra, sebuah dunia yang di sana berbagai macam peristiwa kreatif dihadirkan dengan kesadaran estetik yang erat kaitannya dengan kegelisahan kultural.

Dalam peta perjalanan kepenyairan Indonesia, deretan nama penyair garda depan, seperti Amir Hamzah, Chairil Anwar, Sutardji Calzoum Bachri, Afrizal Malna dan nama-nama lain yang bertaburan dalam peta perpuisian Indonesia, pada hakikatnya juga bergulat dalam tarik-menarik antara konvensi dan inovasi.

Meski begitu, kita juga tidak menutup mata pada bermunculannya para penyair kontemporer kita yang juga mencoba melakukan pembelotan, pemberontakan atas nama inovasi, atas nama kreativitas, atas nama pembaruan. Kadangkala, ia mengusung semangat sekadar beda dan eksperimental. Tidak apa-apa. Tokh, tuhan pun tidak melarang umat manusia melakukan itu. Jadi, sah-sah saja jika kemudian muncul penyair Indonesia yang juga hendak melakukan gerakan kebebasan kreatif. Boleh jadi, ia tidak puas atas model-model estetika sebelumnya. Boleh jadi juga ia punya kesadaran estetik melakukan gugatan. Sangat mungkin pula ia mengusung semangat sekadar beda, seperti halnya juga kemungkinan ia tidak dapat menahan gelegak gagasannya yang bertumpuk-tumpuk.

Dengan kesadaran dan pemahaman itu, maka jika kini kita menghadapi antologi puisi Nurel Javissyarqi yang mengesankan muncratnya berbagai gagasan, berhamburannya ide-ide liar, dan rumitnya kita menemukan bentuk konvensional aturan berbahasa yang lazim, segalanya dibolehkan dan sah. Ia tidak melanggar hukum tuhan. Ia sekadar memberontak pada konvensi puitik, pada ekspresi berbahasa yang dalam sejarahnya memang senantiasa diserang pemberontakan. Lalu, bagaimana hasilnya? Bagaimana Nurel menggerakkan kreativitasnya.
***

Sebagai sebuah puisi yang sarat gagasan dan liar imajinasinya, kita memang seperti berhadapan dengan lorong panjang yang di sana bertebaran pula lorong lainnya yang bercabang-cabang. Berbeda dengan Sutardji Calzoum Bachri yang menghancurkan konvensi dan menawarkan estetika mantra atau Afrizal Malna yang mengusung keterpecahan, fragmen-fragmen, dan semangat menawarkan inkoherensi, Nurel Javissyarqi lebih menyerupai bentuk ekspresi atas hamparan semangat yang menggelegak. Ia seperti telah sekian lama menyimpan sejumlah kegelisahan dan gagal menjumpai katup pembukanya. Maka, yang muncul kemudian adalah penghancuran struktur kalimat, pemorakporadaan imaji-imaji, dan penciptaan bentuk-bentuk metafora yang sempoyongan, berantakan dalam gerakan dewa mabuk. Yang juga menarik dilakukan Nurel adalah penciptaan bentuk-bentuk reduplikasi yang terasa segar, meski juga bukan hal yang baru. Sebutlah kata wewangi, pepintu, wewaktu, pepohon, bebayang, gegunung dan seterusnya untuk menunjukkan bentuk jamak sejumlah kata-kata itu.

Pencarian makna memang kadangkala menghadapi kegagalan. Tetapi, justru di situlah tantangannya. Ada semacam teror, tetapi tidak sampai pada tingkatan menciptakan huru-hara dalam pikiran kita. Bahkan, dalam beberapa hal, kita masih dapat menangkap model Khahlil Gibran atau Muhammad Iqbal. Periksa misalnya, beberapa larik berikut ini ketika Nurel berbicara tentang dunia perempuan:

Perempuan itu kembang di petamanan mimpi
.... (I: X).
dikaulah perempuan dari kerajaan-kerajaan misteri
(I: XIX).

Bukankah style itu mengingatkan kita pada model refleksi Khahlil Gibran? Dalam beberapa hal, kesan itu kadangkala menyentuh rasa estetik kita (aesthetic contaxt). Dan selepas itu, kita tiba-tiba saja disergap gagasan lainnya yang liar, tak terkendali, sehingga cenderung terasa menjadi teror. Perhatikan lagi larik berikut yang menggambarkan keindahan wajah perempuan:

Alis kerudung kedua bagimu, bilamana alis dicukur habis
hilanglah bulan sabit menggantung anggun di tengah malam,
sementara lampu-lampu kota hanyalah hiasan (I: XXXVII).

Dua larik pertama menunjukkan, betapa alis bagi wanita adalah asesoris penting yang menjadi bagian dari keindahan, bahkan juga sensualitas perempuan. Tetapi, bagaimana hubungannya dengan lampu-lampu kota yang ditempatkannya sebagai hiasan? Di sinilah, cantelan sensualitas perempuan –alis lentik yang bagai bulan sabit itu— tiba-tiba diteror lampu-lampu kota. Bagaimana hubungannya, asosiasinya, dan cantelan imajinasinya? Itulah teror yang sepertinya memang sengaja dibangun untuk menghancurkan imaji itu sendiri.

Dalam kasus lain, Nurel bertindak bagai sosok pertapa yang dalam hal tertentu, terkadang menyulap dirinya menjadi sosok Sisifus. Ia sekadar berkehendak, berbuat, dan bergerak membawa imajinasinya yang liar ke dalam lorong-lorong. Periksa lagi larik berikut ini:

Marilah hadir bersama keindahan, bimbing kesadaran alam terdalam
sia-sia dipenuhi hikmah, malapetaka jikalau ajaran berharga dibuat bangga (I: LX).

Saya membayangkan sosok Iqbal atau Gibran menyampaikan fatwanya tentang keindahan, tentang alam yang memercikkan keindahan (tuhan). Lalu, mengapa pula orang yang memperoleh hikmah, dianggap sia-sia. Lalu apa pula maknanya dengan malapetaka jikalau ajaran berharga dibuat bangga? Boleh jadi, doktrin, ajaran, atau hikmah, cukup sebagai pemberi cahaya pada hati, dan tidak perlu membuat seseorang jadi takabur, lupa diri. Apakah nur ilahi atau percik cahaya tuhan itu sebagai representasi dari hikmah, dari sebuah ajaran yang memberi pencerahan?

Model-model berfatwa itu, di sana-sini memang tampaknya sengaja dihadirkan sebagai pengejawantahan sosok aku liris yang memposisikan dirinya sebagai resi atau pertapa yang berkhotbah dari atas gunung. Sejumlah fatwanya terasa asyik, meskipun tidak jarang membawa kita pada lorong gelap atau gagasan yang berkeliaran di tengah hutan belantara.

Kunang-kunang terbang malam, berikan cahayanya kepada kalian/ Sebuah fatwa yang mengingatkan saya pada ajaran Konfusianisme. Tetapi apa yang terjadi pada larik berikutnya: kumpulan tersebut terselimuti kegelapan terjaga (IV: XCVIII) // Dalam konteks itu, tampak, ada semangat membangun paradoks. Lalu, apa maknanya fatwa itu jika kehendak memberi pencerahan, memasuki selimut kegelapan?
***

Secara keseluruhan, Nurel Javissyarqi dalam antologi puisinya, Kitab Para Malaikat mengusung banyak hal, menyodorkan berbagai pemikiran filsolofis dan menyerap pengaruh dari begitu banyak filsuf. Tetapi, mengingat begitu saratnya gagasan menggayuti isi kepalanya, ia seperti ingin segera melakukan pembebasan. Ia hendak memuncratkan semuanya dalam sebuah tarikan nafas. Itulah problemnya. Sebuah hasrat membuncah, mengeram sekian lama, tiba-tiba membobol tanggul penghalangnya, maka muncratlah hasrat itu menerabasi apa pun, menggilas-melindas segala yang berada di hadapannya. Dengan begitu, kesan yang seketika muncul adalah serangkaian keasyikmasyukan, keterlenaan, dan ekstase yang memabukkan dirinya sendiri. Maka, gagasan-gagasan yang terlontar adalah suara pemikirannya sendiri yang seperti peluru mitraliur yang justru dapat mencederai banyak pesan yang hendak ditawarkannya.

Antologi Kitab Para Malaikat ini disusun ke dalam dua puluh bagian (ditambah Muqaddimah). Bagian terakhir seperti mewartakan serangkaian kesaksian atas berbagai pengalaman yang diperlakukannya sebagai pengayaan batin dan pemikiran sosok seorang Nurel Javissyarqi. Ia menikmati kegelandangannya sebagai perburuan gagasan. Oleh karena itu, dapat dipahami jika Nurel seperti tak kuasa menahan beban gagasannya sendiri yang bertumpuk-tumpuk.

Terlepas dari berbagai persoalan itu, saya menikmati antologi puisi ini sebagai sosok pengelana yang tersesat di belantara rimba raya. Ada hasrat untuk segera keluar dari ketersesatan itu, tetapi tokh asyik juga menikmati ketersesatannya. Seperti sosok Sisifus. Nikmati sajalah, maka kelak kita akan sampai juga di jalan yang benar!

Bojonggede, 30 April 2006

Minggu, 19 Oktober 2008

BELAJAR MENULIS DARI DINAR RAHAYU*

Sutejo

Dinar Rahayu adalah sosok perempuan mutakhir yang beberapa tahun lalu dikukuhkan Nirwan Dewanto sebagai tokoh 2005 bersama Sitok. Dia adalah perempuan yang oleh MSNB.Com. dan situs Puisi.Net disinggung sebagai perempuan tradisonal berjilbab tetapi menguak seksualitas, dan karena itu, ia dikeluarkan dari sekolah di mana ia mengajar. Ia mengungkap aspek masokisme dan perilaku transeksual dalam bungkus mitologis Skandinavia. Menabrak tradisi?

Tentu, dan hal itu merupakan variasi lain dari menjamurnya tema-tema seksualitas setelah Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu, dan penulis perempuan lainnya. Meskipun demikian, dari realitas yang demikian ada hal menarik yang dapat dipelajari sebagai bekal kepenulisan awal. Bagaimana ia mengembangkan kepenulisannya? Hal berikut merupakan refleksi kritis dari akuannya dalam wawancara dengan jurnal Prosa4 (2004:186-189).

Dari pengalaman Dinar, ada beberapa hal yang menarik (a) menulis itu ya mengalir begitu saja, sedangkan prosesnya berjalan sesuai dengan apa yang kita lihat, dengar, dan baca; (b) ide pun juga datang begitu saja, kita hanya seperti tukang ketik dari tokoh-tokoh yang muncul bergantian, (c) menulis itu tidak untuk kepentingan apa pun dan siapa pun, dan (d) “berguru” pada Danarto dan Budi Darma, karena Dinar menyukai style penuturan kedua sastrawan ini.

Mengapa Dinar menjadi heboh? Padahal dalam akuannya, novel Ode untuk Leopold von Sacher-Masoch yang terbeli 289 buku. Di sinilah kadang, bagaimana kritikus tidak adil meletakkan kritik dalam kasusnya Cala Ibi jika dilihat dari terjualnya oplah sama sekali tidak menjanjikan. Namun, sebuah karya memang tidak dapat dilihat seberapakah ia terjual, estetika kembali tergantung pada diri teks itu sendiri dengan berbagai kekuatan tokohnya yang menyatu. Dan memang, Dinar sendiri tidak berpikiran untuk siapa karya itu ditulis, dia hanya mengalir untuk mengikuti para tokoh yang mengalir bersama karakternya.

Hal kedua yang menarik untuk dipelajari adalah bahwa dalam menulis Dinar tidak membuat draft dan mempersiapkan lebih dahulu. Menulis begitu saja. Soal karakter tokoh dan berbagai hal di dalamnya mengalir sesuai dengan apa yang dilihat, didengar, dan dibacanya. Artinya, ide dan proses penulisannya sepenuhnya –barangkali memang berada di bawah sadar--. Sebagaimana Budi Darma, Mashuri, dan beberapa penulis lain yang mengaku mereka menulis tergerakkan oleh supra kekuatan yang dalam istilah kepenulisan hal ini sering disebut mood. Kondisi terbius.

Dalam logika psikologis dan neorologis apa yang didengar, dilihat, dan dibaca; memang akan membangun imaji tertentu, dan imaji bagi seorang penulis adalah wilayah menarik –yang tentu—penting untuk difasilitasi. Sebuah dunia aneh seringkali orang bilang, tetapi sesungguhnya hal itu wajar dan biasa dalam teori psikologis. Bukankah orang hidup 88 persen digerakkan oleh bawah sadar? Kalau kemudian seorang menulis mengalir mengikuti para tokoh yang diciptakan (menciptakan sendiri) bukan direncanakan, tentunya hal itu merupakan “kekuatan” di luar jangkauan sadar seseorang. Dan ini, banyak terjadi dalam proses kepenulisan.

Idola Dinar adalah Budi Darma dan Danarto, yang pada mulanya Budi Darma dikenal sebagai novelis absurdis tetapi dalam perjalanan karya mutakhir lebih dekat dengan spiritualitas. Hal ini tampak minimal dalam novel Ny Talis, cerpen Derabat dan Mata yang Indah. Alir tutur ceritanya seakan tak berantah, tetapi sesungguhnya bermuara pada laut spiritualitas yang berbingkai pada eksistensialisme. Sedangkan Danarto, sejak awal di samping sebagai prosais aburdis juga dikenal sebagai penulis sufistik. Mengapa yang lahir persoalan seksualitas dari tangan Dinar?

Idola ini melahirkan gaya dan style penceritaan, dan tentu persoalan atau tema bukanlah harus sama. Tema menjadi penggerak, sedangkan tokoh, karakter, dan bahasa pada akhirnya memang bergandeng tangan melahirkan pengucapan cerita yang mengena. Begitulah, kemudian memang menulis dalam pandangan Dinar Rahayu tidak berpretensi kepada apa dan siapa pun, tetapi sebuah alir sungai yang dipayungi oleh pendengaran, penglihatan, dan pembacaan yang “menyelinap”. Bagaimana dengan kita? Ajarilah bawah sadar kita untuk mengalir, jujur, dan menuangkan apa pun jangan ditakut-takuti dengan patut atau tidak, pantas atau tidak, dan lain sebagainya. Mengalir karena itu, adalah rumus terpenting karena menulis adalah dunia ketidaksadaran itu.

Terakhir, dalam persoalan ide ternyata Dinar berbeda dari penulis lainnya. Jika penulis lain sering mengatakan bahwa ide diperoleh dari mengamati realita, mendengarkan lagu, menonton film, cerita orang, atau apa yang dialami sendiri; maka dalam pengalam Dinar Rahayu ide datang menghampiri. Bahasa lain, mungkin Dinar bermenung atau melamun, dan karena itulah ide menghampiri.

Banyak pengalaman penulis yang unik sehingga cantik untuk dicermati. Jika kita berkacamata kejujuran, maka apa pun dan siapa pun sesungguhnya adalah bagian dari apa yang kita dengar, lihat, dan baca untuk direfleksikan ke dalam karya. Tunggu apa lagi, bahan dan sumber tulisan terentang sejak dalam alam mimpi, di jelang terbangun, usai subuh, sepanjang siang, maupun sekian waktu di jelang “maut sementara” menjemput. Mengapa begitu “sombong” kita tidak fasilitasi, tidak kita sambut dengan kelembutan bawah sadar, sehingga akan menjadi “tamu istimewa” di masa depan?
***


*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos

MENGUAK JENDELA KEPENULISAN DJENAR MAESA AYU*

Sutejo*

Djenar Maesa Ayu, adalah sastrawan perempuan mutakhir yang tidak pernah ambil pusing dengan berbagai sebutan. Sebutan yang mengganggu sebagian perempuan itu adalah sastrawangi. Dalam Prosa4, 2004) terungkap bagaimana sisip-sisi proses kreatifnya yang menarik untuk dikritisi sebagai cermin ajar. Beberapa karyanya telah dimuat di beberapa surat kabar dan majalah seperti: Kompas, Media Indonesia, Republika, Lampung Post, Horison, dan Majalah A+.

Perempuan eksotik ini membersitkan beberapa hal yang menarik (a) bahwa dia menulis karena ada desakan untuk menulis (ekspresi jiwa), (b) belajar secara tidak langsung pada karya orang lain, macam Hans Christian Andersen, (c) karya itu refleksi zamannya, dan (d) menulis itu memeri hadiah untuk diri sendiri. Perempuan pengarang ini memang luar biasa, pengalaman hidupnya yang tidak “menguntungkan”, lahir dari keluarga perceraian, namun dia sangat bersyukur mampu merefleksikan pengalaman “kecilnya” ke dalam teks. Bahkan, dalam akuannya dengan Djakarta edisi Oktober 2003, dia mengungkapkan bahwa pengungkapan seksualitas itu adalah buah pengalaman masa lalunya.

Apapun dan dari manapun selalu kita dapat membaca makna di balik pengalaman kreatif seseorang. Untuk inilah, yang unik dari Djenar adalah bagaimana ia memiliki jargon kepenulisan bahwa karya itu merupakan hadiah untuk diri sendiri. Sebuah akuan yang rendah hati memang, tetapi di balik itu, ternyata respon pro dan kontra atas dirinya memang luar biasa. Sebut misalnya, cerpen Menyusu Ayah yang sempat mendapat hadiah dari Yayasan Jurnal Perempuan menjadi semacam “protes” gender yang absurd, aneh, dan luar biasa. Sebuah penjungkirbalikan fenomena, berusung gagasan absurd dari sebuah norma yang dijungkirbalikkan.

Akankah alamat hadiah untuk diri sendiri punya makna bahwa sesungguhnya karya memang merupakan refleksi kejiwaan dirinya? Barangkali ia, barangkali tidak. Tetapi jika melihat dari apa yang diungkapkannya maka hal kedua yang dapat dipelajari memang demikian. Artinya, karya merupakan refleksi batin dan sosialitas pengarangnya. Untuk inilah, maka ketika seseorang berhasil menuliskan sebuah karya, misalnya, seringkali ia pun tidak mengerti mengapa kemudian yang tertulis adalah seperti yang terbaca kemudian. Hal itu sebagaimana disadari banyak penulis, memang menulis adalah sebuah proses bawah sadar, dan karena itu, tulisan seringkali menjadi aura peletupan, pelepasan, dari berbagai hal yang dialami, diketahui, dikritisi, dan lain sebagainya. Sebuah hal yang sangat sensasional manakala kita membaca buku semisal Menulis dengan Emosi dan Diam Bukan Emas yang keduanya diterbitkan oleh Grup Mizan.

Untuk ini, logikanya adalah semakin ruwet seorang penulis, semakin banyak menemukan keanehan diri, semakin banyak yang dipikirkan; maka akan semakin subur pula karya yang dilahirkannya. Dan itulah, memang apa yang dialami oleh penulis lain semisal A.A. Navis, istilahnya: sebuah rangkaian realita yang unik. Untuk itu, saran menarik yang dapat diturunkan kepada Anda adalah amatilah setiap fenomena sosial, pekalah terhadap hal kecil yang barangkali itu adalah isyarat tertentu. Pertemuan Budi Darma dengan Perempuan Berkumis dalam kurun satu minggu adalah keunikan menarik yang kemudian melahirkan beberapa tulisan bertema hal ini. Uniknya lagi, hal itu beriring dengan fenomena lainnya.

Lebih dari itu, maka hal penting yang dapat dipelajari dari Djenar adalah karya memang merupakan refleksi zamannya. Artinya, pandangan ini memang sudah lama, dan mendarahdaging, karena ada pandangan penting dalam teori yang dimunculkan oleh Aristoteles, teori mimetik. Sebuah potret zaman yang senantiasa akan terekam dalam kasanah sastra pada zamannya pula. Bumi Manusia, Rumah Kaca, Cerita dari Blora dari tangan Pramudya itu membersitkan zaman yang kelam dari serangkaian peristiwa yang pernah terjadi di zaman orde militer. Puncak dari orde militer adalah lahirnya Saman dan Larung dari tangan pengarang perempuan Ayu Utami.

Hal terakhir yang unik untuk dipegang adalah bagaimanapun penulis awal seringkali diinspirasikan oleh penulis-penulis sebelumnya. Djenar misalnya terinspirasi oleh pengalaman masa kecil ketika membaca Gadis Korek Api karya Hans Christian. Kemudian setelah dewasa dia banyak bertemu dengan karya-karya Budi Darma, Seno Gumia Adjidarma, Sutardji Calzoum Bahri, dan lain-lain. Dengan begitu, jika kita pengin menulis (dan mau belajar dari Djenar) adalah pentingnya kita tidak alergi membaca karya orang lain. Sebuah wilayah Dragon Master dalam belajar menimba air dan memikul kayu dalam istilah Lang Fang. Sebuah wilayah belajar yang meruang dan mewaktu kemudian menyatu dalam alur alir nadi kepenulisan nantinya.

Dengan demikian, bagaimanapun penting disadari bahwa menulis adalah sebuah wilayah yang kompleks yang seringkali disindirkan orang sebagai “orang yang tak punya gawean”. Percayalah, Anda memasuki wilayah yang paling sempurna karena semua bidang, semua aspek kehidupan, semua tataran masalah; terefleksikan utuh dalam teks-teks sastra maupun teks-teks lainnya. Daripada berpicik pikir menyindir orang menulis sebagai buah bual, melangkahlah Anda akan temukan wilayah tamasya hati sebagaimana disindirkan oleh Ibnu Duraid. Selamat bertamasya menemukan diri Anda untuk mencapai singga karya yang mempesona!***


*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos

Sabtu, 18 Oktober 2008

Meneropong Masa Depan Komunitas Sastra Jawa Timur

Liza Wahyuninto
Sumber, www.kabarindonesia.com

KabarIndonesia - Sejak munculnya beberapa sastrawan dan penyair dari Jawa Timur, saat itu pula Jawa Timur menjadi sorotan utama pengkajian sastra Indonesia. Diakui memang, bahwa Jawa Timur masih kalah dengan Yogyakarta yang hingga kini masih berada pada urutan pertama dalam hal sastra di Indonesia. Namun, diliriknya sastra Jawa Timur tidak menutup kemungkinan akan menggeser posisi Yogyakarta sebagai bumi yang banyak melahirkan sastrawan dan penyair Indonesia.

Dapat dikatakan bahwa kemajuan sastra Jatim tidak terlepas dari jasa sastrawan dan penyair yang pulang ke kampung halamannya yang kemudian memberi andil untuk melahirkan tokoh-tokoh baru dalam dunia sastra. Sebut saja, Emha Ainun Nadjib, D. Zawawi Imron, Ratna Indraswari Ibrahim dkk, mereka awalnya belajar sastra ke luar Jatim kemudian kembali untuk melanjutkan kiprah mereka di tanah kelahirannya. Kendatipun demikian, minat akan sastra oleh masyarakat Jatim juga ikut mendukung kemajuan sastra di Jawa Timur.

Munculnya Komunitas Kecil
Saat ini jika dihitung, mungkin sudah ribuan komunitas sastra – baik yang melembaga maupun sekedar paguyuban – terlahir di Jawa Timur. Komunitas-komunitas sastra kecil inilah yang ikut mewarnai dan memajukan sastra Jatim. Komunitas-komunitas ini kemudian menamakan diri sesuai dengan latar belakang pendidikan, tokoh sastra yang disenangi, dan ada juga yang hanya mengusung semangat sastra, apapun bentuknya.

Komunitas-komunitas kecil ini ada yang paham akan teori-teori sastra dan tidak jarang yang memang tidak mengerti sama sekali mengenai teori sastra. karena hanya berlandaskan kesenangan akan sastra belaka. Namun, dalam kenyataannya, komunitas-komunitas yang tidak begitu mengutamakan pemahaman akan teori sastra. malah lebih produktif daripada komunitas yang memiliki pemahaman akan sastra. Faktor inilah kiranya yang melatarbelakangi kebangkitan sastra masa depan di Jawa Timur.

Komunitas-komunitas ini kemudian terbagi kepada beberapa golongan. Pertama, golongan yang melakukan pengkajian terhadap tokoh, karya sastra, dan kritik terhadap sastra. Kedua, golongan yang membacakan karya sastrawan dalam negeri dan luar negeri yang kemudian ikut memberanikan diri membacakan karya-karyanya sendiri. Dan yang ketiga, yaitu golongan yang giat melakukan tulis-menulis karya sastra untuk kemudian mencoba mengirimkan karya-karya mereka ke penerbit atau media massa. Golongan ketiga inilah yang lebih sering didengar oleh masyarakat karena karya mereka dapat langsung dinikmati. Akan tetapi, kemajemukan dari ketiga golongan inilah yang meramaikan dunia sastra jawa Timur.

Masih Minim Penghargaan Terhadap Sastra
Dengan menggejalanya minat akan sastra di Jawa Timur, tidak kemudian mampu menarik simpati pemerintah untuk memberikan penghargaan akan sastra. Baik komunitas maupun karya sastra, sejak dahulu memang tidak pernah menjadi daftar perhatian utama. Menjadi seorang Sastrawan masih belum bisa dianggap sebagai suatu pekerjaan karena tidak memiliki gaji atau penghasilan yang tetap. Begitu juga dengan karya sastra, masih dianggap karya kedua setelah buku-buku pelajaran dan buku-buku ilmiah lain.

Padahal, lahirnya bangsa ini juga ikut diperjuangkan oleh sastrawan lewat karya-karya sastra mereka. Chairil Anwar, Sutan Takdir Ali Sjahbana, dan Pramoedya Ananta Toer memang tidak pernah memanggul senjata mengusir penjajah, namun lewat kata-kata magisnya mereka membangkitkan semangat anti-penajajahan. Dan masih banyak sederet nama-nama sastrawan yang kini sudah mulai terlupakan.

Minimnya penghargaan akan sastra di Jawa Timur terlihat dari jarangnya diadakan perlombaan sastra, baik baca maupun tulis karya sastra. Hal ini senada dengan minimnya penghargaan dan perhatian akan budaya di Jawa Timur. Padahal, Jawa Timur begitu kaya akan budaya dan hasil karya berupa budaya dan sastra. Bahkan Indonesia sekalipun mengakui keunggulan budaya Jawa Timur. Hal ini juga dikarenakan budayawan Jawa Timur yang sering mengkampanyekan pentingnya budaya lokal di penjuru nusantara.

Berharap pada Persatuan
Satu hal yang penting untuk dicermati bahwa kelahiran komunitas-komunitas sastra di Jawa Timur sebenarnya adalah murni dari diri sendiri. Artinya, meskipun tanpa ada penghargaan dan perhatian terhadap mereka, tidak akan berpengaruh terhadap komunitas yang telah mereka bentuk. Komunitas pengkajian sastra mungkin lebih bisa memanfaatkan peluang dengan melakukan penelitian-penelitian sastra karena ranahnya juga antara fiksi dan non-fiksi. Demikian pula dengan komunitas baca tulis karya sastra, diharapkan tidak hanya memberikan hiburan namun juga karya. Ini penting, karena pada masa-masa yang akan datang ada kemungkinan sastra akan kembali diperhitungkan.

Sastra dapat saja diperhitungkan dan mendapat perhatian dari masyarakat luas jika seandainya ada sisi yang menarik dari sastra. Sebut saja Maulana Jalaluddin Rumi, lewat sastra sufistiknya, Rumi mampu merebut perhatian dunia akan sastra. Perjuangan Rumi kemudian dilanjutkan oleh pencinta karyanya, Iqbal. Bahkan hingga saat ini, dunia masih menaruh hormat pada Rumi dan karya-karyanya. Jadi tidak menutup kemungkinan komunitas sastra yang ada di Jawa Timur mampu melahirkan tokoh sekaliber Rumi.

Sebuah pengharapan utopis, namun dapat diwujudkan. Pendidikan Rumi juga bukan dari fakultas sastra, namun lewat semangat dan kecintaannya terhadap sastra yang dipadukannya dengan sufi, ia wujudkan kebesaran sastra. Indonesia melalui Pramoedya Ananta Toer hampir saja meraih nobel sastra, namun sayangnya ada beberapa kesalahan terhadap terjemahan karya-karyanya hingga penghargaan nobelpun lepas. Tidak bijak jika kita selalu menyalahkan sejarah, karena hingga hari inipun kita sedang mengukir sejarah.

*) Liza Wahyuninto. Direktur Pusat Pengkajian Jalaluddin Rumi Malang dan Koordinator Paguyuban Komunitas Sastra UIN Malang.

Rabu, 15 Oktober 2008

D. Zawawi Imron: Duta Madura untuk Sastra Indonesia Modern

Jamal D. Rahman
Sumber, http://jamaldrahman.wordpress.com/

Dia adalah manusia ajaib dalam khazanah sastra Indonesia. Dari mana datangnya penyair ini? Apa yang bisa menjelaskan bahwa dari Batangbatang, sebuah desa sekitar 20 km sebelah timur kota Sumenep, Madura, lahir seorang penyair penting Indonesia yang sangat produktif, tanpa pendidikan dan pergaulan intelektual yang memadai? Tidak seperti banyak pernyair Indonesia, D. Zawawi Imron tetap memilih tinggal di desa kelahirannya, tempat inspirasi bergumul dengan imajinasi yang kemudian diolahnya menjadi konstruksi estetis yang relatif memukau. Dalam hubungannya dengan kepenyairan Zawawi, yang paling penting dari desa kelahirannya mungkin kekayaan alamnya —kekayaan alam di mata seorang penyair. Sudah barang tentu terdapat hubungan kompleks antara alam desa dengan kepenyairan Zawawi, yang tidak mungkin direduksi menjadi sekedar hubungan kausalitas linear. Tapi apa pun bentuk hubungan itu, desa Batangbatang pastilah memiliki arti penting bagi Zawawi.

Salah satu sisi menarik dari hubungan Batangbatang dengan kepenyairan Zawawi, yang mungkin perlu juga dipertimbangkan dalam melihat kepenyairan pria kelahiran tahun 1946 ini, adalah fakta berikut. Dalam bahasa Madura dan bahasa Indonesia kata batang kebetulan memiliki arti yang sama (Asis Safioedin, S.H., 1977: 56), hanya bentuk jamaknya yang berbeda: tang-batang dalam bahasa Madura; batang-batang dalam bahasa Indonesia. Maka dalam bahasa Madura desa Zawawi itu disebut Tangbatang, dan biasa diindonesiakan menjadi Batangbatang. Karena kesamaan arti tersebut, pada hemat saya tak ada problem etimologis untuk memaknai Batangbatang, desa Zawawi itu, dalam konteks karier Zawawi sendiri sebagai penyair Indonesia.

Setidaknya bagi saya, Batangbatang adalah sebuah nama yang puitis. Tidak mudah menemukan nama desa yang puitis, bahkan sekedar nama desa yang jelas artinya, khusunya di Maduara. Agak mengeherankan bahwa desa Zawawi memiliki nama yang bukan saja jelas artinya, melainkan juga puitis dan imajinatif. Pemberian nama itu seakan-akan penuh perhitungan: ada rasa literer di sana; ada imaji; ada denyut estetis. Yang lebih menarik adalah bahwa nama tersebut merupakan idiom yang sangat akrab dengan alam agraris pedesaan, sebuah kata yang pastilah mengacu pada perbendaharaan desa pada umumnya, dan desa Zawawi pada khususnya. Dengan demikian, Batangbatang bukanlah nama yang asing bagi sebuah desa di pedalaman Maduara itu.

Desa Batangbatang dibagi menjadi dua wilayah, utara dan selatan. Kalau Anda datang ke desa itu dari arah utara, maka setelah melewati desa Batangbatang Daya, Anda akan memasuki wilayah lain desa tersebut dengan nama yang, dilihat dari bahasa Indonesia, lebih puitis lagi: Batangbatang Laut! Nama tersebut terpampang pada papan nama desa di pinggir jalan raya. Lepas dari problem pengindonesiaan nama desa itu, Batangbatang Daya dan lebih-lebih Batangbatang Laut jelas merupakan nama yang sangat puitis, imajinatif, dan asosiatif. Batangatang Laut adalah sebuah nama yang secara puitis mengandung imaji alam daratan dan imaji alam laut, yang nanti terefleksi dalam puisi-puisi D. Zawawi Imron.

Demikianlah Batangbatang seakan sebuah nama yang menyedihkan dirinya bagi kelahiran seorang penyair dan intelektual yang memiliki rasa literer, imaji dan denyut estetis. Nama itu seolah memberikan seluruh bakat, daya artistik dan itelektualnya kepada anak desa terbaiknya, sehingga hanya dengan pendidikan setingkat Sekolah Dasar dan sekitar setahun pendidikan pesantren pun dia mampu lahir sebagai penyair yang diperhitungkan, penulis cerita rakyat Madura, kolonmnis di berbagai media cetak, pembicara dalam forum-forum akademis, dosen di beberapa perguruan tinggi, mubalig, dan pelukis. Semua profesi ini dibangun dari desanya yang tandus nun jauh di ujung timur Pulau Madura. Dia lahir dari keluarga petani miskin pula.
Tapi lebih dari sekedar memberikan seluruh bakat, daya artistik dan intelektual, bagi Zawawi kehidupan desa bahkan membangkitkan vitalitas hidup yang tak habis-habisnya. Desa tempatnya lahir dan besar itulah yang mula-mula menjadi telaga lahir kreativitasnya sebagai penyair. Katanya (D. Zawawi Imron, 1996: 137-138),

Saya dilahirkan di sebuah dusun yang terletak di lembah sebuah bukit, yang di pinggir-pinggir dusunnya masih hutan belukar. Pada pagi hari, saya dapat melihat bagaimana matahari terbit dai celah bukit. Dan jika kebetulan bulan purnama, saya pun dapat menyaksikan bulan muncul dari puncak siwalan. Di hutan itu, masih banyak berkeliaran ayam hutan. Ya, saya lahir di tengah alam yang masih murni, dan indah menurut ukuran saya. Di sebelah selatan rumah, ada telaga kecil, di situlah saya biasa mandi, sambil memperhatikan capung-capung merah, biru, saling berkejaran dan sewaktu-waktu menyentuhkan kakinya ke air. Saya merasakan ini pertunjukan yang sangat mengasyikkan. Saya juga sering membuat perahu-perahu kecil sari ilalang, lalu melayarkannya di atas air itu sambil membayangkan bandar-bandar yang jauh, yang belum pernah saya singgahi, tapi sering disebut kakek. Memang, kakek sering berlayar ke Probolinggo, Tuban, bahkan Banjarmasin. Melayarkan perahu-perahu ilalang ini punya kenikmatan tersendiri. Ini antara lain yang mempengaruhi angan saya tentang kehidupan, baik yang bisa dibayangkan angan, maupun yang tak bisa dibayangkan, tapi itu terasa sangat indah.

Kerap saya memperhatikan ibu ketika duduk mengahadap ke barat sambil membaca sebuah buku dengan suara syahdu sekalipun saya tak mengerti maksudnya. Saya perhatikan, ibu penuh kesungguhan. Setelah agak besar, baru saya tahu bahwa yang dibaca ibu itu Al-Qur’an.

Ada lagu-lagu Madura yang kata-katanya tak seluruhnya saya mengerti saat itu, tapi irama lagunya mampu membuat hati saya tergetar. Ada gamelan Madura yang disebut saronen untuk mengiringi kerapan sapi. Saya lihat jika saronen itu ditabuh, orang-orang yang sedang jalan pun seakan menyesuaikan langkahnya dengan iramanya.

Keindahan seperti itulah yang berpengaruh pada jiwa saya untuk merasakan bahwa hidup itu begitu segarnya sehingga berkenalan dengan alam di sekililing punya andil besar dalam perjalanan kreatif sastra saya di kemudian hari.

II
Orang cenderung tergoda untuk membandingkan puisi-puisi D. Zawawi Imron dengan puisi-puisi Abdul Hadi W.M. karena mereka berasal dari daerah yang sama, di samping karena keduanya sama-sama mangangkat Madura dalam karya mereka. Ketika membicarakan penyair-penyair Indonesia dekade 1970-an yang belum benar-benar menonjol, A. Teeuw mengatakan bahwa Zawawi adalah “seorang penyair dari Madura, dengan mutu sajak-sajaknya yang agak kontroversial dan tak sedikit pun mendekati mutu karya-karya rekan sepulaunya, Abdul Hadi” (A. Teeuw, 1989: 163). Sayangnya, Teeuw tak menunjukan sedikit pun di mana letak kelemahan puisi-puisi Zawawi, sehingga kita pun tak tahu sejauhmana informasi tentang kepenyairan Zawawi sampai kepadanya.

Sudah pasti penilaian itu berdasarkan pada perkembangan kepenyairan Zawawi sampai akhir dekade 1970-an, ketika Teeuw mengemukakan pendapatnya di atas. Tapi sangat mungkin tidak semua karya Zawawi hingga akhir dekade itu ampai ke tangan Teeuw, karena ternyata banyak puisinya baru dimuat dalam kumpulan puisi yang terbit pada dekade berikutnya. Sementara, kepenyairan Zawawi mengalami perkembangan penting dan mendapat publikasi lebih luas justru selepas dekade 1970-an, yaitu dengan terbitnya buku puisi Bulan Tertusuk Lalang (1982), Nenekmoyangku Air Mata (1985), dan Celurit Emas (1986)2

Meskipun demikian, sajak-sajak Zawawi tetap relatif jarang dibicarakan atau dibahas dalam publikasi-publikasi luas dan terbuka, kecuali penelitian-penelitian akademis untuk keperluan tugas-tugas akhir kesarjanan di beberapa universitas, khususnya oleh Subagio Sastrowardoyo khusus untuk Bulan Tertusuk Lalang dan Nenekmoyangku Air Mata (Subagio Sastrowardoyo, 1989: 208-221). Seraya mengatakan bahwa secara subjektif Subagio menyukai puisi-puisi Zawawi, dia menunjukkan pula keganjilan-keganjilan imajinya, yang menurut Subagio mengurangi tenaga ucap puisi-puisi Zawawi sendiri. Tapi dia segera mengatakan bahwa apa pun wujud puisi-puisi Zawawi, dia tetap mencintainya. Sebab bagaimanapun, bagi Subagio (Subagio Sastrowardoyo, 1989: 219-220),

D. Zawawi Imron telah mencapai kematangan mengucap dan bersikap. Bahasa puisi bukan soal kata-kata dengan bunyi dan makna denotatif dan konotatifnya belaka, tetapi juga soal angan-angan yang timbul dari konteks kata, serta struktur yang merupakan kebulatan dan kepaduan bicaranya …. Dan Zawawi Imron telah berhasil mencapai pengucapan pribadi yang khas itu ….

III
D. Zawawi Imron adalah “penyair Madura” par excellence. Penyair yang menulis dalam bahasa Indonesia dengan mengangkat khazanah Madura dalam sajak-sajaknya. Yakni penyair yang menjadikan Madura hadir secara amat bermakna dalam khazanah sastra Indonesia. Lahir, tumbuh, dan besar di Madura tentu membuat Zawawi akrab dengan idiom-idiom Madura, sehingga dia bisa memaknainya secara intens dalam sajak. Yang lebih penting adalah bahwa dia tampak melakukan pergulatan batin dan dialog dengan lingkungan terdekatnya: pohon siwalan, lenguh sapi, kalung genta sapi kerapan, saronen (musik tradisional Madura pengiring kerapan sapi), legenda rakyat Madura, kemarau, laut, dan lain-lain.

Dan Madura telah menjadi sumber inspirasi sejak masa-masa paling awal karier kepenyairannya. Pada sajak yang berjudul “Ibu”, misalnya, yang ditulis pada tahun 1966, idiom-idiom Madura relatif kental, dan dengan itulah Zawawi menyatakan cintanya kepada sang ibu. Saya kutip seluruhnya (D. Zawawi Imron, 1999: 3):

kalau aku merantau lalu datang musim kemarau
sumur-sumur kering, daunan pun gugur bersama reranting
hanya mataair airmatamu ibu, yang tetap lancar mengalir
bila aku merantau
sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku
di hati ada mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan
lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar
ibu adalah gua pertapaanku
dan ibulah yang meletakkan aku di sini
saat bunga kembang menyemerbak bau sayang
ibu menunjuk ke langit, kemundian ke bumi
aku mengangguk meskipun kurang mengerti
bila kasihmu ibarat samudera
sempit lautan teduh
tempatku mandi, mencuci lumut pada diri
tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh
lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua bagiku
kalau aku ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan
namamu, ibu, yang kan kusebut paling dahulu
lantaran aku tahu
engkau ibu dan aku anakmu
bila aku berlayar lalu datang angin sakal
Tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal
ibulah itu bidadari yang berselendang bianglala
sesekali datang padaku
menyuruhku menulis langit biru
dengan sajakku.

Sebagaimana bagi banyak orang, bagi Zawawi ibu adalah segalanya. Yang menarik dari sajak di atas adalah bahwa dalam menyatakan cinta kepada sang ibu, Zawawi menghadirkan suasana yang relatif khas Madura: kesadaran tentang kemarau hingga sumur-sumur kering, kesadaran merantau, kesadaran tentang kekayaan laut, dan kesadaran religius. Semua itu merupakan kesadaran masyarakat Madura terhadap lingkungan alam mereka, baik daratan maupun lautan, yang terstruktur dalam sistem sosial mereka. Demikianlah para petani menyadari tentang kemarau yang di Madura terjadi relatif panjang, rata-rata selama 6 bulan pertahun, sehingga mereka menyadari pula bahaya kekeringan. Para nelayan menyadari tentang kekayaan laut, menyadari pula kemungkinan merantau lewat jalan laut itu. Dan, mereka memiliki kesadaran religius karena kuatnya pengaruh Islam di sana. Tentu saja, kenyataan seperti ini bukanlah monopoli tradisi Madura. Namun, tak bisa disangkal pula bahwa demikianlah realitas sosial-budaya masyarakat Madura.

Madura terasa kental mewarnai puisi-puisi Zawawi terutama yang terkumpul dalam Semerbak Mayang (1977), Madura, Akulah Lautmu (1978), dan Tembang Dusun Siwalan (?) —yang kemudian diterbitkan kembali bersama sejumlah puisi lain dalam Bantalku Ombak Selimutku Angin (1996). Semua judul antologi tersebut menyiratkan warna lokal Madura. Lebih dari itu, judul antologi puisi terakhir sengaja diambil dari lirik nyanyian tradisional Madura, yang menyiratkan pengakuan penyair bahwa dia secara sadar memang menimba dari sumber-sumber Madura untuk puisi-puisinya dalam buku ini.

Zawawi bahkan bukan saja mengakui Madura sebagai sumber inspirasi puisi-puisinya, melainkan juga “mengankat” atau mengklaim dirinya sebagai laut dan darah Madura itu sendiri. Dia memberi judul kumpulan puisinya Madura, Akulah Lautmu, lalu menulis sebuah sajak berjudul “Madura, Akulah Darahmu”. Klaim yang sepintas terkesan ambisius ini seakan menegaskan bahwa Zawawi adalah duta Madura dalam puisi dan sastra Indonesia modern. Sejauh ini, klaim tersebut mungkin tidak berlebihan, mengingat dialah penyair (Madura) yang paling rajin menggali kekayaan alam Madura —sekali lagi: kekayaan di mata seorang penyair— untuk keperluan saja-sajaknya. Dan melalui dialah Madura hadir secara lebih kaya dan elegan dalam khazanah puisi Indonesia.

Tetapi, kemungkinan itu bukan tanpa konsekuensi, yang tampaknya tidak disadari oleh Zawawi sendiri. Konsekuensi itu adalah bahwa —setidaknya dalam kesan pribadi saya— cinta dan penghormatan Zawawi kepada Madura terasa lebih besar daripada cinta dan penghormatannya kepada sang ibu. Benar bahwa ibu adalah segalanya, namun bagi Zawawi Madura lebih dari segalanya. Hal ini terutama terlihat dari cara Zawawi memposisikan diri (baca: aku-lirik) di hadapan ibu dan Madura, dan cara Zawawi memposisikan ibu dan Madura itu sendiri di hadapan dirinya (baca: aku-lirik). Agar lebih jelas, saya kutip puisi “Madura, Akulah Darahmu” seutuhnya (D. Zawawi Imron, 1996: 98-99):

Di atasmu, bongkahan batu yang bisu
Tidur merangkum nyala dan tumbuh berbunga doa
Biar berguling di atas duri hati tak kan luka
Meski mengeram di dalam nyeri cinta tak kan layu
Dan aku
Anak sulung yang sekaligus anak bungsumu
Kini kembali ke dalam rahimmu, dan tahulah
Bahwa aku sapi kerapan
Yang lahir dari senyum dan airmatamu

Seusap debu hinggaplah, setetes embun hinggaplah,
Sebasah madu hinggaplah
Menanggung biru langit moyangku, menanggung karat
Emas semesta, menanggung parau sekarat tujuh benua

Di sini
Perkenankan aku berseru:
- madura, engkaulah tangisku

bila musim labuh hujan tak turun
kubasuhi kau dengan denyutku
bila dadamu kerontang
kubajak kau dengan tanduk logamku
di atas bukit garam
kunyalakan otakku
lantaran aku adalah sapi kerapan
yang menetas dari senyum dan airmatamu
aku lari mengejar ombak, aku terbang memeluk bulan
dan memetik bintang-gemintang
di ranting-ranting roh nenekmoyangku

di ubun langit kuucapkan sumpah:
- madura, akulah darahmu.

Dalam “Ibu”, aku-lirik jelas memposisikan diri sebagai anak dan memposisikan “engkau” sebagai ibu (… aku tahu/ engkau ibu dan aku anakmu). Aku-lirik juga memposisikan diri sebagai seorang anak yang merasa … hutangku padamu tak kuasa kubayar. Sementara itu, kalau aku merantau lalu datang musim kemarau, sumur-sumur kering, daunan pun gugur bersama reranting, aku-lirik memposisikan ibu sebagai satu-satunya … mataair airmata … yang tetap lancar mengalir. Aku-lirik juga memposisikan ibu sebagai gua pertapaan dan orang … yang meletakkan aku di sini. Bila kasih ibarat samudera, maka lautan teduh akan terasa sempit, dan itu berarti semua kandungan lautan —lokan-lokan, mutiara, kembang laut— adalah bagi aku-lirik sendiri. Paling jauh, bagi aku-lirik, ibu adalah bidadari yang berselendang bianglala.

Bandingkan dengan cara Zawawi (basa: aku-lirik) memposisikan diri di hadapan Madura dan sebaliknya dalam “Madura, Akulah Darahmu”. Di situ, aku-lirik jelas mengambil posisi sebagai anak sulung yang sekaligus anak bungsumu (Madura), bukan sekedar anak dari seorang ibu. Aku-lirik menegaskan, biar berguling di atas duri hati tak kan luka/ meski mengeram di dalam nyeri cinta tak akn layu —satu penegasan bahwa aku-lirik akan memberikan seluruh pengorbanan dan cintanya kepada Madura. Bahkan, aku [adalah] sapi kerapan/ yang lahir dari senyum dan airmatamu. Itu sebabnya cinta dan penghormatan aku-lirik kepada Madura bersifat tegas dan aktif: bila musim labuh hujan tak turun/ kubasuhi kau dengan denyutku/ bila dadamu kerontang/ kubajak kau dengan logamku. Tidak mengherankan kalau puisi itu diakhiri dengan sumpah aku-lirik: madura, akulah darahmu.

Sementara itu, Madura diposisikan sebagai semesta yang teramat luas, lebih luas daripada sekedar gua pertepaan atau samudera: pulau itu menanggung biru langit moyangku, menanggung karat/ emas semesta, menanggung parau sekarat tujuh benua. Aku-lirik bahkan berseru, madura, engkaulah tangisku. Sedari awal telah dikemukakan imaji-imaji yang bersifat aktif: di atasmu, bongkohan batu yang biru/ tidur merangkum nyala dan tumbuh berbunga doa.

Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa dalam puisi “Ibu” aku-lirik memposisikan diri sebagai seorang anak yang cinta dan penuh hormat kepada sang ibu, tapi cinta dan hormat itu bersifat pasif belaka. Ibu pun diposisikan sebagai gua pertapaan, pahlawan, dan bidadari yang berselendang bianglala. Sementara dalam “Madura, Akulah Darahmu”, aku-lirik bukan saja memposisikan diri sebagai seorang anak, melainkan anak sulung sekaligus anak bungsu. Lebih dari itu, seluruh cinta, penghormatan, dan kesediaan aku-lirik berkorban demi Madura bersifat aktif dan tegas. Berbeda juga dengan ibu, Madura diposisikan sebagai tangis sekaligus semesta yang teramat luas, bahkan tak terhingga, menanggung pula beban yang teramat berat: biru langit, emas semesta, sekarat tujuh benua.

Kesimpulan ini mungkin berkaitan dengan pekembangan daya ungkap kepenyairan Zawawi, karena puisi “Ibu” ditulis pada tahun 1966, sedangkan “Madura, Akulah Darahmu” ditulis pada tahun 1980. Tapi di tahun 1980 juga, Zawawi menulis sajak “Kepada Ibu” (D. Zawawi Imron, 1985: 82), yang pada hemat saya justru tidak lebih “matang” dibandingkan “Ibu”, tidak pula mengungkapkan cinta dan penghormatan secara lebih mendalam kepada Ibu.3 Maka melihat sejumlah sajaknya tentang ibu dan Madura, saya cenderung mengatakan bahwa keterlibatan Zawawi dengan kekayaan alam Madura —yang dilakukan secara intens hampir sepanjang kariernya sebagai penyair— membangun tumpukan tak-sadar tertentu tentang Madura, yang tersublimasi dalam sajak. Dengan kata lain, cinta dan penghormatannya terhadap Madura yang amat besar, melebihi cinta dan penghormatannya kepada ibu, merupakan ungkapan tak-sadar dari kekagumannya terhadap kekayaan alam Madura itu sendiri.

IV

Dengan uraian di atas, saya tida bermaksud mengatakan bahwa pesan atau amanat menjadi amat penting dalam sajak-sajak Zawawi. Dia bagaimanapun penyair liris. Dan sebagai penyair liris, Zawawi tentu hanya ingin menyatakan perasaan dan pikirannya yang sebermula adalah sesuatu yang tidak jelas benar, bahkan bagi Zawawi sendiri. Dalam puisi liris, kita seringkali hanya berhadapaan dengan citraan-citraan, bayang-bayang, gambar imajinatif, yang tidak jelas acuan maknanya, tapi suasana tertentu bisa kita rasakan. Suasana itulah yang seringkali memberikan kesegaran pada kita setiap kali membacanya, yakni sesuatu yang tak terkatakan namun amat kita rasakan. Bukankah kita seringkali mengalami perasaan yang tak bisa dikatakan? Misalnya, puisi Zawawi yang berjudul “Dengan Engkau” berikut ini (D. Zawawi Imron, 1985: 29):

kusambut anginmu setelah berhasil melacak jiwaku yang penasaran di
terjal bukit-bukit batu
sementara mawar mengeringkan embun, matahari yang bengis tak kuasa
menyadap cintamu
hanya aku yang bisu, tegak tapi agak ragu pada harum jejakmu.
dan kalau langit bermendung di ujung kemarau, tangis pun adalah lagu
keimanan
senyummu membias di linang hatiku.

Terhadap puisi-puisi liris sejenis ini, yakni puisi yang sulit ditangkap pesan atau amanatnya, Subagio Sastrowardoyo mengajukan pertanyaan (Soebagio Sastrowardoyo 1982: 218):

…apakah itu sajak-sajak yang dengan sengaja tidak memerlukan tafsiran dan cukup dinikmati saja perbauran bayang angan-angannya, ataukah itu sajak-sajak yang gagal membawa makna, dan tinggal puas dengan teka-teki dan rahasia alam surreaslisme, seperti mimpi yang tidak mampu memberi makna?

Subagio cenderung pada kemungkinan kedua. Katanya, “… kita lihat kini bahwa khusus di dalam kumpulan sajak Bulan Tertusuk Lalang banyak sajak yang nampaknya gagal mengemukakan maknanya karena penyairnya terlalu larut dalam arus perbauran bayang angan-angannya sendiri” (Subagio Sastrowardoyo, 1989: 221). Sayangnya dia membandingkan puisi liris dengan mimpi, tidak dengan seni lukis surealis atau musik simfoni, yang dia sarankan sebelumnya. Kalau dengan itu puisi liris dia bandingkan, kesimpulannya mungkin sekali akan lain. Bukankah pada lukisan surealis dan orkes simfoni kita juga tak bisa sampai pada amanat, tapi toh kita menangkap perasaan tertentu yang bukan main nikmatnya?

Saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan mengutip dua puisi Zawawi yang lain, yang pada hemat saya menunjukkan kecermatan penyair membangun suasana, citraan, pergumulan perasaan dengan alam, dan khususnya kecermatan dalam mengontrol dan memilih kata-kata. Dengan kecermatan itulah puisi senantiasa memberikan kesegaran bahasa. Tugas puisi dengan demikian tampaknya bukan terutama menyampaikan makna, pesan, atau amanat —semacam kedalaman filsafat atau pemikiran diskursif. Kalau lukisan dan musik tidak bertugas menyampaikan pesan, kenapa puisi harus memikul tugas itu? Bukankah puisi juga karya seni, sebagaimana lukisan dan musik? Maka, marilah kita nikmati dua puisi D. Zawawi Imron berikut tanpa bersusah payah mencari-cari maknanya:


UNDANGAN

Undangan itu telah kudengar lewat suara berburung di ujung malam.
Siapakah yang mengibas-ngibaskan angin ke permukaan darahku?
kelam pun lelah, lalu menyembah di puncak hatiku yang meruncing di atas bukit.
bertengger pagi di bawah bendera kabut, nilai-nilai pun bergeser. Setelah
kertas tua itu menghampar dan aku berdiri di atasnya, bintang-bintang
yang sempat kupungut semalam kini berceceran bersama jejak-jejak
milikku.

Dari tempat yang akan kutuju terdengar bunyi bommu, aku takut
untuk maju karena mulut maut pasti di situ. Tapi anginmu
berhembus kencang hingga aku dibawa terbang. Ternyata di sana
sejukmu sedang kaubagi.

(D. Zawawi Imron, 1985: 84)


SUNGAI KECIL

sungai kecil, sungai kecil! di manakah engkau telah kulihat?
antara cirebon dan purwokerto ataukah hanya dalam mimpi?
di atasmu batu-batu kecil sekeras rinduku dan di tepimu daun-daun
bergoyang menaburkan sesuatu yang kuminta dalam doaku
sungai kecil, sungai kecil! terangkanlah kepadaku, di manakah negeri
asalmu?
di atasmu akan kupasang jembatan bambu agar para petani mudah
melintasimu dan akan kubersihkan lubukmu agar para perampok
yang mandi merasakan juga sejuk airmu
sungai kecil, sungai kecil! mengalirlah terus ke rongga jantungku dan
kalau kau payah, istirahatlah ke dalam tidurku! kau yang jelita
kutembangkan buat kasihku.

(D. Zawawi Imron, 1999: 71).***
-------------------------------------------------
1. Sayangnya, ada prolem etimologis di sini, atau tepatnya problem pengindonesian. Desa Batangbatang dibagi menjadi dua wilayah utara dan selatan, yang dalam bahasa Madura disebut Tangbatang Dhaja (= Batangbatang Utara) dan Tangbatang Lao’ (= Batangbatang Selatan). Nama dua wilayah itu diindonesiakan bukan mengikuti terjemahannya dalam bahasa Indonesia, melainkan berdasarkan kedekatan ujarnya antara bahasa Madua dan bahasa Indonesia. Demikianlah dhaja menjadi daya (maka Tangbatang Dhaja menjadi Batangbatang Daya) dan lao’ menjadi laut (maka Tangbatang Lao’ menjadi Batangbatang Laut). Pengindonesian ini kadangkala dirasakan menggelikan bagi orang Madua sendiri. Mereka akan menyebut Batangbatang Daya atau Batangbatang Laut (dalam bahasa Indonesia) sambil tertawa, dengan sedikit rasa malu atau dengan nada merendahkan bahkan mengejek. Namun demikian, dalam administrasi pemerintahan desa, Batangbatang Daya dan Batangbatang Laut tampaknya merupakan nama resmi dua wilayah desa tersebut dalam bahasa Indonesia. Ini terbukti dengan tertulisnya dua nama itu (Batangbatang Daya dan Batangbatang Laut) pada papan nama desa di jalan raya Batangbatang. Dan lagi, sebagaimana di derah-daerah lain, di Madura bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan hingga ke desa-desa.

2. Pada tahun 1987 Nenekmoyangku Air Mata mendapat hadiah Yayasan Buku Utama; pada tahun 1990, Nenekmoyangku Air Mata dan Celurit Emas terpilih sebagai buku pumpulan puisi terbaik oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (kini: Pusat Bahasa), Departemen Pendidikan Nasional RI. Di samping itu, kumpulan sajak Bulan Tertusuk Lalang mengilhami film arahan sutradara Garin Nugroho, berjudul Bulan Tertusuk Ilalang (1995). Film ini mendapat sejumlah penghargaan, di antaranya pada Festival Film Nantes, Prancis (November 1995).

3. Sajak “Kepada Ibu” itu selengkapnya adalah sebagai berikut:

sepantun senyum melambaikan tangis sekerat jiwa
dan jerit seluruh mega
kucari pergantungan ke tiang-tiang
dan ranting-ranting di luar jendela
namun tak bisa
bahkan pada secanting tuak tak kutemukan
damai yang dijanjikan pantai kesayangan
bulan termangu di luar pintu
jalanan ramah jauh di dalam hati
di sana langkahku menyiris debu
alankah tak habis-habisnya rindu
pada kata-kata yang mengeram dalam darahku.

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest