Imamuddin SA
Dan, mungkin saat ini aku harus berbicara, Bapak! Membuka pintu gejolak batinku yang berteriak. Memberontak dalam kerangkeng jasadku. Aku ingin mengutarakannya secepatnya. Mungkin dengan jalan ini aku sedikit bisa merasakan kebahagiaan. Merasakan kebebasan. Menikmati kelegaan. Sakit rasanya.
Tapi aku masih ragu dengan keputusanku. Aku kalah dengan ketakutanku. Aku lemah. Ternyata, aku masih saja seperti kemarin. Diam. Memendam luka begitu dalam. Tidak, aku harus bangkit. Membangun keberanian untuk mengungkapkannya. Membuat jejak perubahan. Mengukir kebermaknahan. Paling tidak perubahan untuk batinku. Perubahan bagi diriku.
Seketika itu aku tersentak. Dan beranjak dari tempat dudukku. Berlari membawa segenap keberanian yang sempat lunglai. Menghampiri sesosok tubuh yang melintas di lensa mataku. Menelusuri remang malam berselimutkan kesunyian.
Saat itu, persis di antara kampungku dan kampung sebelah, aku menghadangnya. Menghentikan langkah kaki sesosok tubuh yang telah kukenali itu. Ya, sosok itu adalah guru kelasku. Tanpa basa-basi, aku langsung menghujamkan kepalanku di bagian rusuk kirinya. Ia terjungkal. Mengerang kesakitan. Ia bangkit. Dan mencoba melakukan perlawanan kepadaku. Namun, sebelum ia sempurnakan berdirinya, lagi-lagi kudaratkan kepalanku di rusuknya. Kali ini di rusuk sebelah kanannya.
Setelah beberapa kali aku lancarkan pukulan, aku merasa sedikit puas. Waktu itu aku sengaja menghajarnya di bagian rusuknya. Hal itu aku lakukan bukannya tanpa tujuan. Aku bermaksud agar tidak terlihat bekasnya pas di sekolah besok. Ini puncak amarahku. Ini hanya sebatas peringatan kepadanya. Aku harap ia jera. Dan tidak semena-mena terhadapku sewaktu berada di kelas. Juga terhadap teman-temanku yang lain.
Dalam ketidak berdayaannya, hanya tinggal mulut besarnya yang masih bisa nerocos. Ia masih berkelit menanyakan kesalahannya. Ia seolah tidak mengerti duduk permasalahannya. Ia bertanya dan bertanya terus kepadaku. Sesekali mengiba kepadaku dengan memegang kakiku. Aku hanya diam. Berdiri gagah seolah menikmati kemenanganku. Dengan kediamanku, aku harap dia bisa mengintrospeksi diri. Dan menyadari pribadinya yang sedikit kurang tepat saat melakukan proses kegiatan belajar dan pembelajaran di kelas.
Dasar orang tak berperasaan. Keras kepala. Tak bisa megoreksi pribadinya. Melihat suasana semacam itu, aku pun tak bisa membungkam diri. Aku terpaksa melontarkan kata-kata pedas. Dan sedikit kasar kepadanya.
“Apa? Kau masih mengelak! Pura-pura tak mengerti?” ujarku penuh emosi. Tak ada unggah-ungguh bahasa nan mengenakkan hati.
“Sungguh aku tak tahu duduk permasalahannya. Yang kutahu, kau tanpa sebab telah melakukan penganiayaan kepadaku. Gurumu sendiri. Kau murid durhaka.”
“Masih saja kau bersilat lidah. Bersikap masa bodoh. Seolah tak mengerti apa-apa. Bukankah ini juga hasil pola pembelajaranmu di sekolah tempo hari? Bukankah ini yang kau harapkan dari setiap muridmu?”
“Apa maksudmu? Omonganmu ngelantur. Kau jelas-jelas mendurhakaiku. Tapi kau malah melempar kesalahan kepadaku. Kau tidak sepantasnya melawan gurumu. Apalagi menganiayanya. Dasar tak berakhlak.” ujarnya geram, sambil melaghujamkan tinjunya ke mukaku. Seraya berkelit untuk melarikan diri.
Kepalaku sedikit kuelakkan. Dan tangan kananku menangkisnya. Tanganku yang lain kembali mendarat persis di perutnya. Dia terhuyung. Jatuh!
“Perlakuan ini memang pantas untukmu. Biar kau jera. Dan aku tidak mendurhakai siapa pun di sini. Aku hanya memberi sedikit peringatan kepada bandit.”
“Jera…..? Bandit……?”
“Ya, benar. Aku dan teman-teman yang lain bukanlah binatang yang bisa seenaknya diperlakukan melampaui batas. Main hina. Main pukul. Dan……”
“Kau bilang tindakanku melampaui batas! Ini sebuah sarana pembelajaran. Semuanya demi masa depanmu.”
“Masa depan katamu! Aku manusia. Bukan hewan. Pembelajaran pun harus dilakukan dengan etika yang manusiawi pula. Berbeda denganmu.”
“Kau yang tidak mengerti. Ini kulakukan agar kau bisa secepatnya menguasai materi yang kusampaikan. Tapi, apa hasilnya? Kau tetap saja tak bisa-bisa. Apalagi tanpa kekerasan. Kau bebal.”
“Kalau tidak bebal, aku tidak akan sekolah. Dan menjadi muridmu. Kalau tidak bebal, aku sudah pasti yang menjadi gurumu. Coba kau pikir. Orang menerima pengetahuan itu tidak sertamerta langsung bisa. Tapi sedikit demi sedikit. Kadang pula pemahaman yang sampai juga sedikit. Ini butuh kesabaran dalam menerima dan menyampaikanya. Apalagi setelah mata pelajaran yang satu usai, ada lagi mata pelajaran lain yang fokus dan konsepnya berbeda. Coba renungkan. Jika pada mata pelajaran yang pertama ada kekurang pahaman, sementara sudah ditumpuki mata pelajaran lain, apa yang akan terjadi. Jika kau benar-benar manusiawi, kau pasti mengerti akan hal ini. Itu sekedar contoh dari dua mata pelajaran. Belum yang lain. Berapa banyak mata pelajaran di sekolah! Hitung saja. Jika semua guru menuntut hal yang sama. Dan menerapkan strategi yang sama pula, maka apa yang terjadi?”
“Kau tidak mengerti sulitnya berposisi sebagai guru. Ketuntasan belajar menjadi tuntutan utama seorang guru. Ini sudah aturan dari pusat. Jika tidak ada ketuntasan, ini pengaruhnya terhadap dirimu juga ketika ujian akhir nasional. Nilaimu buruk. Dan tidak lulus. Jadi aku harus melakukan penekanan keras agar tujuan itu tercapai. Meski dengan sedikit dengan kekerasan.”
“Sedikit kekerasan katamu? Aku kira tidak! Yang kau prioritaskan sementara ini hanya sisi intelektualnya saja. Sementara tujuan orang bersekeloh tidak hanya itu-itu saja. Seharusnya yang menjadi prioritas utama adalah mental, emosional dan perilaku. Ini bekal utama dalam melakukan pengabdian di masyarakan kelak. Dan ini hasil pendidikan kekerasan yang kau terapkan. Rasakan!” Sambil kuhujamkan kepalanku di perut guru itu. Lagi-lagi ia terhuyung jatuh.
“Tidak. Kau masih awam akan hal ini. Kau tidak tahu betapa sulitnya memahamkan seseorang.”
“Aku tahu semua itu. Oleh sebab itu, di sini kuterapkan caramu dalam memahamkan pribadiku saat berada di kelas. Ini kulakukan agar kau paham. Agar kau memahami bagaimana posisiku sewaktu di kelas. Agar kau merasakan perihnya hati dan daging ini oleh goresan luka. Biar esok kau tak semena-mena lagi. Tidak ada penghinaan. Dan kebrutalan lagi dalam proses belajar dan pembelajaran. Entah terhadapku atau pada teman-teman yang lain.”
“Kau tetap tidak mengerti.” sedikit erangnya.
“Ketidakmengertianku di sini disebabkan ketidakmengertianmu pula saat kau berada di kelas. Tentunya kau telah banyak makan bangku di sekolah. Kau pasti tahu bagaimana rasanya menjadi murid sepertiku. Sebel. Jengkel. Benci. Bahkan marah, bukan? Saat kau mendapati guru yang berkarakter sama sepertimu.”
“Benar. Tapi aku tidak brutal sepertimu. Toh nyatanya aku juga bisa berhasil seperti ini.”
“Tapi kau sungguh keterlaluan. Melampaui batas kewajaran. Tidak ada jenjang keberkalaan. Salah sedikit langsung main hina. Main pukul. Tidak hafal sedikit, kerasnya penggaris mendarat di tubuhku. Tidak ada himbauan. Tidak ada pengarahan sebelumnya. Pendidikan macam apa ini? Gunakan rasa kemanusiaanmu. Dan perlu kau camkan. Keberhasilanmu hingga kau bisa mengajar seperti ini disebabkan pelajaran yang telah kau tekuni telah menjurus. Telah berfokus pada satu bidang pelajaran. Dan itu jadi fakmu. Sementara aku saat ini……? Berapa macam pelajaran di sekolah yang harus aku telan. Semua pelajaran itu berbeda-beda, bukan? Coba pikir!”
Guru itu terdiam. Sedikit bangkit dari tempat jatuhnya. Lantas ia menyeruduk aku laksana banteng yang menembus kain merah matadornya. Kini giliran aku yang terhuyung. Aku terjatuh. Serudukkannya begitu keras. Tepat di bagian perutku. Kali ini aku lengah. Dan tak dapat mengelaknya.
Guru itu lari sipat kuping. Sementara itu aku mengerang. Berdiri sedikit gontai. Aku berusaha mengejarnya. Namun ia sudah terlalu jauh untuk kukejar. Aku urungkan niatku. Dan membalikkan langkah kakiku. Aku kembali ke kampungku. Berjalan pelan seraya mengatur irama jantungku.
Sebenarnya aku kesal dengan diriku sendiri. Sebab aku telah membiarkannya pergi. Masih cukup banyak ungkapan yang harus aku nyatakan kepadanya. Emosiku masih meledak-ledak. Ibarat bom atom yang yang jatuh di Nagasaki dan Hirosima waktu perang dunia kedua. Namun apa yang telah kulakukan, rasanya sudah lebih dari cukup. Aku merasa lega sebab telah berhasil menuangkan gejolak batinku yang selama bertahun-tahun meringkuk terkurung waktu. Ya, bagiku inilah kebahagian terbesar dalam hidupku. Kebahagiaan sebab aku telah berhasil keluar dari tekanan batinku. Lega rasanya. Beban berat di pundakku terrasa hilang sudah.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Kamis, 31 Juli 2008
Rabu, 30 Juli 2008
Puisi-Puisi Anis Ceha
Jala Hitam Robek Ujungnya
Kau tebarkan jala hitam pada benakku
Katamu suatu ketika pada kawan lama
Yang kau tinggalkan di ujung jalan pengap
Sebab hujan terlalu deras turunnya
Dan belum sempat kering uapnya pada tanah
Dan dinding-dinding di bahu-bahu pengap itu
Lalu menderu hatimu, meradang karang membentuk
Bongkah-bongkah yang airnya bebas berlarian,
Kemudian bersembunyi lantas menghilang bersama
Molekul-molekulnya
Jala hitam yang ada, katamu robek bagian ujungnya
Lantas kau sambung perlahan dengan sisa dukamu
“Aku tersenyum waktu aku menjahitnya, sebab kemudian
Mata air air di mataku tlah menguap bersama anganku yang
Kau hempas ketika belum sampai di tengah,
Jalanku…”
Lantas, kemudian…
Lantas, apa yang kuperoleh dari sebuah duka…
Sebab maknanya saja aku tak mampu menilai
Sebab wujudnya saja aku tak jua meraba
Karena terlalu lama aku mengejanya
Kemudian berbaur, melingkar, dan memudar
Kemudian…
Tarianmu yang kau suguhkan padaku
Terlalu indah dan gemulai, setiap geraknya
Namun sayang, indraku mulai hilang kesadarannya
Untuk bisa menikmati seutuhnya…
:molek tubuhmu
Indah senyummu
Ayu parasmu
Gemulai jemarimu…
Ah…, ku matikan saja engkau
Sebab telah menjadi benalu
Pada nyenyak tidur sore lalu
010906
Malam Lebur
Kekasih…
Kulebur malam-malam dengan benaman wajah
Di hamparan padang yang tak segan membuka jiwa
Tak lelah engkau berbagi
Dengan embun
Dengan lendir
Dengan kerongkong, kemudian tersekat
Dan hidung, yang lalu tersumbat
Dosa-dosa teramat lebat
Semakin berbunga dan berbuah
Kekasih…
Dengan segala aku telah berusaha
Mencintaimu, mengasihimu
Hingga ruas-ruas jari pun
Ku hiasi hena segala rupa…
Kekasih…
Ku lebur malam-malam lentur
Biar dosa-dosa terkubur.
Demi Tuhan
Kau tahu itu
Bukan hanya tubuh yang ku tawarkan
Tapi hatiku, bungkuslah
Lalu kau bawa pulanglah…
Demi Tuhan
Demi segenap jiwa resah
Aku mengembara mencari angin sejuk
Yang kemudian mencari angin sejuk
Yang kemudian bisa menghilangkan
Cucuran keringat
Atas nama Tuhanku
Ingin ku tarik selengan tangan
Ingin ku rengkuh seluruh peluh
Agar kau juga menyambutku
Atas nama Tuhanmu
Tuhan kita…
060927
Astaghfirullah
Biarkan waktu memuja cinta kita
Tapi aku juga membiarkan waktu
Memenggal seleher cinta kita
Biar ditebang pun tak mengapa
Jika hanya syahwat ad dunya yang menggelora
Gelora yang tak selalu bisa diredam
Astaghfirullah,
Maafkan aku dengan segenap cintaku padaMu
Telah tidak bermaksud mendua
Sebab aku masih bisa merasa
Bahwa engkau yang maha melihat
Bahwa engkau yang maha mengetahui
Jauh di sudut jiwa yang gulita meredam sunyi
… astaghfirullah
Maafkan aku dengan segenap cinta
Selaik-laiknya untukMu, duhai penyeru alam
060928
Kau tebarkan jala hitam pada benakku
Katamu suatu ketika pada kawan lama
Yang kau tinggalkan di ujung jalan pengap
Sebab hujan terlalu deras turunnya
Dan belum sempat kering uapnya pada tanah
Dan dinding-dinding di bahu-bahu pengap itu
Lalu menderu hatimu, meradang karang membentuk
Bongkah-bongkah yang airnya bebas berlarian,
Kemudian bersembunyi lantas menghilang bersama
Molekul-molekulnya
Jala hitam yang ada, katamu robek bagian ujungnya
Lantas kau sambung perlahan dengan sisa dukamu
“Aku tersenyum waktu aku menjahitnya, sebab kemudian
Mata air air di mataku tlah menguap bersama anganku yang
Kau hempas ketika belum sampai di tengah,
Jalanku…”
Lantas, kemudian…
Lantas, apa yang kuperoleh dari sebuah duka…
Sebab maknanya saja aku tak mampu menilai
Sebab wujudnya saja aku tak jua meraba
Karena terlalu lama aku mengejanya
Kemudian berbaur, melingkar, dan memudar
Kemudian…
Tarianmu yang kau suguhkan padaku
Terlalu indah dan gemulai, setiap geraknya
Namun sayang, indraku mulai hilang kesadarannya
Untuk bisa menikmati seutuhnya…
:molek tubuhmu
Indah senyummu
Ayu parasmu
Gemulai jemarimu…
Ah…, ku matikan saja engkau
Sebab telah menjadi benalu
Pada nyenyak tidur sore lalu
010906
Malam Lebur
Kekasih…
Kulebur malam-malam dengan benaman wajah
Di hamparan padang yang tak segan membuka jiwa
Tak lelah engkau berbagi
Dengan embun
Dengan lendir
Dengan kerongkong, kemudian tersekat
Dan hidung, yang lalu tersumbat
Dosa-dosa teramat lebat
Semakin berbunga dan berbuah
Kekasih…
Dengan segala aku telah berusaha
Mencintaimu, mengasihimu
Hingga ruas-ruas jari pun
Ku hiasi hena segala rupa…
Kekasih…
Ku lebur malam-malam lentur
Biar dosa-dosa terkubur.
Demi Tuhan
Kau tahu itu
Bukan hanya tubuh yang ku tawarkan
Tapi hatiku, bungkuslah
Lalu kau bawa pulanglah…
Demi Tuhan
Demi segenap jiwa resah
Aku mengembara mencari angin sejuk
Yang kemudian mencari angin sejuk
Yang kemudian bisa menghilangkan
Cucuran keringat
Atas nama Tuhanku
Ingin ku tarik selengan tangan
Ingin ku rengkuh seluruh peluh
Agar kau juga menyambutku
Atas nama Tuhanmu
Tuhan kita…
060927
Astaghfirullah
Biarkan waktu memuja cinta kita
Tapi aku juga membiarkan waktu
Memenggal seleher cinta kita
Biar ditebang pun tak mengapa
Jika hanya syahwat ad dunya yang menggelora
Gelora yang tak selalu bisa diredam
Astaghfirullah,
Maafkan aku dengan segenap cintaku padaMu
Telah tidak bermaksud mendua
Sebab aku masih bisa merasa
Bahwa engkau yang maha melihat
Bahwa engkau yang maha mengetahui
Jauh di sudut jiwa yang gulita meredam sunyi
… astaghfirullah
Maafkan aku dengan segenap cinta
Selaik-laiknya untukMu, duhai penyeru alam
060928
Selasa, 15 Juli 2008
Puisi-Puisi Dadang Ari Murtono
Jurnal Kebudayaan The Sandour III 2008
TIGA BELAS FRAGMEN BUAT SINDHU
sepasang mata selebar piring berdiri di dada ibumu,
di kelamin ayahmu
1. Tidur
aku bermimpi menjadi sebatang pohon
dan saat terbangun
rambutku telah berganti daun-daun
2. Pertemuan
menuju muara
tubuhku mencair dan mengalir
mengikuti liku-liku tubuhmu
3. Keberangkatan
satu persatu orang-orang pergi
dan tubuhku tinggal gerimis
4. Handphone
jerit yang terus menyala
ijinkan aku tidur di relung matamu
5. Di Bawah Akasia
gerimis telah menjadi hujan
mari, berlindung di balik puisi
6. Bir
di riak busanya
tertulis norma, agama dan dunia
“mabuklah”
7. Kerinduan
pantatmu tercecer di lorong-lorong sunyi
yang membentang dalam tumpukan
puisiku
8. Doa
setelah berjuang melahirkan kata
aku ingin mati di rindang senyummu
9. Buka
segera siapkan pisau paling tajam
kita tikam lapar di ulu jantungnya
agar tuntas segala dendam
biar lepas segenap beban
10. Sendiri
masuklah ketubuhku
penuhi relung dan lorong
juga gang-gang sempit berbahaya
tak perlu sungkan atau malu
sekian lama aku menunggu
menancapkan kejujuran di
antara belahan dada
dan lingkar pinggulku
11. Bagaimana
bagaimana bisa kubentangkan
lanskap senja di tengah hamparan
gerimis
bila hujan dan malam
telah merobek-robek sajakku
12. Eden
di kelopak matanya
adam meringkuk telanjang
menunggu kata-kata
yang tak kunjung pulang
mencari selembar daun salam
untuk menghias kelamin istrinya
13. Mawar
mekarlah, bersahajalah
seperti senja yang teduh dan cantik
sepasang mata selebar piring berdiri di dada ibumu,
di kelamin ayahmu
2007
Dadang Ari Murtono, lahir di Mojokerto, 28 Maret 1984.
TIGA BELAS FRAGMEN BUAT SINDHU
sepasang mata selebar piring berdiri di dada ibumu,
di kelamin ayahmu
1. Tidur
aku bermimpi menjadi sebatang pohon
dan saat terbangun
rambutku telah berganti daun-daun
2. Pertemuan
menuju muara
tubuhku mencair dan mengalir
mengikuti liku-liku tubuhmu
3. Keberangkatan
satu persatu orang-orang pergi
dan tubuhku tinggal gerimis
4. Handphone
jerit yang terus menyala
ijinkan aku tidur di relung matamu
5. Di Bawah Akasia
gerimis telah menjadi hujan
mari, berlindung di balik puisi
6. Bir
di riak busanya
tertulis norma, agama dan dunia
“mabuklah”
7. Kerinduan
pantatmu tercecer di lorong-lorong sunyi
yang membentang dalam tumpukan
puisiku
8. Doa
setelah berjuang melahirkan kata
aku ingin mati di rindang senyummu
9. Buka
segera siapkan pisau paling tajam
kita tikam lapar di ulu jantungnya
agar tuntas segala dendam
biar lepas segenap beban
10. Sendiri
masuklah ketubuhku
penuhi relung dan lorong
juga gang-gang sempit berbahaya
tak perlu sungkan atau malu
sekian lama aku menunggu
menancapkan kejujuran di
antara belahan dada
dan lingkar pinggulku
11. Bagaimana
bagaimana bisa kubentangkan
lanskap senja di tengah hamparan
gerimis
bila hujan dan malam
telah merobek-robek sajakku
12. Eden
di kelopak matanya
adam meringkuk telanjang
menunggu kata-kata
yang tak kunjung pulang
mencari selembar daun salam
untuk menghias kelamin istrinya
13. Mawar
mekarlah, bersahajalah
seperti senja yang teduh dan cantik
sepasang mata selebar piring berdiri di dada ibumu,
di kelamin ayahmu
2007
Dadang Ari Murtono, lahir di Mojokerto, 28 Maret 1984.
Kamis, 10 Juli 2008
Duel Dua Bajingan
Fahrudin Nasrulloh
http://www.suaramerdeka.com/
Di tebing jurang Wuluh di bukit Kumbang, onggokan mayat-mayat berserakan di mana-mana. Gubuk-gubuk padepokan lantak terbakar. Amis darah meruap, menjelma bebayang hantu ditelan asap dan menyarang pedat ke rongga-rongga batu karang.
Roh memayat beterbangan
Diterpa cahaya purnama
Yang lahir dan yang mati
Tinggal kisah di sekotak peti
Jadi kenangan esok hari
Malam terus merayapi rasa kelam. Tapi kobaran api kian menerbangkan lelatu kematian. Membubung tinggi. Hitam pekat berliuk-liuk. Bergulung-gulung bagai ribuan naga sanca yang berlesatan menerobos angkasa. Di atas purnama bersaput warna kuning jingga, kejahatan malam itu bak geriap ajal yang membelit bayangan pandangan mata durja.
Ia mendengus beringas. Tatapannya sangar. Mengoceh ngalor-ngidul. Congornya memuncratkan ludah banger. Baunya bisa semaputkan orang. Ia berjubah hitam. Bertubuh gempal. Tegap gagah, tampan. Tapi rautnya penuh parut bekas bacokan. Mengerikan dan angker. Omongannya ngawur. Mbelgedes! Mbelgedes! Semprotan itu selalu ia semburkan ketika amarahnya muntap.
Tubuhnya dekil. Bau bangkai babi. Petakilan tingkahnya. Berangasan bila melihat perempuan ayu montok. Tak malu ngocol di jalanan. Memang ia suka mengecrotkan maninya di sembarang jalan. Ia menghunus pedang bergagang naga. Matanya memancarkan kilat bersaput kejora. Melesat ia, secepat lawa, di atas selembar daun jati, menembus pepohonan. Berlayangan dari ranting ke ranting. Seperti gagak maut yang mengibaskan kepak bengis sekarat, melengkingkan kesumat, amuknya terpanggang dendam membara. Sekujur tubuhnya bergetar gemuruh angkara.
Di bukit Kumbang, kobaran api masih berjilat-jilat, lelaki itu berdiri bak arca yang bangkit dari kutukan zalimnya. Jubah hitamnya berkibar-kibar diterpa sangit malam. Ingatan yang lamur, sayup-sayup terbayang di pelupuk mripatnya simbahan darah sang guru, Ki Padas Getas. Bagai janin mimpi beraroma keji, pembumihangusan padepokan bukit Kumbang baginya betul-betul menorehkan tragedi yang memilukan. Empat puluh murid Ki Padas Getas binasa dengan cara mengerikan. Puluhan kitab warisan Syekh Karamuk musnah terbakar. Sebagian dilenyapkan ke jurang Wuluh, sebagian dirampok para pemburu kitab di bawah pimpinan bajingan Pieter Zan Boven, si Belanda pincang bermata picak.
Lelaki itu berkelebat ke udara. Tangannya mengusap-usap wajah buruknya. Sembari memekik, ia berteriak lantang ketika melihat Pieter tergopoh-gopoh bersama dua orang bersorjan coklat-hitam yang menggembol bungkusan besar.
“Mau lari ke mana kau, londo bangsat!? Hayo hadapi aku, jika kau benar-benar pembunuh bayaran Kompeni laknat itu!”
Mendengar celometan itu, Pieter hanya terkekeh-kekeh sengir menatap sumir tingkah pongah Sawungpati. Seraya meludah-ludah jijik, ia duduk berleha-leha dan bersiul-siul ngece di sebongkah karang. Mengelus-elus pistolnya bergagang emas. Sebilah keris berwarangka kuning kemerah-merahan tersengkelit di pinggangnya.
“Sawungpati, jangan cuma pamer kesaktian! Aku tak akan lari dari kematian. Akulah tuan dari segala kematian. Dan kematianmu tinggal selangkah lagi. Dan malam inilah malam terakhirmu. Ketahuilah, Ki Padas Getas dan semua muridnya sudah mati dengan peluru-peluru berajah babiku ini. Mereka pantas mampus. Ia telah bersekongkol dengan Surapati yang mempecundangi dan membunuh Kapten Francois Tack di Kartasura. Karena itu, aku dapat bayaran banyak dari Kompeni untuk membunuh semua sahabat dan antek-antek Surapati.”
“Bangsat kalian! Persetan dengan Kompeni! Juga Sri Sunan yang jadi begundal dan boneka kaum kafir itu. Kalian sebut Surapati sebagai bandit pengacau. Tapi dia sahabatku yang punya keyakinan dan jiwa ksatria, dan bagiku, dia-lah yang layak menjadi raja di tlatah Jawa, ketimbang Sri Sunan yang dungu, gampang membunuh, dan gelap kekuasaan itu. Terlebih lagi, kalianlah perampok negeri kami! Bangsat! Jiancurit! Asu kurap!!! Cuih! Bedebah! Cuih!”
“He he he, Siapa yang lebih anjing bin babi hoi, murid begajulan! Kau curi kitab Bajra Tapak Geni Ki Padas Getas. Kau cabuli putrinya, Ni Mayang Wulan, hingga ia terhina dan gantung diri. Kau tak pernah bergabung dengan laskar Surapati dalam peperangan sekalipun. Hidupmu berhura-hura. Berjudi. Sabung ayam. Merampok dan menjarahi harta juragan-juragan Cina. Main perempuan hingga zakarmu kena raja singa. Ha ha ha, kau lebih laknat dari iblis, Sawungpati! Dan sekarang, kita ini sama-sama biadab, Sawungpati! Kau tak terima juga jika sekarang aku melakukan kejahatan yang sebenarnya lebih sesat dari kejahatanmu!”
Dua murid murtad Ki Padas Getas itu gencar saling berserapah dan lempar tuduhan. Pieter, si jangkung merit beraut mayat, bertulang bak jrangkong. Dengusan napasnya bagai memletikkan rambut pasir api yang kuasa membangkitkan mimpi buruk bagi siapa pun yang terjebak menatap kesangaran wajahnya. Ketangkasannya bertarung sabung memang setara dengan Sawungpati yang telah menguasai kitab Bajra Tapak Geni. Namun pelor-pelor pistolnya yang berajah gaib itulah, yang banyak membikin gentar musuh. Bahkan Kompeni juga orang-orang Mataram pun menggigil menghadapinya.
“Pieter, kenapa kau tega membunuh guru kita?”
“Ia pantas mati. Bukan perkara aku dibayar oleh Kapten Eygel untuk membinasakannya. Tapi aku yakin, jika tak kubunuh si bongkeng bau tanah itu, dia pasti nanti kau bunuh juga dan kau rampas pula kitab saktinya. Dan ternyata benar dugaanku.”
“Tapi mengapa pula kau lenyapkan semua kitab Syekh Karamuk?”
“Aku sudah mempelajarinya semua. Termasuk kitab babon Segara Ireng Kalimatul Arsy wal Maut. Aku yakin, tak seorang pun pewarisnya yang khatam mengamalkannya. Kecuali aku. Aku. Akulah pewaris tunggal semua ilmu guru yang kelak menjadi jawara di tlatah ini yang tiada tandingnya.”
“Sontoloyo, celeng demit asu begejil!! Terbakarlah leluhur bejatmu di alam baka, bangsat!”
“Hei, lancang benar kau sebut-sebut roh leluhurku di Den Haag yang telah beristirahat dengan tenang. Memang, aku sudah telanjur jadi iblis. Aku bukan pengabdi Kompeni, bukan budak siapa pun. Akulah tuan dari kebejatanku sendiri, dari segala kejahatan dunia. Sudahlah! Jangan banyak bacot! Hayo kita bertarung!!!” Ciaaatttttt!!!
Ciaw, ciow, cah cih cuh
Mata elang sambar menyambar
Bayangan getih bersintakan
Digulat dendam, silir menyilir
Yahoi, jurus-jurus beradu
Menetak nadi, gemetar pepati
Ciaw, ciow, cah cih cuh
Pieter berkelebat. Menghambur ke arah Sawungpati. Sementara, dua pengikutnya, jawara bule peranakan; Gajul van Deer dan Bajul van Keir telah bersiap-sigap menyerang dari sisi kanan dan kiri.
“Hoi, kalian menyingkirlah! Ini urusanku dengan Sawungpati. Jangan ikut campur!!!”
“Kami berdua juga ingin menguji kesaktian Sawungpati, Tuan!” pekik Bajul van Keir.
“Benar, Tuan, aku juga sudah gatal ingin meremukkan kepala si durjana ini!” sambung Gajul van Deer.
“Jamput! Dasar kroco-kroco tak tahu diri. Kalian bukan tandingannya. Jangan membantah perintahku! Atau kubunuh kalian sekarang!?”
Seketika keduanya ciut nyali dan nyengir seperti disawuri tai anjing. Mereka mundur barang lima tombak. Bersungut-sungut gentar campur grundel sambil mondar-mandir mengayun-ayunkan pedang dan kapak mereka.
Bagi Gajul dan Bajul, mereka hanya sekali menyaksikan pertarungan dua pendekar urakan itu. Inilah persabungan kedua mereka setelah, lima tahun sebelumnya, Pieter sempat dicocor mripat kirinya dengan jurus Tapak Carang Goyang oleh Sawungpati hingga picak, dan kemiren kaki kanannya tertetak pedangnya hingga dingklang. Tapi Sawungpati juga terluka cukup memedihkan. Karena sabetan keris Wotyamadipati milik Pieter, hampir sekujur wajahnya penuh carut luka. Mengerikan. Menyayat pandangan.
Dalam sekejap keduanya sudah bertarung sengit. Berlompatan di udara. Menukik. Menghunus. Saling sambar menyambar dengan jurus masing-masing. Hunjaman demi hunjaman keris Pieter menyodok ke wajah Sawungpati. Sabetan pedang Sawungpati juga berkali-kali menjurus ke dada Pieter, namun ia tangkas berkelit lincah.
Sesekali keduanya berkelebatan dari bongkahan karang satu ke bongkahan karang lain. Jika tak hati-hati, mereka bisa terpeleset terjerumus ke jurang Wuluh. Tapi mereka bukan pendekar kacangan yang ceroboh seperti dua cecunguk Pieter tadi yang keberanian dan ketangguhannya terbilang ecek-ecek.
Hiaattt!.... Ciahhhh!....
Ciaaatttt!.... Heahhh!....
Gema suara mereka melengking menggelegar hebat. Denting keris dengan pedang memekakkan telinga. Percikannya bak tebaran timah panas berpletikan ke mana-mana. Menggiriskan bulu kuduk. Memaksa mata tertapuk berkejap sebab kilaunya memerihkan tatapan. Membunarkan jarak pandang. Memusingkan kepala bagi siapa saja yang jika berani coba-coba membuka kedipan mata.
Tiba-tiba Sawungpati mundur tiga langkah. Menata kuda-kuda. Membuka jurus-jurus dari kitab Bajra Tapak Geni. Kaki kirinya dilipat dan ditapakkan di dengkul kanannya. Matanya terpejam. Dua telapak tangannya saling dirapatkan dan diacungkan ke langit. Mulutnya komat-kamit merapalkan mantra:
aji bajra tapak geni
segara langit segara bumi
lipat pati latu getih
biqudratillahi mautika
rajiun wa laknatun
Pieter tidak tinggal diam. Lima pelor berajah babi telah siap dibidikkan. Namun ia juga berjaga-jaga dengan mendaraskan mantra dari kitab Segara Ireng Kalimatul Arsy wal Maut:
aji geni ireng segara areng
sipat Gusti sipat langgeng
sipat menus sipat pati
matia sajroning dzat Gusti
la ilaha illallahu Muhammadar rasulullah
Serentak keduanya saling menerjang. Kibasan, pukulan, dan tetakan sama-sama mereka lancarkan.
Pieter mulai keteter. Dengan susah payah ia berkelit dan menangkis pukulan dan tendangan Sawungpati. Sawungpati terus merangsek. Jurus kelima Bajra Tapak Geni ia tukikkan ke ulu hati Pieter. Sial. Pieter tak sempat menghindar. Kecepatan pukulan itu melebihi desisan napasnya yang mulai ngos-ngosan. Ia terjengkang tiga langkah ke belakang. Sambil memegangi ulu hatinya, Pieter menghirup setarikan napas.
“Ha, ha, ha, bagaimana rasanya Bajra Tapak Geni-ku, Pieter? Jantungmu bisa-bisa ambrol dan gosong!!! Ha, ha, ha!!!
Pieter tak meladeni ocehan itu. Sekilat lepas ia tembakkan pistolnya. Sawungpati tergeregap menghindar. Berjumpalitan bagai kutu loncat. Empat tembakan dapat ia tepiskan. Tapi satu peluru menyarang di perutnya. Darah mulai menetes. Ia merintih-rintih, cengar-cengir kesakitan. Wajahnya yang bercarut luka kini memerah. Racun pelor rajah babi dengan sendirinya merasuk ke seluruh aliran darah dan membuat si terluka makin garang dan lepas kendali bagai celeng alas sinting mengamuk menyerang musuhnya.
Sementara Pieter mulai terhuyung-huyung dan berjalan terdingklang-dingklang sembari memegangi ulu hatinya dengan tangan kirinya. Tangan kanannya masih kuasa menodongkan pistol kosong itu ke jidat Sawungpati. Ia tahu tak ada waktu lagi mengisi peluru, lantas membuang pistol.
Pieter segera mencabut keris Wotyamadipati. Keringat dingin menderas meleleri sekujur tubuhnya. Ia semakin gemetar merasakan keampuhan pukulan Bajra Tapak Geni. Sawungpati juga mencabut pedangnya. Tapi pedang ini bukan pedang pusaka. Kendati pedang ini pernah membikin picak dan pincang si Pieter. Itu pun karena gabungan jurus pedang dengan dengan ajian Bajra Tapak Geni.
Keduanya saling berhadapan dalam jarak dua tombak. Tampaknya inilah pertarungan hidup-mati mereka. Lalu keduanya saling menyerang.
Crasss…. Jlepp….
Akhkhkh…. Eighghrrhghrrr….
Tebasan pedang Sawungpati membuntungkan tangan kiri Pieter. Mata Pieter mengerjap-ngerjap. Menatap dengan nanar ke purnama yang mengisut tenggelam dijemput fajar. Pieter limbung. Gontai. Lalu tersungkur tepat di kaki Sawungpati.
Sedangkan Sawungpati, lebih tragis lagi, keris Wotyamadipati menancap di lehernya hingga tembus ke tengkuk. Darahnya muncrat membasahi sekujur tubuhnya. Namun ia tetap berdiri tegap dengan mata mendelik-delik. Nyalang mripatnya seolah hendak menghirup cahaya fajar yang mulai menyingsing. Mulutnya ingin memekikkan sesuatu. Tapi tak kuasa. Lalu ia rubuh tersimpuh. Meregang nyawa. Suaranya mengorok-orok sesenggrokan. Seperti kelejatan jerit sapi disembelih. Sejenak kemudian, kepalanya tertunduk. Dan darahnya yang menghitam kental itu masih saja merembes dari lehernya.
Dengan cekatan Gajul dan Bajul menyingkirkan Pieter dari posisi Sawungpati. Pieter barangkali hanya pingsan sebab kehabisan darah. Tapi pukulan Sawungpati itu juga teramat mematikan. Akhirnya, dengan membopong Pieter beserta barang jarahan lainnya, keduanya cepat-cepat meninggalkan bukit Kumbang itu.
Padepokan Lembah Pring, Jombang, 2006-2008
http://www.suaramerdeka.com/
Di tebing jurang Wuluh di bukit Kumbang, onggokan mayat-mayat berserakan di mana-mana. Gubuk-gubuk padepokan lantak terbakar. Amis darah meruap, menjelma bebayang hantu ditelan asap dan menyarang pedat ke rongga-rongga batu karang.
Roh memayat beterbangan
Diterpa cahaya purnama
Yang lahir dan yang mati
Tinggal kisah di sekotak peti
Jadi kenangan esok hari
Malam terus merayapi rasa kelam. Tapi kobaran api kian menerbangkan lelatu kematian. Membubung tinggi. Hitam pekat berliuk-liuk. Bergulung-gulung bagai ribuan naga sanca yang berlesatan menerobos angkasa. Di atas purnama bersaput warna kuning jingga, kejahatan malam itu bak geriap ajal yang membelit bayangan pandangan mata durja.
Ia mendengus beringas. Tatapannya sangar. Mengoceh ngalor-ngidul. Congornya memuncratkan ludah banger. Baunya bisa semaputkan orang. Ia berjubah hitam. Bertubuh gempal. Tegap gagah, tampan. Tapi rautnya penuh parut bekas bacokan. Mengerikan dan angker. Omongannya ngawur. Mbelgedes! Mbelgedes! Semprotan itu selalu ia semburkan ketika amarahnya muntap.
Tubuhnya dekil. Bau bangkai babi. Petakilan tingkahnya. Berangasan bila melihat perempuan ayu montok. Tak malu ngocol di jalanan. Memang ia suka mengecrotkan maninya di sembarang jalan. Ia menghunus pedang bergagang naga. Matanya memancarkan kilat bersaput kejora. Melesat ia, secepat lawa, di atas selembar daun jati, menembus pepohonan. Berlayangan dari ranting ke ranting. Seperti gagak maut yang mengibaskan kepak bengis sekarat, melengkingkan kesumat, amuknya terpanggang dendam membara. Sekujur tubuhnya bergetar gemuruh angkara.
Di bukit Kumbang, kobaran api masih berjilat-jilat, lelaki itu berdiri bak arca yang bangkit dari kutukan zalimnya. Jubah hitamnya berkibar-kibar diterpa sangit malam. Ingatan yang lamur, sayup-sayup terbayang di pelupuk mripatnya simbahan darah sang guru, Ki Padas Getas. Bagai janin mimpi beraroma keji, pembumihangusan padepokan bukit Kumbang baginya betul-betul menorehkan tragedi yang memilukan. Empat puluh murid Ki Padas Getas binasa dengan cara mengerikan. Puluhan kitab warisan Syekh Karamuk musnah terbakar. Sebagian dilenyapkan ke jurang Wuluh, sebagian dirampok para pemburu kitab di bawah pimpinan bajingan Pieter Zan Boven, si Belanda pincang bermata picak.
Lelaki itu berkelebat ke udara. Tangannya mengusap-usap wajah buruknya. Sembari memekik, ia berteriak lantang ketika melihat Pieter tergopoh-gopoh bersama dua orang bersorjan coklat-hitam yang menggembol bungkusan besar.
“Mau lari ke mana kau, londo bangsat!? Hayo hadapi aku, jika kau benar-benar pembunuh bayaran Kompeni laknat itu!”
Mendengar celometan itu, Pieter hanya terkekeh-kekeh sengir menatap sumir tingkah pongah Sawungpati. Seraya meludah-ludah jijik, ia duduk berleha-leha dan bersiul-siul ngece di sebongkah karang. Mengelus-elus pistolnya bergagang emas. Sebilah keris berwarangka kuning kemerah-merahan tersengkelit di pinggangnya.
“Sawungpati, jangan cuma pamer kesaktian! Aku tak akan lari dari kematian. Akulah tuan dari segala kematian. Dan kematianmu tinggal selangkah lagi. Dan malam inilah malam terakhirmu. Ketahuilah, Ki Padas Getas dan semua muridnya sudah mati dengan peluru-peluru berajah babiku ini. Mereka pantas mampus. Ia telah bersekongkol dengan Surapati yang mempecundangi dan membunuh Kapten Francois Tack di Kartasura. Karena itu, aku dapat bayaran banyak dari Kompeni untuk membunuh semua sahabat dan antek-antek Surapati.”
“Bangsat kalian! Persetan dengan Kompeni! Juga Sri Sunan yang jadi begundal dan boneka kaum kafir itu. Kalian sebut Surapati sebagai bandit pengacau. Tapi dia sahabatku yang punya keyakinan dan jiwa ksatria, dan bagiku, dia-lah yang layak menjadi raja di tlatah Jawa, ketimbang Sri Sunan yang dungu, gampang membunuh, dan gelap kekuasaan itu. Terlebih lagi, kalianlah perampok negeri kami! Bangsat! Jiancurit! Asu kurap!!! Cuih! Bedebah! Cuih!”
“He he he, Siapa yang lebih anjing bin babi hoi, murid begajulan! Kau curi kitab Bajra Tapak Geni Ki Padas Getas. Kau cabuli putrinya, Ni Mayang Wulan, hingga ia terhina dan gantung diri. Kau tak pernah bergabung dengan laskar Surapati dalam peperangan sekalipun. Hidupmu berhura-hura. Berjudi. Sabung ayam. Merampok dan menjarahi harta juragan-juragan Cina. Main perempuan hingga zakarmu kena raja singa. Ha ha ha, kau lebih laknat dari iblis, Sawungpati! Dan sekarang, kita ini sama-sama biadab, Sawungpati! Kau tak terima juga jika sekarang aku melakukan kejahatan yang sebenarnya lebih sesat dari kejahatanmu!”
Dua murid murtad Ki Padas Getas itu gencar saling berserapah dan lempar tuduhan. Pieter, si jangkung merit beraut mayat, bertulang bak jrangkong. Dengusan napasnya bagai memletikkan rambut pasir api yang kuasa membangkitkan mimpi buruk bagi siapa pun yang terjebak menatap kesangaran wajahnya. Ketangkasannya bertarung sabung memang setara dengan Sawungpati yang telah menguasai kitab Bajra Tapak Geni. Namun pelor-pelor pistolnya yang berajah gaib itulah, yang banyak membikin gentar musuh. Bahkan Kompeni juga orang-orang Mataram pun menggigil menghadapinya.
“Pieter, kenapa kau tega membunuh guru kita?”
“Ia pantas mati. Bukan perkara aku dibayar oleh Kapten Eygel untuk membinasakannya. Tapi aku yakin, jika tak kubunuh si bongkeng bau tanah itu, dia pasti nanti kau bunuh juga dan kau rampas pula kitab saktinya. Dan ternyata benar dugaanku.”
“Tapi mengapa pula kau lenyapkan semua kitab Syekh Karamuk?”
“Aku sudah mempelajarinya semua. Termasuk kitab babon Segara Ireng Kalimatul Arsy wal Maut. Aku yakin, tak seorang pun pewarisnya yang khatam mengamalkannya. Kecuali aku. Aku. Akulah pewaris tunggal semua ilmu guru yang kelak menjadi jawara di tlatah ini yang tiada tandingnya.”
“Sontoloyo, celeng demit asu begejil!! Terbakarlah leluhur bejatmu di alam baka, bangsat!”
“Hei, lancang benar kau sebut-sebut roh leluhurku di Den Haag yang telah beristirahat dengan tenang. Memang, aku sudah telanjur jadi iblis. Aku bukan pengabdi Kompeni, bukan budak siapa pun. Akulah tuan dari kebejatanku sendiri, dari segala kejahatan dunia. Sudahlah! Jangan banyak bacot! Hayo kita bertarung!!!” Ciaaatttttt!!!
Ciaw, ciow, cah cih cuh
Mata elang sambar menyambar
Bayangan getih bersintakan
Digulat dendam, silir menyilir
Yahoi, jurus-jurus beradu
Menetak nadi, gemetar pepati
Ciaw, ciow, cah cih cuh
Pieter berkelebat. Menghambur ke arah Sawungpati. Sementara, dua pengikutnya, jawara bule peranakan; Gajul van Deer dan Bajul van Keir telah bersiap-sigap menyerang dari sisi kanan dan kiri.
“Hoi, kalian menyingkirlah! Ini urusanku dengan Sawungpati. Jangan ikut campur!!!”
“Kami berdua juga ingin menguji kesaktian Sawungpati, Tuan!” pekik Bajul van Keir.
“Benar, Tuan, aku juga sudah gatal ingin meremukkan kepala si durjana ini!” sambung Gajul van Deer.
“Jamput! Dasar kroco-kroco tak tahu diri. Kalian bukan tandingannya. Jangan membantah perintahku! Atau kubunuh kalian sekarang!?”
Seketika keduanya ciut nyali dan nyengir seperti disawuri tai anjing. Mereka mundur barang lima tombak. Bersungut-sungut gentar campur grundel sambil mondar-mandir mengayun-ayunkan pedang dan kapak mereka.
Bagi Gajul dan Bajul, mereka hanya sekali menyaksikan pertarungan dua pendekar urakan itu. Inilah persabungan kedua mereka setelah, lima tahun sebelumnya, Pieter sempat dicocor mripat kirinya dengan jurus Tapak Carang Goyang oleh Sawungpati hingga picak, dan kemiren kaki kanannya tertetak pedangnya hingga dingklang. Tapi Sawungpati juga terluka cukup memedihkan. Karena sabetan keris Wotyamadipati milik Pieter, hampir sekujur wajahnya penuh carut luka. Mengerikan. Menyayat pandangan.
Dalam sekejap keduanya sudah bertarung sengit. Berlompatan di udara. Menukik. Menghunus. Saling sambar menyambar dengan jurus masing-masing. Hunjaman demi hunjaman keris Pieter menyodok ke wajah Sawungpati. Sabetan pedang Sawungpati juga berkali-kali menjurus ke dada Pieter, namun ia tangkas berkelit lincah.
Sesekali keduanya berkelebatan dari bongkahan karang satu ke bongkahan karang lain. Jika tak hati-hati, mereka bisa terpeleset terjerumus ke jurang Wuluh. Tapi mereka bukan pendekar kacangan yang ceroboh seperti dua cecunguk Pieter tadi yang keberanian dan ketangguhannya terbilang ecek-ecek.
Hiaattt!.... Ciahhhh!....
Ciaaatttt!.... Heahhh!....
Gema suara mereka melengking menggelegar hebat. Denting keris dengan pedang memekakkan telinga. Percikannya bak tebaran timah panas berpletikan ke mana-mana. Menggiriskan bulu kuduk. Memaksa mata tertapuk berkejap sebab kilaunya memerihkan tatapan. Membunarkan jarak pandang. Memusingkan kepala bagi siapa saja yang jika berani coba-coba membuka kedipan mata.
Tiba-tiba Sawungpati mundur tiga langkah. Menata kuda-kuda. Membuka jurus-jurus dari kitab Bajra Tapak Geni. Kaki kirinya dilipat dan ditapakkan di dengkul kanannya. Matanya terpejam. Dua telapak tangannya saling dirapatkan dan diacungkan ke langit. Mulutnya komat-kamit merapalkan mantra:
aji bajra tapak geni
segara langit segara bumi
lipat pati latu getih
biqudratillahi mautika
rajiun wa laknatun
Pieter tidak tinggal diam. Lima pelor berajah babi telah siap dibidikkan. Namun ia juga berjaga-jaga dengan mendaraskan mantra dari kitab Segara Ireng Kalimatul Arsy wal Maut:
aji geni ireng segara areng
sipat Gusti sipat langgeng
sipat menus sipat pati
matia sajroning dzat Gusti
la ilaha illallahu Muhammadar rasulullah
Serentak keduanya saling menerjang. Kibasan, pukulan, dan tetakan sama-sama mereka lancarkan.
Pieter mulai keteter. Dengan susah payah ia berkelit dan menangkis pukulan dan tendangan Sawungpati. Sawungpati terus merangsek. Jurus kelima Bajra Tapak Geni ia tukikkan ke ulu hati Pieter. Sial. Pieter tak sempat menghindar. Kecepatan pukulan itu melebihi desisan napasnya yang mulai ngos-ngosan. Ia terjengkang tiga langkah ke belakang. Sambil memegangi ulu hatinya, Pieter menghirup setarikan napas.
“Ha, ha, ha, bagaimana rasanya Bajra Tapak Geni-ku, Pieter? Jantungmu bisa-bisa ambrol dan gosong!!! Ha, ha, ha!!!
Pieter tak meladeni ocehan itu. Sekilat lepas ia tembakkan pistolnya. Sawungpati tergeregap menghindar. Berjumpalitan bagai kutu loncat. Empat tembakan dapat ia tepiskan. Tapi satu peluru menyarang di perutnya. Darah mulai menetes. Ia merintih-rintih, cengar-cengir kesakitan. Wajahnya yang bercarut luka kini memerah. Racun pelor rajah babi dengan sendirinya merasuk ke seluruh aliran darah dan membuat si terluka makin garang dan lepas kendali bagai celeng alas sinting mengamuk menyerang musuhnya.
Sementara Pieter mulai terhuyung-huyung dan berjalan terdingklang-dingklang sembari memegangi ulu hatinya dengan tangan kirinya. Tangan kanannya masih kuasa menodongkan pistol kosong itu ke jidat Sawungpati. Ia tahu tak ada waktu lagi mengisi peluru, lantas membuang pistol.
Pieter segera mencabut keris Wotyamadipati. Keringat dingin menderas meleleri sekujur tubuhnya. Ia semakin gemetar merasakan keampuhan pukulan Bajra Tapak Geni. Sawungpati juga mencabut pedangnya. Tapi pedang ini bukan pedang pusaka. Kendati pedang ini pernah membikin picak dan pincang si Pieter. Itu pun karena gabungan jurus pedang dengan dengan ajian Bajra Tapak Geni.
Keduanya saling berhadapan dalam jarak dua tombak. Tampaknya inilah pertarungan hidup-mati mereka. Lalu keduanya saling menyerang.
Crasss…. Jlepp….
Akhkhkh…. Eighghrrhghrrr….
Tebasan pedang Sawungpati membuntungkan tangan kiri Pieter. Mata Pieter mengerjap-ngerjap. Menatap dengan nanar ke purnama yang mengisut tenggelam dijemput fajar. Pieter limbung. Gontai. Lalu tersungkur tepat di kaki Sawungpati.
Sedangkan Sawungpati, lebih tragis lagi, keris Wotyamadipati menancap di lehernya hingga tembus ke tengkuk. Darahnya muncrat membasahi sekujur tubuhnya. Namun ia tetap berdiri tegap dengan mata mendelik-delik. Nyalang mripatnya seolah hendak menghirup cahaya fajar yang mulai menyingsing. Mulutnya ingin memekikkan sesuatu. Tapi tak kuasa. Lalu ia rubuh tersimpuh. Meregang nyawa. Suaranya mengorok-orok sesenggrokan. Seperti kelejatan jerit sapi disembelih. Sejenak kemudian, kepalanya tertunduk. Dan darahnya yang menghitam kental itu masih saja merembes dari lehernya.
Dengan cekatan Gajul dan Bajul menyingkirkan Pieter dari posisi Sawungpati. Pieter barangkali hanya pingsan sebab kehabisan darah. Tapi pukulan Sawungpati itu juga teramat mematikan. Akhirnya, dengan membopong Pieter beserta barang jarahan lainnya, keduanya cepat-cepat meninggalkan bukit Kumbang itu.
Padepokan Lembah Pring, Jombang, 2006-2008
Rabu, 09 Juli 2008
KALIBAKAR
Jurnal Kebudayaan The Sandour, III 2008
Azizah Hefni
Ribut. Teriakan sahut-menyahut. Suara serak beradu suara kecil di ruangan berselambu. Ada nyala televisi dengan volume tinggi. Belum lagi bunyi sirine kereta jalan. Semua bercampur dan siap pecah. Lantaran selambu kamar tak ada, pantulan mentari jadi meraja. Gerah. Tiap titik kegerahan menyimbolkan resah serta amarah. Tak tahan, perempuan itu membanting tasnya ke lantai dan berjalan mantap ke ruangan.
Seorang gadis remaja, anak sulungnya itu, mengisyaratkan pada sang ibu untuk tenang. Laki-laki mendelik. Suara gagaknya tertahan. Mata menyala api. Dan bocah di sudut ruangan—dengan kereta sirinenya—menatap lugu ibunya yang siap meledak. Ia segera mematikan bebunyian itu dan berlari ke halaman. Si sulung mengikuti adiknya keluar ruangan.
Kini hanya tinggal dirinya; si bungsu dan laki-laki itu. Remote masih dipegang keduanya. Alis menyeringai dari muka bapak dan anak. Keheningan dari sentakannya hanya sesaat saja. Setelah itu, si bapak menyentak lebih hebat lagi pada si bungsu. Ia juga menarik benda itu lekas dan mengumpat tegas. Bocah kecil menangis, mengadukan ulah kejam bapaknya.
Ia berjalan menghampiri Bayu yang merengek-rengek. Tangan perempuan menarik lengan anaknya yang baru dua tahun. Remote televisi mutlak digagahi laki-laki serak. Makin melengking saja tangisan Bayu. Tak ada pilihan, ia menggendongnya ke halaman dan keluar melintasi jalanan tanpa aspal. Bayu terus mengadukan kesewenangan bapaknya. Jalanan lengang itu nanti akan mengantarkan keduanya pada perkebunan Kalibakar yang luas. Sebuah perkebunan yang melintasi lima desa sekaligus. Pohon-pohon hutan lindung dan sebagian wilayah berkakao di sana menuai banyak untung.
Namun, tak sampai kesana, Idawati berbelok ke jalan tikus, mengantarkannya pada tanah tanjakan. Sebuah bukit kecil. Ia menepuk-nepuk pantat Bayu agar diam. Lantas, ia melepas gendongannya, menggandeng Bayu duduk di batu besar bawah pohon. Dari tanah bukit ini, tampak manggis dan pisang dari kebun buah warga berjajar seperti batalyon. Di sebelah utara, area pertanian jagung dan ketela. Kakao tak tampak sama sekali. Hanya di perkebunan raksasa itu yang sanggup menanamnya. Ini karena mahalnya tanaman dan lamanya masa panen.
Dari atas bukit kecil itu, area perkebunan Kalibakar terlihat seperti hutan raksasa di tengah-tengah pemukiman penduduk. Pohon-pohon lindung dan produksi gagah megah. Truk-truk pengangkut kayu tertata rapi--kejauhan seperti mainan yang berjalan-jalan dengan baterai. Dan sebelah truk-truk itu, ada pabrik pengolahan kayu.
Ia melepaskan gandengan anaknya yang masih terisak-isak pelan. “Kamu harus ngalah pada bapakmu, ngerti?” Ia meyakinkan, “Bapakmu itu pengku !” Bayu masih terisak, Idawati mengecup keningnya. Saling tatap. Air mata masih menghujan. Ia lantas memangku Bayu, diciumnya ubun-ubun bocah itu. Siur angin menambah dingin. Ia mendekapnya seerat mungkin, seperti ketika rahimnya mendekap jabang mungilnya hangat.
“Tapi Bapak kan sudah besar, Ibu!”
“Sssssttt!” telunjuk Idawati rapat dibibirnya “Kamu mau dipukul? Dilempar tongkat, heh?”
Bayu menggeleng pasrah. Ia melirik lengan Ibunya yang balur. Kayu itu tampaknya berat. Semalam ia melihat dengan kepala sendiri bagaimana bapaknya menampar batang kayu ke lengan ibunya.
Mendadak terdengar daun kering terinjak. Idawati menoleh cepat. Beberapa meter, berdiri seorang laki-laki di ujung tanjakan. Ia berseragam putih kusam dan bercelana hitam. Matanya kelelahan. Dari bibirnya sesungging senyum. Ia mengangkat bahu, menghela ringan, dan berjalan mendekat.
“Aku melihatmu berjalan cepat tadi,” gagap, suaranya serak. “Aku meneriakimu, tapi kamu tidak dengar. Jadi, aku langsung ke sini saja,”
Perempuan itu tersenyum ramah. Bayu menatap laki-laki itu asing. Ia berjalan mendekati Idawati dan duduk menjajari. Bau keringat menyengat. Angin sore di perbukitan melambai-lambaikan rambutnya. Ia bertanya kabar, dan laki-laki itu menjawab seadanya. Senyumnya masih tetap sama, tapi sorot matanya berbeda. Matanya dalam dan menusuk, gelap, menantang penuh semangat namun terpendam. Dan di pelipisnya ada lebam biru mengharu.
“Kamu masih sering di sini, Rusman?” tanyanya kemudian.
“Yah, aku selalu di sini untuk menghibur diri,” sangat apa adanya, “dulu kamu juga sering ke sini, kan? Kamu yang memberitahuku tempat ini,”
Mengangguk. Ya, dulu, sebelum matahari berubah menghitam. Sebelum langit muram kusam, sebelum semesta menunjukkan keangkuhan. Di sinilah ia menanam harapan. Hanya sebuah harapan, tentulah kalah dibanding dengan kekuatan. Laki-laki berkumis itu memiliki kekuatan dan menggilas habis harapannya.
Ia melirik perempuan yang bahkan menyapanya saja seolah ia tak berhak. Perempuan mendendangkan lagu macapat lirih. Bayu masih sesenggukan. Pasti berakhir karena tiap tepukan dari lembut tangannya menyebarkan tenang. Sepasang mata telaga, menggenang perahu yang hanya diam di permukaan. Ia ingat bagaimana Rodiah menceritakan perempuan ini menangis tersedu. Ia tak pernah bahagia. Selama linggis masih belum bisa mengapung, kesedihan tak akan bisa dibendung.
Karena menahan gejolak, leher jenjang itu bergerak-gerak menahan sesak. Dan dua butir embun siap jatuh membasahi pualam pipi. Ia mengecup ubun-ubun si buyung--bersamaan dengan itu, tetesan itu jatuh.
“Apa yang bisa kulakukan sekarang? Melihatmu begini, aku sangat menderita,” tatapan matanya naif, “Aku tak mau kau memikulnya sendiri,”
Cepat disaputnya. Ia menoleh sejenak, lantas memandangi hamparan pepohon. “Maksudmu?” Idawati berpura-pura.
“Rodiah menceritakan semuanya padaku. Jangan sembunyikan apapun lagi,” Idawati menunduk, matanya berkaca-kaca “Tak akan bisa. Penderitaan ini tak sebanding dengan penderitaan yang kamu alami,” laki-laki itu mengernyit pada perempuan di sebelahnya, “Aku juga sudah mendengar semuanya dari Pak Suhar. Dia bilang, suamiku selalu memarahimu, bahkan suka sekali menendang atau memukulmu,”
“Semua mandor melakukan itu,”
“Ya, tapi dia yang terkeji, kan? Dia tau masalalu kita,”
“Aku tahu dia dendam. Apa dia sering memukulimu juga?”
Tak ada jawaban. Rambutnya dibelai-belai angin, membuat sepasang mata bening itu menyipit. Ketenangan Bayu sempurna. Ia turun dari pangkuan dan memetik daun-daun tanaman liar.
“Sejak ia tahu masalalu kita, dia suka sekali memarahiku,” suaranya penuh dendam, ”Lambat laun ia pasti akan terbiasa memukuliku,” Bagi perempuan, perlakuan kasar itu adalah penderitaan terpanjang. Dia seperti tak sadar bahwa ia istri yang dibelinya atas nama Tuhan. Sepasang mata kembali mengembun. Berkaca-kaca dan siap pecah. Wajah merah, dagu bergetar resah. Bersamaan dengan tarikan nafasnya, mengalirlah air mata itu dengan lancar.
Tahukah, ia ingin sekali memeluk? Mengambil bebannya yang berpunuk? Hanya, mata laki-laki itu seperti mata setan, bertebaran dimana-mana. Purwanto, mandor gemuk sialan itu mengadukan hubungan yang sejujurnya sudah dimakan waktu itu pada suami Idawati yang juga seorang mandor. Culas, pedas. Ia lupa kalau dulu ia pernah miskin, pernah mengeluh tak memiliki pekerjaan. Kini, setelah diangkat menjadi mandor, begitu bebasnya ia membusungkan dada dan mencelakakan para buruh perkebunan.
Sungguh ia tak sanggup. Pernikahan paksa atas mandat bapaknya yang juga kaki tangan mandor bejat itu sudah amat melukainya. Idawati sempat mengancam akan membunuh dirinya dengan terjun dari bukit ke lembah berbatu. Lebih baik mati dari pada menikah dengan mandor licik seperti Totor Raharjo. Hanya saja, ada kekuatan abstrak yang diatur melingkupinya. Banyak yang membantu kutukan itu bertahan, termasuk tetuo di lereng Semeru. Konon, ia telah bertapa puluhan tahun. Selama linggis masih tenggelam dalam air, ia tak akan bisa lepas. Kematian akan datang, entah pada siapa, dirinya atau laki-laki kenangannya. Haruskah ia rela mati, agar sepasang mata itu merekah lagi, seperti saat Rusman mengajaknya melihat lingsir matahari?
“Kita lari saja,” Suara Rusman memecah udara, memecah tenang dalam diri perempuan itu. “Kita pergi dari Kalibakar! Pergi sejauh-jauhnya!”
“Kamu pikir mudah? Salah satu dari kita akan mati! Bagaimana dengan anak-anakku? Lagipula, aku tak mau kamu mati! Djati Kusumo itu pertapa hebat. Supri dan Jukri mati disantetnya. Wati, anak yang menolak lamaran Purwanto, mandor tengik itu mati mengenaskan. Perutnya banyak kabel dan baterai! Banyak kutukan yang berhasil dan abadi!” ia berteriak panik. Bayu melihat ibunya menegang.
“Emakmu itu, bagaimana bila kehilangan kamu? Adikmu belum menikah! Kamu juga. Bukankah kabarnya kamu akan menikah dengan Rodiah?”
“Aku tidak akan menikah dengan siapapun!!”
Ia diam, mencerna kalimat yang dilontarkan begitu tegas memegas. Idawati menarik nafas, dan melemparnya kasar. Air mata deras tak tertahan. Isaknya menggebu-gebu. Bayu semakin tak tahu menahu.
Rusman tak tahan. Ia memeluk tubuh Idawati yang ringkih. Mata laki-laki itu tak kuasa menahan derita. Ia ingat dulu, saat ia masih begitu leluasa memeluk kekasihnya atau sekadar menghapus air matanya. Idawati tak mengelak. Ia memang butuh dermaga lantaran terlalu lama menderita. Karena angin mengerti, maka diamlah ia berkelebat. Dua helai daun jatuh, tepat ketika Idawati membalas pelukan kekasih lamanya. Bayu menatap ibunya tak mengerti.
***
Dan ia berjalan, mengangkut kayu-kayu ke atas truk. Keringat sudah berbaris rapat-rapat. Seorang buruh tampak ditendang pantatnya lantaran terlihat menerima kiriman makanan dari perempuan--mungkin istrinya. Para buruh di sini berhadapan dengan mandor-mandor berwatak kompeni. Belanda sudah berlalu, tapi watak kemlondo masih menyatu. Ia sering mendengar keluhan buruh perkebunan. Bagaimana si mandor meraung-raung, memukul atau menendang buruh yang terlambat. Bagi buruh yang terlambat, hari itu tidak akan mendapat upah. Upah dari pusat akan masuk ke kantong mandor-mandor tengik itu.
Ia berdiri di sana. Dua tangannya berkacak pinggang. Rusman merapatkan badan, berbisik pada rekan sebelahnya. Ia membisikkan rencana pertemuan rahasia setelah pulang kerja pada para buruh satu persatu. Sekalipun tampak takut dan khawatir, para buruh itu mengangguk. Amarah itu sudah menjadi kerak-kerak raksasa di dada mereka. Dan pemuda bernama Rusman itu akan melebarpaksakan nyali mereka yang sempit.
Senja tiba, para buruh mulai berbondong pulang ke rumah. Rusman berjalan paling belakang. Krah baju tiba-tiba tertahan. Wajah laki-laki beringas sudah menyeringai di belakangnya. “Hari ini kamu tidak mendapat upah!”
“Tapi, apa salahku? Aku tidak terlambat! ”
“Lebih dari terlambat. Kamu menemui istriku, Ccuuhh!” ia meludah tepat di wajahnya. Rusman memejamkan mata, merasakan pukulan keras di pipinya beberapa kali.
***
Malam kelam. Sekelompok orang melingkar di rumah Kang Utomo. Tegang memanggang. Dan beberapa buruh tampak mengangguk sepakat. Ada yang menyeru nama Tuhan, ada yang berteriak merdeka. Rusman tahu respon rekan-rekannya akan sangat baik. Mereka hanya butuh dipancing untuk sedikit lebih berani.
Begitulah, perkumpulan rahasia itu tiap hari diadakan. Semakin matang buah pikiran mereka. Lahan di Kalibakar adalah lahan nenek moyang desa. Dulu, Belanda memang menguasainya, namun, sekarang Belanda sudah pergi, maka tanah harus kembali ke pangkuan desa. Pemerintah sudah mengeluarkan pernyataan perihal hak tanah, namun hanya sebagian kecil. Pemilik perusahaan perkebunan masih duduk nyaman di kota. Sementara pula, para mandor berbuat sewenang-wenang.
***
Perempuan itu berjalan seorang diri di bukit. Ia menduduki satu-satunya batu di bawah pohon dan menatap hijau daun di sepanjang mata. Laki-laki itu ada di dalam sana, di gerombolan pohon raksasa. Apa yang ia lakukan? Apakah ia baik-baik saja? Ia ingat, kemarin Rusman mengatakan cinta dan menciumnya. Ia tersenyum sendiri.
Lantas, Idawati meraba pipinya yang masih panas. Semalam suaminya memukulnya keras sekali. Sebelumnya lagi, ia mendorongnya hingga membentur meja. Lihat, pelipisnya tersumbat perban. Ada darah mengalir dan nyaris masuk ke mata kanannya, tersebab suaminya tahu bahwa ia bertemu Rusman. Pastilah Djati Kusumo yang memberitahunya.
Di tempat sunyi ini, terdampar seribu lebih ilusi. Ia ingin kembali melewati area perbukitan, melewati laut dengan guruh gelombangnya, melewati angkasa yang menaburkan benih bintang gemintang. Ia mendesah, mengingat-ingat lagi masa dimana ia memilihnya menjadi pendamping hidup. Betapa rapuh mentalnya! Hanya karena sentakan bapaknya yang mengatasnamakan Tuhan dan status darahnya, ia rela menjalani hidup dengan duda tanpa anak itu. Sejujurnya, apakah hakekat sebuah jalinan rumah tangga? Kenapa ia menjadi sebuah kewajiban bila sejatinya begitu membuat menderita?
Tiba-tiba ia melihat kobaran api. Idawati mengemasi lamunannya. Ia bangkit dan menyipitkan pandangan. Pohon-pohon bergumbul itu tampak terbakar. Pabrik dan truk-truk juga. Ramai riuh. Kepulan asap bergulung-gulung di udara. Aih!
Serta merta ia ingat Rusman. Laki-laki itu ada di sana. Panik mengantarkan kakinya dengan sangat cepat menuruni tanah tanjakan, dan melewati jalan-jalan sempit tak beraspal. Sampai ia terantuk batu dan tersungkur. Darah mengalir dari dua lututnya dan beberapa jari. Idawati bersegera berdiri dan terus melarikan kakinya.
Suara teriakan kian dekat, panik kian hebat. Dari gerbang perkebunan tampak para buruh berliaran keluar. Perempuan mencari-cari. Ia menanyakan kepada beberapa pegawai pabrik yang bebas lari, namun mereka tak menggubris. Para buruh kehilangan kendali dan masing-masing berusaha menyelamatkan diri.
Mata Idawati nanar. Ia meneriaki nama kekasihnya. Hingar bingar. Ia menahan sakit di kakinya. Namun, ia kembali tersungkur saat sebuah kaki besar bersepatu boat menjegalnya. Seterusnya, banyak yang menginjak punggungnya, tangannya, kepalanya, rambutnya, lehernya, kakinya... Kemudian perempuan itu tak merasakan apa-apa lagi.
***
Pembakaran perkebunan mendapat sorot tajam dari media. Pemerintah turun lapangan dan menyelesaikan masalah. Buruh yang bermain di belakang layar mulai dicari. Sementara status tanah diperdebatkan lagi. Kalibakar menjadi sebuah lahan sunyi dan penuh dendam. Banyak korban, tak satupun mandor yang hidup. Jauh diluar dugaan, kematian begitu banyak.
Para buruh menyimpan dendam kesumat demikian lama. Sungguh ini diluar dugaan. Keliaran itu lahir saat api membakar kawasan. Banyak penduduk dan para petani ikut masuk dan mengacaukan susana. Orang-orang sudah terlanjur menyukai jalan ini. Jalan teriakan, umpatan, pembakaran, dan pembunuhan. Satu lagi, jalan kutukan! Semua ini karena dendam. Ketenangan itu, bagi mereka, hanya mampu diselesaikan dengan darah.
Atas nama sepasang mata perempuan yang semakin tertekan menahan beban, Rusman menjadi pelopor. Saat api mulai berkobar, laki-laki itu berlari memasuki kantor dan melempar obor ke tubuh mandor tengik itu. Ia ingat bagaimana tubuhnya menggelinjang seperti cacing terpanggang. Ia sangat puas melihat tubuh yang terbakar itu menghitam dan benar-benar diam.
Idawati, tahukah, karena kehilanganmu, maka kurelakan penjara menghimpitku. Batin Rusman tercacah. Perempuan itu, bagaimana bisa tergeletak dengan simbah darah di perkebunan? Apa yang ia lakukan di sana? Bukankah seharusnya ia mengurus anak-anaknya di rumah dengan tenang? Setelah membakar tubuh Totor Raharjo, Rusman berlari ke rumah kekasihnya. Betapa terkejut ia saat Bayu menggelengkan kepala dan mengatakan sang ibu tak ada di rumah.
Laki-laki itu digelandang, juga beberapa buruh lain yang tak bisa lari dan sembunyi. Ia menunduk, menghindari jepret media dan sorot kamera. Betapa luka telah menggores seluruh komponen kedirian laki-laki itu. Ia merasa tidak hidup lagi. Ia adalah entah.
Bayu dan dua kakaknya menangisi kedua orang tua mereka yang bersatu dengan tanah. Jepret-jepret kamera tak kalah ramai. Pekuburan dikunjungi banyak orang. Selama linggis masih tenggelam ke dalam air, semuanya memang tak ada gunanya. Bukit lengang. Sepasang mata perempuan di atas bukit kembali tergenang. Ia harus rela jasadnya bersebelahan dengan suaminya lagi.***
Malang, 28 Juni 2007
Azizah Hefni, perempuan mungil kelahiran Surabaya, 03 April 1987. lewat cerpennya yang berjudul Pintu Yang Terkunci memenangkan Juara II pada lomba cipta cerpen yang diadakan oleh CWI yang bekerjasama dengan Kementrian Pemuda & Olah Raga Republik Indonesia (RI) tahun 2006. Perempuan yang bercita-cita menjadi Hakim ini juga menjadi penggerak sastra di Malang Jawa Timur. Puisinya ikut dalam antologi Nubuat Labirin Luka (2005). Cerpennya terkumpul dalam antologi tunggal Pertemuan Di Rintik Hujan (Lintang Sastra, 2004). Kini sedang menyelesaikan beberapa novel.
Azizah Hefni
Ribut. Teriakan sahut-menyahut. Suara serak beradu suara kecil di ruangan berselambu. Ada nyala televisi dengan volume tinggi. Belum lagi bunyi sirine kereta jalan. Semua bercampur dan siap pecah. Lantaran selambu kamar tak ada, pantulan mentari jadi meraja. Gerah. Tiap titik kegerahan menyimbolkan resah serta amarah. Tak tahan, perempuan itu membanting tasnya ke lantai dan berjalan mantap ke ruangan.
Seorang gadis remaja, anak sulungnya itu, mengisyaratkan pada sang ibu untuk tenang. Laki-laki mendelik. Suara gagaknya tertahan. Mata menyala api. Dan bocah di sudut ruangan—dengan kereta sirinenya—menatap lugu ibunya yang siap meledak. Ia segera mematikan bebunyian itu dan berlari ke halaman. Si sulung mengikuti adiknya keluar ruangan.
Kini hanya tinggal dirinya; si bungsu dan laki-laki itu. Remote masih dipegang keduanya. Alis menyeringai dari muka bapak dan anak. Keheningan dari sentakannya hanya sesaat saja. Setelah itu, si bapak menyentak lebih hebat lagi pada si bungsu. Ia juga menarik benda itu lekas dan mengumpat tegas. Bocah kecil menangis, mengadukan ulah kejam bapaknya.
Ia berjalan menghampiri Bayu yang merengek-rengek. Tangan perempuan menarik lengan anaknya yang baru dua tahun. Remote televisi mutlak digagahi laki-laki serak. Makin melengking saja tangisan Bayu. Tak ada pilihan, ia menggendongnya ke halaman dan keluar melintasi jalanan tanpa aspal. Bayu terus mengadukan kesewenangan bapaknya. Jalanan lengang itu nanti akan mengantarkan keduanya pada perkebunan Kalibakar yang luas. Sebuah perkebunan yang melintasi lima desa sekaligus. Pohon-pohon hutan lindung dan sebagian wilayah berkakao di sana menuai banyak untung.
Namun, tak sampai kesana, Idawati berbelok ke jalan tikus, mengantarkannya pada tanah tanjakan. Sebuah bukit kecil. Ia menepuk-nepuk pantat Bayu agar diam. Lantas, ia melepas gendongannya, menggandeng Bayu duduk di batu besar bawah pohon. Dari tanah bukit ini, tampak manggis dan pisang dari kebun buah warga berjajar seperti batalyon. Di sebelah utara, area pertanian jagung dan ketela. Kakao tak tampak sama sekali. Hanya di perkebunan raksasa itu yang sanggup menanamnya. Ini karena mahalnya tanaman dan lamanya masa panen.
Dari atas bukit kecil itu, area perkebunan Kalibakar terlihat seperti hutan raksasa di tengah-tengah pemukiman penduduk. Pohon-pohon lindung dan produksi gagah megah. Truk-truk pengangkut kayu tertata rapi--kejauhan seperti mainan yang berjalan-jalan dengan baterai. Dan sebelah truk-truk itu, ada pabrik pengolahan kayu.
Ia melepaskan gandengan anaknya yang masih terisak-isak pelan. “Kamu harus ngalah pada bapakmu, ngerti?” Ia meyakinkan, “Bapakmu itu pengku !” Bayu masih terisak, Idawati mengecup keningnya. Saling tatap. Air mata masih menghujan. Ia lantas memangku Bayu, diciumnya ubun-ubun bocah itu. Siur angin menambah dingin. Ia mendekapnya seerat mungkin, seperti ketika rahimnya mendekap jabang mungilnya hangat.
“Tapi Bapak kan sudah besar, Ibu!”
“Sssssttt!” telunjuk Idawati rapat dibibirnya “Kamu mau dipukul? Dilempar tongkat, heh?”
Bayu menggeleng pasrah. Ia melirik lengan Ibunya yang balur. Kayu itu tampaknya berat. Semalam ia melihat dengan kepala sendiri bagaimana bapaknya menampar batang kayu ke lengan ibunya.
Mendadak terdengar daun kering terinjak. Idawati menoleh cepat. Beberapa meter, berdiri seorang laki-laki di ujung tanjakan. Ia berseragam putih kusam dan bercelana hitam. Matanya kelelahan. Dari bibirnya sesungging senyum. Ia mengangkat bahu, menghela ringan, dan berjalan mendekat.
“Aku melihatmu berjalan cepat tadi,” gagap, suaranya serak. “Aku meneriakimu, tapi kamu tidak dengar. Jadi, aku langsung ke sini saja,”
Perempuan itu tersenyum ramah. Bayu menatap laki-laki itu asing. Ia berjalan mendekati Idawati dan duduk menjajari. Bau keringat menyengat. Angin sore di perbukitan melambai-lambaikan rambutnya. Ia bertanya kabar, dan laki-laki itu menjawab seadanya. Senyumnya masih tetap sama, tapi sorot matanya berbeda. Matanya dalam dan menusuk, gelap, menantang penuh semangat namun terpendam. Dan di pelipisnya ada lebam biru mengharu.
“Kamu masih sering di sini, Rusman?” tanyanya kemudian.
“Yah, aku selalu di sini untuk menghibur diri,” sangat apa adanya, “dulu kamu juga sering ke sini, kan? Kamu yang memberitahuku tempat ini,”
Mengangguk. Ya, dulu, sebelum matahari berubah menghitam. Sebelum langit muram kusam, sebelum semesta menunjukkan keangkuhan. Di sinilah ia menanam harapan. Hanya sebuah harapan, tentulah kalah dibanding dengan kekuatan. Laki-laki berkumis itu memiliki kekuatan dan menggilas habis harapannya.
Ia melirik perempuan yang bahkan menyapanya saja seolah ia tak berhak. Perempuan mendendangkan lagu macapat lirih. Bayu masih sesenggukan. Pasti berakhir karena tiap tepukan dari lembut tangannya menyebarkan tenang. Sepasang mata telaga, menggenang perahu yang hanya diam di permukaan. Ia ingat bagaimana Rodiah menceritakan perempuan ini menangis tersedu. Ia tak pernah bahagia. Selama linggis masih belum bisa mengapung, kesedihan tak akan bisa dibendung.
Karena menahan gejolak, leher jenjang itu bergerak-gerak menahan sesak. Dan dua butir embun siap jatuh membasahi pualam pipi. Ia mengecup ubun-ubun si buyung--bersamaan dengan itu, tetesan itu jatuh.
“Apa yang bisa kulakukan sekarang? Melihatmu begini, aku sangat menderita,” tatapan matanya naif, “Aku tak mau kau memikulnya sendiri,”
Cepat disaputnya. Ia menoleh sejenak, lantas memandangi hamparan pepohon. “Maksudmu?” Idawati berpura-pura.
“Rodiah menceritakan semuanya padaku. Jangan sembunyikan apapun lagi,” Idawati menunduk, matanya berkaca-kaca “Tak akan bisa. Penderitaan ini tak sebanding dengan penderitaan yang kamu alami,” laki-laki itu mengernyit pada perempuan di sebelahnya, “Aku juga sudah mendengar semuanya dari Pak Suhar. Dia bilang, suamiku selalu memarahimu, bahkan suka sekali menendang atau memukulmu,”
“Semua mandor melakukan itu,”
“Ya, tapi dia yang terkeji, kan? Dia tau masalalu kita,”
“Aku tahu dia dendam. Apa dia sering memukulimu juga?”
Tak ada jawaban. Rambutnya dibelai-belai angin, membuat sepasang mata bening itu menyipit. Ketenangan Bayu sempurna. Ia turun dari pangkuan dan memetik daun-daun tanaman liar.
“Sejak ia tahu masalalu kita, dia suka sekali memarahiku,” suaranya penuh dendam, ”Lambat laun ia pasti akan terbiasa memukuliku,” Bagi perempuan, perlakuan kasar itu adalah penderitaan terpanjang. Dia seperti tak sadar bahwa ia istri yang dibelinya atas nama Tuhan. Sepasang mata kembali mengembun. Berkaca-kaca dan siap pecah. Wajah merah, dagu bergetar resah. Bersamaan dengan tarikan nafasnya, mengalirlah air mata itu dengan lancar.
Tahukah, ia ingin sekali memeluk? Mengambil bebannya yang berpunuk? Hanya, mata laki-laki itu seperti mata setan, bertebaran dimana-mana. Purwanto, mandor gemuk sialan itu mengadukan hubungan yang sejujurnya sudah dimakan waktu itu pada suami Idawati yang juga seorang mandor. Culas, pedas. Ia lupa kalau dulu ia pernah miskin, pernah mengeluh tak memiliki pekerjaan. Kini, setelah diangkat menjadi mandor, begitu bebasnya ia membusungkan dada dan mencelakakan para buruh perkebunan.
Sungguh ia tak sanggup. Pernikahan paksa atas mandat bapaknya yang juga kaki tangan mandor bejat itu sudah amat melukainya. Idawati sempat mengancam akan membunuh dirinya dengan terjun dari bukit ke lembah berbatu. Lebih baik mati dari pada menikah dengan mandor licik seperti Totor Raharjo. Hanya saja, ada kekuatan abstrak yang diatur melingkupinya. Banyak yang membantu kutukan itu bertahan, termasuk tetuo di lereng Semeru. Konon, ia telah bertapa puluhan tahun. Selama linggis masih tenggelam dalam air, ia tak akan bisa lepas. Kematian akan datang, entah pada siapa, dirinya atau laki-laki kenangannya. Haruskah ia rela mati, agar sepasang mata itu merekah lagi, seperti saat Rusman mengajaknya melihat lingsir matahari?
“Kita lari saja,” Suara Rusman memecah udara, memecah tenang dalam diri perempuan itu. “Kita pergi dari Kalibakar! Pergi sejauh-jauhnya!”
“Kamu pikir mudah? Salah satu dari kita akan mati! Bagaimana dengan anak-anakku? Lagipula, aku tak mau kamu mati! Djati Kusumo itu pertapa hebat. Supri dan Jukri mati disantetnya. Wati, anak yang menolak lamaran Purwanto, mandor tengik itu mati mengenaskan. Perutnya banyak kabel dan baterai! Banyak kutukan yang berhasil dan abadi!” ia berteriak panik. Bayu melihat ibunya menegang.
“Emakmu itu, bagaimana bila kehilangan kamu? Adikmu belum menikah! Kamu juga. Bukankah kabarnya kamu akan menikah dengan Rodiah?”
“Aku tidak akan menikah dengan siapapun!!”
Ia diam, mencerna kalimat yang dilontarkan begitu tegas memegas. Idawati menarik nafas, dan melemparnya kasar. Air mata deras tak tertahan. Isaknya menggebu-gebu. Bayu semakin tak tahu menahu.
Rusman tak tahan. Ia memeluk tubuh Idawati yang ringkih. Mata laki-laki itu tak kuasa menahan derita. Ia ingat dulu, saat ia masih begitu leluasa memeluk kekasihnya atau sekadar menghapus air matanya. Idawati tak mengelak. Ia memang butuh dermaga lantaran terlalu lama menderita. Karena angin mengerti, maka diamlah ia berkelebat. Dua helai daun jatuh, tepat ketika Idawati membalas pelukan kekasih lamanya. Bayu menatap ibunya tak mengerti.
***
Dan ia berjalan, mengangkut kayu-kayu ke atas truk. Keringat sudah berbaris rapat-rapat. Seorang buruh tampak ditendang pantatnya lantaran terlihat menerima kiriman makanan dari perempuan--mungkin istrinya. Para buruh di sini berhadapan dengan mandor-mandor berwatak kompeni. Belanda sudah berlalu, tapi watak kemlondo masih menyatu. Ia sering mendengar keluhan buruh perkebunan. Bagaimana si mandor meraung-raung, memukul atau menendang buruh yang terlambat. Bagi buruh yang terlambat, hari itu tidak akan mendapat upah. Upah dari pusat akan masuk ke kantong mandor-mandor tengik itu.
Ia berdiri di sana. Dua tangannya berkacak pinggang. Rusman merapatkan badan, berbisik pada rekan sebelahnya. Ia membisikkan rencana pertemuan rahasia setelah pulang kerja pada para buruh satu persatu. Sekalipun tampak takut dan khawatir, para buruh itu mengangguk. Amarah itu sudah menjadi kerak-kerak raksasa di dada mereka. Dan pemuda bernama Rusman itu akan melebarpaksakan nyali mereka yang sempit.
Senja tiba, para buruh mulai berbondong pulang ke rumah. Rusman berjalan paling belakang. Krah baju tiba-tiba tertahan. Wajah laki-laki beringas sudah menyeringai di belakangnya. “Hari ini kamu tidak mendapat upah!”
“Tapi, apa salahku? Aku tidak terlambat! ”
“Lebih dari terlambat. Kamu menemui istriku, Ccuuhh!” ia meludah tepat di wajahnya. Rusman memejamkan mata, merasakan pukulan keras di pipinya beberapa kali.
***
Malam kelam. Sekelompok orang melingkar di rumah Kang Utomo. Tegang memanggang. Dan beberapa buruh tampak mengangguk sepakat. Ada yang menyeru nama Tuhan, ada yang berteriak merdeka. Rusman tahu respon rekan-rekannya akan sangat baik. Mereka hanya butuh dipancing untuk sedikit lebih berani.
Begitulah, perkumpulan rahasia itu tiap hari diadakan. Semakin matang buah pikiran mereka. Lahan di Kalibakar adalah lahan nenek moyang desa. Dulu, Belanda memang menguasainya, namun, sekarang Belanda sudah pergi, maka tanah harus kembali ke pangkuan desa. Pemerintah sudah mengeluarkan pernyataan perihal hak tanah, namun hanya sebagian kecil. Pemilik perusahaan perkebunan masih duduk nyaman di kota. Sementara pula, para mandor berbuat sewenang-wenang.
***
Perempuan itu berjalan seorang diri di bukit. Ia menduduki satu-satunya batu di bawah pohon dan menatap hijau daun di sepanjang mata. Laki-laki itu ada di dalam sana, di gerombolan pohon raksasa. Apa yang ia lakukan? Apakah ia baik-baik saja? Ia ingat, kemarin Rusman mengatakan cinta dan menciumnya. Ia tersenyum sendiri.
Lantas, Idawati meraba pipinya yang masih panas. Semalam suaminya memukulnya keras sekali. Sebelumnya lagi, ia mendorongnya hingga membentur meja. Lihat, pelipisnya tersumbat perban. Ada darah mengalir dan nyaris masuk ke mata kanannya, tersebab suaminya tahu bahwa ia bertemu Rusman. Pastilah Djati Kusumo yang memberitahunya.
Di tempat sunyi ini, terdampar seribu lebih ilusi. Ia ingin kembali melewati area perbukitan, melewati laut dengan guruh gelombangnya, melewati angkasa yang menaburkan benih bintang gemintang. Ia mendesah, mengingat-ingat lagi masa dimana ia memilihnya menjadi pendamping hidup. Betapa rapuh mentalnya! Hanya karena sentakan bapaknya yang mengatasnamakan Tuhan dan status darahnya, ia rela menjalani hidup dengan duda tanpa anak itu. Sejujurnya, apakah hakekat sebuah jalinan rumah tangga? Kenapa ia menjadi sebuah kewajiban bila sejatinya begitu membuat menderita?
Tiba-tiba ia melihat kobaran api. Idawati mengemasi lamunannya. Ia bangkit dan menyipitkan pandangan. Pohon-pohon bergumbul itu tampak terbakar. Pabrik dan truk-truk juga. Ramai riuh. Kepulan asap bergulung-gulung di udara. Aih!
Serta merta ia ingat Rusman. Laki-laki itu ada di sana. Panik mengantarkan kakinya dengan sangat cepat menuruni tanah tanjakan, dan melewati jalan-jalan sempit tak beraspal. Sampai ia terantuk batu dan tersungkur. Darah mengalir dari dua lututnya dan beberapa jari. Idawati bersegera berdiri dan terus melarikan kakinya.
Suara teriakan kian dekat, panik kian hebat. Dari gerbang perkebunan tampak para buruh berliaran keluar. Perempuan mencari-cari. Ia menanyakan kepada beberapa pegawai pabrik yang bebas lari, namun mereka tak menggubris. Para buruh kehilangan kendali dan masing-masing berusaha menyelamatkan diri.
Mata Idawati nanar. Ia meneriaki nama kekasihnya. Hingar bingar. Ia menahan sakit di kakinya. Namun, ia kembali tersungkur saat sebuah kaki besar bersepatu boat menjegalnya. Seterusnya, banyak yang menginjak punggungnya, tangannya, kepalanya, rambutnya, lehernya, kakinya... Kemudian perempuan itu tak merasakan apa-apa lagi.
***
Pembakaran perkebunan mendapat sorot tajam dari media. Pemerintah turun lapangan dan menyelesaikan masalah. Buruh yang bermain di belakang layar mulai dicari. Sementara status tanah diperdebatkan lagi. Kalibakar menjadi sebuah lahan sunyi dan penuh dendam. Banyak korban, tak satupun mandor yang hidup. Jauh diluar dugaan, kematian begitu banyak.
Para buruh menyimpan dendam kesumat demikian lama. Sungguh ini diluar dugaan. Keliaran itu lahir saat api membakar kawasan. Banyak penduduk dan para petani ikut masuk dan mengacaukan susana. Orang-orang sudah terlanjur menyukai jalan ini. Jalan teriakan, umpatan, pembakaran, dan pembunuhan. Satu lagi, jalan kutukan! Semua ini karena dendam. Ketenangan itu, bagi mereka, hanya mampu diselesaikan dengan darah.
Atas nama sepasang mata perempuan yang semakin tertekan menahan beban, Rusman menjadi pelopor. Saat api mulai berkobar, laki-laki itu berlari memasuki kantor dan melempar obor ke tubuh mandor tengik itu. Ia ingat bagaimana tubuhnya menggelinjang seperti cacing terpanggang. Ia sangat puas melihat tubuh yang terbakar itu menghitam dan benar-benar diam.
Idawati, tahukah, karena kehilanganmu, maka kurelakan penjara menghimpitku. Batin Rusman tercacah. Perempuan itu, bagaimana bisa tergeletak dengan simbah darah di perkebunan? Apa yang ia lakukan di sana? Bukankah seharusnya ia mengurus anak-anaknya di rumah dengan tenang? Setelah membakar tubuh Totor Raharjo, Rusman berlari ke rumah kekasihnya. Betapa terkejut ia saat Bayu menggelengkan kepala dan mengatakan sang ibu tak ada di rumah.
Laki-laki itu digelandang, juga beberapa buruh lain yang tak bisa lari dan sembunyi. Ia menunduk, menghindari jepret media dan sorot kamera. Betapa luka telah menggores seluruh komponen kedirian laki-laki itu. Ia merasa tidak hidup lagi. Ia adalah entah.
Bayu dan dua kakaknya menangisi kedua orang tua mereka yang bersatu dengan tanah. Jepret-jepret kamera tak kalah ramai. Pekuburan dikunjungi banyak orang. Selama linggis masih tenggelam ke dalam air, semuanya memang tak ada gunanya. Bukit lengang. Sepasang mata perempuan di atas bukit kembali tergenang. Ia harus rela jasadnya bersebelahan dengan suaminya lagi.***
Malang, 28 Juni 2007
Azizah Hefni, perempuan mungil kelahiran Surabaya, 03 April 1987. lewat cerpennya yang berjudul Pintu Yang Terkunci memenangkan Juara II pada lomba cipta cerpen yang diadakan oleh CWI yang bekerjasama dengan Kementrian Pemuda & Olah Raga Republik Indonesia (RI) tahun 2006. Perempuan yang bercita-cita menjadi Hakim ini juga menjadi penggerak sastra di Malang Jawa Timur. Puisinya ikut dalam antologi Nubuat Labirin Luka (2005). Cerpennya terkumpul dalam antologi tunggal Pertemuan Di Rintik Hujan (Lintang Sastra, 2004). Kini sedang menyelesaikan beberapa novel.
SELAMAT JALAN MAS SUR
Jurnal Kebudayaan The Sandour III, 2008
Herry Lamongan
RPA Suryanto Sastroatmodjo dikenal sebagai pengarang sastra Jawa modern. Pernah mengasuh rubrik “Bokor Kencana” Harian Berita Nasional (Bernas), ialah rubrik tanya jawab tentang budaya Jawa. Penjaga gawang rubrik “Sampur Mataram” harian Kedaulatan Rakyat (KR) yang juga membahas masalah budaya Jawa. Dan mengetuai Paguyuban Macapat Selasa Kliwon di hotel Garuda Yogyakarta.
Bupati anom sifat kapujanggan Keraton Surakarta dengan gelar KRT Suryo Puspo Hadinegoro ini, telah wafat Selasa Kliwon 17 Juli 2007 pukul 10.00. Dimakamkan hari Rabu 18 Juli 2007 di Pesareyan Pakpahan, Tasikmadu, Karanganyar, Jawa Tengah.
Kepergian budayawan kondhang ini cukup mengagetkan berbagai kalangan. “Pada malam Selasa Kliwon beliau masih tampak menghadiri acara macapatan di Hotel Garuda,” ungkap Nugroho, salah satu aktifis kegiatan itu. Pemimpin Redaksi Harian Kedaulatan Rakyat, Drs.Octo Lampito juga mengaku terkejut mendengar kabar wafatnya Mas Sur. Lebih lanjut Octo menuturkan bahwa ketika jadi wartawan yunior ia banyak belajar pada Mas Sur. Menurut Octo, Mas Sur figur yang ramah dan tidak kikir membagi ilmu, terutama hal-hal yang berkaitan dengan kebudayaan Jawa. “Karena itu, sejak dulu teman-teman sudah menyebut beliau sebagai kamus berjalan,” papar Octo yang juga Ketua PWI Cabang Yogya ketika memberi kata sambutan pemberangkatan jenazah.
Bersama Pengacara dan penggiat budaya Jawa Heniy Astiyanto SH, Mas Sur aktif dalam Perhimpunan Jawa Gandrung Yogyakarta maupun Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta (SSJY). Dalam berbagai sarasehan sastra Jawa Mas Sur sering didaulat menjadi nara sumber. Karena memang mumpuni dalam bidang budaya Jawa, beliau pun kerap diundang ke Suriname dan Belanda untuk menjadi pembicara. “Saya kira sulit mencari budayawan seperti Mas Suryanto, ramah, rendah hati dan mudah diajak membikin bermacam kegiatan untuk melestarikan kebudayaan Jawa,” ujar Heniy Astiyanto tentang Mas Sur.
RPA Suryanto Sastroatmodjo lahir di Bojonegoro, 20 Februari 1951. Beliau putra Pangeran Adipati Surya Hadi Negara III dan Ray Sri Haluwiyah Wuryaningrum, Adipati Bojonegoro (Regent Bojonegoro). Bersaudara 7 orang, tiga putra empat putri. Sejak belia Mas Sur sudah gemar menekuni masalah ngelmu kasepuhan atau kejawen. Setamat SMA beliau kuliah di jurusan Komunikasi Fisipol UGM Yogyakarta sampai sarjana muda. Sempat menjadi guru SMA Katolik Bojonegoro. Kemudian menjadi karyawan LIPI di Jakarta, namun tak kerasan tinggal di ibukota. Beliau memilih kembali dan menetap di Yogyakarta menekuni dunia kepenulisan sastra dan budaya Jawa hingga akhir hayatnya. Karya beliau banyak tersebar di berbagai koran dan majalah, antara lain di Panjebar Semangat, Jayabaya, Kumandhang, Mekarsari, Jaka Lodhang, Parikesit, Pustaka Candra, Dharma Nyata. Puluhan tulisan Mas Sur juga terbit dalam bentuk buku: Pagi Cerah di Awal April, Setetes Embun Pagi, Di Kaki Langit Utara, Tragedi Kartini, Sinuhun Hamardika, Seraut Wajah, Dolorosa Adolosensia, Sahibul Hikayat al Hayat, Balada Layang Pangentasan, dsb. Karya Mas Sur yang dimikrofilmkan oleh Koninklijk Institut Voor de Taaland ed Volkenkunde adalah Sang Bocah, Palgunaning Palguna, Balada Lintang, Pada Sebuah Musim, Sayap-sayap Merpati, Jayengbrata Lelana, dsb.
Menerima bintang emas Bhakti Budaya dari Pusat Kebudayaan Jawa Surakarta (1995), Anugerah Seni sebagai Sastrawan Jawa dari Pemda DIY (1996). Satu dari “5000 Personalities of The World” versi American Biographical Institut Stylist (1997). Dianugerahi gelar Bupati Kapujanggan KRT Suryo Puspo Hadinegoro oleh Susuhunan Paku Buwono XII (1997). Tahun 2005 kemarin beliau memperoleh penghargaan Rancage untuk antologi geguritannya Balada Layang Pangentasan.
Penulis dan “gerilyawan” sastra Lamongan, Nurel Javissyarqi pernah akrab dengan Mas Sur semasa di Yogya. Terakhir Nurel ikut mengantar jenazah Mas Sur ketika kebetulan untuk kesekian kali ia dari Lamongan dolan ke Yogya. Rabu Legi itu, mendung memayungi Pemakaman Pakpahan, Tasikmadu, Karanganyar, seakan ikut berduka mengiring jasad Mas Sur pergi abadi ke liang lahat. Selamat Jalan Mas Sur! (hela).
SEUTAS GERIMIS
:mas sur
seorang pujangga berkemas
meniti seutas waktu, sendiri
hingga ujung
huyung sempurna dengan jisim tengadah
ada gerimis luruh pagi-pagi
ada cuaca redup beberapa hari
kalendermu tanggal dari dinding kehidupan
setelah layang pangentasan
setelah bertajuk-tajuk sastra
lahir dari garba imaji dari persendian rindu
sendirimu
sendi-sendi yogya yang selalu warna-warna
tak sesunyi rumahmu kini
seorang pujangga telah pulang
meninggalkan waktu
lewat sebuah hari
engkau berangkat abadi ke seberang
langit muram, berkabung
dengan pita hitam di lengan kata-kataku
tinggal jejak senyap
kekal dalam kenangan
Lamongan 21 juni 2007
Herry Lamongan, lahir 8 mei di Bondowoso. Berkarya sejak tahun 1983 dalam bahasa Indonesia dan Jawa. Karya-karyanya berupa puisi, esai, gurit, cerpen, terpublikasikan di berbagai media cetak pusat dan daerah. Antologi tunggalnya, Lambaian Muara (1988), Latar Ngarep (2006), Surat Hening (2008).
Herry Lamongan
RPA Suryanto Sastroatmodjo dikenal sebagai pengarang sastra Jawa modern. Pernah mengasuh rubrik “Bokor Kencana” Harian Berita Nasional (Bernas), ialah rubrik tanya jawab tentang budaya Jawa. Penjaga gawang rubrik “Sampur Mataram” harian Kedaulatan Rakyat (KR) yang juga membahas masalah budaya Jawa. Dan mengetuai Paguyuban Macapat Selasa Kliwon di hotel Garuda Yogyakarta.
Bupati anom sifat kapujanggan Keraton Surakarta dengan gelar KRT Suryo Puspo Hadinegoro ini, telah wafat Selasa Kliwon 17 Juli 2007 pukul 10.00. Dimakamkan hari Rabu 18 Juli 2007 di Pesareyan Pakpahan, Tasikmadu, Karanganyar, Jawa Tengah.
Kepergian budayawan kondhang ini cukup mengagetkan berbagai kalangan. “Pada malam Selasa Kliwon beliau masih tampak menghadiri acara macapatan di Hotel Garuda,” ungkap Nugroho, salah satu aktifis kegiatan itu. Pemimpin Redaksi Harian Kedaulatan Rakyat, Drs.Octo Lampito juga mengaku terkejut mendengar kabar wafatnya Mas Sur. Lebih lanjut Octo menuturkan bahwa ketika jadi wartawan yunior ia banyak belajar pada Mas Sur. Menurut Octo, Mas Sur figur yang ramah dan tidak kikir membagi ilmu, terutama hal-hal yang berkaitan dengan kebudayaan Jawa. “Karena itu, sejak dulu teman-teman sudah menyebut beliau sebagai kamus berjalan,” papar Octo yang juga Ketua PWI Cabang Yogya ketika memberi kata sambutan pemberangkatan jenazah.
Bersama Pengacara dan penggiat budaya Jawa Heniy Astiyanto SH, Mas Sur aktif dalam Perhimpunan Jawa Gandrung Yogyakarta maupun Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta (SSJY). Dalam berbagai sarasehan sastra Jawa Mas Sur sering didaulat menjadi nara sumber. Karena memang mumpuni dalam bidang budaya Jawa, beliau pun kerap diundang ke Suriname dan Belanda untuk menjadi pembicara. “Saya kira sulit mencari budayawan seperti Mas Suryanto, ramah, rendah hati dan mudah diajak membikin bermacam kegiatan untuk melestarikan kebudayaan Jawa,” ujar Heniy Astiyanto tentang Mas Sur.
RPA Suryanto Sastroatmodjo lahir di Bojonegoro, 20 Februari 1951. Beliau putra Pangeran Adipati Surya Hadi Negara III dan Ray Sri Haluwiyah Wuryaningrum, Adipati Bojonegoro (Regent Bojonegoro). Bersaudara 7 orang, tiga putra empat putri. Sejak belia Mas Sur sudah gemar menekuni masalah ngelmu kasepuhan atau kejawen. Setamat SMA beliau kuliah di jurusan Komunikasi Fisipol UGM Yogyakarta sampai sarjana muda. Sempat menjadi guru SMA Katolik Bojonegoro. Kemudian menjadi karyawan LIPI di Jakarta, namun tak kerasan tinggal di ibukota. Beliau memilih kembali dan menetap di Yogyakarta menekuni dunia kepenulisan sastra dan budaya Jawa hingga akhir hayatnya. Karya beliau banyak tersebar di berbagai koran dan majalah, antara lain di Panjebar Semangat, Jayabaya, Kumandhang, Mekarsari, Jaka Lodhang, Parikesit, Pustaka Candra, Dharma Nyata. Puluhan tulisan Mas Sur juga terbit dalam bentuk buku: Pagi Cerah di Awal April, Setetes Embun Pagi, Di Kaki Langit Utara, Tragedi Kartini, Sinuhun Hamardika, Seraut Wajah, Dolorosa Adolosensia, Sahibul Hikayat al Hayat, Balada Layang Pangentasan, dsb. Karya Mas Sur yang dimikrofilmkan oleh Koninklijk Institut Voor de Taaland ed Volkenkunde adalah Sang Bocah, Palgunaning Palguna, Balada Lintang, Pada Sebuah Musim, Sayap-sayap Merpati, Jayengbrata Lelana, dsb.
Menerima bintang emas Bhakti Budaya dari Pusat Kebudayaan Jawa Surakarta (1995), Anugerah Seni sebagai Sastrawan Jawa dari Pemda DIY (1996). Satu dari “5000 Personalities of The World” versi American Biographical Institut Stylist (1997). Dianugerahi gelar Bupati Kapujanggan KRT Suryo Puspo Hadinegoro oleh Susuhunan Paku Buwono XII (1997). Tahun 2005 kemarin beliau memperoleh penghargaan Rancage untuk antologi geguritannya Balada Layang Pangentasan.
Penulis dan “gerilyawan” sastra Lamongan, Nurel Javissyarqi pernah akrab dengan Mas Sur semasa di Yogya. Terakhir Nurel ikut mengantar jenazah Mas Sur ketika kebetulan untuk kesekian kali ia dari Lamongan dolan ke Yogya. Rabu Legi itu, mendung memayungi Pemakaman Pakpahan, Tasikmadu, Karanganyar, seakan ikut berduka mengiring jasad Mas Sur pergi abadi ke liang lahat. Selamat Jalan Mas Sur! (hela).
SEUTAS GERIMIS
:mas sur
seorang pujangga berkemas
meniti seutas waktu, sendiri
hingga ujung
huyung sempurna dengan jisim tengadah
ada gerimis luruh pagi-pagi
ada cuaca redup beberapa hari
kalendermu tanggal dari dinding kehidupan
setelah layang pangentasan
setelah bertajuk-tajuk sastra
lahir dari garba imaji dari persendian rindu
sendirimu
sendi-sendi yogya yang selalu warna-warna
tak sesunyi rumahmu kini
seorang pujangga telah pulang
meninggalkan waktu
lewat sebuah hari
engkau berangkat abadi ke seberang
langit muram, berkabung
dengan pita hitam di lengan kata-kataku
tinggal jejak senyap
kekal dalam kenangan
Lamongan 21 juni 2007
Herry Lamongan, lahir 8 mei di Bondowoso. Berkarya sejak tahun 1983 dalam bahasa Indonesia dan Jawa. Karya-karyanya berupa puisi, esai, gurit, cerpen, terpublikasikan di berbagai media cetak pusat dan daerah. Antologi tunggalnya, Lambaian Muara (1988), Latar Ngarep (2006), Surat Hening (2008).
SELIR, OH…SELIR
Jurnal Kebudayaan The Sandour, II 2006
KRT. Suryanto Sastroatmodjo
Omong soal selir, pikiran pastilah langsung istri banyak. Paling tidak lebih dari satu. Tetapi istri lebih dari satu pastilah selir? Inilah yang menarik untuk disimak dan diperhatikan. Itu adalah gejala yang ada di masyarakat, yang kadang mengundang pro dan kontra. Biasa, seperti halnya hidup itu sendiri mengundang pro dan kontra. Lantas bagaimana tentang selir di tanah Jawa ini atau khususnya di seputaran kalangan kerabat raja yang disebut ningrat atau priyayi yang sering dijadikan panutan masyarakat.
Masih ingat Douwes Dekker yang nulis Max Havelaar? Ia menyebutkan, ada empat hal yang dominan dalam kehidupan priyayi. Pertama, bahwa dalam kehidupan lahir-batin bangsa berkulit coklat (pribumi), para priyayi banyak yang ambigous atau mendua. Misalnya, di satu pihak setia terhadap Gubermen van Nederlandsch-Indie, di lain pihak haruslah setia pada raja atau ratu pribumi sendiri yang ketika itu dalam lingkungan Praja Kejawen atau Vorstenlanden (yakni 4 kerajaan Jawa, yakni Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, Kadipaten Mangkunegaran dan Kadipaten Pakualaman). Ambiguitas dan dualisme ini dibedakan menurut kutub-kutub adat istiadat lokal yang tak lepas dari ikatan etika dan politik, antara setia pada penjajah dan juga loyal terhadap raja sebagai penguasa trah Mataram.
Kedua, masih menurut Dekker, ada perbedaan hakiki dan konvensional antara pejabat yang merasa tentang adanya hak-hak administratif mereka sebagai abdi gubermen yang otomatis selaku priyayi-ambtenar yang feodalistik dan patuh terhadap perangkat yang membawahi mereka selaku pegawai negeri yang memiliki hak-hak istimewa.
Ketiga, dalam hal ini maka tidak hanya lingkungan kerja yang serba berbeda dan serba berkecukupan, namun juga mempunyai kelimpahan dalam berbagai hal yang sifatnya kenikmatan manusiawi termasuk kenikmatan seksual yang hanya mereka yang berhak merasakannya. Sedang lapisan rakyat jelata tak berhak merasakan. Lapisan rakyat jelata tak boleh merasakan dengan pertimbangan bahwa mereka “tak berkelas.”
Keempat, dalam kaitan tentang keharuman yang melimpah tersebut, orang ternyata boleh meresapkan limpahan dan keistimewaan dalam perkawinan yang subtil yang sengaja hendak berlebih-lebihan. Beberapa yang patut dipakai sebagai alasan pemberkatan trah ini:
1. Perkawinan bukan mengambil corak satu lawan satu atau monogami melainkan polygami yang mewartakan bahwa dalam hal ini maka ada banyak pasangan wanita di samping satu pria ada banyak istri diperlukan buat memperkokoh status penguasa tunggal. Ini disebut sebagai suatu warasandamani yang tak boleh diganggugugat.
2. Antara para istri tersebut, harap dibedakan antara garwa padmi atau garwa utama, istri prima bagi sang suami, sementara istri-istri lainnya disebut selir atau garwa ampeyan dan hak-hak istimewa dalam politik, ekonomi, sosial hanya tertuju kepada sang first lady yang begitu kharismatik. Sistem ini disebut “lamdaruwinaya” atau bahwa apa yang dikehendaki istri pinilih tak boleh didesak oleh istri-istri sampingan saja.
Pada hakikatnya konsep perseliran dalam adat priyayi, yang dicontoh adalah teladan dewa, seperti misalnya Raden Panji Inu Kertapati (Asmarabangun) mengikuti teladan Dewa Kamajaya (strirandapalupi), kemudian ide Raden Arjuna yang sanggup berpoligami sempurna (pranundradipta), kemudian teladan Raden Soma tatkala mengawini Dewi Angnyawati (strilaku-tambulinari) dan tak lupa mengikuti jalur kesempurnaan kasih Rama dan Sinta (dwiparandacihna) yang diperteguh kekuatan Dewa Semar Ismaya (datunalajigja) yang potensial.
Dalam hal inilah maka konsep tersebut langsung dibumbui oleh jaminan langkah-laku-asmara menurut Asmaradana dan Kamasutra yang merupakan pasukan klasik India. Asmaradana dipenggal dari ajaran Asmarandana Yadnyatanti dalam ujaran Dwipara Patayadnya Puranasangka yang dalam dasar-dasar poligami yang teratur ini maka orang pun terpacu dalam perimbangan sebagai berikut:
Utara: Devatalistu – maka garwa padmi atau permaisuri dominan tetapi para selir hendaknya bertindak sebagai pelayan. Di sini aroma biologis menjadi pedoman bertindak riil.
Timur: Pradiptamani – maka peranan selir pertama dari para selir diunggulkan, sedang permaisuri jangan terlibat dalam pemainan kamasutra-asmaragama tersebut. Maka, senioritas memegang peranan pada laku-laku.
Selatan: Jalanidiksetra – maka selir kedua dan ketiga mendapat peluang sebagai kreator dalam seni senggama, pria hanya menurut. Harus ada apresiasi dalam melaksanakan kiprah cinta sejati.
Barat: Indivatidevi: selir-selir saling bergantian melayani pria sebagai sentranya.
Sedangkan mengikuti: barat laut (paranidenta), timurlaut (ulayuwideha), barat daya (citraprajeki) dan tenggara (winantuwarih) masih terikat poros unggulan semesta yang disebut: widhisutra wiwaha.
Keyakinan tentang indogami dan eksogami adalah ditentukan oleh nilai-nilai paternalistik Sang Raden – yang kemudian bergelar Tumenggung, Adipati, pangeran dan Susuhunan. Bahwa Selir dan tragedi perseliran sifatnya tantramuni-anjali, bahwa siapa calon istri utama (garwa padmi) siapa selir (ampeyan) itu hak sepenuhnya dan mutlak di tangan pria yang identik dengan Dewa Kama Rajamandala.
Sedang dalam dua buku bergengsi Over de Oorsprong van hey Javaansche Toneel dan Panji, The Cultural Hero, A structuralstudy of Religion in Java, William Huibert Rassers, menegaskan: bahwa selain masalah selir berdasarkan konsep negararatuweni, yakni bahwa potensi dari akar problema kerumahtanggaan berdasarkan pepakem alur-winih-jalanti yang dipetik dari dasar pemikiran sedari zaman Kediri dan Jenggalamanik yang kemudian dileluri oleh Singasari dan Majapahit. Alur-winih-jalanti tadi termaktub dalam Anglur Estri Wijayanti, yang dasarnya adalah stri-Nareswari yang telah ditulis oleh Raja Erlangga sendiri (948-1003) yang dibantu Mpu Bharada. Pada zaman ketika Jayanegara hendak wafat 9 tahun 1292) maka ia mengirim ekspedisi Pamalyu ke negeri sekitar Selat Malaka dam Lautan Hindia dan kitab “Hariharandaru-murti” telah disebarkan luas antara lain mengatur perkawinan raja-raja Jawa dan Melayu, kepahlawanan Panji dilukiskan saat Raja Kediri Kameswara bertahta, maka Permaisuri bernama Dewi Sekartaji (Kirana Ratu) dan di samping itu terdapat sejumlah istri: Angreni, Waragamit, Tulungtaris dan lain-lain.
Sex Para Selir: Kesepakatan yang diterima oleh para putri yang diatur agar posisi mereka harmonis dan stabil, maka perantara itu bernama: Hannuradikawineya-matik-pranantitis atau bagaimana raja perwira sanggup menempatkan tata letak yang harmonis para istri, dan bagaimana semua itu menjadi hambangun-turut susilastuti adiwiwaha.
Sementara itu di Tanah Jawa yang semula terangkum dalam Javantara, Jambudipa, Swarnadwipa (Sumatra) dan Lokandayawerti (daerah luar jawa) maka kita melihat konsep selir cenderung pada nilai-nilai demokratis yang saling membutuhkan demi terselenggaranya asmaragama (hubungan seksual).
Apabila di atas tersingkap wawasan Douwes Dekker yang melihat bahwa konsep perkawinan (di mana selir-menyelir tak bisa ditinggalkan) maka nilai-nilai kepuasan personal menjadi suatu harapan total dan prinsip buat awetnya program tata sastra yang harus berlangsung secara sempurna.
Dengan demikian, adanya komposisi-komposisi kepuasan hati, kegembiraan sukma dan bukan hanya kenikmatan seksual sudah barang tentu mengikuti bagaimana wacana spiritual haruslah lebih berbobot ketimbang hasrat birahi, hasrat tubuh daging semata. Dengan demikian dikehendaki adanya keselarasan dari sukma, olah tubuh, rasa rindu, regenerasi utuh, otot yang tentunya dapat mengarut arah lajunya poligami ini. Aktivitas apa pun yang didorong oleh sebuah kemuliaan prima insani lebih menonjol, ketimbang hanya persepsi sensasional yang naif semata.
KRT. Suryanto Sastroatmodjo
Omong soal selir, pikiran pastilah langsung istri banyak. Paling tidak lebih dari satu. Tetapi istri lebih dari satu pastilah selir? Inilah yang menarik untuk disimak dan diperhatikan. Itu adalah gejala yang ada di masyarakat, yang kadang mengundang pro dan kontra. Biasa, seperti halnya hidup itu sendiri mengundang pro dan kontra. Lantas bagaimana tentang selir di tanah Jawa ini atau khususnya di seputaran kalangan kerabat raja yang disebut ningrat atau priyayi yang sering dijadikan panutan masyarakat.
Masih ingat Douwes Dekker yang nulis Max Havelaar? Ia menyebutkan, ada empat hal yang dominan dalam kehidupan priyayi. Pertama, bahwa dalam kehidupan lahir-batin bangsa berkulit coklat (pribumi), para priyayi banyak yang ambigous atau mendua. Misalnya, di satu pihak setia terhadap Gubermen van Nederlandsch-Indie, di lain pihak haruslah setia pada raja atau ratu pribumi sendiri yang ketika itu dalam lingkungan Praja Kejawen atau Vorstenlanden (yakni 4 kerajaan Jawa, yakni Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, Kadipaten Mangkunegaran dan Kadipaten Pakualaman). Ambiguitas dan dualisme ini dibedakan menurut kutub-kutub adat istiadat lokal yang tak lepas dari ikatan etika dan politik, antara setia pada penjajah dan juga loyal terhadap raja sebagai penguasa trah Mataram.
Kedua, masih menurut Dekker, ada perbedaan hakiki dan konvensional antara pejabat yang merasa tentang adanya hak-hak administratif mereka sebagai abdi gubermen yang otomatis selaku priyayi-ambtenar yang feodalistik dan patuh terhadap perangkat yang membawahi mereka selaku pegawai negeri yang memiliki hak-hak istimewa.
Ketiga, dalam hal ini maka tidak hanya lingkungan kerja yang serba berbeda dan serba berkecukupan, namun juga mempunyai kelimpahan dalam berbagai hal yang sifatnya kenikmatan manusiawi termasuk kenikmatan seksual yang hanya mereka yang berhak merasakannya. Sedang lapisan rakyat jelata tak berhak merasakan. Lapisan rakyat jelata tak boleh merasakan dengan pertimbangan bahwa mereka “tak berkelas.”
Keempat, dalam kaitan tentang keharuman yang melimpah tersebut, orang ternyata boleh meresapkan limpahan dan keistimewaan dalam perkawinan yang subtil yang sengaja hendak berlebih-lebihan. Beberapa yang patut dipakai sebagai alasan pemberkatan trah ini:
1. Perkawinan bukan mengambil corak satu lawan satu atau monogami melainkan polygami yang mewartakan bahwa dalam hal ini maka ada banyak pasangan wanita di samping satu pria ada banyak istri diperlukan buat memperkokoh status penguasa tunggal. Ini disebut sebagai suatu warasandamani yang tak boleh diganggugugat.
2. Antara para istri tersebut, harap dibedakan antara garwa padmi atau garwa utama, istri prima bagi sang suami, sementara istri-istri lainnya disebut selir atau garwa ampeyan dan hak-hak istimewa dalam politik, ekonomi, sosial hanya tertuju kepada sang first lady yang begitu kharismatik. Sistem ini disebut “lamdaruwinaya” atau bahwa apa yang dikehendaki istri pinilih tak boleh didesak oleh istri-istri sampingan saja.
Pada hakikatnya konsep perseliran dalam adat priyayi, yang dicontoh adalah teladan dewa, seperti misalnya Raden Panji Inu Kertapati (Asmarabangun) mengikuti teladan Dewa Kamajaya (strirandapalupi), kemudian ide Raden Arjuna yang sanggup berpoligami sempurna (pranundradipta), kemudian teladan Raden Soma tatkala mengawini Dewi Angnyawati (strilaku-tambulinari) dan tak lupa mengikuti jalur kesempurnaan kasih Rama dan Sinta (dwiparandacihna) yang diperteguh kekuatan Dewa Semar Ismaya (datunalajigja) yang potensial.
Dalam hal inilah maka konsep tersebut langsung dibumbui oleh jaminan langkah-laku-asmara menurut Asmaradana dan Kamasutra yang merupakan pasukan klasik India. Asmaradana dipenggal dari ajaran Asmarandana Yadnyatanti dalam ujaran Dwipara Patayadnya Puranasangka yang dalam dasar-dasar poligami yang teratur ini maka orang pun terpacu dalam perimbangan sebagai berikut:
Utara: Devatalistu – maka garwa padmi atau permaisuri dominan tetapi para selir hendaknya bertindak sebagai pelayan. Di sini aroma biologis menjadi pedoman bertindak riil.
Timur: Pradiptamani – maka peranan selir pertama dari para selir diunggulkan, sedang permaisuri jangan terlibat dalam pemainan kamasutra-asmaragama tersebut. Maka, senioritas memegang peranan pada laku-laku.
Selatan: Jalanidiksetra – maka selir kedua dan ketiga mendapat peluang sebagai kreator dalam seni senggama, pria hanya menurut. Harus ada apresiasi dalam melaksanakan kiprah cinta sejati.
Barat: Indivatidevi: selir-selir saling bergantian melayani pria sebagai sentranya.
Sedangkan mengikuti: barat laut (paranidenta), timurlaut (ulayuwideha), barat daya (citraprajeki) dan tenggara (winantuwarih) masih terikat poros unggulan semesta yang disebut: widhisutra wiwaha.
Keyakinan tentang indogami dan eksogami adalah ditentukan oleh nilai-nilai paternalistik Sang Raden – yang kemudian bergelar Tumenggung, Adipati, pangeran dan Susuhunan. Bahwa Selir dan tragedi perseliran sifatnya tantramuni-anjali, bahwa siapa calon istri utama (garwa padmi) siapa selir (ampeyan) itu hak sepenuhnya dan mutlak di tangan pria yang identik dengan Dewa Kama Rajamandala.
Sedang dalam dua buku bergengsi Over de Oorsprong van hey Javaansche Toneel dan Panji, The Cultural Hero, A structuralstudy of Religion in Java, William Huibert Rassers, menegaskan: bahwa selain masalah selir berdasarkan konsep negararatuweni, yakni bahwa potensi dari akar problema kerumahtanggaan berdasarkan pepakem alur-winih-jalanti yang dipetik dari dasar pemikiran sedari zaman Kediri dan Jenggalamanik yang kemudian dileluri oleh Singasari dan Majapahit. Alur-winih-jalanti tadi termaktub dalam Anglur Estri Wijayanti, yang dasarnya adalah stri-Nareswari yang telah ditulis oleh Raja Erlangga sendiri (948-1003) yang dibantu Mpu Bharada. Pada zaman ketika Jayanegara hendak wafat 9 tahun 1292) maka ia mengirim ekspedisi Pamalyu ke negeri sekitar Selat Malaka dam Lautan Hindia dan kitab “Hariharandaru-murti” telah disebarkan luas antara lain mengatur perkawinan raja-raja Jawa dan Melayu, kepahlawanan Panji dilukiskan saat Raja Kediri Kameswara bertahta, maka Permaisuri bernama Dewi Sekartaji (Kirana Ratu) dan di samping itu terdapat sejumlah istri: Angreni, Waragamit, Tulungtaris dan lain-lain.
Sex Para Selir: Kesepakatan yang diterima oleh para putri yang diatur agar posisi mereka harmonis dan stabil, maka perantara itu bernama: Hannuradikawineya-matik-pranantitis atau bagaimana raja perwira sanggup menempatkan tata letak yang harmonis para istri, dan bagaimana semua itu menjadi hambangun-turut susilastuti adiwiwaha.
Sementara itu di Tanah Jawa yang semula terangkum dalam Javantara, Jambudipa, Swarnadwipa (Sumatra) dan Lokandayawerti (daerah luar jawa) maka kita melihat konsep selir cenderung pada nilai-nilai demokratis yang saling membutuhkan demi terselenggaranya asmaragama (hubungan seksual).
Apabila di atas tersingkap wawasan Douwes Dekker yang melihat bahwa konsep perkawinan (di mana selir-menyelir tak bisa ditinggalkan) maka nilai-nilai kepuasan personal menjadi suatu harapan total dan prinsip buat awetnya program tata sastra yang harus berlangsung secara sempurna.
Dengan demikian, adanya komposisi-komposisi kepuasan hati, kegembiraan sukma dan bukan hanya kenikmatan seksual sudah barang tentu mengikuti bagaimana wacana spiritual haruslah lebih berbobot ketimbang hasrat birahi, hasrat tubuh daging semata. Dengan demikian dikehendaki adanya keselarasan dari sukma, olah tubuh, rasa rindu, regenerasi utuh, otot yang tentunya dapat mengarut arah lajunya poligami ini. Aktivitas apa pun yang didorong oleh sebuah kemuliaan prima insani lebih menonjol, ketimbang hanya persepsi sensasional yang naif semata.
WACANA KEKUASAAN PERWAKILAN KEBENARAN
Jurnal Kebudayaan The Sandour, II 2006
Haris del Hakim
Pendahuluan
Tulisan ini hanya sketsa ringan untuk mendekonstruksi wacana kita tentang ambisi kekuasaan yang mengatasnama-kan kebenaran (baca: dogma keagamaan) dan bagaimana mewujudkan dan mempertahankan cita-citanya tersebut. Seperti yang kita saksikan, pada saat ini muncul gerakan-gerakan yang mengatasnamakan kebenaran dan dengan itu merasa berhak melakukan berbagai macam tindakan untuk mewujudkan cita-citanya. Dan ternyata fenomena tersebut bukan hal yang baru di panggung sejarah panjang manusia ini.
Hancurnya Mitos Kekuasaan
Maha sempurna Allah telah menahbiskan Muhammad sebagai nabi dan utusan terakhir.
Kalimat tersebut sangat pendek, tetapi mengandung prinsip-prinsip yang luar biasa: Muhammad merupakan uswah hasanah, namun seiring perjalanan waktu penokohan tentang Muhammad pun mengalami pergeseran sehingga perlu verifikasi informasi agar tidak ada klaim yang paling berhak mengatasnamakan kebenaran atau mewakili Islam, hancurnya mistifikasi kekuasaan. Pertama, Nabi Muhammad sebagai uswah hasanah (profil par-excellent) bagi orang-orang muslim dan beriman. Tingkah laku Muhammad dalam pentas sejarah merupakan gambaran penjelmaan firman Tuhan di muka bumi yang mewakili kebenaran. Dengan kata lain, Muhammad dan kebenaran merupakan komponen tunggal.
Kedua, pada zaman sekarang, sekitar 1374 tahun setelah kematian Muhammad, deskripsi mengenai tata laku Muhammad tentu mengalami perubahan-perubahan. Selama kurun waktu itu banyak kepentingan kekuasaan yang mengambil keuntungan lewat karakter Muhammad. Mereka akan mengadakan perubahan pada tataran detail. Sebagai contoh peritiwa Isra Mi’raj yang sebagian golongan percaya bahwa Muhammad melihat Abu Thalib sedang disiksa di neraka dengan kaki dibakar api sedangkan otaknya mendidih. Gambaran itu di kemudian hari ternyata muncul pada zaman Muawiyah yang bermusuhan dengan Ali bin Abi Thalib. Muawiyah menciptakan cerita tentang ayah Ali yang disiksa di neraka untuk melakukan pembunuhan karakter.
Sejarah Khilafah Islam menunjukkan pola perilaku politik yang tidak seideal dibayangkan oleh beberapa kelompok orang. Pasca kematian Muhammad umat Islam hampir pecah. Beberapa suku yang ditaklukkan pada zaman Muhammad menolak membayar zakat dan Khalifah pertama, Abu Bakar ash-Shidiq, melakukan tindakan militeristik untuk menyelesaikannya, yaitu dengan perang riddah. Perilaku politik itu semakin jauh menyimpang pada Khilafah—Maududi menyebut sebagai kerajaan atau dinasti—Umayyah. Dinasti tersebut dimulai dengan intrik politik Muawiyah terhadap khalifah keempat. Ketika sedang terjadi konflik politik yang memanas hingga menimbulkan perang saudara, perang Shiffin, tentara Muawiyah hampir kalah oleh pasukan Ali bin Abi Thalib. Saat itu muncul ide kotor dari pihak Muawiyah. Mereka mengeluarkan Alquran dan menancapkannya di ujung tombak sebagai tanda bahwa mereka juga muslim yang berhak atas perundingan. Ali tidak percaya dengan intrik tersebut tetapi banyak sahabatnya yang menerima, sehingga diadakanlah perundingan yang berujung pada kekalahan Ali secara politis.
Akibatnya kemudian, mereka yang menggunakan Alquran sebagai alat perdamaian ternyata tidak seideal yang mereka katakan. Selama berkuasa Muawiyah mengubah pola kebijakan-kebijakan bervisi khilafah rasyidah menjadi dinasti yang bertolak belakang dengan Islam itu sendiri. Ciri utama “kebebasan” memilih Amirul Mukminin yang mewarnai sistem khilafah berubah menjadi pola Monarkhi. Istilah Amirul Mukminin sendiri sebenarnya bernuansa ilahiah dan profetis dan secara linguistik berlandaskan pada ayat “Taatilah Allah dan taatilah Rasulullah Saw serta Ulil Amri (orang-orang yang memegang persoalan) kalian”. Artinya, terdapat strata birokratik metafisik untuk ditaati. Ulul Amri yang diartikan secara gegabah dengan pemerintah, satu golongan atau kelas yang berperan untuk memproduksi kebijakan atau perintah-perintah semata, menjadi kabur maknanya. Ulul Amri tidak sekadar pemerintahan, tetapi lebih jauh dari itu adalah orang-orang yang bertanggungjawab, menjamin, menyediakan, melayani, dan mengurus segala persoalan orang-orang mukmin. Kata athi’û dalam ayat tersebut hanya melekat pada Allah dan Rasul-Nya, sedangkan pada kata ulil amri hanya sertaan saja. Ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya bersifat mutlak, sementara pada ulil amri harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Karena itu, suatu pemerintahan yang meskipun menggunakan label dan formalitas Islam tetapi tidak mempunyai karakter ulil amri menjadi tidak wajib ditaati, bahkan bisa disebut sebagai pemerintahan yang zalim. Dan mendukung pemerintahan seperti itu merupakan dukungan terhadap kezaliman.
Sementara, monarkhi merupakan sistem kekuasaan yang mewariskan kekuasaan hanya pada garis keturunan. Warisan masyarakat yang distratifikasi secara kaku dengan memandang gen, seperti kasta, darah biru, darah putih, dll. yang menjadi identitas pada masa jahiliyah ternyata dihidupkan kembali oleh Dinasti Umayyah. Ajaran pokok Islam berupa tauhid telah berupaya mendekontruksi sistem kekuasaan yang berdasarkan berhala, simbol kekuasaan yang kaku dan tidak menerima kritik, menjadi sistem kekuasaan yang egaliter dan rendah hati bagi pemegang kekuasaan; contoh ideal penguasa Islam ialah Muhammad dan Khalifah Rasyidah karena terlibat langsung dalam persoalan umat daripada kepentingan pejabatnya.
Pada masa dinasti itulah muncul interpretasi baru tentang tauhid yang berperan pula terhadap terjadinya perubahan deskripsi tentang Muhammad. Nabi dan Rasulullah akhir zaman itu pun ternodai oleh kekuasaan. Zaman Dinasti Umayyah inilah muncul pemerintahan yang feodalistik di mana penguasa dianggap sebagai wakil Tuhan di muka bumi dan tidak terbantahkan kebijakan-kebijakan-nya. Beberapa orang tokoh yang mencoba kritis tanpa segan-segan disingkirkan oleh dinasti tersebut. Uniknya, korban mereka adalah orang-orang yang dinobatkan nabi sebagai tolok ukur kebenaran setelah kematiannya. Secara kebetulan mereka kalah secara politik, menjadi golongan marjinal yang berafilisiasi dengan Ali bin Abi Thalib. Di antaranya, Abu Dzar al-Ghifari, Khabab (pekerja keras yang tangannya pernah dicium oleh nabi Muhammad), Abdullah bin Mas’ud, Bilal, Salman al-Farisi, dll. Bahkan, dalam sebuah sumber disebutkan bahwa khutbah Jum’at merupakan sarana dialogis antara umat dan ulil amri atau ajang perdebatan atas kebijakan penguasa. Tetapi, pada zaman dinasti Umayyah berubah menjadi sarana indoktrinasi atas legalitas kekuasaan Muawiyah dan pembunuhan karakter Ali bin Abi Thalib. Sejak itu pula khatib menjadi corong penguasa dikawal oleh aparat keamanan dan siapa saja yang menentang isi khutbahnya akan diberi hukuman.
Perlu diperhatikan, Islam saat itu merupakan komoditas politik yang marketable, menarik perhatian, dan simbol single majority. Karena, prestasi-prestasi yang berhasil diraih oleh bangsa Arab yang gilang gemilang sejak kepemimpinan Nabi Muhammad hingga ekspansi wilayah yang luar biasa di masa Umar bin Khattab. Harga diri bangsa Arab sebagai bangsa tiba-tiba naik hanya dalam kurun waktu tidak lebih dari 50 tahun.
Persoalan yang muncul kemudian adalah bagaimana menverifikasi data-data mengenai Muhammad sehingga tak ada klaim yang mengangkangi kebenaran dan mewakili Islam. Persoalan ini tidak bisa dianggap sepele mengingat Muhammad adalah ukuran kebenaran, sebagaimana telah dikemukakan. Sehingga ancaman yang tepat bagi orang yang mengatasnamakan sesuatu sebagai perilaku (sunnah) Muhammad padahal bukan darinya neraka. Sebagaimana yang disebutkan: “Barangsiapa secara sengaja mengatasnamakan suatu perbuatan sebagai perbuatanku padahal itu bukan dariku, maka bersiap sedialah untuk mengambil salah satu tempat di neraka.”
Ketiga, pasca kematian Muhammad tidak ada lagi wakil Tuhan, kebenaran, atau pihak yang menjadikan seseorang lebih dari yang lain. Hanya saja nabi pernah mensinyalir bahwa sekelompok orang yang menjadi pewaris nabi adalah ulama (al-ulamâ wartsat al-anbiyâ’). Persoalannya, kategori apa yang dimiliki oleh ulama sehingga berhak menjadi pewaris para nabi (waratsat al-anbiyâ) dan bukan di belakang atau penerima kentut para nabi (wara’ah al-anbiyâ’). Alquran menjelaskan mereka adalah sekelompok orang yang takut kepada Allah (QS. Fathir: 28). Sedangkan para salaf as-shalih memberikan pengertian tambahan bahwa mereka tidak mendatangi penguasa dan lebih memilih hidup bersama orang-orang kecil. Mereka menukil hadis yang berbunyi, ”Takutlah kalian pada orang yang tidak mempunyai perwakilan siapa pun selain Allah.” Dalam peribahasa dinyatakan hanya burung bulbul yang berkumpul dengan bulbul. Hanya ulama sejati yang memilih berkawan karib dengan orang-orang lemah dan tidak berdaya.
Pernyataan tersebut masih bisa dibantah apabila tolok ukur kita bersifat material. Sedangkan dari sudut keimanan, maka kategori manusia paling tinggi derajatnya adalah yang bertakwa dan tidak ada seorang pun yang tahu kedudukan seseorang di sisi Allah, sebab hanya Allah sendiri yang tahu kedudukan hamba-Nya. Sehingga, tidak semua orang yang mengaku atau diakui sebagai ulama bisa disebut ulama, melainkan harus memiliki karakter yang benar-benar menunjukkan dia adalah seorang ulama. Menurut logika sederhana, seorang wakil harus diangkat oleh yang diwakili—dus, ulama harus diangkat oleh Allah dan tidak bisa mengangkat diri sendiri atau bersekutu untuk disebut ulama. Fenomena walisongo di tanah Jawa perlu dikaji ulang. Apakah kemunculan mereka murni sebagai wali Allah yang memegang walayah dan berhak menjadi wakil Tuhan atau pewaris para nabi? Ataukah walisongo tidak lebih dari persekutuan orang-orang tertentu yang menginginkan kekuasaan dan mengatasnama-kan umat Islam? Sebab, banyak hal yang perlu dikoreksi mengenai keberadaan mereka. Para wali berketurunan Arab, kecuali Sunan Kalijaga, dan masih termasuk keluarga besar Sunan Ampel. Mereka bergabung, menghancurkan kerajaan Pajang pimpinan Sultan Hadiwijaya—yang dikenal sebagai murid Sunan Kalijaga—dan Majapahit yang bermusuhan dengan Giri kemudian melahirkan kerajaan Demak Bintoro dikomandoi oleh Raden Patah. Apakah Demak benar-benar representasi dari Islam sebagaimana yang dicita-citakan para walisongo? Pada zaman Sultan Trenggono terjadi pengkhianatan dan membiarkan kolonialisasi Portugis leluasa di Malaka, apabila yang diceritakan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam Arus Balik-nya itu benar. Berbeda dengan Pati Unus yang gigih menentang kedatangan para petualang itu. Siapakah yang berhak mengklaim sebagai perwakilan dari kebenaran? Samakah kelompok walisongo itu dengan Majelis Ulama’ Indonesia yang tidak memiliki basis umat secara jelas—berbeda dengan NU dan Muhammadiyah—dan hanya berkecimpung dalam barisan kekuasaan?
Muhammad: keagungan yang dikerdilkan
Sosok Muhammad masih menarik untuk dikaji kembali dan semakin menarik karena fenomena karikatur di Denmark beberapa bulan lalu. Mayoritas orang Denmark menganggap kaum muslim di sana hanya sedikit dan tidak berdaya. Akan tetapi, anggapan itu ternyata salah besar. Mereka terhenyak ketika karikatur yang diniati sekadar tingkah iseng seorang kreator tiba-tiba menjadi persoalan internasional yang membahayakan kedudukan Denmark. Muhammad ternyata bukan hanya milik orang Denmark, tetapi milik umat Islam seluruh dunia. Sehingga, menodai kehormatan Muhammad ialah menodai keyakinan umat Islam.
Kreator atau pembuat karikatur “Muhammad Biang Teroris” tidak bisa disalahkan secara mutlak. Sebab, hal itu menyangkut bangunan pemikiran yang mereka terima sejak puluhan dan bahkan ratusan tahun. Citra tentang Muhammad di lingkungan mereka berbeda jauh dengan citra Muhammad di kalangan kaum muslim. Salah satu pencitraan Muhammad tersebut ada dalam karya Dante berjudul The Divine Comedy. Edward Said telah membuat sinopsis yang apik tentang bagaimana Dante menggambar-kan Muhammad: “Maometto” – Muhammad – muncul dalam canto (bagian dari suatu syair) 28 inferno. Muhammad ditempatkan pada lapisan kesembilan dari sepuluh lapisan Bolgias of Malebolge, gugusan parit kelam yang mengelilingi kubu setan di neraka. Demikianlah, sebelum sampai kepada Muhammad, terlebih dahulu Dante melewati lapisan yang berisi orang-orang yang dosanya lebih ringan: si cabul, si tamak, si rakus, si bid’ah, si angkara murka, si pembunuh diri, dan si durhaka (penghina Tuhan). Lapisan setelah Muhammad hanya diisi oleh para pemalsu dan pengkhianat (yang mencakup Judas, Brutus, dan Casius), sebelum orang tiba pada dasar neraka di mana setan sendiri berada. Jadi Muhammad termasuk ke dalam hirarki kejahatan yang ketat, dalam kategori yang dinamakan Dante sebagai semonator di scandalo e di scisma (penyebar skandal dan perpecahan). Hukuman terhadap Muhammad, yang merupakan nasibnya yang abadi, adalah hukuman yang sangat menjijikkan. Tubuhnya terus-menerus dibelah dua dari dagu hingga ke anus bagaikan, kata Dante, tong kayu yang papan-papannya dirobek. Pada bagian ini Dante menguraikan detil-detil eskatologis yang tercakup dalam hukuman tersebut: isi perut dan najis Muhammad digambarkan sejelas-jelasnya. Muhammad menerangkan kepada Dante mengenai hukuman yang menimpanya, sambil menunjuk kepada Ali, yang mendahuluinya dalam barisan para pendosa yang dibelah tubuhnya oleh malaikat penyiksa. Ia meminta pada Dante untuk memperingatkan seorang bernama Fra Dolcino, pendeta murtad yang sektenya menganjurkan komunalitas wanita dan harta benda, yang dituduh memiliki seorang istri, akan siksaan yang menimpanya. Docino sendiri merupakan pemimpin sekte pada masa Dante yang sedang melonjak debut teologinya.” (Said: 88-89).
Padahal, karya Dante tersebut terinspirasi oleh Risalah al-Ghufran karya al-Ma’ari yang menggambarkan bagaimana penulis, bernama Ghufran, masuk surga dan bertemu dengan para penyair di sana. Dia meminta penjelasan tentang makna kata-kata dalam puisi kepada penyairnya langsung. Perbedaannya, karya Dante dianggap sebagai karya abadi dan “menjadi bacaan wajib” bagi generasi Barat, sedangkan karya al-Ma’ari tidak dikenal oleh sembarang orang. Bahkan, bantahan atas karya Dante yang dilakukan oleh Muhammad Iqbal tidak mendapatkan perhatian sama sekali dan asing bagi kaum muslim sendiri. Penyair sekaligus pendiri negara Pakistan itu memberikan gambaran tentang Muhammad dalam Javid Namah. Di buku tersebut dia menjelaskan bahwa dalam lingkup Jupiter tokoh bertemu dengan Hallaj dan menanyakan misteri-misteri Nabi Muhammad yang memberikan jawaban salam dalam bentuk syair yang panjang:
sebab ia itu manusia, sekaligus zat
zatnya bukan Arab, bukan Persia
dia manusia, namun sebelum adam
“Hamba-Nya” penulis nasib
di dalam dirinya ada perbaikan keporak-porandaan
“Hamba-Nya” pemberi ruh, sekaligus pengambil ruh;
“Hamba-Nya” kaca sekaligus batu keras
“Hamba” itu sesuatu, dan “Hamba-Nya”
sesuatu yang lain lagi –
kita semua menanti; dialah yang dinanti-nantikan
“Hamba-Nya”tak berawal, tak berakhir,
“Hamba-Nya” – dimana baginya pagi dan petang?
Tak seorang pun tahu rahasia-rahasia “Hamba-Nya”—
“Hamba-Nya” tak lain adalah rahasia “kecuali Allah”
Bagi dunia Barat, Muhammad tidak lebih seorang psikopat, seperti yang dikemukakan oleh para pemuka kafir Jahiliyah yang menyebut sebagai penyair atau orang gila. Namun, Muhammad Iqbal memberikan bantahan yang brilian: “Kalau seorang psikopat mampu memberikan arah segar kepada jalannya sejarah manusia, ini merupakan satu hal yang sangat menarik minat psikologi untuk menyelidiki pengalamannya yang sebenarnya yang telah mengubah budak-budak menjadi pemimpin-pemimpin manusia dan yang telah mengilhami perilaku dan membentuk perjalanan hidup seluruh ras manusia. Menilai dari berbagai aktivitas yang memancar dari gerakan yang dilancarkan oleh nabi, ketegangan spiritual danperilaku yang muncul darinya tak dapat dipandang sebagai suatu tanggapan terhadap semata-mata fantasi di dalam otaknya. Tak mungkin untuk memahaminya kecuali sebagai tanggapan terhadap situasi obyektif yang melahirkan antusiasme-antusiasme baru, tatanan-tatanan baru, titik-titik tolak baru. Jika kita lihat masalahnya dari sudut pandang antropologi, tampaklah bahwa seorang psikopat merupakan faktor penting dalam ekonomi organisasi manusia.”
Di sini jelas sekali perbedaan cara pandang orang-orang muslim, yang kebetulan tinggal di kawasan Timur, dan orang-orang Barat tentang Muhammad. Bagi orang-orang Timur, Muhammad merupakan harga diri. Di samping sebagai nabi bagi umat Islam dia juga penggerak lahirnya kebesaran Islam yang menguasai dunia selama 700 tahun. Semenjak wafatnya Muhammad pada tahun 632, hegemoni militer yang disusul dengan hegemoni kebudayaan dan keagamaan Islam berkembang sangat pesat. Pada mulanya Persia yang megah itu ditaklukkan, Syria dan Mesir, lalu Turki kemudian Afrika Utara pun jatuh ke tangan orang muslim; pada abad kedelapan dan sembilan Spanyol, Sisylia, dan negara bagian Prancis pun ditaklukkan. Abad ketiga belas dan keempat belas, Islam hampir berkuasa sampai ke India, Indonesia, dan China.
Akan tetapi, ekspansi yang menimbulkan rasa takut dan gentar itu digambarkan dengan sedikit perhatian oleh para penulis barat. Coba perhatikan teks-teks berikut: “sezaman dengan periode sejarah Eropa paling gelap dan lamban” dan koreksi yang bersifat narsis “karena semua ilmu muncul di Barat, ilmu-ilmu Timur tampaknya telah mengendor dan merosot.” Satuhal yang perlu diperhatikan, para penulis Barat selalu memberikan gambaran yang menggeneralisir mengenai Timur, memberikan keterangan yang detail mengenai Barat; salah satu strategi hegemoni. Itulah mengapa kebudayaan Barat selalu terlihat unggul, sebab selalu diberikan penjelasan sangat terperinci yang berbeda dengan Timur yang di-gebyah uyah saja (dalam bahasa Jawa, pokoke sebagai kata yang tak terbantah kebenarannya).
Penutup
Uraian di atas menunjukkan pada kita bagaimana kekuasaan merekonstruksi argumen-argumen agar dapat melanggengkan dirinya. Pertanyaannya kemudian, akankah kita terus mengulang rekonstruksi kebenaran hanya demi menutupi ambisi kekuasaan?
Haris del Hakim
Pendahuluan
Tulisan ini hanya sketsa ringan untuk mendekonstruksi wacana kita tentang ambisi kekuasaan yang mengatasnama-kan kebenaran (baca: dogma keagamaan) dan bagaimana mewujudkan dan mempertahankan cita-citanya tersebut. Seperti yang kita saksikan, pada saat ini muncul gerakan-gerakan yang mengatasnamakan kebenaran dan dengan itu merasa berhak melakukan berbagai macam tindakan untuk mewujudkan cita-citanya. Dan ternyata fenomena tersebut bukan hal yang baru di panggung sejarah panjang manusia ini.
Hancurnya Mitos Kekuasaan
Maha sempurna Allah telah menahbiskan Muhammad sebagai nabi dan utusan terakhir.
Kalimat tersebut sangat pendek, tetapi mengandung prinsip-prinsip yang luar biasa: Muhammad merupakan uswah hasanah, namun seiring perjalanan waktu penokohan tentang Muhammad pun mengalami pergeseran sehingga perlu verifikasi informasi agar tidak ada klaim yang paling berhak mengatasnamakan kebenaran atau mewakili Islam, hancurnya mistifikasi kekuasaan. Pertama, Nabi Muhammad sebagai uswah hasanah (profil par-excellent) bagi orang-orang muslim dan beriman. Tingkah laku Muhammad dalam pentas sejarah merupakan gambaran penjelmaan firman Tuhan di muka bumi yang mewakili kebenaran. Dengan kata lain, Muhammad dan kebenaran merupakan komponen tunggal.
Kedua, pada zaman sekarang, sekitar 1374 tahun setelah kematian Muhammad, deskripsi mengenai tata laku Muhammad tentu mengalami perubahan-perubahan. Selama kurun waktu itu banyak kepentingan kekuasaan yang mengambil keuntungan lewat karakter Muhammad. Mereka akan mengadakan perubahan pada tataran detail. Sebagai contoh peritiwa Isra Mi’raj yang sebagian golongan percaya bahwa Muhammad melihat Abu Thalib sedang disiksa di neraka dengan kaki dibakar api sedangkan otaknya mendidih. Gambaran itu di kemudian hari ternyata muncul pada zaman Muawiyah yang bermusuhan dengan Ali bin Abi Thalib. Muawiyah menciptakan cerita tentang ayah Ali yang disiksa di neraka untuk melakukan pembunuhan karakter.
Sejarah Khilafah Islam menunjukkan pola perilaku politik yang tidak seideal dibayangkan oleh beberapa kelompok orang. Pasca kematian Muhammad umat Islam hampir pecah. Beberapa suku yang ditaklukkan pada zaman Muhammad menolak membayar zakat dan Khalifah pertama, Abu Bakar ash-Shidiq, melakukan tindakan militeristik untuk menyelesaikannya, yaitu dengan perang riddah. Perilaku politik itu semakin jauh menyimpang pada Khilafah—Maududi menyebut sebagai kerajaan atau dinasti—Umayyah. Dinasti tersebut dimulai dengan intrik politik Muawiyah terhadap khalifah keempat. Ketika sedang terjadi konflik politik yang memanas hingga menimbulkan perang saudara, perang Shiffin, tentara Muawiyah hampir kalah oleh pasukan Ali bin Abi Thalib. Saat itu muncul ide kotor dari pihak Muawiyah. Mereka mengeluarkan Alquran dan menancapkannya di ujung tombak sebagai tanda bahwa mereka juga muslim yang berhak atas perundingan. Ali tidak percaya dengan intrik tersebut tetapi banyak sahabatnya yang menerima, sehingga diadakanlah perundingan yang berujung pada kekalahan Ali secara politis.
Akibatnya kemudian, mereka yang menggunakan Alquran sebagai alat perdamaian ternyata tidak seideal yang mereka katakan. Selama berkuasa Muawiyah mengubah pola kebijakan-kebijakan bervisi khilafah rasyidah menjadi dinasti yang bertolak belakang dengan Islam itu sendiri. Ciri utama “kebebasan” memilih Amirul Mukminin yang mewarnai sistem khilafah berubah menjadi pola Monarkhi. Istilah Amirul Mukminin sendiri sebenarnya bernuansa ilahiah dan profetis dan secara linguistik berlandaskan pada ayat “Taatilah Allah dan taatilah Rasulullah Saw serta Ulil Amri (orang-orang yang memegang persoalan) kalian”. Artinya, terdapat strata birokratik metafisik untuk ditaati. Ulul Amri yang diartikan secara gegabah dengan pemerintah, satu golongan atau kelas yang berperan untuk memproduksi kebijakan atau perintah-perintah semata, menjadi kabur maknanya. Ulul Amri tidak sekadar pemerintahan, tetapi lebih jauh dari itu adalah orang-orang yang bertanggungjawab, menjamin, menyediakan, melayani, dan mengurus segala persoalan orang-orang mukmin. Kata athi’û dalam ayat tersebut hanya melekat pada Allah dan Rasul-Nya, sedangkan pada kata ulil amri hanya sertaan saja. Ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya bersifat mutlak, sementara pada ulil amri harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Karena itu, suatu pemerintahan yang meskipun menggunakan label dan formalitas Islam tetapi tidak mempunyai karakter ulil amri menjadi tidak wajib ditaati, bahkan bisa disebut sebagai pemerintahan yang zalim. Dan mendukung pemerintahan seperti itu merupakan dukungan terhadap kezaliman.
Sementara, monarkhi merupakan sistem kekuasaan yang mewariskan kekuasaan hanya pada garis keturunan. Warisan masyarakat yang distratifikasi secara kaku dengan memandang gen, seperti kasta, darah biru, darah putih, dll. yang menjadi identitas pada masa jahiliyah ternyata dihidupkan kembali oleh Dinasti Umayyah. Ajaran pokok Islam berupa tauhid telah berupaya mendekontruksi sistem kekuasaan yang berdasarkan berhala, simbol kekuasaan yang kaku dan tidak menerima kritik, menjadi sistem kekuasaan yang egaliter dan rendah hati bagi pemegang kekuasaan; contoh ideal penguasa Islam ialah Muhammad dan Khalifah Rasyidah karena terlibat langsung dalam persoalan umat daripada kepentingan pejabatnya.
Pada masa dinasti itulah muncul interpretasi baru tentang tauhid yang berperan pula terhadap terjadinya perubahan deskripsi tentang Muhammad. Nabi dan Rasulullah akhir zaman itu pun ternodai oleh kekuasaan. Zaman Dinasti Umayyah inilah muncul pemerintahan yang feodalistik di mana penguasa dianggap sebagai wakil Tuhan di muka bumi dan tidak terbantahkan kebijakan-kebijakan-nya. Beberapa orang tokoh yang mencoba kritis tanpa segan-segan disingkirkan oleh dinasti tersebut. Uniknya, korban mereka adalah orang-orang yang dinobatkan nabi sebagai tolok ukur kebenaran setelah kematiannya. Secara kebetulan mereka kalah secara politik, menjadi golongan marjinal yang berafilisiasi dengan Ali bin Abi Thalib. Di antaranya, Abu Dzar al-Ghifari, Khabab (pekerja keras yang tangannya pernah dicium oleh nabi Muhammad), Abdullah bin Mas’ud, Bilal, Salman al-Farisi, dll. Bahkan, dalam sebuah sumber disebutkan bahwa khutbah Jum’at merupakan sarana dialogis antara umat dan ulil amri atau ajang perdebatan atas kebijakan penguasa. Tetapi, pada zaman dinasti Umayyah berubah menjadi sarana indoktrinasi atas legalitas kekuasaan Muawiyah dan pembunuhan karakter Ali bin Abi Thalib. Sejak itu pula khatib menjadi corong penguasa dikawal oleh aparat keamanan dan siapa saja yang menentang isi khutbahnya akan diberi hukuman.
Perlu diperhatikan, Islam saat itu merupakan komoditas politik yang marketable, menarik perhatian, dan simbol single majority. Karena, prestasi-prestasi yang berhasil diraih oleh bangsa Arab yang gilang gemilang sejak kepemimpinan Nabi Muhammad hingga ekspansi wilayah yang luar biasa di masa Umar bin Khattab. Harga diri bangsa Arab sebagai bangsa tiba-tiba naik hanya dalam kurun waktu tidak lebih dari 50 tahun.
Persoalan yang muncul kemudian adalah bagaimana menverifikasi data-data mengenai Muhammad sehingga tak ada klaim yang mengangkangi kebenaran dan mewakili Islam. Persoalan ini tidak bisa dianggap sepele mengingat Muhammad adalah ukuran kebenaran, sebagaimana telah dikemukakan. Sehingga ancaman yang tepat bagi orang yang mengatasnamakan sesuatu sebagai perilaku (sunnah) Muhammad padahal bukan darinya neraka. Sebagaimana yang disebutkan: “Barangsiapa secara sengaja mengatasnamakan suatu perbuatan sebagai perbuatanku padahal itu bukan dariku, maka bersiap sedialah untuk mengambil salah satu tempat di neraka.”
Ketiga, pasca kematian Muhammad tidak ada lagi wakil Tuhan, kebenaran, atau pihak yang menjadikan seseorang lebih dari yang lain. Hanya saja nabi pernah mensinyalir bahwa sekelompok orang yang menjadi pewaris nabi adalah ulama (al-ulamâ wartsat al-anbiyâ’). Persoalannya, kategori apa yang dimiliki oleh ulama sehingga berhak menjadi pewaris para nabi (waratsat al-anbiyâ) dan bukan di belakang atau penerima kentut para nabi (wara’ah al-anbiyâ’). Alquran menjelaskan mereka adalah sekelompok orang yang takut kepada Allah (QS. Fathir: 28). Sedangkan para salaf as-shalih memberikan pengertian tambahan bahwa mereka tidak mendatangi penguasa dan lebih memilih hidup bersama orang-orang kecil. Mereka menukil hadis yang berbunyi, ”Takutlah kalian pada orang yang tidak mempunyai perwakilan siapa pun selain Allah.” Dalam peribahasa dinyatakan hanya burung bulbul yang berkumpul dengan bulbul. Hanya ulama sejati yang memilih berkawan karib dengan orang-orang lemah dan tidak berdaya.
Pernyataan tersebut masih bisa dibantah apabila tolok ukur kita bersifat material. Sedangkan dari sudut keimanan, maka kategori manusia paling tinggi derajatnya adalah yang bertakwa dan tidak ada seorang pun yang tahu kedudukan seseorang di sisi Allah, sebab hanya Allah sendiri yang tahu kedudukan hamba-Nya. Sehingga, tidak semua orang yang mengaku atau diakui sebagai ulama bisa disebut ulama, melainkan harus memiliki karakter yang benar-benar menunjukkan dia adalah seorang ulama. Menurut logika sederhana, seorang wakil harus diangkat oleh yang diwakili—dus, ulama harus diangkat oleh Allah dan tidak bisa mengangkat diri sendiri atau bersekutu untuk disebut ulama. Fenomena walisongo di tanah Jawa perlu dikaji ulang. Apakah kemunculan mereka murni sebagai wali Allah yang memegang walayah dan berhak menjadi wakil Tuhan atau pewaris para nabi? Ataukah walisongo tidak lebih dari persekutuan orang-orang tertentu yang menginginkan kekuasaan dan mengatasnama-kan umat Islam? Sebab, banyak hal yang perlu dikoreksi mengenai keberadaan mereka. Para wali berketurunan Arab, kecuali Sunan Kalijaga, dan masih termasuk keluarga besar Sunan Ampel. Mereka bergabung, menghancurkan kerajaan Pajang pimpinan Sultan Hadiwijaya—yang dikenal sebagai murid Sunan Kalijaga—dan Majapahit yang bermusuhan dengan Giri kemudian melahirkan kerajaan Demak Bintoro dikomandoi oleh Raden Patah. Apakah Demak benar-benar representasi dari Islam sebagaimana yang dicita-citakan para walisongo? Pada zaman Sultan Trenggono terjadi pengkhianatan dan membiarkan kolonialisasi Portugis leluasa di Malaka, apabila yang diceritakan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam Arus Balik-nya itu benar. Berbeda dengan Pati Unus yang gigih menentang kedatangan para petualang itu. Siapakah yang berhak mengklaim sebagai perwakilan dari kebenaran? Samakah kelompok walisongo itu dengan Majelis Ulama’ Indonesia yang tidak memiliki basis umat secara jelas—berbeda dengan NU dan Muhammadiyah—dan hanya berkecimpung dalam barisan kekuasaan?
Muhammad: keagungan yang dikerdilkan
Sosok Muhammad masih menarik untuk dikaji kembali dan semakin menarik karena fenomena karikatur di Denmark beberapa bulan lalu. Mayoritas orang Denmark menganggap kaum muslim di sana hanya sedikit dan tidak berdaya. Akan tetapi, anggapan itu ternyata salah besar. Mereka terhenyak ketika karikatur yang diniati sekadar tingkah iseng seorang kreator tiba-tiba menjadi persoalan internasional yang membahayakan kedudukan Denmark. Muhammad ternyata bukan hanya milik orang Denmark, tetapi milik umat Islam seluruh dunia. Sehingga, menodai kehormatan Muhammad ialah menodai keyakinan umat Islam.
Kreator atau pembuat karikatur “Muhammad Biang Teroris” tidak bisa disalahkan secara mutlak. Sebab, hal itu menyangkut bangunan pemikiran yang mereka terima sejak puluhan dan bahkan ratusan tahun. Citra tentang Muhammad di lingkungan mereka berbeda jauh dengan citra Muhammad di kalangan kaum muslim. Salah satu pencitraan Muhammad tersebut ada dalam karya Dante berjudul The Divine Comedy. Edward Said telah membuat sinopsis yang apik tentang bagaimana Dante menggambar-kan Muhammad: “Maometto” – Muhammad – muncul dalam canto (bagian dari suatu syair) 28 inferno. Muhammad ditempatkan pada lapisan kesembilan dari sepuluh lapisan Bolgias of Malebolge, gugusan parit kelam yang mengelilingi kubu setan di neraka. Demikianlah, sebelum sampai kepada Muhammad, terlebih dahulu Dante melewati lapisan yang berisi orang-orang yang dosanya lebih ringan: si cabul, si tamak, si rakus, si bid’ah, si angkara murka, si pembunuh diri, dan si durhaka (penghina Tuhan). Lapisan setelah Muhammad hanya diisi oleh para pemalsu dan pengkhianat (yang mencakup Judas, Brutus, dan Casius), sebelum orang tiba pada dasar neraka di mana setan sendiri berada. Jadi Muhammad termasuk ke dalam hirarki kejahatan yang ketat, dalam kategori yang dinamakan Dante sebagai semonator di scandalo e di scisma (penyebar skandal dan perpecahan). Hukuman terhadap Muhammad, yang merupakan nasibnya yang abadi, adalah hukuman yang sangat menjijikkan. Tubuhnya terus-menerus dibelah dua dari dagu hingga ke anus bagaikan, kata Dante, tong kayu yang papan-papannya dirobek. Pada bagian ini Dante menguraikan detil-detil eskatologis yang tercakup dalam hukuman tersebut: isi perut dan najis Muhammad digambarkan sejelas-jelasnya. Muhammad menerangkan kepada Dante mengenai hukuman yang menimpanya, sambil menunjuk kepada Ali, yang mendahuluinya dalam barisan para pendosa yang dibelah tubuhnya oleh malaikat penyiksa. Ia meminta pada Dante untuk memperingatkan seorang bernama Fra Dolcino, pendeta murtad yang sektenya menganjurkan komunalitas wanita dan harta benda, yang dituduh memiliki seorang istri, akan siksaan yang menimpanya. Docino sendiri merupakan pemimpin sekte pada masa Dante yang sedang melonjak debut teologinya.” (Said: 88-89).
Padahal, karya Dante tersebut terinspirasi oleh Risalah al-Ghufran karya al-Ma’ari yang menggambarkan bagaimana penulis, bernama Ghufran, masuk surga dan bertemu dengan para penyair di sana. Dia meminta penjelasan tentang makna kata-kata dalam puisi kepada penyairnya langsung. Perbedaannya, karya Dante dianggap sebagai karya abadi dan “menjadi bacaan wajib” bagi generasi Barat, sedangkan karya al-Ma’ari tidak dikenal oleh sembarang orang. Bahkan, bantahan atas karya Dante yang dilakukan oleh Muhammad Iqbal tidak mendapatkan perhatian sama sekali dan asing bagi kaum muslim sendiri. Penyair sekaligus pendiri negara Pakistan itu memberikan gambaran tentang Muhammad dalam Javid Namah. Di buku tersebut dia menjelaskan bahwa dalam lingkup Jupiter tokoh bertemu dengan Hallaj dan menanyakan misteri-misteri Nabi Muhammad yang memberikan jawaban salam dalam bentuk syair yang panjang:
sebab ia itu manusia, sekaligus zat
zatnya bukan Arab, bukan Persia
dia manusia, namun sebelum adam
“Hamba-Nya” penulis nasib
di dalam dirinya ada perbaikan keporak-porandaan
“Hamba-Nya” pemberi ruh, sekaligus pengambil ruh;
“Hamba-Nya” kaca sekaligus batu keras
“Hamba” itu sesuatu, dan “Hamba-Nya”
sesuatu yang lain lagi –
kita semua menanti; dialah yang dinanti-nantikan
“Hamba-Nya”tak berawal, tak berakhir,
“Hamba-Nya” – dimana baginya pagi dan petang?
Tak seorang pun tahu rahasia-rahasia “Hamba-Nya”—
“Hamba-Nya” tak lain adalah rahasia “kecuali Allah”
Bagi dunia Barat, Muhammad tidak lebih seorang psikopat, seperti yang dikemukakan oleh para pemuka kafir Jahiliyah yang menyebut sebagai penyair atau orang gila. Namun, Muhammad Iqbal memberikan bantahan yang brilian: “Kalau seorang psikopat mampu memberikan arah segar kepada jalannya sejarah manusia, ini merupakan satu hal yang sangat menarik minat psikologi untuk menyelidiki pengalamannya yang sebenarnya yang telah mengubah budak-budak menjadi pemimpin-pemimpin manusia dan yang telah mengilhami perilaku dan membentuk perjalanan hidup seluruh ras manusia. Menilai dari berbagai aktivitas yang memancar dari gerakan yang dilancarkan oleh nabi, ketegangan spiritual danperilaku yang muncul darinya tak dapat dipandang sebagai suatu tanggapan terhadap semata-mata fantasi di dalam otaknya. Tak mungkin untuk memahaminya kecuali sebagai tanggapan terhadap situasi obyektif yang melahirkan antusiasme-antusiasme baru, tatanan-tatanan baru, titik-titik tolak baru. Jika kita lihat masalahnya dari sudut pandang antropologi, tampaklah bahwa seorang psikopat merupakan faktor penting dalam ekonomi organisasi manusia.”
Di sini jelas sekali perbedaan cara pandang orang-orang muslim, yang kebetulan tinggal di kawasan Timur, dan orang-orang Barat tentang Muhammad. Bagi orang-orang Timur, Muhammad merupakan harga diri. Di samping sebagai nabi bagi umat Islam dia juga penggerak lahirnya kebesaran Islam yang menguasai dunia selama 700 tahun. Semenjak wafatnya Muhammad pada tahun 632, hegemoni militer yang disusul dengan hegemoni kebudayaan dan keagamaan Islam berkembang sangat pesat. Pada mulanya Persia yang megah itu ditaklukkan, Syria dan Mesir, lalu Turki kemudian Afrika Utara pun jatuh ke tangan orang muslim; pada abad kedelapan dan sembilan Spanyol, Sisylia, dan negara bagian Prancis pun ditaklukkan. Abad ketiga belas dan keempat belas, Islam hampir berkuasa sampai ke India, Indonesia, dan China.
Akan tetapi, ekspansi yang menimbulkan rasa takut dan gentar itu digambarkan dengan sedikit perhatian oleh para penulis barat. Coba perhatikan teks-teks berikut: “sezaman dengan periode sejarah Eropa paling gelap dan lamban” dan koreksi yang bersifat narsis “karena semua ilmu muncul di Barat, ilmu-ilmu Timur tampaknya telah mengendor dan merosot.” Satuhal yang perlu diperhatikan, para penulis Barat selalu memberikan gambaran yang menggeneralisir mengenai Timur, memberikan keterangan yang detail mengenai Barat; salah satu strategi hegemoni. Itulah mengapa kebudayaan Barat selalu terlihat unggul, sebab selalu diberikan penjelasan sangat terperinci yang berbeda dengan Timur yang di-gebyah uyah saja (dalam bahasa Jawa, pokoke sebagai kata yang tak terbantah kebenarannya).
Penutup
Uraian di atas menunjukkan pada kita bagaimana kekuasaan merekonstruksi argumen-argumen agar dapat melanggengkan dirinya. Pertanyaannya kemudian, akankah kita terus mengulang rekonstruksi kebenaran hanya demi menutupi ambisi kekuasaan?
Karya Almarhum Suryanto Sastroatmodjo
dipetik dari Jurnal Kebudayaan The Sandour I, 2006
Balada Segelas Kahwa
Suryanto Sastroatmodjo
(1)
Aku tahu bahwa pahit
Teronggok dalam cangkir sukma
hanya menunggu bedug malam
dengan terompah kayu dan bersalam
Aku tahu risau nan kelam
menggelepar dalam kamar samar
dan tak kukenal seraut kenang
tatkala mengetuk pintu pertama
(2)
Mungkin adalah dendangsayang
dendang gebalau hari-hari cendawan
Sungguh, alangkah gawal
mendera ufuk tanpa sepeluk faal
Padahal bumiku punya pelatuk
juga bukan cancangan ufuk
bila lusa dituntut ujung telutsujud
(3)
Dengan mentari teramat pahit
aku gulung helai kain aksaramu
kendati kopi pun pahit. Cuma sehaluan
menyebut simpati pada bocah-bocah rimba
Aku menggapai sulur gadung
dan rebahan batang-batang lengkung
Tanda sebuah janji bakal pupus
ditunda oleh kemarau berpeluh
(4)
Dan alangkah sibuk dan suntuk
pedalaman benua di ini ufuk
Kala kita punya persinggahan barang dua bentar
seraya menengadah ke langit gumelar
Atau biar segelas kahwa panas
aku teguk dalam pahitnya gemas
Seraya mencari sesuatu nan tercecer
dari seberang menyeberang harungan
(5)
Lantas bertanyalah pada anak dolan
yang kini sanggup mengepuk matahari. Sepenggal tanya
sandar di dermaga selepas maghrib sekelupas
Dan aku akan minum kahwa panas
sebelum kembali bercakap keras
di beranda, sarat oleh tamu-tamu berdandan.
Balada Bronjong
Suryanto Sastroatmodjo
(1)
Seakan peta tua lepas dari pigura
begitu para anakmuda singgah dalam ziarah
Adakah sebuah balairung pengadilan
yang memulung ragu jiwa dan menghentaknya?
Asalkan diri bukan tersisih
asalkan bukan sebagai si Pahit Lidah
hanya meludahi pawang seribu
bakal mengantar sesosok pawang berderu
(2)
Bronjong seperti pajangan hayat
dan dari bianglala sana, Gusti
tertangkap oleh lipatan setangan
aduhai, pantai keramakhmanan, paduka
Lalu kabut menghalang lesu
pada kabar kawalan umur
pertanda justa pula yang dilembur!
(3)
Namun sebilik gubuk-gubuk duka
kau menggembalakan dukacita
Terkadang harus ada yang ditembangkan
pabila malam gading hadir sejangkah
Irama apa yang dideru gelisah, buyung
bronjong-bronjong bendungan lantung
niscaya kasih kesaksian satu
pada senda hari nan memuput
(4)
Mari, hidupkan pelitamu lagi
jikalau perjalanan menigas musibah, konon
tertukik dari laras senapang, tinggal sebendul lakon
Bagai kurungan dengan penghuni: serangkum
melagukan ketuk-ketuk duniawi
Barangkali ada yang diacungkan tibatiba
kalau si pungguk merobek bendungan
lantas masuk ke bronjong nan tersamar!
Balada Putra Aji
Suryanto Sastroatmodjo
(I)
Senyampang lumut-lumut laut. Masih jadi kendala siput
o, hari dilambuk lengut – dan jiwaku berkerut
di kala gamelan penghabisan menuntut geletar runtut
Alangkah silap hadirmu buyung
pada iringan penguburan jenazah
Dan tak menemu Rama Aji yang jumawa
(II)
Sore segra naik ke tlundagan senjakala
bayang hangat berarak lewat. Janji buat berlabuh
laksana himbau yang ditabuh jauh. Wahai, Putra Aji
Canang-canang peradilan bakal ngumandang lagi
Penjaga masjid tiban mendongak tanya
tanpa gelar dukana kuna. Hiring gumulir
Lantas menderu serupa gunung mainan
diletuskan tangan para bocah di kepagian
(III)
Musim pun taffakur di riba makna
selempang kidung bianglala – tertikam carang aking
Sementara itu, gairah tawa Rama Aji
menentramkan sukma Niken Galuh Candrasari
– benteng-benteng bergamit tangan
dengan sisa nestapa poyang. Dingin dan lembut
Wahai, bukit-bukit selatan. Ada di puisi jernih
kurangkum gerak di setugal istirah
Jikalau perahu tiba di muara elok
tolong, redakan alun gelombang masamuda
(IV)
Takluk kini, apakah bukan takluk kelemarin
sesudah tanya menghiba. Kawanan srigala kutub
mengubur bungkal tanah ibu. Satu prasasti terluka muka
Justru bentang ladang remaja terlukis di paru-paru kota
O, Putra Aji, kembangkan layar puspita
barangkali menerjang secara anakan. Lindap
potret si tua belajar tentang Putri Candrasari
(V)
Kini kurebahkan tubuh di ambin coklat yang retak
Sembari menoleh ke dirisendiri. Membaca gejala zaman
hingga kitab tertutup. Dan muara cinta tergenang petaka.
Balada Segelas Kahwa
Suryanto Sastroatmodjo
(1)
Aku tahu bahwa pahit
Teronggok dalam cangkir sukma
hanya menunggu bedug malam
dengan terompah kayu dan bersalam
Aku tahu risau nan kelam
menggelepar dalam kamar samar
dan tak kukenal seraut kenang
tatkala mengetuk pintu pertama
(2)
Mungkin adalah dendangsayang
dendang gebalau hari-hari cendawan
Sungguh, alangkah gawal
mendera ufuk tanpa sepeluk faal
Padahal bumiku punya pelatuk
juga bukan cancangan ufuk
bila lusa dituntut ujung telutsujud
(3)
Dengan mentari teramat pahit
aku gulung helai kain aksaramu
kendati kopi pun pahit. Cuma sehaluan
menyebut simpati pada bocah-bocah rimba
Aku menggapai sulur gadung
dan rebahan batang-batang lengkung
Tanda sebuah janji bakal pupus
ditunda oleh kemarau berpeluh
(4)
Dan alangkah sibuk dan suntuk
pedalaman benua di ini ufuk
Kala kita punya persinggahan barang dua bentar
seraya menengadah ke langit gumelar
Atau biar segelas kahwa panas
aku teguk dalam pahitnya gemas
Seraya mencari sesuatu nan tercecer
dari seberang menyeberang harungan
(5)
Lantas bertanyalah pada anak dolan
yang kini sanggup mengepuk matahari. Sepenggal tanya
sandar di dermaga selepas maghrib sekelupas
Dan aku akan minum kahwa panas
sebelum kembali bercakap keras
di beranda, sarat oleh tamu-tamu berdandan.
Balada Bronjong
Suryanto Sastroatmodjo
(1)
Seakan peta tua lepas dari pigura
begitu para anakmuda singgah dalam ziarah
Adakah sebuah balairung pengadilan
yang memulung ragu jiwa dan menghentaknya?
Asalkan diri bukan tersisih
asalkan bukan sebagai si Pahit Lidah
hanya meludahi pawang seribu
bakal mengantar sesosok pawang berderu
(2)
Bronjong seperti pajangan hayat
dan dari bianglala sana, Gusti
tertangkap oleh lipatan setangan
aduhai, pantai keramakhmanan, paduka
Lalu kabut menghalang lesu
pada kabar kawalan umur
pertanda justa pula yang dilembur!
(3)
Namun sebilik gubuk-gubuk duka
kau menggembalakan dukacita
Terkadang harus ada yang ditembangkan
pabila malam gading hadir sejangkah
Irama apa yang dideru gelisah, buyung
bronjong-bronjong bendungan lantung
niscaya kasih kesaksian satu
pada senda hari nan memuput
(4)
Mari, hidupkan pelitamu lagi
jikalau perjalanan menigas musibah, konon
tertukik dari laras senapang, tinggal sebendul lakon
Bagai kurungan dengan penghuni: serangkum
melagukan ketuk-ketuk duniawi
Barangkali ada yang diacungkan tibatiba
kalau si pungguk merobek bendungan
lantas masuk ke bronjong nan tersamar!
Balada Putra Aji
Suryanto Sastroatmodjo
(I)
Senyampang lumut-lumut laut. Masih jadi kendala siput
o, hari dilambuk lengut – dan jiwaku berkerut
di kala gamelan penghabisan menuntut geletar runtut
Alangkah silap hadirmu buyung
pada iringan penguburan jenazah
Dan tak menemu Rama Aji yang jumawa
(II)
Sore segra naik ke tlundagan senjakala
bayang hangat berarak lewat. Janji buat berlabuh
laksana himbau yang ditabuh jauh. Wahai, Putra Aji
Canang-canang peradilan bakal ngumandang lagi
Penjaga masjid tiban mendongak tanya
tanpa gelar dukana kuna. Hiring gumulir
Lantas menderu serupa gunung mainan
diletuskan tangan para bocah di kepagian
(III)
Musim pun taffakur di riba makna
selempang kidung bianglala – tertikam carang aking
Sementara itu, gairah tawa Rama Aji
menentramkan sukma Niken Galuh Candrasari
– benteng-benteng bergamit tangan
dengan sisa nestapa poyang. Dingin dan lembut
Wahai, bukit-bukit selatan. Ada di puisi jernih
kurangkum gerak di setugal istirah
Jikalau perahu tiba di muara elok
tolong, redakan alun gelombang masamuda
(IV)
Takluk kini, apakah bukan takluk kelemarin
sesudah tanya menghiba. Kawanan srigala kutub
mengubur bungkal tanah ibu. Satu prasasti terluka muka
Justru bentang ladang remaja terlukis di paru-paru kota
O, Putra Aji, kembangkan layar puspita
barangkali menerjang secara anakan. Lindap
potret si tua belajar tentang Putri Candrasari
(V)
Kini kurebahkan tubuh di ambin coklat yang retak
Sembari menoleh ke dirisendiri. Membaca gejala zaman
hingga kitab tertutup. Dan muara cinta tergenang petaka.
Langganan:
Postingan (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Ginandjar Wiludjeng
A. Junianto
A. Kurnia
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.S Laksana
A’yat Khalili
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Razak
Abdul Rosyid
Abdul Wahab
Abdurrahman Wahid
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adam Chiefni
Ade P. Nasution
Adhitia Armitriant
Adi Prasetyo
Adrizas
AF. Tuasikal
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Baso
Ahmad Faishal
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Naufel
Ahmad Rofiq
Ahmad S. Zahari
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ainul Fiah
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Alex R. Nainggolan
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Almania Rohmah
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aminah
Aminullah HA.Noor
Amir Sutaarga
Anam Rahus
Anata Siregar
Andari Karina Anom
Andina Dwifatma
Andong Buku #3
Andre Mediansyah
Andri Awan
Anett Tapai
Anggie Melianna
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Wahyudi
Anwar Nuris
Ardi Bramantyo
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Joko Wicaksono
Arief Junianto
Ariera
Arif Bagus Prasetyo
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Asmaul Fauziyah
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Wulan Sari
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Camelia Mafaza
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Daisuke Miyoshi
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Danusantoso
Dareen Tatour
Darju Prasetya
David Kuncara
Denny Mizhar
Denza Perdana
Desi Sommalia Gustina
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewi Indah Sari
Dewi Susme
Dian Sukarno
Didik Harianto
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur
Dipo Handoko
Diyah Errita Damayanti
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddy Wisnu Pribadi
Dody Kristianto
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi SS MHum
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Wiyana
Dyah Ratna Meta Novia
Dyah Sulistyorini
Ecep Heryadi
Eddy Pranata PNP
Edeng Syamsul Ma’arif
Eep Saefulloh Fatah
EH Kartanegara
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Hendri Saiful
Eko Windarto
Elnisya Mahendra
Elva Lestary
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Sulwesi
Endo Suanda
Eppril Wulaningtyas R
Esai
Evan Ys
F. Moses
F. Rahardi
Fadlillah Malin Sutan
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Febby Fortinella Rusmoyo
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Gabriel Garcia Marquez
Galang Ari P.
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Ganug Nugroho Adi
Gerson Poyk
Ghassan Kanafani
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunoto Saparie
H.B. Jassin
Habibullah
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Hardi
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
HE. Benyamine
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Herman RN
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Nugroho
Hikmat Gumelar
HL Renjis Magalah
Hudan Nur
Hujuala Rika Ayu
Huminca Sinaga
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ira Puspitaningsih
Irfan Budiman
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Zulkarnain
Ismail Marzuki
Iva Titin Shovia
Iwan Kurniawan
Jabbar Abdullah
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D. Rahman
Jamal T. Suryanata
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
JILFest 2008
Jody Setiawan
Johan Edy Raharjo
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Juan Kromen
Julika Hasanah
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Ka’bati
Karanggeneng
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Keith Foulcher
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khoirul Inayah
Khoirul Rosyadi
Khudori Husnan
Ki Ompong Sudarsono
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
L.N. Idayanie
Laili Rahmawati
Lamongan
Lan Fang
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lucia Idayanie
Lukman A Sya
Lutfiah
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Ismail
M Thobroni
M. Afifuddin
M. Arwan Hamidi
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Luthfi Aziz
M. Nurdin
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.S. Nugroho
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahmud Syaltut Usfa
Mahmudi Arif Dahlan
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Martin Aleida
Maruli Tobing
Mas Ruscita
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni Muserang
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mia Arista
Mia El Zahra
Mikael Johani
Misbahus Surur
Misran
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
Much. Khoiri
Muh. Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun
Muhammadun AS
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mukti Sutarman Espe
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Munawir Aziz
Musfarayani
Musfi Efrizal
Nafisatul Husniah
Nandang Darana
Naskah Teater
Nelson Alwi
Ni Made Purnamasari
Nikmatus Sholikhah
Nina Herlina Lubis
Nina Susilo
Ning Elia
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel-novel berbahasa Jawa
Novelet
Nunuy Nurhayati
Nur Azizah
Nur Hamzah
Nur Kholiq
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Aini
Nurul Anam
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Okty Budiati
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso H.N.
Pagan Press
Pagelaran Musim Tandur
Palupi Panca Astuti
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Petrus Nandi
Politik
Politik Sastra
Pradana Boy ZTF
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringadi AS
Prof Dr Fabiola D. Kurnia
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Puji Tyasari
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
Purnawan Kristanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Ng. Ronggowarsito
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmat Kemat Hidayatullah
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rasanrasan Boengaketji
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Resensi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Ririe Rengganis
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rusmanadi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saiful Amin Ghofur
Saiful Anam
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman S. Yoga
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang KSII
Santi Puji Rahayu
Sapardi Djoko Damono
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Jawa Timur
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputra
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sri Weni
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugi Lanus
Sukron Ma’mun
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaf Anton Wr
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syarif Wadja Bae
Sylvianita Widyawati
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie (1961-2019)
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tia Setiadi
Tirto Suwondo
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tosa Poetra
Tri Nurdianingsih
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulul Azmiyati
Umar Fauzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Utari Tri Prestianti
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wan Anwar
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wina Bojonegoro
Wita Lestari
Wong Wing King
Wowok Hesti Prabowo
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopi Setia Umbara
Yudhi Herwibowo
Yudi Latif
Yusri Fajar
Yusuf Ariel Hakim
Yuval Noah Harari
Zacky Khairul Uman
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zed Abidien
Zehan Zareez
Zhaenal Fanani
Zubaidi Khan
Zuniest